• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN PETANI KELAPA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN. Supadi dan Achmad Rozany Nurmanaf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBERDAYAAN PETANI KELAPA DALAM UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN. Supadi dan Achmad Rozany Nurmanaf"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

K

elapa merupakan komoditas stra-tegis yang memiliki peran sosial, budaya, dan ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Manfaat tanaman kelapa tidak saja terletak pada daging buahnya yang dapat diolah menjadi santan, kopra, dan minyak kelapa, tetapi seluruh bagian tanaman kelapa mempu-nyai manfaat yang besar. Demikian besar manfaat tanaman kelapa sehingga ada yang menamakannya sebagai "pohon kehidupan" (the tree of life) atau "pohon yang amat menyenangkan" (a heaven

tree) (Asnawi dan Darwis 1985). Sukamto

(2001) selain menjuluki kelapa sebagai

"pohon kehidupan", juga menamakannya sebagai "pohon surga".

Kelapa merupakan tanaman tropis yang telah lama dikenal masyarakat Indo-nesia. Hal ini terlihat dari penyebaran tanaman kelapa di hampir seluruh wilayah Nusantara, yaitu di Sumatera dengan areal 1,20 juta ha (32,90%), Jawa 0,903 juta ha (24,30%), Sulawesi 0,716 juta ha (19,30%), Bali, NTB, dan NTT 0,305 juta ha (8,20%), Maluku dan Papua 0,289 juta ha (7,80%), dan Kalimantan 0,277 juta ha (7,50%). Kelapa diusahakan petani baik di kebun maupun pekarangan (Nogoseno 2003).

Kelapa merupakan tanaman perke-bunan dengan areal terluas di Indonesia, lebih luas dibanding karet dan kelapa sawit, dan menempati urutan teratas untuk tanaman budi daya setelah padi. Kelapa menempati areal seluas 3,70 juta ha atau 26% dari 14,20 juta ha total areal perkebunan. Sekitar 96,60% pertanaman kelapa dikelola oleh petani dengan rata-rata pemilikan 1 ha/KK (Allorerung dan Mahmud 2003), dan sebagian besar diusahakan secara monokultur (97%), kebun campuran atau sebagai tanaman pekarangan (Budianto dan Allorerung 2003).

PEMBERDAYAAN PETANI KELAPA DALAM UPAYA

PENINGKATAN PENDAPATAN

Supadi dan Achmad Rozany Nurmanaf

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Jalan A. Yani No. 70 Bogor 16161

ABSTRAK

Pada umumnya usaha tani kelapa rakyat masih bersifat monokultur dengan produktivitas rendah sehingga belum mampu mendukung kehidupan keluarga petani. Sekitar 60% petani kelapa tergolong miskin. Oleh karena itu, pemberdayaan petani merupakan upaya strategis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Pemberdayaan dapat dilaksanakan melalui: l) pembinaan dan pelatihan cara berproduksi yang efisien melalui penerapan teknologi anjuran dan diversifikasi usaha tani dan produk, 2) bantuan modal (kredit usaha), 3) pembangunan sarana dan prasarana untuk pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan untuk memperlancar penyediaan sarana produksi serta pemasaran hasil, barang dan jasa, serta 4) penguatan kelembagaan sosial ekonomi petani baik lembaga ekonomi (koperasi) maupun nonekonomi (asosiasi). Dengan upaya tersebut diharapkan petani kelapa mampu memanfaatkan potensi dan kreativitasnya sehingga dapat merespons dan mengakses fasilitas yang dibangun untuk kesejahteraan mereka.

Kata kunci: Kelapa, usaha tani, pemberdayaan petani, pendapatan usaha tani

ABSTRACT

Empowerment of coconut farmers to increase their family income

Generally, small coconut farmings apply monoculture techniques with low productivity so the farming is not able to support yet the life of farmer’s family. Around 60% coconut farmers are poor. Therefore, coconut farmer’s empowerment is the crucial effort to increase their income and welfare. Farmer's empowerment can be done by several ways, namely 1) construction and training on how to make production efficiently by applying recommended technologies and diversifying farm products, 2) capital aid for farm business, 3) infrastructure development to support public social-economic activities to accelerate marketing of input and output, goods and services, and 4) reinforcement of farmer’s social institution, not only in economic aspect, like cooperation, but also in noneconomic aspect, for example farmers’ association. By these efforts farmers could use their potency and creativity in responding and accessing available facilities.

(2)

Areal tanam kelapa meningkat dari 1,60 juta ha tahun 1968 menjadi 3,75 ha tahun 2000 atau rata-rata bertambah dengan laju 4%/tahun. Secara kuantitatif areal tanam meningkat, tetapi secara kualitatif belum ada peningkatan yang nyata (Brotosunaryo 2003). Menurut Allorerung dan Mahmud (2003), selama 30 tahun terakhir areal kelapa meningkat sekitar 154%, tetapi produktivitasnya relatif tidak berubah dari 0,80 t menjadi 1,10 t kopra/ha/tahun, padahal kelapa dalam yang dipelihara intensif dapat menghasilkan 2,50 t kopra/ha/tahun dan kelapa hibrida 4 t kopra/ha/tahun.

Dalam perekonomian Indonesia, kelapa merupakan salah satu komoditas strategis karena perannya yang besar bagi masyarakat sebagai sumber pendapatan, sumber utama minyak dalam negeri, sumber devisa, sumber bahan baku industri (pangan, bangunan, farmasi, oleo-kimia), dan sebagai penyedia lapangan kerja (Kasryno et al. 1998; Tondok 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Budianto dan Allorerung 2003; Tarigans 2003). Namun demikian menurut Budianto dan Allorerung (2003), bila dilihat dari segi pendapatan petani, potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum di-manfaatkan secara optimal karena adanya berbagai masalah internal baik dalam proses produksi, pengolahan, pemasaran maupun kelembagaan (Kasryno et al. 1998).

Terbatasnya perhatian pemerintah terhadap perkelapaan, secara langsung dan tidak langsung telah mengabaikan nasib dan kepentingan sekitar 8 juta KK (40 juta rakyat Indonesia) yang meliputi petani, buruh tani, buruh dagang, pedagang, dan buruh industri (Allore-rung dan Mahmud 2003). Hal ini terjadi karena penilaian peran suatu komoditas khususnya kelapa secara nasional sering bias, karena hanya dilihat dari kontribusinya terhadap perolehan devisa dengan mengabaikan jumlah rakyat yang terlibat langsung di dalamnya. Sejak zaman penjajahan hingga kini, profil usaha tani kelapa praktis tidak banyak mengalami perubahan. Produk yang dihasilkan petani tetap hanya berupa kopra atau kelapa butiran. Bahkan jika dahulu petani atau usaha kecil pedesaan banyak mengolah minyak klentik, sekarang praktis sudah tidak ada (Allorerung dan Mahmud 2003). Dengan demikian, peran sosial ekonomi kelapa bagi petani relatif tidak berubah.

Kondisi ekonomi kelapa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir relatif tidak berubah, baik dari segi pendapatan mau-pun pengusahaan kelapa oleh petani. Hasil penelitian Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain pada tahun 2001 di sentra produksi kelapa Kabupaten Indragiri Hilir (Riau), Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara) menunjuk-kan bahwa umumnya petani kelapa di wilayah tersebut memiliki status sosial ekonomi di bawah garis kemiskinan (standar US$ 200/kapita/tahun) (Tarigans 2003). Kondisi tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh. Untuk itu pember-dayaan petani kelapa dalam rangka meningkatkan pendapatan dan sekaligus mengentaskan kemiskinan merupakan upaya yang strategis.

Tulisan ini merupakan tinjauan (review) terhadap upaya pemberdayaan petani kelapa dalam rangka mengem-bangkan kemampuan dan kemandirian petani. Pemberdayaan dimaksudkan agar petani mampu mengakses, memanfaatkan, meraih, dan menciptakan peluang eko-nomi yang dapat meningkatkan pen-dapatan dan kesejahteraan keluarga petani.

KERAGAAN USAHA TANI

KELAPA

Dalam kurun waktu tiga dasawarsa ter-akhir, petani kelapa di berbagai negara termasuk Indonesia berada pada posisi yang tidak menguntungkan, karena rendahnya produktivitas serta harga kopra yang rendah dan fluktuatif. Akibat rendahnya pendapatan, petani kelapa menjadi kurang termotivasi untuk meng-adopsi teknologi anjuran untuk mening-katkan produktivitas dan efisiensi usaha tani (Tarigans 2003).

Allorerung dan Mahmud (2003) menyatakan posisi petani kelapa dalam berbagai pola pengembangan seperti PIR hanya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Hubungan antara petani sebagai penghasil bahan baku dengan industri pengolahan belum terjalin sebagai kemi-traan yang saling menguntungkan, sehingga seluruh nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan hanya dinikmati oleh industri atau pengolah.

Tanpa adanya perubahan mendasar dari cara pandang berbagai pelaku

agribisnis kelapa termasuk pemerintah maka kondisi petani kelapa akan tetap terpuruk. Selama ini petani hanya dipo-sisikan sebagai produsen atau pemasok bahan baku untuk kebutuhan industri, tetapi pihak industri belum melihat bahwa keberlanjutan industri mereka sangat bergantung pada stabilitas pasokan bahan baku dari petani (Allorerung dan Mahmud 2003). Selain itu, kebijakan pemerintah dalam pengembangan kelapa pun tidak lebih maju dari kebijakan industriawan. Pola pengembangan seperti UPP dan PIR belum mampu memperkuat posisi petani dalam agribisnis kelapa. Dalam banyak hal PIR lebih ditujukan untuk menjamin pasokan bahan baku bagi industri, bukan untuk memperbaiki kesejahteraan petani. Pada saat harga tinggi, perusahaan inti berusaha membeli kelapa dengan harga tinggi, namun ketika harga turun pembelian inti juga turun walaupun pihak inti dapat memperoleh nilai tambah dari tempurung dan air kelapa.

Menurut Salam dan Suwandi (2003), lemahnya keberdayaan petani kelapa ditunjukkan oleh sulitnya mereka menge-mukakan pendapat dalam mengambil keputusan yang menguntungkan untuk menghadapi kelompok lain yang ikut memanfaatkan kelapa sebagai sumber aktivitas. Petani selalu diposisikan se-bagai objek dan kurang dilibatkan dalam perencanaan sehingga dalam aktivitas pengelolaannya selalu dirugikan.

KARAKTERISTIK USAHA

TANI KELAPA DAN

PERMASALAHANNYA

Dari total areal perkebunan kelapa 3,74 juta ha, 96% merupakan perkebunan rakyat (Brotosunaryo 2003). Karakteristik usaha tani kelapa yang didominasi oleh per-kebunan rakyat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Luas pemilikan lahan usaha tani rata-rata 1−1,10 ha/KK. Luas lahan ini akan berkurang lagi sebagai akibat fragmentasi lahan sejalan dengan sistem bagi waris yang telah mem-budaya (Allorerung dan Lay 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Brotosunaryo 2003).

2. Penanaman dilakukan secara mono-kultur sehingga pemanfaatan lahan

(3)

belum optimal dan produktivitasnya rendah. Petani juga belum menerapkan teknologi budi daya anjuran karena keterbatasan modal. Pemeliharaan tanaman terbatas pada penyiangan di sekitar pangkal batang dengan inter-val tidak teratur, tanpa pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Pola pengembangan kelapa secara monokultur yang tidak dibarengi dengan penerapan teknologi budi daya menyebabkan pemanfaatan sumber daya belum optimal (Sulistyo 1998; Sukamto 2001; Brotosunaryo 2003).

3. Jenis kelapa yang diusahakan adalah kelapa dalam lokal dengan produk-tivitas hanya 1−1,40 t kopra/ha/tahun, jauh di bawah potensi produktivitas yang dimiliki sebesar 2,50 t kopra/ha/ tahun. Rendahnya penghasilan yang diperoleh dari kelapa menyebabkan petani tidak memiliki modal untuk memelihara kebun secara intensif, apalagi menggarap lahan perkebunan secara optimal maupun mengolah hasil (Allorerung dan Lay 1998; Kasryno et al. 1998; Suprapto 1998; Sukamto 2001; Brotosunaryo 2003; Djunaedi 2003; Nogoseno 2003). 4. Sebagian besar tanaman kelapa

berumur tua (lebih dari 50 tahun) dan tidak produktif lagi sebagai akibat belum terlaksananya program perema-jaan tanaman. Kondisi demikian menyebabkan produktivitas kelapa rendah dan usaha tani kelapa tidak mengalami perubahan selama 30 tahun terakhir. Di sisi lain pola usaha tani monokultur yang diterapkan sebagian besar petani saat ini, dan pola usaha tani polikultur yang masih bersifat subsisten, telah membatasi petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih layak (Suprapto 1998; Jamaludin 2003; Tarigans 2003). 5. Produk usaha tani yang dihasilkan

masih bersifat tradisional, yaitu kelapa butiran dan kopra berkualitas rendah. Pemanfaatan hasil samping belum banyak dilakukan oleh petani, sehing-ga nilai tambah dari usaha tani belum diperoleh secara optimal. Hanya seba-gian kecil petani yang telah meman-faatkan hasil samping seperti sabut dan tempurung (Brotosunaryo 2003; Jamaludin 2003; Nogoseno 2003). 6. Pendapatan usaha tani kelapa masih

rendah dan fluktuatif sehingga tidak mampu mendukung kehidupan

kelu-arga secara layak. Pendapatan dari usaha tani kelapa monokultur sebesar Rp1.500.000/ha/tahun atau Rp125.000/ bulan, lebih rendah dari kebutuhan fisik minimum petani sekitar Rp200.000−

Rp300.000/KK (5 orang) (Kasryno et

al. 1998).

7. Posisi petani dalam berbagai pola pengembangan seperti PIR hanya sebagai penyedia bahan baku bagi industri. Pengolahan dan pemasaran hasil masih dikuasai oleh sektor swasta. Hubungan petani sebagai penghasil bahan baku dengan in-dustri pengolahan belum merupakan hubungan yang saling membutuhkan (Allorerung dan Lay 1998; Allorerung dan Mahmud 2003; Djunaedi 2003). 8. Lokasi perkebunan umumnya

ter-pencar dan relatif terpencil dengan sarana atau prasarana (infrastruktur) yang terbatas (Suprapto 1998; Yasin 1998 ).

9. Pada umumnya pendidikan petani masih rendah, karena 90% hanya ber-pendidikan sekolah dasar, padahal untuk membangun agribisnis kelapa yang maju diperlukan tenaga terampil untuk mengelola usaha secara pro-fesional (Suprapto 1998).

10. Peran dan dukungan kelembagaan pertanian seperti kelompok tani dan koperasi masih lemah, bahkan kelem-bagaan di tingkat petani seperti KUD umumnya belum berfungsi sebagai-mana mestinya (Yasin 1998; Broto-sunaryo 2003).

11. Dari segi pemasaran, para petani kelapa dirugikan oleh praktek pasar monopsoni dari pabrik minyak kelapa dan pedagang kopra yang menen-tukan harga secara sepihak. Keadaan ini menyebabkan petani kecewa dan membiarkan tanaman kelapa terlantar sehingga produktivitas kelapa turun drastis (Brotosunaryo 2003). 12. Tingginya harga pupuk dan

rendah-nya harga jual kopra serta fluktuasi harga yang tidak menentu menye-babkan petani tidak bergairah untuk memelihara tanaman dan memanen buah kelapa (Rondonuwu dan Amrizal 1998; Wibowo 1997; Djunaedi 2003; Jamaludin 2003; Mahmud 2003). 13. Tidak adanya insentif yang diberikan

kepada petani kelapa untuk men-dorong petani menghasilkan kopra bermutu baik atau menjual kelapa segar kepada pabrik terdekat (Dju-naedi 2003).

14. Pembinaan dari pemerintah dalam teknik budi daya, perbaikan prasarana transportasi, penanganan pasca-panen maupun kemudahan dalam mengakses modal dan pasar relatif kurang (Allorerung dan Lay 1998; Suprapto 1998; Jamaludin 2003).

Secara garis besar hambatan pada usaha tani kelapa terdapat pada efisiensi pemanfaatan sumber daya, pengolahan hasil, sumber daya manusia, kelemba-gaan, dan infrastruktur. Hal tersebut menyebabkan produktivitas dan penda-patan dari usaha tani kelapa rendah sehingga tidak mampu mendukung kehidupan yang layak (Sulistyo 1998). Peluang dan tantangannya adalah pengu-sahaan tanaman sela dan ternak, serta pemanfaatan hasil samping.

PEMBERDAYAAN PETANI

Pemberdayaan (empowerment) petani (kelompok tani) merupakan upaya mem-fasilitasi petani untuk memanfaatkan potensi dan kreativitas sendiri dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraannya. Menurut Syafa'at et al. (2003), pemberdayaan merupakan ins-trumen inti yang dapat digunakan untuk pengembangan masyarakat. Dengan pengertian tersebut maka pemberdayaan petani atau kelompok tani tidak hanya terbatas pada aspek teknik produksi, tetapi juga peningkatan sumber daya manusia (keluarga) dan aspek bisnis, baik usaha tani maupun usaha di luar sektor pertanian.

Pemberdayaan petani kelapa ber-tujuan untuk: 1) mengembangkan kemam-puan petani sehingga dapat mengakses permodalan, teknologi, agroinput dan pemasaran hasil, termasuk membuat rencana, memproduksi, mengelola, me-masarkan serta melihat setiap peluang yang ada, 2) memanfaatkan sumber daya secara efisien melalui pengembangan sistem pertanian berkelanjutan dengan usaha pokok tanaman perkebunan, 3) meningkatkan diversifikasi sumber pen-dapatan sepanjang tahun, 4) menum-buhkembangkan kelembagaan ekonomi petani yang mampu mewakili kepen-tingan petani sehingga dapat meningkat-kan posisi tawar dan daya saing hasil usaha tani, dan 5) meningkatkan daya saing hasil usaha tani dan olahannya (Sekretariat Direktorat Jenderal Bina

(4)

Produksi Perkebunan 2003). Menurut Yasin (1998) dan Mahmud (2003), pemberdayaan petani kelapa bukanlah pekerjaan mudah, karena di samping berkaitan dengan interaksi antara pe-merintah, pengusaha, dan petani juga terkait dengan sistem sebagai spirit dari struktur interaksi, sumber ekonomi yang dapat dimanfaatkan dan bekerjanya sistem tersebut. Meskipun demikian upaya pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis yang dapat dioperasionalkan untuk mening-katkan pendapatan keluarga petani dan memperbesar kontribusi petani dalam pembangunan ekonomi.

Inti pemberdayaan petani kelapa adalah dukungan dan peran serta petani itu sendiri, sehingga pemberdayaan dapat membangkitkan potensi dan kemampuan petani untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani secara berkelanjutan. Terpuruknya usaha tani kelapa di Indonesia perlu dikaji dan ditata kembali. Oleh karena itu, upaya pemberdayaan dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap pemulihan (recovery stage) dan tahap pengembangan (development

stage) (Brotosunaryo 2003).

Menurut Sulistyo (1998), pember-dayaan petani dilaksanakan melalui pembinaan pengembangan kelapa ber-dasarkan keunggulan komparatif dengan cara berproduksi secara efisien melalui penerapan teknologi anjuran dan diver-sifikasi usaha tani baik horizontal mau-pun vertikal. Sementara itu, Tarigans (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan petani kelapa dan keluarganya meru-pakan salah satu upaya pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan dan berwawasan pengentasan kemis-kinan, dan dilakukan melalui peningkatan kemampuan dalam teknik budi daya dan pengolahan hasil serta kemandirian petani. Pemberdayaan petani dan kelem-bagaannya merupakan salah satu faktor penting dalam pengembangan agribisnis kelapa, terutama kaitannya dengan upaya meningkatkan penguasaan teknologi, informasi dan akses terhadap sumber-sumber pembiayaan serta pemasaran. Pemberdayaan dilakukan terhadap indi-vidu dan kelompok melalui kelembagaan ekonomi (koperasi) dan nonekonomi (asosiasi) dengan sasaran: 1) meningkat-kan kemampuan dan kemandirian dalam pengembangan dan pengelolaan or-ganisasi dan usaha, 2) meningkatkan kemampuan mengakses sumber

tekno-logi, informasi, pembiayaan dan pasar, serta 3) meningkatkan posisi rebut tawar petani terhadap mitra usaha.

Peran pemerintah dalam pember-dayaan petani terbatas sebagai fasilitator dan regulator, sedangkan inisiasi dari operasional pemberdayaan adalah petani dan mitra usahanya (Nogoseno 2003). Menurut Mahmud (2003), terdapat beberapa persyaratan atau komitmen dalam pemberdayaan petani kelapa, yaitu: 1) komitmen politik pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kebijakan yang konsisten dan dapat dioperasionalkan di lapangan, 2) mengikutsertakan petani dalam berbagai aspek pembangunan perkebunan kelapa rakyat melalui pendekatan partisipatif, 3) kesediaan dan komitmen pemerintah daerah bersama institusi terkait untuk menjadi mediator yang menjembatani hubungan antara petani maupun lembaga pertanian de-ngan pengusaha (pedagang, produsen sarana produksi, industri pengolahan) di dalam dan luar negeri, 4) koordinasi yang baik antarinstansi terkait yang terlibat langsung dalam pengembangan agribisnis kelapa, 5) pewilayahan ko-moditas dan industri kelapa untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidak-pastian luas lahan di wilayah pengem-bangan serta pemanfaatan potensi per-mintaan pasar secara efisien, serta 6) pengembangan komoditas kelapa dan produk olahan berdasarkan keunggulan komparatif dan kompetitif secara wilayah sesuai dengan agroekosistem.

Pemberdayaan petani perlu didu-kung oleh: 1) bantuan dana sebagai modal usaha, 2) pembangunan prasarana seba-gai pendukung pengembangan kegiatan sosial ekonomi rakyat, 3) penyediaan sarana pemasaran, 4) pelatihan bagi petani dan pelaksana, dan 5) penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat. Fasilitas pemberdayaan petani atau kelompok tani diberikan melalui kegiatan penguatan modal usaha tani, pengem-bangan kelembagaan usaha, serta pembinaan teknis dan manajemen. Pemberdayaan kelompok tani meliputi aspek manajemen atau perencanaan usaha (permodalan, produksi, pengo-lahan dan pemasaran), aspek teknis (budi daya, pascapanen dan pengolahan hasil, pemanfaatan teknologi tepat guna spesifik lokasi), dan aspek kelembagaan (kerja sama kelompok, antarkelompok dan kemitraan usaha) (Departemen Pertanian 2000).

LANGKAH STRATEGIS

Semua pihak yang menaruh perhatian terhadap komoditas kelapa memahami bahwa kelapa memiliki multifungsi. Oleh karena itu dalam setiap penanganannya, sifat tersebut perlu diperhatikan agar tujuan pengembangan kelapa dirumuskan mengikuti fungsi-fungsi tersebut (Salam dan Suwandi 2003).

Pembinaan Petani

Petani sebagai produsen bahan baku perlu dibina secara intensif oleh instansi teknis serta didukung sarana produksi dengan harga terjangkau dan tersedia secara lokal. Harga bahan baku diharap-kan memadai agar petani dapat mengem-bangkan usaha tani lebih produktif dan efisien. Namun petani dituntut dapat menghasilkan bahan baku yang meme-nuhi persyaratan mutu industri dan konsumen dan produksinya berkelan-jutan.

Tarigans (2003) berpendapat bahwa peningkatan pengetahuan dan keteram-pilan petani perlu terus didorong dan ditingkatkan melalui penyuluhan dan pelatihan. Secara garis besar, langkah strategis operasional dalam pember-dayaan pelaku agribisnis kelapa adalah: 1) peningkatan produktivitas, 2) diver-sifikasi horizontal dan vertikal, 3) penguatan kelembagaan, 4) kemitraan, serta 5) penelitian dan pengembangan (Mahmud 2003). Peningkatan produkti-vitas dilakukan melalui peningkatan mutu intensifikasi serta kinerja petani melalui berbagai pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan teknologi baru. Diversifikasi horizontal berupa meng-anekaragamkan jenis tanaman untuk mengefisienkan penggunaan lahan sehingga mampu meningkatkan ke-tahanan ekonomi rumah tangga dan keberlanjutan usaha. Diversifikasi ver-tikal dalam bentuk penganekaragaman produk kelapa dapat dilakukan oleh peng-usaha dan petani dalam upaya mening-katkan nilai tambah.

Pembinaan Kelembagaan Petani

Peningkatan peran kelembagaan kelom-pok tani dan koperasi dilakukan untuk menghidupkan agribisnis kelapa rakyat

(5)

mulai dari pengadaan sarana produksi hingga pengendalian mutu dan pema-saran. Keberadaan kelembagaan baru juga penting untuk mendukung pengem-bangan tersebut, seperti asosiasi atau lembaga pelayanan teknis, permodalan dan bisnis. Ketersediaan teknologi agri-bisnis kelapa berperan penting dalam pengembangan perkebunan kelapa rakyat, baik teknologi budi daya dan agroindustri maupun informasi pasar, sosial ekonomi dan pelaku agribisnis kelapa.

Pada tahap pemulihan diperlukan suatu program pendampingan untuk mendidik dan memotivasi petani mening-katkan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Termasuk dalam tahap pemulihan adalah pembinaan kelompok petani sebagai community based organization melalui pengembangan azas kebersamaan serta peningkatan kemampuan dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Motivasi petani untuk me-ningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha tani kelapa, kondisi budi daya kelapa serta pemilihan aktivitas ekonomi kelapa merupakan input dan landasan untuk upaya pengembangan lebih lanjut. Pada tahap pengembangan, program pendampingan diarahkan untuk mengem-bangkan agroindustri skala pedesaan (bersifat spesifik untuk tiap daerah sentra kelapa) serta kelembagaan ekonomi petani kelapa yang mandiri. Dengan demikian di masa mendatang petani hendaknya menjadi salah satu komponen utama dalam agribisnis kelapa. Alternatif yang dapat ditempuh untuk meningkatkan peran dan pendapatan petani (Allorerung dan Mahmud 2003) adalah memberi peluang kepada petani untuk ikut memiliki saham dalam industri pengolahan atau mengolah produk-produk antara yang selanjutnya diolah lanjut atau dipasarkan oleh industri besar atau eksportir. Perlu pula didorong tumbuhnya kelompok-kelompok usaha secara bottom up serta perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan dalam bidang organisasi dan manajemen.

Pemasyarakatan Inovasi

Teknologi

Upaya untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa antara lain dapat dilakukan melalui penanaman tanaman sela, diver-sifikasi produk, pemanfaatan hasil samping, efisiensi biaya produksi, serta

peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha tani. Kegiatan utama untuk me-realisasikan alternatif tersebut adalah membentuk kelembagaan petani, mening-katkan kemampuan petani dalam ber-produksi, dan membangun pasar yang efisien (Tarigans 2003).

Menurut Jamaludin (2003), beberapa solusi untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah: 1) membenahi sis-tem tata niaga kelapa dengan melibatkan berbagai pelaku agribisnis kelapa mulai dari hulu hingga hilir, serta lembaga penunjang dengan mengintegrasikan kerja sama secara sinergis untuk meng-hasilkan produk akhir yang berdaya saing tinggi, 2) meningkatkan peran pemerintah cq. Departemen Pertanian dan Pemda dalam penyediaan sarana produksi serta teknologi budi daya dan pascapanen, 3) menyediakan teknologi tepat guna untuk mendirikan industri kelapa terpadu skala kelompok tani atau koperasi pada setiap sentra produksi kelapa sehingga semua komponen kelapa dapat dimanfaatkan, 4) memperbaiki sarana dan prasarana trans-portasi untuk memperlancar pengang-kutan sarana produksi dan hasil, serta 5) membantu petani dalam akses pelayanan permodalan dan pemasaran.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pemberdayaan petani kelapa merupakan kebijakan strategis untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga petani serta memperbesar kontribusi petani dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan perkebunan kelapa berwawasan agribisnis melalui pemberda-yaan petani dapat dilakukan melalui: 1) penyuluhan dan pelatihan dalam aspek teknis dan manajemen untuk meningkat-kan kemampuan petani dalam meraih dan menciptakan peluang ekonomi, 2) mengaktifkan dan memfungsikan kelem-bagaan pertanian, seperti kelompok tani, koperasi, lembaga keuangan mikro, lembaga penyuluhan dan lainnya untuk mengatasi berbagai persoalan dalam rangka meningkatkan pendapatan pe-tani, 3) pengembangan dan penerapan teknologi spesifik lokasi, 4) memberikan bantuan permodalan kepada petani dalam bentuk bantuan dana bergulir dan kredit. Pemberdayaan dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap pemulihan, pemberdayaan bertujuan untuk

mening-katkan motivasi dan kepercayaan petani pada kemampuan sendiri, sedangkan pada tahap pengembangan untuk mengem-bangkan kelembagaan ekonomi petani yang mandiri dalam rangka mendukung pengembangan agroindustri pedesaan secara berkelanjutan. Meningkatnya kemampuan dan kemandirian petani se-lanjutnya akan: 1) meningkatkan produk-tivitas dengan diterapkannya peremajaan tanaman, rehabilitasi, intensifikasi dan pola tanam, 2) menempatkan petani sebagai pelaku dalam industri perkela-paan, 3) memberi peluang kepada petani untuk terlibat dalam industri kelapa dan mengolah produk antara, dan 4) men-dorong petani dan keluarganya untuk mengikuti pelatihan peningkatan keteram-pilan pengolahan kelapa dan produk samping yang bernilai tinggi hingga pembibitan dan budi daya tanaman sela. Untuk mengatasi permasalahan dalam perkelapaan nasional perlu dila-kukan reorientasi, reposisi, dan restruk-turisasi pengelolaan usaha tani kelapa. Usaha tani kelapa harus berorientasi komersial. Peran petani bukan lagi sebagai produsen bahan baku, tetapi sebagai pelaku usaha. Kelembagaan yang menangani kelapa juga ditingkatkan efisiensinya dan bila diperlukan dapat dibangun kelembagaan tingkat petani.

Pemberdayaan petani kelapa dapat dilaksanakan melalui diversifikasi usaha tani secara horizontal maupun vertikal melalui kemitraan yang saling mengun-tungkan. Beragamnya produk usaha tani yang dihasilkan akan memperbesar peluang pasar dan lebih kompetitif. Fasilitasi pemberdayaan diberikan melalui penguatan modal usaha tani, pengem-bangan kelembagaan usaha, serta pembi-naan teknis dan manajemen. Pember-dayaan petani kelapa perlu didukung oleh penguatan kelembagaan ekonomi lokal dengan memperhatikan biaya transaksi yang rendah dan efektif, semangat kerja sama, kepercayaan, kemanfaatan bagi usaha perorangan, dan transparansi pengelolaan.

Pemberdayaan di tingkat petani menggunakan pendekatan sistem usaha tani kelapa terpadu (SUKT), bersifat partisipatif, dinamis, dan multidisiplin yang menunjukkan ciri spesifik lokasi, dinamis sesuai dengan kondisi biofisik, sosial ekonomi, kebutuhan dan kemam-puan pengguna, akrab lingkungan dan dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani, sehingga dalam

(6)

jangka panjang mampu menunjang upaya pengentasan kemiskinan. Pola pende-katan adalah pembentukan kelembagaan petani yang mengakar dan tumbuh dari kekuatan petani sendiri yang selanjutnya

DAFTAR PUSTAKA

Allorerung, D. dan A. Lay. 1998. Kemungkinan pengembangan pengolahan buah kelapa secara terpadu skala pedesaan. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 327−341.

Allorerung, D. dan Z. Mahmud. 2003. Dukungan kebijakan iptek dalam pemberdayaan komoditas kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 70−82.

Asnawi, S. dan S.N. Darwis. 1985. Prospek Ekonomi Tanaman Kelapa dan Masalahnya di Indonesia. Terbitan Khusus No. 2/VI/ 1985. Balai Penelitian Kelapa, Manado. Brotosunaryo, O.A.S. 2003. Pemberdayaan

petani kelapa dalam kelembagaan per-kelapaan di era otonomi daerah. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 10−16.

Budianto, J. dan D. Allorerung. 2003. Kelem-bagaan perkelapaan. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Ok-tober 2002. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Perkebunan, Bogor. hlm. 1−9. Departemen Pertanian. 2000. Pedoman Umum

Proyek Pengembangan Ketahanan Pangan TA 2000. Departemen Pertanian, Jakarta. Djunaedi, I. 2003. Kebijakan dan implementasi pembangunan perkelapaan di Indonesia dari sisi pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm. 36−53.

Jamaludin. 2003. Keberhasilan dan kegagalan agribisnis kelapa di bidang on farm. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 97−100.

Kasryno, F., Z. Mahmud, dan P. Wahid. 1998. Sistem usaha pertanian berbasis kelapa Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 57−76.

Mahmud, Z. 2003. Pemberdayaan petani kelapa dengan sistem usaha tani kelapa terpadu. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 115−124. Nogoseno. 2003. Reinventing agribisnis

per-kelapaan nasional. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 17−27.

Rondonuwu, O. dan Amrizal. 1998. Aspek sosial ekonomi kelapa di Sulawesi Utara. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 435−444.

Salam, H. dan 1. Suwandi. 2003. Penguatan kelembagaan petani kelapa melalui penguasaan teknologi dalam rangka pengembangan agroindustri. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 101−105.

Sekretariat Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. 2003. Beberapa Catatan Pentingnya Peranan Penelitian dalam Pembangunan Agribisnis Berbasis Per-kebunan. Bahan Pertemuan Sinkronisasi Topik Penelitian Sosek Pertanian Tahun 2004. Bogor, 20 Maret 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Sukamto. 2001. Upaya Meningkatkan Produksi Kelapa. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Sulistyo. 1998. Pemberdayaan petani dalam

usaha tani kelapa pola kemitraan (kemit-raan skala besar dan kecil dalam rangka

memberdayakan petani kelapa). Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21-23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. hlm. 33−46.

Suprapto, A. 1998. Prospek pengembangan agribisnis kelapa dalam era globalisasi. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 77−95.

Syafa’at, N., P. Simatupang, S. Mardianto, dan T. Pranadji. 2003. Konsep pengembangan wilayah berbasis agribisnis dalam rangka pemberdayaan petani. Forum Agroekonomi 21(1): 26−43.

Tarigans, D.D. 2003 Pengembangan usaha tani kelapa berbasis pendapatan melalui penerap-an teknologi yang berwawasan pengurangan kemiskinan petani kelapa di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa V. Tembilahan, 22−24 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 106−115. Tondok, A.R. 1998. Pemanfaatan

pengem-bangan kelapa dalam menghadapi era glo-balisasi. Dalam Modernisasi Usaha Pertanian Berbasis Kelapa. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 25−32.

Wibowo, R. 1997. Pengembangan sistem agribisnis kelapa di Indonesia. Prosiding Temu Usaha Perkelapaan Nasional, Manado, 6−8 Januari 1997. Buku I (Agribisnis). Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain, Manado. hlm. 52−

60.

Yasin, A.Z. Fahri. 1998. Aspek sosial ekonomi kelapa di Propinsi Riau. Prosiding Konferensi Nasional Kelapa IV. Bandar Lampung, 21−23 April 1998. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. hlm. 421−434.

dapat menumbuhkan aktivitas dan parti-sipasi aktif petani sehingga dapat meningkatkan kemampuan dan posisi rebut tawar petani. Dalam operasional-nya diperlukan dukungan dan pembinaan

dari berbagai pihak terkait. Koordinasi diperlukan agar masing-masing pihak berperan sesuai dengan tanggung jawab serta tugas dan fungsinya.

Referensi

Dokumen terkait

Proses belajar mengajar merupakan proses interaksi antara dua unsur manusiawi, yaitu guru sebagai pihak yang diajar. Dari suatu proses belajar mengajar iniakan memperoleh

Hasil yang didapatkan selama pengujian dengan mereaksikan CaCl 2 dan NaCO 3 menggunakan larutan Ca 2+ berkonsentrasi 3500 ppm dengan laju alir 30 ml/menit, dapat

inu studiju o funkcionalnosti bibliografskih zapisa, tj. FRBR model, koji propisuje način na koji se trebaju organizirati bibliografski podaci kako bi isti bili što

Software Engineering Body of Knowledge Software Design Strategies and Methods. Software Design Quality Analysis and Evaluation Software

Terkait dengan kondisi fasilitas tersebut, penelitian ini juga mengemukakan secara sekilas faktor tata ruang kewilayahan terminal Purwoasri dalam Rencana Tata Ruang

Analisis materi dilakukan dengan melihat kurikulum yang digunakan di sekolah yang dijadikan tempat penelitian sehingga materi dalam bahan ajar yang akan

Hasil identifikasi terhadap karakteristik habitat ular jali meliputi beberapa peubah, yaitu: kelembaban lubang sarang dan kelembaban tanah diatas 80%; suhu lubang sarang

Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep pendidikan akidah Tuan Guru Haji Abdul Qadir Nur dalam kitab Ibtidā’ al-Tauhīd meliputi tujuan