• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

A. Pengertian PKn Dalam Kehidupan Masyarakat

Pendidikan Kewarganegaraan dalam pengertian citizenship education diartikan lebih luas. Artinya Pendidikan Kewarganegaraan bukan hanya sebagai suatu mata pelajaran, tetapi mencangkup berbagai pengalaman belajar yang membantu pembentukan totalitas warga negara agar mampu berpartisipasi secara efektif dan bertanggungjawab baik yang terjadi di sekolah, masyarakat, organisasi kemasyarakatan, maupun media massa.

Berdasarkan pengertian di atas dapat di artikan bahwa citizenship education digunakan sebagai istilah yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan luar sekolah seperti rumah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, media massa, dan lain-lain yang berperan membantu proses pembentukan totalitas atau keutuhan sebagai warga negara.

Pendidikan kewarganegaraan dikembangkan dalam tradisi Citizenship Education yang tujuannya sesuai dengan tujuan nasional masing-masing Negara namun secara umum tujuan Negara mengembangkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah agar setiap warga Negara menjadi warga Negara yang baik (to be good citizens) yakni warganegara yang memiliki kecerdasan (Civic Intelligence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (Civic Responsibility),

(2)

dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Civic Participation) agar tumbuh rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

B. Sifat-sifat Kewarganegaraan

1. Kemampuan mengenali dan mendekati masalah sebagai masyarakat global.

2. Kemampuan bekerja sama dengan orang lain.

3. Kemampuan untuk memahami, menerima dan menghormati perbedaan budaya.

4. Kemampuan berpikir kritis dan sistematis.

5. Kemampuan menyelesaikan konflik dengan cara damai.

6. Kemampuan mengubah gaya hidup dan pola makanan pokok yang sudah biasa guna melindungi lingkungan.

7. Memiliki kepekaan terhadap dan mempertahankan hak asasi manusia 8. Kemauan dan kemampuan berpartisifasi dalam kehidupan politik pada

tingkat lokal, nasional dan internasional.

Isi Kewarganegaraan (Bronson, 1998 : 5) Civic Knowledge Yaitu kandungan atau apa yang harus diketahui warga Negara Civic Skill Kecakapan warga negara dalam mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban sebagai anggota masyarakat yang berdaulat yang berupa kecakapan intelektual dan partisifatif yang relevan.

Nilai-nilai yang harus dipunya warga negara yang meliputi Civic Disposition (karakter kewarganegaraan) dan Civic Commitment (komitmen kewarganegaraan).

(3)

Istilah kewarganegaraan sering dipakai sebagai terjemahan dari nasionalitas (nationality). Nasionalitas merupakan pengikat hubungan antara individu dan negara. Tanpa nasionalitas individu tidak akan memperoleh perlindungan negara sehingga nasionalitas berfungsi sebagai simbol atau identifikasi individu dalam kaitannya dengan negara tertentu dalam lingkungan internasional. Bukti nasionalitas adalah passport.

Tujuan kewarganegaraan adalah partisifasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat desa, lokal maupun nasional.

C. Tujuan dan Isi Civic Knowledge

1. Tujuan kewarganegaraan adalah partisifasi yang bermutu dan bertanggungjawab dari warga negara dalam kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat desa atau komunitasnya, lokal maupun nasional, maka partisifasi tersebut memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi kewarganegaraan yaitu :

2. Penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman 3. Pengembangan kemampuan intelektual dan partisifatif 4. Pengembangan karakter dan sikap mental

5. Komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitutional

(4)

D. Civics Education

Adalah mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat setelah dewasa. Ini merupakan istilah generik yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah seperti lingkungan keluarga, organisasi keagamaan, ormas dan media. Jadi Civic Education adalah konsep yang lebih luas dan civic education menjadi bagian penting didalamnya.

Civic Education sebagai bagian dari Citizenship Education yang dimaksud untuk pengembangan watak dan karakter warga negara yang peka, tanggap dan bertanggungjawab terhadap masyarakat, bangsa dan negara.

E. Civic Disposition

Sikap dan kebiasaan warga negara dalam bidang privat dan publik yang kondusif bagi berfungsi dan berlangsungnya sistem demokrasi konstitusional secara sehat. Karakter privat meliputi tanggungjawab moral, disiplin, penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu. Karakter publik meliputi kepeduliaan sebagai warga negara, kesopanan mengindahkan aturan main (Rule of Law) berpikir kritis, kesediaan mendengar, bernegoisasi dan berkompromi

F. Karakter Kewarganegaraan

1. Keadaban atau Civility (Kesopanan yang mencakup penghormatan dan partisifasi aktif dalam interaksi manusiawi)

(5)

2. Tanggungjawab individu dan kecendrungan untuk menerima tanggung jawab pribadi dan konsekuensi dari tindakan pribadi

3. Disiplin diri dan penghormatan terhadap peraturan untuk pemeliharaan pemerintahan konstitusional tanpa perlu paksaan dari otoritas eksternal 4. Rasa kewarganegaraan (Civic Mindedness) dan kehendak untuk

mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi sehingga ada kepeduliaan serta keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan dan pengenalan terhadap kemerdekaan atau ambiguitas.

G. Civic Commitment

Artinya kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri dengan sadar kepada ide dan prinsip serta fundamental demokrasi konstitusional negara. Identitas pribadi nilai-nilai keuangan negara tersebut sangat dipengaruhi Civic Culture, karena Civic Culture merupakan seperangkat ide yang dapat diwujudkan secara efektif dalam refresentase kebudayaan.

Identitas pribadi warga negara yang bersumber dari Civic Culture perlu dikembangkan melalui Civic Education atau pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan latar.

Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan Kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan Kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak Kewarganegaraan).

(6)

Komponen pertama, Civic Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara” (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual (intelectual skills) dan keterampilan berpartisipasi (participatory skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui. Ketiga, Civic Disposition (Watak-Watak Kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak Kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya.

H. Pengertian Partisipasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Partisipasi diartikan turut berperan serta di suatu kegiatan (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa, 1990: 650).

Menurut Mubyarto (dalam Ndraha, 1990: 102) Partisipasi adalah kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri.

(7)

Partisipasi dirumuskan dalam ketiga hipotesa yang sebagai berikut: Pertama, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai mobilisasi sosial, tanpa pembagian kekuasaan dalam proses pembuatan keputusan. Kedua, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai pembagian kekuasaan dalam pembuatan keputusan. Ketiga, Partisipasi lebih cenderung ditafsirkan sebagai kesempatan untuk pengaruh, tanpa pembagian kekuasaan apapun dalam proses pembuatan keputusan. ( Hofsteede, 1994 : 121).

Nelson dalam Ndraha (1990: 102) menyebutkan dua macam Partisipasi:

1. Partisipasi antara sesama Warga atau Anggota suatu perkumpulan yang dinamakan “Partisipasi Horizontal”.

2. Partisipasi yang dilakukan oleh Bawahan dengan Atasan, antara lain Klien dengan Patron atau antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan Pemerintah yang diberi nama “Partisipasi Vertikal”.

Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa Partisipasi adalah suatu kelompok atau anggota yang berperan atau kesediaan untuk membantu didalam suatu kegiatan yang akan dilaksanakan tanpa imbalan tetapi dilaksanakan dengan sepenuh hati.

I. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi Masyarakat adalah keterlibatan kelompok orang secara fisik maupun non fisik dalam pembangunan. Partisipasi Masyarakat dalam pembangunan dapat di kategorikan atas tiga bagian yaitu sebagai berikut :

(8)

1. Partisipasi dalam Pengembangan Ide yaitu seseorang atau kelompok orang turut

2. Partisipasi dalam Mengambil Keputusan yaitu seseorang atau kelompok orang yang tidak hanya menerima saja apa yang diterapkan, kepada mereka diberi kesempatan menentukan sikap mau menerima atau tidak. 3. Partisipasi dalam Pelaksanaan yaitu Masyarakat turut terlibat dalam

melaksanakan atau menjalankan pembangunan yang ditetapkan. (Siagian, 1998: 100).

Bentuk Partisipasi Masyarakat sebagaimana dikemukakan Ndraha (1990: 103 - 104), sebagai berikut :

1. Partisipasi dalam atau melalui kontak dengan pihak lain (Contact Change) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial.

2. Partisipasi dalam memperhatikan atau menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam menerima (mentaati, memenuhi, melaksanakan). Mengajak, menerima dengan syarat maupun dalam arti menolaknya.

3. Partisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan (penetapan rencana : Hofsteede, 1971).

4. Partisipasi dalam pelaksanaan operasional.

5. Partisipasi dalam menerima, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan.

6. Partisipasi dalam menilai pembangunan, yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai sejauh mana pelaksanaan pembangunan sesuai dengan

(9)

rencana dan sejauh mana hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Cara menggerakan Partisipasi Masyarakat, Menurut Bryant dan White dalam Ndraha (1990 : 105) adalah melalui :

1. Proyek Pembangunan Desa yang dirancang secara sederhan dan mudah dikelola oleh Masyarakat.

2. Organisasi dan Lembaga Kemasyarakatan yang mampu menggerakkan dan mengeluarkan Aspirasi Masyarakat.

3. Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan.

Berdasarkan hasil penelitian Gold Smith dan Blustain di Jamaika, berkesimpulan bahwa masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika :

1. Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan.

2. Partisipasi itu memberi manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan.

3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat.

4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya control yang dilakukan oleh masyarakat. (Ndraha, 1990 : 105)

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat adalah suatu keterlibatan orang terhadap kelompok untuk mewujudkan suatu pembangunan yang diinginkan, yang dilakukan tanpa mengharapkan imbalan.

(10)

J. Pengertian Gotong royong

Gotong royong adalah bentuk kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu dengan azas timbal balik yang mewujudkan adanya ketentuan sosial dalam bentuk spontan, dilandasi pamrih atau karena memenuhi kewajiban sosial. Wujud dari bentuk kerjasama itu beraneka ragam sesuai dengan bidang dan kegiatan sosial itu. (Geriya, 1982:3).

Jika dikaji secara mendalam Gotong Royong itu menunjuk kepada suatu jenis perwujudan suatu rasa kekeluargaan, persaudaraan maupun partisipasi yang tampak jelas dan sebagai ciri khas dalam kehidupan masyarakat pedesaan.

Menurut Koentjaraningrat (1990: 57), dijelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat Desa di Jawa, Gotong Royong merupakan suatu sistem pengerahan tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga, untuk mengisi kekurangan tenaga pada masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas produksi bercocok tanam disawah.

Menurut Poewadarminta (1984:328) gorong royong berarti bekerja bersama-sama (tolong menolong, bantu membantu).

Gotong Royong adalah bekerja tanpa pamrih untuk menyelesaikan suatu kegiatan yang hasilnya dapat bermanfaat bagi semua orang. Sifat gotong royong dan kekeluargaan di daerah pedesaan lebih menonjol dalam pola kehidupan mereka seprti memperbaiki membersihkan jalan, turun kesawah dan memperbaiki rumah. Mereka bekerja tanpa imbalan jasa, untuk kepeningan bersama (Tim PPKn 2002:77).

(11)

Surianingrat (1994:486) gotong royong merupakan kejasama yang spontan dan yang sudah melembaga serta mengandung unsur-unsur timbal balik yang bersifat sukarela antara warga desa dengan warga desa atau warga desa dengan pemerintah desa untuk memenuhi kebutuhan insidentil maupun berkelangsungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan bersama baik materiil maupun spiritual.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gotong royong adalah suatu kegiatan yang dikerjakan bersama-sama dengan ikhlas tanpa mengharapkan suatu imbalan demi tercapainya suatu tujuan. Suatu pekerjaan akan terasa mudah dan ringan dengan dilandasi tali persaudaraan yang erat dan dengan bergotong royong juga suatu kerukunan antar sesama dapat tercapai dengan semestinya.

K. Bentuk-bentuk Gotong royong

Menurut Muhtasim dan kawan-kawan (1992: 5)dalam laporan penelitiannya dijelaskan secara umum kegiatan gotong royong dapat dikatagorikan dalam 2 bentuk, yaitu:

1. Kegiatan Gotong Royong Kerja Bakti. 2. Kegiatan Gotong Royong Tolong Menolong.

L. Pengertian Masyarakat

Menurut Poerwadarminta (1986: 636) dalam “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, masyarakat adalah pergaulan hidup manusia atau sehimpunan

(12)

orang yang hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu.

Menurut pendapat Polak (1979 : 130) masyarakat adalah wadah segenap antar hubungan sosial yang terdiri atas banyak sekali kolektivitas serta kelompok-kelompok. Semua itu tersusun secara hierarkis atau berkesinambungan, sejajar dan setaraf, ataupun saling tembus menembus.

Menurut Koentjoroningrat (1987: 45), masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergerak atau dengan istilah ilmiah saling berinteraksi. Tetapi hendaknya diperhatikan bahwa tidak semua kesatuan manusia saling bergaul atau berinteraksi itu merupakan masyarakat. Karena masyarakat harus mempunyai ikatan yang khusus , yaitu pola tingkah laku yang khas.

Menurut Koentjoroningrat (1987 : 41) masyarakat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Interaksi Antar Warga. 2. Adat Istiadat.

3. Norma Hukum dan Aturan yang khas mengatur seluruh pola tingkah laku Warga Negara, Kota dan Desa.

4. Suatu Kontinuitas dalam waktu dan suatu cara identitas kuat yang mengikat seluruh Warga.

Menurut Subandiroso (1987: 64) masyarakat mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut :

1. Interaksi antar warga baik secara langsung maupun tidak langsung. 2. Adat Istiadat.

(13)

3. Hukum dan Aturan-aturan khas yang mengatur seluruh tingkah laku manusia.

4. Rasa Identitas yang mengikat semua warga.

Menurut Subandiroso (1987: 47), faktor yang menimbulkan terjadinya masyarakat sebagai berikut:

1. Hasrat yang berdasarkan naluri (kehendak di luar pengawasan akal) untuk memelihara keturunan, memiliki dan mengembangkan keturunan. 2. Kelemahan manusia itu sendiri, sehingga berusaha membentuk

kehidupan bersama, saling melindungi disamping mecakupi kebutuhan dengan bekrjasam.

3. Manusia lebih senang hidup berteman daripada hidup sendirian.

4. Manusia hidup bersama tidak karena persamaan tetapi karena perbedaan yang terdapat dalam sifat, kedudukan dan lain sebagainnya.

Menurut Sadely (1993: 47) mengungkapkan pengertian masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertahan secara golongan dan pengaruh dan mempengaruhi satu sama lain.

Menurut Djojodiguno dalam Mansur (1993: 21) menyebutkan bahwa masyarakat mempunyai arti sempit dan luas. Masyarakat dalam arti sempit ialah masyarakat yang terdiri dari satu golongan saja, misalnya : Masyarakat Indonesia, Arab, Cina. Masyarakat dalam arti luas adalah masyarakat dari semua kebutuhan, semua perkembangan yang mungkin dalam masyarakat yang meliputi semua golongan, misalnya masyarakat Surabaya terdiri dari masyarakat India, Arab, Cina, dan Pelajar.

(14)

M. Penggolongan Masyarakat

Secara umum masyarakat (Community) digolongkan dalam dua golongan yaitu :

1. Masyarakat Pedesaaan (Rulal Community)

Masyarakat Pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat sesama warga desa, yaitu setiap perasaan setiap warga atau anggota masyarakat yang amat kuat yang hakikatnya, bahwa seseorang merasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lain dimana mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu demi masyarakatnya atau angota-angota masyarakat, karena beranggapan sama-sama sebagai anggota masyarakat yang saling mencintai, saling menghormati, mempunyai hak tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama di dalam masyarakat.

Masyarakat desa merupakan kumpulan masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah, mempunyai sifat-sifat yang hampir sama (homogen).

Ciri-ciri masyarakat pedesaan menurut Ahmadi (1988 : 259) adalah sebagai berikut :

a. Di dalam masyarakat pedesaan diantara warganya mempunyai hubngan yang lebih dalam dan erat bila dibandingkan dengan hubungan mereka dengan masyarakat lainnya di luar batas wilayahnya.

(15)

b. Sistem kehidupan umunya berkelompok dengan dasar kekeluargaan. c. Sebagaian besar warga masyarakat pedesaan hidup sebagai petani

(agraris) pekerjaan di luar pertanian merupakan pekerjaan sampingan yang biasanya sebagai pengisi waktu luang.

d. Masyarakat pedesaan bersifat homogeny dalam hal agama, mata pencaharian, adat istiadat, kebudayaan.

Di dalam Masyarakat Pedesaan berlaku cara-cara hidup yang bersifat Gotong Royong dan Tolong Menolong.

Sifat hakikat masyarakat pedesaan yang banyak kegotong royongan dan tolong menolong. Masyarakat Pedesaan adalah masyarakat yang tenang dan damai penuh keharmonisan cocok untuk tempat pelepasan lelah dari bermacam-macam kesibukan dan kekusutan.

Ciri-ciri tradisional Masyarakat Desa menurut Horton (1999:130) sebagai berikut:

a. Memiliki sifat yang homogeny dalam hal mata pencaharian, nila-nilai kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku.

b. Kehidupan di Desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi, artinya semua keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga.

c. Faktor Geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada. d. Hubungan semua anggota Masyarakat Desa lebih tahan lama dari

(16)

Menurut Sorokin dalam bukunya (Soekanto, 1997: 250) mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia mempunyai derajat yang sama, tapi pada kenyataannya dalam kehidupan masyarakat, terdapat Stratifikasi Sosial (social stratification) yakni perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam lapisan kelas secara bertingkat (hierarkis).

Menurut Soekanto (1997: 251), adanya strafikasi sosial dalam masyarakat erat kaitannya dengan penghargaan. Selama dalam masyarakat ada suatu yang dihargai maka hal itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapis dalam masyarakat. 2. Masyarakat Perkotaan (Urban Community)

Masyarakat Perkotaan (Urban Community) adalah Masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Masyarakat kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya.

N. Perbedaan Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota

Pada masyarakat yang modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Perbedaan tersebut sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, oleh karena dalam masyarakat modern, betapapun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota. Sebaliknya pada masyarakat-masyarakat sederhana pengaruh dari kota secara relatife tidak ada. Pembedaan masyarakat-masyarakat pedesaan dan masyarakat-masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat graduil.

(17)

Warga-warga suatu masyarakat pedesaan mempunyai hubungan yang lebih erat dan lebih mendalam daripada hubungan mereka dengan warga masyarakat pedesaan lainnya, diluar batas-batas wilayahnya. Sistem kehidupan biasannya berkelompok, ataupun dari sistem kekeluargaan. Penduduk masyarakat pedesaan pada umumnya hidup dari pertanian.

Di luar jawa, misalnya di sumatera, disamping pertanian masyarakat pedesaan juga berkebun, misalnya berkebun lada, kelapa sawit, dan lain sebagainya. Pada umumnya penduduk pedesaan di Indonesia ini apabila ditinjau dari segi kehidupannya sangat terikat dan sangat tergantung pada tanah, maka mereka sama-sama mempunyai kepentingan pokok yang sama, sehingga mereka juga akan bekerja sama untuk mencapai kepentingannya. Misalnya pada musim pembukaan tanah atau pada waktu menanam tiba, mereka akan bersama-sama mengerjakannya. Hal itu mereka lakukan, Karena biasanya satu keluarga saja tidak akan cukup memiliki tenaga kerja untuk mengerjakan tanahnya. Kerjasama tadi, timbulah lembaga kemasyarakatan yang dikenal dengan istilah “Gotong Royong”, yang bukan merupakan lebaga yang sengaja dibuat. Oleh karena itu, pada masyarakat pedesaan, tidsk sksn dijumai pembagian kerja berdasarkan keahlian, akan tetapi biasanya pembagian kerja didasarkan pada usia.

Golongan orang-orang tua pada masyarakat pedesaan, pada umunya memegang peranan yang penting. Orang-orang akan selalu meminta nasehat kepada mereka, apabila ada kesulitan yang dihadapi. Kesukarannya adalah bahwa golongan orang-orang tua itu mempunyai pandangan yang didasarkan pada tradisi yang kuat, sehingga sukar untuk mengadakan

(18)

perobahan-perobahan yang nyata. Pengendalian sosial masyarakat terasa sangat kuat, sehingga perkembangan jiwa individu sangat sukar untuk dilaksanakan. Rasa persatuan erat sekali, yang kemudian menimbulkan saling kenal mengenal dan saling tolong menolong yang akrab.

Yang dimaksudkan dengan Masyarakat Perkotaan adalah Masyarakat kota yang tidak tertentu jumlah penduduknya. Antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan, juga terdapat perbedaan dalam perhatian, khususnya terhadap keperluan-keperluan hidup. Di desa-desa yang di utamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan utama daripada kehidupan, hubungan-hubungan untuk memperhatikan fungsi pakaian, makanan, rumah, dan sebagainya. Lain dengan masyarakat kota yang mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda. Masyarakat kota sudah memandang penggunaan kebutuhan hidup, sehubungan dengan pandangan masyarakat sekitarnya. Ada beberapa ciri-ciri yang menonjolkan pada masyarakat kota, yaitu:

a. Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan agama di desa. Adanya cara berfikir yang rasionil, yang didasarkan pada perhitungan eksak yang berhubungan dengan realita masyarakat.

b. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang-orang lain. Yang penting disini adalah manusia perseorangan atau individu. Di desa orang lebih mementingkan kelompok atau keluarganya. Di kota-kota kehidupan keluarga sering sukar untuk disatukan, karena perbedaan kepentingan, perbedaan faham politik, perbedaan agama dan sebagainya.

(19)

c. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Di kota-kota, tinggal orang-orang dengan aneka warna latar belakang social dan pendidikan yang menyebabkan individu memperdalami suatu bidang kehidupan khusus yang menyebabkan suatu gejala bahwa warga kota tidak mungkin hidup sendiri secara individualistis.

d. Untuk mendapatkan pekerjaan, lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga-warga desa, karena sistem pembagian kerja yang tegas. e. Jalan pikiran rasionil yang pada umumnya dianut masyarakat perkotaan,

menyebabkan bahwa interaksi-interaksi yang terjadi lebih didasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.

f. Jalan kehidupan yang cepat di kota-kota, mengakibatkan pentingnya faktor waktu bagi warga kota, sehingga pembagian waktu yang teliti sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan-kebutuhan seorang individu.

g. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, karena kota-kota biasanya menerima pengaruh-pengaruh dari luar.

Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota juga dapat dibedakan berdasarkan:

1) Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam

Masyarakat Pedesaan berhubungan kuat dengan alam, disebabkan oleh lokasi geografisnya di daerah Desa. Masyarakat Desa sulit “Mengontrol” kenyataan alam yang dihadapinya, padahal bagi petani

(20)

realitas alam ini sangat vital dalam kehidupannya. Masyarakat yang tinggal di Desa akan banyak menentukan kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam, seperti dalam pola berpikir dan falsafah hidupnya. Berbeda dengan Masyarakat Kota, yang kehidupannya “Bebas” dari realitas alam. Misalnya, dalam bercocok tanam dan menuai harus pada waktunya.

2) Pekerjaan atau Mata Pencaharian

Pada umumnya atau mata pencaharian daerah Pedesaan adalah Bertani. Tetapi mata pencaharian berdagang merupakan pekerjaan sekunder dari pekerjaan yang nonpertanian. Sebab beberapa daerah pertanian tidak terlepas dari kegiatan usaha atau industri. Di Masyarakat Kota mata pencaharian cenderung menjadi terspesialisasi. Spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan, mungkin menjadi manager suatu perusahaan, ketua atau pemimpin dalam suatu birokrasi.

3) Ukuran Komunitas

Komunitas Pedesaan biasanya lebih kecil dari Komunitas Perkotaan. Dalam mata pencaharian dibidang pertanian, imbangan tanah dengan manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan industri, dan akibatnya daerah Pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per kilometer perseginya. Tanah pertanian luasnya bervariasi. Bergantung pada tipe usaha taninya, tanah yang cukup luasanya sanggup menapung usaha tani dan usaha ternak sesuai dengan kemampuannya. Oleh sebab itu Komunitas Pedesaan lebih kecil daripada Komunitas Perkotaan.

(21)

4) Kepadatan Penduduk

Penduduk Desa kepdatannya lebih endah bila dibandingkan dengan kepadatan Penduduk Kota. Kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri.

5) Homogenitas dan Heterogenitas

Homogenitas atau persamaan dalam ciri-ciri social dan psikologi, bahasa, kepercayaan, adat istiadat, dan perilaku sering nampak pada Masyarakat Pedesaan bila dibandingkan dengan Masyarakat Perkotaan. Kampong-kampung bagian dari suatu Masyarakat Desa mengenai minat dan pekerjaannya hampir sama, sehingga kontak tatap muka lebih sering. Di Kota sebaliknya, penduduknya heterogen, terdiri dari orang-orang dengan macam-macam subkultur dan kesenangan, kebudayaan, mata pencaharian.

6) Diferensiasi Sosial

Keadaan heterogen dari Masyarakat Kota berindikasi pentingnya derajat yang tinggi di dalam diferensi sosial. Fasilitas kota, hal-hal yang berguna, pendidikan, rekreasi, agama, bisnis, dan fasilitas perumahan, menyebabkan terorganisasinya berbagai keperluan, adanya pembagian pekerjaan, dan adanya saling membutuhkan serta saling tergantung. Kenyataan ini bertentangan dengan bagian-bagian kehidupan di Masyarakat Pedesaan. Tingkat homogenitas alami cukup tinggi, dan realtif berdiri sendiri dengan derajat yang rendah daripada diferensi sosial.

(22)

7) Pelapisan Sosial

Beberapa perbedaan “pelapisan sosial tak resmi” di antara Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota, yaitu:

a) Pada Masyarakat Kota aspek kehidupan pekerjaan, ekonomi, atau sosial politik lebih banyak sistem pelapisannya dibandingkan dengan di Desa.

b) Pada Masyarakat Desa kesengajaan antara kelas ekstrem dalam piramida sosial tidak terlalu besar, sedangkan pada Masyarakat Kota jarak antara kelas ekstrem nyang kaya dan miskin cukup besar. Di daerah Pedesaan tingkatnya hanya kaya dan miskin saja.

c) Pada umumnya Masyarakat Pedesaan cenderung berada pada kelas menengah menurut ukuran Desa, sebab orang kaya dan orang miskin sering bergeser ke Kota.

8) Mobilitas Sosial

Mobilitas sosial berkaitan dengan perpindahan atau pergerakan suatu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya. Mobilitas kerja dari suatu pekerjaan ke pekerjaan lainnya, mobilitas territorial dari daerah Desa ke Kota, dari Kota ke Desa, atau di dearah Desa dan Kota sendiri. 9) Interaksi Sosial

Tipe interaksi soisal di Desa dan di Kota perbedaannya sangat kontras, baik aspek kualitas maupun aspek kuantitasnya. Perbedaan yang penting dalam interaksi sosial di dearah Pedesaan dan Perkotaan, di antaranya:

(23)

a) Masyarakat Pedesaan lebih sedikit jumlahnya dan tingkat mobilitas sosialnya rendah, maka kontak pribadi perindividu lebih sedikit. b) Dalam kontak sosial berbeda secara kuantitatif maupun secara

kualitataif. Penduduk Kota lebih sering kontak, tetapi cenderung formal sepintas lalu, dan tidak bersifat pribadi, tetapi melalui tugas atau kepentingan yang lain. Di Desa kontak sosial terjadi lebih banyak dengan tatap muka, ramah tamah, dan pribadi. Hal yang lain pada Masyarakat Pedesaan, daerah jangkauan kontak sosialnya biasanya terbatas dan sempit. Di Kota kontak sosial lebih tersebar pada daerah yang luas, melalui perdagangan, perusahaan, industri, pemerintahan, pendidikan, agama, dan sebagainya. Kontak sosial di Kota penyebabnya bermacam-macam dan bervariasi bila dibandingkan dengan “dunia kecil” atau Masyarakat Pedesaan. 10) Pengawasan Sosial

Tekanan sosial oleh Masyarakat di Pedesaan lebih kuat karena kontaknya yang bersifat pribadi dan ramah tamah, dan keadaan masyarakatnya yang homogen. Penyesuaian terhadap norma-norma sosial lebih tinggi dengan tekanan sosial yang informal, dan nantinya dapat berarti sebagai pengawasan sosial. Di Kota pengawasan sosial lebih bersifat formal, pribadi, kurang “terkena” aturan yang ditegakkan, dan peraturan lebih menyangkut masalah pelanggaran.

11) Pola Kepemimpinan

Menentukan kepemimpinan di dearah Pedesaan cenderung banyak ditentukan oleh kualitas pribadi dari individu dibandingkan

(24)

dengan di Kota. Keadaan ini disebabkan oleh lebih luasnya kontak tatap muka, dan individu lebih banyak saling mengetahui daripada mengetahui daripada di daerah Kota.

12) Standar Kehidupan

Berbagai alat yang menyenangkan di rumah, keperluan masyarakat, pendidikan, rekreasi, fasilitas agama, dan fasilitas lain akan membahagiakan kehidupan bila disediankan dan cukup nyata dirasakan oleh pendududak yang jumlahnya padat. Di Kota, dengan konsentrasi dan jumlah penduduk yang padat, tersedia dan ada kesanggupan dalam meneydiakan kebutuhan tersebut, sedangkan di desa terkadang tidak demikian. Orientasi hidup dan pola berpikir Masyarakat Desa yang sederhana dan standar hidup demikian kurang mendapat perhatian. 13) Kesetiakawanan Sosial

Kesetiakawanan sosial atau kepaduan dan kesatuan, pada Masyarakat Pedesaan dan Masyarakat Perkotaan dapat ditentukan oleh masing-masing faktor yang berbeda. Pada Masyarakat Pedesaan kepaduan dan kesatuan merupakn akibat dari sifat-sifat yang sama, persamaan dalam penegalamn, tujuan yang sama, di mana bagian dari Masyarakat Pedesaan hubungan pribadinya bersifat informal dan tidak bersifat kontrak sosial (perjanjian). Pada Masyarakat Pedesaan ada kegiatan tolong menolong (gotong royong) dan musyawarah, yang pada saat sekarang masih dirasakan mesikpun banyak pengaruh dari gagasan ideologis dan ekonomis (padat karya) ke Pedesaan. Kesatuan dan kepaduan di daerah Perkotaan berbeda. Dasarnya justru ketidaksamaan

(25)

dan perbedaan pembagian tenaga kerja, saling tergantung, spesialisasi, tidak bersifat pribadi, dan bermacam-macam perjanjian serta hubungannya lebih bersifat formal. Pada Masyarakat Pedesaan ada istilah sambat. Dalam bahas Sunda nyambet artinya minta tolong. Dalam bahasa Indonesia adalah gotong royong. Aktivitas kerja sama yang disebut gotong royong ini pengertiannya berkembang. Yang asalnya aktivitas kerja sama antara sejumlah besar warga Masyarakat Desa dalam menyelesaikan sesuatu proyek tertentu bagi kepentingan umum, menjadi bersifat dipaksakan seperti padat karya. Sifat bergotong royong tidak memerlukan keahlian khusus. Semua orang dapat mengerjakannya, dan merupakan gejala sosial yang universal. Kenyataan menunjukkan bahwa jiwa musyawarah merupakn ekspresi gotong royong.

14) Nilai dan Sistem Nilai

Nilai dan sistem nilai di Desa dengan di Kota berbeda, dan dapat diamati dalam kebiasaan, cara, dan norma yang berlaku. Pada Masyarakat pedesaan, misalnya mengenai nilai-nilai keluarga, dalam masalah pola bergaul kepada kelurga masih berperan. Nilai-nilai agama masih dipegang kuat dalam bentuk pendidikan agama. Aktivitasnya nampak hidup. Bentuk-bentuk ritual agama yang berhubungan dengan kehidupan atau proses mencapai dewasanya manusia, selalu diikuti dengan upacara-upacara. Nilai-nilai pendidikan belum merupakan orientasi bernilai penuh bagi penduduk Desa, cukup dengan bisa baca tulis dan pendidikan agama. Dalam hal nilai-nilai ekonomi, terlihat pada

(26)

pola usaha taninya yang masih bersifat subsistem tradisonal, kurang berorientasi pada ekonomi. Masi banyak nilai lainnya yang berbeda dengan Masyarakat Kota. Dalam hal ini Masyarakat Kota bertentangan atau tidak sepenuhnya sama dengan sistem nilai di Desa.

Referensi

Dokumen terkait

Lanjutan Tabel 46 Aktifitas pada model Eksistensi Bagaimana dilakukan Siapa yang melakukan Bagai mana hasilnya Tindakan yang diperlukan Pemberdayaan dan pendampingan

These data indicate that IMQ dermatitis induced severe DSS colitis as well as decreased numbers of naive B cells and increased numbers of M1 macrophages in the gut.. IMQ Dermatitis

Bersetubuh Karena Lupa dan Tidak Tahu (jahil) Setelah para ahli fiqih sepakat bahwa jima’ dengan sengaja itu haram dan membatalkan haji, bila dilakukan sebelum wukuf di Arafah,

Pajak tangguhan diakui atas perbedaan temporer antara nilai tercatat aset dan liabilitas untuk tujuan pelaporan keuangan, dan nilai yang digunakan untuk tujuan

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa biogas yang dihasilkan dari limbah ternak sapi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan..

Tujuan disusunnya Rencana Kinerja Tahunan RSHS yaitu sebagai bahan acuan bagi pimpinan RSHS dan unit kerja serta jajaran manajemen RS lainnya dalam melaksanakan kegiatan dan

Tabel 17, Persentase kesamaan urutan nukleotida gen CP dan asam amino CP diantara isolat-isolat PStV yang berasal dari berbafiai daerah di Indonesia.. Persentase

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), orang pribadi atau badan hukum yang bersangkutan wajib mengajukan Izin Lokasi kepada Kepala DPMPTSP dengan