• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pedagang Daging"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Pedagang Daging

Sampel daging sapi dan ayam diperoleh dari pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Sebagian besar pedagang daging sapi (54.2%) dan daging ayam (63.9%) berjenis kelamin laki-laki. Pedagang daging sapi yang telah menempuh pendidikan tingkat SMU sebanyak 45.8% dan pedagang daging ayam sebanyak 38.9%. Hampir semua (91.7%) pedagang sapi dan hampir tiga per empat (72.2%) pedagang ayam memiliki pengalaman dalam menangani daging lebih dari 5 tahun.

Para pedagang daging ayam dan daging sapi umumnya telah mendapatkan penyuluhan dari pemerintah daerah maupun institusi pendidikan tentang cara penanganan daging yang baik. Sebagian besar (83.3%) pedagang daging sapi dan lebih dari setengah (55.6%) pedagang daging ayam di Provinsi Jawa Barat sudah mendapat penyuluhan tentang penanganan daging. Rata-rata daging habis terjual 1-2 hari. Sebanyak 91.7% pedagang daging sapi dan 72.2% pedagang daging ayam dapat menghabiskan dagangan dagingnya selama satu hari. Hampir semua (83.33%) pedagang daging sapi dan sekitar tiga per empat (72.22%) pedagang daging ayam menyimpan daging yang tidak terjual dengan pendinginan. Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 10.

Brands (2006) mengatakan bahwa pendidikan merupakan cara yang terbaik untuk mencegah terjadinya pencemaran pada makanan. Menurut Norhana et al. (2010), penyimpanan daging dibawah suhu minimum (5.2 ºC) dapat menghambat pertumbuhan Salmonella. Keahlian dan kemampuan operator dalam melakukan penyemblihan secara higienis juga dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas oleh mikroorganisme patogen (Nesbakken 2009). Dinas yang membidangi kesehatan masyarakat harus mengetahui seberapa besar tingkat kejadian salmonellosis. Banyak kasus salmonellosis terjadi akibat pencemaran Salmonella pada makanan yang harus menjadi perhatian oleh dinas kesehatan (Brands 2006).

(2)

Tabel 10 Karakteristik pedagang daging di pasar-pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat

Karakteristik pedagang daging Persentase pedagang daging sapi (n=24)

Persentase pedagang daging ayam (n=36) Jenis kelamin pedagang

Laki-laki 54.2 63.9 Perempuan 45.8 36.1 Pendidikan pedagang Tidak sekolah 0 0 Tidak lulus SD 8.3 0 SD sederajat 12.5 36.1 SMP sederajat 33.3 25 SMU sederajat 45.8 38.9 PT sederajat 0 0 Pengalaman usaha

Kurang dari 1 tahun 0 11.1

1-3 tahun 0 11.1

3-5 tahun 8.3 5.6

Lebih dari 5 tahun 91.7 72.2

Lama rata-rata daging di tempat penjualan

1 hari 91.7 88.9

2 hari 83.3 11.1

Cara penanganan daging

Disimpan dalam pendingin 83.3 72.2 Disimpan pada tempat tanpa

pendingin

16.7 27.8

Ada atau tidaknya penyuluhan

Ada 83.3 55.6

(3)

Keberadaan Salmonella pada Daging

Berdasarkan hasil pengujian laboratorium terhadap Salmonella, jumlah sampel daging sapi yang positif Salmonella sebanyak 13 sampel dari 24 sampel (54.2%), sedangkan sampel daging ayam yang positif sebanyak 24 sampel dari 36 sampel (66.7%). Cemaran Salmonella lebih banyak ditemukan pada daging ayam dibandingkan dengan daging sapi. Sampel daging sapi yang berasal dari Kota Bogor, Kota Bandung, dan Kabupaten Tasikmalaya tidak ditemukan Salmonella, sedangkan sampel daging ayam dari Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sumedang tidak ditemukan Salmonella. Hasil pengujian Salmonella pada daging sapi dan daging ayam yang dijual di pasar-pasar di 12 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Keberadaan Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di 12 kabupaten/kota/di Provinsi Jawa Barat

No Kabupaten/Kota Positif Salmonella

Daging Sapi Daging Ayam

1. Kota Bekasi 2/2 (100%) 2/3 (66.7%) 2. Kabupaten Purwakarta 1/2 (50%) 1/3 (33.3%) 3. Kabupaten Bogor 2/2 (100%) 3/3 (100%) 4. Kota Bogor 0/2 (0%) 3/3 (100%) 5. Kota Sukabumi 2/2 (100%) 2/3 (66.7%) 6. Kabupaten Bandung 1/2 (50%) 2/3 (66.7%) 7. Kota Bandung 0/2 (0%) 3/3 (100%) 8. Kabupaten Cianjur 1/2 (50%) 0/3 (0%) 9. Kabupaten Sumedang 1/2 (50%) 0/3 (0%) 10. KabupatenTasikmalaya 0/2 (0%) 3/3 (100%) 11. Kota Cirebon 1/2 (50%) 3/3 (100%) 12. Kabupaten Indramayu 2/2 (100%) 2/3 (66.7%) Jumlah 13/24 (54.2%) 24/36 (66.7%)

Salmonella adalah bakteri patogen Gram negatif yang dapat diisolasi dari tanah, air, makanan, dan saluran pencernaan dari manusia dan hewan (Anderson & Ziprin 2001). Hewan yang mengandung (terinfeksi) Salmonella sering tidak

(4)

menunjukkan gejala klinis (bersifat subklinis) sehingga bakteri ini cenderung menyebar dengan mudah di antara flok atau kumpulan ternak. Selain itu, hewan dapat menjadi pembawa penyakit (carrier) yang persisten, sehingga prevalensi kejadian Salmonella tidak mudah dideteksi, kecuali melalui pengambilan dan pemeriksaan sampel yang rutin (Namata et al. 2009). Oleh sebab itu, hewan sehat dapat berperan sebagai carrier dalam menularkan Salmonella ke hewan normal (Abouzeed et al. 2000) dan saat menunggu giliran untuk dipotong (Lawrie & Ledward 2006).

Feedmills juga dilaporkan sebagai sumber infeksi yang potensial terhadap pencemaran Salmonella pada daging (Arsenault et al. 2007). Lewerin et al. (2005) melaporkan bahwa pada tahun 1997 S. Yoruba ditemukan pada kedelai yang digunakan sebagai bahan pembuatan pakan babi dan unggas. Hal ini dikarenakan S. Yoruba memiliki ketahanan terhadap pemanasan tinggi selama proses pengolahan kedelai menjadi pelet. Humphrey (2006) juga mengemukakan bahwa jalur infeksi atau cemaran Salmonella enterica terpenting pada unggas adalah di pembibitan, yang mana infeksi diturunkan secara vertikal ke dalam telur tetas. Sumber lain infeksi Salmonella pada unggas adalah pakan yang tercemar, rodensia, cacing, dan hewan liar lain.

Pencemaran Salmonella pada daging yang paling sering biasanya terjadi selama proses pemotongan hewan (Hanes 2003; Goncagül et al. 2005; Stevens et al. 2006; Stevens et al 2006; Cortez et al. 2006). Penelitian Cortez et al. (2006) dan Nógrády et al. (2008) menunjukkan bahwa pencemaran daging ayam di rumah potong terjadi melalui feses, bulu, air panas rendaman sebelum pencabutan bulu (scalding water), air eviserasi, air pendingin (chiller water), dan air bilasan karkas. Lebih lanjut Humphrey (2006) menyatakan bahwa pencemaran Salmonella pada karkas/daging unggas sering terjadi saat proses pemotongan, terutama saat eviserasi (pengeluaran isi jeroan), serta pada saat pencelupan dalam air hangat (soft scalding).

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pencemaran Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di Jawa Barat relatif lebih tinggi dari pada penelitian Minami et al. (2010) tentang cemaran Salmonella pada daging sapi dan daging ayam di pasar tradisional di Thailand (0% pada daging sapi dan 48% pada daging

(5)

ayam). Dalam penelitian didapatkan bahwa tingkat pencemaran Salmonella pada daging ayam lebih tinggi daripada daging sapi. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian Minami et al. (2010) di Thailand (0% pada daging sapi dan 48% pada daging ayam) dan Dallal et al. (2010) di Iran (20% pada daging sapi dan 45% pada daging ayam).

Unggas merupakan sumber penting bagi Salmonella dan sering menjadi sumber pencemaran terhadap daging (Hamphrey 2006). Kasus Salmonella pada unggas sering ditemukan di banyak negara (Capita et al. 2003). Unggas dikenal sebagai sumber penting infeksi Salmonella pada manusia, karena unggas dipelihara secara intensif dan diproses dalam skala besar dalam rangka penyediaan daging yang murah (Corry et al. 2002). Bhunia (2008) juga berpendapat bahwa pemeliharaan dengan kepadatan tinggi di peternakan mempermudah penyebaran Salmonella antar unggas dalam satu flok. Dalam beberapa tahun terakhir perhatian difokuskan kepada penentuan prevalensi Salmonella dalam tahapan pada rantai produksi unggas (Huong et al. 2006).

Manusia dapat terinfeksi Salmonella melalui kontak dengan sesama manusia, hewan, dan makanan yang terkontaminasi (Bell & Kyriakides 2002). Menurut Vindigni et al. (2007) yang dikutip Dallal et al. (2010), daging unggas dan daging merah (red meat) yang mentah atau tidak dimasak sempurna merupakan media utama yang penting dalam penularan penyakit. Hal ini didukung oleh pernyataan Minami et al. (2010) yang mengatakan bahwa keberadaan bakteri patogen di makanan mentah dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi silang dan berkonsekuensi terhadap kesehatan masyarakat.

Salmonella menyebabkan tiga bentuk penyakit yaitu demam tifoid, gastroenteritis, dan bakterimia (Bhunia 2008; Bell & Kyriakides 2002). S. enterica serovar Typhimurium dan serovar Enteritidis merupakan serovar yang paling sering menyebabkan infeksi pada manusia (Bhunia 2008). Goncagül et al. (2005) menambahkan bahwa infeksi Salmonella juga dapat menyebabkan artritis dan osteomielitis.

Orang yang terkena salmonelosis biasanya ditandai dengan panas, diare, nyeri abdominal, dan mual. Gejala yang ditimbulkan biasanya tidak terlihat, akan tetapi infeksi tersebut dapat menimbulkan dehidrasi yang sangat hebat sampai

(6)

dengan kematian (Nǿrrung et al. 2009). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Humphrey (2006) bahwa Salmonella enterica dapat menyebabkan penyakit yang serius yang tidak tertolong. Penyakit ini lebih parah terjadi pada orang tua, anak-anak dan orang yang menderita gangguan imunitas. Gejala klinis umum yang tampak adalah diare (87% kasus), nyeri abdominal (84%), demam (75%), nausea dan nyeri otot (65%). Sekitar seperempat kasus menunjukkan muntah dan sakit kepala. Masa inkubasi salmonelosis ini antara 12 sampai 72 jam, namun pernah dilaporkan lebih dari masa tersebut. Pada beberapa wabah salmonelosis dilaporkan masa inkubasinya lebih singkat yaitu 2.5 jam.

Foodborne disease yang disebabkan oleh non-typhoid Salmonella merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di seluruh dunia (Yang et al. 2010) dan paling sering bersumber dari hewan (Vo et al. 2006). Selanjutnya Nógrády et al. (2008) menyatakan bahwa salmonelosis merupakan salah satu penyakit enterik yang disebabkan oleh bakteri terpenting yang menyebabkan jutaan kasus penyakit pada manusia dan hewan, serta menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan di seluruh dunia. Menurut Keene (2006), kerugian ekonomis itu terkait dengan penyediaan dana perawatan sakit bagi individu dan keluarga serta pengurangan produktivitas kerja.

Untuk mengendalikan risiko pada kesehatan manusia, maka sangat penting melaksanakan pengendalian di tingkat peternakan untuk mengurangi pencemaran silang yang dapat terjadi di sepanjang rantai makanan (Namata et al. 2009). Pernyataan ini didukung oleh Adeline et al. (2009) yang menerangkan pentingnya menerapkan biosafety, selalu menjaga kebersihan kandang, melakukan desinfeksi lantai dan udara, dan memakai sepatu yang khusus untuk masuk ke dalam kandang.

Pendidikan pada konsumen dan pekerja makanan tentang bahaya pemasakan yang tidak sempurna sangat penting (Ogata et al. 2009). Pernyataan tersebut didukung oleh pendapat Brands (2005) dan Bhunia (2008), yang menyatakan bahwa pencegahan terhadap Salmonella meliputi penanganan makanan yang benar, pencegahan pencemaran silang (cross contamination), penerapan higiene personal, dan pendidikan masyarakat tentang sumber Salmonella dan penanganan makanan yang aman serta sanitasi yang memadai. Pemasakan yang memadai

(7)

dengan suhu pasteurisasi minimum 71.7 °C selama 15 detik diikuti dengan pendinginan segera pada suhu 3-4 °C atau pembekuan dalam waktu 2 jam dapat mengeliminasi Salmonella dari makanan (Bhunia 2008).

Menurut Nesbakken (2009), kemampuan operator di rumah potong dalam melakukan pengulitan sampai pengeluaran organ viseral merupakan kunci dari penyembelihan yang higienis. Hewan yang bersih, pengerjaan yang baik dan higienis, serta didukung oleh kesehatan dan keahlian operator dalam penyemblihan secara higienis dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada karkas oleh bakteri patogen.

Kejadian foodborne disease yang disebabkan oleh daging tergantung dari tiga faktor, yaitu (1) adanya patogen yang mencemari daging yang dikonsumsi, (2) adanya orang yang mengonsumsi daging, (3) kebiasaan cara memasak dan mengonsumsi di negara tersebut (Rhoades et al. 2009). Pemasakan yang dilakukan secara tradisional yaitu memasak dalam waktu yang lama dapat membunuh Salmonella (Stevens et al. 2006). Selanjutnya menurut Norhana et al. (2010), pengendalian cemaran Salmonella pada makanan dapat dilakukan dengan cara pemanasan, pendinginan, dan iradiasi.

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa almarhum berhak memperoleh ½ (seperdua) bagian dari harta bersama tersebut dan menurut hukum adalah menjadi harta warisan dari almarhum yang merupakan hak

SimplePay 0% 6 bulan untuk minimal transaksi Rp 1.000.000,- SimplePay 0% 12 bulan untuk minimal transaksi Rp 3.000.000,- Berlaku di seluruh outlet Optik Seis kecuali Optik Seis

Teori Barkely tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Das, Cherbuin, Easteal, dan Anstey (2014) yang menjelaskan bahwa, ciri gangguan pemusatan perhatian pada anak

Persoalan dalam putusan ini adalah bahwa dasar Pemohon mengajukan permohonan pembatalan nikah adalah adanya praktek poligami yang mana masih adanya ikatan

Pengaruh Struktur Modal, Pertumbuhan Perusahaan, Profitabilitas, Ukuran Perusahaan, Kinerja Keuangan Perusahaan, terhadap Nilai Perusahaan (Studi Kasus Perusahaan Manufaktur

32 Laporan Bulanan Ditjen KPI Periode Desember 2012 Di samping isu kerja sama FTA, para Menteri Ekonomi ASEAN dan India sepakat untuk meningkatkan hubungan kemitraan strategis

Kelengkapan administrasi untuk staf medis Kedokteran Forensik di RSUP Dr.Kariadi meliputi: Daftar pelayanan yang dapat dilakukan dokter spesialis Kedokteran Forensik

Misalkan dilihat dari proporsi penempatan asset bank dalam bentuk penempatan dana pada BI (SBI), surat-surat berharga, dan kredit dari kelima bank yang mempunyai ranking tinggi