1
ANALISIS KEBIJAKAN KAKAO NASIONAL DALAM MENINGKATAN PEROLEHANPETANI KAKAO DAN PERANAN KAKAO NASIONAL DI PASARAN DUNIA (SEBUAH PENDEKATAN SISTEM DINAMIK)
Ahmad Arwin Jauhari dan Budisantoso Wirjodirdjo Jurusan Teknik Industri
Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Kampus ITS Sukolilo Surabaya 60111
Email: bon3k_juve@yahoo.co.id ; santoso@ie.its.ac.id
Abstrak
Kakao merupakan salah satu andalan komoditas Indonesia di pasaran komoditas dunia, setelah karet dan kelapa sawit. Dengan luas lahan kakao yang mencapai 1,4 juta hektar pada tahun 2008, setiap tahunnya kakao menyumbangkan devisa sekitar US$ 1,8 milyar. Sebenarnya, devisa dari sektor komoditas kakao ini masih berpotensi bertambah, baik dari biji kakao maupun produk olahan kakao. Namun seiring dengan adanya potongan harga (automatic detention) yakni sebesar 10-15% bagi setiap produk kakao Indonesia di negara tujuan ekspor sebagai akibat rendahnya kualitas kakao Indonesia, menjadikan pendapatan devisa kita semakin berkurang. Disamping itu, kebijakan pemerintah yang mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 % terhadap setiap biji kakao nasional yang dijual di pasaran dalam negeri menyebabkan petani Indonesia lebih cenderung untuk mengekspor kakao dari pada menjualnya di industri kakao nasional. Hal ini menyebabkan semakin buruknya kondisi industri pengolahan kakao nasional dan diperparah dengan kecilnya konsumsi kakao nasional. Namun seiring dengan berkembangya waktu pemerintah telah menerapkan kebijakan Bea Ekspor bagi setiap biji kakao yang diekspor, sehingga industri kakao nasional sedikit banyak tertolong dengan adanya kebbijakan tersebut. Oleh karena itu, untuk mengkaji seberapa efektif kebijakan kakao nasional selama ini maka digunakan pendekatan pemodelan sistem dinamis. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dengan adanya skenario pembiayaan untuk memperbaiki kualitas kakao nasional dan produktivitas lahan kakao, perolehan petani kakao menjadi meningkat. Sedangka, skenario pembiayaan untuk insentif petani kakao menjadikan peningkatan nilai tambah produksi kakao olahan, hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya kapasitas terpasang dan ekspor kakao olahan. Secara umum, penerapan skenario-skenario tersebut mampu meningkatkan peran perkakaoan nasional dipasaran dunia dan meningkatkan devisa nasional dari sektor komoditas kakao.
Kata kunci : Komoditas Kakao, Sistem Dinamika, Simulasi, Kebijakan Abstract
Cocoa is one of the main Indonesia’s commodity in world commodity markets, after rubber and palm oil. With a land area of cocoa reached 1.4 million hectares in 2008, foreign exchange annually cocoa contributed about U.S. $ 1.8 billion. Actually, the foreign exchange from cocoa sector is still potential to grow, both from cocoa beans and processed cocoa products. However there is the automatic detention which is equal to 10-15% for each country of destination products of Indonesian cocoa exports as a result of the low quality of Indonesian cocoa, making us less and less earnings. In addition, government policies which impose value added tax of 10% of each national cocoa beans sold in the domestic market led to Indonesian farmers are more likely to export than to sell cocoa in the national cocoa industry. This causes increasingly poor condition of the national cocoa processing industry, and compounded by the small national cocoa consumption. But along next era the government has implemented a policy for any Customs Export of cocoa beans are exported, so the national cocoa industry to some extent helped by the existence of such policies. Therefore, to assess how effective national policy for cocoa is, then used in dynamic system modeling approach. Based on research that has been done, with the financing scenarios to improve the quality of the national cocoa and cocoa land productivity, the earning of cocoa farmers are increase. While, an incentive financing scenarios for cocoa farmers to make added value of processed cocoa production, this is evidenced by the increasing installed capacity and exports of processed cocoa. In general, the implementation of these scenarios could increase the role of cocoa national in world market and increase the national foreign exchange from the cocoa’s commodity sector.
2
1. PendahuluanKakao merupakan salah satu komoditas perkebunan utama didunia. Komoditas ini dicari karena merupakan bahan baku pembuatan cokelat. Biji kakao yang telah mengalami serangkaian proses pengolahan sehingga bentuk dan aromanya seperti yang ada di pasaran sekarang. Banyak sekali produk dengan bahan baku cokelat yang sangat familiar dengan kehidupan modern saat ini, seperti kue cokelat,
ice-cream cokelat, ataupun minuman cokelat.
Perkembangan produksi kakao dunia saat ini dikuasai oleh tiga pemasok utama dunia yaitu Pantai Gading (38,3%), Ghana (20,2%) dan Indonesia (13,6%). Pemasok lainnya adalah Kamerun (5,1%), Brasil (4,4%), Nigeria (4,9%) dan Ekuador (3,1%). Walapun sebagai pemasok utama kakao dunia, selama tahun 2002-2006 rata-rata pertumbuhan produksi Pantai Gading relatif rendah yakni hanya 1% per tahun, sebaliknya Ghana tumbuh sangat tinggi 10,5% per tahun. Sementara Indonesia dan Kamerun tumbuh moderat dengan masing-masing meningkat rata-rata 5,1% dan 4% per tahun. (ICCO-Internationa Cacao Organiazation). Harga kakao dunia saat ini terus berfluktuasi dengan kecenderungan tren naik. Harga kakao di pasaran internasional relatif mahal, dikisaran US$ 2.000/ton, sehingga cukup menambah devisa bagi negara penghasil buah kakao tersebut. Berdasarkan data ICCO pada semester II 2007 harga kakao diperkirakan akan menurun, namun di bulan Desember 2007 harga kakao kembali meningkat mencapai US$ 2.113/ ton. Fluktuasi harga ini akan mempengaruhi tingkat produksi kakao dari negara-negara penghasilnya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang maksimal.
Di Indonesia sendiri komoditas kakao merupakan komoditas penghasil devisa negara nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet dengan total pendapatan sebesar US $ 1,8 milyar atau naik 20% dari tahun sebelumnya (bisnis.com,2009). Kebanyakan kakao diekspor dalam bentuk bahan baku mentah yaitu berupa biji kakao, sebanyak 75 % dari total produksi 456 ribu ton, sedangkan sisanya di olah didalam negeri untuk menghasilkan hasil turunan kakao seperti cocoa powder, cocoa butter, cocoa cake,
cocoa liquor. Namun demikian, Indonesia masih
mengimpor biji kakao karena kebutuhan akan
biji kakao berkualitas baik. Hal ini bukan merupakan indikasi yang bagus bagi perkakaoan nasional, karena kelebihan stok kakao nasional seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dari produk olahan kakao sehingga ketergantungan impor kakao dapat dikurangi.
Beberapa permasalahan yang dihadapi komoditas ini antara lain masih rendahnya produktivitas komoditas kakao yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih klonal, masih tingginya serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan klon kakao yang tahan terhadap hama PBK, sebagian besar perkebunan berupa perkebunan rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional dan umur tanaman kakao sebagian besar sudah tua, di atas 25 tahun jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun. (Dinie Suryani & Zulfebriansyah,2007)
Disamping itu, perkebunan kakao juga menyumbang dalam penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 1,1 juta kepala keluarga petani yang kebanyakan berada di Kawasan Indonesia Timur (KTI). Dengan areal luas lahan mencapai 1,473,259 Ha pada tahun 2008 dan dengan produktivitas 792,791 ton, (Departemen Pertanian) hampir 92,8 % merupakan perkebunan rakyat sedangkan selebihnya dikelola oleh swasta dan perkebunan negara. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksaan perundangan Undang-Undang No.9 Tahun 1999 yang menyatakan monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Badan usaha untuk perkebunan kakao nasional adalah PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Masalah yang lainnya yaitu pengelolaan produk kakao masih tradisional (85% biji kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga mutu kakao Indonesia dikenal sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4). Akibat mutu rendah, harga biji dan produk kakao Indonesia sangat
3
rendah di pasar internasional (terkena diskonUSD200/ton atau 10%-15% dari harga pasar). Selama ini kurangnya ketertarikan serta minat para petani / produsen untuk menghasilkan kakao fermentasi disebabkan karena kurangnya insentif yang diberikan oleh pembeli terhadap biji kakao hasil fermentasi (Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,2009).
Selain itu, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk setiap penjualan komoditas kakao di dalam negeri sedangkan ekspor kakao sama sekali tidak dikenai PPN sehingga menjadikan petani kakao kita lebih senang mengekspor kakao ke luar negeri seperti, Malaysia dan Singapura. Hal ini sangat merugikan industri pengolahan kakao nasional. Terbukti dengan semakin turunnya jumlah perusahaan pengolahan kakao nasional dari 14 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia, sekarang hanya menjadi 4 perusahaan. Untuk mengatasi permasalahan PPN pemerintah menerapkan kebijakan pajak ekspor kakao, dimana setiap penjualan kakao ke luar negeri akan dikenai pajak ekspor sebesar 30%. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi industri kakao nasional dari kekurangan pasokan kakao.
2. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian akan menjelaskan tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Secara keseluruhan, terdapat empat tahapan utama dalam penelitian ini, yaitu tahap identifikasi, tahap pemodelan, tahap simulasi dan penyusunan skenario kebijakan, dan tahap analisis dan kesimpulan. Tahap Identifikasi bertujuan untuk mengidentifikasi mengenai gambaran umum dari sistem yang akan diamati. Tahapan ini terdiri atas perumusan masalah, perumusan tujuan dan manfaat, studi literatur, dan pengumpulan data. Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu untuk menganalisis sejauh mana efektifitas kebijakan perkakaoan nasional yang diterapkan oleh pemerintah selama ini terkait dengan dinamika perkembangan perkakaoan nasional dalam meningkatkan perolehan petani kakao dan meningkatkan peranan produk kakao nasional di pasaran komoditas kakao dunia. Setelah ditentukan permasalahannya, kemudian dapat dirumuskan tujuan dan manfaat penelitian.
Sebagai dasar dalam penelitian yang dilakukan, perlu dilakukan pengkajian terhadap literatur baik berupa buku, jurnal, artikel, atau penelitian terdahulu yang membahas mengenai teori dari pendekatan yang digunakan dalam penelitian serta kondisi perkakaoan nasional. Selain studi literatur, juga dilakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan melalui penggalian informasi dari berbagai sumber yang berkaitan, seperti artikel, situs bank data, dan penelitian sebelumnya.
Tahap Pemodelan terdiri atas konseptualisasi sistem, formulasi model simulasi, simulasi model, validasi model, dan penyusunan skenario perbaikan. Konseptualisasi model dilakukan dengan mengidentifikasi variabel dalam sistem kemudian disusun dalam causal loop diagram. Formulasi model dilakukan dengan software simulasi yaitu Veneta Simulation (Vensim) yang dilanjutkan dengan simulasi model. Validasi model bertujuan untuk menguji apakah model sudah mewakili real system. Jika model telah valid, dapat dilanjutkan pada penyusunan skenario perbaikan. Tahap analisis dan kesimpulan merupakan tahap terakhir yang terdiri atas perbandingan hasil simulasi perbaikan dan existing. Perbandingan hasil simulasi dilakukan untuk melihat apakah perbaikan yang dilakukan sudah mampu meningkatkan efektifitas sistem. Kemudian dilanjutkan dengan langkah analisis dan interpretasi data, serta penyusunan kesimpulan dan saran.
3. Pengumpulan dan Pengolahan Data Pada tahap ini meliputi identifikasi sistem perkakaoan nasional,konseptualisasi model, formulasi model, simulasi model, verifikasi dan validasi model dan terakhir penyusunan skenario kebijakan.
3.1 Identifikasi Sistem Perkakaoan Nasional Sistem yang diamati kali ini adalah sistem perkakaoan nasional. Seluruh pelaku utama sistem dapat ditunjukkan pada gambar 3.1 Big
Picture Mapping. Batasan penelitian dapat
dilihat pada garis merah pada gambar 3.1 tersebut.
4
Gambar 3.1 Big Picture MappingBerdasarkan dari Big Picture Mapping
Perkakaoan Nasioanal yang telah disebutkan diatas maka dapat dilihat bahwa fokus penelitian ini terletak pada beberapa pelaku utama sistem perkakaoan nasional yang antara lain produsen kakao dalam hal ini petani, PTPN, dan swasta, industri kakao olahan nasional dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
3.2 Konseptualisasi Model
Konseptualisasi model diawali dengan mengidentifikasi terlebih dahulu variabel-variabel yang berinteraksi dan saling mempengaruhi didalam sistem perkakaoan nasional. Untuk mempermudah identifikasi dan pemodelan, disusun sebuah diagram
input-output. Selanjutnya dibentuk diagram sebab
akibat atau cause loop diagram serta stock and
flow diagram dari model sistem perkakaoan
nasional
3.2.1 Identifikasi Variable
Tahap awal konseptualisasi model adalah melakukan identifikasi variable yang berpengaruh dalam sistem. Identifikasi variable disini merupakan hasil saduran dari beberapa jurnal sebelumnya baik nasional maupun internasional yaitu antara lain Malaysian Cocoa
Market Modelling: A Combination of
Econometric and System Dynamic Approach
(Munich Personal RePEc Archive), Perbaikan
Budidaya Tanaman Kakao dan Penguatan Kelembagaan Petani di Dataran Menengah Palopo. Prosiding Seminar Nasioanal Pengembagan Inovasi Pertanian Lahan Marginal dan Budisantoso Wirjodirdjo sebagai expert sistem dinamik. Model dibagi kedalam submodel yaitu persediaan kakao nasional, kebun kakao, industry olahan nasional, persediaan kakao dunia, harga kakao, devisa nasional, dan perolehan petani.
3.2.2 Penyusunan Diagram Input-Output Diagram input-output ini disusun dengan tujuan untuk lebih memperjelas identifikasi sistem dalam hal variable apa saja yang merupakan inputan sistem, outputan sistem dan lingkungan sistem sehingga nantinya dapat diketahui inputan yang dapat dikontrol dan yang tidak dapat dikontrol. Begitu pula untuk outputan, dapat diketahui output yang diinginkan dan yang tidak diinginkan sehingga dapat dilakukan kontrol terhadap sistem, dalam hal ini adalah peran pembuat kebijakan. Diagram input-output dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut ini :
Input Tak Terkendali - Kondisi politik dan ekonomi dunia dan dalam negeri - Nilai tukar Rupiah - Inflasi
- Harga Kakao Internasional dan Lokal
- Kualitas Kakao Impor - Demand kakao baik luar maupun dalam negeri
Input Lingkungan - Kebijakan Pemerintahan - Iklim
Input Terkendali
- Luas lahan yang tersedia - Kapasitas produksi - Kualitas kakao - Penggunaan sarana produksi - Bea Ekspor dan Bea Masuk
Output Dikehendaki - Peningkatan produktivitas lahan - Peningkatan jumlah produksi kakao - Peningkatan nilai tambah kakao nasional
- Peningakatan kualitas kakao - Peningakatan kesejahteraan petani kakao
Output Tak Dikehendaki - Produktivitas lahan menurun - Kualitas yang semakin menurun - Tidak ada nilai tambah produk turunan kakao - penurunan kesejahteraan petani kakao
- Penurunan jumlah produksi dan kapasitas produksi SISTEM PERKAKAOAN
NASIONAL
PENGELOLAAN
Gambar 3.2 Diagram Input-Output 3.2.3 Causal-Loop Diagram
Penyusunan causal loop diagram bertujuan untuk menggambarkan interaksi antar elemen dalam sistem perkakaoan nasional. Interaksi ini mempunyai 2 kemungkinan, yaitu interaksi yang positif dan negatif. Hubungan tersebut bisa bersifat positif jika penambahan pada satu variabel akan menyebabkan penambahan pada variabel lain, namun apabila penambahan pada satu variabel akan menyebabkan pengurangan pada variabel lain, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antar kedua vairabel tersebut adalah
5
negatif. Causal-loop diagram ini dapat dilihatpada gambar 3.3 berikut ini.
Gambar 3.3 Causal-loop Diagram 3.3 Formulasi Model
Setelah model konseptual tersusun secara terstruktur, tahap berikutnya adalah formulasi model. Pertama formulasi dilakukan dengan menggambarkan stock and flow diagram. Selanjutnya akan disusun formulasi matematis dalam diagram tersebut.
3.3.1 Stock and Flow Diagram
Pembuatan stock and flow diagram ini berdasarkan causal-loop yang telah disusun sebelumnya. Stock and flow diagram atau diagram alir ini merupakan penjabaran lebih rinci dari sistem yang sebelumnya ditunjukan oleh causal-loop diagram karena pada diagram ini memperhatikan pengaruh waktu terhadap keterkaitan antar variable, sehingga nantinya setiap variable mampu menunjukkan hasil akumulasi untuk variable level, dan variable yang merupakan laju aktivitas sistem tiap periode waktu atau disebut dengan rate.
1) Sub-model Kebun Kakao
Gambar 3.4 Sub-model Kebun Kakao 2) Sub-model Persediaan Kakao Nasional
Gambar 3.5 Sub-model Persediaan Kakao Nasional 3) Sub-model Industri Kakao Nasional
Gambar 3.6 Sub-model Industri Kakao Nasional Market Share Nasional Perolehan Petani Biaya Opersional Produksi Kakao Nasional Luas Lahan Produktifitas Lahan Persediaan Kakao Nasional Ekspor Biji Kakao Persediaan Biji Kakao Dunia Permintaan Kakao Dunia Harga Kakao Dunia Harga Kakao Nasional
Impor Biji Kakao
Permintaan Kakao Dalam Negeri Industri Pengolahan Kakao Persediaan Hasil Olahan Kakao Ekspor Hasil Olahan Kakao Persediaan Olahan Kakao Dunia Harga Olahan Kakao Dunia Harga Olahan Kakao Nasional - + + + + -+ + + + + + + -+ + Permintaan Olahan Kakao Dunia + + Hama PBK Ekstensifikasi + -Teknologi Teknologi Pengolahan Kakao + <Inflasi> + <Inflasi> + Penerimaan Negara Non-Migas Sektor Perkebunan + Intesifikasi Teknologi Pasca Panen+ + + Bibit Pupuk + + Lembaga Penelitian + Pembiayaan Negara Sektor Perkebunan + Penanganan Hama Nasional + -+ + + + + + Kualitas Kakao <Kualitas Kakao>
6
4) Sub-model Persediaan Kakao DuniaGambar 3.7 Sub-model Persediaan Kakao Dunia 5) Sub-model Pendapatan Petani
Gambar 3.8 Sub-model Pendapatan Petani 6) Sub-model Devisa Nasional
Gambar 3.9 Sub-model Devisa Nasional
7) Sub-model Harga Kakao
Gambar 3.10 Sub-model Harga Kakao 3.3.2 Formulasi Matematis
Pada saat pembuatan model diagram stock and
flow diperlukan penyusunan formulasi model
matematis agar ketika dilakukan running model vensim dapat berjalan. Penyususan formulasi model matematis ini dilakukan untuk semua variable yang mana dilakukan peng-input-an data sesuai dengan data yang telah diperoleh sebelumnya. Selain itu peng-input-an data tersebut dapat didasarkan pada judgetmental dari pihak yang berkompeten jika pencarian data tersebut tidak memungkinkan. Berikut ini merupakan salah satu contoh formulasi model matematis yang terdapat pada variable tanaman menghasilkan :
Gambar 3.11 Contoh Formulasi Matematis 3.4 Simulasi Model
Setelah selesei dilakukan formulasi model matematis untuk masing-masing variable, maka model tersebut dapat dilakukan simulasi dengan
vensim. Simulasi ini dimaksudkan untuk melihat
7
Perilaku model yang didapat ini merupakansebuah referensi yang dapat menunjukkan kedinamisan model. Sebelum dilakukan simulasi terhadap model, terlebih dahulu diperlukan pendefinisian satuan waktu yang digunakan selama simulasi, dan untuk simulasi model sistem perkakaoan nasional ini dilakukan dengan
setting waktu satuan tahun.
3.5 Verifikasi dan Validasi Model
Verifikasi model merupakan tahapan untuk memastikan apakah model yang telah dibuat sudah sesua dengan pandangan pembuat model yakni dengan melakukan check model. Selain itu dilakukan check unit untuk memastikan bahwa dimensi satuan dalam model sudah logis. Pengecekan ini dilakuakan pada software vensim yang digunakan oleh pembuat model. Validasi model merupakan pengujian terhadap model untuk melihat apakah model sudah mampu mewakili atau menggambarkan sistem nyata dan sudah benar. Validasi model yang akan digunakan pada pemodelan sistem perkakaoan nasional adalah dengan metode kotak hitam (Black Box) yaitu dengan membandingkan nilai rata-rata dan perbedaan amplitudo variansi antara hasil simulasi dengan kondisi aktual sistem (eksisiting). Validasi juga dapat dilakukan dengan menggunakan software Minitab dengan Paired-t Test untuk two-tailed
test. Tingkat kepercayaan yang digunakan untuk
melakukan uji validasi ini adalah 95%. Validasi meggunakan hipotesis awal (H0) dan hipotesis
tandingan (H1) sebagai berikut :
H0: µd = µ0 (tidak ada perbedaan data)
H1: µd ≠ µ0 (terdapat perbedaan data)
Uji validasi dilakukan untuk variable harga kakao, produktivitas, dan produksi kakao nasional.
3.6 Penyusunan Skenario Kebijakan
Dalam penelitian kali ini terdapat 4 skenario kebijakan yang telah disusun, skenario 1 dan 2 merupakan skenario dari kebijakan yang telah dilaksanakan sedangkan skenario 3 usulan skenario kebijakan di masa mendatang, yaitu :
1) Skenario 1 : penghapusan PPN dan memberikan model pembiayaan insentif fermentasi dan pengembangan Sumber Daya Manusia untuk meningkatkan kualitas kakao
yang mana biaya tersebut berasal dari Bea Ekspor biji kakao.
2) Skenario 2 : menambah model pembiayaan untuk mengatasi pengurang produktivitas kakao yaitu Hama PBK dan Rehabilitasi Tanaman Tua, dan juga untuk meningkatkan faktor peningkatan produktivitas yang antara lain Penggunaan Bibit Unggul, Intensifikasi Pertanian dan Penggunaan Teknologi pertanian. Semua itu dilakukan dalam rangka peningkatan produktivitas lahan kakao yang berasal dari sumber yang sama yaitu Bea Ekspor biji kakao.
3) Skenario 3 : merupakan pengembangan lanjutan dari skenario 2 tetapi dengan melakukan perubahan proporsi pembiyaan sebesar 5%.
4) Skenario 4 : memberikan insentif untuk
merangsang masyarakat dan pihak industri agar lebih mengembangkan industri kakao olahan nasional. Insentif ini diambil dari Bea Ekspor juga seperti skenario sebelumnya.4. Analisis dan Pembahasan
Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, maka kemudian dilakukan analisis mengenai hasil yang diperoleh. Tahap analisis yang dilakukan mencakup analisis mengenai kondisi sistem amatan, konseptualisasi model, hasil simulasi, dan desain skenario.
4.1 Analisis Sistem Perkakaoan Indonesia Komoditas kakao merupakan komoditas terbesar ketiga dalam menyumbang devisa nasional disektor perkebunan nasional setelah karet dan kelapa sawit. Komoditas ini mulai digemari petani Indonesia pada permulaan tahun1980-an sehingga terjadi penanaman besar-besaran tanaman kakao khususnya diwilayah Indonesia timur sehingga sampai sekarang komoditas ini menjadi mata pencaharian utama sekitar 1,2 juta orang petani kakao dan hampir seluruhnya di Kawasan Indonesia Timur. Komoditas ini digemari karena memiliki nilai jual yang tinggi di pasaran internasional baik dalam bentuk biji maupun olahan. Disamping itu, permintaan akan biji kakao dan kakao olahan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Namun, kondisi sistem perkakaoan nasional ini cenderung sangat memprihatinkan. Walaupun
8
tiap tahunnya luas areal lahan senantiasameningkat karena dipengaruhi harga yang terus meningkat yang juga disebabkan oleh konsumsi kakao dunia yang tinggi, tingkat produktivitas lahan yang masih rendah menjadi masalah serius yang dihadapi oleh petani, terutama masalah hama pengerek buah kakao (PBK) yang mengancam eksistensi tanaman kakao nasional. Saat ini produktivitas yang ada dilapangan adalah sebesar 0,6 ton per hektar pertahun. Nilai tersebut masih tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan negara pesaing penghasil kakao seperti Ghana dan Pantai Gading yang sudah bisa mencapai produktivitas 2 ton per hektar pertahun. Indonesia bukan tidak mungkin mencapai produktivitas tersebut asalkan dapat mengatasi permasalahan yang ada. Selain hama, faktor lain yang menjadikan menurunnya nilai produktivitas adalah tanaman kakao nasional yang sudah tua, yakni hampir mencapai umur 20 tahun, sedangkan umur produktif tanaman kakao adalah sekitar umur14-18 tahun. Hal ini juga harus diperhatikan oleh pemerintah dan petani untuk melakukan peremajaan tanaman melalui penggunaan teknologi pertanian, intensifikasi lahan seperti penggunaan pupuk, sehingga nantinya diharapkan dengan adanya peningkatan produktivitas maka akan dapat pula meningkatkan perolehan petani kakao.
Masalah lain yang dihadapi oleh sistem perkakaoan nasional adalah mengenai kualitas biji kakao nasional yang masih tergolong rendah. Kualitas ini ditinjau dari tingkat fermentasi biji kakao sebelum di pasarkan sedangkan kualitas yang rendah ini yang menjadikan nilai jual kakao Indonesia juga rendah karena masih mendapatkan potongan harga dari negara tujuan ekspor. Petani ini masih malas untuk melakukan fermentasi karena disamping tidak ada teknologi dan tingkat sumber daya manusia yang rendah, insentif dari pemerintah untuk setiap kakao fermentasi tidak ada sama sekali, sehingga petani lebih memilih menjual biji langsung tanpa fermentasi dengan tujuan untuk mendapatkan uang secara cepat.
Disamping itu, sebagian besar produk kakao Indonesia yang diekspor adalah dalam bentuk biji, yaitu sebesar 80% dari stok yang ada. Padahal bila dilihat dari harganya, kakao olahan lebih menjanjikan karena hampir 2 kali lipat dari harga biji kakao. Hal ini menjadi potensial bagi
pendapatan devisa nasional, hal ini dikarenakan bahan baku yang sangat melimpah sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai bahan baku olahan kakao dengan harapan ekspor produk kakao olahan semakin meningkat. Sedangkan, dari pemerintah dengan adanya regulasi pajak pertambahan nilai (PPN) untuk produk kakao yang dijual didalam negeri menjadikan petani lebih cenderung untuk menjual dalam bentuk biji kakao ke luar negeri karena tidak dikenakan PPN. Karena itu, pemerintah pada tahun 2010 ini menerapkan Bea Ekspor terhadap kakao yang dijual ke luar negeri yang besarnya sesuai dengan harga internasional yang ada. Tujuannya agar pasokan terhadap industri kakao nasional sudah terjamin. Dalam hal ini, pemerintah sebagai perumus kebijakan berperan penting dalam perkembangan industri kakao olahan dan sistem kakao secara keseluruhan.
4.2 Analisis Big Picture Mapping
Big Picture Mapping dari sistem perkakaoan
nasional ini dapat dilihat pada gambar 4.1 yang menjadi kajian dalam penelitian kali ini. Pada gambar tersebut dapat dilihat dengan jelas gambaran sistem perdagangan kakao mulai dari produsen yaitu petani kakao, swasta dan PTPN yang dalam hal ini merupakan suatu kesatuan produksi, kemudian hasil produksi kakao tersebut didistribusikan melalui pedagang lokal atau didistribusikan oleh pedagang antar pulau yang masih dalam bentuk biji kakao. Kemudian dari pedagang antar pulau ini akan diekspor baik melalui eksportir maupun secara langsung ke konsumen internasional. Disamping itu pula, kakao tersebut dijual ke industri kakao olahan, tetapi jumlahnya masih sedikit, bila dibandingkan dengan jumlah yang diekspor. Hal ini sangat disayangkan karena dengan diolah terlebih dahulu maka kita akan mendapatkan produk dengan nilai tambah bila hanya menjual mentahnya saja. Tetapi industri nasional kakao olahan masih tergantung dari impor kakao, untuk kebutuhan kakao dengan kualitas baik sebagai bahan campuran untuk olahan kakao. Jumlah impor tersebut tidak sedikit karena hampir sepertiga dari kapasitas olahan kakao nasional saat ini. oleh karena itu pemerintah dan asosiasi petani kakao Indonesia (APKAI) dan Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) sangat berperan penting untuk meningkatkan kinerja
9
sistem perkakaoan nasional sehingga dapatberdaya saing tinggi, seperti dengan meningkatkan kualitas kakao petani nasional dan juga segera meningkatkan kapasitas akan pengolahan industri kakao dimasa mendatang. Hal ini dinilai sangat mendesak karena tuntutan jaman yang semakin besar kebutuhan akan kakao sebagai bahan utama pembuatan cokelat. Tentunya hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan yang sesuai dan peran ini adalah peran dari pemerintah sebagai otoritas pembuat kebijakan.
4.3 Analisis Model Konseptual
Dalam input-output diagram ini yang pertama untuk input tak terkendali ini menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kapabilitas sistem perkakaoan nasional, namun sistem sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol nilai dari input tersebut. Pada umumnya input tak terkendali merupakan faktor eksternal sistem. Beberapa variabel yang menjadi input tak terkendali dalam sistem perkakaoan nasional adalah kondisi politik dan ekonomi dalam negeri, inflasi, harga kakao internasional dan juga local, kualitas kakao impor, demand luar negeri dan dalam negeri.
Input terkendali merupakan variabel yang dapat
dikontrol oleh sistem agar dapat menghasilkan
output sesuai apa yang diharapkan. Umumnya input terkendali berupa faktor internal sistem,
sehingga lebih mudah untuk dikontrol. Beberapa variabel yang termasuk dalam kelompok input terkendali yaitu Luas lahan yang tersedia, kualitas kakao, kapasitas, penggunaan sarana produksi, dan bea impor dan ekspor.
Lingkungan merupakan faktor disekitar sistem yang dapat memberikan pengaruh terhadap sistem. Kondisi lingkungan sistem dapat dikontrol oleh sistem, tetapi tidak dapat dikontrol oleh lingkungan itu sendiri. Variabel yang termasuk dalam kelompok lingkungan yaitu kebijakan pemerintah dan iklim.
Input tak terkendali, input terkendali, dan
lingkungan akan menghasilkan output
dikehendaki dan output tak dikehendaki. Output dikehendaki dapat berupa tujuan yang ingin dicapai dengan adanya sejumlah input yang mempengaruhi, misalnya peningkatan produktivitas lahan, peningkatan panen kakao, peningkatan kualitas kakao, serta peningkatan
kesejahteraan petani yang diukur melalui perolehan petani. Sedangkan outuput tak dikehendaki merupakan efek samping yang tidak dapat dihindari, namun dapat menjadi informasi atau masukan untuk mengontrol nilai input dikehendaki seperti penurunan luas lahan, kualitas, perolehan petani, jumlah produksi dan kapasitas produksi.
4.4 Analisis Hasil Simulasi
Analisa dari hasil simulasi merupakan simulasi dari setelah dibangunnya sebuah model. Salah satu cara untuk mempermudah dalam melihat perkembangan dinamika suatu sistem adalah dengan menyajikan hasil simulasi dalam grafik. Setelah dilakukannya running simulasi dari model maka dapat diketahui hasilnya seperti yang akan disajikan berikut ini. Pada gambar 4.2 merupakan gambar grafik harga kakao internasional. Dari gambar tersebut, maka dapat diketahui bahwa harga kakao di pasaran internasional mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif, tetapi dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya. Harga tersebut dipengaruhi oleh Gap atau selisih antara laju produksi sebagai laju supply kakao dan laju konsumsi yang menunjukkan laju konsumsi kakao dunia tiap tahunnya. Semakin meningkatkan selisih keduanya maka akan mengakibatkan semakin meningkatnya harga kakao dunia.
Gambar 4.1 Grafik Harga Kakao
Harga kakao internasional ini juga berpengaruh langsung terhadap harga kakao nasional ditingkat petani, yang juga akan mempengaruhi perolehan petani yang ditunjukkan oleh gambar 5.5. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa perolehan petani juga mengalami fluktuasi
Harga Biji Kakao di Pasaran Internasional
4,000 3,000 2,000 1,000 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
10
sebagai mana harga itu sendiri. Tetapi dalamperolehan petani ini tidak hanya harga yang berpengaruh, terdapat faktor lain yaitu antara lain faktor kualitas, produktivitas lahan dan biaya operasional pertanian itu sendiri. Namun, peningkatan harga internasional berimbas pula pada perolehan petani, hanya nampak pada saat tertentu perolehan petani cukup tinggi. Hal ini dikarenakan harga ditingkat petani mengalami potongan harga karena kualitas dari biji kakao petani Indonesia yang dinilai masih rendah oleh negara tujuan ekspor.
Gambar 4.2 Grafik Perolehan Petani Hasil simulasi berikutnya adalah devisa nasional yang ditunjukkan oleh gambar 4.3 berikut ini. dari gambar tersebut maka dapat dilihat bahwa pendapatan devisa nasional dari komoditas kakao ini mengalami peningkatan dari tahun ke tahunnya. Devisa ini dipengaruhi oleh pendapatan dari ekspor kakao dan ekspor kakao olahan nasional secara keseluruhan tiap tahunnya. Sebenarnya devisa ini memiliki potensi peningkatan yang cukup besar karena kualitas -yang menyebabkan harga kakao nasional mengalami potongan tertentu- belum teratasi dan industi olahan kakao nasional yang dalam pengembangannya belum mendapatkan keseriusan dari pemerintah. Maka dari itu diharapkan dengan diatasinya permasalahan tersebut mengakibatkan devisa nasional dari komoditas kakao semakin besar.
Gambar 4.3 Grafik Devisa Nasional 4.5 Analisis Hasil Skenario
Desain skenario yang telah diterapkan terhadap model existing akan memberikan dampak pada variable tertentu yang merupakan tujuan dilakukan penelitian tersebut. Variable tersebut antara lain, perolehan petani, devisa negara, kualitas, produktivitas, market share dan kapasitas industri olahan kakao.
Pada skenario I, yaitu dilakukan pembiayaan untuk memperbaiki kualitas kakao Indonesia yang mana pasar dunia menilai kualitas kakao kita sangat rendah, yakni berada pada kisaran level 3 dan 4 dari level 1 yang terbaik. Level ini menentukan jumlah potongan harga yang diterapkan terhadap produk kakao ketika terjadi transaksi. Setelah diterapkannya skenario I, maka kualitas kakao Indonesia dalam 10 tahun simulasi telah mampu mencapai level kualitas kisaran 1 dan 2. Hal ini sangat menguntungkan baik bagi pemerintah maupun petani, karena harga kakao yang dikenakan terhadap komoditas kakao tidak mendapatkan potongan yang besar. Sebagai gambaran, untuk level 3 dan level 4, komoditas kakao tersebut dikenakan potongan sebesar 15-30%. Sehingga dapat dipastikan baik pemerintah maupun petani kehilangan hampir sepertiga pendapatan. Perolehan Petani 10 M 7.5 M 5 M 2.5 M 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Perolehan Petani : Eksisting New Rp/Ha
Devisa Nasional Komoditas Kakao Pertahun 4e+013 3e+013 2e+013 1e+013 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
11
Gambar 4.4 Grafik Produktivitas NasionalSkenario III, merupakan pengembangan dari skenario I dan II, yaitu dengan meningkatkan proporsi pembiayaan untuk kedua variable yaitu pembiayaan kualitas dan pembiayaan produktivitas. Peningkatan kualitas maupun peningkatan produktivitas dapat terlihat pada gambar 5.7 dan gambar 5.9 diatas. Pada skenario sebelumnya jika dibandingkan dengan skenario III ini adalah skenario III lebih cepat mencapai hasil yang diharapkan. Untuk kualitas, skenario III lebih cepat mencapai level tertinggi kualitas karena proporsi pembiayaan yang semakin besar. Begitu pula untuk produktivitas, waktu yang diperlukan untuk mencapai produktivitas ideal yaitu mendekati 2 ton perhektar hanya dibutuhkan waktu hampir 3 tahun. Disamping itu perolehan petani juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan, dari yang semula Rp 12 juta tiap tahun menjadi Rp 50 juta tiap tahunnya.
Gambar 4.5 Grafik Perolehan Petani
Skenario III juga menyababkan peranan kakao nasional di pasaran internasional menjadi meningkat. Indonesia pada saat ini merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga didunia
dengan market share 14% dari seluruh produksi yang ada. Maka dengan adanya penerapan skenario III ini, menjadikan market share nasional meningkat menjadi 50% dari seluruh produksi biji kakao yang ada di dunia. Tetapi dengan produksi yang sangat melimpah didalam negeri akan sangat disayangkan bila hanya dijual dalam bentuk bahan mentah, yakni berupa biji saja tanpa adanya nilai tambah.
Gambar 4.6 Grafik Market Share Biji Kakao Untuk mengatasi masalah tersebut maka diberlakukan skenario IV, yakni skenario dengan memberikan insentif imbalan bagi petani yang menual produk kakaonya ke industri dalam negeri. Indikasi berhasilnya penerapan skenario ini dapat dilihat pada meningkatnya kapasitas industri terpasang untuk olahan kakao dan diikuti dengan naiknya ekpor olahan kakao nasional, sehingga market share produk kakao olahan nasional meningkat. Nilai produk olahan tersebut tentunya memiliki nilai yang cukup besar jika dibandingkan produk mentahnya. Maka, devisa nasional dapat bertambah dengan adanya peningkatan nilai tambah produk kakao nasional tersebut, terutama dari produksi olahan kakao.
Gambar 4.7 Grafik Kapasitas Industri Terpasang Produktivitas Lahan Kakao
4 3 2 1 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Produktivitas Lahan Kakao : Skenario 4 Ton/Ha Produktivitas Lahan Kakao : Skenario 3 Ton/Ha Produktivitas Lahan Kakao : Skenario 2 Ton/Ha Produktivitas Lahan Kakao : Skenario 1 Ton/Ha Produktivitas Lahan Kakao : Eksisting New Ton/Ha
Perolehan Petani 60 M 45 M 30 M 15 M 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Perolehan Petani : Skenario 4 Rp/Ha
Perolehan Petani : Skenario 3 Rp/Ha
Perolehan Petani : Skenario 2 Rp/Ha
Perolehan Petani : Skenario 1 Rp/Ha
Perolehan Petani : Eksisting New Rp/Ha
Market Share Biji Kakao Indonesia
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Market Share Biji Kakao Indonesia : Skenario 4 Dmnl Market Share Biji Kakao Indonesia : Skenario 3 Dmnl Market Share Biji Kakao Indonesia : Skenario 2 Dmnl Market Share Biji Kakao Indonesia : Skenario 1 Dmnl Market Share Biji Kakao Indonesia : Eks is ting New Dmnl
Kapasitas Industri Terpasang
600,000 450,000 300,000 150,000 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Kapasitas Industri Terpasang : Skenario 4 Ton Kapasitas Industri Terpasang : Skenario 3 Ton Kapasitas Industri Terpasang : Skenario 2 Ton Kapasitas Industri Terpasang : Skenario 1 Ton Kapasitas Industri Terpasang : Eksisting New Ton
12
Berikut gambar grafik devisa negara darikomoditas kakao baik biji maupun kakao olahan:
Gambar 4.8 Grafik Devisa Nasional 5. Kesimpulan dan Saran
Berikut ini akan disebutkan kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran yang berkaitan dengan penelitian berikutnya.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kebijakan selama ini tentang sistem kakao nasional masih belum efektif, ditinjau dari segi perolehan petani yang masih belum maksimal karena masih terdapat permasalahan seperti kualitas kakao yang buruk, dan produktivitas yang rendah. Peranan produk kakao masih belum maksimal terutama untuk industri kakao olahan, akibat adanya penerapan kebijakan PPN bagi petani.
2. Skenario kebijakan yang efektif dan cukup mampu meningkatkan perolehan petani adalah dengan meningkatkan produktivitas kakao yang antara lain pembiayaan untuk penanganan hama PBK, rehabilitasi tanaman tua, intensifikasi pertanian, penggunaan bibit unggul, teknologi pertanian. Disamping itu pembiayaan perbaikan kualitas kakao yang diantaranya fermentasi biji kakao dan pengembangan SDM juga efektif dalam meningkatkan perolehan petani kakao. Hal ini terbukti
dengan meningkatnya perolehan petani yang mencapai lebih dari 50 juta rupiah. 3. Skenario dengan pembiayaan untuk
meningkatkan produktivitas lahan kakao karena berhasil menangani hama PBK dan rehabilitasi tanaman tua, disamping intensifikasi, penggunaan teknologi pertanian dan bibit unggul, maka kemampuan produktivitas nasional mencapai hampir 2 ton perhektar/tahun dan berhasil meningkatkan jumlah produksi kakao, sehingga Indonesia mampu memenuhi 50% kebutuhan dunia dalam perananannya diperdagangan komoditas kakao dunia.
4. Skenario dengan pembiayaan insentif bagi petani yang menjual produksi kakaonya ke industri dalam negeri mampu meningkatkan kapasitas terpasang pabrik pengolahan kakao dan ekspor kakao olahan menjadi 600 ribu ton pertahun. Dengan demikian Indonesia mampu meningkatkan nilai tambah produk kakao 3 kali lipat dalam 10 tahun ke depan. Sedangkan, olahan kakao nasional mendapatkan market
share sebesar 12% dari keseluruhan total
produksi dunia. 5.2 Saran
Adapun saran yang dapat diajukan untuk penelitian berikutnya antara lain :
1. Pada penelitian perkakaoan selanjutnya hendaknya dalam rangka peningkatan kapasitas industri hendaknya dilakukan perhitungan investasi, balik modal dan pembiayaan lainnya.
2. Pada penelitian berikutnya diharapkan adanya kajian mengenai efektifitas rantai pasok sistem perkakaoan nasional saat ini. 3. Pada penelitian berikutnya hendaknya
memperhatikan faktor lingkungan sebagai tambahan fokus penelitian karena kedepannya isu tersebut semakin mendesak.
6. Daftar Pustaka
Applainadu, Shri Dewi, Mohammed Arshad, Fatimah, Abdel Hameed, Amna Awad, Hasanov, Akram, Idris, Nurjihan Abdullah, Amir Mahin dan Syamsudin, Mad Nahir, 2009. Malaysian Cocoa Market
Devisa Nasional Komoditas Kakao Pertahun
2e+014 1.5e+014 1e+014 5e+013 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Time (Year)
Devis a Nas ional Komoditas Kakao Pertahun : Skenario 4 Rp Devis a Nas ional Komoditas Kakao Pertahun : Skenario 3 Rp Devis a Nas ional Komoditas Kakao Pertahun : Skenario 2 Rp Devis a Nas ional Komoditas Kakao Pertahun : Skenario 1 Rp Devis a Nas ional Komoditas Kakao Pertahun : Eksisting New Rp
13
Modelling: A Combination of Econometric and System Dynamic Approach. MPRA
(Munich Personal RePEc Archive) Paper No. 19569.
Cloutier, L. Martin. 2001. The Maple Sap
Product in Quebec : An Economic and Production System Dynamic Model.
Darmono, Raden. 2005. Pemodelan Sistem Dinamic pada Perencanaan Penataan Ruang Kota.
Fleming, Euan and Mary Milne. 2002.
Bioeconomic Modelling of The Production and Export of Cocoa for Price Policy analysis in Papua New Guinea. Elsevier
Journal Agricultural Systems 76 (2003) 483–505.
Forrester, Jay W & Senge, Peter M, Test for
Building Confidence in System Dynamics Model, in TIMS Studies in Management
Science 14 (209-228), North-Holland Publishing, 1980
Gotsch, N. and R. Herrman. 2000. Assessing the
expected welfare e€ects of
biotechnological change on perennial
crops under varying economic
environments: a dynamic model for cocoa in Malaysia. Agricultural Systems 63
(2000) 211-228.
Hutahean, Lintje, Conny N. Manopo, dan Syamsul Bachri. 2005. Perbaikan Budidaya Tanaman Kakao dan Penguatan Kelembagaan Petani di Dataran Menengah Palopo. Prosiding Seminar Nasioanal Pengembagan Inovasi Pertanian Lahan Marginal.
Novitasari, Ratna. 2009. Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional Meningkatkan Pendapatan Petani Tebu : Sebuah Penghampiran SIstem Dinamik. Surabaya. Laporan Tugas Akhir Jurusan Teknik Industri ITS
Nurasa, Tjetjep dan Chairul Muslim. Perkembangan kakao Indonesia dan dampak eskalasi tarif dipasaran dunia: kasus Kabupaten Kolaka ,Provinsi Sulawesi Selatan
Osorio, Felipe Abunza. 2009. A system dynamics
model for the world coffee market.
Pudji, Anugrah. 2003. Penentuan Kebijakan Produksi Padi Untuk Pemenuhan Kecukupan Pangan di Kabupaten Mojokerto. Surabaya. Thesis Jurusan Teknik Industri ITS.
Suryani, Erma. 2001. Skenario Kebijakan Pengembangan Pergaraman Nasional: Suatu Penghampiran Model Sistem Dinamik. Surabaya. Laporan Thesis Jurusan Teknik Industri ITS.
Tim Penulis Departemen Pertanian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Kakao.
Tim Tanaman Perkebunan Besar. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kakao di Indonesia. Badan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Wibisono, Riki.2002. Analisa Kebijakan Industri Gula Nasional dengan Menggunakan Sistem Dinamik. Surabaya. Laporan Thesis Jurusan Teknik Industri ITS. Zulfebriansyah, Dinie Suryani. 2007. Komoditas
Kakao: Potret Peluang dan Pembiayaan.