BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Hakikat Pembelajaran
Pembelajaran adalah istilah yang relatif masih baru sehingga kadang-kadang mengundang kontroversi baik di kalangan para ahli maupun di lapangan, terutama di antara guru-guru di sekolah. Perbedaan pendapat itu terlihat misalnya, sementara orang mengatakan bahwa istilah pembelajaran sesungguhnya hanya berlaku di lingkungan masyarakat atau pendidikan luar sekolah, bukan di lingkungan pendidikan sekolah. Sebaliknya, pihak lain menegaskan, justru istilah tersebut sangat relevan dalam sistem persekolahan, yakni untuk membelajarkan siswa/mahasiswa.
Ada pula yang berpendapat bahwa pembelajaran merupakan padanan kata dari istilah instruction, yang artinya lebih luas dari pengajaran (Sadiman, 1988). Sebaliknya, Belkin and Gray (1978) menyatakan bahwa istilah teaching mencakup instruction dan kegiatan-kegiatan lain bersifat psikologis, sosial, dan pribadi. Hal ini berarti bahwa instruction merupakan bagian dari konsep teaching.
Tanpa mengurangi penghargaan terhadap perbedaan pendapat tersebut di atas, dalam buku ini istilah pembelajaran akan diartikan secara luas sehingga keberadaannya tidak hanya dalam jalur pendidikan luar sekolah, tetapi juga dalam jalur pendidikan sekolah. Bahkan pembelajaran ini tidak hanya terjadi dalam pendidikan (education), tetapi juga dalam pelatihan (training). Inipun tidak hanya ada dalam konteks pre-service education and training misalnya ketika siswa atau mahasiswa masih belajar di sekolah/perguruan tinggi, tetapi juga dalam konteks in-service education and training (INSET) seperti pada kegiatan penataran atau pelatihan. Lebih jauh lagi, istilah tersebut juga dapat menjangkau upaya pembelajaran diri.
Demikian luasnya lingkup pembelajaran, sehingga yang menjadi subyek belajar atau pembelajar pun bukan hanya siswa dan mahasiswa, tetapi juga peserta penataran/pelatihan atau pendidikan dan pelatihan (diklat), kursus, seminar, diskusi panel, simposium, kolokium, lokakarya, dan bahkan siapa saja yang berupaya
membelajarkan diri sendiri. Akan tetapi, pertanyaan yang segera muncul dalam pikiran Anda adalah apakah sebenarnya pembelajaran itu?
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar subjek/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Dengan demikian, jika pembelajaran dipandang sebagai suatu sistem. Maka berarti pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran, strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran dan tindak lanjut pembelajaran (misalnya layanan pembelajaran remedial bagi siswa-siswa yang mengalami kesulitan belajar). Sebaliknya, bila pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa belajar. Proses tersebut dimulai dari merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain berupa alat peraga, dan alat-alat evaluasi (misalnya soal-soal tes formatif). Persiapan pembelajaran ini juga mencakup kegiatan guru untuk membaca buku-buku atau media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disajikannya kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat media cetak lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran yang akan disajikan kepada para siswa dan mengecek jumlah dan keberfungsian alat peraga yang akan digunakan.
Setelah persiapan tersebut dilakukan secara matang, guru melaksanakan kegiatan-kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran ini, struktur dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru yang bersangkutan, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa. Jadi semua itu akan menentukan misalnya, apakah struktur pembelajarannya bersifat joyful ataukah menegangkan, atau bahkan
menakutkan. Situasi kelasnya apakah bersifat permisif ataukah demokratis, atau sebaliknya, siswa-siswi merasa tercekam akibat sikap guru yang otoriter.
Setelah kegiatan pembelajaran tersebut di atas selesai dilaksanakan, termasuk evaluasi formatif, maka apabila guru itu adalah guru yang baik, ia akan menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment(pengayaan). Dapat pula berupa pemberian layanan Remedial Teaching bagi anak-anak yang berkesulitan belajar. Kegiatan tindak lanjut ini sangat penting agar setiap individu. pembelajar dapat mencapai perkembangan yang harmonis dan optimal. Hal ini berkaitan erat dengan pembinaan kualitas SDM sejak dini, dan kelasnya pun menjadi lebih “sehat” dan dinamis karena tertanganinya kesulitan-kesulitan belajar yang dialami oleh satu atau beberapa orang siswanya.
Sementara itu sesuai dengan makna pembelajaran ini, hendaknya Anda berupaya memotivasi dan membimbing siswa-siswanya untuk belajar mengenai bagaimana belajar (learning how to learn). Apabila siswa telah memahami dan mempraktikkannya dengan sungguh-sungguh, kelak mereka diharapkan akan melalui belajar bagaimana belajar. Pada gilirannya mereka akan berupaya membelajarkan diri mereka sendiri. Jika ini terjadi, jembatan emas ke masa depan yang gemilang dan bermakna telah mulai terbentang.
2.1.2 Pembelajaran IPA SD
Carin (1985) mendefinisikan IPA sebagai sistem pengetahuan alam semesta melalui pengumpulan data yang dilakukan dengan observasi dan eksperimen. Sementara itu Hungerford dan Volk (1990) mendefinisikan IPA sebagai:
a. Proses menguji informasi yang diperoleh melalui metode empiris
b. Informasi yang diberikan oleh suatu proses yang menggunakan pelatihan yang dirancang secara logis
c. Kombinasi antara proses berfikir kritis yang menghasilkan produk informasi yang sahih.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam bentuk kumpulan konsep, prinsip, teori dan hukum. IPA dapat dipandang sebagai produk
yaitu sebagai ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui metode ilmiah, dan dapat juga dipandang sebagai proses yaitu sebagai pola berfikir atau metode berfikirnya. Sedangkan sikap yang dibutuhkan dalam metode ilmiah berupa sikap ilmiah yang antara lain berupa hasrat ingin tahu, kerendahan hati, jujur, objektif, cermat, kritis, tekun, terbuka, dan penuh tanggung jawab.
Berdasarkan kurikulum untuk SD, IPA yang mulai diberikan di kelas I lebih bersifat memberikan pengetahuan yang dimulai dari pengamatan-pengamatan mengenai pelbagai jenis dan perangai lingkungan alam serta lingkungan buatan. IPA untuk anak-anak didefinisikan oleh Paolo & Marten (dalam Iskandar, 1996) sebagai: (1) mengamati apa yang terjadi, (2) mencoba memahami apa yang diamati, (3) mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang akan terjadi, dan (4) menguji ramalan-ramalan di bawah kondisi-kondisi untuk melihat apakah ramalan tersebut benar.
Carrin (1985) mengatakan bahwa teori kognitif yang paling kuat memberikan pengaruh terhadap praktek pendidik di SD adalah teori Piaget, berupa empat tahap perkembangan kognitif anak yaitu: (1) Tahap Sensorimotor (0-2 tahun), (2) Tahap Praoperasional (2-7 tahun), (3) Tahap Operasi Konkret (7-11 tahun), dan (4) Tahap Operasi Formal (11-diatas 14 tahun). Berdasarkan pengelompokkan tahap perkembangan anak tersebut, berarti anak kelas II SD termasuk dalam tahap perkembangan operasi kongkrit. Menurut Carin (1989), anak yang berada pada operasi kongkrit, berfikir dan belajar pada pengalaman-pengalaman yang nyata. Mereka belum dapat belajar secara abstrak
Menurut Subekti (1995), konsep program praktek pendidikan sesuai perkembangan (developmentally appropriate practice) berpijak pada dua macam kesesuaian: kesesuaian usia dan kesesuaian dengan setiap anak sebagai individu. Kesesuaian usia ialah rancangan lingkungan belajar yang harus diseduaikan dengan usia siswa. Kesesuaian dengan setiap anak sebagai individu yaitu setiap anak dipandang sebagai mahluk individu yang tumbuh berkembang secara utuh. Sebagai seorang individu setiap anak mempunyai karakteristik yang khas. Dalam cara belajarnya, dalam cara berinteraksi dengan lingkungan, dan dalam cara menggunakan waktu untuk belajar masing-masing anak tidak sama.
Perbedaan-perbedaan individu ini berpengararuh besar pada proses pembelajaran. Agar dalam proses pembelajaran dapat behasil secara optimal, seyogyanya guru harus mengenal betul keberadaan masing-masing anak. Dalam menghadapi anak, guru harus membedakan antara yang daya tangkapnya cepat dengan yang daya tanggapnya lambat.
Dari semua pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran IPA di SD kelas II menuntut guru untuk menanamkan konsep IPA pada anak dan harus mempertimbangkan karakteristik usia anak kelas II SD.
2.1.3 Metode Pembelajaran
Metode pembelajaran bermacam-macam, yang tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Akan tetapi, apabila dianalisis secara cermat, semuanya mempunyai sejumlah komponen atau elemen. Komponen-komponen tersebut sebenarnya telah terlihat pada pengertian-pengertian strategi pembelajaran di atas. Namun, demikian, bahwa dalam hal ini ada beberapa orang ahli yang telah mengidentifikasi komponen-komponen strategi pembelajaran. Dick and Carey (1976) misalnya, mengemukakan bahwa komponen-komponen strategi pembelajaran adalah sebagai berikut :
a. Kegiatan pra instruksional (pendahuluan). b. Penyampaian informasi.
c. Partisipasi siswa. d. Tes.
e. Kegiatan tindak lanjut.
Kelima komponen strategi pembelajaran tersebut berbeda dari apa yang dikemukakan oleh ahli lainnya. Sebagai contoh, Alwi Suparman berpendapat bahwa strategi instruksional meliputi komponen-komponen :
a. Urutan kegiatan instruksional, yaitu urutan kegiatan guru dan siswa dalam proses pembelajaran aktual yang terentang dari tahap pendahuluan ke tahap penyajian/kegiatan inti, terus sampai dengan tahap penutup.
b. Metode instruksional, yaitu cara-cara guru mengorganisir dan menyajikan isi pelajaran dan cara guru mengorganisir siswa atau kelas, dan penggunaan media instruksional pada setiap tahap pembelajaran.
c. Media instruksional, yaitu peralatan dan bahan instruksional yang digunakan guru dan siswa pada setiap tahap kegiatan pembelajaran.
d. Waktu, yakni alokasi waktu yang digunakan bersama oleh guru dan siswa dalam menyelesaikan kegiatan pada setiap tahap pembelajaran.
Strategi pembelajaran bermacam-macam dan di antara strategi itu tidak ada satupun yang paling efektif untuk mencapai semua ragam tujuan pembelajaran. Terlepas dari sifatnya yang demikian ini, beberapa orang ahli telah membuat klasifikasi strategi pmbelajaran. Akan tetapi, dalam buku ini strategi-strategi tersebut tidak akan diuraikan secara rinci.
Sehubungan dengan itu Gerlach dan Ely (1980) mengungkapkan adanya dua jenis strategi pembelajaran, yaitu Expository Approach (pendekatan ekspositori) dan Inquiri Approach (Pendekatan Inquiri). Strategi ekspositori biasanya digunakan guru untuk menyajikan materi pelajaran dengan maksud menyampaikan informasi kepada para siswa melalui penjelasan atau melalui demonstrasi. Setelah itu guru mengecek penerimaan, ingatan, dan pemahaman siswa-siswa mengenai informasi yang telah diterimanya. Guru dapat mengulangi penjelasannya, bahkan dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk praktik penerapan konsep atau prinsip yang telah dijelaskan nya pada serangkaian contoh.
Sebaliknya, melalui strategi inquiri siswa-siswa di dorong dan diberi kesempatan untuk mencari dan menemukan serta merumuskan konsep sendiri. Oleh sebab itu, metode-metode eksperimen, diskusi kelompok kecil, pemecahan masalah dan tanya jawab sangat populer penggunaannya dalam strategi ini. 2.1.4 Metode Eksperimen
Metode percobaan adalah metode pemberian kesempatan kepada anak didik perorangan atau kelompok, untuk dilatih melakukan suatu proses atau percobaan. Djamarah (2000) menyatakan bahwa metode percobaan adalah suatu metode mengajar yang menggunakan tertentu dan dilakukan lebih dari satu kali. Misalnya di Laboratorium.
Kelebihan metode percobaan sebagai berikut :
a. Metode ini dapat membuat anak didik lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan berdasarkan percobaannya sendiri daripada hanya menerima kata guru atau buku,
b. Anak didik dapat mengembangkan sikap untuk mengadakan studi eksplorasi (menjelajahi) tentang ilmu dan teknologi,
c. Dengan metode ini akan terbina manusia yang dapat membawa terobosan-terobosan baru dengan penemuan sebagai hasil percobaan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia.
Kekurangan metode percobaan sebagai berikut :
a. Tidak cukupnya alat-alat mengakibatkan tidak setiap anak didik berkesempatan mengadakan ekperimen
b. Jika eksperimen memerlukan jangka waktu yang lama, anak didik harus menanti untuk melanjutkan pelajaran
c. Metode ini lebih sesuai untuk menyajikan bidang-bidang ilmu dan teknologi. Menurut Roestiyah (2001:80), metode eksperimen adalah suatu cara mengajar, di mana siswa melakukan suatu percobaan tentang sesuatu hal, mengamati prosesnya serta menuliskan hasil percobaannya, kemudian hasil pengamatan itu disampaikan ke kelas dan dievaluasi oleh guru. Penggunaan teknik ini mempunyai tujuan agar siswa mampu mencari dan menemukan sendiri berbagai jawaban atau persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan mengadakan percobaan sendiri. Juga siswa dapat terlatih dalam cara berfikir yang ilmiah. Dengan eksperimn siswa menemukan bukti kebenaran dari teori sesuatu yang sedang dipelajarinya.
Agar penggunaan metode eksperimen itu efisien dan efektif, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Dalam eksperimen setiap siswa harus mengadakan percobaan, maka jumlah alat dan bahan atau materi percobaan harus cukup bagi tiap siswa.
b. Agar eksperimen itu tidak gagal dan siswa menemukan bukti yang meyakinkan, atau mungkin hasilnya tidak membahayakan, maka kondisi alat dan mutu bahan percobaan yang digunakan harus baik dan bersih.
c. dalam eksperimen siswa perlu teliti dan konsentrasi dalam mengamati proses percobaan , maka perlu adanya waktu yang cukup lama, sehingga mereka menemukan pembuktian kebenaran dari teori yang dipelajari itu.
d. Siswa dalam eksperimen adalah sedang belajar dan berlatih , maka perlu diberi petunjuk yang jelas, sebab mereka disamping memperoleh pengetahuan, pengalaman serta ketrampilan, juga kematangan jiwa dan sikap perlu diperhitungkan oleh guru dalam memilih obyek eksperimen itu.
e. Tidak semua masalah bisa dieksperimenkan, seperti masalah mengenai kejiwaan, beberapa segi kehidupan social dan keyakinan manusia. Kemungkinan lain karena sangat terbatasnya suatu alat, sehingga masalah itu tidak bias diadakan percobaan karena alatnya belum ada.
Metode eksperimen menurut Djamarah (2002:95) adalah cara penyajian pelajaran, di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami sendiri sesuatu yang dipelajari. Dalam proses belajar mengajar, dengan metode eksperimen, siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu obyek, keadaan atau proses sesuatu. Dengan demikian, siswa dituntut untuk mengalami sendiri, mencari kebenaran, atau mencoba mencari suatu hukum atau dalil, dan menarik kesimpulan dari proses yang dialaminya.
Menurut Schoenherr (1996) yang dikutip oleh Palendeng (2003:81) metode eksperimen adalah metode yang sesuai untuk pembelajaran sains, karena metode eksprimen mampu memberikan kondisi belajar yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir dan kreativitas secara optimal. Siswa diberi kesempatan untuk menyusun sendiri konsep-konsep dalam struktur kognitifnya, selanjutnya dapat diaplikasikan dalam kehidupannya.
Dalam metode eksperimen, guru dapat mengembangkan keterlibatan fisik dan mental, serta emosional siswa. Siswa mendapat kesempatan untuk melatih ketrampilan proses agar memperoleh hasil belajar yang maksimal. Pengalaman yang dialami secara langsung dapat tertanam dalam ingatannya. Keterlibatan fisik dan mental serta emosional siswa diharapkan dapat diperkenalkan pada suatu cara atau kondisi pembelajaran yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan juga perilaku
yang inovatif dan kreatif. Pembelajaran dengan metode eksperimen melatih dan mengajar siswa untuk belajar konsep fisika sama halnya dengan seorang ilmuwan fisika. Siswa belajar secara aktif dengan mengikuti tahap-tahap pembelajarannya. Dengan demikian, siswa akan menemukan sendiri konsep sesuai dengan hasil yang diperoleh selama pembelajaran.
Metode Eksperimen menurut Al-farisi (2005:2) adalah metode yang bertitik tolak dari suatu masalah yang hendak dipecahkan dan dalam prosedur kerjanya berpegang pada prinsip metode ilmiah.
Prosedur eksperimen menurut Roestiyah (2001:81) adalah :
a. Perlu dijelaskan kepada siswa tentang tujuan eksprimen,mereka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melalui eksprimen.
b. memberi penjelasan kepada siswa tentang alat-alat serta bahan-bahan yang akan dipergunakan dalam eksperimen, hal-hal yang harus dikontrol dengan ketat, urutan eksperimen, hal-hal yang perlu dicatat.
c. Selama eksperimen berlangsung guru harus mengawasi pekerjaan siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunjang kesempurnaan jalannya eksperimen.
d. Setelah eksperimen selesai guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa, mendiskusikan di kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab.
Pembelajaran dengan metode eksperimen menurut Palendeng (2003:82) meliputi tahap-tahap sebagai berikut :
a. percobaan awal, pembelajaran diawali dengan melakukan percobaan yang didemonstrasikan guru atau dengan mengamati fenomena alam. Demonstrasi ini menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari.
b. pengamatan, merupakan kegiatan siswa saat guru melakukan percobaan. Siswa diharapkan untuk mengamati dan mencatat peristiwa tersebut.
c. hipotesis awal, siswa dapat merumuskan hipotesis sementara berdasarkan hasil pengamatannya.
d. verifikasi , kegiatan untuk membuktikan kebenaran dari dugaan awal yang telah dirumuskan dan dilakukan melalui kerja kelompok. Siswa diharapkan merumuskan hasil percobaan dan membuat kesimpulan, selanjutnya dapat dilaporkan hasilnya. e. aplikasi konsep , setelah siswa merumuskan dan menemukan konsep, hasilnya diaplikasikan dalam kehidupannya. Kegiatan ini merupakan pemantapan konsep yang telah dipelajari.
f. evaluasi, merupakan kegiatan akhir setelah selesai satu konsep.
Berdasarkan dua pendapat yang telah diuraikan maka pembelajaran IPA dengan metode eksperimen dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1) Menjelaskan kepada siswa tentang tujuan eksprimen agar memahami masalah yang akan dibuktikan.
2) Menjelaskan kepada siswa tentang alat-alat serta bahan-bahan yang akan dipergunakan dalam eksperimen, hal-hal yang harus dikontrol dengan ketat, urutan eksperimen, dan hal-hal yang perlu dicatat.
3) percobaan awal, pembelajaran diawali dengan melakukan percobaan yang didemonstrasikan guru atau dengan mengamati fenomena alam. Demonstrasi ini menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari.
4) pengamatan, merupakan kegiatan siswa saat guru melakukan percobaan. Siswa diharapkan untuk mengamati dan mencatat peristiwa tersebut.
5) hipotesis awal, siswa dapat merumuskan hipotesis sementara berdasarkan hasil pengamatannya.
6) verifikasi , kegiatan untuk membuktikan kebenaran dari dugaan awal yang telah dirumuskan dan dilakukan melalui kerja kelompok. Siswa diharapkan merumuskan hasil percobaan dan membuat kesimpulan, selanjutnya dapat dilaporkan hasilnya. 7) aplikasi konsep , setelah siswa merumuskan dan menemukan konsep, hasilnya diaplikasikan dalam kehidupannya. Kegiatan ini merupakan pemantapan konsep yang telah dipelajari.
8) Setelah eksperimen selesai guru harus mengumpulkan hasil penelitian siswa, mendiskusikan di kelas, dan mengevaluasi dengan tes atau tanya jawab
2.1.5 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.” ( Winkel 1996 : 162 ). Sedangkan menurut S. Nasution (1996:17) prestasi belajar adalah: “Kesempurnaan yang dicapai seseorang dalam berfikir, merasa dan berbuat. Prestasi belajar dikatakan sempurna apabila memenuhi tiga aspek yakni: kognitif, affektif dan psikomotor, sebaliknya dikatakan prestasi kurang memuaskan jika seseorang belum mampu memenuhi target dalam ketiga kriteria tersebut.”
Hasil belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar, karena kegiatan belajar merupakan proses, sedangkan prestasi merupakan hasil dari proses belajar. Pengertian lainnya, prestasi belajar adalah hasil belajar yang telah dicapai menurut kemampuan yang tidak dimiliki dan ditandai dengan perkembangan serta perubahan tingkah laku pada diri seseorang yang diperlukan dari belajar dengan waktu tertentu, prestasi belajar ini dapat dinyatakan dalam bentuk nilai dan hasil tes atau ujian.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka dapat dijelaskan bahwa prestasi belajar suatu bukti keberhasilan belajar atau kemampuan seseorang siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya baik dari aspek kognitif, affektif dan psikomotor dalam proses belajar mengajar.
2.2 Kajian Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Tabel 1 Kajian Penelitian yang Relevan
Nama Peneliti Judul Hasil Penelitian
Muhammad Arief Rohman (2009)
Optimalisasi Metode Eksperimen untuk meningkatkan Hasil Belajar IPA Kompetensi Gaya dan Gerak pada Siswa Kelas VI SDN Simbangdesa 02 Kabupaten Batang Tahun Pelajaran 2009/2010
Pembelajaran menggunakan metode eksperimen:
- meningkatkan hasil IPA Kompetensi Gaya dan Gerak dari semula hanya 36,74 % siswa yang mencapai KKM menjadi 75,43 %.
- Meningkatkan nilai rerata dari 57,23 menjadi 72,12. Suharto
(2011)
Penggunaan Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Tentang Perkembangbiakan Vegetatif Buatan Pada Siswa Kelas VI SDN Kenconorejo 02 Tahun Pelajaran 2010/2011
Pembelajaran menggunakan metode eksperimen:
- meningkatkan hasil IPA tentang perkembangbiakan vegetatif buatan dari semula hanya 47,06 % siswa yang mencapai KKM menjadi 88,23 %.
- Meningkatkan nilai rerata dari 61,56 menjadi 76,47. 2.3 Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori di atas, maka peneliti menyusun kerangka berpikir sebagai berikut: Pembelajaran IPA kompetensi kenampakan matahari siswa kelas II semester 2 pada tahap prasiklus, peneliti masih menggunakan metode ceramah yang monoton dan membosankan sehingga hasil belajar siswa dan kualitas pembelajaran relatif rendah. Pada tahap siklus I, peneliti sudah menggunakan metode eksperimen sehingga hasil belajar dan kualitas pembelajaran meningkat ( tiga indikator keberhasilan tercapai). Peneliti melanjutkan tindakan pada tahap siklus II dengan menambah jumlah media yang digunakan untuk eksperimen. Pada tahap ini diperoleh peningkatan hasil belajar dan kualitas pembelajaran yang optimal. Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir di atas, diduga pembelajaran IPA kompetensi kenampakan matahari siswa kelas II semester 2 menggunakan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
k
2.4 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir, diduga penggunaan metode eksperimen dapat meningkatkan hasil belajar IPA pada siswa kelas II semester 2 SDN Simbangdesa 01 tahun pelajaran 2011/2012.
SIKLUS I SIKLUS II hasil belajar siswa rendah Pembelajaran belum menggunakan metode eksperimen Kondisi Awal TINDAKAN Pembelajaran sudah menggunakan metode eksperimen
Diduga pembelajaran IPA menggunakan metode eksperimen
dapat meningkatkan hasil belajar siswa
Kondisi Akhir