• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 21 No. 2 Juli 2021: p-issn ; e-issn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia Vol. 21 No. 2 Juli 2021: p-issn ; e-issn"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280 235

Pengaruh Kebijakan Peningkatan Upah Minimum terhadap

Ketimpangan Upah (Studi Kasus Provinsi-Provinsi di Jawa)

The E

ffect of the Minimum Wage Increase on Wage Inequality

(Java Provinces Cases)

Zaitun Rohmaha,∗, & Prani Sastionob

aDirektorat Neraca Pengeluaran, Badan Pusat Statistik

bProgram Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

[diterima: 19 September 2019 — disetujui: 16 Desember 2019 — terbit daring: 13 Agustus 2021]

Abstract

This research estimates the effect of the minimum wage increase on the wage inequality in Java provinces between 2008 and 2014 using semiparametric methods. It is found that the increase in minimum wage decrease the wage inequality in DKI Jakarta, West Java, Central Java, and Banten Provinces if the employment effects of the minimum wage increase are ignored and the opposite results if we consider the employment effects. Different results occur in Yogyakarta Special Region and East Java provinces, the minimum wage increase will lead to an increase in wage inequality both for the inclusion or exclusion of the employment effects.

Keywords: minimum wage; wage inequality; employment impact; Java Island

Abstrak

Penelitian ini mengestimasi pengaruh kebijakan peningkatan upah minimum terhadap ketimpangan upah provinsi-provinsi di Pulau Jawa pada rentang tahun 2008 dan 2014 menggunakan metode semiparametrik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meningkatnya upah minimum menurunkan ketimpangan upah di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten jika dampak pekerjaan (employment) tidak disertakan. Sebaliknya, jika menyertakan dampak pekerjaan, maka meningkatnya upah minimum akan meningkatkan ketimpangan upah. Hasil berbeda terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur dengan peningkatan upah minimum meningkatkan ketimpangan upah, baik tanpa dan dengan menyertakan dampak pekerjaan.

Kata kunci:upah minimum; ketimpangan upah; dampak pekerjaan; Pulau Jawa

Kode Klasifikasi JEL:D63; J23; J38

Pendahuluan

Kebijakan peningkatan upah minimum merupakan kebijakan yang dianggap mampu memperbaiki ke-timpangan upah di banyak negara. Banyak negara mengunakan kebijakan tersebut untuk menaikkan upah pekerja dengan upah rendah dan memper-baiki distribusi upah/pendapatan (Rani & Ranjbar, 2015). Pengaruh upah minimum akan berdampak

Alamat Korespondensi: Jln. Dr. Soetomo No 6-8 Jakarta Pusat. E-mail: zaitun.rohmah@bps.go.id.

pada distribusi upah dengan dua cara, yaitu dam-pak langsung ketika terjadi peningkatan upah dari pekerja yang mendapatkan upah rendah (kurang dari upah minimum) menjadi sesuai dengan upah minimum dan dampak tidak langsung atau dam-pak spillover ketika kebijakan upah minimum akan meningkatkan upah yang pendapatannya lebih dari upah minimum (Campolieti, 2015). Menurut Cahuc & Zylberberg (2004), upah minimum di satu sisi memungkinkan pekerja untuk mendapatkan upah yang lebih tinggi sehingga akan mengurangi

(2)

ketim-pangan, tetapi di sisi lain kenaikan upah minimum dapat menghilangkan pekerjaan bagi pekerja yang dapat menerima upah pada saat upah minimum tidak ada. Hal ini diperkuat pula oleh penelitian Angel-Urdinola (2008) yang menyatakan bahwa upah minimum yang ditetapkan di atas harga mar-ket clearing tenaga kerja akan menyebabkan pengu-saha kembali mengikuti kurva permintaan (demand) sehingga menyebabkan penurunan kesempatan kerja dan meningkatkan ketimpangan.

Dalam penerapannya, kebijakan upah minimum membutuhkan kehati-hatian dalam penetapannya. Ketika ditetapkan terlalu rendah, maka standar hi-dup layak bagi pekerja tidak terpenuhi, namun jika ditetapkan terlalu tinggi, maka memungkinkan ter-jadi trade-off employment yang tidak bisa dihindari. Selain itu, faktor tingkat ketidakpatuhan terhadap kebijakan upah minimum (yang diukur dengan menghitung persentase pekerja penghasilan ku-rang dari upah minimum) yang tinggi juga dapat mengurangi kemampuan upah minimum untuk mengurangi ketimpangan (Belser & Rani, 2015).

Beberapa penelitian, antara lain di Amerika Serikat, menemukan bahwa turunnya nilai upah minimum riil berkontribusi kuat terhadap pening-katan ketimpangan upah (Dinardo et al., 1996; Lee, 1999; Autor et al., 2016). Penelitian di negara-negara Amerika Latin memiliki hasil yang lebih bervariasi. Penelitian Angel-Urdinola (2008) menemukan jika dampak employment dari kenaikan upah minimum diabaikan, maka akan berkontribusi untuk mengu-rangi ketimpangan pendapatan di Kolombia dan tidak menghasilkan dampak apapun di Paraguay, sedangkan jika mempertimbangkan dampak em-ployment, maka kebijakan upah minimum akan meningkatkan ketimpangan pendapatan di kedua negara tersebut. Maurizio & V´azquez (2016) mene-mukan bahwa peningkatan upah minimum me-miliki efek memperbaiki ketimpangan upah di Argentina, Brasil, dan Uruguay, tetapi tidak di Chili dikarenakan peningkatan upah minimum di Chili

cukup rendah jika dibandingkan dengan tiga ne-gara lainnya. Menurut Rodrigues & FIlho (2000), penurunan upah minimum pada tahun 1981–2000 meningkatkan dispersi upah di Brazil dan Meksiko. Dalam penelitian Angel-Urdinola (2008), penga-ruh kebijakan peningkatan upah minimum terha-dap ketimpangan upah di Kolombia dan Paraguay dilakukan dengan melihat densitas (density) upah pada keseluruhan distribusi upah. Dengan meli-hat di keseluruhan densitas upah, akan diketahui apakah terjadi perubahan distribusi upah setelah terjadi kenaikan upah minimum. Penelitian Angel-Urdinola (2008) melakukan perbandingan densitas upah aktual (densitas upah tahun t dengan upah minimum tahun t) dengan densitas upah kontra-faktual (densitas upah pada tahun t dengan upah minimum t − 1) dan diperkirakan pengaruh pening-katan upah minimum secara riil akan menurunkan ketimpangan upah. Dalam penelitian tersebut ju-ga dilakukan analisis penju-garuh upah minimum terhadap distribusi upah dengan melakukan ko-reksi pada densitas upah aktual. Penelitian terse-but mempertimbangkan dampak employment yang diperkirakan jika dampak employment disertakan dampak peningkatan upah minimum, maka akan meningkatkan ketimpangan upah.

Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh upah minimum terhadap ketimpangan upah belum banyak dilakukan. Penelitian Chun & Khor (2010) melihat pengaruh upah minimum terhadap ketim-pangan pendapatan dengan mengestimasi dampak pada pendapatan kelompok-kelompok upah yang berbeda dengan data tahun 1993 dan 2007. Metode Ordinary Least Squares (OLS) yang digunakan dalam penelitian tersebut memungkinkan hanya melihat perbedaan rata-rata antarkelompok upah sehingga untuk melihat ketimpangan upah sebaiknya dilihat juga perilaku distribusinya menggunakan metode Kernel Density Estimation. Dalam penelitian tersebut, Chun & Khor (2010) melihat dampak upah mini-mum pada distribusi upah, tetapi tidak melihat

(3)

bahwa employment juga dapat memengaruhi distri-busi upah. Selain itu, Chun & Khor (2010) dalam menganalisa ketimpangan upah tidak mengguna-an konsep densitas upah kontrafaktual sehingga hasilnya memungkinkan terjadi bias.

Oleh karena itu, penelitian ini akan mencoba menganalisis dampak upah minimum terhadap ke-timpangan upah di Indonesia pada kurun waktu tahun 2008 dan 2014. Dalam analisisnya akan dili-hat bagaimana dampak upah minimum terhadap ketimpangan upah jika tanpa dan dengan menyer-takan dampak employment dalam model. Pada ku-run waktu tersebut diperkirakan dampak negatif employment akibat peningkatan upah minimum ter-jadi karena adanya krisis ekonomi di antara tahun 2008–2014.

Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis dam-pak peningkatan upah minimum terhadap ketim-pangan upah di Indonesia tahun 2008–2014. Pada kurun waktu tersebut merupakan periode ketika ter-dapat krisis ekonomi global di akhir tahun 2008 dan terjadinya demo buruh besar-besaran di akhir tahun 2012 yang menuntut adanya kenaikan upah mini-mum di Indonesia. Kejadian tersebut menyebabkan terjadinya kenaikan upah pekerja yang dapat ter-lihat dari meningkatnya upah minimum riil yang cukup tinggi di tahun 2013, tetapi karena banyaknya perusahaan yang meminta penangguhan terhadap pelaksanaan penyesuaian peningkatan upah mi-nimum pada tahun tersebut, maka analisis pada penelitian ini menggunakan data tahun 2014 ketika secara riil juga terlihat terjadi kenaikan tertinggi (8,53 persen). Kenaikan upah minimum yang cukup tinggi tersebut diperkirakan akan menyebabkan ter-jadinya trade off employment (Angel-Urdinola, 2008; Belser & Rani, 2015). Selain itu, Islam & Nazara (2000) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kenaikan upah minimum memiliki dampak negatif terhadap employment yang akan terlihat ketika peri-ode krisis ekonomi dimasukkan ke dalam mperi-odel pe-nelitian. Sehingga, diperkirakan bahwa pada kurun

waktu tersebut, selain adanya peningkatan upah pekerja, kemungkinan ada pekerja yang kehilangan pekerjaannya sehingga menyebabkan peningkatan atau penurunan ketimpangan upah.

Penelitian ini akan melengkapi penelitian sebe-lumnya dalam menganalisis pengaruh upah mini-mum terhadap ketimpangan upah dengan meng-gunakan metode berdasarkan penelitian Angel-Urdinola (2008) dengan melihat dampaknya pada keseluruhan densitas upah dan melakukan koreksi pada densitas upah aktual dengan menyertakan dampak employment.

Menurut pandangan ekonomi klasik, pasar tena-ga kerja digunakan sebatena-gai titik awal untuk mema-hami peran upah minimum. Hal mendasar tentang dampak upah minimum dimulai dari kurva per-mintaan tenaga kerja agregat dengan downward sloping yang menangkap penurunan marginal return to labor dengan employment yang lebih besar. Upah minimum yang ditetapkan di atas upah market-clearing akan membuat perusahaan bergeser ke atas di sepanjang kurva permintaan dan mengurangi em-ployment, baik dengan mengurangi output agregat atau substitusi dari tenaga kerja ke faktor produksi lainnya (Cunningham, 2007).

Brown (1999) menyebutkan bahwa upah mini-mum dapat memengaruhi distribusi upah dengan lima cara. Pertama, pekerja yang penghasilannya ku-rang dari upah minimum akan menjadi kuku-rang di-pekerjakan atau didi-pekerjakan tetapi dengan jumlah jam kerja yang lebih sedikit. Hilangnya pekerjaan upah rendah akan cenderung membuat distribusi upah terukur lebih setara. Menurut model Pettengil (1981), pekerja memiliki peringkat keterampilan (skill) sehingga dari sisi permintaan, upah peker-ja yang lebih tinggi diasumsikan lebih produktif daripada yang upahnya lebih rendah. Dalam per-saingan kualitas, pekerja dengan upah yang lebih tinggi dipekerjakan untuk menghasilkan kualitas pekerjaan yang lebih tinggi juga sehingga upah mi-nimum terlihat seperti mengeliminasi tenaga kerja

(4)

kualitas rendah dari pasar –tidak dipekerjakan bila marginal reveneu product (MRP) pekerja tersebut ti-dak mencapai upah minimum (UM) (MRP<UM)– yang berpotensi mengubah distribusi upah.

Kedua, pekerja yang penghasilannya kurang da-ri upah minimum akan didorong berpenghasil-an hingga mencapai upah minimum sehingga akan menyebabkan lonjakan dalam distribusi upah. Pettengil (1981) menyatakan bila pekerja dengan keterampilan rendah (yang mungkin akan kehilang-an pekerjakehilang-annya) meningkatkkehilang-an usahkehilang-anya, maka yang awalnya memiliki tingkat keterampilan yang berbeda pada akhirnya bisa mencapai tingkat pro-duktivitas yang sama yang menyebabkan lonjakan pada upah minimum (usaha bersifat endogen).

Ketiga, upah pekerja dengan upah rendah yang tidak tercakup dalam upah minimum akan di-tingkatkan atau dikurangi. Menurut Heckman & Sedlacek (1981), pada saat ada kebijakan upah mi-nimum, jika harga keterampilan tetap, maka akan menyebabkan pengusaha di sektor tertutup (covered sector) akan melepaskan semua pekerja yang pen-dapatannya kurang dari upah minimum, Wc< Wm. Namun, hal ini akan mengurangi keterampilan pasokan (supply skill pada sektor tertutup yang me-nyebabkan meningkatkan harga keterampilan di sektor tertutup. Peningkatan harga keterampilan tersebut akan meningkatkan upah yang ditawarkan, yaitu naik atau di atas upah minimum dan menarik upah yang awalnya di uncovered sector (upah yang awalnya harga Wc sedikit di bawah Wu). Harga upah pada uncovered sector bisa turun atau naik, tetapi relatif turun terhadap harga keterampilan di sektor tertutup.

Keempat, kenaikan upah pekerja yang terkena dampak langsung akan menyebabkan efek substi-tusi dan ini cenderung meningkatkan permintaan pekerja yang mampu menghasilkan upah tepat di atas minimum. Menurut Brown (1999), kenaikan upah minimum akan menaikkan harga relatif peker-ja tidak terampil dan mendorong substitusi input

pekerja lebih atraktif. Pekerja kelompok upah ren-dah yang mendapatkan sedikit lebih banyak dari upah minimum sering melakukan tugas yang sama dengan tugas pekerja yang kurang terampil sehing-ga kemungkinan akan menjadi pekerja substitusi upah minimum yang sangat baik. Oleh karena per-usahaan akan menggunakan input nontenaga kerja lebih banyak, maka total kesempatan kerja akan turun sebagai respons terhadap kenaikan upah mi-nimum. Upah pekerja substitusi tersebut akan terus meningkat dan lebih banyak lagi yang bisa ditarik ke dalam angkatan kerja. Oleh karena adanya sen-sitivitas produktivitas terhadap keterampilan, ada substitusi yang lebih besar antara pekerja yang ting-kat keterampilannya sangat deting-kat daripada antara yang sangat berbeda tingkat keterampilannya.

Kelima, upah minimum memiliki dampak tidak langsung bagi yang berada pada distribusi upah atas, meskipun diasumsikan dampak adalah kecil. Adanya spillover konsisten dengan tujuan dari kebi-jakan upah minimum, yaitu menaikkan upah bagi pekerja untuk mendapatkan upah minimum. Sa-tu perspektif beranggapan bahwa jika menaikkan upah bagi pekerja untuk mendapatkan upah mini-mum adalah hal yang baik, maka meningkatkan upah orang-orang yang menghasilkan sedikit lebih dari upah minimum juga akan dipandang sesua-tu yang baik. Dari perspektif lain, spillovers dapat diartikan sebagai meningkatnya permintaan akan pendapatan yang lebih baik.

Meyer & Wise (1983) adalah peneliti yang per-tama kali fokus pada lonjakan (spike) pada upah minimum dan penipisan (thinning) yang jelas dari distribusi upah pada upah rendah. Secara empiris, plot distribusi upah sangat kuat terlihat menipis (thinning) di bawah Wm dan menumpuk (piling up) di atas Wm. Perbedaan antara distribusi yang me-nipis di bawah Wm ditambah lonjakan pada upah minimum dan distribusi yang berada pada atau di bawah Wm, digunakan sebagai ukuran employment loss pada upah minimum.

(5)

Gambar 1.Distribusi Upah dengan dan Tanpa Adanya Upah Minimum Sumber: Meyer & Wise (1983)

Dalam model Meyer & Wise (Gambar 1), digam-barkan X merupakan vektor pengukuran atribut dan f (w) adalah fungsi densitas jika upah minimum tidak ada. Misalkan, upah minimum ditetapkan se-besar M, maka akan ada orang-orang yang akan tetap dibayar kurang dari upah minimum karena bekerja di uncovered sector atau ketidakpatuhan per-usahaan terhadap kebijakan. Sehingga, akan ada beberapa probabilitas, yaitu:

• P1: probabilitas pekerja yang sebelumnya mene-rima upah< M setelah adanya upah minimum tetap menerima upah< M.

• P2: probabilitas pekerja yang upahnya < M dan diperkirakan akan dibayar dengan M, meskipun jika dilihat dari teori produktivitas marginal se-derhana, orang-orang dengan upah pokok di bawah M tidak akan menerima M, dengan ke-mungkinan salah satunya adalah bahwa pengu-saha membayar minimum kepada orang-orang yang seharusnya dibayar kurang dari minimum, tetapi mempekerjakan lebih sedikit dari jumlah jam kerja biasanya.

• 1-P1-P2=1-P: probabilitas pekerja yang sebelum-nya upahsebelum-nya<M kemudian menjadi tidak beker-ja akibat upah minimum.

Misalkan, ekspektasi upah dasar dari individu dengan atribut X adalah Xβ dan varians σ2dengan distribusi upah f (w) seperti pada Gambar 1, maka W= Xβ + ε. Dengan adanya upah minimum,

ma-ka upah ama-kan didistribusima-kan dengan fungsi garis putus-putus pada gambar. Bentuk fungsi tersebut tergantung pada peluang P1 dan P2. Jika P2 adalah 0, maka tidak ada penebalan upah di M, hanya lom-patan fungsi densitas di M. Jika P1 dan P2 adalah 0, maka fungsi densitas akan terpotong di M.

Metode

Metode Empiris

Metode empiris yang digunakan berdasarkan pe-nelitian Angel-Urdinola (2008) yang menganalisis dampak upah minimum terhadap ketimpangan upah menggunakan metode semiparametrik. Me-tode ini mengadopsi penelitian sebelumnya yang dilakukan DiNardo et al. (1996) atau DiNardo, Fortin, and Lemieux (DFL). Namun, kelemahan pendekatan DFL adalah tidak menyertakan dampak employment dari perubahan upah minimum. Untuk mengatasi masalah ini, metode Angel-Urdinola (2008) me-lakukan modifikasi sederhana pada metode DFL dengan mempertimbangkan dampak employment dari kebijakan upah minimum.

Uji statistik nonparametrik adalah suatu uji keti-ka model tidak membutuhketi-kan spesifiketi-kasi kondisi tertentu mengenai parameter populasi dari sam-pel yang ada (Siegel & Castellan, 1988). DiNardo & Tobias (2001) menerangkan bahwa metode non-parametrik digunakan karena tidak memerlukan

(6)

asumsi bahwa suatu fungsi berdistribusi normal se-perti pada metode parametrik, bahkan membiarkan data tersebut benar-benar memperlihatkan seperti apa distribusinya. Namun, karena dalam proses pembobotan ulang yang nantinya akan digunakan untuk melihat distribusi upah kontrafaktual meng-gunakan model probit, maka model ini kemudian disebut metode semiparametrik (Autor, 2009).

Menurut Angel-Urdinola & Wodon (2005), meto-de estimasi parametrik sering menghasilkan hanya satu estimasi parameter dari dampak suatu pro-gram atau kebijakan. Dalam kenyataanya, individu atau rumah tangga dapat mengambil manfaat (atau kerugian) lebih dari yang lain dari pelaksanaan program atau kebijakan tertentu dan seharusnya di-pertimbangkan dalam analisis. Model DFL menggu-nakan metode semiparametrik dengan menerapkan metode Kernel Density Estimation yang memberikan grafik secara visual tentang densitas yang terkena dampak terbesar dari kebijakan upah minimum. Metode DFL dapat membedakan dampak menurut di mana individu berada dalam distribusi upah. Dengan demikian, dapat juga dilihat dampaknya pada ketimpangan upah. Sementara bila digunakan metode lain, seperti regresi OLS dan Oaxaca blinder, hanya dapat menganalisis rata-rata. Pada dasarnya, ada banyak faktor yang mungkin memengaruhi dis-tribusi upah. Untuk mengisolasi dampak dari upah minimum maka dilakukan estimasi distribusi upah pada tahun t, tetapi dengan level upah minimum di tahun t − 1 (distribusi upah kontrafaktual).

Secara umum, yang dilakukan dalam metode ini adalah pertama, densitas upah pada waktu t dapat dinyatakan sebagai integral dari densitas upah pada waktu tertentu tw= t, conditional pada atribut individu z dan pada upah minimum mwt, terhadap distribusi dari atribut individu z yang berlaku pada waktu tz= t, yaitu:

ft(w)= Z

z∈Ωz

f (w|z, mwt, tw= t)dF(z|tz= t) (1)

dengan z ∈Ωz, yakniΩzmewakili himpunan semua karakteristik individu.

Dengan asumsi bahwa tingkat upah minimum tidak memengaruhi distribusi karakteristik indivi-du, maka densitas upah kontrafaktual pada saat t ketika tingkat upah minimum tetap, seperti pada waktu t − 1, yaitu mwt−1adalah:

fmwt−1 t (w)= Z z∈Ωz f (w|z, mwt−1, tw= t)dF(z|tz= t) (2) Kedua, densitas di Persamaan (2) tidak dapat di-observasi dan memerlukan estimasi dengan meng-gunakan dua asumsi seperti dalam model DFL (1996). Perubahan upah minimum dari waktu t − 1 ke waktu t tidak memiliki efek pada distribusi upah yang berada di atas upah minimum. Misalkan, mw = max{mwt−1, mwt}, artinya densitas upah pa-da saat t − 1 pa-dan t sama papa-da saat upah berapa-da di atas upah minimum. Sehingga, dalam hal ini, efek spillover diabaikan. Densitas kondisional tahun t untuk upah yang berada di bawah upah mini-mum pada tahun t − 1 ( f (w|z, mwt−1, tw= t)) akan mengikuti distribusi kondisional pada tahun t − 1 ( f (w|z, mwt−1, tw= t−1)) dengan memberikan suatu penimbang (reweighting).

Persamaan asumsinya adalah: fmwt−1 t (w) = I(w > mw) Z z∈Ωz ϕ(z, mwt−1) f (w|z, mwt−1, tw= t − 1)dF(z|tz= t) +I(w > mw) Z z∈Ωz f (w|z, mwt, tw= t) dF(z|tz= t) (3)

I() menunjukkan fungsi indikator dengan nilai 1 ketika kondisi di tanda kurung terpenuhi dan nilai nol jika tidak, dengan:

ϕ(z, mwt−1)=

Pr(tw= t|z, w ≤ mwt−1)Pr(tz= t − 1) Pr(tw= t − 1|z, w ≤ mwt−1)Pr(tz= t) (4) Ketiga, diasumsikan bahwa dampak employment dari perubahan riil upah minimum dari waktu

(7)

t − 1 ke waktu t akan berdampak pada distribusi upah pada waktu t (dengan mwt> mwt−1). Untuk memperhitungkan efek tersebut, dilakukan korek-si empiris dari distribukorek-si pada waktu t. Denkorek-sitas empiris yang dihasilkan, yaitu ˆfe

t(w). Setelah kena-ikan upah minimum, sebagian dari pekerja yang terkena dampak (pekerja mendapatkan penghasil-an di bawah atau pada upah minimum ypenghasil-ang baru) akan kehilangan pekerjaan sesuai dengan elastisi-tas upah minimum dari employment,η, dan besaran dari perubahan upah minimum. Oleh karena itu:

Ut = Ft−1(mw) ×  mwt− mwt−1 mwt−1 ×η (5)

dengan Utmelambangkan jumlah pengangguran dan Ft−1(mw) mewakili bagian dari populasi yang dinormalisasi saat pendapatan pada waktu t − 1 berada pada atau di bawah upah minimum yang baru. Karena pekerja yang menjadi pengangguran pada distribusi upah waktu t tidak dapat teramati (tidak dapat dilihat Ut pada Ft(w) karena pekerja tersebut tidak menerima upah) untuk memperhi-tungkannya, akan menambahkan pengangguran, Ut, untuk distribusi waktu t dengan memberi upah subsisten (Angel-Urdinola, 2004). Karena pilihan tingkat subsisten memengaruhi ketimpangan, ma-ka untuk menilai robustness dari hasil penelitian dengan menggunakan tiga upah subsisten yang berbeda: pendapatan nol, 1, dan 2 dolar per hari (1 dan 2 dolar adalah tingkat upah subsisten yang diterima oleh institusi internasional seperti World Bank). ˆ fte(w) = I(w < ws) N X i=1 Ut 1+ Ut ×1 hK  Wi− w h +I(w ≥ ws) N X i=1 θA i h K  Wi− w h (6) dengan: θA i = θ t i× 1 1+ Ut (7)

Untuk menguji implikasi ketimpangan, terlebih dahulu bandingkan densitas fmwt−1

t (w) dan ˆf (w) apa-kah berbeda dengan yang diperoleh dari perban-dingan ˆfmwt−1

t (w) dan ˆfte(w).

Elastisitas absolut employment yang akan diguna-kan dalam simulasi adalah 0,0 s.d. 0,6 berdasar-kan penelitian Rama (2001), Surhayadi et al. (2001), Alatas & Cameron (2008), dan Chun & Khor (2010).

Data

Objek dari penelitian ini dikhususkan bagi tenaga kerja angkatan kerja yang berumur 15 tahun ke atas pada dua titik observasi dengan menggunakan data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) Agustus 2008 dan 2014. Variabel yang digunakan adalah upah dari pekerjaan utama pada blok VC rincian 13 yang dideflasikan menggunakan indeks implisit konsumsi rumah tangga untuk mengubah upah nominal tahun 2014 terhadap nilai di tahun 2008 (DiNardo et al., 1996). Untuk pekerja yang berusaha sendiri, pemilik usaha (berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar dan berusaha dibantu buruh tetap/buruh dibayar), dan pekerja keluarga/tak dibayar tidak diikutsertakan dalam sampel penelitian. Variabel karakteristik individu diperlukan terutama untuk menghitung pembobot-an ulpembobot-ang sebagai rasio dari 2 conditional probability dan 2 unconditional probability, yaitu umur, umur kuadrat, jam kerja, jam kerja kuadrat, dummy kota, dummy jenis kelamin, dummy pendidikan, dummy status perkawinan, dan dummy lapangan usaha.

Hasil dan Analisis

Analisis Deskriptif

Sampel pekerja Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008 dan 2014 masing-masing adalah 3.246 pekerja dan 3.210 pekerja, sedangkan Provinsi Jawa Barat masing-masing 4.979 pekerja dan 11.487 pekerja. Jumlah sampel pekerja pada tahun 2008 dan 2014

(8)

untuk Provinsi Jawa Tengah adalah 5.573 pekerja dan 13.982 pekerja, sedangkan jumlah sampel pe-kerja di Provinsi DI Yogyakarta adalah 816 pepe-kerja dan 2.042 pekerja. Jumlah sampel pekerja di Provin-si Jawa Timur tahun 2008 dan 2014 sebanyak 6.384 pekerja dan 13.431 pekerja, sedangkan di Provinsi Banten sebanyak 1.417 pekerja dan 4.130 pekerja.

Upah minimum riil pada kurun waktu tahun 2008–2014 meningkat hampir di seluruh provinsi di Pulau Jawa dengan peningkatan terbesar berada di DKI Jakarta, yaitu dari Rp5.674,- per jam menja-di Rp9.558,- per jam atau meningkat sekitar 68,47 persen (Gambar 2 dan 3). Peningkatan terendah ter-jadi di Provinsi DI Yogyakarta, yaitu dari Rp3.418,-per jam menjadi Rp3.945,- Rp3.418,-per jam atau mening-kat sekitar 15,42 persen. Jika dilihat dari tingmening-kat kepatuhan (yang diukur dengan persentase pekerja yang menerima upah lebih dari upah minimum) akan kebijakan upah minimum, terjadi penurunan hampir di semua provinsi di Pulau Jawa, kecuali Jawa Tengah dan Banten. Tingkat kepatuhan akan kebijakan upah minimum diduga memengaruhi keefektifan dalam mengurangi ketimpangan upah (Belser & Rani, 2015).

Gambar 2.Upah Minimum Riil (per Jam) Tahun 2008 dan 2014

Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

Indikator ketimpangan upah yang diukur de-ngan koefisien Gini (pekerja penerima upah) pada tahun 2008–2014 mengalami penurunan di semua provinsi, kecuali di Jawa Timur (Gambar 4).

Rata-Gambar 3.Peningkatan Upah Minimum dan Kepatuhan terhadap Kebijakan Upah Minimum Provinsi-Provinsi di

Pulau Jawa

Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

rata jam kerja pekerja penerima upah pada tahun 2014 berkurang jika dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2008, pekerja bekerja rata-rata sekitar 45–49 jam per minggu, sedangkan pada tahun 2014, pe-kerja penerima upah bepe-kerja sekitar 43–47 jam per minggu (Gambar 5).

Gambar 4.Koefisien Gini Upah Tahun 2008 dan 2014 Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

Dari sisi pendidikan, proporsi pekerja yang ta-mat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi mengalami peningkatan di seluruh provinsi. Hal ini berarti ada peningkatan kualitas pendidikan pekerja bahwa pekerja terdidik/terampil (SMA ke atas) mengalami peningkatan sehingga

(9)

mengindi-Gambar 5.Rata-Rata Jam Kerja Pekerja Penerima Upah Tahun 2008 dan 2014

Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

kasikan adanya perubahan distribusi upah (Gam-bar 6). Berdasarkan jenis kelamin, pekerja penerima upah masih didominasi oleh kaum laki-laki dan persentasenya juga meningkat dari tahun 2008 ke tahun 2014 di seluruh provinsi. Banten merupakan provinsi yang mengalami peningkatan persentase pekerja yang upahnya di atas upah minimum, baik laki-laki maupun perempuan, sehingga mungkin memengaruhi distribusi upah (Tabel 1).

Hasil Estimasi

Estimasi pengaruh upah minimum terhadap ke-timpangan upah secara visual dilakukan dengan melihat perubahan distribusi upah menggunakan Kernel density estimation. Secara visual, akan dilaku-kan perbandingan perubahan densitas pada densi-tas upah aktual dan kontrafaktual serta perubahan densitas ketika dampak employment disertakan. Se-cara numerik, digunakan pengukuran ketimpang-an upah, ketimpang-antara lain dengketimpang-an rasio ketimpang-antarpersentil, indeks Gini, indeks Theil, dan indeks Atkinson dengan dan tanpa menyertakan employment. Un-tuk penyederhanaan simulasi akan dilakukan pada provinsi-provinsi di Jawa saja, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Banten, dan Jawa Timur.

a. DKI Jakarta

Berdasarkan hasil simulasi di Provinsi DKI Jakarta (tanpa menyertakan dampak employ-ment/elastisitas=0) pada tingkat upah subsisten 0 dolar, kebijakan upah minimum mampu menurun-kan ketimpangan upah sebesar 0,048 yang diukur dengan koefisien Gini (Tabel 2). Begitu pula jika di-lihat dari rasio antarpersentil dengan rasio persentil upah ke-90 terhadap persentil upah ke-10 menurun yang berarti distribusi upah pada persentil ke-10 membaik. Namun sebaliknya, dengan menyerta-kan dampak employment dengan elastisitas sebesar -0,21, peningkatan upah minimum meningkatkan ketimpangan upah di Provinsi DKI Jakarta. Hal ini berarti bahwa kebijakan peningkatan upah mini-mum di Provinsi DKI Jakarta diperkirakan akan menurunkan ketimpangan upah sampai dengan elastisitas employment yang diakibatkan oleh upah minimum sebesar -0,2, sedangkan jika nilai elastisi-tas employment akibat upah minimum secara absolut lebih dari 0,2 terindikasi meningkatkan ketimpang-an upah.

Pada upah subsisten 1 dolar, jika dilihat dari koefisien Gini, peningkatan upah minimum akan menurunkan ketimpangan tanpa dan dengan me-nyertakan dampak employment sampai dengan elas-tisitas -0,25. Pada upah subsisten 2 dolar, pening-katan upah minimum menyebabkan peningpening-katan ketimpangan upah pada tingkat nilai absolut elas-tisitas lebih besar dari 0,4. Namun, rasio persentil upah ke-90 terhadap persentil upah ke-10 meng-alami penurunan pada semua tingkat elastisitas.

Secara visual, digambarkan secara grafis densitas upah aktual tahun 2014 dan 2008 pada Gambar 7. Secara keseluruhan, terlihat distribusi upah pada tahun 2014 lebih baik daripada tahun 2008 dengan bergesernya distribusi upah tahun 2014 ke kanan.

(10)

Gambar 6.Pendidikan yang Ditamatkan Pekerja Penerima Upah Tahun 2008 dan 2014 Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

Tabel 1.Persentase Pekerja Penerima Upah Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kategori Upah Tahun 2008 dan 2014

Tahun Provinsi

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten 2008 laki-laki <UM 28,19 22,50 26,86 26,35 22,00 35,83 >UM 32,24 45,01 30,85 34,57 42,48 29,38 % thd Total 60,43 67,51 57,71 60,92 64,48 65,21 perempuan <UM 23,87 13,35 27,71 20,04 17,27 25,76 >UM 15,69 19,14 14,58 19,04 18,25 9,03 % thd Total 39,56 32,49 42,29 39,08 35,52 34,79 2014 laki-laki <UM 43,20 29,47 29,35 26,63 31,32 29,10 >UM 20,99 41,29 35,25 35,86 35,24 40,50 % thd Total 64,19 70,76 64,60 62,49 66,56 69,60 perempuan <UM 25,75 13,72 23,10 23,55 19,42 12,36 >UM 10,05 15,52 12,30 13,96 14,02 19,03 % thd Total 35,80 29,24 35,40 37,51 33,44 31,39 Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)

Gambar 7.Estimasi Densitas Upah Aktual

(11)

Tabel 2.Perubahan Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 Elastisitas Employment 0 -0,20 -0,21 -0,25 -0,30 -0,40 -0,60 Ut (Jumlah unemployment) 0 15.912 16.707 19.890 23.868 31.824 47.735 % terhadap sampel 0 0,09 0,10 0,11 0,13 0,94 1,42 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 -6,884 13,616 20,896 34,357 33,343 31,797 29,949 P90/P50 -0,005 0,105 0,123 0,110 0,120 0,148 0,224 P10/P50 0,152 -0,078 -0,039 -0,116 -0,114 -0,112 -0,108 P75/P25 -1,237 -0,865 -0,822 -0,615 -0,308 0,661 5,890 Gini Index -0,048 -0,001 0,001 0,009 0,019 0,038 0,070 [22,54] [10,31] [10,03] [9,09] [8,25] [7,15] [53,44] Theil Index -0,072 0,008 0,012 0,027 0,045 0,08 0,144 [10,72] [5,53] [5,39] [4,89] [4,43] [3,82] [3,21] Atkinson Index -0,037 0,011 0,013 0,021 0,031 0,050 0,083 [12,46] [4,70] [4,48] [4,19] [3,86] [3,46] [3,12] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 -6,884 1,296 1,296 1,213 0,889 0,394 -0,197 P90/P50 -0,005 0,105 0,123 0,110 0,120 0,148 0,224 P10/P50 0,152 -0,007 -0,006 -0,006 -0,002 0,005 0,018 P75/P25 -1,237 -0,865 -0,822 -0,615 -0,308 0,661 4,840 Gini Index -0,048 -0,012 -0,010 -0,004 0,004 0,017 0,046 [22,54] [12,54] [12,24] [11.24] [10,31] [9,15] [55,10] Theil Index -0,072 -0,015 -0,012 -0,002 0,010 0,034 0,077 [10,72] [6,88] [6,73] [6,20] [5,69] [4,99] [4,28] Atkinson Index -0,037 -0,008 -0,007 -0,002 0,004 0,015 0,034 [12,46] [6,67] [6,52] [6,01] [5,55] [4,98] [4,51] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 -6,884 -6,544 -6,544 -6,585 -6,748 -6,995 -7,291 P90/P50 -0,005 0,105 0,123 0,110 0,120 0,148 0,224 P10/P50 0,152 0,152 0,154 0,154 0,163 0,177 0,202 P75/P25 -1,237 -0,865 -0,822 -0,615 -0,308 0,661 0,640 Gini Index -0,048 -0,026 -0,025 -0,021 -0,017 -0,009 0,002 [22,54] [17,16] [16,93] [16,12] [57,02] [50,96] [65,29] Theil Index -0,072 -0,039 -0,038 -0,032 -0,025 -0,013 0,009 [10,72] [8,94] [8,84] [8,44] [8,03] [7,43] [6,83] Atkinson Index -0,037 -0,023 -0,022 -0,02 -0,017 -0,013 -0,005 [12,46] [10,04] [9,91] [9,48] [9,06] [8,53] [8,27] b. Jawa Barat

Simulasi pada Tabel 3 memberikan hasil yang ber-beda tentang bagaimana pengaruh meningkatnya upah minimum dengan dan tanpa menyertakan dampak employment. Tanpa mempertimbangkan dampak employment, meningkatnya upah minimum mampu menurunkan ketimpangan upah, yaitu se-besar 0,001 jika diukur dari koefisien Gini. Dengan menyertakan dampak employment ketika elastisitas sebesar -0,03, kebijakan peningkatan upah mini-mum memberikan dampak sebaliknya, yaitu

me-ningkatkan ketimpangan upah.

Begitu pula dengan asumsi upah subsisten sebe-sar 1 dolar. Peningkatan upah minimum mampu menurunkan ketimpangan upah sampai dengan elastisitas -0,03, sedangkan pada elastisitas sebesar -0,05, peningkatan upah minimum meningkatkan ketimpangan upah. Pada upah subsisten 2 dolar, meningkatnya upah minimum mampu menurun-kan ketimpangan upah sampai dengan elastisitas kurang dari -0,1 dan rasio persentil upah ke-90 ter-hadap persentil upah ke-10 mengalami penurunan pada semua tingkat elastisitas.

(12)

Tabel 3.Simulasi Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi Jawa Barat Tahun 2014 Elastisitas Employment 0 -0,03 -0,05 -0,10 -0,20 -0,40 -0,60 Ut (Jumlah unemployment) 0 4477,179 7461,87 14923,74 29.848 59.695 89.543 % terhadap sampel 0 0,04 0,06 0,13 0,25 0,51 0,76 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 -0,401 -0,344 -0,309 0,057 0,797 3,172 11,089 P90/P50 0,000 0,024 0,023 0,033 0,052 0,111 0,096 P10/P50 0,016 0,017 0,015 0,002 -0,023 -0,079 -0,178 P75/P25 -0,016 0,027 0,043 0,064 0,085 0,248 0,393 Gini Index -0,001 0,001 0,002 0,006 0,013 0,026 0,039 [33,72] [33,46] [32,84] [30,28] [24,27] [16,50] [12,72] Theil Index -0,002 0,002 0,004 0,01 0,021 0,045 0,065 [15,77] [3,72] [15,51] [14,58] [12,15] [8,56] [6,66] Atkinson Index -0,001 0,001 0,002 0,006 0,012 0,025 0,037 [18,32] [18,05] [17,46] [15,31] [11,36] [7,43] [5,78] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 -0,401 -0,344 -0,309 0,057 0,797 2,417 2,106 P90/P50 0,000 0,024 0,023 0,033 0,052 0,111 0,096 P10/P50 0,016 0,017 0,015 0,002 -0,023 -0,062 -0,056 P75/P25 -0,016 0,027 0,043 0,064 0,085 0,248 0,393 Gini Index -0,001 0,000 0,001 0,003 0,008 0,016 0,014 [33,72] [33,71] [33,50] [32,43] [29,03] [22,64] [18,62] Theil Index -0,002 0,000 0,002 0,005 0,012 0,025 0,037 [15,77] [15,78] [15,73] [15,41] [14,27] [11,69] [9,77] Atkinson Index -0,001 0,000 0,000 0,002 0,005 0,011 0,017 [18,32] [18,31] [18,20] [17,62] [15,78] [12,34] [10,18] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 -0,401 -0,403 -0,406 -0,523 -0,636 -0,920 -1,286 P90/P50 0,000 0,024 0,023 0,033 0,052 0,111 0,096 P10/P50 0,016 0,019 0,019 0,026 0,034 0,056 0,073 P75/P25 -0,016 0,027 0,043 0,064 0,085 0,248 0,393 Gini Index -0,001 -0,001 -0,0004 0,0002 0,002 0,004 0,005 [33,72] [33,84] [33,90] [34,00] [34,05] [33,96] [34,14] Theil Index -0,002 -0,001 -0,001 0,000 0,003 0,007 0,010 [15,77] [15,80] [15,82] [15,83] [15,78] [15,52] [15,22] Atkinson Index -0,001 -0,001 -0,001 -0,001 0,000 0,001 0,002 [18,32] [18,37] [18,39] [18,45] [18,51] [18,56] [18,64]

Secara visual, densitas upah aktual tahun 2014 di Provinsi Jawa Barat terlihat lebih baik jika diban-dingkan dengan densitas upah aktual tahun 2008 (Gambar 9) karena bergesernya densitas upah ke upah yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan densitas upah kontrafaktual (Gambar 10), terlihat ada lonjakan yang cukup tinggi pada upah di seki-tar wilayah persentil ke-25 dan di persentil ke-10. Sehingga, kemungkinan ketimpangan upah kontra-faktual secara keseluruhan pada tahun 2014 lebih tinggi jika dibandingkan dengan ketimpangan upah aktual.

c. Jawa Tengah

Hasil simulasi di Provinsi Jawa Tengah pada Tabel 4 menunjukkan bahwa dengan mengasumsikan tidak ada dampak employment dan pada tingkat upah subsisten sebesar 0 dolar, peningkatan upah minimum di Jawa Tengah pada tahun 2008–2014 berkontribusi secara signifikan dalam menurunkan ketimpangan upah sebesar 0,034 yang diukur de-ngan koefisien Gini. Dede-ngan mengasumsikan nilai elastisitas employment akibat upah minimum sam-pai dengan -0,55, kebijakan upah minimum masih

(13)

Gambar 9.Estimasi Densitas Upah Aktual Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 dan 2014

Gambar 10.Estimasi Densitas Upah Aktual dan Kontrafaktual Provinsi Jawa Barat Tahun 2014

cukup efektif menurunkan ketimpangan upah. Na-mun, hasil sebaliknya diperoleh berlawanan pada elastisitas -0,57 ketika kebijakan peningkatan upah minimum berkontribusi meningkatkan ketimpang-an upah sebesar 0,001.

Dengan tingkat upah subsisten 1 dan 2 dolar, jika dilihat dari koefisien Gini, peningkatan upah minimum cukup efektif menurunkan ketimpangan upah di semua tingkat elastisitas. Namun, jika dili-hat dari indikator ketimpangan, rasio persentil upah ke-90 terhadap persentil upah ke-10 dengan asum-si upah subasum-sisten 1 dolar mengalami peningkatan pada nilai absolut elastisitas lebih besar dari 0,2. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan

upah minimum cukup efektif dalam mengurangi ketimpangan upah di Provinsi Jawa Tengah jika upah subsisten 1 dan 2 dolar.

Densitas upah pada tahun 2014 terlihat memba-ik jmemba-ika dibandingkan densitas upah kontrafaktual (Gambar 11 dan 12) yang terlihat adanya peningkat-an densitas pada upah rendah. Hal ini menunjukkpeningkat-an bahwa distribusi upah pada tahun 2014 membaik jika dibandingkan dengan tahun 2008 akibat kena-ikan upah minimum.

Gambar 11.Estimasi Densitas Upah Aktual Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008 dan 2014

Gambar 12.Estimasi Densitas Upah Aktual dan Kontrafaktual Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014

(14)

Tabel 4.Simulasi Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 Elastisitas Employment 0 -0,20 -0,40 -0,50 -0,55 -0,57 -0,60 Ut (Jumlah unemployment) 0 20.656 41.312 51.640 56.803 58.869 61.967 % terhadap sampel 0 0,26 0,52 0,64 0,71 0,73 0,77 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 -1,169 -0,478 0,485 1,223 1,834 2,056 2,431 P90/P50 -0,123 -0,099 -0,134 -2,582 -2,527 -2,513 -2,527 P10/P50 0,054 0,012 -0,042 -0,069 -0,087 -0,094 -0,105 P75/P25 -0,539 -0,455 -0,395 -0,334 -0,304 -0,304 -0,304 Gini Index -0,034 -0,021 -0,009 -0,003 -0,001 0,001 0,002 [33,43] [24,24] [16,65] [14,45] [13,59] [13,29] [12,86] Theil Index -0,043 -0,023 -0,005 0,004 0,008 0,010 0,013 [17,67] [13,44] [9,45] [8,23] [7,74] [7,57] [7,32] Atkinson Index -0,02 -0,007 0,001 0,006 0,009 0,010 0,011 [19,43] [12,02] [7,88] [6,83] [6,43] [6,29] [6,10] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 -1,169 -0,478 0,485 0,523 0,523 0,523 0,523 P90/P50 -0,123 -0,099 -0,134 -0,111 -0,082 -0,082 -0,082 P10/P50 0,054 0,012 -0,072 -0,041 -0,037 -0,037 -0,037 P75/P25 -0,539 -0,455 -0,395 -0,334 -0,304 -0,304 -0,304 Gini Index -0,034 -0,027 -0,021 -0,018 -0,016 -0,016 -0,015 [33,43] [30,19] [24,99] [22,91] [22,02] [21,69] [21,23] Theil Index -0,043 -0,033 -0,024 -0,020 -0,018 -0,017 -0,016 [17,67] [16,43] [14,08] [13,03] [12,55] [12,37] [12,12] Atkinson Index -0,020 -0,016 -0,012 -0,010 -0,009 -0,009 -0,008 [19,43] [17,57] [14,57] [13,37] [12,85] [12,66] [12,39] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 -1,169 -1,374 -1,660 -1,694 -1,694 -1,694 -1,694 P90/P50 -0,123 -0,099 -0,134 -0,111 -0,082 -0,082 -0,082 P10/P50 0,054 0,074 0,091 0,099 0,104 0,104 0,104 P75/P25 -0,539 -0,455 -0,445 -0,459 -0,459 -0,459 -0,459 Gini Index -0,034 -0,034 -0,035 -0,035 -0,035 -0,035 -0,035 [33,43] [34,01] [34,42] [34.48] [34,45] [34,43] [34,39] Theil Index -0,043 -0,042 -0,042 -0,042 -0,042 -0,042 -0,042 [17,67] [17,82] [17,97] [18,04] [18,07] [18,08] [18,10] Atkinson Index -0,020 -0,020 -0,021 -0,021 -0,021 -0,021 -0,021 [19,43] [19,65] [19,78] [19,79] [19,78] [19,77] [19,76]

d. Daerah Istimewa Yogyakarta

Peningkatan upah minimum di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup rendah dalam kurun waktu 2008– 2014, yaitu hanya sekitar 15,42 persen jika diban-dingkan dengan provinsi lainnya di Pulau Jawa. Jika dilihat secara visual pada Gambar 13 dan 14, terlihat bahwa densitas upah aktual tahun 2014 pa-da upah renpa-dah lebih tinggi jika dibandingkan papa-da densitas upah kontrafaktual yang mengindikasikan ada peningkatan pekerja yang mendapatkan upah rendah sehingga rasio pada persentil upah ke-90

terhadap persentil upah ke-10 bisa jadi akan me-ningkat. Peningkatan densitas pada upah rendah ini dapat menyebabkan peningkatan ketimpangan upah.

Hasil simulasi ketimpangan upah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tabel 5 menun-jukkan bahwa kebijakan peningkatan upah mini-mum menyebabkan meningkatnya ketimpangan upah tanpa dan dengan mempertimbangkan dam-pak employment. Dengan meningkatnya upah mi-nimum, justru meningkatkan ketimpangan upah sebesar 0,007 yang diukur dengan indikator

(15)

ke-Gambar 13.Estimasi Densitas Upah Aktual Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun 2008 dan 2014

Gambar 14.Estimasi Densitas Upah Aktual dan Kontrafaktual Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Tahun 2014

timpangan koefisien Gini upah. Begitu pula jika dampak employment disertakan dalam model, maka ketimpangan upah akan makin tinggi.

Selain itu, jika dilihat persentase pekerja yang upahnya kurang dari upah minimum, terjadi pe-ningkatan, yaitu dari 46,39 persen menjadi 50,19 persen, yang artinya ketidakpatuhan terhadap ke-bijakan peningkatan upah minimum meningkat (Tabel 6). Perubahan struktur pekerja di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami peru-bahan. Terlihat bahwa sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan pada tahun 2008 merupakan sektor dengan persentase terbesar dan pekerja yang

upahnya di atas upah minimum paling tinggi, yaitu 26,45 persen, tetapi mengalami penurunan yang cukup tinggi menjadi 18,60 persen di tahun 2014. Begitu pula di sektor pertanian, perkebunan, dan ke-hutanan yang upahnya kurang dari upah minimum pada tahun 2014 meningkat cukup tinggi menjadi 2,89 persen. Perubahan tersebut juga kemungkin-an dapat berpengaruh terhadap kurkemungkin-ang efektifnya kebijakan peningkatan upah minimum di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperbaiki ketimpangan upah.

e. Jawa Timur

Kebijakan peningkatan upah minimum pada kurun waktu 2008–2014 di Provinsi Jawa Timur ternyata memberikan dampak meningkatnya ketimpangan upah. Terlihat dengan perubahan koefisien Gini yang bertanda positif yang berarti bahwa koefisien Gini aktual lebih tinggi dari koefisien Gini kontra-faktual. Peningkatan upah minimum di Provinsi Jawa Timur akan menyebabkan meningkatnya ke-timpangan upah sebesar 0,011 (Tabel 7).

Secara visual, terlihat peningkatan ketimpangan upah di Provinsi Jawa Timur yang kemungkinan disebabkan karena ketidakpatuhan terhadap upah minimum di tahun 2014, seperti dalam Gambar 15 dan 16. Terlihat bahwa upah yang kurang dari upah minimum lebih banyak jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 ketika secara visual terlihat lebih banyak yang menerima upah di atas upah minimum di tahun 2008.

Tingkat kepatuhan akan kebijakan upah mini-mum yang diukur dengan persentase pekerja yang menerima upah lebih dari upah minimum di Pro-vinsi Jawa Timur menurun cukup tinggi, yaitu 11,48 jika dibandingkan tahun 2008. Penurunan tingkat kepatuhan tersebut kemungkinan yang menjadi salah satu penyebab peningkatan upah minimum di Jawa Timur sebesar 38,80, hal ini tidak cukup mampu untuk menurunkan ketimpangan upah. Di-lihat dari persentase pekerja berdasarkan lapangan

(16)

Tabel 5.Simulasi Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2014 Elastisitas Employment 0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 Ut (Jumlah unemployment) 0 1.075 2.149 3.224 4.299 % terhadap sampel 0 0,10 0,21 0,31 0,41 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 0,907 1,511 2,164 3,602 5,006 P90/P50 -0,049 -0,002 -0,006 -3,134 0,057 P10/P50 -0,067 -0,088 -0,123 -0,172 -0,436 P75/P25 0,000 -0,019 -0,008 0,041 0,076 Gini Index 0,009 0,017 0,024 0,032 0,039 [31,59] [28,39] [22,75] [18,46] [15,55] Theil Index 0,013 0,026 0,038 0,051 0,063 [11,80] [11,33] [9,98] [8,63] [7,53] Atkinson Index 0,008 0,016 0,023 0,030 0,036 [15,08] [13,15] [10,15] [8,15] [6,88] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 0,907 1,411 2,164 3,602 4,241 P90/P50 -0,049 -0,002 -0,006 0,027 0,057 P10/P50 -0,067 -0,088 -0,123 -0,172 -0,188 P75/P25 0,000 -0,019 -0,008 0,041 0,076 Gini Index 0,009 0,014 0,018 0,023 0,027 [31,59] [30,55] [27,67] [24,66] [22,13] Theil Index 0,013 0,020 0,027 0,034 0,041 [11,80] [11,72] [11,22] [10,55] [9,85] Atkinson Index 0,008 0,012 0,015 0,018 0,021 [15,08] [14,75] [13,62] [12,36] [11,24] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 0,907 0,716 0,567 0,439 0,364 P90/P50 -0,049 -0,002 -0,006 0,027 0,057 P10/P50 -0,067 -0,049 -0,041 -0,027 -0,018 P75/P25 0,000 -0,019 -0,008 0,041 0,076 Gini Index 0,009 0,010 0,010 0,011 0,011 [31,59] [31,83] [32,01] [32,20] [32,43] Theil Index 0,013 0,015 0,017 0,018 0,020 [11,80] [11,85] [11,87] [11,87] [11,87] Atkinson Index 0,008 0,009 0,009 0,009 0,010 [15,08] [15,17] [15,24] [15,30] [15,36]

Tabel 6.Persentase Pekerja menurut Lapangan Usaha dan Klasifikasi Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008 dan 2014

Daerah Istimewa Yogyakarta

Lapangan Usaha 2008 2014

<UM >UM % thd Total <UM >UM % thd Total Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 0,79 0,66 1,45 2,89 1,44 4,33

Pertambangan dan Penggalian 0 0,31 0,31 0,52 0,46 0,98

Industri 10,64 6,37 17,01 11,37 5,36 16,73

Listrik, Gas dan Air Minum 0 0,09 0,09 0,05 0,25 0,3

Konstruksi 2,94 5,24 8,18 6,11 7,82 13,93

Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Perusahaan 11,65 8,94 20,59 13,35 8,7 22,05 Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 2,16 2,37 4,53 1,84 2,88 4,72 Lembaga Keuangan, Real Estate dan 1,2 3,18 4,38 1,35 4,3 5,65 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 17,01 26,45 43,46 12,71 18,6 31,31

(17)

Tabel 7.Simulasi Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi Jawa Timur Tahun 2014 Elastisitas Employment 0 -0,2 -0,4 -0,6 -0,8 Ut (Jumlah unemployment) - 29.837 59.674 89.511 119.348 % terhadap sampel 0 0,33 0,66 0,99 1,32 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 0,817 2,317 6,942 19,484 19,095 P90/P50 0,017 0,036 0,142 0,198 0,275 P10/P50 -0,045 -0,106 -0,202 -0,298 -0,293 P75/P25 0,097 0,351 0,509 0,837 1,273 Gini Index 0,011 0,031 0,049 0,066 0,081 [33,47] [19,67] [12,77] [9,98] [8,56] Theil Index 0,015 -0,189 0,077 0,106 0,133 [14,96] [9,12] [6,88] [5,39] [4,60] Atkinson Index 0,008 0,262 0,043 0,058 0,071 [17,76] [10,18] [5,95] [4,77] [4,19] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 0,817 2,279 2,217 2,030 1,906 P90/P50 0,017 0,036 0,142 0,198 0,275 P10/P50 -0,045 -0,104 -0,089 -0,076 -0,061 P75/P25 0,097 0,351 0,509 0,837 1,273 Gini Index 0,011 0,022 0,032 0,041 0,049 [33,47] [26,90] [20,46] [17,22] [95,48] Theil Index 0,015 0,032 0,047 0,061 0,074 [14,96] [13,17] [10,62] [8,98] [7,98] Atkinson Index 0,008 0,015 0,022 0,028 0,033 [17,76] [14,67] [11,37] [9,61] [8,67] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 0,817 0,428 0,246 -0,028 -0,333 P90/P50 0,017 0,036 0,142 0,198 0,275 P10/P50 -0,045 -0,021 0,006 0,034 0,069 P75/P25 0,097 0,192 0,09 0,053 -0,01 Gini Index 0,011 0,012 0,012 0,012 0,010 [33,47] [34,74] [36,01]] [36,49] [75,31] Theil Index 0,015 0,017 0,019 0,020 0,020 [14,96] [17,39] [15,43] [15,69] [15,97] Atkinson Index 0,008 0,008 0,008 0,007 0,007 [17,76] [18,22] [18,61] [18,79] [18,57]

Tabel 8.Persentase Pekerja Menurut Lapangan Usaha dan Klasifikasi Upah Minimum Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 dan 2014

Jawa Timur

Lapangan Usaha 2008 2014

<UM >UM % thd Total <UM >UM % thd Total Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan 6,67 2,75 9,42 11,89 6,26 18,15

Pertambangan dan Penggalian 0,45 0,39 0,84 0,52 0,4 0,92

Industri 10,97 18,17 29,14 9,70 13,24 22,94

Listrik, Gas dan Air Minum 0,07 0,30 0,37 0,11 0,32 0,43

Konstruksi 1,72 4,89 6,61 6,53 7,28 13,81

Perdagangan, Rumah Makan dan Jasa Perusahaan 6,37 8,06 14,43 7,38 4,12 11,50 Transportasi, Pergudangan dan Komunikasi 1,80 3,77 5,57 1,85 2,62 4,47 Lembaga Keuangan, Real Estate dan 0,86 2,67 3,53 1,23 2,90 4,13 Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan 10,30 19,79 30,09 11,53 12,12 23,65

(18)

Gambar 15.Estimasi Densitas Upah Aktual Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 dan 2014

Gambar 16.Estimasi Densitas Upah Aktual dan Kontrafaktual Provinsi Jawa Timur Tahun 2014

usaha, secara total terjadi peningkatan persentase pekerja yang bekerja di sektor petanian dan terjadi peningkatan persentase pekerja yang upahnya ku-rang dari upah minimum (Tabel 8). Sementara itu, persentase pekerja yang bekerja di sektor industri serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan pero-rangan menurun. Jika dilihat dari tingkat upahnya, pekerja yang upahnya lebih dari upah minimum menurun. Tingkat kepatuhan yang menurun dan perubahan struktur lapangan usaha dari sektor in-dustri serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan ke sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan ini diduga menjadi penyebab yang

me-mengaruhi distribusi upah yang tidak membaik di Provinsi Jawa Timur.

Dilihat dari pendidikan yang ditamatkan, terjadi peningkatan persentase pekerja yang tidak sekolah yang upahnya kurang dari upah minimum. Hal ini mengindikasikan bahwa ada peningkatan pekerja yang upahnya rendah sehingga akan memengaruhi densitas pada distribusi upah aktual tahun 2014 (Tabel 9).

f. Banten

Dengan mengasumsikan tidak ada dampak employ-ment (elastisitas=0 dan upah subsisten 0 dolar), peningkatan upah minimum di Provinsi Banten pada tahun 2008–2014 berkontribusi secara signifi-kan dalam menurunsignifi-kan ketimpangan upah sebesar 0,010 yang diukur dengan indeks Gini dan menu-runkan ketimpangan upah pada distribusi upah persentil bawah yang diukur dari rasio persentil ke-90 terhadap persentil ke-10. Sebaliknya, dengan mengasumsikan nilai absolut elastisitas employment akibat upah minimum 0,11, maka hasil yang diper-oleh berlawanan dengan sebelumnya ketika kebi-jakan peningkatan upah minimum berkontribusi meningkatkan ketimpangan upah sebesar 0,001 (Ta-bel 10).

Pada nilai upah subsisten 1 dolar, kebijakan pe-ningkatan upah minimum mampu menurunkan ketimpangan upah sampai pada nilai absolut elas-tisitas sebesar 0,11. Pada upah subsisten 2 dolar, ketimpangan upah menurun sampai dengan nilai absolut elastisitas 0,2. Berdasarkan simulasi terse-but dapat dilihat bahwa kebijakan upah minimum diperkirakan memberikan dampak pada penurun-an ketimppenurun-angpenurun-an upah sampai pada nilai absolut elastisitas employment kurang dari 0,2.

Secara visual, digambarkan secara grafis tentang densitas upah aktual tahun 2014 dan 2008 pada Gambar 17 dan densitas upah kontrafaktual ta-hun 2014 pada Gambar 18. Berdasarkan tingkat kepatuhan akan kebijakan upah minimum,

(19)

Pro-Tabel 9.Persentase Pekerja menurut Pendidikan dan Klasifikasi Upah Minimum Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 dan 2014

2008 2014

≤UM >UM % thd Total ≤UM >UM % thd Total Tidak Sekolah 4,93 2,44 7,37 9,61 4,67 14,28 SD 22,75 20,38 43,13 14,96 8,70 23,66 SMP 9,31 23,53 32,84 10,07 7,10 17,17 SMA 2,27 13,42 15,69 12,48 18,17 30,65 PT 0,00 0,97 0,97 3,62 10,62 14,24 39,26 60,74 100,00 50,74 49,26 100,00

Tabel 10.Simulasi Ketimpangan Upah (Aktual-Kontrafaktual) Provinsi Banten Tahun 2014

Elastisitas Employment 0 -0,10 -0,11 -0,20 -0,40 -0,60 Ut (Jumlah unemployment) 0 4.568 5.025 9.136 18.272 27.408 % terhadap sampel 0 0,13 0,15 0,27 0,53 0,80 Upah subsisten (0) Rasio Persentil P90/P10 -0,851 0,233 0,402 1,869 8,335 32,357 P90/P50 0,000 0,030 0,030 -0,010 0,028 0,126 P10/P50 0,029 -0,004 -0,009 -0,048 -0,131 -0,213 P75/P25 -0,288 -0,205 -0,169 -0,044 0,156 0,442 Gini Index -0,010 -0,0001 0,001 0,009 0,026 0,042 [25,41] [23,02] [22,59] [18,75] [13,12] [10,37] Theil Index -0,013 0,003 0,005 0,018 0,048 0,077 [12,68] [11,73] [11,55] [9,80] [7,00] [5,54] Atkinson Index -0,005 0,004 0,005 0,013 0,030 0,046 [14,49 [12,08] [11,72] [9,01] [6,06] [4,84] Upah subsisten ($1) Rasio Persentil P90/P10 -0,851 0,233 0,402 1,869 4,193 4,193 P90/P50 0,000 0,030 0,030 -0,010 0,028 0,126 P10/P50 0,029 -0,004 -0,009 -0,048 -0,086 -0,078 P75/P25 -0,288 -0,205 -0,169 -0,044 0,156 0,442 Gini Index -0,010 -0,003 -0,002 0,004 0,015 0,027 [25,41] [24,24] [23,99] [21,41] [16,54] [13,70] Theil Index -0,013 -0,002 -0,001 0,008 0,027 0,046 [12,68] [12,29] [12,19] [11,18] [8,96] [7,46] Atkinson Index -0,005 0,000 0,000 0,005 0,014 0,023 [14,49 [13,71] [13,55] [11,93] [9,10] [7,54] Upah subsisten ($2) Rasio Persentil P90/P10 -0,851 -1,006 -1,006 -1,268 -1,605 -1,849 P90/P50 0,000 0,030 0,030 -0,010 0,028 0,126 P10/P50 0,029 0,038 0,038 0,044 0,063 0,088 P75/P25 -0,288 -0,205 -0,169 -0,044 0,156 0,442 Gini Index -0,01 -0,006 -0,006 -0,003 0,003 0,008 [25,41] [25,31] [25,26] [24,65] [22,98] [21,79] Theil Index -0,013 -0,008 -0,007 -0,003 0,006 0,014 [12,68] [12,62] [12,6] [12,35] [11,57] [10,83] Atkinson Index -0,005 -0,003 -0,003 -0,001 0,002 0,005 [14,49 [14,47] [14,46] [[14,22] [13,50] [12,89]

(20)

vinsi Banten paling tinggi peningkatannya, yaitu meningkat 20,13 persen jika dibandingkan tahun 2008. Pada Gambar 17 juga terlihat bahwa distri-busi upah tahun 2014 terlihat lebih banyak yang melebihi dari garis vertikal upah minimum. Tingkat kepatuhan yang tinggi ini mungkin juga berperan dalam menurunkan ketimpangan upah di Provinsi Banten.

Gambar 17.Estimasi Densitas Upah Aktual Provinsi Banten Tahun 2008 dan 2014

Gambar 18.Estimasi Densitas Upah Aktual dan Kontrafaktual Provinsi Banten Tahun 2014

Simpulan

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meng-analisis pengaruh peningkatan upah minimum

ter-hadap ketimpangan upah tanpa dan dengan me-nyertakan dampak employment pada kurun waktu 2008–2014. Tanpa menyertakan dampak employment, kebijakan peningkatan upah minimum memberi-kan dampak pada penurunan ketimpangan upah. Namun, jika dampak employment disertakan, pe-ningkatan upah minimum justru mepe-ningkatan ke-timpangan upah dengan beberapa asumsi elastisitas dan upah subsisten. Hal ini secara empiris terjadi di Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten.

Pengaruh kebijakan peningkatan upah minimum terhadap ketimpangan upah mendapatkan hasil yang berbeda di dua provinsi lainnya, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur. Peningkatan upah minimum riil di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur menyebabkan pening-katan ketimpangan upah tanpa dan dengan menyer-takan dampak employment. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, peningkatan upah minimum tidak memiliki dampak terhadap penurunan ke-timpangan upah (tanpa menyertakan dampak em-ployment). Hal ini kemungkinan disebabkan ren-dahnya peningkatan upah minimum, yaitu hanya sebesar 15,42 persen selama kurun waktu 2008–2014 dibandingkan dengan provinsi lainnya sehingga ku-rang berdampak terhadap penurunan ketimpangan upah. Sementara itu, untuk Provinsi Jawa Timur kemungkinan disebabkan karena ketidakpatuhan terhadap upah minimum di tahun 2014, seperti pa-da Tabel 8. Terlihat bahwa upah yang kurang pa-dari upah minimum lebih banyak jika dibandingkan dengan kondisi tahun 2008. Selain itu juga ada-nya perubahan struktur lapangan usaha pekerja penerima upah ketika terjadi perubahan struktur lapangan usaha dari sektor industri serta sektor jasa kemasyarakatan, sosial, dan perorangan ke sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan di tahun 2014.

Dalam melakukan estimasi pengaruh kebijakan peningkatan upah minimum terhadap

(21)

ketimpang-an upah, penelitiketimpang-an ini memiliki beberapa keter-batasan, yaitu pertama, elastisitas yang digunakan dalam penelitian adalah berdasarkan pada peneliti-an sebelumnya di Indonesia dengpeneliti-an peneliti-analisis level nasional. Penelitian ini melakukan analisis level provinsi sehingga seharusnya elastisitas yang digu-nakan adalah hasil penelitian level provinsi, yang akhirnya sulit untuk menyimpulkan apakah pe-ningkatan upah minimum baik atau tidak. Begitu juga upah subsisten yang digunakan juga merupa-kan pendekatan sehingga memungkinmerupa-kan adanya kesalahan dalam pengukuran. Kedua, penggunaan variabel karakteristik individu yang berbeda ke-mungkinan akan menghasilkan pembobotan ulang yang berbeda sehingga mungkin perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut dalam menentukan ka-rakteristik individu yang lebih lengkap sehingga menghasilkan densitas upah kontrafaktual yang le-bih akurat. Ketiga, data yang digunakan adalah data cross section dan bukanlah data panel sehingga ten-tunya hasil penelitian tidak dapat menyimpulkan apakah kebijakan upah minimum baik atau tidak. Hasil penelitian tersebut di atas menemukan bah-wa kebijakan peningkatan upah minimum memiliki dampak menurunkan ketimpangan upah sampai pada tingkat elastisitas tertentu seperti yang sudah disimulasikan pada bagian hasil estimasi. Sehing-ga, berdasarkan hasil tersebut penetapan kebijakan peningkatan upah minimum hendaknya dilakukan dengan sangat hati-hati karena ada dampak unem-ployment yang mungkin ditimbulkan dari kebijakan tersebut.

Daftar Pustaka

[1] Alatas, V., & Cameron, L. A. (2008). The impact of minimum wages on employment in a low-income country: A quasi-natural experiment in Indonesia. ILR Review, 61(2), 201-223. doi: https://doi.org/10.1177/001979390806100204.

[2] Angel-Urdinola, D. F. (2004). A minimum wage increase can have an adverse distributional impact: The case of Colombia. Archivos de Econom´ıa Documento 247. Departa-mento Nacional de Planeaci ´on Rep ´ublica de Colombia.

Diakses 18 Desember 2017 dari https://papers.ssrn.com/ sol3/papers.cfm?abstract id=579201.

[3] Angel-Urdinola, D. F. (2008). Can a minimum wage increase have an adverse impact on inequality? Evidence from two Latin American economies. The Journal of Economic Inequality, 6(1), 57-71. doi: https://doi.org/10.1007/s10888-006-9049-1.

[4] Angel-Urdinola, D., & Wodon, Q. (2005). Do changes in the minimum wage affect younger and older workers differently? Evidence for Paraguay using semi-parametric methods. Estudios de Econom´ıa, 32(1), 25-38.

[5] Autor, D. H. (2009). MIT Graduate Labor Economics 14.662 Spring 2009. Lecture Note #7: Wage Density Decompositions. Department of Economics, Massachusetts Institute of Tech-nology.

[6] Autor, D. H., Manning, A., & Smith, C. L. (2016). The con-tribution of the minimum wage to US wage inequality over three decades: A reassessment. American Economic Journal: Applied Economics, 8(1), 58-99. doi: 10.1257/app.20140073. [7] Belser, P., & Rani, U. (2015). Minimum wages and inequality.

In J. Berg (Ed.), Labour markets, institutions and inequality: Bu-ilding Just Societies in the 21st Century (pp. 123-146). Edward Elgar Publishing.

[8] Brown, C. (1999). Minimum wages, employment, and the distribution of income. Handbook of Labor Economics, 3(Part B), 2101-2163. O. C. Ashenfelter & D. Card (Eds.). doi: https://doi.org/10.1016/S1573-4463(99)30018-3.

[9] Cahuc, P., & Zylberberg, A. (2004). Labor economics. The MIT Press.

[10] Campolieti, M. (2015). Minimum wages and wage spillo-vers in Canada. Canadian Public Policy, 41(1), 15-34. doi: https://doi.org/10.3138/cpp.2013-060.

[11] Chun, N., & Khor, N. (2010). Minimum wages and changing wage inequality in Indonesia. ADB Economics Working Paper Series 196. Asian Development Bank. Diakses 8 November 2017 dari https://www.adb.org/publications/ minimum-wages-and-changing-wage-inequality-indonesia. [12] Cunningham, W. V. (2007). Minimum wages and social policy:

Lessons from developing countries. Directions in development; Human development. World Bank.

[13] DiNardo, J., & Tobias, J. L. (2001). Nonparametric density and regression estimation. Journal of Economic Perspectives, 15(4), 11-28. doi: 10.1257/jep.15.4.11.

[14] DiNardo, J., Fortin, N. M., & Lemieux, T. (1996). La-bor market institutions and the distribution of wages, 1973-1992: A semiparametric approach. Econometrica: Jo-urnal of the Econometric Society, 64(5), 1001-1044. doi: ht-tps://doi.org/10.2307/2171954.

[15] Heckman, J., & Sedlacek, G. (1981). The impact of the mini-mum wage on the employment and earnings of workers in South Carolina. Report of the minimum wage study commission, 5 (pp. 225-272). US Government Printing Office.

(22)

[16] Islam, I., & Nazara, S. (2000). Minimum wage and the welfare of Indonesian workers. Occasional Discussion Paper Series No. 3. International Labour Organization. Diakses 10 Oktober 2017 dari https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/ publications/WCMS 123579/lang--en/index.htm. [17] Lee, D. S. (1999). Wage inequality in the United States

during the 1980s: Rising dispersion or falling minimum wage?. The Quarterly Journal of Economics, 114(3), 977-1023. doi: https://doi.org/10.1162/003355399556197.

[18] Maurizio, R., & V´azquez, G. (2016). Distribution effects of the minimum wage in four Latin American countries: Argentina, Brazil, Chile and Uruguay. International Labour Review, 155(1), 97-131. doi: https://doi.org/10.1111/ilr.12007. [19] Meyer, R. H., & Wise, D. A. (1983). The effects of the minimum wage on the employment and earnings of youth. Journal of Labor Economics, 1(1), 66-100. doi: ht-tps://doi.org/10.1086/298005.

[20] Pettengil, J. S. (1981). The long-run impact of a minimum wage on employment and the wage structure. In Minimum Wage Study Commission (Ed.), Report of the Minimum Wage Study Commission, 6 (pp. 63-104). US Government Printing Office.

[21] Rama, M. (2001). The consequences of doubling the mi-nimum wage: The case of Indonesia. Industrial and Labor Relations Review, 54(4), 864-881. doi:10.2307/2696117. [22] Rani, U., & Ranjbar, S. (2015). Impact of Minimum wages

on wage quantiles: Evidence from developing countries. Proceedings of the Policy Dialogue on Promoting Inclusion and Reducing Disparities in the Labour Market in Brazil and India. [23] Rodrigues, E. A. S., & FIlho, N. A. M. (2000). Mi-nimum wage and inequality in Brazil and Mexico, 1981-2000: A semiparametric approach. 19th Annual Conference on Economics, Central Bank of Uruguay (Aug. 2004). Bank Central del Uruguay. Diakses 25 Januari 2018 dari https://www.bcu.gub.uy/Comunicaciones/Jornadas% 20de%20Economa/iees03j3290804.pdf.

[24] Suryahadi, A., Widyanti, W. D., Perwira, D., Rahayu, S. K., Sulaksono, B., Nabiu, M., ... & Hendratno, S. (2001). Wage and employment effects of minimum wage policy in the Indonesian urban labor market. SMERU Research Report October 2001. SMERU Research Institute. Diak-ses 23 Juni 2018 dari http://www.smeru.or.id/en/content/ wage-and-employment-e ffects-minimum-wage-policy-indonesian-urban-labor-market.

Gambar

Gambar 1. Distribusi Upah dengan dan Tanpa Adanya Upah Minimum Sumber: Meyer &amp; Wise (1983)
Gambar 3. Peningkatan Upah Minimum dan Kepatuhan terhadap Kebijakan Upah Minimum Provinsi-Provinsi di
Gambar 5. Rata-Rata Jam Kerja Pekerja Penerima Upah Tahun 2008 dan 2014
Gambar 6. Pendidikan yang Ditamatkan Pekerja Penerima Upah Tahun 2008 dan 2014 Sumber: Sakernas 2008 dan 2014 (diolah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk Usaha Tetap (BUT) Adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, dan badan yang tidak didirikan dan tidak

Akan tetapi hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mantaputri dan Widodo (2016) yang menghasilkan hasil bahwa pengungkapan corporate

Penerapan schoology dalam pembelajaran Fisika secara daring cukup membantu dalam hal interaksi pembelajaran Fisika secara terbatas antara dosen dan mahasiswa, oleh

Tidak seperti bantuan untuk pendidikan, utilitas, beras dan bantuan nontunai lainnya –yang mungkin bisa diestimasi dengan cukup akurat oleh responden rumah tangga dalam

Menurut Nasroen Haroen, pengelolaan zakat sampai saat ini belum mencapai tujuan dan sasaran ideal sebagaimana yang diharapkan oleh Undang-Undang, hal ini

Nama Jurnal, Tahun terbit, Volume, Nomor,

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu “Bagaimana perencanaan rute distribusi teroptimal yang dapat dilalui UD Global Indonesia dengan

Variabel Kompetensi dan Pelatihan secara simultan mempunyai pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja Pegawai Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi