Mengembangkan Pariwisata Syari’ah-Religi
Dewasa ini, sistem berbasis syari’ah telah berkembang pesat menjadi sebuah “trend mode” di berbagai bidang. Mulai dari perbankan, stocks exchange, hingga tak terkecuali pariwisata. Khusus untuk pariwisata, pada tanggal 2 Juni 2014 lalu Indonesia bahkan didaulat sebagai tuan rumah konferensi pariwisata syari’ah international pertama yang bertajuk “The 1st OIC International Forum on Islamic Tourism (OIFIT)”. Tidak
dipungkiri, prosepek pariwisata syari’ah memang sangat cerah. Apalagi, eskalasi wisatawan muslim dunia juga terus tumbuh secara signifikan.
Pew Research Center Forum on Religion and Public Life mencatat,
populasi muslim dunia diperkirakan akan bertambah dari 1,6 milliar (23,4 persen penduduk dunia) pada tahun 2010 menjadi sekitar 2,2 milliar (26,4 persen penduduk dunia) di tahun 2030. Sementara itu, mengutip data Thomson Reuteurs dalam State of the Global Islamic Economy (2013), total pengeluaran muslim dunia untuk keperluan makanan halal dan gaya hidup mencapai 1,62 triliun dolar AS pada tahun 2012 serta diprediksi akan menembus angka 2,47 triliun dolar AS di tahun 2018. Jumlah yang begitu fantastis.
Potensial
Parawisata syari’ah sendiri sebenarnya merupakan alternatif baru dalam “tourism industry” yang terdiri atas empat jenis elemen, yaitu perhotelan, restoran, biro perjalanan, dan spa. Adapun berwisata syari’ah berarti mengunjungi destinasi serta pertunjukan wisata yang memiliki nilai-nilai Islami dan terjamin kehalalan servis maupun atribut fasilitas ibadahnya. Saat ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sudah menetapkan sembilan tujuan wisata syari’ah yang meliputi
Sumatera Barat, Riau, Lampung, Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Lombok, serta Makassar.
Jawa Tengah (Jateng), meskipun tidak inklusif ke dalam sembilan destinasi wisata syari’ah yang diusung oleh pemerintah, tetap saja mempunyai potensi besar. Hal itu mengingat Jateng termasuk sebagai provinsi yang berpeluang menjadi contoh tujuan wisata syari’ah menurut Dirjen MICE dan Minat Khusus Kemenparekraf (liputan6.com, 27/10/2014). Terlebih lagi, Jateng didukung oleh modal wisata religi bernuansa historikal-kultural. Demak misalnya, menyimpan legacy peninggalan Kerajaan
Tak hanya melulu warisan konkrit, Jateng juga identik dengan tradisi religius serta budaya. Pun demikian dengan suasana Islami yang amat kental sebagai konsekuensi dari jamaknya pondok-pondok pesantren di sepanjang wilayah Pantura Jateng. Semua itu menjadi nilai plus pariwisata syari’ah Jateng bila dibandingkan dengan daerah lain yang secara umum cuma mengandalkan pariwisata syari’ah konvensional. Guna
mengoptimalkan hal tersebut, pemerintah Jateng dapat mengawinkan tren pariwisata syari’ah dengan basis pariwisata religi.
Namun realitasnya, walaupun kuantitas okupasi wisatawan semakin meningkat (kompas.com, 25/10/2014), faset-faset pariwisata syari’ah Jateng masih terbatas di beberapa kota besar. Selain itu, komponen pariwisata seperti biro perjalan dan spa syari’ah juga masih jarang
ditemui. Berikutnya, belum banyak usaha produk makanan atau kosmetik yang melakukan sertifikasi kehalalan. Terakhir dari sisi SDM, minim
sekolah kejuruan maupun perguruan tinggi yang menyediakan kurikulum pariwisata syari’ah, sehingga kompetensi tenaga kerja pariwisata syari’ah tidak maksimal.
Gagasan
Di sini, pemerintah Jateng tak boleh berpangku tangan dan hanya pasif menunggu “titah” dari pemerintah pusat dalam mengembangkan pariwisata syari’ah. Ada sejumlah gagasan yang perlu ditempuh oleh pemerintah Jateng. Pertama, memetakan (mapping) kawasan yang pontensial untuk menjadi destinasi pariwisata syari’ah sekaligus religi. Pemetaan itu akan bermanfaat sebagai salah satu cetak biru
pembangunan infrastruktur yang proporsional serta representatif. Jadi, developmentasi pariwisata syari’ah bisa benar-benar sejalan dengan prospek suatu daerah.
Kedua, memfasilitasi para pelaku bisnis kuliner maupun kosmetik untuk mengajukan sertifikasi kehalalan ke LPPOM (Lembaga Pengawasan Pangan, Obat, dan Makanan) MUI selaku auditor pemfatwa halal atau tidaknya sebuah produk. Sertifikasi tersebut penting karena mendukung standarisasi pariwisata syari’ah ─terutama bagi elemen restoran serta spa. Akan tetapi wajib diperhatikan, bahwa masa kedaluwarsa sertifikat kehalalan hanya berlaku selama dua tahun. Oleh sebab itu, enterprisers juga harus melakukan penyertifikatan secara berkala.
kepariwisataan serta pegawai agen travel. Seperti contoh, calon guide, customer service, pekerja patiseri, dan lain-lain. Sebagai personel (SDM) yang nantinya berkecimpung dalam dunia pariwisata syari’ah,
pembekalan itu menjadi urgen karena akan meningkatkan skill serta profesionalitas mereka. Dengan begitu, kualitas pariwisata syari’ah Jateng pun dapat semakin apik.
Keempat, menyelenggarakan pameran khusus pariwisata syari’ah. Hal tersebut bisa diprakarsai oleh BPPD dan dibarengkan dengan program inovatif lain, misalnya Indonesia Halal Expo Jateng (Indhex Jateng). Sejauh ini, upaya mengenalkan pariwisata syari’ah Jateng masih stuck pada pameran yang bersifat umum. Patut disayangkan jika oportunitas pasar pariwisata syari’ah-religi Jateng tidak digarap optimal. Di samping
pemerintah, masyarakat sendiri juga mesti berperan dalam membumikan pariwisata syari’ah-religi Jateng. Bukankah mereka bisa menjadi
“promotor hidup”?
Arie Hendrawan – Peminat Kajian Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Biodata Penulis
Nama : Arie Hendrawan
TTL : Kudus, 28 Agustus 1992
Alamat : Ds. Jepang, RT05/RW10, Kec. Mejobo, Kab. Kudus
Pendidikan : Lulus dari Jurusan Politik dan Kewarganegaraan Unnes (2014)
CP : 085740228837