• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dan Bali merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dan Bali merupakan"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dan Bali merupakan salah satu sentra bisnis di Indonesia. Banyak industri dan bisnis fashion yang didirikan di Bali salah satunya berupa pusat perbelanjaan. Pusat perbelanjaan bukan lagi tempat untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari seperti pada awal berdiri. Perkembangan industri pakaian diikuti dengan meningkatnya jumlah pusat perbelanjaan yang menjual produk fashion mengalami perkembangan pesat selama beberapa dekade terakhir.

Mal Bali Galeria, Tiara Dewata, Discovery Shopping Mall, Matahari Duta Plaza, Carefour Express Kuta, Matahari Kuta Square, Denpasar Junction dan Ramayana Robinson Mall merupakan beberapa pusat perbelanjaan di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung (www.e-kuta.com). Lokasinya yang mudah dijangkau dari Kota Denpasar dan Kabupaten Badung merupakan tempat untuk melakukan beragam aktivitas santai, bermain, menikmati makanan ringan maupun makanan berat dan yang pasti tempat belanja segala kebutuhan dan keinginan keluarga yang mempunyai gaya hidup modern menjadikan pusat perbelanjaan ramai dikunjungi. Sebagian besar pusat perbelanjaan ini menawarkan konsep one stop shopping di bawah satu atap membuat konsumen yang awalnya hanya ingin berekreasi atau menonton di bioskop atau sebelumnya hanya untuk melihat-lihat (window shopping) pada akhirnya terdorong untuk berbelanja produk fashion.

(2)

Menurut O’Cass (2004) dewasa ini kebutuhan manusia akan pakaian telah bergeser, mereka membeli pakaian yang tidak hanya berdasarkan pada kebutuhan semata dengan model yang biasa, namun bergeser pada mode yang terjadi pada masyarakat. Selain sebagai kebutuhan, orientasi konsumen pada pakaian adalah untuk menunjang penampilan atau sebagai identitas diri serta yang berhubungan dengan gaya hidup yang disebut sebagai fashion. Produk fashion yang dimaksud disini merupakan bentuk identifikasi segmen gaya hidup dalam berbusana, seperti pakaian pesta, pakaian kantor, kaos, celana, rok, baju, dan lain sebagainya (Gutman dan Mills, 1982 dalam Park dan Burns, 2005).

Melakukan pembelian bukan merupakan hal yang baru, namun sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan masing-masing individu memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam hal pembelian. Tiap-tiap individu dapat memilih berbagai macam keputusan pembeliannya. Hampir setiap orang dihadapkan pada suatu pilihan untuk menentukan pengambilan keputusan pembelian. Keputusan pembelian biasanya dibuat melalui suatu proses dari pengenalan kebutuhan hingga evaluasi setelah pembelian. Sebelum melakukan pembelian suatu produk biasanya konsumen selalu merencanakan terlebih dahulu tentang barang apa yang akan dibelinya, jumlah, anggaran, tempat pembelian, dan lain sebagainya. Namun, ada kalanya proses pembelian yang dilakukan oleh konsumen timbul begitu saja saat melihat suatu barang atau jasa, karena ketertarikannya, selanjutnya konsumen melakukan pembelian pada barang atau jasa yang bersangkutan. Tipe pembelian tersebut dinamakan tipe pembelian yang tanpa direncanakan atau pembelian impulsif.

(3)

Dewasa ini, perilaku pembelian semakin komplek dimana seringkali konsumen membeli produk tidak sebagai rutinitas melainkan sebagai pembelian berdasarkan situasi yang terjadi pada saat itu. Keputusan di bidang pemasaran dimulai dengan menganalisa perilaku pembelian dalam situasi yang tepat, sehingga dapat mempengaruhi kesediaan konsumen untuk membeli barang dan jasa yang ditawarkan, dengan kata lain bahwa faktor situasi dapat mempengaruhi pembelian konsumen terhadap kategori produk tertentu (Anic dan Radas, 2006 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Keinginan membeli suatu produk dapat datang secara tiba-tiba karena berbagai alasan situasional (Sutisna, 2001: 156).

Terdapat lima karakteristik pengaruh situasional yang dapat mempengaruhi perilaku pembelian konsumen, yaitu: pertama, lingkungan fisik (physical surrounding) merupakan fitur situasi yang paling terlihat. Lingkungan fisik ini meliputi lokasi, dekorasi, suara, aroma, pencahayaan, cuaca, serta konfigurasi barang dagangan atau material lain yang berada di sekeliling rangsangan produk. Kedua, lingkungan sosial (social surrounding) merupakan individu yang hadir selama proses konsumsi, yang meliputi faktor-faktor seperti: kehadiran orang lain, karakteristik orang-orang yang hadir pada situasi tersebut, peranan nyata orang-orang yang hadir, dan interaksi interpersonal. Ketiga, pespektif waktu (temporal perspective) merupakan dimensi situasi yang dapat dispesifikasikan kedalam unit waktu dari situasi, misal kejadian tertentu ketika perilaku pembelian terjadi (hari, bulan, musim). Waktu juga dapat diukur secara relatif pada kejadian di masa lalu atau di masa mendatang, misal waktu ketika pembelian terakhir. Keempat, definisi tugas (task definition) merupakan alasan

(4)

mengapa aktivitas konsumsi oleh konsumen berlangsung, dan dapat dikatakan sebagai tujuan atau sasaran yang dimiliki konsumen dalam situasi tertentu. Dengan kata lain. dapat juga dikatakan bahwa hal ini merupakan maksud atau prasyarat untuk memilih, berbelanja atau mendapatkan informasi mengenai pembelian umum atau spesifik. Kelima, pernyataan anteseden (antecendent state) merupakan perasaan (mood) sementara, seperti rasa cemas atau gembira atau kondisi yang dibawa konsumen ke dalam situasi, seperti kondisi pada saat memegang uang tunai (Belk, 1975 dalam Mihic dan Kursan, 2010). Situasi dalam toko yang menarik diharapkan dapat merangsang perilaku pembelian, khususnya yang mengarah pada situasi pembelian impulsif (Abratt dan Goodey, 1990 dalam Jalan, 2006).

Pembelian impulsif merupakan bagian dari pola pembelian konsumen dimana keputusan pembelian dilakukan pada saat berada didalam toko dan pada saat itu konsumen mengalami perasaan tiba-tiba, merasakan perasaan yang sangat kuat dan berkeras hati terhadap dorongan emosional untuk membeli sesuatu dengan segera (Belk, 1995 dalam Dittmar, 2005). Perilaku pembelian impulsif yang dilakukan secara berulang menyebabkan orang berperilaku kompulsif. Pembelian kompulsif merupakan proses pengulangan yang sering berlebihan dalam berbelanja yang dikarenakan oleh rasa ketagihan, tertekan, atau rasa bosan (Solomon, 2002 dalam Shoham dan Brencic, 2003).

Perilaku pembelian kompulsif merupakan salah satu bagian dari konsumsi kompulsif yang merupakan sisi negatif dari sebuah perilaku konsumsi (Mowen dan Minor, 2002: 130). Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa

(5)

ketagihan, dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain. Perilaku berbelanja yang tidak terkontrol, berjudi, merokok, kecanduan narkoba, dan pecandu alkohol merupakan beberapa contoh dari konsumsi kompulsif (Schiffman dan Kanuk, 2007: 119).

Pembeli kompulsif adalah konsumen yang keranjingan belanja atau cenderung suka membelanjakan uang untuk membeli barang meskipun barang tersebut tidak mereka butuhkan. Untuk beberapa pelaku kompulsif, uang dan harta benda telah menggantikan keberadaan teman, keluarga bahkan “tempat ibadah”. Pusat perbelanjaan telah menjadi pengganti “tempat ibadah” dan berbelanja menjadi “ritualnya” (Boundy, 2000 dalam Yang, 2006).

Hasil penelitian Koran, dkk., (2006) terhadap 2.500 orang responden mempertegas bahwa fenomena pembelian kompulsif sudah sedemikian parah terjadi pada masyarakat baik pada kaum wanita maupun kaum pria bahkan pembelian kompulsif akan menyebabkan penderitaan psikologis dan dampak serius pada kehidupan individu seperti berhutang (Dittmar, 2005). Pembelian kompulsif terjadi karena ketegangan psikologi yang menyebabkan meningkatnya keinginan seseorang untuk melakukan pembelian saat itu juga (Roberts dan Pirog III, 2004).

Kecenderungan pembelian kompulsif mengalami peningkatan selama sepuluh tahun terakhir (Neuner, dkk., 2005 dalam Xu, 2008). Peningkatan perilaku pembelian kompulsif dipicu oleh peranan materialisme (Dittmar, 2005).

(6)

Materialisme merupakan tingkat dimana seseorang dianggap “materialistis” (Schiffman dan Kanuk, 2007: 117). Konsumen dengan nilai materialisme yang tinggi menyakini bahwa pendapatan dan benda materi sangatlah penting untuk hidup mereka yang selanjutnya menjadi sebuah indikator dari kesuksesan dan diperlukan untuk mencapai kepuasan dalam hidup bahkan tingkat konsumsi yang tinggi akan membuat mereka merasa lebih bahagia.

Konsumen yang materialistis menganggap kepemilikan barang dan materi sebagai pusat dari kehidupan mereka, menilai kesuksesan sebagai kualitas harta seseorang dan melihat harta sebagai bagian yang penting dalam mencapai kebahagian dan kesejahteraan dalam hidup (Fitzmaurice, 2008). Seseorang yang materialistis cenderung untuk menganggap berbelanja sebagai tujuan hidup utama sama halnya dengan mencapai kebahagian dan kepuasan dalam hidup (Xu, 2008). Seseorang yang materalistis sangatlah tertarik pada produk pakaian sehingga seseorang dengan materialisme tinggi cenderung akan melakukan pembelian kompulsif yang tinggi pada produk fashion (Browne dan Kaldenberg, 1997; Yurchisin dan Johnson, 2004 dalam O’Cass, 2004).

Hal tersebut juga sependapat dengan penelitian yang dilakukan oleh Krugger (1998 dalam Park dan Burn, 2005) yang menyatakan bahwa orang yang berperilaku kompulsif cenderung untuk sangat peduli akan penampilannya dan selalu terlibat dalam pencaharian sesuatu yang tanpa henti terutama terkait dengan pakaian. Kecenderungan seseorang untuk memiliki penampilan yang menarik menyebabkan orang tersebut sering melakukan pembelian tanpa direncanakan untuk produk fashion. Hal ini diperparah lagi saat seseorang secara finansial

(7)

memiliki kemampuan untuk membeli produk tersebut. Salah satu indikasi kemampuan finansial adalah kepemilikan kartu kredit. Kartu kredit memberikan fasilitas kepada konsumen untuk mempermudah proses pembelian baik yang direncanakan maupun pembelian impulsif pada berbagai produk termasuk produk fashion. Selain itu, kartu kredit juga memberikan kemudahan bagi konsumen karena konsumen dapat mencicil tagihan yang dibebankan kepada konsumen dan juga memberikan jangka waktu yang lebih panjang bagi konsumen untuk membayar tagihan kartu kreditnya. Kartu kredit bahkan telah menjadi alat pembayaran barang dan jasa yang diterima secara luas dan sangat nyaman untuk digunakan dan menjadi alat transaksi yang patut dimiliki oleh semua orang bahkan pengguna kartu kredit bisa membelanjakan uang masa depannya hari ini juga (Lie, dkk., 2010). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku belanja kompulsif pada produk fashion akan menjadi lebih tinggi apabila difasilitasi oleh kepemilikan kartu kredit.

Penelitian yang dilakukan oleh Park dan Burns (2005) menemukan bahwa penggunaan kartu kredit oleh masyarakat Korea dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang dramatis. Bahkan pada akhir tahun 2002, terdapat lebih dari 100 juta kartu kredit dikeluarkan oleh perusahaan penerbit kartu kredit karena konsumen lebih memilih membayar menggunakan kartu kredit (Kim, 2002 dalam Park dan Burns, 2005).

Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia. Peningkatan jumlah peredaran kartu kredit ternyata diiringi dengan peningkatan transaksi dengan kartu kredit, seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 1 (www.bi.go.id). Di Jakarta berdasarkan

(8)

pengamatan perilaku belanja pengguna kartu kredit sebuah bank, 57 persen transaksi disumbangkan dari pembelanjaan pakaian (fashion), sepatu, dan aksesori. Data pada tahun 2009 ini menunjukkan belanja kartu kredit untuk fashion menduduki ranking pertama, diikuti oleh makanan dan minuman, peralatan elektronik, dan sisa porsi lainnya diberikan untuk produk-produk yang sifatnya jarang digunakan (www.female.kompas.com).

Menurut Santosa (2009: 5) kehadiran mesin merchant kartu kredit (Electonic Data Capture) di pusat perbelanjaaan menjadikan kartu kredit sebagai media pembayaran yang lazim digunakan dan disinilah konsumen yang memiliki ciri konsumsi kompulsif seringkali menggunakan kartu kredit dalam melakukan pembelian karena konsumen memiliki alternatif pembayaran selain tunai dan kartu debit (Sunarto, 2003: 186). Pengetahuan tentang perilaku pembelian konsumen sangat penting dalam praktek pemasaran. Keputusan pemasaran yang sukses oleh organisasi bisnis memerlukan pemahaman tentang perilaku pembelian konsumen.

Penelitian ini menguji pengaruh faktor situasional pusat perbelanjaan dan materialisme konsumen terhadap perilaku pembelian kompulsif produk fashion dengan penggunaan kartu kredit sebagai pemoderasi. Pentingnya kajian ini karena dapat menggambarkan fenomena yang sering terjadi di masyarakat. Di satu sisi dampak positif dari perilaku pembelian kompulsif dalam jangka pendek adalah kepuasan yang langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Compulsive buyers tidak melakukan pembelian semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu produk tertentu, melainkan lebih kepada hasrat untuk

(9)

mencapai kepuasan melalui proses pembelian itu sendiri, disisi lainnya perilaku pembelian kompulsif merupakan suatu perilaku abnormal dan sebuah aspek negatif dari perilaku konsumen karena perilaku ini menyebabkan terjadinya peningkatan hutang kartu kredit dan rendahnya dana yang bisa ditabung, dan dari sisi pemasar, perilaku kompulsif merupakan aspek yang dapat meningkatkan penjualan (Faber dan O’Guinn, 1992 dalam Shoham dan Brencic, 2003; Schiffman dan Kanuk, 2007: 130, dan Kinney, 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian yaitu :

1) Apakah faktor situasional berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif?

2) Apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif?

3) Apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

(10)

1) Untuk mengetahui apakah faktor situasional berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif

2) Untuk mengetahui apakah materialisme berpengaruh terhadap perilaku pembelian kompulsif

3) Untuk mengetahui apakah penggunaan kartu kredit berperan signifikan sebagai variabel pemoderasi dalam hubungan antara materialisme dengan perilaku pembelian kompulsif

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, antara lain:

1) Manfaat Teoritis

Melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan studi empiris yang lebih kaya khususnya mengenai faktor situasional pusat perbelanjaan, materialisme dan perilaku pembelian kompulsif para pengguna kartu kredit terhadap pembelian produk fashion.

2) Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada pihak pemasar produk fashion, para manager pusat-pusat perbelanjaan maupun perusahaan penerbit kartu kredit untuk menerapkan strategi-strategi perusahaan agar tepat sasaran dan memberikan perlakuan khusus kepada para pengguna kartu kredit dalam hal melakukan pembelian produk fashion.

Referensi

Dokumen terkait

mengembangkan aspek fisik, keseimbangan antara bermain aktif dan pasif, tidak berbahaya, memiliki nilai kebaikan, memiliki aturan dan tujuan yang jelas [14]. Jumlah

Berbeda dari tiga tesis pembanding tersebut diatas, pada penelitian yang dilakukan oleh penulis akan membahas mengenai optimalisasi pelaksanaan tugas pokok dan

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (Berita Negara Republik

Untuk pengawasan dan pembinaan dari pemerintah terhadap kegiatan usaha pertambangan di wilayah masyarakat hukum adat, perlu penggembangan instrumen- instrumen

Menendang bola merupakan suatu usaha untuk memindahkan bola dari seuatu tempat ke tempat lain menggunakan kaki atau menggunakan bagian kaki. Menendang bola

Sutarwi, Pujiasmanto B, Supriyadi 2013, Pengaruh Dosis Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Kacang Tanah (Arachis Hypogaea (L.) Merr)

Salah satu argumentasi penafsiran ayat ba„ud}atan fama> fawqaha>, menurut al-Ra>ziy dalam kitabnya Mafa>tih} al-Ghayb, adalah berdasarkan sebab turunnya ayat

Jenis penelitian adalah operational research untuk mengetahui nilai pemakaian dan investasi obat, mengetahui jumlah pemesanan optimum dan waktu pemesanan kembali