Bab II
Tinjauan Pustaka
II.1Umum
Kebutuhan akan pengetahuan terhadap keberadaan, kekuatan sumber (source
strength), distribusi dan perilaku substansi kimia dalam partikulat semakin
meningkat. Pengetahuan akan hal ini dibutuhkan untuk secara efektif mengurangi konsentrasi substansi kimiawi partikulat tersebut yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Satu-satunya metode yang dapat diterapkan untuk mereduksi pajanan terhadap populasi secara efektif adalah dengan mengidentifikasi sumber yang mengemisikan substansi tersebut. Hasil dari identifikasi sumber ini kemudian dapat digunakan untuk menentukan prioritas pengelolaan sumber emisi/substansi yang memiliki kontribusi signifikan terhadap lingkungan[22].
Metode identifikasi sumber emisi ini dikenal dengan nama receptor-oriented
atau model reseptor. Model tersebut berfokus pada perilaku lingkungan
ambien di titik dampak, berbeda dengan model dispersi yang berfokus pada fenomena transportasi, dilusi dan transformasi yang terjadi dari sejak polutan diemisikan hingga ke area sampling[16]. Urutan zat pencemar udara mulai dari sumber hingga terukur di waktu sampling dapat terlihat pada gambar II.1 dibawah ini. Saat ini, metode model reseptor telah banyak diterapkan untuk menganalisis sumber emisi partikulat udara, baik untuk partikel halus (fine)
maupun kasar (coarse).
Prinsip fundamental model reseptor adalah adanya asumsi konservasi massa dan analisis kesetimbangan massa dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan memproporsi sumber material partikulat di atmosfer. Pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan satu set data yang menjadi data input model
reseptor adalah dengan menganalisis konstituen kimiawi seperti logam, ion dan carbon yang diperoleh dari sejumlah sampel[17].
Gambar II.1 Skema Urutan Pencemar dari Sumber ke Reseptor[16]
Persamaan kesetimbangan massa yang digunakan dalam analisis model reseptor ini dapat diungkapkan sebagai sejumlah m spesi kimiawi yang
terdapat dalam sejumlah n sampel yang berkontribusi terhadap sejumlah p
sumber tertentu, seperti terlihat dibawah ini:
ij p p pj ip ij
=
∑
g
f
+
e
=1χ
(1)
Dimana : xijadalah konsentrasiyang terukur untuk spesi j pada sampel i,
fpj adalah konsentrasi spesi j dalam material yang teremisikan oleh
sumber p,
gipadalah kontribusi sumber p terhadap sampel i,
eij adalah sebagian data hasil pengukuran yang tidak dapat
dijelaskan oleh model
Dalam model reseptor, terdapat beberapa batasan fisik yang harus diperhatikan dalam mengembangkan model untuk mengidentifikasi dan
memperkirakan kontribusi sumber emisi partikulat udara. Batasan fisik tersebut antara lain :
1. Data asli harus direproduksi oleh model; model tersebut harus dapat menjelaskan hasil observasi
2. Komposisi sumber yang diprediksikan tidak boleh bernilai negatif; suatu sumber emisi tidak mungkin memiliki konsentrasi unsur negatif
3. Kontribusi sumber yang diprediksikan tidak boleh bernilai negatif; suatu sumber emisi tidak mungkin mengemisikan sejumlah massa yang bernilai negatif
4. Jumlah total kontribusi massa yang diprediksikan untuk masing-masing sumber harus lebih kecil atau sama dengan jumlah total massa yang terukur untuk tiap-tiap unsur
Batasan-batasan diatas harus selalu diperhatikan dalam pengembangan dan penerapan model reseptor agar dapat diperoleh hasil yang realistik[17].
II.2Model Reseptor
Berdasarkan persamaan (1) diatas, terlihat bahwa analisis model reseptor memiliki dua variabel yang tidak diketahui nilainya, yaitu komponen gip dan
fpj. Namun pada kasus tertentu, komponen fpj dapat diketahui melalui
serangkaian penelitian terhadap profil sumber yang terdapat di suatu daerah sehingga kita dapat memperkirakan langsung kontribusi dari suatu sumber emisi terhadap pencemaran udara di daerah tersebut. Oleh karenanya, metode model reseptor dapat dibagi dua yaitu :
1. Model reseptor dengan sumber yang sudah diketahui 2. Model reseptor dengan sumber yang tidak diketahui
II.2.1 Sumber Diketahui
Terdapat beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk memecahkan persamaan (1) diatas tergantung pada informasi apa yang tersedia. Jika jumlah
dan sumber emisi di suatu daerah diketahui (dinotasikan sebagai p dan fik),
maka satu-satunya hal yang tidak diketahui adalah kontribusi massa tiap-tiap sumber terhadap tiap-tiap sampel (gkj). Pendekatan ini pertama kalinya
disarankan oleh Winchester dan Nifong dan oleh Miller et al. Problem
tersebut dipecahkan dengan menggunakan pendekatan effective-variance
least-square yang saat ini dikenal dengan nama model Chemical Mass
Balance (CMB). Model ini dapat diperoleh secara gratis dengan cara mengunduh dari website US Environmental Protection Agency di
www.epa.gov/ttn/SCRAM. [17]. Berikut ini adalah ilustrasi penggunaan model CMB dalam memprediksi kontribusi sumber emisi.
Gambar II.2 Ilustrasi Prinsip Penerapan Chemical Mass Balance (CMB)[22]
Model CMB ini juga diaplikasikan oleh Hidy dan Friedlander tahun 1972 serta Knip et al; tahun 1973. Aplikasi awalnya menggunakan spesi kimiawi unik yang berhubungan dengan tipe sumbernya (biasa disebut tracer).
Friedlander memperkenalkan pemecahan dengan kuadrat terkecil dilengkapi dengan “ pembobotan” pada persamaan CMB. Namun persamaan ini hanya memperhitungkan ketidakpastian (uncertainty) pada konsentrasi partikulat di
reseptor, sementara ketidakpastian di profil sumber diabaikan[19]. Kelebihan penggunaan model CMB ini adalah hanya sedikit jumlah sampel yang diperlukan (Koistinen et al.,2002). Namun kekurangannya adalah bahwa
metode ini membutuhkan informasi jumlah sumber dan profil kimiawi emisinya[22].
Model CMB ini disusun berdasar prinsip konservasi massa. Apabila terdapat jumlah p sumber emisi yang ada dan diasumsikan tidak ada interaksi
diantaranya, maka konsentrasi massa yang terukur di reseptor diperoleh dengan penjumlahan kontribusi (Sj) oleh tiap sumber emisi sebagaimana
dalam persamaan :
∑
==
p j jS
C
1 (2)Konsentrasi Ci dari komponen i dalam sampel ditunjukkan dalam persamaan
(3) dibawah dimana aijadalah fraksi massa kontribusi sumber j yang memiliki
komponen i pada reseptor :
∑
==
p j j ijS
a
C
1 (3)Diasumsikan bahwa jumlah komponen n dianalisa pada sumber dan reseptor,
kemudian sebuah persamaan dibuat untuk tiap komponen. Jika jumlah n ≥
jumlah p, akan didapatkan penyelesaiannya dengan menghitung persamaan
liner sejumlah p.
Untuk memperoleh keakuratan dicari nilai χ2 yang disimbolkan :
∑
∑
= − =⎟⎟
⎠
⎞
⎜⎜
⎝
⎛
−
=
n i i p j j ij iw
S
a
C
1 2 2 1 2χ
(4)dimana wiadalah pembobotan sesuai dengan kesalahan waktu pengukuran.
Persamaan (5) dibawah merupakan matriks realisasi persamaan (3) : C = A S (5)
Dimana C adalah vektor dimensional n dari konsentrasi komponen, A adalah
matriks p dari fraksi massa sumber dan S adalah vektor dimensi n dari
kontribusi sumber-sumber. Umumnya, penyelesaian dengan metode kuadrat terkecil sesuai persamaan berikut :
S = ( tAWA )-1tAWC (6)
Dimana W adalah matriks diagonal dengan komponen diagonal wi2 . tA adalah transpose matriks A dan X-1 adalah inverse matriks X. Error estimasi untuk kontribusi sumber tergantung pada pemilihan konstanta ( wi ). Bila w tidak dimasukkan, maka solusi persamaan diatas menjadi solusi persamaan regresi kuadrat terkecil secara umum. Faktor w dimasukkan sebagai pembobotan atas
lebarnya rentang konsentrasi antar elemen dari ng/m3 - µg/m3. Faktor ketidakpastian di profil sumber juga sudah dimasukkan ke dalam faktor w ini
dengan memasukkan standar deviasi dari fraksi pengukuran di sumber[19].
II.2.2 Sumber Tidak Diketahui
Saat ini, metode identifikasi sumber pencemar menggunakan model reseptor berkembang pesat untuk metode yang digunakan bila profil sumber emisinya tidak diketahui. Metode ini merupakan suatu bentuk Analisis Faktor namun berbeda dengan metode Principal Component Analysis tradisional dan
metode-metode terkait lainnya. Pada Analisis Faktor, model dikembangkan untuk memperkirakan kontribusi dan juga profil sumber emisi dari sekumpulan data/sampel. Persamaan dasar yang digunakan adalahpersamaan kesetimbangan kimia, seperti terlihat pada persamaan (1).
Salah satu pendekatan yang banyak digunakan untuk analisis model reseptor terhadap sumber yang tidak diketahui adalah model Positive Matrix Factorization (PMF). Positive Matrix Factorization adalah suatu metode yang dikembangkan oleh Paatero dan Tapper (1993,1994) dan berkembang semakin pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pengembangan model ini adalah dengan mencari solusi terhadap
masalah-masalah yang muncul pada metode Principal Component Analysis
(Paatero et al.,2005) dan menerapkan metode tersebut untuk mengidentifikasi sumber emisi yang belum diketahui profil sumbernya (Hopke.,2003).
Paatero dan Tapper menemukan bahwa Principal Component Analysis tidak
dapat memberikan solusi yang bermakna karena tiap-tiap unsur dalam matrix data mengalami penyesuaian (scaled). Pada awalnya, masalah ini diselesaikan
dengan menggunakan metode alternating least-squares sebagai dasar analisis
faktor PMF. Pada metode ini, salah satu matrixnya, G atau F, diasumsikan telah diketahui dan nilai chi-kwadratnya diminimisasi sesuai dengan matrix lainnya. Kemudian nilai G dan F dihitung kembali setelah diperoleh hasil kalkulasi matrix yang tetap dengan cara meminimisasi nilai Q. Proses ini terus berlangsung hingga diperoleh hasil yang konvergen. Akan tetapi, saat ini Dr. Paatero telah berhasil mengembangkan suatu skema optimasi global yang dapat menghasilkan kedua solusi diatas secara langsung.
Bila pada persamaan (7) X merupakan matrix dari data hasil sampling, maka
Residual Matrix-nya, atau E, adalah :
hj p h ih ij ij ij
X
X
X
G
F
E
=
−
=
−
∑
•
=1ˆ
(8) Dimana i = 1,…, m unsur j = 1,…, n sampel h = 1,…, p sumberFungsi Tujuan (Q) yang harus diminimisasi merupakan fungsi dari G dan F sebagai berikut : 2 1 1
)
(
∑∑
= =⎥
⎥
⎦
⎤
⎢
⎢
⎣
⎡
=
m i n j ij ijs
E
E
Q
(9)Dimana sij merupakan estimasi ketidakpastian (uncertainty) pada unsur i dalam sampel j. Tahap berikutnya adalah bagaimana meminimisasi Q(E) yang
merupakan fungsi dari G dan F dengan batasan dimana seluruh unsur-unsur G dan F tidak boleh bernilai negatif. Paatero dan Tapper telah menunjukkan bahwa hal tersebut tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan metode
singular value decomposition sehingga analisis PCA tidak akan memberikan
hasil yang bermakna. Oleh karenanya, batasan non-negatif diatas diterapkan melalui penggunaan fungsi penalti pada fungsi yang telah dimodifikasi, Q.
Regularisasi juga dapat diterapkan untuk mengurangi rotational freedom
sehingga fungsi yang telah dimodifikasi tersebut menjadi :
)
(
)
(
)
(
)
(
)
(
)
,
,
(
E
G
F
Q
E
P
G
P
G
R
G
R
F
Q
=
+
+
+
+
∑∑
∑∑
∑∑
∑∑
∑∑
= = = = = = = = = =+
+
−
−
⎥
⎥
⎦
⎤
⎢
⎢
⎣
⎡
=
m i n k ih m i n k ih m i n k hj m i n k ih m i n k ij ijF
G
F
G
s
E
1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1log
log
δ
γ
β
α
P(G) dan P(F) merupakan fungsi penalti yang akan mencegah faktor G dan F menjadi negatif. R(G) dan R(F) merupakan fungsi regularisasi yang akan menghilangkan beberapa hasil rotasi yang tidak sesuai. Pada kondisi tidak terdapat batasan, maka nilai α dan β ditetapkan dengan nilai nol (0). Namun, regularisasi tetap dilakukan dalam analisis tersebut[16].
II.2.3 Unsur Penanda (Fingerprint Elements)
Pada analisis model reseptor, khususnya untuk model yang belum diketahui sumber emisinya, perlu diketahui unsur unik penanda (fingerprint elements)
dari suatu sumber emisi tertentu agar dapat diperkirakan profil sumber dan kontribusi sumber tersebut. Senyawa-senyawa yang dapat membedakan emisi-emisi sumber, baik karena jumlahnya yang berlimpah ataupun karena proporsionalitasnya, sangat penting untuk diketahui sebagai unsur penanda. Disamping itu spesi sumber tracer yang digunakan harus dipilih terlebih
dahulu dengan pertimbangan sumber-sumber apa yang ada di wilayah yang diteliti, serta melihat faktor korelasi antar elemen. Elemen-elemen yang konsisten berkorelasi kuat cenderung berasal dari sumber yang sama[19]. Tabel II.1 dan II.2 dibawah menunjukkan unsur-unsur penanda dari sumber emisi tertentu. Khusus untuk gambar II.2, tabel unsur penanda diperoleh dari data profil sumber yang berasal dari Asian Institute of Technology yang secara lengkap dapat dilihat di lampiran.
Tabel II.1 Unsur-unsur Penanda Sumber Emisi tertentu[14] Sumber-sumber emisi Unsur – Unsur Penanda
Tanah Al,Si,Sc,Ti,Fe,Sm,Ca Debu jalan Ca,Al,Sc,Si,Ti,Fe,Sm
Garam laut Na,Cl,Na+, Cl-,Br,I,Mg, Mg2+
Pembakaran minyak V, Ni, Mn, Fe, Cr, As,S, SO4
Pembakaran batubara Al,Sc,Se,Co,As.Ti,Th,S Industri besi baja Mn,Cr,fe,Zn,W,Rb Industri non besi/logam Zn,Cu,As,Sb,Pb,Al Industri gelas Sb,As,Pb
Industri semen Ca
Insinerator K,Zn,Pb,Sb Pembakaran straw K,Cele,Corg,Br
Bensin motor Cele, Corg, S, SO42-, NO3
-Diesel motor Corg,Cele, S, SO42-, NO3
Tabel II.2 Unsur Penanda Pada Profil Sumber AIT
Sumber Emisi Unsur Penanda
Pembakaran Biomassa BC,SO4=,K,Cl
Pembakaran Minyak V,Ni,Zn Bensin bertimbal Fe,Pb
Tanah Si,Al,K,Ca,Ti,Fe,Mg,Na Garam Laut Na,Cl
Industri Besi BC,SO4=,Si,Fe
Debu Konstruksi Ca,Si,Al,Fe NaNO3 Na,NO3
-(NH4)2SO4 NH4+, SO4=
NH4NO3 NH4+, NO3
-Saat ini, penelitian mengenai profil sumber di kota Bandung sudah mulai berkembang. Salah satu studi mengenai profil sumber di kota Bandung dilakukan oleh Puji Lestari pada tahun 2006. Pada studi ini, identifikasi profil sumber dilakukan terhadap kendaraan bermesin diesel dan kendaraan roda dua bermesin 2 tak dan 4 tak. Hasil penelitian tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel II.3 Unsur Penanda Sumber Transportasi di Bandung[25] Sumber Emisi Unsur Penanda
Kendaraan Diesel BC, Cl-, SO
42-, NO3-, NH4+, Zn, Fe
Motor 2-tak BC, Cl-, SO
42-, NO3-, NH4+, Fe, Pb, Ca, Mg, Al, K, Na, Si
Motor 4-tak BC, Cl-, SO42-, NO3-, NH4+, Fe, Ca, Mg, Al, K, Na
Umumnya unsur partikel halus terdiri atas rentang nucleation/ultrafine particles (< 0.08 µm) serta rentang akumulasi (0.08 – 2.5 µm).
Partikel-partikel ini berasal dari emisi langsung dari proses pembakaran, kondensasi spesies yang volatil, konversi gas-partikel serta partikel tanah yang halus. Sementara partikel kasar (2.5 - 10 µm) berasal dari aktivitas penggerusan tanah, spora, daun-daun dan gerusan ban kendaraan. Partikel-partikel pada ukuran yang lebih besar jenis kasar juga terjadi ketika titik-titik awan dan
kabut terbentuk pada lingkungan terpolusi kemudian mengalami pengeringan setelah diserap oleh partikel dan gas lain[9].
Sesuai dengan karakteristik masing-masing senyawanya, keberadaan elemen tertentu dalam partikulat pencemar yang terukur yang digolongkan kategori halus (PM2.5) dan kasar (PM2.5 – PM10) mengikuti kecenderungan sebagai
berikut :
Tabel II.4 Rentang Ukuran Komposisi Kimia Partikulat Udara[29] Umumnya halus Umumnya kasar Variabel
Sulfat Besi Klorida Jelaga karbon Kalsium Nikel
Senyawa organik Titanium Timah
Air Magnesium Vanadium Timbal Aluminium Tembaga Ammonium Silikon Seng
Arsen Potasium Antimoni Selenium Fosfat Mangan Merkuri Krom Kadmium
II.3Hasil-hasil Penelitian Menggunakan Model reseptor
II.3.1 Penelitian di Luar negeri 1. Atlanta, Amerika Serikat
Kim et al (2004) melakukan analisis PMF terhadap data PM2.5 yang
diperoleh dari stasiun monitoring Jefferson Street, Atlanta. Pada analisis ini, partikulat Carbon dianalisis dengan menggunakan metode Thermal
Optical Reflectance yang membagi Carbon menjadi empat Organic
Carbon (OC), Pyrolized Organic Carbon (POC), dan tiga Elemental
Carbon (EC). Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 529 sampel dan 28
2000. PMF berhasil mengidentifikasi sebelas sumber emisi, yaitu : sulfate-rich secondary aerosol I (50%), on-road diesel emissions (11%), nitrate-rich secondary aerosol (9%), wood smoke (7%), gasoline vehicle (6%), sulfate-rich secondary aerosol II (6%), metal processing (3%), airborne soil (3%), railroad traffic (3%), cement kiln/carbon-rich (2%), dan bus maintenance facility/highway traffic (2%).
2. Dhaka dan Rajshahi, Bangladesh
Begum et al (2004) melakukan penelitian di kawasan Dhaka pada periode Juni 2001 hingga Juni 2002 dan Rajshahi pada bulan Agustus 2001 hingga Agustus 2002. Pengumpulan sampel dilakukan dengan menggunakan sampler ‘Gent’ yang dapat mengumpulkan sampel dalam dua fraksi, halus dan kasar. Model PMF menunjukkan bahwa di kota Dhaka terdapat 6 sumber emisi untuk fraksi kasar dan tujuh sumber emisi untuk fraksi halus. Sementara di kota Rajshahi terdapat lima sumber emisi baik untuk fraksi halus maupun kasar. Sumber emisi yang teridentifikasi antara lain soil dust, road dust, cement, sea salt, motor vehicles dan biomass burning. 3. Korea Selatan
Seung S Park (1998-1999) melakukan penelitian sumber pencemar udara ambien dengan CMB di kawasaan industri yang kompleks dengan tempat residensial. Sampling dengan Dichotomous Sampler, analisa dengan ICP-MS (elemen logam), IC (spesies ion) dan TMO (spesies karbon). Senyawa (NH4)2SO4 menjadi kontributor utama partikel PM2.5 disusul dengan emisi
organik karbon non-trafik dan NH4NO3. Sekitar 37 – 89 % PM10 terdiri
atas PM2.5. Dengan analisis back trajektory disimpulkan bahwa kawasan
reseptor tersebut dipengaruhi oleh sumber pencemar dari laut dan daratan (Mongolia dan Cina). Dari jenis pencemarnya didominasi oleh sumber lokal antropogenik di area industri serta adanya long-range transport.
4. Sao Paulo, Brasil
Claudio D Alonzo (1986) melakukan studi karakteristik aerosol di Sao Paulo. Sekitar 700 sampel yang diperoleh dengan Dichotomous Sampler, HVS dan LVS dianalisa unsur elemennya dengan XRF. Anionnya diperiksa dengan IC dan OC - EC dengan Xertex Dohrman analyzer. Dari analisis CMB diperoleh bahwa kendaraan bermotor (dengan penanda unsur karbonnya) menjadi polutan utama disusul oleh karbon sekunder sulfat.
II.3.2 Penelitian di Indonesia 1. Jakarta
Bapedal dan JICA yang melakukan studi bulan November 1995 – November 1996 dengan analisis CMB menyimpulkan bahwa kontributor utama pencemar ukuran SPM di Jakarta adalah kendaraan diesel (50%). Sedangkan untuk ukuran TSP, sekitar 40% kontributor pencemar adalah unsu tanah, disusul kendaraan diesel (25%) dan lain-lain. Analisis CMB digunakan sebagai pelengkap analisis model dispersi. PCI dengan Bapedal melakukan studi pada bulan November 1995 – Desember 1996 yang memfokuskan pada sumber partikulat halus (PM2.5). Sampling partikulat
digunakan alat cyclone.Analisis elemen digunakan IBA (Ion Beam Analysis) sedangkan untuk spesies ion SO42- dan Cl- digunakan IC. Hasil
studi dengan CMB 7.0 didapatkan bahwa kontributor pencemar PM2.5 di Jakarta adalah kendaraan bermotor 21%, asap pembakaran 22% dan industri 8%.
2. Bandung
Haryono S. Huboyo (2003) melakukan studi identifikasi sumber emisi pencemar partikulat di kota Bandung pada dua musim, hujan dan kemarau. Pada musim hujan, partikel halus didominasi oleh aerosol sekunder (33 – 42%), disusul pembakaran minyak (7-14%), kendaraan bermotor, tanah dan asap pembakaran. Sementara di partikel kasar, debu kapur
mendominasi kontributor pencemar (34-36%), diikuti limbah padat (13-18%) dan industri logam (13 – 14%). Pada musim kemarau, di partikel halus, sekitar 42-43% dikontribusi oleh aerosol sekunder, kendaraan bermotor (16-28%), pembakaran minyak hanya mengkontribusi 5-6%. Di partikel kasar debu tanah menempati 13 – 35%, partikel NaNO3 (21 –
22%), industri logam (7 – 9%) serta asap pembakaran (8 – 21%). 3. Bandung
Sri Mahendra S.W. (2004) melakukan studi penentuan kontribusi sumber pencemar partikulat dengan menggunakan PMF. Studi dilakukan di dua lokasi, yaitu Tegalega dan Dago Pakar pada dua musim berbeda (hujan dan kemarau). Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah Low Volume Sampler dan Dichotomous Sampler. Pada musim hujan, partikel halus terkontribusi oleh kendaraan bermotor, NH4NO3, (NH4)2SO4,
industri logam, kegiatan konstruksi, pembakaran biomassa, limbah padat, pembakaran minyak, dan debu tanah. Partikel halus terkontribusi oleh limbah padat, pembakaran biomassa, kegiatan konstruksi, kendaraan bermotor, pembakaran minyak, industri logam, dan debu tanah. Pada musim kemarau, partikel halus terkontribusi oleh pembakaran minyak, NH4NO3, (NH4)2SO4, limbah padat, industri logam, kendaraan bermotor,
kegiatan konstruksi, dan debu tanah. Partikel kasar terkontribusi oleh pembakaran minyak, NaNO3, industri logam, limbah padat, debu tanah,