• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Curah Hujan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Curah Hujan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Curah Hujan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Klimatologi adalah ilmu yang mencari gambaran dan penjelasan sifat iklim, mengapa iklim di berbagai tempat di bumi berbeda , dan bagaimana kaitan antara iklim dan dengan aktivitas manusia. Karena klimatologi memerlukan interpretasi dari data2 yang banyak dehingga memerlukan statistik dalam pengerjaannya, orang2 sering juga mengatakan klimatologi sebagai meteorologi statistik (Tjasyono, 2004)

Sejak tahun 1980an para pemerhati dan peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spatial maupun temporal, seperti peningkatan temperatur udara, evaporasi dan curah hujan. Menjadi hal sangat krusial mengetahui besaran anomali curah hujan yang akan terjadi pada masa datang di wilayah Indonesia dalam skala global menggunakan model prakiraan iklim yang dikembangkan berdasarkan keterkaitan proses antara atmosfer, laut, dan kutub dengan memperhatikan evolusi yang proporsional dari peningkatan konsentrasi CO2 di trophosfer.

Penelitian desk studi simulasi zonasi curah hujan untuk periode 1950-1979 dan periode 2010-2039 beserta anomalinya terutama untuk musim hujan (Maret sampai Oktober) dilaksanakan pada tahun 2002. Anomali zonasi curah hujan merupakan selisih kejadian hujan (mm) pada periode inisial (1950-1979) dengan periode berikutnya (2010-2039), dengan menggunkan model ARPEGE (Action de Recherche Petite Echelle Grande Echelle) Climat versi 3.0. Besaran curah hujan yang ditampilkan merupakan keadaan curah hujan rataan bulanan pada kedua periode tersebut. Koordinat yang dipilih berkisar antara 25° Lintang Utara dan Lintang Selatan serta berkisar 150° Bujur Timur.

Selain itu, dianalisis zonasi temperatur maksimal dan temperatur minimaluntuk ketinggian 2 m di atas permukaan tanah dan evaporasi (mm). Untuk melihat perubahan frekuensi kejadian hujan sepanjang tahun 1980 sampai 2000 pada kondisi lapang, dilakukan analisis frekuensi untuk parameter curah hujan dan temperatur pada dua periode pengamatan: periode 1980-1990 dan 1991-2000. Data iklim hasil pengamatan tersebut diperoleh dari stasiun klimatologi Tamanbogo, Lampung Tengah (105°05’ BT ; 5°22’ LS ; 20 m dpl) dan Genteng, Jawa Timur(114°13’ BT ; 8°22’ LS ; 168 m dpl).

Pada periode 2010-2039 diprakirakan akan terjadi peningkatan jumlah curah hujan di atas wilayah Indonesia, yang ditandai dengan perubahan zonasi wilayah hujan dengan anomali positip zona konveksi, peningkatan temperatur, dan evaporasi terutama pada zona konveksi tertinggi di sepanjang selat Malaka, Laut Banda, Laut Karimata, dan Laut Arafura. Perubahan kualitas dan kuantitas curah hujan, khususnya curah hujan 100-150 mm/hari secara signifikan (59% dan 100%) pada stasiun

(2)

sinoptik Tamanbogo dan Genteng telah terjadi pada periode 1991-2000. Langkah antisipasi limpahan curah hujan yang lebih besar dapat dilakukan secara serentak melalui pendekatan lingkungan dan kemasyarakatan. B. Tujuan

1. Mahasiswa mengetahui cara menentukan curah hujan disuatu wilayah

2. Mahasiswa mengetahui penggunaan alat pengukur curah hujan

BAB II DASAR TEORI

Curah hujan sebagai yang tercurah dari langit dan diukur oleh penakar hujan dengan luasan diameter tertentu merupakan kondisi air yang tercurah dalam suatu luasan tertentu. Dan untuk perhitungan kasar volume air yang jatuh dari langit dapat dihitung dengan mempertimbangkan luasan suatu daerah tertentu dikalikan dengan tinggi curah hujan yang terukur yang akan menghasilkan satuan volume air. Karena wilayah Indoneisa merupakan daerah tropis dengan intensitas hujan berbeda dari satu tempat ke tempat lain meskipun jaraknya sangat dekat (satuan kilometer), maka perhitungan besarnya intensitas hujan akan ditentukan oleh banyaknya penakar hujan. Dengan perhitungan secara hidrologis yang dikenal dengan planimetri akan dapat dihitung intensitas rata-rata dalam suatu kawasan. Hitungan ini umumnya digunakan untuk menghitung volume air hujan yang tercurah dari langit untuk kepentingan pembentukan embung dam atau waduk (Anonim, 2010).

Prinsip penakar hujan tipe Hellman yaitu air hujan yang jatuh pada mulut penakar masuk ke dalam silinder. Di dalam silinder kolektor ini terdapat sebuah pelampung penggerak tangkaipena. Goresan pena diterima oleh silindeer pias. Silinder kolektor mempunyai daya tampung maksimum 10 mm. Tepat pada saat kolektor penuh, maka air senilai 10 mm ini tercurah habis melalui pipa pembuangan. Bersamaan dengan ini pelampunmg turun ke dasar dan pena kembali ke titik nol pada skala pias. Penakar ini umumnya mencatat periode hujan harian sehingga untuk menghitungnya : (X x 10mm) + Y mm ( Sutiknjo, 2005 ).

A. Sistem Sirkulasi Umum Atmosfer dan Monsun di Indonesia

Benua Maritim Indonesia (BMI) merupakan wilayah yang unik di kawasan ekuatoria. Ramage5) menyebutkan bahwa wilayah Indonesia melepaskan banyak panas laten dan sebagai wilayah sumber bagi pembentukan sirkulasi Walker tropis bersamaan dengan sirkulasi Hadley.

Sirkulasi Walker merupakan pertemuan sirkulasi atmosfer zonal. Pada saat kondisi normal sirkulasi ini memusat di sekitar wilayah Indonesia seperti dikemukakan Tjasyono6). Sirkulasi atmosfer meridional terdiri atas dua sel, yaitu sel pada daerah antara ekuator dan lintang

(3)

sekitar 30° Lintng Utara atau Selatan disebut Sirkulasi Hadley dan satu sel tak langsung (indirect cel) pada lintang tinggi. Konvergensi sirkulasi Hadley yang menjadi monsun dari kedua belahan bumi utara dan selatan menyebabkan hujan lebat di Indonesia.

Monsun merupakan angin atau sistem sirkulasi udara yang berbalik arah secara musiman yang disebabkan oleh perbedaan sifat termal antara benua dan lautan. Sirkulasi monsun yang paling luas di dunia adalah terjadi di wilayah tropis Asia. Khrisnamurti7)menyatakan bahwa monsun Asia membentuk sirkulasi subsistem yang besar pada sirkulasi umum di atmosfer global. Monsun ini mengatur iklim di bagian Benua India yang menghasilkan adanya musim hangat basah dan musim dingin kering (lihat Holton dalam Berliana1).

Wilayah Indonesia sering dikaitkan dengan iklim Monsun karena terletak antara dua benua, Asia dan Australia, dan diantara dua lautan, Pasifik dan India. Oleh karena itu curah hujan di Indonesia dipengaruhi oleh Monsun yang digerakkan oleh adanya sel tekanan tinggi dan sel tekanan rendah di benua Asia dan Australia secara bergantian. Pada bulan-bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) pergerakan semu matahari berada 23.5°di Belahan Bumi Selatan (BBS), sehingga bertiup angin dari Utara menuju Selatan yang lebih dikenal dengan Monsun Barat. Enam bulan kemudian, tepatnya pada bulan-bulan Juni, Juli dan Agustus (JJA) berlaku sebaliknya, terjadi pergerakan massa udara dari Selatan menuju Utara yang lebih dikenal dengan Monsun Timur, sedangkan pada bulan-bulan lainnya diistilahkan dengan musim peralihan sebagaimana dijelaskan oleh Prawirowardoyo8).

B. Curah Hujan di Indonesia

Variabilitas iklim tahunan dan antar-tahunan di Indonesia cukup unik karena tidak sama untuk semua daerah dan berpengaruh pada pola cuaca dan curah hujannya (Haylock and 4 McBride dalam Aldrian ). Sementara Tjasyono6) menjelaskan bahwa pola monsunal, ITCZ (Inter Tropical Convergence Zone) dan konveksi troposfer (MJO) ialah beberapa pola cuaca yang kerap mewarnai dinamika daerah beriklim tropis khususnya Indonesia. Selain itu dengan interaksi daratan dan lautan serta topografi wilayah dalam skala lokal maka kajian iklim regional di berbagai daerah di Indonesia merupakan suatu proses awal untuk memahami pengaruh dari pola-pola cuaca tersebut baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Berbagai parameter cuaca yang diawali oleh radiasi matahari diteruskan dengan fluktuasi suhu sehingga mengakibatkan perbedaan tekanan diberbagai tempat menjadi pemicu pergerakan massa udara yang mengandung uap air dari siklus hidrologi, untuk kemudian mengalami proses-proses termodinamik sehingga dapat menjadi awan dan selanjutnya turun ke permukaan bumi sebagai hujan. Secara statistik curah hujan di wilayah beriklim tropis seperti Indonesia merupakan salah satuparameter yang dapat menggambarkan kondisi cuaca secara umum baik jangka pendek maupun jangka panjang.

(4)

C. Pola Curah Hujan

Menurut Tjasyono6), Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Hal ini didukung oleh Aldrian dan Susanto4).

1. Curah Hujan Pola Monsunal

Pola ini monsun dicirikan oleh tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan) dimana pada bulan Juni, Juli dan Agustus terjadi musim kering, sedangkan untuk bulan Desember, Januari dan Februari merupakan bulan basah. Sedangkan enam bulan sisanya merupakan periode peralihan atau pancaroba (tiga bulan peralihan musim kemarau ke musim hujan dan tiga bulan peralihan musim hujan ke musim kemarau). Daerah yang didominasi oleh pola monsun ini berada didaerah Sumatra bagian Selatan, Kalimantan Tengah dan Selatan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan sebagian Papua.

2. Curah Hujan Pola Ekuatorial

Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Daerahnya meliputi pulau Sumatra bagian tengah dan Utara serta pulau Kalimantan bagian Utara.

3. Curah Hujan Pola Lokal

Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Daerahnya hanya meliputi daerah Maluku, Sulawesi dan sebagian Papua.

BAB III PEMBAHASAN A. Pengertian Hujan

Hujan adalah titik-titik air di udara atau awan yang sudah terlalu berat karena kandungan airnya sudah sangat banyak, sehingga akan jatuh kembali ke permukaan bumi sebagai hujan (presipitasi). Alat untuk mengukur curah hujan adalah fluviometer. Garis khayal di peta yang menghubungkan tempat-tempat yang mendapatkan curah hujan yang sama disebut isohyet.

B. Jenis-Jenis Hujan

Ada banyak sekali jenis jenis hujan, semua itu tergantung dari sudut apa kita memandang nya.

1. Berdasarkan proses terjadinya

a. Hujan Orografis

Hujan orografis adalah hujan yang terjadi karena gerakan udara yang mengandung uap air terhalang oleh pegunungan sehingga massa udara itu dipaksa naik ke lereng pegunungan. Akibatnya suhu udara tersebut menjadi dingin. Sampai ketinggian tertentu terjadi proses kondensasi dan

(5)

terbentuklan awan. Selanjutnya terjadilah hujan yang disebut hujan orografis.

b. Hujan Konveksi (Zenithal)

Hujan konveksi terjadi karena udara yang mengandung uap air bergerak naik secara vertikal (konveksi) karena pemanasan. Udara yang naik itu mengalami penurunan suhu, sehingga pada ketinggian tertentu terjadi proses kondensasi dan pembentukan awan. Setelah awan tersebut tidak mampu lagi menahan kumpulan titik-titik airnya, maka terjadilah hujan konveksi (zenithal). Hujan konveksi banyak terjadi di daerah tropis yang mempunyai intensitas penyinaran matahari yang selalu tinggi.

c. Hujan Frontal

Hujan frontal adalah hujan yang terjadi karena adanya pertemuan antara massa udara panas dengan massa udara dingin. Pada pertemuan udara panas dan dingin terjadilah bidang front dimana terjadi kondensasi dan pembentukan awan. Udara yang panas selalu berada di atas udara yang dingin. Hujan frontal biasanya terjadi di daerah lintang sedang atau pertengahan.

d. Hujan Siklon Tropis

Siklon tropis hanya dapat timbul didaerah tropis antara lintang 0°-10° lintang utara dan selatan dan tidak berkaitan dengan front, karena siklon ini berkaitan dengan sistem tekanan rendah. Siklon tropis dapat timbul dilautan yang panas, karena energi utamanya diambil dari panas laten yang terkandung dari uap air. Siklon tropis akan mengakibatkan cuaca yang buruk dan hujan yang lebat pada daerah yang dilaluinya.

e. Hujan Buatan

Sering kali kebutuhan air tidak dapat dipenuhi dari hujan alami. Maka orang menciptakan suatu teknik untuk menambah curah hujan dengan memberikan perlakuan pada awan. Perlakuan ini dinamakan hujan buatan (rain-making), atau sering pula dinamakan penyemaian awan (cloud-seeding).

Hujan buatan adalah usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang dapat diubah meliputi proses tumbukan dan penggabungan (collision dan coalescense), proses pembentukan es (ice nucleation). Jadi jelas bahwa hujan buatan sebenarnya tidak menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Untuk menerapkan usaha hujan buatan diperlukan tersedianya awan yang mempunyai kandungan air yang cukup, sehingga dapat terjadi hujan yang sampai ke tanah. Bahan yang dipakai dalam hujan buatan dinamakan bahan semai.

2. Jenis-jenis hujan berdasarkan ukuran butirnya

a. Hujan gerimis / drizzle, diameter butirannya kurang dari 0,5 mm

b. Hujan salju, terdiri dari kristal-kristal es yang suhunya berada dibawah 0°

Celsius

c. Hujan batu es, curahan batu es yang turun dalam cuaca panas dari awan

(6)

d. Hujan deras / rain, curahan air yang turun dari awan dengan suhu diatas

0° Celsius dengan diameter ±7 mm.

3. Jenis-Jenis Hujan Berdasarkan Besarnya Curah Hujan (Definisi BMKG)

a. Hujan sedang, 20 – 50 mm per hari

b. Hujan lebat, 50-100 mm per hari

c. Hujan sangat lebat, di atas 100 mm per hari

4. Penjelasan Jenis-Jenis Hujan Berdasarkan Terjadinya

a. Hujan siklonal, yaitu hujan yang terjadi karena udara panas yang naik

disertai dengan angin berputar.

b. Hujan Zenithal, yaitu hujan yang sering terjadi di daerah sekitar

ekuator, akibat pertemuan Angin Pasat Timur Laut dengan Angin Pasat Tenggara. Kemudian angin tersebut naik dan membentuk gumpalan-gumpala Untuk kepentingan kajian atau praktis, hujan dibedakan menurut terjadinya, ukuran butirannya, atau curah hujannya. awan di sekitar ekuator yang berakibat awan menjadi jenuh dan turunlah hujan.

c. Hujan Orografis, yaitu hujan yang terjadi karena angin yang

mengandung uap air yang bergerak horisontal. Angin tersebut naik menuju pegunungan, suhu udara menjadi dingin sehingga terjadi kondensasi. Terjadilah hujan di sekitar pegunungan.

d. Hujan Frontal, yaitu hujan yang terjadi apabila massa udara yang dingin

bertemu dengan massa udara yang panas. Tempat pertemuan antara kedua massa itu disebut bidang front. Karena lebih berat massa udara dingin lebih berada di bawah. Di sekitar bidang front inilah sering terjadi hujan lebat yang disebut hujan frontal.

e. Hujan Muson, atau hujan musiman, yaitu hujan yang terjadi karena

Angin Musim (Angin Muson). Penyebab terjadinya Angin Muson adalah karena adanya pergerakan semu tahunan Matahari antara Garis Balik Utara dan Garis Balik Selatan. Di Indonesia, hujan muson terjadi bulan Oktober sampai April. Sementara di kawasan Asia Timur terjadi bulan Mei sampai Agustus. Siklus muson inilah yang menyebabkan adanya musim penghujan dan musim kemarau.

f. Hujan Asam, juga bisa diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH

di bawah 5,6. Hujan secara alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang.

g. Hujan Meteor, Perseid bisa di lihat saat matahari terbenam dan Venus,

Saturnus, Mars serta bulan sabit muncul dari barat secara bersamaan. Saat itulah hujan meteor terjadi. Nama Perseid berasal dari nama Rasi bintang Perseus karena hujan meteor ini seolah-olah berasal dari arah rasi bintang itu. Kecepatan meteor tersebut kira-kira 60 kilometer per jam, dan memiliki kilatan meteor yang terang dengan cahaya yang panjangHujan

(7)

meteor terkadang menawarkan keindahan lain. Tak cuma siraman bintang jauh yang akan menghiasi langit malam, fireball juga bisa muncul sewaktu-waktu. Fireball itu sendiri adalah sebuah cahaya yang besar dan terang yang jatuh diantara hujan Meteor.

Adakalanya di daerah tropis terjadi hujan es. Proses terjadinya dimana suatu daerah mendapat pemanasan sinar matahari yang sangat tinggi, sehingga udara yang mengandung uap air naik secara konveksi, dan terjadilah proses kondensasi dan pembentukan awan. Setelah kondensasi udara masih tetap naik, sehingga titik-titik air yang dikandung oleh udara tersebut sangat dingin sampai di bawah titik beku (0 derajat Celcius). Akibatnya titik-titik air tersebut menjadi beku dan pada saat terjadi hujan disertai dengan kristal es.

C. Proses Terjadinya Hujan

Bumi kita terdiri atas dua per tiga air. Air ada dimana-mana, di samudra, lautan sungai, kali, parit, bak mandi, bahkan di tubuh kita. Air ini akan mengalami penguapan oleh sinar matahari.

Hujan merupakan satu bentuk presipitasi yang berwujud cairan. Presipitasi sendiri dapat berwujud padat (misalnya salju dan hujan es) atau aerosol (seperti embun dan kabut). Hujan terbentuk apabila titik air yang terpisah jatuh ke bumi dari awan. Tidak semua air hujan sampai ke permukaan bumi karena sebagian menguap ketika jatuh melalui udara kering. Hujan jenis ini disebut sebagai virga.

Hujan memainkan peranan penting dalam siklus hidrologi. Lembaban dari laut menguap, berubah menjadi awan, terkumpul menjadi awan mendung, lalu turun kembali ke bumi sebagi hujan, dan akhirnya kembali ke laut melalui sungai dan anak sungai untuk mengulangi daur ulang itu semula.

Dua per tiga dari bumi kita ini mengandung air dan sisanya adalah daratan. Air itu tersimpan dalam banyak wadah seperti samudera, lautan, sungai dan danau. Air yang terdapat di berbagai wadah tersebut akan mengalami penguapan atau evaporasi dengan bantuan matahari. Air yang ada di daun tumbuhan ataupun permukaan tanah. Proses penguapan air dari tumbuh-tumbuhan itu dinamakan transpirasi. Kemudian uap-uap air tersebut akan mengalami proses kondensasi atau pemadatan yang akhirnya menjadi awan. Awan-awan itu akan bergerak ke tempat yang berbeda dengan bantuan hembusan angin baik secara vertikal maupun horizontal. Gerakan angin vertikal ke atas menyebabkan awan bergumpal. Gerakan angin tersebut menyebabkan gumpalan awan semakin membesar dan saling bertindih-tindih. Akhirnya gumpalan awan berhasil mencapai atmosfer yang bersuhu lebih dingin. Di sinilah butiran-butiran air dan es mulai terbentuk. Lama-kelamaan angin tidak dapat lagi menopang beratnya awan dan akhirnya awan yang sudah berisi air ini mengalami presipitasi atau proses jatuhnya hujan air, hujan es dan sebagainya ke bumi. Seperti itulah proses terjadinya hujan.

(8)

Ada dua teori pembentukan hujan yaitu teori bergeron dan teori tumbukan dan penyatuan.

a. Teori Bergeron

Teori ini berlaku untuk awan dingin (di bawah 0 0C) yang terdiri dari kristal es dan air lewat dingin (air yang suhunya di bawah 0 0C tapi belum membeku). Peristiwa ini sering terjadi pada awan cumulus yang tumbuh menjadi cumulonimbus dengan puncak awan berada dibawah titik beku.

b. Teori Tumbukan dan Penyatuan

Menurut teori ini, butir-butir awan hanya terjadi dari air. Hujan terjadi berdasarkan perbedaan kecepatan jatuh antara butir-butir curah hujan yang berbeda ukurannya. Butir air yang lebih besar akan memiliki kecepatan jatuh lebih cepat daripada butir-butir kecil. Banyak terjadi di daerah tropis yang berawan panas dengan perkembangan yang cepat.

Di Indonesia kita mengalami dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Musim hujan biasa terjadi pada bulan Oktober sampai Maret, sedangkan musim kemarau terjadi pa bulan April sampai Oktober. Tapi entah kenapa hujan terjadi bulan ini ya, ga berhenti-berhenti pula. Musim yang aneh.

1. Pengaruh Curah Hujan terhadap Vegetasi Alam di Indonesia

Curah hujan sebagai unsur utama iklim memengaruhi vegetasi alam yang tumbuh di indonesia. Wilayah Indonesia yang terletak antara 5o LU-11o LS atau beriklim tropis memiliki curah hujan tinggi (> 2.000 mm) dalam setahun dan suhu udara tahunan rata-rata sekitar 28o. Keadaan ini menjadikan vegetasi alam yang tumbuh berupa hutan tropis.

Jenis hutan tropis yang tumbuh di Indonesia didominasi oleh hutan hujan tropis (tropical rainforest). Selain itu terdapat juga hutan monsun tropis (tropical monsun forest) dan Hutan Magrove (magrove forest). Hutan magrove banyak tumbuh di sepanjang pantai, delta, muara, dan sungai.

2. Persebaran Vegetasi

Iklim yang berbeda-beda diseluruh permukaan bumi berpengaruh terhadap jenis vegetasinya. Iklim berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah sebagai tempat tumbuh bagi setiap vegetasi. Vegetasi yang tumbuh di daerah tropis akan berbeda dengan vegetasi yang tumbuh di daerah subtropis, gurun atau daerah kutub.

Namun, terdapat interaksi anatara jenis vegetasi dan pola iklim sehingga terdapat klasifikasi iklim yang didasarkan pada vegetasi. Vegetasi dianggap peka terhadap kondisi iklim, misalnya pemanasan, kelembapan, dan penyinaran matahari.

Iklim tidak hanya mempengaruhi vegetasi, tetapi sebaliknya iklim juga di pengaruhi vegetasi. Misalnya hutan yang lebat dapat menambah jumlah kelembapan udara melalui tranpirasi. Banyangan vegetasi ke Bumi karena sinar matahari dapat mengurangi temperatur udara sehingga

(9)

penguapannya menjadi kecil. Persebaran vegetasi berdasarkan pola iklim di Dunia yaitu:

a. Hutan hujan tropis merupakan vegetasi yang tumbuh yang sangat subur

di permukaan bumi.

b. Hutan Gugur terdapat didaerah beriklim sedang.

c. Savana atau padang Rumput yang ditumbuhi pohon-pohon yang

berserakan atau bergerombol terbentang dari daerah tropika sampai ke daerah subtropika yang curah hujannya tidak cukup untuk perkembangan hutan.

d. Padang Lumut merupakan jenis vegetasi yang banyak di jumpai didaerah

beriklim kutub. D. Distribusi Hujan

Hujan merupakan unsur iklim yang paling penting di Indonesia karena keragamannnya sangat tinggi baik menurut waktu maupun menurut tempat. Oleh karena itu kajian tentang iklim lebih banyak diarahkan pada hujan. Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga (Boerema, 1938), yaitu pola Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal.

Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan berikutnya rendah (bisanya disebut musim kemarau). Secara umum musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret.

Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson.

Curah hujan diukur dalam satuan milimeter (mm). Pengukuran curah hujan dilakukan melalui alat yang disebut penakar curah hujan dan diukur setiap jam 07 pagi waktu setempat.

E. Faktor Yang Mempengaruhi Curah Hujan

Sebagai salah satu kawasan tropis yang unik dinamika atmosfernya dimana banyak dipengaruhi oleh kehadiran angin pasat, angin monsunal, iklim maritim dan pengaruh berbagai kondisi lokal, maka cuaca dan iklim di Indonesia diduga memiliki karakteristik khusus yang hingga kini mekanisme proses pembentukannya belum diketahui banyak orang. Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa fenomena, antara lain sistem Monsun Asia-Australia, El-Nino, sirkulasi Timur-Barat (Walker Circulation) dan sirkulasi Utara-Selatan Universitas Sumatera Utara(Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi karena pengaruh local (McBride, 2002 dalam Hermawan, E.2007).

(10)

Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan merupakan suatu bagian chaotic dari variabilitas monsun (Ferranti 1997 dalam Aldrian 2003). Monsun dan pergerakan ITCZ (Intertropical Convergence Zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan semi tahunan di Indonesia (Aldrian, 2003), sedangkan fenomena El-Nino dan Dipole Mode berkaitan dengan variasi curah hujan antartahunan di Indonesia.

Indonesia dikenal sebagai satu kawasan benua maritim karena sebagian besar wilayahnya didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua Samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Oleh karena itu elemen (unsur) iklimnya terutama curah hujan memungkinkan dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut (SPL) di sekitarnya. Salah satu fenomena yang dicirikan oleh adanya suatu perubahan SPL yang kemudian mempengaruhi curah hujan di Indonesia adalah fenomena yang terjadi di Samudera Hindia yang dikenal dengan istilah Dipole Mode (DM) yang tidak lain merupakan fenomena couple antara atmosfer dan laut yang ditandai dengan perbedaan anomali dua kutub Suhu Permukaan Laut ( SPL) di Samudera Hindia tropis bagian timur (perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia tropis bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur Benua Afrika).

Pada saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada di bagian timurnya, maka terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat. Sedangkan di Indonesia mengalami Universitas Sumatera Utarapenurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan kekeringan, kejadian ini biasa dikenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai DM (-) (Ashok et al., 2001 Hermawan, E.2007). Hasil kajian yang dilakukan Saji. et al (2001 Hermawan, E.2007) menunjukkan adanya hubungan antara fenomena DM dengan curah hujan yang terjadi di atas Sumatera bagian Selatan sebesar -0,81. Selain itu, Banu (2003 Hermawan, E.2007) juga telah mengkaji adanya pengaruh DM terhadap curah hujan di BMI (Benua Maritim Indonesia) dan Gusmira (2005 Hermawan, E.2007) yang mengkaji dampak DM terhadap angin zonal dan curah hujan di Sumatera Barat. Seperti halnya di Sumatera Barat, analisis keterkaitan kejadian DM terhadap perilaku curah hujan yang tersebar di beberapa stasiun penakar curah hujan yang ada di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Dengan menggunakan lebih banyak data stasiun untuk kedua kawasan tersebut, diharapkan dapat dianalisis keadaan curah hujan di kawasan tersebut yang mewakili curah hujan sebenarnya terutama yang terjadi pada saat kejadian DM.

Untuk memprediksi kecenderungan yang akan terjadi pada periode mendatang adalah melihat tiga kemungkinan kejadian yaitu kondisi normal, ada El Nino atau kah muncul La Nina. Ada dua cara yang dapat dilakukan, pertama melihat prediksi anomali suhu muka laut (Sea Surface Temperatur Anomaly (SSTA)) Kriteria pada tabel 2.1 dan melihat Indeks

(11)

Osilasi Selatan (Southern Ocilation Indeks (SOI)) dengan Tabel 2.2 yakni melihat nilai beda tekanan atmosfer antara Tahiti dan Darwin.

Osilasi Selatan pada dasarnya adalah peristiwa atmosfer berskala besar yang didefenisikan sebagai fluktuasi tekanan udara di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Bila tekanan udara di Samudera Pasifik tinggi maka tekanan udara di daerah Samudera Hindia dari Afrika sampai Australia akan rendah dan begitu pula sebaliknya.

Keadaan ini berhubungan dengan suhu yang rendah di kedua daerah tersebut. Gejala ini diamati oleh Walker (1904) melalui pengamatan terhadap perilaku parameter atmosfer dan menemukan suatu gelombang tekanan berperiode panjang diantara India dan Australia dengan kawasan Amerika Selatan. Karena mempunyai gerak yang berosilasi maka Walker (1904) menyebutnya dengan Osilasi Selatan. Peristiwa Osilasi Selatan ini terjadi karena adanya pertukaran massa udara antara belahan bumi utara dan selatan di daerah tropik dan subtropik.

F. Jenis Alat Pengukur Curah Hujan

Hingga saat ini terdapat beberapa cara untuk mengukur curah hujan, mulai dari cara yang sederhana hingga cara yang kompleks.

(12)

Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai dengan tingkat kesulitan dan ketelitian yang dihasilkan cara tersebut.

Presipitasi/hujan adalah suatu endapan dalam bentuk padat/cair hasil dari proses kondensasi uap air di udara yang jatuh kepermukaan bumi Satuan ukur untuk presipitasi adalah Inch, millimetres (volume/area), atau kg/m2 (mass/area) untuk precipitation bentuk cair. 1 mm hujan artinya adalah ketinggian air hujan dalam radius 1 m2 adalah setinggi 1 mm, apabila air hujan tersebut tidak mengalir, meresap atau menguap. Pengukuran curah hujan harian sedapat mungkin dibaca/dilaporkan dalam skala ukur 0.2 mm (apabila memungkinkan menggunakan resolusi 0.1 mm). Prinsip kerja alat pengukur curah hujan antara lain : pengukur curah hujan biasa (observariaum) curah hujan yang jatuh diukur tiap hari dalam kurun waktu 24 jam yang dilaksanakan setiap pukul 00.00 GMT, pengukur curah hujan otomatis melakukan pengukuran curah hujan selama 24 jam dengan merekam jejak.

1. Alat Pengukur Curah Hujan Manual

Alat ini lebih dikenal dengan dengan nama Penakar Hujan OBS atau Penakar Hujan Manual, sedang di kalangan pertanian dan pengairan biasa disebut ombrometer. Sebuah alat yang digunakan untuk menakar atau mengukur hujan harian.

Penakar Hujan Obs ini merupakan jejaring alat ukur cuaca terbanyak di Indonesia. Penempatannya 1 PH Obs mewakili luasan area 50 km2 atau sampai radius 5 km. Fungsinya yang vital terhadap deteksi awal musim (Hujan/kemarau) menjadikannya sebagai barang yang dicari dan sangat diperlukan oleh penyuluh, P3A dan kelompok tani yang tersebar keberadaannya dll. Bahan yang digunakan adalah semurah dan semudah mendapatkannya. Tujuan akhir pengukuran curah hujan adalah tinggi air yang tertampung, bukan volumenya. Hujan yang turun jika diasumsikan menyebar merata, homogen dan menjatuhi wadah (kaleng) dengan penampang yang berbeda akan memiliki tinggi yang sama dengan catatan faktor menguap, mengalir dan meresap tidak ada.

Spesifikasi :

a. Type : Observasi (OBS)

b. Bahan :

1) Ring corong, ring pipa dan kran terbuat dari kuningan.

2) Badan terbuat dari seng kualitas baik dengan ketebalan

3) 0.8 mm atau stainless steel (DOP) ketebalan 0.5 mm.

4) Seluruh badan (kecuali ring corong) dicat luar dalam dengan cat anti karat

warna bronce-metallic.

5) Dilengkapi dengan water pass.

6) Luas corong : 100 cm2

7) Diameter badan terlebar : 21.5 cm

8) Tinggi badan : 60 cm

Menggunakan prinsip pembagian antara volume air hujan yang ditampung lalu dibagi luas penampang/mulut penakar. Pengukuran curah

(13)

hujan harian (dalam satuan milimeter) biasanya dilakukan 1 kali pada pagi hari. Alat yang digunakan yaitu Observatorium / ombrometer dengan tinggi 120 cm, luas mulut penakar 100 cm2. Setelah dilakukan pengukuran maka didapatkan:

Tinggi Curah Hujan = Volume

Luas mulut penakar... Persamaan (2.1)

(Contoh jika didapatkan 200 ml atau 200 cc maka CH = 200 cm3/ 100 cm2

= 2 cm = 20 mm).

2. Alat Pengukur Curah Hujan Otomatis

Penakar hujan jenis Hellman merupakan suatu instrument/alat untuk mengukur curah hujan. Penakar hujan jenis hellman ini merupakan suatu alat penakar hujan berjenis recording atau dapat mencatat sendiri.Alat ini dipakai di stasiun-stasiun pengamatan udara permukaan.Pengamatan dengan menggunakan alat ini dilakukan setiap hari pada jam-jam tertentu mekipun cuaca dalam keadaan baik/hari sedang cerah.Alat ini mencatat jumlah curah hujan yang terkumpul dalam bentuk garis vertical yang tercatat pada kertas pias. Alat ini memerlukan perawatan yang cukup intensif untuk menghindari kerusakan-kerusakan yang sering terjadi pada alat ini.

Curah hujan merupakan salah satu parameter cuaca yang mana datanya sangat penting diperoleh untuk kepentingan BMG dan masyarakat yang memerlukan data curah hujan tersebut.Hujan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan manusia,karena dapat memperlancar atau malah menghambat kegiatan manusia.Oleh karena itu kualitas data curah hujan yang didapat haruslah bermutu;memiliki keakuratan yang tinggi.Maka seorang observer / pengamat haruslah mengetahui tentang alat penakar hujan yang dipakai di stasiun pengamat secara baik. Salah satu alat penakar hujan yang sering dipakai ialah Penakar hujan jenis hellman.

Penakar hujan jenis hellman beserta bagian-bagiannya keterangan gambar :

a. Bibir atau mulut corong

b. Lebar corong

c. Tempat kunci atau gembok

d. Tangki pelampung

e. Silinder jam tempat meletakkan pias

f. Tangki pena

g. Tabung tempat pelampung

h. Pelampung

i. Pintu penakar hujan

j. Alat penyimpan data

k. Alat pengatur tinggi rendah selang gelas (siphon)

l. Selang gelas

(14)

n. Panci pengumpul air hujan bervolume

Menggunakan prinsip pelampung, timbangan dan jungkitan. Contoh alat pengukur yang terdapat saat ini yaitu Hellman dan Tipping-bucket gauge.Alat ukur otomatis memiliki beberapa keuntungan diantaranya hasil yang didapat memiliki tingkat ketelitian yang cukup tinggi, juga dapat mengetahui waktu kejadian dan integritas hujan dengan periode pencatatan dapat lebih dari sehari karena menggunakan kertas pias. Haryoko, Urip. 2011.

3. Cara Kerja Alat

Jika hujan turun, air hujan masuk melalui corong, kemudian terkumpul dalam tabung tempat pelampung. Air hujan ini menyebabkan pelampung serta tangkainya terangkat atau naik keatas. Pada tangkai pelampung terdapat tongkat pena yang gerakkannya selalu mengikuti tangkai pelampung Gerakkan pena dicatat pada pias yang ditakkan/digulung pada silinder jam yang dapat berputar dengan bantuan tenaga per.

Jika air dalam tabung hampir penuh (dapat dilihat pada lengkungan selang gelas), pena akan mencapai tempat teratas pada pias.Setelah air mencapai atau melewati puncak lengkungan selang gelas,maka berdasarkan sistem siphon otomatis (sistem selang air),air dalam tabung akan keluar sampai ketinggian ujung selang dalam tabung.Bersamaan dengan keluarnya air,tangki pelampung dan pena turun dan pencatatannya pada pias merupakan garis lurus vertikal.Jika hujan masih terus-menerus turun,maka pelampung akan naik kembali seperti diatas.Dengan demikian jumlah curah hujan dapat dihitung atau ditentukan dengan menghitung garis-garis vertical.

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan diatas adalah sebagai berikut:

1. Alat yang dapat digunakan untuk mengukur curah hujan adalah penakar

hujan otomatis.

2. Dengan mengetahui anemometer dan penakar curah hujan otomatis kita

bisa memprakirakan keadaan yang tepat untuk masa tanam suatu jenis tanaman.

3. Masing-masing alat memiliki cara kerja masing-masing. Bentuk dan

pemasangan masing-masing alat juga berbeda-beda.

B. Saran

Dengan selesainya makalah ini, penulis memiliki harapan dan memputuhkan saran dan kritik dari para pembaca dari makalah ini agar dapat mengambil manfaat dari isi makalah ini. Semoga dapat bermanfaat dan membantu proses pembelajaran.

(15)

http://artikeldanmakalah-agusra.blogspot.com/2011/06/curah-hujan.html http://blog-pengetahuan-umum.blogspot.com/2011/11/curah-hujan-pengertian -hujan-dan - jenis.html http://id.scribd.com/doc/169554799/Makalah-Alat-Ukur-Curah-Hujan http://ilmuanggaputra.blogspot.com/2013/03/jenis-hujan-dan-alat-ukur-hujan.html http://kuliahmesya.blogspot.com/2012/03/iklim-dan-curah-hujan.html http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-01142-SK %20Bab2001.pdf http://misbahrobbani.blogspot.com/2013/01/makalah-agroklimatologi pengukuran_1376.html http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19244/4/Chapter%20II.pdf http://www.bmkg.go.id/Puslitbang/filePDF/Dokumen_169_Volume_11_Nom or_2 November_ 2010_Pengelompokkan_Pola_Curah_Hujan_yang_Terjadi_di_Beberapa_Kaw asan P Sumatera_Berbasis_Hasil_Analisis_Teknik_Spektral.pdf

Referensi

Dokumen terkait

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sensor solarimeter sebagai pengukur radiasi matahari, sangkar cuaca sebagai pengukur suhu udara, dan bidang

Kondisi lingkungan tropis Indonesia yang kaya akan intensitas radiasi matahari apabila tidak ditangkal dengan benar dapat mengakibatkan laju peningkatan suhu udara,

Pengukuran meliputi kondisi cuaca sekitar greenhouse dan iklim mikro di dalam greenhouse, yaitu meliputi pengukuran radiasi matahari (W/m 2 ), suhu udara di dalam dan suhu

Berdasarkan keadaan cuaca yang tidak menentu, yang mengakibatkan pergeseran pola tanam di daerah Lombok Tengah bagian Selatan dan Lombok Timur bagian Selatan,

Hal ini berarti 32,6% faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan di kota Me- dan dapat dijelaskan oleh variabel tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan suhu

Hal ini berarti 32,6% faktor-faktor yang mempengaruhi curah hujan di kota Me- dan dapat dijelaskan oleh variabel tekanan udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan suhu

Kegiatan pengukuran tingkat curah hujan ini telah dilakukan secara rutin setiap hari dan hasilnya merupakan salah satu parameter yang diduga mempengaruhi fluktuasi radioaktivitas

Arduino Uno dan WebServer ThingSpeak dimana dengan alat ukur ini parameter-parameter solar panel seperti parameter masukan berupa radiasi matahari, suhu ambient lingkungan dan