• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORITIS. tahun 1973 (Farber, 1991; Widiyanti, Yulianto & Purba, 2007). Burnout. dengan kebutuhan dan harapan (Rizka, 2013).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORITIS. tahun 1973 (Farber, 1991; Widiyanti, Yulianto & Purba, 2007). Burnout. dengan kebutuhan dan harapan (Rizka, 2013)."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

11 BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Burnout

1. Definisi Burnout

Istilah burnout pertama kali diperkenalkan oleh Freudenberger pada tahun 1973 (Farber, 1991; Widiyanti, Yulianto & Purba, 2007). Burnout dapat terjadi diantara karyawan yang tidak mampu mengatasi tekanan pekerjaan yang luas yang menuntut energi, waktu, dan sumber daya, burnout juga dapat terjadi diantara karyawan yang bekerja di bidang pelayanan, serta dapat terjadi karena situasi kerja yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan (Rizka, 2013).

Burnout merupakan sindrom psikologis yang merupakan reaksi individu terhadap tekanan pekerjaan yang berkepanjangan (Maslach & Leiter, 1997; Lorensya & Wirawan, 2009). Putra & Mulyadi (2010), memaparkan bahwa burnout adalah kondisi seseorang yang terkuras habis dan kehilangan energi psikis maupun fisik yang dialami dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan emosional. Biasanya hal itu disebabkan oleh situasi kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan kebutuhan dan harapan.

Burnout didefinisikan oleh Leatz & Stoler (1993) sebagai kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terjadi karena tekanan yang dialami dalam jangka waktu yang cukup lama, dalam situasi yang menuntut

(2)

12 keterlibatan emosional yang tinggi, dan ditambah dengan tingginya standar keberhasilan pribadi (Leatz & Stoler, 1993; Zulkarnain, 2011). Burnout juga merupakan sindrom yang terdiri dari emotional exhaustion, depersonalization, reduce personal accomplishment yang terjadi diantara individu-individu yang melakukan pekerjaan yang memberikan pelayanan kepada orang lain dan sejenisnya (Maslach & Jackson, 1986; Jansen, dkk, 1996).

Berdasarkan beberapa definisi tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa burnout adalah suatu kondisi dimana individu mengalami kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan pencapaian pribadi yang merupakan hasil dari ketidakmampuan individu dalam mengatasi tekanan kerja yang dialami dalam waktu yang cukup lama.

2. Dimensi Burnout

Burnout dapat dijabarkan ke dalam tiga dimensi (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001) yaitu :

a. Exhaustion. Ketika mengalami exhaustion, individu akan merasakan energinya seperti terkuras habis dan ada perasaan “kosong” yang tidak dapat diatasi lagi. Pada dimensi ini, akan muncul perasaan lelah berkepanjangan baik secara emosional (bosan, sedih, tertekan, frustrasi, putus asa, dan tidak berdaya), mental (tidak berharga, rasa gagal, dan lain-lain), dan fisik (sakit kepala, flu, dan insomnia). Pines & Aroson (1989), juga

(3)

13 menyatakan lelah secara fisik dapat meliputi sakit kepala, susah tidur, demam, sakit punggung, rentan terhadap penyakit, tegang pada otot leher dan bahu, mual-mual, gelisah dan perubahan kebiasaan makan (Pines & Aroson, 1989; Amelia & Zulkarnain, 2005).

b. Depersonalization/cynicism. Dimensi ini merupakan

perkembangan dari dimensi kelelahan. Depersonalisasi adalah coping (proses mengatasi ketidakseimbangan antara tuntutan dengan kemampuan individu) yang dilakukan individu untuk mengatasi kelelahan. Perilaku ini juga merupakan upaya untuk melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu maka mereka akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam bekerja. Gambaran dari depersonalisasi adalah adanya sikap sinis terhadap orang-orang yang berada dalam lingkup pekerjaan, menjaga jarak dari lingkungan kerja, dan cenderung menarik diri serta mengurangi keterlibatan diri dalam bekerja

c. Low Personal Accomplishment. Dimensi ini ditandai dengan adanya perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan bahkan terhadap kehidupannya. Selain itu mereka juga merasa belum melakukan hal-hal yang bermanfaat dalam hidupnya yang akan memicu timbulnya penilaian rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri. Individu juga merasa tidak lagi

(4)

14 mampu melakukan tugas dan menganggap tugas-tugas yang dibebankan terlalu berlebihan sehingga tidak sanggup lagi menerima tugas baru.

Berdasarkan uraian di atas maka dimensi burnout adalah exhaustion, depersonalization, dan low personal accomplishment.

3. Gejala Burnout

Smith, Segal, & Segal (2014), menyatakan bahwa terdapat beberapa gejala burnout secara umum. Gejala burnout ini dapat digunakan sebagai tanda peringatan bahwa ada sesuatu yang salah yang perlu ditangani. Gejala burnout, yaitu :

a. Gejala fisik

1. Merasa lelah dan terkuras energinya.

2. Menurunnya kekebalan tubuh, sering sakit-sakitan seperti sakit kepala, nyeri punggung, nyeri otot, flu, dan lain sebagainya. 3. Perubahan nafsu makan dan susah tidur.

b. Gejala emosional

1. Merasa gagal dan selalu ragu dengan kemampuan. 2. Merasa tidak berdaya dan kurang semangat. 3. Kehilangan motivasi.

4. Semakin sinis dan berfikir negatif. 5. Penurunan kepuasan kerja.

(5)

15 c. Perilaku

1. Lari dari tanggung jawab.

2. Menunda-nunda waktu dalam menyelesaikan tugas.

3. Membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyelesaikan tugas.

4. Menggunakan obat-obatan dan alkohol. 5. Frustrasi.

6. Bolos kerja atau datang terlambat dan pulang lebih awal.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Burnout.

Terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya burnout pada karyawan :

a. Interaksi dengan client

Caputo (1991) menyatakan bahwa pekerjaan yang melibatkan interaksi langsung dengan pelanggan dapat menimbulkan tekanan yang berpotensi menyebabkan burnout. Karyawan biasanya dituntut untuk dapat menunjukkan kebaikan, kesabaran, kepedulian dan rasa hormat, bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi pelanggan, aktif dalam memberikan penjelasan yang dibutuhkan pelanggan, dan efektif ketika menghadapi pelanggan dan berbagai kebutuhannya tanpa memperdulikan rasa lelah dan marah yang dialami karyawan. Contoh pekerjaan yang langsung berhubungan

(6)

16 dengan pelanggan adalah perawat, dokter, penjaga perpustakaan, dan lain-lain (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).

b. Beban kerja yang berlebihan

Caputo (1991) menyatakan banyaknya tanggung jawab yang harus diterima dan banyaknya tugas-tugas yang harus ditangani yang diberikan secara terus menerus diidentifikasikan sebagai penyebab terjadinya burnout (Caputo, 1991; Sedjo, 2005).

c. Dukungan sosial

Dari hasil penelitian yang dilakukan Adawiyah (2013), menyatakan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara dukungan sosial dengan kecenderungan burnout. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tinggi dapat mendukung berkurangnya kecenderungan burnout. Karena dengan adanya dukungan sosial yang tinggi maka individu dapat lebih baik dalam menyelesaikan tekanan pekerjaan yang berpotensi menimbulkan burnout.

d. Persepsi terhadap lingkungan kerja

Persepsi terhadap lingkungan kerja dengan kecenderungan burnout telah diteliti oleh Andriani (2004) yang menunjukkan hasil terdapat korelasi negatif antara persepsi terhadap kondisi lingkungan kerja terhadap kecenderungan burnout pada perawat Instalasi Gawat Darurat. Artinya semakin positif persepsi terhadap lingkungan kerja pada individu maka burnout semakin rendah dan

(7)

17 sebaliknya. Kondisi linkungan kerja meliputi kondisi fisik (penerangan, suhu udara atau temperatur, dan kebisingan) dan non fisik/struktur kerja (kekaburan peran, konflik peran, beban kerja, dan tanggung jawab).

e. Kurangnya kontrol

Banyaknya tugas yang harus dilakukan membuat seseorang sulit menentukan prioritas, mana tugas yang harus dilaksanakan terlebih dahulu karena seringkali banyak tugas yang harus menjadi prioritas karena tingkat kepentingan yang sama tingginya atau karena sama tingkat urgensinya. Ketika seseorang tidak dapat melakukan kontrol terhadap pekerjaannya maka hal itu akan lebih mudah memicu terjadinya burnout (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).

f. Sistem imbalan yang tidak memadai

Kurangnya keseimbangan antara imbalan (gaji, imbalan) dan pekerjaan yang harus dilakukan karyawan akan melemahkan semangat untuk menyukai pekerjaan dan akhirnya membuat seseorang merasa terbelenggu dengan hal-hal rutin yang mengakibatkan turunnya komitmen dan motivasi kerja. Hal ini menandakan burnout mulai muncul (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).

(8)

18 g. Interaksi dengan rekan kerja

Dalam melaksanakan pekerjaannya, karyawan juga harus berinteraksi dengan rekan-rekan kerja lainnya. Interaksi yang buruk dapat memicu timbulnya tekanan yang akan menyebabkan burnout (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).

h. Hilangnya keadilan

Salah satu kondisi dari sistem manajemen yang dapat menimbulkan ketidakadilan adalah penerapan aturan yang tidak konsisten. Ketika pekerja merasakan ketidakadilan akan timbul berbagai reaksi dan sebagian orang dapat bereaksi dengan cara menarik diri dan mengurangi keterlibatannya dalam pekerjaan. Selanjutanya gejala-gejala kejenuhan kerja mulai tampak (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).

i. Peran ambigu

Peran ambigu adalah kekaburan tanggung jawab atau harapan dalam pekerjaan. Ketidakjelasan tujuan individu dan organisasi atau adanya parameter dan ruang lingkup pekerjaan yang tidak jelas dapat menyebabkan stres yang kronis yang nantinya berujung kepada burnout (Caputo, 1991; Sedjo, 2005).

j. Konflik nilai

Sistem nilai akan mempengaruhi interaksi seseorang dengan pekerjaannya. Dewasa ini krisis yang terjadi dalam dunia kerja antara lain banyaknya penerapan nilai-nilai yang saling

(9)

19 bertentangan satu sama lain. Namun seringkali pihak manajemen melupakan kebutuhan pekerjanya. Sehingga menimbulkan konflik atau pertentangan bagi pekerja. Tidak ada penyaluran keluhan bagi karyawan dan akhirnya terjadi proses exhaustion. Karena mereka merasa harus menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa bantuan organisasi (Maslach & Leiter, 1997; Nurjayadi, 2004).

k. Kepribadian

Menurut Maslach, faktor kepribadian merupakan salah satu faktor penting yang menentukan munculnya burnout (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001; Ginting & Rahmat 2005). Hasil penelitian Hardiyanti membuktikan bahwa orang yang memiliki tingkat neuroticism yang tinggi lebih mungkin untuk mengalami burnout (Hardiyanti, 2013). Hasil penelitian Adawiyah, (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan kecendrungan burnout. Orang yang memiliki kecerdasan emosional akan mampu untuk mengelola emosinya sehingga memungkinkan orang tersebut untuk bertindak lebih rasional dan tentunya terhindar dari burnout. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiastuti & Astuti (2008), menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara kepribadian hardiness dengan burnout. Artinya semakin rendah kepribadaian Hardiness maka burnout pada individu cenderung semakin tinggi dan sebaliknya. Hasil penelitian Amelia & Zulkarnain (2005) juga

(10)

20 menyatakan bahwa terdapat hubungan negatif antara konsep diri dengan tingkat burnout. Hal ini menunjukkan bahwa semakin positif konsep diri seseorang, maka semakin rendah tingkat burnout yang dialami oleh seseorang dan sebaliknya.

l. Jenis kelamin

Schultz & Schultz (1994) mengungkapkan bahwa wanita memperlihatkan frekuensi lebih besar untuk mengalami burnout daripada pria, disebabkan karena seringnya wanita mengalami kelelahan emosional (Schultz & Schultz, 1994; Sihotang, 2004). m. Status perkawinan

Caputo (1991) menyatakan bahwa, individu yang belum menikah lebih banyak mengalami burnout dari pada individu yang sudah menikah. Ini dikarenakan dukungan sosial yang diterima dari pasangan dapat membantu individu menyelesaikan tekanan pekerjaannya (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).

n. Usia

Orang-orang dengan usia muda cendrung lebih rentan mengalami burnout dari pada orang-orang dengan usia yang lebih tua. Karena dianggap semakin banyak pengalaman bekerja seseorang maka semakin kecil kemungkinan untuk mengalami burnout karena sudah terbiasa untuk mengatasi tuntutan kerja (Caputo, 1991; Fatmawati, 2012).

(11)

21 Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang dapat mempengaruhi burnout adalah interaksi dengan client, beban kerja yang berlebihan, dukungan sosial, persepsi terhadap lingkungan kerja, kurangnya kontrol, sistem imbalan yang tidak memadai, interaksi dengan rekan kerja, hilangnya keadilan, peran ambigu, konflik nilai, kepribadian, jenis kelamin, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan usia.

B. Bullying di Tempat Kerja 1. Definisi Bullying

Dalam Bahasa Indonesia, secara harfiah kata bully diartikan sebagai penggertak atau orang yang mengganggu orang lemah. Istilah bullying dalam Bahasa Indonesia, disebut “Menyakat” yang berasal dari kata sakat dan pelakunya (bully) disebut penyakat (Rudi, 2010).

Einarsen, Hoel, Zapf & Cooper (2003) menyatakan bahwa bullying dapat dikatakan terjadi dengan adanya pengulangan, periode waktu yang lama dan adanya pola perilaku.

Peneliti Devanport, Schwartz, Elliott (2005) menggunakan istilah mobbing untuk menjelaskan bullying. Mobbing merupakan suatu bentuk serangan emosional yang ditujukan untuk seorang individu melalui rumor, perilaku tidak sopan, dan perilaku yang berbahaya yang dilakukan oleh beberapa individu yang dikumpulkan oleh satu orang baik secara paksa atau secara sukarela untuk membuat seseorang

(12)

22 tersebut keluar dari pekerjaannya (Davenport, Schwartz & Elliott, 2005; Daniel, 2009).

Bullying di tempat kerja adalah berbagai bentuk perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang, sistematis, dan di tujukan pada seorang karyawan atau sekelompok karyawan yang mana perilaku tersebut dapat mengancam keselamatan dan kesehatan korban (Dealing With Workplace Bullying, 2005; Guidelines on The Prevention of Workplace Harassment, 2012).

Hoel dan Cooper (2000) juga menyatakan bahwa bullying merupakan suatu kondisi yang mana seorang karyawan atau beberapa karyawan secara berulang-ulang menerima perlakuan negatif dari seseorang atau beberapa orang karyawan selama periode waktu tertentu dan target bullying sendiri mengalami kesulitan dalam membela dirinya sendiri atas perilaku yang diterimanya.

Peyton (2003) mendefinisikan bullying sebagai perilaku yang negatif, menyinggung dan mengancam keamanan seseorang yang nantinya akan mengakibatkan stres. Perilaku tersebut biasanya bertujuan untuk menyakiti korban. Korban bullying sering tidak menyadari bahwa mereka sedang di ganggu. Mereka sering berfikir bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang terus melakukan kesalahan dan mereka biasanya menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan mereka. Mereka biasanya takut untuk melaporkan hal yang terjadi pada mereka karena mereka takut dianggap lemah.

(13)

23 Berdasarkan penjelasan di atas, bullying di tempat kerja merupakan segala bentuk perilaku yang bersifat negatif yang dilakukan secara berulang-ulang, sistematis, dan ditujukan kepada seorang karyawan atau sekelompok karyawan yang mana perilaku tersebut bertujuan untuk membuat korban tersakiti dan keluar dari pekerjaannya, perilaku tersebut dimulai dari menyebarkan rumor sampai melakukan tindakan yang berbahaya pada target bullying yang nantinya semua perilaku itu dapat mengancam keselamatan dan kesehatan korban.

2. Pihak-pihak yang terlibat didalam bullying

Pihak-pihak yang terlibat dalam bullying ada tiga (Johnson & Johnson, 2007), yaitu: (i) Bully, yaitu orang yang terus menerus melakukan perilaku bullying contohnya seperti menyakiti secara verbal maupun non verbal. (ii) Victim, yaitu target yang dikenakan perilaku bullying dan (iii) Bystanders, yaitu korban yang menyaksikan terjadinya perilaku bullying.

3. Indikator Perilaku Bullying

Dalam penelitian ini alat yang digunakan untuk mengukur bullying adalah NAQ-R yang dikembangkan oleh Einarsen, Hoel & Notelaers, (2009). Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) menyatakan bahwa NAQ-R dapat digunakan untuk mengukur bullying secara langsung atau dengan

(14)

24 mengukur satu persatu dari indikatornya. Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga Indikator bullying :

a. Work-related bullying: Perilaku atau tindakan negatif yang terkait dengan pekerjaan. Perilaku ini juga merupakan perilaku yang menimbulkan kesulitan saat melaksanakan pekerjaan. Seperti memberikan tugas dengan deadline yang tidak memungkinkan, memberikan tugas diluar kemampuan korban, dan lain-lain.

b. Person-related bullying: Perilaku atau tindakan negatif yang terkait dengan target. Seperti menyebarkan gosip mengenai korban, mengejek korban, dan lain-lain.

c. Physical intimidation bullying : Perilaku atau tindakan negatif yang berkaitan dengan intimidasi fisik. Contohnya, memberikan perilaku intimidasi seperti mendorong, menunjuk-nunjuk korban, atau menghalangi jalannya, dan lain-lain.

.

4. Dampak bullying

Setiap individu akan bereaksi secara berbeda terhadap bullying. Reaksi yang dialami korban bullying pada umumnya (Bullying At Work: A Guide For Employees, 2009; Oade, 2009):

a. Cemas, panik dan susah tidur.

b. Mengalami gangguan konsentrasi dan gangguan dalam membuat keputusan.

(15)

25 d. Merasa terisolasi.

e. Mengalami resiko bunuh diri. f. Depresi.

g. Mengalami penurunan harga diri.

h. Mengalami keluhan fisik seperti mual-mual, sakit kepala, dan sakit punggung.

i. Marah tanpa alasan yang jelas.

C. Pengaruh Bullying Di Tempat Kerja Terhadap Burnout Pada Kayawan Menurut hasil studi Cordes & Dougherty (1993), burnout dapat memberikan dampak negatif terhadap pekerja antara lain penurunan kinerja pekerja, penurunan kepuasan kerja, peningkatan tingkat absen dan juga turnover. Dampak-dampak ini nantinya akan mempengaruhi produktifitas perusahaan (Cordes & Dougherty, 1993; Advani, Sarang, Kumar, & Rohtas, 2005).

Menurut Caputo (1991), banyak sekali faktor-faktor yang dapat turut menyebabkan burnout diantaranya yaitu idealisme yang tinggi, overcommitment, single mindedness, kurangnya kontrol dalam bekerja, banyak berhadapan dengan publik, peran ambigu, beban kerja berlebihan yang diberikan secara terus menerus dan kurangnya personal support (Caputo, 1991; Sedjo, 2005). Lovell & Lee (2011), menyatakan bahwa burnout dapat juga merupakan hasil dari bullying di tempat kerja (Lovell & Lee, 2011; Helena, Dianne, Michael, Bevan, & Tim, 2013).

(16)

26 Bullying memiliki konsekuensi yang merugikan bagi korbannya. Korban bullying dilaporkan menghasilkan masalah psikologis seperti ketidakberdayaan (Mathiesen & Einarsen, 2004; Mikkelsen & Einarsen, 2002; Aydin, 2012) dan masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan insomnia (Workplace Bullying Institute, 2012). Masalah psikologis seperti ketidakberdayaan serta masalah kesehatan fisik seperti sakit kepala dan insomnia merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu dimensi exhaustion (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).

Selanjutnya, korban bullying dilaporkan sering tidak masuk kerja (Agervold & Mikkelsen, 2004; Gardner, dkk, 2009) Sering tidak masuk kerja merupakan suatu bentuk jaga jarak dari lingkungan kerja yang masuk kedalam salah satu ciri dimensi burnout yaitu depersonalisasi. Ketika mengalami depersonalisasi, individu akan menjaga jarak dari lingkungan kerja (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).

Selain itu, Oade (2009) juga menyatakan bahwa korban bullying dapat mengalami penurunan harga diri yang mana individu menganggap dirinya tidak memiliki kemampuan yang baik dalam pekerjaannya. Hal ini tentunya mirip dengan ciri dari dimensi burnout yaitu low personal accomplishment. Ketika mengalami low personal accomplishment mereka akan membuat penilaian yang rendah terhadap kompetensi diri dan pencapaian keberhasilan diri (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).

(17)

27 Einarsen, Hoel & Notelaers (2009) mengatakan bahwa indikator-indikator bullying terdiri dari work-related bullying, person-related bullying dan physical intimidation bullying.

Indikator pertama dari bullying adalah work-related bullying. Work-related bullying dapat meliputi memberikan tugas dengan deadline yang tidak memungkinkan dan memberikan tugas diluar kemampuan korban (Einarsen, Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan membuat individu yang bersangkutan mengalami tekanan. Tekanan yang terus-menerus menyerang akan menyebabkan gejala fisik dan emosional pada korbannya (Donnellan, 2006). Contoh dari gejala yang dialami dapat berupa frustrasi, tidak beraya, putus asa, insomnia, sinis terhadap orang-orang dalam lingkungan kerja dan merasa tidak memiliki kompetensi diri yang baik. Frustasi, tidak berdaya, putus asa dan insomnia merupakan beberapa ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu exhaustion, selanjutnya bersikap sinis terhadap orang-orang dalam lingkungan kerja merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu depersonalisasi, dan merasa tidak memiliki kompetensi diri yang baik merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter & Schaufeli, 2001).

Indikator kedua dari bullying adalah person-related bullying. Contoh dari person-related bullying adalah menyebarkan gosip dan mengejek korban (Einarsen, Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan membuat individu yang bersangkutan mengalami rasa sedih, tertekan, frustrasi, sakit kepala, sinis, dan merasa tidak puas dengan diri sendiri. Rasa sedih,

(18)

28 tertekan, frustrasi dan sakit kepala merupakan salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu exhaustion. Selanjutnya sinis merupakan salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu depersonalization, dan merasa tidak puas dengan diri sendiri merupakan ciri dari salah satu dimensi burnout yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter, Schaufeli, 2001).

Indikator ketiga dari bullying adalah physical intimidation bullying. Contoh dari physical intimidation bullying adalah memberikana perilaku intimidasi seperti mendorong korban, menunjuk-nunjuk korban, menghalangi jalannya serta memberikan ancaman kekerasan (Einarsen, Hoel & Notelaers, 2009). Hal ini tentunya akan menimbulkan rasa tidak berdaya, tertekan, insomnia, sinis, dan merasa tidak puas dengan pekerjaannya. Rasa tidak berdaya, tertekan, dan insomnia merupakan salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu exhaustion, selanjutnya sinis merupakan salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu depersonalization, dan selanjutnya merasa tidak puas dengan pekerjaannya merupakan salah satu ciri dari dimensi burnout yaitu low personal accomplishment (Maslach, Leiter, Schaufeli, 2001).

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada pengaruh positif bullying di tempat kerja terhadap burnout pada karyawan”. Hipotesa di atas mengandung pengertian bahwa bullying dapat meningkatkan burnout pada karyawan.

(19)

29 Selain itu, terdapat tiga hipotesis lainnya yang juga ingin dibuktikan didalam penelitian ini berkaitan dengan bullying di tempat kerja, yaitu : 1. Ada pengaruh positif work-related bullying terhadap burnout pada

karyawan. Work-related bullying dapat meningkatkan burnout pada karyawan.

2. Ada pengaruh positif person-related bullying terhadap burnout pada karyawan. Person-related bullying dapat meningkatkan burnout pada karyawan.

3. Ada pengaruh positif Physical intimidation bullying terhadap burnout pada karyawan. Physical intimidation bullying dapat meningkatkan burnout pada karyawan.

Referensi

Dokumen terkait

Rata-rata hasil belajar pengetahuan IPA siswa yang dibelajarkan melalui pendekatan Saintifik menggunakan pertanyaan produktif pada siswa kelas IV SDN 14 Kesiman tahun

Dengan kata lain pemberian reward dan punishment ini bertujuan merangsang motivasi peserta didik (manusia) untuk lebih bergairah dan bersemangat dalam mengikuti

Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi syarat akhir perkuliahan, dalam mecapai gelar Ahli Madya pada Program Studi Diploma 3 Manajemen Perdagangan Fakultas

Selain menggunakan Catatan Perut, dalam penulisan karya ilmiah juga dikenal pemakaian Endnote (catatan akhir), yakni keterangan-keterangan atas artikel ilmiah yang diletakkan

Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari.. situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah

Untuk menjaga kesinambungan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, telah disusun rencana kegiatan oleh 6 (enam)

Investasi dalam kelompok tersedia untuk dijual adalah aset keuangan non-derivatif yang ditujukan untuk dimiliki sampai periode yang tidak ditentukan, yang mana dapat dijual

Rencana tindakan yang penulis susun adalah berikan klien dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal dengan rasional perubahan pada tekanan intrakranial dan dapat menyebabkan