• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT LAUT YANG BERKELANJUTAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN KLASTER INDUSTRI RUMPUT

LAUT YANG BERKELANJUTAN

Yuli Wibowo 1 M. Syamsul Ma’arif 2

Anas M. Fauzi 3 Luky Adrianto 4

1 adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember 2

adalah Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan KKP

3

adalah Staf Pengajar pada Fakultas Teknologi Pertanian IPB

4

adalah Staf Pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Abstract

This research aims to design a development strategies of the seaweed industry cluster using sustainable development approach. The strategy developed includes a strategy of economic, technological, social, and environmental. The method used for analyzing includes a generalized reduced gradient, heuristic, interpretative structural modeling, and analytical hierarchy process. The results showed that the design strategy has been able to simulate and generate appropriate behavior with the system of industrial cluster. This shows the design strategy can be applied and to provide recommendations for decision makers to develop sustainable seaweed industry cluster. Key words : strategy, seaweed, industry cluster, sustainable development

PENDAHULUAN Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu komoditas ekonomi penting yang potensial dikembangkan di Indonesia. Volume produksi rumput laut Indonesia pada tahun 2009 mencapai 2.574.000 ton (DKP 2009). Hingga tahun 2014, volume produksi rumput laut Indonesia ditargetkan sebesar 10 juta ton. Saat ini Indonesia masih dikenal sebagai negara produsen raw seaweed dikarenakan sebagian besar rumput laut Indonesia masih diekspor dalam bentuk rumput laut kering. Hal ini menyebabkan nilai tambah yang diperoleh menjadi relatif rendah.

Seiring dengan keberhasilan budidaya rumput laut di beberapa daerah serta dicanangkannya rumput laut sebagai komoditas utama yang direvitalisasi dalam pembangunan

kelautan di Indonesia, orientasi pemanfaatan rumput laut sebagai komoditas ekspor dalam bentuk raw material saat ini sudah mulai bergeser menjadi produk yang memiliki nilai tambah tinggi, yaitu dalam bentuk alkali treated cottonii (ATC). ATC merupakan suatu produk semi jadi yang berasal dari proses pengolahan rumput laut Eucheuma sp. yang pada umumnya digunakan dalam industri pangan dan non pangan.

Meskipun secara kuantitas industri pengolahan rumput laut di Indonesia semakin bertambah, namun keberadaan industri tersebut relatif belum berkembang sebagaimana diharapkan. Tidak berkembangnya industri pengolahan rumput laut di Indonesia dibandingkan negara lain, seperti di Filipina, adalah tidak terdapatnya jaminan pasokan bahan baku yang tepat jumlah, kualitas, waktu dan harga (DKP 2005).

(2)

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pada industri rumput laut di Indonesia dalam konteks semangat pembangunan ekonomi masa depan yaitu dengan melakukan pendekatan klaster industri. Penerapan pendekatan klaster industri rumput laut dilakukan untuk lebih mendayagunakan dan mengembangkan industri rumput laut Indonesia sehingga menjadi usaha yang terintegrasi dan handal mulai dari hulu hingga hilir serta berdaya saing tinggi.

Klaster industri merupakan suatu pendekatan yang dipandang sesuai bagi pembangunan daya saing ekonomi di tengah dinamika perkembangan ekonomi dewasa ini (EDA 1997). Klaster industri merupakan bentukan organisasi industrial yang paling sesuai guna menjawab tantangan globalisasi, perkembangan teknologi, tuntutan desentralisasi, dan sekaligus mendorong terbentuknya jaringan kegiatan produksi dan distribusi serta pengembangan industri untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya (Waits 2000; Porter 1990; Porter 1998a; Porter 1998b; World Bank 2002).

Penelitian ini bermaksud mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan. Konteks berkelanjutan dalam penelitian ini adalah sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing klaster. Martin dan Mayer (2008) menjelaskan bahwa daya saing klaster industri saat ini tidak hanya bertumpu pada faktor ekonomi semata, melainkan harus mempertimbangkan pula faktor-faktor keberlanjutan dalam pengembangannya. Tantangan yang dihadapi bagi pengembang klaster saat ini tidak hanya terfokus pada perspektif ekonomi, tetapi juga terkait dengan perspektif lingkungan dan sosial.

Tersedianya strategi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan yang dihasilkan dalam penelitian ini sangat membantu bagi pengambil kebijakan sebagai

masukan dalam perencanaan pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya pada daerah-daerah yang akan mengembangkan klaster industri dalam rangka pembangunan ekonomi di wilayahnya.

Tujuan

Tujuan penelitian adalah merancang strategi pengembangan klaster industri rumput laut menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan.

Manfaat

Manfaat penelitian adalah memberikan sumbangan pemikiran dan bahan rujukan dalam bidang manajemen industri pertanian, khususnya untuk mengkaji pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Ruang Lingkup

Penelitian difokuskan pada perancangan strategi operasional pengembangan klaster industri rumput laut yang mencakup strategi ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan.

TINJAUAN PUSTAKA Industri Rumput Laut

Rumput laut merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia dan diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat pesisir pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya, karena memiliki daya serap tenaga kerja yang tinggi, teknologi budidaya yang mudah dan sederhana, masa tanam yang pendek, biaya produksi sangat murah, dan potensi pengembangan rumput laut menjadi produk-produk olahannya yang bernilai ekonomi tinggi dengan permintaan pasar yang cukup besar (DKP 2008).

Sebagian besar rumput laut (Eucheuma sp.), baik hasil pembudidayaan maupun pengambilan di

(3)

alam hingga saat ini masih diolah hanya sebatas menjadi rumput laut kering (raw dried seaweed) sehingga nilai tambah yang diperoleh relatif rendah. Komoditas tersebut dapat diproses lebih lanjut menjadi produk olahan rumput laut, seperti ATC (alkali treated cottonii) atau SRC (semi refined carrageenan) yang merupakan produk semi jadi karaginan. Nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan pengolahan tersebut menurut DKP (2005) cukup besar, yakni berkisar antara 6 sampai 14,6 kali.

Pengembangan industri rumput laut di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, baik pada level hulu maupun hilir, diantaranya:

1. Kualias rumput laut. Kualitas rumput laut yang dihasilkan pembudidaya masih rendah yang disebabkan kualitas bibit yang kurang baik, waktu panen yang tidak tepat, dan proses penjemuran yang tidak memadai (DKP 2005).

2. Pasokan bahan baku. Pasokan bahan baku untuk industri pengolahan yang tepat jumlah, mutu, waktu dan harga tidak terjamin. Harga rumput laut tidak rasional sebagai bahan baku industri, kuota bahan baku bagi industri tidak terjamin, sehingga tidak jarang industri pengolahan mengalami kekurangan bahan baku (Zulham 2007; Ma’ruf 2007).

3. Limbah industri pengolahan. Industri pengolahan rumput laut menghasilkan limbah sisa olahan yang sangat besar termasuk limbah cair. Limbah cair ini berpotensi untuk mencemari lingkungan (Sedayu et al. 2007). 4. Kelembagaan. Hubungan

kelembagaan antar pelaku industri umumnya tidak berlanjut kepada industri pengolahan. Hal ini menyebabkan nilai tambah rumput laut hanya sampai kepada produk rumput laut kering (BI 2008).

5. Pemasaran. Indonesia tidak mempunyai market intelligent yang mengakibatkan pihak industri tidak mendapatkan informasi tentang jumlah kebutuhan pasar internasional, terhadap produk olahan rumput laut, mutu dan harga (DKP 2005).

Klaster Industri

Porter (1998a) mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, penyedia jasa pendukung dan berbagai institusi yang mendukungnya. Roelandt dan den Hertog (1998) berpendapat bahwa klaster merupakan jaringan produksi dari perusahaan-perusahaan yang saling bergantungan secara erat (termasuk pemasok yang terspesialisasi) yang terkait satu dengan lainnya dalam suatu rantai produksi peningkatan nilai tambah. Dalam kasus tertentu, klaster juga mencakup aliansi strategis antara agen penghasil pengetahuan (perguruan tinggi, lembaga riset, perusahaan rekayasa), lembaga perantara, dan pelanggan.

Porter (1990) mengembangkan model berlian yang memberikan kerangka determinan keunggulan daya saing suatu bangsa yang sering dirujuk dan dianggap sebagai pemicu atau menjadi kerangka dasar dalam model atau pendekatan klaster industri. Dalam perspektif Porter, daya saing dibentuk oleh interaksi dari beberapa faktor yang disebut sebagai faktor berlian (diamond), yang mencakup: kondisi faktor, kondisi permintaan, industri terkait dan pendukung, serta strategi perusahaan, struktur, dan persaingan usaha. Porter selanjutnya menyempurnakan dua faktor tambahan pada modelnya, yaitu kejadian-kejadian yang bersifat kebetulan dan peran pemerintah

Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan klaster industri, diantaranya: (i) menciptakan

(4)

manfaat ekonomi dan daya saing, (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas bagi perusahaan di dalam klaster serta peningkatan kemampuan inovasi yang melibatkan lembaga penelitian, (iii) mengurangi biaya transportasi dan transaksi, meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif dan memungkinkan terciptanya inovasi yang pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas, (iv) memiliki keunggulan dalam memanfaatkan aset sumberdaya secara kolektif untuk mendorong diversifikasi produk dan meningkatkan terciptanya inovasi, (v) mendorong terjadinya spesialisasi produksi sesuai dengan kompetensi inti dan mendorong transformasi keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif (Porter 1998a; Desrochers dan Sautet 2004; Waits 2000).

Pembangunan Berkelanjutan

WCED (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Definisi tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan semua bentuk sumberdaya atau kapital sebagai upaya pembangunan untuk dapat menciptakan perbaikan kualitas hidup seluruh umat manusia, harus disertai dengan kesadaran bahwa tindakan pada saat ini membawa konsekuensi dan resiko yang harus dipertimbangkan bagi semua bentuk kehidupan dan generasi pada saat ini dan yang akan datang (Howarth 2007).

Harris (2000) menyebutkan pembangunan berkelanjutan mengandung tiga pilar utama, meliputi dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial. Agar pembangunan dapat berkelanjutan, maka secara ideal manfaatnya harus berkesinambungan dan dipertahankan

secara kontinyu. Ini berarti bahwa pembangunan harus memenuhi berbagai tujuan secara seimbang, baik tujuan ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Konsep pembangunan

berkelanjutan telah diterapkan secara luas pada berbagai sektor maupun bidang seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap arti penting keberlanjutan. Penerapan konsep pembangunan berkelanjutan dalam konteks industri diantaranya dapat dilihat dari studi-studi yang telah dilakukan oleh Doukas et al. (2007), Ardebili dan Boussabaine (2007), Ometto et al. (2007), Halog dan Chan (2006), Adams dan Ghaly (2007), Allen dan Potiowski (2008), dan lain-lain. Studi-studi yang dilakukan tersebut lebih difokuskan pada variasi penggunaan indikator-indikator keberlanjutan yang digunakan dalam rangka mengembangkan industrinya secara berkelanjutan.

METODOLOGI Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kompleksitas dan permasalahan dalam pengembangan klaster industri rumput laut sebagaimana dilaporkan oleh ADB (2001), Rosenfeld (2002), Matopoulos et al. (2005), dan Taufik (2007). Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini pada hakekatnya merupakan upaya penguatan daya saing klaster berdasarkan pada dimensi-dimensi keberlanjutan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan karena praktek-praktek pengembangan klaster yang telah dilakukan selama ini cenderung hanya bertujuan untuk merealisasikan potensi pengembangan ekonomi semata dengan mengabaikan faktor-faktor keberlanjutan (Allen dan Potiowski 2008; Martin dan Mayer 2008). Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan suatu strategi pengembangan klaster industri rumput dengan memperhatikan faktor-faktor

(5)

berkelanjutan yang difokuskan pada aspek operasional, yaitu terkait dengan pilar ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan menggunakan pendekatan soft system metodhology dan hard system

metodhology. Kerangka pemikiran yang melandasi perancangan strategi pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang sistematis, logis, dan terstruktur yang terdiri dari 4 (empat) tahapan utama. Pertama, studi pendahuluan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi awal dalam perancangan strategi melalui studi pustaka, observasi lapang, serta diskusi dengan pakar. Kedua, pengumpulan data yang bertujuan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Ketiga, pengolahan data yang bertujuan untuk mengolah data primer dan sekunder yang telah dikumpulkan. Keempat, penulisan laporan yang bertujuan untuk membuat laporan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan.

Rancangan Strategi

Penelitian ini menghasilkan 4 (empat) rancangan strategi dalam rangka mengembangkan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan, meliputi:

1. Strategi ekonomi. Strategi ini bertujuan untuk mencari hubungan yang proporsional antara harga jual bahan baku yang dihasilkan pembudidaya dengan harga jual

produk ATC yang dihasilkan agroindustri. Strategi ini dikembangkan untuk mengakomodasi terjadinya perbedaan kepentingan yang sulit untuk diselaraskan yang seringkali menjadi permasalahan terkait dengan harga, yaitu harga rumput laut yang diinginkan oleh pembudidaya dan harga rumput laut yang diinginkan oleh agroindustri ATC.

2. Strategi teknologi. Strategi ini difokuskan pada keseimbangan bahan baku yang bertujuan untuk mencari titik keseimbangan antara jumlah pasokan bahan baku rumput laut kering yang tersedia dengan kapasitas produksi agroindustri ATC. Strategi ini dirancang untuk mengatasi kurang seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut.

3. Strategi sosial. Strategi ini dirancang untuk menstrukturisasi elemen-elemen yang berperan dalam sistem pengembangan klaster industri rumput laut. Strategi ini mencakup identifikasi elemen-elemen penting pembangun sistem pengembangan

(6)

klaster dan strukturisasi sistem yang digunakan untuk menentukan klasifikasi elemen-elemen sistem berdasarkan tingkat driver power – dependence serta struktur hirarki elemen-elemen pengembangan sistem klaster industri rumput laut.

4. Strategi lingkungan. Strategi ini bertujuan untuk mengembangkan suatu alternatif upaya dalam rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan pada pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya agroindustri ATC. Model ini dirancang untuk mengatasi permasalahan limbah yang sangat besar yang dihasilkan oleh agroindustri ATC.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan serta penggalian informasi dari pakar yang dilakukan baik secara terstruktur dengan menggunakan alat bantu berupa kuesioner maupun secara tidak terstruktur dengan melakukan wawancara secara mendalam yang bertujuan untuk mengeksplorasi informasi sebanyak-banyaknya. Pakar penelitian terdiri dari peneliti, dosen, praktisi agroindustri, dan pejabat pemerintah. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan melakukan komunikasi kepada pihak-pihak sumber informasi dan mengunjungi beberapa sumber data dan juga mencari koleksi data hasil penelitian yang relevan. Data sekunder diperoleh dari BPS, KKP, BRKP, DKP Provinsi Jawa Timur dan DKP Kabupaten Sumenep, serta instansi terkait lainnya. Metode Pengolahan Data

Strategi Ekonomi. Strategi ini ditujukan untuk mendapatkan harga keseimbangan yang ditentukan melalui 2 tahapan. Pertama, menganalisis

kelayakan finansial usaha budidaya rumput laut dan usaha agroindustri ATC menggunakan kriteria NPV, IRR, payback period, B/C ratio, dan risiko (Kadariyah et al. 1999). Kedua, melakukan optimasi dengan fungsi tujuan meminimumkan perbedaan B/C ratio antara usaha budidaya dan usaha agroindustri ATC dalam kondisi batas kelayakan usaha. Untuk menyelesaikan persoalan optimasai ini, digunakan metode Generalized Reduced Gradient (GRG2) yang dikembangkan oleh Lasdon (1997).

Strategi Teknologi. Strategi ini ditujukan untuk mendapatkan titik keseimbangan bahan baku menggunakan teknik heuristic. Dengan mengetahui titik keseimbangan bahan baku, maka dapat dicari secara interaktif berapa jumlah kapasitas produksi ATC yang optimal, luas lahan budidaya rumput laut yang diperlukan, serta luas kebun bibit yang perlu disediakan untuk menunjang usaha budidaya rumput laut.

Strategi Sosial. Strategi ini dirancang untuk membantu pengguna menstrukturisasi elemen sistem yang berpengaruh dalam pengembangan kelembagaan klaster. Mengacu pada pendapat Saxena et al. (1992), upaya ini dapat dilakukan melalui alat bantu pemodelan deskriptif menggunakan teknik Interpretative Structural Modeling (ISM). Elemen-elemen sistem yang dianalisis mencakup elemen kebutuhan pengembangan, elemen kendala dalam pengembangan, elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, elemen aktivitas pengembangan, dan elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan.

Strategi Lingkungan. Strategi ini digunakan untuk mencari alternatif penanganan limbah ATC menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1988). Alternatif upaya penanganan

(7)

limbah yang dapat dilakukan meliputi peningkatan nilai tambah limbah menjadi produk yang mempunyai nilai ekonomis, pemanfaatan kembali air limbah, dan optimasi peningkatan kinerja IPAL. Untuk memilih alternatif yang menjadi prioritas dalam menangani permasalahan limbah pengolahan ATC, kriteria yang digunakan adalah kelayakan teknologi, ekonomi, dan lingkungan.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam melakukan analisis keseimbangan bahan baku meliputi:

• Rendemen ATC dari rumput laut kering adalah 30%

• Produktivitas budidaya rumput laut sebesar 1,5 ton/ha/siklus

• Jumlah siklus produksi budidaya dalam satu tahun sebanyak 5 siklus • Rasio luas kebun bibit dengan luas

areal tanam budidaya adalah 1:3,5. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2009 hingga Mei 2010.

Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumenep yang merupakan salah satu sentra produksi rumput laut di Provinsi Jawa Timur.

HASIL DAN PEMBAHASAN Strategi Ekonomi

Strategi ekonomi ditujukan untuk mencari harga keseimbangan, yaitu harga rumput laut yang dihasilkan pembudidaya dan harga produk ATC yang dihasilkan agroindustri pada batas kelayakan usaha. Data-data yang digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha budidaya didasarkan pada hasil observasi dan diskusi dengan kelompok pembudidaya rumput laut di Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Sementara, data untuk kelayakan agroindustri ATC diperoleh dari hasil observasi, pustaka, referensi terkait, serta diskusi dengan pakar. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan usaha disajikan pada Tabel 1, sementara hasil analisisnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Asumsi analisis kelayakan usaha

No. Uraian Satuan Budidaya Agroindustri

1 Investasi Rp. 3.512.000 3.260.850.000

2 Biaya produksi Rp. 27.131.000 24.662.651.333

3 Kapasitas produksi Kg/tahun 4.000 472.500

4 Harga produk Rp./kg 11.000 67.155

Catatan:

- Metode budidaya menggunakan metode rakit dengan investasi jumlah rakit sebanyak 5 unit - Harga ATC US$7,4/kg (kurs 1US$ = Rp. 9.075)

Tabel 2 Hasil analisis kelayakan usaha

No. Uraian Satuan Budidaya Agroindustri

1 Net Present Value Rp. 54.354.833 14.250.000.654

2 Internal Rate of Return % 445,10 60,87

3 Payback Periode Tahun 0,27 2,86

4 Benefit-Cost Ratio 1,43 1,11

5 Resiko Rendah Sedang

Keputusan Layak Layak

Sumber: Data diolah (2010)

Harga keseimbangan merupakan perwujudan secara ekonomi dari kemitraan yang terjalin antara agroindustri ATC dengan

pembudidaya didalam klaster. Adanya harga keseimbangan dimaksudkan agar pelaku usaha dapat mengevaluasi harga yang

(8)

diperoleh untuk mengembangkan usaha yang saling menguntungkan secara proporsional. Penetapan harga keseimbangan ini akan menjamin kepastian harga bagi pembudidaya, sehingga manipulasi harga rumput laut dari agroindustri dapat dihindari. Terwujudnya harga keseimbangan akan menentukan keberlanjutan klaster industri rumput laut.

Harga keseimbangan dicapai dengan meminimalkan perbedaan B/C ratio antara usaha budidaya dan agroindustri. Hasil

simulasi keseimbangan harga pada berbagai harga jual ATC disajikan pada Tabel 3. Pada tabel dapat dilihat bahwa dengan meningkatnya harga ATC maka harga rumput laut juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Pada harga jual ATC sebesar Rp. 67.155,-/kg (US$ 7,4/kg; 1US$=Rp.9.075), maka keseimbangan harga jual bahan baku rumput laut kering dicapai pada harga Rp. 9.490,46,-/kg.

Tabel 3 Hasil analisis keseimbangan harga Harga ATC Harga Rumput

Laut B/C Budidaya B/C Agroindustri Kelayakan 33.577,50 6.979,24 1,0000 0,8328 Tidak 40.293,00 6.846,23 0,9835 1,0000 Tidak 47.008,50 7.614,85 1,0781 1,0781 Ya 53.724,00 8.281,32 1,1523 1,1523 Ya 60.439,50 8.902,24 1,2194 1,2194 Ya 67.155,00 9.490,46 1,2814 1,2814 Ya 73.870,50 10.050,66 1,3392 1,3392 Ya 80.586,00 10.586,49 1,3933 1,3933 Ya 87.301,50 11.100,87 1,4442 1,4442 Ya 94.017,00 11.596,20 1,4923 1,4923 Ya 100.732,50 12.074,45 1,5379 1,5379 Ya

Sumber: Hasil simulasi (2010) Strategi Teknologi

Strategi teknologi ditujukan untuk mendapatkan keseimbangan bahan baku. Penetapan titik keseimbangan dirancang untuk mengatasi permasalahan kurang

seimbangnya antara jumlah kapasitas produksi ATC dengan jumlah pasokan bahan baku rumput laut yang tersedia. Hasil keseimbangan bahan baku dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil analisis keseimbangan bahan baku Kapasitas Produksi ATC (ton/tahun) Kebutuhan Bahan Baku (ton/tahun) Kebutuhan Lahan Budidaya (Ha) Kebutuhan Lahan Pembibitan (Ha) 405,0 1.350,0 180,0 51,4 427,5 1.425,0 190,0 54,3 450,0 1.500,0 200,0 57,1 472,5 1.575,0 210,0 60,0 495,0 1.650,0 220,0 62,9 517,5 1.725,0 230,0 65,7 540,0 1.800,0 240,0 68,6 562,5 1.875,0 250,0 71,4 585,0 1.950,0 260,0 74,3 607,5 2.025,0 270,0 77,1

(9)

Tabel 4 menunjukkan simulasi hubungan antara kebutuhan bahan baku, kebutuhan lahan budidaya, dan kebutuhan lahan pembibitan, pada berbagai kapasitas produksi ATC yang ditetapkan. Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa jika kapasitas produksi agroindustri ATC 472,5 ton/tahun, maka jumlah kebutuhan rumput laut kering yang diperlukan adalah 1.575 ton/tahun. Untuk mendapatkan jumlah bahan baku sesuai dengan kapasitas produksi ATC, maka kebutuhan lahan untuk budidaya yang perlu disediakan adalah 210 ha dengan luasan kebun bibit mencapai 60 ha. Terwujudnya titik keseimbangan bahan baku bermanfaat dalam penetapan perencanaan kapasitas klaster agar berkelanjutan dari hulu hingga hilir. Strategi Sosial

Strategi sosial dirancang untuk menstrukturisasi elemen-elemen yang berperan dalam pengembangan klaster industri rumput laut. Elemen-elemen sistem yang dianalisis mencakup elemen kebutuhan pengembangan, elemen kendala dalam pengembangan, elemen tolok ukur pencapaian tujuan pengembangan, elemen aktivitas pengembangan, dan elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan.

Proses strukturisasi elemen sistem didasarkan pada pendapat pakar dan pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan klaster industri rumput laut. Hasil strukturisasi seluruh elemen dalam pengembangan klaster industri rumput laut menghasilkan sub elemen kunci pada masing-masing elemen sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.

Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pengembangan klaster industri rumput laut membutuhkan informasi dan jaringan pemasaran produk. Faktor pemasaran ini menjadi penting karena berperan dalam menarik minat untuk berusaha bagi para pelaku usaha yang tergabung di dalam klaster. Faktor akses informasi dan pemasaran produk saat ini dirasakan masih menjadi kendala bagi berkembangnya klaster. Oleh karena itu, aktivitas utama yang harus dilakukan dalam mengembangkan klaster adalah memperluas akses informasi dan jaringan pemasaran.

Pengembangan klaster industri juga perlu didukung oleh sumberdaya manusia yang handal. Kebutuhan terhadap SDM yang terampil dan kompeten mutlak diperlukan untuk mendorong berkembangnya klaster industri. Namun saat ini terlihat bahwa SDM yang ada masih dianggap belum sesuai dengan yang diharapkan. Keterbatasan SDM yang berkualitas merupakan kendala yang harus diatasi agar klaster dapat berkembang sebagaimana diharapkan. Berdasarkan kondisi tersebut, memberikan bimbingan dan pendampingan bagi SDM klaster merupakan salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk mendorong agar SDM klaster menjadi SDM yang berkualitas dan mempunyai komitmen dalam pengembangan klaster untuk tujuan bersama. Aktivitas ini sangat diperlukan khususnya bagi SDM yang terlibat di dalam klaster yang baru mulai tumbuh (klaster.embrio).

(10)

Gambar 2 Struktur elemen kunci pengembangan klaster

Jika faktor SDM dan pemasaran telah menjadi prioritas utama yang perlu mendapat perhatian serius dalam pengembangan klaster, maka diyakini klaster dapat berkembang sebagaimana diharapkan. Faktor utama yang menjadi indikasi bahwa klaster telah berkembang adalah tercapainya tujuan bersama yaitu masing-masing pelaku di dalam klaster mendapatkan manfaat berupa keuntungan yang proporsional sesuai dengan peran dan fungsinya didalam klaster. Keuntungan yang dinikmati pelaku ini tentunya tidak mengorbankan faktor lingkungan sebagai faktor eksternalitas dalam pengembangan klaster. Oleh karena itu, penurunan potensi pencemaran lingkungan merupakan salah satu tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan dalam pengembangan klaster.

Untuk mencapai tujuan bersama dalam pengembangan klaster industri rumput laut, pihak-pihak yang paling berperan untuk maksud tersebut adalah industri inti (agroindustri ATC), pembeli, kelompok usaha pembudidaya, dan masyarakat lokal. Kerjasama dan komitmen yang sungguh-sungguh antar pihak yang berkepentingan

tersebut akan mampu mendorong terciptanya sinergitas dalam membangun klaster industri rumput laut yang berdaya saing.

Strategi Lingkungan

Strategi lingkungan bermaksud untuk mengembangkan suatu alternatif upaya dalam rangka mengurangi potensi pencemaran lingkungan pada pengembangan klaster industri rumput laut, khususnya pada agroindustri ATC. Strategi ini dirancang untuk mengatasi permasalahan limbah yang sangat besar yang dihasilkan pada proses pengolahan ATC oleh agroindustri. Limbah yang terbentuk adalah air limbah yang digunakan untuk pencucian dan sisa larutan KOH yang digunakan pada proses ekstraksi. Bixler dan Johndro (2000) menjelaskan bahwa limbah cair ATC memiliki ciri alkalinitas tinggi, berwarna kecoklatan, memiliki padatan terlarut yang tinggi dan bersifat koloid yang disebabkan oleh banyaknya senyawa organik serta ion-ion dari senyawa KOH. Hasil analisis pemilihan prioritas penanganan limbah cair industri ATC disajikan pada Tabel 5.

(11)

Tabel 5 Prioritas penanganan limbah cair ATC

Alternatif

Kriteria

Sintesis Prioritas Teknologi Ekonomi Lingkungan

0,240 0,328 0,433

Peningkatan nilai tambah limbah 0,345 0,636 0,385 0,458 I Pemanfaatan kembali air limbah 0,564 0,241 0,520 0,439 II Optimasi peningkatan kinerja IPAL 0,091 0,124 0,095 0,103 III

Sumber: Data diolah (2010)

Pada Tabel 5 terlihat bahwa upaya peningkatan nilai tambah limbah merupakan alternatif utama dalam menangani permasalahan limbah dalam industri ATC. Limbah cair ATC yang banyak mengandung KOH, jika diproses lebih lanjut melalui proses netralisasi menggunakan HCl, akan memberikan nilai tambah dengan dihasilkannya garam KCl yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk. Faktor utama yang menyebabkan alternatif peningkatan nilai tambah limbah terpilih sebagai prioritas utama adalah penggunaan biaya dan investasi yang lebih efisien jika dibandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya.

Alternatif kedua yang dapat dipertimbangkan untuk dipilih adalah memanfaatkan kembali air limbah yang digunakan untuk proses pencucian (recycling). Proses pengolahan ATC membutuhkan banyak air pada proses pencucian setelah ekstraksi, sehingga limbah cair yang dihasilkan sangat besar. Pendaur-ulangan limbah cair akan

mengefisienkan penggunaan air sekaligus mengurangi masalah pencemaran lingkungan. Alternatif ini dapat dipilih dengan pertimbangan kemudahan teknologi yang digunakan serta mempunyai resiko pencemaran lingkungan yang minimal. Alternatif pertama dan kedua dapat dipertimbangkan untuk dipilih dalam upaya penanganan limbah pengolahan ATC. Hal ini didukung dengan nilai bobot (sintesis) kedua alternatif yang hampir sama.

Alternatif ketiga, yaitu optimasi peningkatan kinerja IPAL, ternyata belum menjadi prioritas untuk dipilih terkait dengan biaya investasi, operasional maupun perawatannya yang lebih mahal. Pemilihan proses dan sistem yang tidak tepat atau disain IPAL yang salah akan menimbulkan berbagai persoalan, misalnya sistem tidak bisa bekerja secara optimal, hasil olahan tidak sesuai dengan yang diharapkan, serta sulit dalam pengendalian dan operasionalnya.

(12)

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

1. Pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan pada penelitian ini menghasilkan strategi ekonomi, teknologi, sosial, dan lingkungan.

2. Hasil pengolahan dan analisis data menunjukkan bahwa rancangan strategi telah mampu melakukan simulasi dan menghasilkan perilaku yang sesuai dengan sistem klaster industri. Hal ini menunjukkan rancangan strategi dapat diterapkan dan dapat memberikan rekomendasi bagi para pengambil keputusan dalam pengembangan klaster industri rumput laut yang berkelanjutan.

Saran

1. Untuk melihat efektifitas penerapan strategi pengembangan klaster, maka perlu dilakukan evaluasi, analisis, dan prediksi kinerja klaster industri rumput laut.

2. Pengembangan klaster industri rumput laut menuntut kerjasama dan komitmen antar berbagai pihak yang terlibat didalam klaster yang didukung dan difasilitasi oleh pihak pemerintah, dunia usaha, lembaga pembiayaan serta lembaga pendidikan/pelatihan untuk mendorong keberhasilan pengembangan klaster.

3. Untuk menjamin operasionalisasi dan keberlanjutan klaster, diperlukan sebuah lembaga pengelola klaster yang mewakili seluruh stakeholder klaster industri yang disebut dengan kelompok kerja (working group). Lembaga ini berfungsi sebagai koordinator operasional klaster industri baik sebagai badan atau forum koordinasi maupun operator dari kelembagaan klaster industri rumput laut yang dibangun.

DAFTAR PUSTAKA

Adams M, Ghaly AE. 2007. Maximizing Sustainability of the Costa Rican Coffee Industry. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1716-1729.

[ADB] Asian Development Bank. 2001. SME Development TA: Policy Discussion Papers 2001/2002 Best Practice in Developing Industry Clusters and Business Networks, Policy Discussion Paper No. 8. Allen JH, Potiowsky T. 2008. Portland's

Green Building Cluster : Economic Trends and Impacts. Economic Development Quarterly 2008 22: 303. DOI: 10.1177/0891242408325701 Ardebili AV, Boussabaine AH. 2007.

Application of Fuzzy Techniques to Develop an Assessment Framework for Building Design Eco-drivers. Building and Environment 42 (2007) 3785-3800.

[BI] Bank Indonesia. 2008. Pengembangan Komoditi Rumput Laut di Kabupaten Sumenep. Bank Indonesia. Surabaya.

Bixler HJ, Johndro KD. 2000. Philippine natural grade or semi-refined carrageenan. In: Phillips GO and Williams PA (eds). Handbook of hydrocolloids. CRC Press Cambridge England.

Desrochers P, Sautet F. 2004. Clusters-Based Economic Strategy, Facilitation Policy and the Market Process. Review of Austrian Economics, Jun: 17: 2-3.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Pedoman Umum Pengembangan Klaster Industri Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

(13)

_________. 2005. Revitalisasi Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

_________. 2009. Kelautan dan Perikanan Dalam Angka 2009. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

Doukas HC, Andreas BM, Psarras JE. 2007. Multi-criteria Decision Aid of the Formulation of Sustainable Technological Energy Priorities Using Linguistic Variables. European Journal of Operational Research 182 (2007) 844-855. [EDA] Economic Development

Administration. 1997. Cluster Based Economic Development: A Key to Regional Competitiveness. Information Design Associaties and ICF Kaiser International. Oct. 2007.

Glavic P, Lukman R. 2007. Review of Sustainability Terms and Their Definitions. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1875-1885. Gowdy JM, Howarth RB. 2007.

Sustainability and Benefit-Cost Analysis: Theoritical Assessment and Policy Option. Ecological Economics 63 (2007).

Halog A, Chan A. 2006. Toward Sustainable Production in the Canadian Oil Sands Industry. Proceedings 13th CIRP International Conference on Life Cycle Engineering.

Howarth RB. 2007. Towards an Operational Sustainability Criterion. Ecological Economics 63 (2007) 656-663.

Harris JM. 2000. Basic Principles of Sustainable Development. Global Development and Environment Institute. Working Paper 00-04. Tufts University. USA.

Kadariyah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Martin S, Mayer H. 2008. Sustainability, Clusters, and Competitiveness : Introduction to Focus Section. Economic Development Quarterly 2008 22: 272. DOI: 10.1177/0891242408325702. Ma’ruf WF. 2007. Klaster Rumput Laut

Sebagai Solusi untuk Pengembangan Industri Rumput Laut. Direktorat Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan. Jakarta.

Matopoulos A, Vlachopoulou M, Manthou V. 2005. Exploring Clusters and their Value as Types of Business Networks in the Agricultural Sector. Operational Research. An International Journal. Vol.5, No. 1 (2005), pp.9-19.

Ometto AR, Ramor PAR, Lombardi G. 2007. The Benefit of a Brazilian Agroindustrial Symbiosis System and the Strategies to Make it Happen. Journal of Cleaner Production 15 (2007) 1253-1258. Porter ME. 1998a. Clusters and the New

Economics of Competition. Harvard Business Review. November-December.

________. 1998b. The Adam Smith Address: Location, Clusters, and the “New” Microeconomics of Competition. Business Economics; Jan 1998; 33,1; ABI/INFORM Global pg. 7

________. 1990a. New Global Strategies for Competitive Advantage. Planning Review; May/Jun 1990; 18,3; ABI/INFORM Global pg. 4 ________. 1990b. The Competitive

Advantage of Nations. Harvard Business Review. March. pp. 73-93.

(14)

Roelandt TJA, den Hertog P. 1998. Cluster Analysis & Cluster-Based Policy in OECD-Countries: Various Approaches, Early Results & Policy Implications. Report by the Focus Group on: Industrial clusters Draft synthesis report on phase 11. OECD-Focus Group on industrial clusters. Presented at the 2nd OECD-workshop on cluster analysis and cluster-based policy. Vienna, May 4th & 5th. The Hague/Utrecht, May 1998.

Rosenfeld SA. 2002. Creating Smart Systems: A Guide to Cluster Strategies in Less Favoured Regions. European Union-Regional Innovation Strategies, April 2002.

Saaty TL. 1988. Decision Making for Leaders: The Analytical Hierarchy Process for Decision in Complex World. RWS Publications. Pittsburg.

Saxena JJP. 1992. Hierarchy and Classification of Program Plan Element Using Interpretative Structural Modeling. System Practice. Vol. 5(6): 651-670. Sedayu BB, Basmal J, Fithriani D. 2007.

Uji Coba Proses Daur Ulang Limbah Cair ATC (Alkali Treated Cottonii) dengan Teknik Koagulasi dan Filtrasi. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Vol. 2 No. 2, Desember 2007.

Waits MJ. 2000. The Added Value of the Industry Cluster Approach to Economic Analysis, Strategy Development, and Service Delivery. Economic Development Quarterly, Vol. 14 No. 1, February 2000 35-50.

[WCED] World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common Future.

Oxford University Press. New York.

World Bank. 2002. LED Quick Reference Urban Development Unit. The World Bank. Washington DC. December 2002.

Zulham A, Purnomo AH, Apriliani T, Hikmayani. 2007. Assessment Klaster Perikanan: Studi Pengembangan Klaster Rumput Laut Kabupaten Sumenep. Jurnal Kebijakan dan Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Vol 2 No. 2, Desember 2007, 177-193.

Gambar

Gambar 1  Kerangka Pemikiran Penelitian  Tahapan Penelitian
Tabel 2 Hasil analisis kelayakan usaha
Tabel 4 Hasil analisis keseimbangan bahan baku
Gambar 2  Struktur elemen kunci pengembangan klaster  Jika faktor SDM dan pemasaran telah
+2

Referensi

Dokumen terkait

Wereng coklat merusak tanaman padi secara langsung dengan cara menghisap cairan tanaman, untuk memberantas hama tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan

Dari hasil analisis tersebut dapat dikatakan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model PBL ini dapat digunakan untuk membantu mengatasi

mempengaruhi tingkat kesejahteraan rumah tangga pemilik industri secara signifikan di antaranya adalah pendapatan, jumlah hasil produksi, jumlah bahan baku, dan jumlah pohon

N: Oiya jelas dong, kayak tadi yang gue yang kita promosikan tidak akan terlalu worth ketika mereka experience sendiri, jadi ketika mereka melihat foto-foto

Setelah melakukan penelitian di SMK Taman Siswa Surabaya, diperoleh data hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games

Faktanya, (1) ada yang menjadi muslim/muslimah akibat kawin (dengan muslim/muslimah) secara Islam, (2) ada yang kawin dengan muslim/muslimah secara Samin dan

Adapun dissenting opinions dalam Putusan a quo dinyatakan bahwa Pasal 251 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) UU Pemda 2014 tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945