• Tidak ada hasil yang ditemukan

NASKAH PUBLIKASI POLA DISTRIBUSI PASIEN KOLELITIASIS DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2011 KRISANTUS HENDRIK I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "NASKAH PUBLIKASI POLA DISTRIBUSI PASIEN KOLELITIASIS DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2011 KRISANTUS HENDRIK I"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

POLA DISTRIBUSI PASIEN KOLELITIASIS DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK PERIODE JANUARI 2010

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA NASKAH PUBLIKASI

POLA DISTRIBUSI PASIEN KOLELITIASIS DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2011

KRISANTUS HENDRIK I11107062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

(2)
(3)

DISTRIBUTION PATTERN OF CHOLELITHIASIS PATIENTS IN DR. SOEDARSO GENERAL HOSPITAL PONTIANAK

PERIODS OF JANUARY 2010-DECEMBER 2011

Krisantus Hendrik1; dr. IGN. Virgiandhy, Sp. B2 ; Agus Fitriangga, SKM, MKM3

Abstract

Background:Gallstone disease known as cholelithiasis is one of the most common digestive surgical disorder in the United States and in developed country in general. Individual with symptomatic gallstones may experience various gartrointestinal symptoms and are also at risk of developing acute cholecystitis and other complications although the majority of individuals with gallstones remain asymptomatic.

Objective: This research was aimed to know the distribution of cholelithiasis patients according to age, sex, main symptom, additional symptom, and complication in dr. Soedarso General Hospital Pontianak during the period of January 2010-December 2011.

Method: This research was a descriptive study with cross-sectional approach which was conducted by using secondary data from medical records.

Result: Among a total of 99 cholelithiasis patients, 63 (63,6%) were females and 36 (36,4%) were males with ratio (F:M) was 1,75:1. Most of patients were in age group of 41-48 years (23,2%) with female predominance (ratio F:M=1,6:1). The most common main symptom was upper right quadrant pain (55,6%) and followed by epigastrium pain (44,4%). The most common additional symptom was nausea and/or vomitting (76,8%). There were 47 (47,5%) patients had complication; 36 (36,4%) had cholecystitis, 9 (9,1%) had jaundice, and 2 (2,0%) had acute pancreatitis.

Conclusion:The most common cholelithiasis patients were female and in age group of 41-48 years. The most common main symptom was upper right quadrant pain. The most common additional symptom was nausea and/or vomitting. The most common complication was acute cholecystitis. Keyword: cholelithiasis, age, sex, main symptom, additional symptom, complication, dr. Soedarso General Hospital Pontianak

Keterangan:

1. Medical School, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, Pontianak, West Borneo

2. Department of Surgery, dr. Soedarso General Hospital Pontianak, West Borneo

3. Department of Community Medicine, Medical School, Faculty of Medical, Tanjungpura University, Pontianak, West Borneo

(4)

POLA DISTRIBUSI PASIEN KOLELITIASIS DI RSU DR. SOEDARSO PONTIANAK PERIODE JANUARI 2010-DESEMBER 2011

Krisantus Hendrik1; dr. IGN. Virgiandhy, Sp. B2 ; Agus Fitriangga, SKM, MKM3

Intisari

Latar Belakang: Penyakit batu empedu yang dikenal sebagai kolelitiasis adalah salah satu masalah bedah bagian pencernaan yang paling sering ditemukan di Amerika Serikat dan di negara berkembang pada umumnya. Individu dengan batu empedu simtomatik dapat mengalami bermacam gejala gastrointestinal dan berisiko menderita kolesistitis akut dan komplikasi lain meskipun sebagian besar individu dengan batu empedu tetap asimtomatik.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan umur, jenis kelamin, keluhan utama, keluhan tambahan, dan komplikasi di RSU dr. Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

Metodologi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan pendekatan

cross-sectional dan menggunakan data sekunder berupa rekam medik

pasien.

Hasil: Dari total 99 pasien kolelitiasis, 63 (63,6%) perempuan dan 36 (36,4%) laki-laki dengan rasio (P:L) adalah 1,75:1. Pasien terbanyak terdapat pada kelompok umur 41-48 tahun (23,2%) dengan dominasi perempuan (rasio P:L=1,6:1). Keluhan utama terbanyak adalah mual dan/atau muntah (76,8%). Terdapat 47 (47,5%) pasien mengalami komplikasi; 36 (36,4%) kolesistitis, 9 (9,1%) ikterus, dan 2 (2,0%) pankreatitis akut.

Kesimpulan: Pasien kolelitiasis terdapat lebih banyak pada perempuan dan pada kelompok umur 41-48 tahun. Keluhan utama terbanyak adalah nyeri kuadran kanan atas. Keluhan tambahan terbanyak adalah mual dan/atau muntah. Komplikasi terbanyak adalah kolesistitis akut.

Kata Kunci: kolelitiasis, umur, jenis kelamin, keluhan utama, keluhan tambahan, komplikasi, RSU dr. Soedarso Pontianak

Keterangan:

1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat

2. SMF Bedah, RSU dr. Soedarso, Pontianak, Kalimantan Barat.

3. Departemen Kedokteran Komunitas, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat

(5)

PENDAHULUAN

Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di dalam kandung empedu atau di dalam duktus koledokus atau pada keduanya.1 Kolelitiasis merupakan salah satu masalah bedah yang paling sering ditemukan di negara berkembang. Lebih dari 95% penyakit saluran empedu secara langsung disebabkan oleh kolelitiasis atau kolesistitis (peradangan kandung empedu).2 Masalah batu empedu menjadi lebih menonjol seiring dengan bertambahnya umur dan pada perempuan batu empedu lebih sering muncul dua kali dibandingkan pada laki-laki.3

Sekitar 20,5 juta orang dewasa di Amerika Serikat menderita batu empedu antara tahun 1994 hingga 1998 yang setara dengan sekitar 15% dari populasi di Amerika Serikat.4Berdasarkan penelitian Jaraari AM et al5 di Libia pada tahun 2010 didapatkan 41 pasien kolelitiasis, yaitu 6 laki-laki dan 35 perempuan dengan rasio laki-laki berbanding perempuan sebesar 1:5. Penelitian tersebut menyebutkan bahwa insidensi batu empedu tertinggi terdapat pada rentang umur 41-50 tahun, yaitu sebanyak 12 pasien.5 Berdasarkan penelitian Assefa G6, di Rumah Sakit Universitas Gondar, Etiopia, pada tahun 2008 dari 1603 pasien didapatkan 786 laki-laki (49%) dan 817 perempuan (51%).6

Insidensi batu empedu di Indonesia belum diketahui dengan pasti karena belum ada penelitian tentang penyakit batu empedu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indra Raymond7 di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta dari Januari 2005 sampai Desember 2006, didapatkan 117 pasien kolelitiasis yang telah dilakukan kolesistektomi. Dari jumlah tersebut terdapat 56 laki-laki dan 61 perempuan.7 Sedangkan di Kalimantan Barat sendiri, khususnya di RSU Dokter Soedarso Pontianak, berdasarkan studi pendahuluan, didapatkan 105 kasus kolelitiasis selama periode tahun 2010 hingga 2011.

Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi pasien dengan batu asimtomatik, simtomatik, dan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan pankreatitis).8 Sebagian besar (80%) pasien

(6)

dengan batu empedu tanpa gejala baik waktu diagnosis maupun selama pemantauan dan yang berkembang menjadi nyeri kolik tahunan hanya 1-4%.9Sekitar 50% pasien batu empedu tetap asimtomatik, 30% mengalami kolik bilier, dan 20% mendapat komplikasi.8

Keluhan lain seperti mual dan muntah, demam, atau ikterus dapat menunjukkan terjadinya komplikasi batu empedu yang membutuhkan perawatan dan penatalaksanaan segera di rumah sakit.10 Demam dan menggigil dengan kolik biliaris biasanya menunjukkan adanya komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis, ataupun pankreatitis. Kolesistitis akut merupakan komplikasi batu empedu yang utama yang terjadi pada lebih kurang 10% pasien kolelitiasis simtomatik.11

Pentingnya mengetahui keluhan utama dan keluhan tambahan untuk membantu dalam penegakan diagnosis kolelitiasis serta komplikasi yang terjadi menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian ini. Hal lain yang menjadi dasar dilakukan penelitian inikarena belum adanya data mengenai distribusi pasien kolelitiasis yang dirawat di RSU Dokter Soedarso Pontianak.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi pasien kolelitiasis di RSU Dokter Soedarso Pontianak Periode Januari 2010-Desember 2011.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Juli 2012 di RSU dr. Soedarso Pontianak.

Subjek penelitian ini pasien kolelitiasis di RSU dr. soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011 dengan memperhatikan kriteria inklusi: pasien kolelitiasis yang didiagnosis dan dirawat di RSU dr. soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011; dan kriteria eksklusi: data rekam medis pasien kolelitiasis yang tidak lengkap dan pasien kolelitiasis dengan penyakit penyerta yang dapat memberikan

(7)

keluhan menyerupai kolelitiasis. Subjek dipilih tidak berdasarkan (non-probability sampling) dengan menggunakan teknik consecutive sampling dan dengan jumlah sampel minimal 96 sampel.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data sekunder yang diperoleh dari rekam medik pasien sesuai dengan kriteria sampel. Variabel yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, keluhan utama, keluhan tambahan, dan komplikasi. Pengolahan dan analisis data berupa analisis univariat dengan menampilkan distribusi variabel-variabel yang diteliti dengan menghitung frekuensi masing-masing subjek penelitian. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Distribusi Pasien Kolelitiasis berdasarkan Umur

Pengelompokan umur pada penelitian ini dibagi menjadi 8 kelas interval rentang umur berdasarkan data yang didapat. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa umur subjek termuda adalah 17 tahun dan umur subjek tertua adalah 75 tahun. Kasus terbanyak adalah pada kelompok umur 41-48 tahun (23,2%) dengan perbandingan jumlah pasien perempuan berbanding laki-laki adalah 14:9 atau 1,5:1. Kasus yang paling kecil adalah pada kelompok umur ≥73 tahun (2,1%).

(8)

Tabel 1 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan umur di RSU Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

No. Kelompok Umur Frekuensi (P:L) Persentase (%)

1. 17-24 tahun 8 (4:4) 8,1 2. 25-32 tahun 6 (6:0) 6,1 3. 33-40 tahun 18 (11:7) 18,2 4. 41-48 tahun 23 (14:9) 23,2 5. 49-56 tahun 17 (10:7) 17,2 6. 57-64 tahun 12 (9:3) 12,1 7. 65-72 tahun 13 (8:5) 13,1 8. ≥73 tahun 2 (1:1) 2,0 Total 99 100

Keterangan: P=perempuan; L=laki-laki

Sumber: Data Rekam Medis RSU Dokter Soedarso Pontianak, 2010-2011

Penelitian Rozany F12di RSU dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2008 juga mendapatkan bahwa kelompok umur terbanyak yang menderita kolelitiasis pada periode tersebut adalah umur 40-49 tahun (42%). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Beckingham9 bahwa umur lebih dari 40 tahun merupakan faktor risiko terjadinya batu empedu. Risiko untuk menderita kolelitiasis meningkat dengan bertambahnya umur.9,13 Pertambahan umur memiliki hubungan langsung dengan perkembangan batu empedu karena paparan jangka panjang oleh faktor risiko lain, seperti keterpaparan terhadap estrogen dan progesteron pada perempuan, obesitas, menderita diabetes mellitus, anemia sel sabit, talasemia, dan sirosis hati.14Greenberger15 dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine menyebutkan bahwa umur mempengaruhi perjalanan kolelitiasis karena meningkatkan sekresi kolesterol empedu dan menurunkan sekresi asam empedu. Usia itu sendiri dapat meningkatkan saturasi kolesterol empedu dengan peningkatkan sekresi kolesterol sekunder hepatik pada

(9)

peningkatan kadar HMG Ko-A reduktase, enzim yang menentukan kecepatan pembentukan kolesterol hati. Penurunan sintesis asam empedu dapat terjadi secara sekunder pada penurunan aktivitas enzim kolesterol 7α-hidroksilase, enzim yang menentukan kecepatan sintesis asam empedu, dengan meningkatnya usia.13,14

Berdasarkan tabel 4.1. dapat kita lihat bahwa jumlah pasien batu empedu meningkat dari kelompok umur terkecil (17-24 tahun) hingga mencapai jumlah terbanyak pada kelompok umur 41-48 tahun, lalu menurun pada kelompok umur yang lebih tinggi selanjutnya. Williams16 dalam Understanding Medical Surgical Nursing

menyebutkan bahwa setelah umur 50 tahun, rasio penderita batu empedu hampir sama antara perempuan dan laki-laki. Peningkatan jumlah pasien batu empedu pada sebagian kelompok umur pertama sesuai dengan teori yang telah dipaparkan bahwa risiko terkena batu empedu akan meningkat dengan bertambahnya umur. Penurunan jumlah pasien batu empedu pada sebagian kelompok umur selanjutnya (kelompok umur 49-56 hingga ≥73 tahun) dapat disebabkan oleh terjadinya menopause pada perempuan. Terjadi penurunan sekresi hormon estrogen dan progesteron oleh ovarium pada perempuan yang telah menopause sehingga menurunkan risiko untuk menderita batu empedu dengan berkurangnya sekresi kolesterol hati.

Penurunan jumlah pasien setelah kelompok umur 49-56 tahun pada kelompok laki-laki dapat disebabkan oleh menurunnya sekresi hormon testosteron pada laki-laki setelah umur 40 tahun atau 50 tahun.17 Testosteron, seperti halnya estrogen, memiliki efek lipolisis terhadap lemak jaringan, walaupun hal ini masih kontroversial.18 Hasil dari proses lipolisis yang berupa asam lemak bebas kemudian akan dimobilisasi ke sirkulasi darah lalu dimetabolisme di hati. Lipid hasil metabolisme inilah yang merupakan prekursor dari lipid bilier (kolesterol dan asam empedu). Dengan menurunnya sekresi

(10)

testosteron pada laki-laki setelah umur 40 tahun atau 50 tahun, maka proses lipolisis akibat efek testosteron akan menurun sehingga produksi prekursor lipid bilier juga menurun.

Pada penelitian ini didapatkan umur termuda adalah 17 tahun dan berjumlah satu pasien. Penderita batu empedu pada anak-anak dan remaja atau pada umur di bawah 20 tahun sangat sedikit. Hal ini sesuai dengan yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa risiko terbentuknya batu empedu akan meningkat dengan bertambahnya usia. Sehingga insidensi batu empedu pada umur yang masih muda akan jarang ditemukan. Jenis batu yang paling umum pada anak-anak dan remaja adalah batu pigmen yang berhubungan dengan hemolisis atau penyakit kronis seperti kistik fibrosis, talasemia mayor, dan anemia sel sabit.14Sedangkan berdasarkan data rekam medis di RSU dr. Soedarso tidak ditemukan riwayat penyakit pasien yang berhubungan dengan risiko terbentuknya batu empedu.

B. Distribusi Pasien Kolelitiasis berdasarkan Jenis Kelamin

Penelitian ini mendapatkan sebanyak 63 pasien (63,6%) perempuan dan 36 pasien (36,4%) laki-laki. Jumlah pasien perempuan adalah 1,75 kali lebih besar daripada laki-laki. Penelitian Indra Raymond7 di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2005-2006 juga mendapatkan kasus kolelitiasis lebih banyak pada perempuan, yaitu 52%.

Tabel 2 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan jenis kelamin di RSU Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

No. Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

1. Laki-laki 36 36,4

2. Perempuan 63 63,6

(11)

Sumber: Data Rekam Medis RSU Dokter Soedarso Pontianak, 2010-2011

Pengaruh hormon pada perempuan merupakan salah satu faktor predisposisi meningkatnya jumlah pasien perempuan dibandingkan laki-laki. Estrogen diduga berperan penting pada wanita dengan kolelitiasis di mana estrogen dapat menstimulasi reseptor lipoprotein hepar dan meningkatkan pembentukan kolesterol empedu serta meningkatkan diet kolesterol.15Estrogen menstimulasi enzim HMG-KoA reduktase sehingga menyebabkan peningkatan sintesis kolesterol. Sedangkan progesteron berperan dalam pembentukan batu empedu dengan menghambat kontraksi kandung empedu sehingga menyebabkan hipomotilitas dan stasis empedu.14

Risiko berkembangnya batu empedu pada perempuan semakin meningkat dengan penggunaan hormon estrogen eksogen (pada kontrasepsi oral dan Hormone Replacement Theraphy/HRT) dan pada kehamilan.19 Jing-Sen Shi20 dalam penelitiannya mengatakan bahwa penggunaan kontrasepsi steroid yang mengandung estrogen dan progesteron mempengaruhi pembentukan batu empedu pada pasien wanita dengan usia 20-44 tahun. Penggunaan HRT dari sebuah studi observasional menunjukkan 2-4 kali lipat terjadi peningkatan risiko batu empedu yang berhubungan dengan terapi estrogen. Adapun pada wanita usia di atas 55 tahun yang mengalami menopause dan kekurangan estrogen tetap dapat terjadi peningkatan resiko kolesistisis akibat meningkatnya umur.15

Terjadi peningkatan hormon estrogen dan progesteron yang signifikan pada kehamilan sehingga menjadi salah satu faktor risiko berkembangnya batu empedu. Jumlah kehamilan (paritas) berhubungan dengan penyakit batu empedu. Khan MK et al21 dalam penelitiannya di Bangladesh mendapatkan bahwa pada kelompok umur 31-40 tahun terdapat 2 kasus kolelitiasis (0,55%) belum pernah hamil, 5 kasus (1,37%) dengan satu kali kehamilan, 22 kasus (6,04%) dengan

(12)

dua kali kehamilan, 30 kasus (8,24%) dengan tiga kali kehamilan, dan 46 kasus (12,64%) dengan empat kehamilan atau lebih.

C. Distribusi Pasien Kolelitiasis berdasarkan Keluhan Utama

Keluhan utama terbanyak pada penelitian ini adalah nyeri perut kuadran kanan atas, yaitu sebanyak 55 pasien (55,6%), kemudian diikuti oleh keluhan utama berupa nyeri epigastrium sebanyak 44 pasien (44,4%).

Tabel 3 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan keluhan utama di RSU Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

No. Keluhan Utama Frekuensi Persentase (%)

1. Nyeri perut kuadran

kanan atas 55 55,6

2. Nyeri epigastrium 44 44,4

Total 99 100

Sumber: Data Rekam Medis RSU Dokter Soedarso Pontianak, 2010-2011

Hasil ini serupa dengan penelitian Pradhan SB et al22 pada tahun 2006 di Nepal yang mendapatkan keluhan utama yang paling banyak dirasakan adalah nyeri kuadran kanan atas sebanyak 65% kasus. Festi D et al23 dalam penelitiannya di Italia pada tahun 2008 menyebutkan bahwa nyeri perut kuadran kanan atas dan nyeri epigastrium merupakan satu-satunya gejala yang secara signifikan berhubungan dengan penyakit batu empedu. Sementara gejala biliaris yang tidak spesifik seperti dispepsia menunjukkan frekuensi yang sama pada subjek tanpa batu empedu dan dengan batu empedu.23

Nyeri perut kuadran kanan atas pada 55,6% pasien karena sesuai dengan letak anatomi kandung empedu. Secara anatomi kandung empedu terletak pada permukaan inferior lobus hati.24 Nyeri yang

(13)

spesifik dan khas pada penyakit batu empedu ini disebut nyeri kolik biliaris. Nyeri yang merupakan nyeri viseral ini disebabkan oleh penekanan batu dalam duktus sistikus atau ampulla Vater sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intralumen dan distensi kandung empedu dan/atau saluran empedu dan mengaktivasi neuron sensori.10,15 Kolik biliaris yang terasa menekan dan perih ini merupakan nyeri yang stabil dan dapat menjalar ke punggung, daerah interskapula, dan bahu kanan. Nyeri dapat berhubungan dengan mual dan muntah dan biasanya dipicu oleh makanan berlemak atau timbul secara spontan. Nyeri yang berhubungan dengan makanan terdapat hanya pada 50% pasien dan pada pasien ini nyeri timbul lebih dari satu jam setelah makan.24 Nyeri kolik timbul perlahan atau pun tiba-tiba dengan intensitas waktu 15-30 menit hingga 24 jam dan bertambah berat secara bertahap atau berlangsung cepat. Nyeri kolik yang berlangsung lebih dari 24 jam dapat dicurigai kolesistitis akut.9

D. Distribusi Pasien Kolelitiasis berdasarkan Keluhan Tambahan Penelitian ini mendapatkan keluhan tambahan terbanyak adalah mual dan muntah pada 76 pasien (76,8%) dan diikuti demam sebanyak 26 pasien (26,3%). Sebanyak 18 pasien (18,2%) tidak memiliki keluhan tambahan, sedangkan sisanya meliputi perut kembung sebanyak 12 pasien (12,1%); nyeri alih 11 pasien (11,1%); sendawa, kulit gatal, dan sakit kepala; masing-masing 4 pasien (4,0%).

(14)

Tabel 4 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan keluhan tambahan di RSU Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

No. Keluhan Tambahan Frekuensi* Persentase (%)** 1. Mual dan/atau muntah 76 76,8

2. Demam 26 26,3 3. Perut kembung 12 12,1 4. Sendawa 4 4,0 5. Kulit gatal 4 4,0 6. Nyeri alih 11 11,1 7. Sakit kepala 7 7,1

8. Tidak ada keluhan 18 18,2

*Satu pasien dapat terdiri lebih dari 1 keluhan tambahan **Persentase dihitung dari jumlah pasien kolelitiasis

Sumber: Data Rekam Medis RSU Dokter Soedarso Pontianak, 2010-2011

Penelitian Pradhan et al22 menemukan sebanyak 59% pasien dengan keluhan mual dan/atau muntah. Seperti yang telah dipaparkan, mual dan muntah merupakan keluhan tambahan terbanyak dalam kasus kolelitiasis. Mual dan muntah merupakan gejala yang paling sering menyertai gangguan gastrointestinal. Keluhan mual dan muntah pada kasus batu empedu dirangsang oleh adanya kolik biliaris melalui serabut aferen nervus Vagus dari lapisan gastrointestinal.8 Pasien batu empedu, selain mengeluhkan nyeri abdomen, juga mengeluhkan keluhan lain seperti mual, muntah perut kembung, bersendawa, atau susah buang air besar. Pradhan et al22 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa keluhan mual, muntah, bersendawa, atau perut kembung sering menyertai nyeri abdomen pada penyakit batu empedu. Namun keluhan-keluhan tersebut tidak spesifik dan dapat terjadi akibat gangguan pada traktus gastrointestinal bagian atas maupun keganasan. Keluhan-keluhan

(15)

tersebut terdapat pada batu empedu, tetapi tidak spesifik untuk penyakit batu empedu.15

Keluhan tambahan yang cukup banyak setelah mual dan muntah adalah demam. Dari 26 kasus dengan keluhan demam, terdapat 15 kasus mengalami kolesistitis, 2 kasus mengalami pankreatitis, dan 1 kasus mengalami ikterus. Sedangkan sisanya 8 kasus tidak memiliki komplikasi. Demam dengan kolik biliaris biasanya mencerminkan adanya komplikasi, yaitu kolesistitis, kolangitis, atau pankreatitis.15 Demam ringan dan leukosistosis biasanya terdapat pada kolesistitis akut akibat respons inflamasi akut saat terjadi obstruksi yang menetap pada duktus sistikus.9 Peningkatan suhu tubuh yang signifikan (≥380C) merupakan manifestasi sistemik dari proses awal inflamasi lokal. Kontaminasi bakteri merupakan gambaran umum dari kolesistitis akut.25

Keluhan tambahan berupa kulit gatal pada penelitian ini terdapat pada 4 kasus (4,0%) dan semuanya mengalami ikterus. Gatal pada kulit atau pruritus merupakan salah satu manifestasi klinis yang paling sering dari ikterus akibat terjadinya kolestasis. Patogenesis terjadinya pruritus tersebut masih belum sepenuhnya dipahami. Sebuah teori berkaitan dengan meningkatnya asam empedu yang menjadi pruritogenik pada kulit. Konsentrasi asam empedu pada jaringan tidak berkorelasi dengan tingkat pruritus. Teori lain mengkaitkan pruritus dengan peningkatan konsentrasi opioid endogen yang ditemukan pada pasien kolestasis. Pengamatan terhadap berkurangnya pruritus dengan penggunaan antagonis opioid menegaskan peranan opioid endogen dalam patogenesis pruritus.26 Sebuah studi yang dilakukan oleh Clements WDB et al27mengatakan bahwa sel mast berdegranulasi pada obstruksi biliaris dengan merilis histamin ke sirkulasi sistemik. Hal ini berperan dalam terjadinya pruritus pada kolestasis.

(16)

E. Distribusi Pasien Kolelitiasis berdasarkan Komplikasi

Penelitian ini mendapatkan komplikasi terbanyak adalah kolesistitis akut pada 36 pasien (36,4%), kemudian diikuti oleh komplikasi berupa ikterus sebanyak 9 pasien (9,1%) dan pankreatitis sebanyak 2 pasien (2,0%). Sisanya sebanyak 52 pasien (52,5%) tidak memiliki komplikasi.

Tabel 5 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan komplikasi di RSU Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember 2011.

No. Komplikasi Frekuensi Persentase (%)

1. Kolesistitis akut 36 36,4

2. Ikterus 9 9,1

3. Pankreatitis akut 2 2,0

4. Tidak ada komplikasi 52 52,5

Total 99 100

Sumber: Data Rekam Medis RSU Dokter Soedarso Pontianak, 2010-2011

Assefa G6 dalam penelitiannya mendapatkan komplikasi terbanyak adalah kolesistitis akut sebesar 10,3%, sedangkan kasus tanpa komplikasi sebesar 77,9%. Pradhan et al22 dalam penelitiannya mendapatkan komplikasi ikterus sebanyak 5%.

Kolesistitis akut merupakan komplikasi batu empedu yang utama yang terjadi pada lebih kurang 10% pasien dengan kolelitiasis simtomatik. Ikterus obstruktif, kolangitis, dan pankreatitis merupakan komplikasi yang sangat jarang dijumpai. Sebanyak 20%-50% pasien dengan kolelitiasis simtomatik tidak akan mengalami komplikasi yang serius selama kurun waktu lebih dari 20 tahun.11 Sebanyak 90% sampai 95% kasus kolesistitis berhubungan dengan batu empedu.24

Penelitian ini mendapatkan sebanyak 36,4% atau sekitar 1/3 kasus kolelitiasis simtomatik dengan kolesistitis akut. Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh lambatnya penanganan terhadap batu empedu

(17)

sendiri. Lambatnya penanganan tersebut dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran pasien untuk segera memeriksakan gejala yang dirasakan ke akses kesehatan sehingga pasien yang datang sudah dengan komplikasi. Hal ini karena gejala batu empedu yang dapat dikatakan menyerupai gejala dispepsia seperti nyeri epigastrium, perut terasa perih, mual, muntah, perut kembung, dan seringnya bersendawa. Hal ini diperkuat dengan terdapatnya lebih kurang seperempat penderita batu empedu dengan kolik biliaris yang disertai mual dan muntah melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida.1

KESIMPULAN

1. Kasus kolelitiasis lebih banyak terjadi pada kelompok umur 41-48 tahun.

2. Kasus kolelitiasis lebih banyak terjadi pada jenis kelamin perempuan daripada laki-laki.

3. Keluhan utama yang lebih banyak terjadi pada kasus kolelitiasis adalah nyeri perut kuadran kanan atas.

4. Keluhan tambahan yang lebih banyak terjadi pada kasus kolelitiasis adalah mual dan/atau muntah.

5. Komplikasi yang lebih banyak terjadi pada kasus kolelitiasis adalah kolesistitis akut.

SARAN

1. Perlu dilakukan analisis jenis batu empedu pada pasien kolelitiasis yang dilakukan kolesistektomi untuk pencegahan terhadap kekambuhan batu empedu bedasarkan jenis batu yang ditemukan. 2. Perlu dilakukan edukasi kepada pasien kolelitiasis mengenai faktor

risiko yang dapat diubah untuk mencegah kekambuhan terbentuknya batu empedu.

(18)

3. Perlu dilakukan perbaikan dalam sistem pancatatan, penyusunan, maupun penyimpanan rekam medik di RSU Dokter Soedarso Pontianak.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Ed ke-2. Jakarta: EGC; 2005.

2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed ke-7. Jakarta: EGC; 2007.

3. Henry V, Sebastian EB, Dietrich A, Wolfgang H, Christian S, Peter S, et al. Independent risk factors for gallstone formation in a region with high cholelithiasis prevalence. Digestion. 2005;71:97–105.

4. Everhart JE, Khare M, Hill M, Maurer KR. Prevalence and ethnic differences in gallbladder disease in the united states. Gastroenterology. 1999;117:632-639.

5. Jaraari AM, Jagannadharao P, Patil TN, Hai A, Awamu HA, Saeity SOE, et al. Quantitative analysis of gallstones in libyan patients. Libyan J Med. 2010;5:4627.

6. Aseefa G. Epidemiology of gallstone disease in gondar university hospital, as seen in the department of radiology. Ethiop. J. Health dev. 2008;22(2).

7. Raymond I. Akurasi pemeriksaan ultrasonografi dalam menegakkan diagnosis kolelitiasis pada pasien post kolekistektomi [tesis]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Fakultas Kedokteran; 2007. 8. Lesmana LA. Penyakit batu empedu. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi

B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar penyakit dalam. Jilid I, ed ke-5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal. 721-726.

9. Beckingham IJ. Gallstone disease. Abc of diseases of liver, pancreas, and biliary system. British Med. J. 2001;322:91-94.

10.Portincasa P, Moschetta A, Petruzzelli M, Palasciano G, Ciaula AD, Pezzolla A. Symptoms and diagnosis of gallblader stones. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006;20(6):1017-1029.

11.Müllhaupt B. Natural history and pathogenesis of gallstones. In: Clavien PA, Billie J, editors. Disease of the gallblader and bile ducts: diagnosis and treatment. Oxford: Blackwell Publishing Ltd; 2006. p. 219-228.

12.Rozany F. Gambaran pasien kolelitiasis di rsu dr. saiful anwar malang periode 1 Januari 2008-31 Desember 2008 [tesis]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang; 2010.

13.Heuman DM, Mihas A. Cholelithiasis [internet]. New York: emedicine; 2010 [diakses 25 Maret 2012]. Tersedia pada: http://www.emedicine.com/emerg/ Gastrointestinal/topic863.htm.

14.Bajwa N, Bajwa R, Ghumman A, Agrawal RM. The gallstone story: pathogenesis and epidemiology. Pract Gastroenterol. 2010;4:11-23.

(19)

15.Greenberger NJ, Isselbracher KJ. Desease of the gallbladder and bile ductus. In: Fauci AS, Kasper DL, Longo DL. Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al, editors. Harrison principle’s of internal medicine. 17th Ed. New York: McGraw Hills Companies; 2008. chap. 305.

16.Williams LS, Hopper PD. Understanding medical surgical nursing. 2nd ed. Philadelphia: FA Davis Company; 2003.

17.Guyton AC, Hall JE. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-11. Jakarta: EGC; 2007. hal. 843-846.

18.Shadid S, Jensen MD. Endocrine control of fuel partitioning. In: Eckel RH, editor. Obesity: mechanisms and clinical management. Philadelphia: Lippincott Willians & Walkins; 2003. chap. 7. p. 147-177. 19.Dhiman RK, Chawla YK. Is there a link between oestrogen therapy

and gallbladder disease? Expert Opin Drug Saf. 2006;5(1):117-29. 20.Shi JS, Ma JY, Zhu LH, Pan BR, Wang ZR, Ma LS. Studies on

gallstones in china. World J Gastroenterol. 2001;7(5):593-596.

21.Khan MK, Jalil MA, Khan SU. Pregnancy causing gallstone disease. Mymensingh Med J. 2008;17(2):91-6.

22.Pradhan SB, Joshi MR, Vaidya A. Prevalence of different type of gallstone in the patients with cholelithiasis at kathmadu medical collage, nepal. Kathmandu University Med J. 2009;7(3):286-271.

23.Festi D, Dormi A, Capodicasa S, Staniscia T, Attilli AF, Loria P et al. Incidence of gallstone disease in italy: results from multicenter, population-based italian study (the micol project). World J Gastroenterol. 2008;14(34):5282-5289.

24.Chari RS, Shah SA. Billiary system. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston textbook of surgery: the biological basis of modern surgical practice. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007. chap. 54.

25.Hunter JG, Oddsdottir M, Pham TH. Gallbladder and the extrahepatic biliary system. In: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al, editor. Schwartz’s principles of surgery. 9thed. New York: McGraw Hills Companies; 2010. chap. 32.

26.Nazer H. Cholestasis [internet]. New York: Emedicine; 2012 [diakses 3 Juli 2012]. Tersedia pada: http://emedicine.medscape.com/article/ 927624- overview#a0104.

27.Clements WDB, O’Rourke DM, Rowlands BJ, Ennis M. The role of mast cell activation on cholestatc pruritus. Inflammation Research. 1994;41 Suppl 1:C30-31.

Gambar

Tabel 1 Distribusi  pasien  kolelitiasis  berdasarkan  umur  di  RSU  Dokter Soedarso Pontianak periode Januari 2010-Desember  2011.
Tabel 4 Distribusi pasien kolelitiasis berdasarkan keluhan tambahan  di  RSU  Dokter  Soedarso  Pontianak  periode  Januari   2010-Desember 2011.

Referensi

Dokumen terkait

besar akan menghasilkan lebih banyak uap air dalam pr!duk pembakaran yang mana akan menurunkan adiabatic ame temperature.. • 5diabatic ame

Sedangkan metode kontrasepsi implan tidak diperbolehkan pada ibu3klien yang pernah menderita penyakit hepatitis, riwayat penyakit  jantung, hipertensi, diabetes,

Aksen, ornamen islam/Islamic Village kurang terlihat sudah terselessaikan dengan Melalui desain perancangan tempat penyimpanan tas ini yang memiliki konsep logo

PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI TINGKAT NASIONAL AKAN MENETAPKAN PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG SISTEM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR

Koefisien korelasi pada regresi linier sederhana bertujuan untuk menunjukkan dugaan tentang hubungan antara dua variabel atau lebih, yaitu dalam penelitian ini akan

Transaksi Rekening Gabungan harus dilakukan oleh kedua Nasabah pemilik Rekening Gabungan tersebut. Dalam hal salah satu Nasabah pemilik Rekening Gabungan meninggal

The increase mainly resulted from the expansion of oil palm plantations by about 13,800 ha, the on-going construction of a new refinery in South Kalimantan and

Bukankah mereka yang seharusnya membawa gereja kembali kepada semangat Reformed serta membangkitkan kesadaran orang Kristen untuk memelihara iman kepercayaan yang diturunkan kepada