• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian Dispensasi Kawin

Pengertian dispensasi kawin menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dispensasi merupakan izin pembebasan dari suatu kewajiban atau larangan. Jadi dispensasi merupakan kelonggaran terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak diperbolehkan untuk dilakukan atau dilaksanakan.1

Roihan A. Rasyid berpendapat bahwa dispensasi kawin adalah dispensasi yang diberikan Pengadilan Agama kepada calon mempelai yang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, bagi pria yang belum mencapai 19 (Sembilan belas) tahun dan wanita belum mencapai 16 (enam belas) tahun.2 Jika kedua calon suami isteri tersebut sama beragama islam, keduanya dapat mengajukan permohonan, bahkan boleh sekaligus hanya dalam satu surat permohonan, untuk mendapatkan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.

Jika calon suami isteri misalnya non islam dan calon suami islam maka calon isteri mengajukan permohonannya ke Pengadilan Negeri sedangkan calon suami ke Pengadilan Agama, tidak perduli agama apapun orang tua mereka.

1Poerwadarminta, 2011. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.Hal.88 2Roihan A. Rasyid,1998. Hukum Acara Peradilan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.Hal.32

(2)

Alasannya adalah bahwa yang akan kawin itu adalah kedua calon, bukan orang tua meeka, lagi pula anak yang sudah baligh (cukup umur secara biologis) sudah berhak menentukan agamanya sendiri. Anak yang belum baligh secara biologis, selama ia tidak tegas menentukan sendiri agamanya, oleh hukum dianggap mengikuti kepada agama orang tuanya.3

1.2 Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Pengertian Perkawinan

Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal (1) adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4Ikatan lahir batin disini adalah bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat.

Menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yaitu Perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta dicatat oleh lembaga yang berwewenang menurut perundang-undangan yang berlaku.5

3Ibid, Hal.33

4

Redaksi New Merah Putih, 2009. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih, Yogyakarta.Hal.12

5

(3)

Adapun tujuan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu ada pula dalam buku Soemijati disebutkan bahwa tujuan perkawinan dalam islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan yang telah diatur oleh syariah.

2.3 Pengertian perkawinan di bawah umur

Pengertian perkawinan di bawah umur adalah pernikahan atau akad yang bisa menjamin seorang laki-laki dan perempuan saling memiliki dan bisa melakukan hubungan suami isteri dan pernikahan itu dilaksanakan oleh seseorang (calon suami/calon isteri) yang usianya belum mencapai umur yang telah di tentukan oleh Undang-Undang yang sedang berlaku di Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah.6Istilah pernikahan di bawah umur sering disebut juga dengan sebutan pernikahan dini, istilah ini lebih terkenal di lingkungan masyarakat.

Disebut juga dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16tahun.

6

(4)

2.4 Pengertian Pengadilan Agama

Pengadilan Agama adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum.

Kedudukan dan kewenangannya adalah sebagai peradilan negara dan sama derajatnya dengan Pengadilan lainnya, mengenai fungsi Peradilan Agama dibina dan diawasi oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, sedangan menurut Pasal 11 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 mengenai Organisasi, Administrasi dan Finansial di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.

2.5 Batas Usia Kawin

a. Batas usia kawin menurut Hukum Adat

Perkawinan dan aturannya merupakan produk budaya yang dinamikanya mengikuti perkembangan budaya masyarakat.Demikian pula halnya dengan hukum perkawinan di Indonesia itu bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran agama tertentu, tetapi juga dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat setempat.7

Hal itu pada gilirannya berakibat pada “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, lain masyarakat lain pula aturan perkawinannya.”8

Karenanya, meskipun bangsa Indonesia kini telah mempunyai hukum perkawinan nasional (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)sebagai aturan pokok, namun kenyataannya dikalangan masyarakat Indonesia masih tetap berlaku adat dan tata upacara perkawinan yang beragam.

7Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, 2011. Kontroversi Perkawinan Anaka Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung.Hal.13 8

(5)

Terkait dengan batas usia kawin, sama halnya dengan fikih islam, hukum adat pada umumnya tidak mengaturnya. Itu artinya, hukum adat membolehkan perkawinan semua umur. Adapun terkait dengan prasyarat izin orang tua untuk perkawinan dibawah umur (seperti tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974), besar kemungkinan akan menimbulkan kemusyikilan.

Pada masa lampau sebelum berlakunya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sering terjadi perkawinan yang disebut dengan “Kawin gantung” yakni perkawinan yang pencampuran antara suami istrinya masih ditangguhkan.9Ada pula kawin antara anak-anak, anak gadis yang belum baligh (dewasa) dengan pria yang telah dewasa, atau sebaliknya wanita yang telah dewasa dengan bocah lelaki yang masih kanak-kanak.10Atau juga terjadi “Kawin paksa” yaitu pria dan wanita yang tidak saling mengenal dipaksa untuk melakukan perkawinan.Atau juga “Kawin hutang” karena orang tua si wanita tidak dapat membayar hutang, maka ia menyerahkan anak gadisnya sebagai bentuk pembayaran hutang dan si gadis dikawini oleh si berpiutang.

Atau juga “Kawin selir” dimana anak gadis diserahkan kepada bangsawan atau raja sebagai istri selir.11

Menaati ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 perihal perizinan orang tua terhadap perkawinan di bawah umur, seandainya terjadi perselisihan mengenai siapa yang berhak memberi izin dikarenakan orang tua telah tiada atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, di lingkungan masyarakat adat tidak boleh begitu saja menunjuk orang yang memelihara, atau wali, atau keluarga sedarah dalam garis lurus keatas tanpa memperhatikan struktur kekerabatan yang bersangkutan.

9

Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, 2011. Kontroversi Perkawinan Anaka Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung.Hal.14

10Ibid, Hal.15 11

(6)

Oleh karena itu dalam masyarakat yang strukturnya patrilineal, maka pihak wanita (garis ibu) sebaliknya dalam masyarakat yang stuktur kekerabatannya matrilineal, maka pihak lelaki (garis bapak) tidak berhak atas anak kemenakannya.

Lain halnya dengan masyarakat yang struktur kekerabatannya parental, dalam hal ini kedua orang tua menurut garis lurus ke atas kesemuanya dapat bertindak menggantikan kedudukan bapak/ibu dari si anak yang telah tiada atau yang tidak mampu menyatakan kehendaknya.12

b. Batas usia kawin menurut Undang-Undang Nasional (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat (2) yaitu untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua.13

Izin dari orang tua untuk melakukan perkawinan ialah pria yang berumur 19 tahun dan wanita yang berusia 16 tahun.Itu artinya, pria dan wanita yang usianya di bawah ketentuan tersebut belum boleh melaksanakan perkawinan.

Jika dianalisis lebih jauh, aturan batas usia kawin ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan masalah kependudukan. Sebab tidak dipungkiri, ternyata batas usia kawin yang rendah bagi perempuan itu mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu hamil yang relatif tinggi.

Pengaruh buruk lainnya adalah kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu.14

12Ibid, Hal.51

13Redaksi New Merah Putih, 2009. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, New Merah Putih, Yogyakarta.Hal.14 14

(7)

Dengan demikian, pengaturan usia ini sesungguhnya sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harusdewasa jiwa dan raganya. Tujuannya, agar perkawinan itu menciptakan keluarga yang langgeng dan bahagia, serta membenihkan keturunan yang kuat dan sehat, tanpa berujung pada perceraian dini. Hal mana itu semua tidak akan tercapai dalam praktik perkawinan di bawah umur.

c. Batas usia kawin menurut Hukum Internasional

Hukum Perdata Internasional (HPI) adalah hukum yang berhubungan dengan peristiwa atau perkara perdata internasional.Ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata internasional tidak terkumpul di dalam satu undang-undang.

Bahkan hanya sedikit sekali kaidah-kaidah hukum perdata internasional yang terdapat pada peraturan perundang-undangan. Sumber dan bahan hukum perdata internasional tanpa melihat prioritasnya adalah: prinsip hukum umum, hukum kebiasaan, perjajian internasional (traktat), peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan doktrin.15

Termasuk dalam kelompok hukum perdata internasional, instrumen Hak Asasi Manusia International yang di susun oleh PBB dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap anak.

Instrumen HAM International memang tidak menyebutkan secara eksplisit batas usia perkawinan. Namun Konvensi Hak Anak tahun 1989, yang telah diratifikasi pemerintah melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990, menyebutkan bahwa yang disebut anak adalah mereka yang berusia dibawah 18 tahun.

15

(8)

Indonesia belum menjadi negara pihak dari konvensi 1964 tersebut, namun telah menetapkan batas usia kawin melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan (10 tahun setelah konvensi tersebut lahir).

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai instrumen HAM juga tidak menyebutkan secara eskplisit tentang batas usia kawin selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun.

2.6 Batas Usia Kedewasaan

a. Batas usia kedewasaan menurut Hukum Adat

Dari sisi tidak adanya batas usia kedewasaan yang tegas, hukum adat itu sama dengan fikih islam. Di masa lampau, masyarakat adat terbiasa menggunakan ukuran-ukuran fisik, seperti meminta seorang anak untuk meraih telinga kirinya dengan tangan kanan melalui atas kepala.

Jika berhasil, hal itu menandakan yang bersangkutan telah tumbuh dewasa.16Kedewasaan seseorang dalam hukum adat juga diukur dengan tanda-tanda dan bangun tubuh. Apabila anak perempuan telah mengalami haid (datang bulan) dan panggul yang kian melebar, maka itu artinya ia sudah dewasa.

Bagi anak lelaki, tolak ukurnya adalah perubahan pada pita suara dan postur tubuh. Jadi, penentuan tibanya waktu pernikahan itu tidak diukur dengan usia, karena kebanyakan orang tua di masa lampau tidak mencatat tanggal lahir anak-anaknya akibat buta huruf (illiterate).

16

(9)

Walaupun tidak ada parameter kedewasaan yang disepakati oleh hukum adat, mengingat sifatnya yang konvensional dan local, mayoritas masyarakat adat setuju bahwa anak yang telah menapaki jenjang perkawinan dan mengarungi bahtera rumah tangga itu telah dewasa.17

Batas usia kedewasaan di hadapan hukum adat merupakan sesuatu yang bersifat personal di mana individu-individunya memperoleh pengakuan dan perlakuan yang beragam.Secara adat, ketaatan dan ketundukan anak kepada kedua orang tuanya adalah mutlak.18

b. Batas usia kedewasaan menurut Undang-Undang Hukum Nasional (Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974)

Pembatasan usia anak merupakan bagian dari upaya perlindungan hukum baginya.Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya melindungi kebebasan dan hak asasi anak serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejateraan anak.

Adapun ruang lingkup bagi anak itu mencakup perlindungan atas kebebasan anak, perlindungan atas hak asasi anak, dan perlindungan atas semua kepentingan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.19

17 Ibid, Hal.23 18 Ibid, Hal.24 19

(10)

Menurut Undang-Undang ini, batas usia kedewasaan 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental.

c. Batas usia kedewasaan menurut Hukum Internasional

Menurut “Beijing Rules” (Resolusi Majelis PBB), remaja adalah seorang anak yang menurut sistem hukum masing-masing dapat diperlakukan atau suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda dari perlakuan terhadap orang dewasa.

Itu artinya, batas usia kedewasaan bagi seorang anak atau remaja ditentukan berdasarkan sistem hukum masing-masing Negara.20 “Beijing Rules” hanya memberikan rambu-rambu agar penentuan batas usia kedewasaan tidak terlalu rendah, sebab kedewasaan itu terkait dengan beragam faktor: emosi, mental, dan intelektual.

2.7 Kelompok yang Rentan Menjadi Korban Perkawinan di Bawah Umur a. Anak-Anak

Anak juga manusia, dan karenanya menghormati hak asasi anak sama halnya dengan menghormati hak asasi manusia (HAM).

Kelompok masyarakat yang rentan, antara lain adalah anak-anak, wanita hamil, orang lanjut usia, fakir miskin, dan penyandang cacat.21

Kerentanan ini terjadi sebagai akibat kelompok masyarakat ini diklaim sebagai manusia yang lemah.Usia dan faktor kematangan psikologis dan mental membuatnya kerapkali terpinggirkan dalam pengambilan kebijakan.22

20

Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung, Hal.26

21

Majda El-Muhtaj, 2008. Dimensi-Dimensi Hak Asasi Manusia, Raja Grafindo Persada, Bandung, Hal.223-224

22

(11)

Ada empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh kaum anak, yakni: hak terhadap kelangsungan hidup anak, hak terhadap perlindungan, hak untuk tumbuh berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.

Untuk memperkuat upaya perlindungan anak, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.23

Pasal 1 ayat 2 menyatakan dengan tegas bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan yang diupayakan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.24

b. Perempuan

Sekalipun perempuan diakui memberikan konstribusi yang besar dalam sejarah eksistensi umat manusia, dalam realitasnya perempuan acapkali menjadi korban kekerasan.Dalam setiap masyarakat dan lingkungan kegiatan, perempuan seringkali menjadi sasaran ketidakadilan dalam hukum maupun pergaulan sosial.Keadaan ini disebabkan bahkan diperburuk oleh adanya persepsi salah di lingkungan keluarga, masyarakat, dan negara.25

23

Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, Kontroversi Perkawinan Anak Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung, Hal.30

24Ibid, Hal.31 25

(12)

Kondisi ini terus berlangsung karena bertahannya stereotip dan praktik-praktik kepercayaan agama dalam balutan budaya yang merugikan perempuan.Dalam persoalan perkawinan di bawah umur misalnya, meski yang menjadi korban juga anak lelaki namun mayoritas anak yang menikah di usia dini adalah perempuan.

Penghormatan dan perlindungan terhadap perempuan adalah keniscayaan karena perempuan juga manusia.26

Perempuan secara kodrati memiliki fungsi-fungsi reproduksi yang berbeda dari pria, yaitu: haid, hamil, melahirkan, dan menyusui. Suatu proses yang sangat menentukan derajat kesehatan diri dan anak yang dikandungnya. Organ reproduksi perempuan harus dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari jati diri perempuan.27

2.8 Resiko dan Bahaya dari Perkawinan Anak di Bawah Umur

Perkawinan di usia dini mendatangkan banyak resiko dan bahaya, seperti kematian di usia dini muda, terjangkit problem kesehatan, hidup dalam lingkaran kemiskinan, dan menderita buta aksara (karena tidak mengenyam pendidikan dasar).28

a. Kehamilan Prematur

Kehamilan pada usia dini muda dapat membawa akibat yang berbahaya, baik bagi ibu muda maupun bayinya. Ibu muda itu beresiko melahirkan bayi premature dengan berat badan di bawah rata-rata.

26

Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, 2011. Kontroversi Perkawinan Anaka Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung, Hal.33

27Komnas HAM RI, 2006. Pemetaan Masalah Hak Atas Kehatan Seksual Reproduksi, Jakarta 28

(13)

Bayi yang lahir dengan berat kurang dari normal mempunyai resiko kematian 20 kali lebih besar pada tahun pertamanya dibanding bayi normal.

b. Kematian Ibu

Resiko kesehatan pada ibu yang muda usia juga tidak kalah besarnya dibanding bayi yang dikandungnya. Ibu kecil yang berusia antara 10-14 tahun resiko meninggal dalam proses persalinan 5 kali lebih besar dari wanita dewasa. Persalinan yang berujung pada kematian merupakan faktor paling dominan dalam kematian gadis antara usia 15-19 tahun.29

c. Hubungan Seksual yang Tidak Aman

Mayoritas pengantin usia dini harus berhenti sekolah lebih awal. Karenanya, mereka pun tidak familiar dengan isu-isu dan layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar termasuk resiko tertular HIV.Tidak jarang, problemnya adalah ketiadaan izin dari pasangan yang berpikiran sangat tradisional dan konservatif.30

d. Tidak Berpendidikan

Bisa dipastikan, pengantin anak-anak adalah generasi putus sekolah. Kesempatan mereka untuk mengenyam level pendidikan yang lebih tinggi menjadi tertundabahkan tidak sedikit pula yang tidak menyelesaikan bangku pendidikan.31

Akibatnya, banyak di antara mereka yang buta aksara (illiterate). Sejumlah riset menyimpulkan, ada korekasi erat antara level pendidikan anak gadis dengan usianya saat pertama kali menikah.

29Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, 2011. Kontroversi Perkawinan Anaka Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung, Hal.81

30

Ibid, Hal.86 31

(14)

e. Kekerasan Rumah Tangga

Gadis-gadis muda yang dikawinkan di usia dini lazimnya bersuamikan pria yang berusia jauh lebih tua dari dirinya.Akibat margin usia yang sangat lebar inilah hampir selalu muncul problem komunikasi keluarga maupun seksual di antara keduanya.32

Model perkawinan dengan selisih usia terpaut jauh itu pada gilirannya sering menghadirkan “mimpi buruk” bagi pengantin perempuan, dimana mereka mengalami kekerasan dalam kehidupan rumah tangganya.

2.9 Program-program Strategis Untuk Pencegahan Perkawinan Anak di Bawah Umur

Setiap masalah yang muncul itu dihadapi, bukan untuk dihindari. Sebab setiap kali kita menghindar suatu masalah yang menghadang, di depan kita akan dihadapkan pada beragam persoalan lain pula. Oleh karena itu, bagaimana pun wujud masalah itu, kita wajib mencarikan jalan keluarnya.33

Adapun program dan strategi untuk menanggulanginya, antara lain:

1. Pengubahan perilaku hukum masyarakat melalui program sadar hukum

a. Peningkatan taraf pengetahuan dan wawasan warga masyarakat.

b. Program wajib belajar bagi anak-anak usia sekolah harus lebih diperketat pelaksanaannya.

c. Program penyuluhan hukum di bidang perkawinan.34

32

Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil, 2011. Kontroversi Perkawinan Anaka Di Bawah Umur, Mandar Maju, Bandung, Hal.88

33Ibid, Hal.135 34

(15)

2. Sosialisasi program pendidikan seks dan kesehatan reproduksi

a. Pemerintah harus mengakui dan memajukan hak reproduktif perempuan, termasuk hak mereka untuk menentukan jumlah dan jarak usia anak-anak mereka.

b. Mediamassa perlu dimobilisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya dan resiko perkawinan di bawah umur dan praktik semacam ini.

c. Program audiovisual, seperti drama, sketsa dan paket pendidikan tentang praktik tradisi berbahaya yang mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak-anak, khususnya perkawinan di bawah umur.35

3. Perluasan akses pendidikan yang terjangkau

Pemerintah harus menghapuskan semua bentuk praktik kelahiran tradisional yang berbahaya, melalui upaya pendidikan serta melalui mekanisme pemantauan.36

4. Perbaikan manajemen dan administrasi perkawinan

Pendaftaran dan pencacatan perkawinan harus diwajibkan demi mengantisipasi praktik perkawinan di bawah umur secara sirri.Juga untuk mengantisipasi terjadinya pemalsuan umur dan identitas-identitas lainnya.37

35Ibid, Hal,137 36Ibid, Hal.138 37

Referensi

Dokumen terkait

Indikator secara kualitatif meliputi; proses pembelajaran dengan model Problem based learning dikatakan berhasil jika sebagian siswa menunjukkan keaktifan di kelas,

Sumber : Data Primer diolah, 2019 Pada tabel di atas menunjukkan bahwa pemilihan faktor yang lebih urgen dari matriks SWOT analisis lingkungan internal faktor kekuatan

System Reliability Berpengaruh Positif dan System Quality berpengaruh positif tetapi tidak signifikan Terhadap Individual Peformance melalui variabel Task Technology Fit

P Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Pada PT. Pei Hai

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran Pendidikan

Berdasarkan uraian pembahasan dan permasalahan serta tujuan penelitian “Penerapan SAK EMKM sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan UMKM (studi kasus pada UMKM UD

Program bimbingan keterampilan sendiri adalah kemampuan mengerjakan sesuatu dengan baik dan dilakukan dengan cara memanfaatkan pengalaman dan pelatihan (Depdiknas,

AQUA merupakan salah satu produk dari PT AQUA Golden Misissipi yang memasukkan nilai kebaikan dalam salah satu tema iklannya. AQUA meluncurkan sebuah tema inisiatif