• Tidak ada hasil yang ditemukan

bangsa, ras, etnis, budaya maupun agama, dalam hal keagamaan mayoritas untuk menerapkan Syaria t Islam di sejumlah daerah yang merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "bangsa, ras, etnis, budaya maupun agama, dalam hal keagamaan mayoritas untuk menerapkan Syaria t Islam di sejumlah daerah yang merupakan"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki kemajemukan baik suku bangsa, ras, etnis, budaya maupun agama, dalam hal keagamaan mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam sehingga timbulnya gerakan untuk menerapkan Syaria’t Islam di sejumlah daerah yang merupakan fenomena yang menonjol di era reformasi. Gerakan ini hampir bersamaan dengan perjuangan mengusung perjuangan Jakarta tahun 2000 yang dilakukan oleh kelompok-kelompok umat Islam dalam berbagai kelompok keagamaan. Gerakan Islam yang memperjuangkan formalisasi Syari’at Islam berlangsung secara relatif luas di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Aceh. Kenyataan yang cukup menarik bahwa gerakan Islam memperjuangkan penerapan Syari’at Islam itu paling menonjol tumbuh dan berkembang terutama di tiga wilayah yakni Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Sulawesi Selatan (Sulsel), dan Jawa Barat (Jabar). Ketiga daerah tersebut dimasa lampau dikenal dengan daerah-daerah yang menjadi basis gerakan DI/TII. Ketiga daerah-daerah yang dikenal tanahnya subur itu juga sering di kategorikan sebagai daerah dengan penduduk taat beragama Islam dan basis dari kekuatan-kekuatan politik Islam seperti Syarikat Islam dan Masyumi dimasa lalu.

Masyarakat Aceh atau kini bernama Nangroe Aceh Darussalam (NAD) sebenarnya telah memulai penerapan Syari’at Islam secara formal dalam institusi pemerintahan dengan terbitnya peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam. Pemberlakuan Syari’at Islam di NAD

(2)

B.J Habiebie, dengan di berlakukannya UU-RI (Undang-Undang Republik Indonesia) Nomor 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang mengandung unsur pelaksanaan Syari’at Islam bagi pemeluknya, khususnya dalam pasal Penyelanggaran Kehidupan Beragama.

Pemberlakuan Syariat Islam di NAD bahkan semakin konkrit dan tersistem dengan keluarnya UU-RI No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Sekaligus mengubah Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, dalam UU otonomi Khusus yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, dalam hal tersebut juga terdapat ketentuan-ketentuan khusus mengenai instrumen peleksanaan Syari’at Islam di wilayah ini seperti Mahkamah Syari’ah, Qanun (Peraturan Daerah), dan lain-lain.

Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri juga di keluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 tahun 2003 tentang Mahkamah Syari’ah di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yaitu lembaga peradilan sebagai pengganti institusi Peradilan Agama, yang bebas dari pengaruh manapun yang berlaku untuk pemeluk agama Islam di seluruh wilayah NAD. Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh jauh lebih banyak di warnai oleh dinamika politik antara Aceh dengan Pusat. Gerakan penerapan Syari’at Islam tidak sepenuhnya murni tumbuh dari gerakan masyarakat akan tetapi karena Akomudasi dan kebijakan politik dalam konteks penyelesaian konflik yang berkepanjangan di wilayah ini sejak era orde lama. Konflik politik ini bahkan memiliki akar kesejarahan sejak Indonesia merdeka dalam masa awal hingga

(3)

lama. Dengan kata lain, pemberlakuan Syari’at Islam secara formal di Aceh lebih merupakan kebijakan politik pemerintah pusat untuk Aceh dari pada murni lahir dari gerakan keagamaan, kendati faktor gerakan pun ikut mewarnainya.

Tetapi apapun karakternya, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh tetap memiliki warna sendiri dan lebih jauh bahkan ikut mempengaruhi daerah lain untuk melakukan hal yang sama seperti halnya di sulawesi Selatan dan Jawa Barat, disamping daerah-daerah lainnya. Aceh bahkan memiliki karakter khusus sebagai daerah berbasis perjuangan yang heroik dan dikenal sebagai

Serambi Mekah yang menggambarkan kelekatan masyarakat dengan Islam.

Penerapan Syari’at Islam bahkan lebih luas dan bebagai macam aspek dengan daya dukung perundang-undangan dan perangkat-perangkat kelembagaan yang lengkap, sehingga Syari’at Islam menyatu dengan pemerintahan kendati tetap berada dalam kerangka otonomi khusus dan secara nasional tetap berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai hasil usaha para ulama dan para mubaligh sejak mulanya Islam masuk di Aceh, maka rakyat Aceh sangat fanatik kepada Islam. Fanatik adalah lain dari pada taat. Seorang yang fanatik belum tentu taat, akan tetapi dorongan dan dukungan serta partisipasinya dalam menegakkan Syariat Islam sangat kuat. Di Aceh dilarang etnis cina berjualan makanan masak selama bulan puasa. Namun larangan ini tidak bertahan lama, kemudian di perbarui lagi sejak keluarnya Keputusan Penguasa Perang Daerah Istimewa Aceh Pada Tanggal 7 April 1972 No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962, yang ditandatangani oleh Panglima Penguasa Perang Daerah I/Iskandar Muda

(4)

selaku penguasa Perang daerah Untuk Daerah Istimewa Aceh yaitu Kolonel M. Jasin. keputusan tersebut berisi:

Pertama : Terlaksananya secara tertib dan seksama unsu-unsur Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya di daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.

Kedua : Penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama diatas, diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan Daerah Istimewa Aceh.

Berdasarkan keputusan PEPERDA tersebut, maka DPRD Gotong Royong Daerah Istimewa Aceh, setelah lima kali sidang, maka pada tanggal 15 agustus 1962 mengeluarkan pernyataan sebagai berikut :

I. Dalam batas-batas wewenang serta kemungkinan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, pemerintah Daerah Istimewa Aceh akan melaksanakan unsur-unsur Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sesuai sepeti prinsip-prinsip yang terkandung dalam Keputusan PEPERDA tanggal 7 April 1962 No. KPTS/PEPERDA-061/3/1962.

II. untuk pelaksanaan usaha tersebut, akan dibuat peraturan-peraturan Daerah dan untuk merencanakan peraturan-peraturan itu, dimana di anggap perlu, akan diserahkan kepada suatu panitia yang dibentuk oleh Pemerintahan Daerah.

III. Untuk menjaga jangan ada kesimpangsiuran didalam pengertian dan penyelenggaraan tentang unsur-unsur Syari’at Islam yang dimaksud, meminta kepada Pemerintah Pusat supaya segera membuat

(5)

undang-undang pokok tentang Agama. (Sekretariatan DPRD-GR Daerah Istimewa Aceh, 1972:207).

Baik Keputusan PEPERDA tersebut di atas, maupun pernyataan DPRD–GR tersebut, dikeluarkan dalam rangka politik pemulihan keamanan di Aceh. Mengapa jalan itu di tempuh, tidak lain melainkan oleh karena rakyat Aceh sangat fanatik kepada Islam.

Masyarakat Aceh pada umumnya dan khususnya daerah kecamatan Peureulak Kabupaten Aceh Timur memang dikenal sebagai masyarakat yang taat dalam beragama Islam, artinya secara nominal dan semangat yang tumbuh dalam masyarakat secara luas telah menjalankan rukun Islam dan memiliki daya fanatisme relatif tinggi dalam beragama.

Penduduk atau masyarakat Aceh yang yang menempati wilayah yang luasnya 55.390 km2 atau sekitar seluas Jawa Barat itu mayoritas (97,3%) beragama Islam, sedangkan mereka yang beragama Non-Islam kebanyakan berasal dari luar Aceh yang menjadi pegawai pemerintahan atau sebagai pedagang. Demikian kental nuansa keislaman di wilayah yang kini bernama Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu hingga daerah ini populer disebut Serambi Mekkah, yang melukiskan kehidupan masyarakat Aceh yang Islami. Dalam hal ini adanya pandangan yang menyatakan kuatnya budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh dari aspek keseharian hingga kesikap politik sebagaimana gambaran berikut ini : ‘’Budaya Islam memang berpengaruh sangat kuat dalam kehidupan masyarakat di Provinsi NAD pada umumnya dan khususnya Peureulak Aceh Timur. Nuansa Islam inilah yang ikut pula mempengaruhi pilihan politik penduduk di daerah ini.

(6)

Sejumlah indikasi dari keberadaan Aceh sebagai basis kaum muslimin dengan citra keislaman yang kental di masa lalu dapat ditelusuri dan ditujukkan dalam berbagai hal sebagaimana dalam tulisan Teuku Syamsuddin. Yang dapat di gambarkan dalam beberapa simpulan antara lain :

I. Sejak kedatangan Islam di Aceh sebagaimana pada peninggalan raja-raja pasai seperti pada nisan Sultan Malikul Saleh yang wafat pada tahun 1929 Masehi, masyarakat Aceh mengenal huruf dan tulisan Arab sehingga melahirkan tulisan Arab-melayu yang menjadi alat ciri khas komunikasi bahasa penduduk Aceh yang disebut huruf jawoe.

II. Kegiatan penduduk sejak lama terbiasa dalam melakukan kewajiban-kewajiban ibadah dan membangun mesjid dan madrasah (meunasah) secara bersama-sama atau gotong royong.

III. Kesatuan-kesatuan teritorial ditingkat bawah seperti gampoeng (kumpulan desa-desa), mukim (kumpulan desa-desa), sagoe (kumpulan beberapa mukim) dan daerah Sultan, selain, ulee balang (distrik) terkait dengan struktur masyarakat lama masyarakat berada dalam pengaruh keagamaan (Islam) dengan puncak kekuasaan mempengaruhi kehidupan masyarakat berada dibawah Sulthan dan di masyarakat luas berada dalam pengaruh Teungku (Ulama atau ahli agama Islam) dan Imam (kepala Mukim) diluar pengaruh Ulee balang (teuku) yang tergolong elit priyayi.

IV. Agama dan adat merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam masyarakat Aceh, dengan pengaruh Agama Islam yang cukup kuat meskipun pengaruh adat tidak hilang.

(7)

V. Hukum Islam telah berlaku sejak zaman kerajaan (zaman Belanda) dengan kekuasan peradilan Agama Islam dan adanya lembaga tertinggi Mahkamah Syari’at terutama dalam menangani perkara-perkara hukum perkawinan, waris, dan perkara perdata lainnya.

VI. Pendidikan agama memperoleh tempat yang tinggi dalam kehidupan masyarakat dengan peran lembaga meunasah (madrasah) yang cukup penting ditingkat bawah.

(Haedar Nashir,2007:330-333)

Masyarakat Aceh memiliki corak kehidupan yang kental dengan agama Islam dapat dilacak akar sejarah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi pusat-pusat kerajaan Islam yang menjadi pusat kekuasaan politik sekaligus agama. Aceh tergolong wilayah yang memiliki sejarah yang sangat panjang dalam hal kedatangan islam dan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, yang dimulai dari kerajaan Peureulak (840-1291), Samudera Pasai (1042-1427), Teumieng/Tamiang (1184-1398), Darussalam (1205-1530), dan Aceh Darussalam (1511-1903). Dan kerajaan-kerajaan islam lainnya.

Gambaran tentang pertautan sejarah Aceh dan kehadiran Islam sebagaimana dipaparkan itu menunjukkan betapa Islam telah memperoleh tempat khusus dan mendalam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam kaitan inilah pertautan Islam dapat menjadi faktor penguat dan perekat bagi pemberlakuan Syari’at Islam atau hukum Islam dalam kehidupan masyarakat Serambi Mekah tersebut, yang juga telah berlangsung dalam tempo yang cukup lama sejak era kerajaan-kerajaan islam hingga setelah Indonesia Merdeka pada tahun 1945.

(8)

‘’ Kerajaan-kerajan yang pernah ada di bumi Aceh yang Akrab disebut Serambi Mekkah ini adalah kerajaan Islam Peureulak, Kerajaan Islam Samudera Pasai. Bahkan kerajaan-kerajaan yang pernah ada sebelum kerajaan Aceh Darussalam terwujud, seperti Kerajaan Daya, Kerajaan Aceh Rayeuk, Kerajaan Pidie, kerajaan Linge’, dan Kerajaan Beuna, semuanya menjadikan Islam sebagai atas kerajaan dengan sumber hukumnya Al-Qur’an, Ijma’, dan Qiyas.

Pada masa penjajahan Belanda (1887-1912), pelaksanaan hukum Islam masih berlaku di Aceh. Di zaman pergolakan paling keras dan perang kemerdekaan melawan Belanda di Negeri serambi mekkah Itu, penerapan Syari’at Islam dilakukan melalui legitimasi pelaksanaan hukum Islam dalam masalah-masalah hukum keluarga, Waris, dan sebagainya melalui peran Lembaga peradilan Agama Islam bagi masyarakat Aceh. Sedangkan dalam perkembangan sejarah Aceh berikutnya mumentum formal bagi masyarakat untuk menerapkan syari’at Islam setelah era kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tercapai setelah pemberontakan DI/TII dengan yang di pimpin oleh Tengku Daud Beureeuh. Sehingga keluarnya Keputusan Perdana Menteri R.I nomor 1/Missi/1959 yang memberikan status istimewa bagi provinsi Aceh dalam tiga bidang yaitu keagamaan, peradatan, dan pendidikan.

Di era orde baru dalam rentang waktu 1999-2002, ketika gerakan separatis GAM tumbuh semakin kuat, pemerintah pusat di Jakarta yang didukung oleh DPR, melakukan terobosan baru dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Tahun 2003 dikeluarkan pula Keputusan

(9)

Presiden Nomor 11 tentang Mahkamah Syari’at di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Seteleh Tap MPR dan kedua Undang-Undang bagi Aceh ditetapkan, kemudian keluar berbagai Peraturan Daerah (Qanun, Perda) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengenai pelaksanaan unsur-unsur Syari’at Islam (18 Qanun/Perda) dan Instruksi Gubernur (11 Instruksi) yang mengatur berbagai aspek pelaksanaan dan penerapan Syari’at Islam di daerah Serambi Mekkah.

Kelahiran dan pemberlakuan Undang-Undang disertai Peraturan Daerah atau qanun serta peraturan peraturan lainnya yang mengatur keabsahan dan penerapan Syari’at Islam di NAD pada era reformasi ini merupakan fenomena baru yang tidak pernah di peroleh sebelumnya dalam sejarah kehidupan Aceh setelah Indonesia merdeka tahun 1945.

Setelah Indonesia merdeka, janji Presiden Soekarno untuk penerapan Syari’at Islam di Aceh tidak dipenuhi, yang kemudian memicu pemberontakan DI/TII yang di bawah pimpinan Daud Bereeuh, kendati akar pemberontakan tersebut bersifat kompleks, setelah Daud Bereeuh turun gunung dan melakukan perdamaian yang kemudian melahirkan status Daerah Istimewa Aceh bagi Aceh tahun 1959 ternyata juga tidak disertai dengan konsistensi dan pemberlakuan undang-undang atau peraturan yang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk penerapan Syariat Islam. Lebih-lebih setelah orde baru lahir dan kemudian disusul dengan pemberlakuan Undang-undang No 5 Tahun 1974 tentang Pokok Pemerintahan daerah, pemberlakuan Syari’at Islam bahkan status Istimewa bagi Aceh secara tidak langsung dicabut dan tidak belaku lagi. Kondisi yang pasang-surut semacam itu menyebabkan tumbuhnya berbagai kekecewaan dikalangan rakyat Aceh, sehingga ketika era reformasi

(10)

tiba maka sejarah yang buruk tersebut tidak ingin terulang lagi bagi masyarakat Aceh. Karena itu , adanya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001, mengandung arti yang konkrit bahwa umat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam diberi izin untuk merumuskan dan membuat peraturan tentang tata kehidupan masyarakat yang sejalan dengan Syari’at Islam atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.

Secara keseluruhan berbagai bentuk legislasi khusus tersebut selain memberikan keleluasan bagi Provinsi paling penuh gejolak tersebut untuk mengatur dan mengelola kehidupan secara lebih leluasa sebagai jawaban atas bermacam-macam masalah yang selama ini menjadi benih dari kekecewaan-kekecewaan masyarakat diwilayah ini, lebih khusus lagi sebagai imbalan politik yang diberikan oleh pemerintahan Pusat bagi masyarakat di Serambi Mekkah itu untuk mengembangkan kehidupannya yang berbasis otonom yang berbasis pelaksanaan Syari’at Islam yang memang tuntutan politik paling nyaring sepanjang sejarah sejak awal kemerdekaan yang di tandai dinamika pergolakan didaerah ini.

Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya konkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah

(11)

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka penulis harus merumuskan masalah sehingga jelas dari mana harus dimulai, kemana harus pergi, dan dengan apa (Arikanto, 2002:22)

Berdasarkan penjelasan di latar belakang di atas maka berbagai konflik kekerasan terjadi di NAD secara berkesinambungan sampai pada saat tahun 2005, setelah perjanjian helsinki antara RI-GAM sehingga melahirkan Syari’at Islam sebagai solusi politik maka penulis membuat suatu perumusan masalah sebagai berikut : ‘’ Bagaimanakah fungsi penerapan Syari’at Islam sebagai kontrol sosial terhadap tindakan pelanggaran hukum Islam pada masyarakat desa Leuge kecamatan Peureulak Kota Kabupaten Aceh Timur’’.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Mengingat kecamatan Peureulak merupakan daerah yang pertama masuknya islam di nusantara dan daerah basis GAM maka penulis ingin mengetahui sejauh mana penerapan Syari’at Islam di daerah tersebut

2. Untuk mengetahui fungsi-fungsi penerapan syari’at Islam sebagai fungsi kontrol sosial.

(12)

1.4 MANFAAT PENELITIAN

a). Manfaat teoritis, dapat memberikan sumbangan yang di informasikan kepada studi-studi terkait dengan persoalan tindakan sosial dalam suatu masyarakat khususnya sosiologi hukum

b). Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat kecamatan Peureulak Kota untuk mengevaluasi pelaksanaan Syari’at Islam dimasa yang akan datang.

c). Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta wawasan penulis mengenai Syari’at Islam dan sebagai wadah latihan serta pembentukan pola pikir ilmiah dan rasional.                        

Referensi

Dokumen terkait

Software biasa disebut dengan perangkat lunak. Sifatnya pun berbeda dengan hardware atau perangkat keras. Jika perangkat keras adalah komponen yang nyata yang dapat dilihat

Menurut saya setidaknya ada lima peran yang dapat diambil oleh museum: (1) peran sosial; (2) peran akademik; (3) peran eduksi; (4) peran pemberdayaan masyarakat; (5) peran

Beberapa fasilitas yang tersedia dalam Wondershare Quiz Creator, selain dari sisi kemudahan penggunaan (user friendly) soal-soal yang dihasilkan, diantaranya yaitu

Dalam mencapai tujuan minimasi makespan , maka diusulkan penjadwalan dengan algoritma Campbell, Dudek, dan Smith (CDS) dengan ukuran lot transfer batch komponen

Questions to the financial statements generated through the accounting process as a form of financial statement accountability arise are; First, whether the parties who

Strategi untuk perusanaan-perusahaan yang berusaha bergerak ke arah globalisasi dapat dikelompok berdasarkan pada tingkat kompleksitas disetiap pasar asing yang

Lebih lanjut, penelitian ini dibatasi menjadi lima submasalah penelitian atas dasar pendapat Kluckhon yakni hakikat hidup manusia, hakikat karya manusia, hakikat

BODY IMAGE PADA REMAJA PUTRI PENGGEMAR GIRL BAND K-POP.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu