• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

6

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Penelitian yang Relevan 1. Hakikat Penokohan

a. Pengertian Penokohan

Aminuddin (2010: 79) menyatakan bahwa tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut dengan penokohan. Wahyuningtyas (2011:3) mengemukakan bahwa tokoh menunjuk orang sebagai pelaku cerita. Sedangkan menurut Hastuti (2010:89) tokoh dalam sebuah novel adalah alat bagi seorang pengarang untuk menyampaikan ide cerita yang diinginkan.

Penokohan melukisan tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Di dalam sebuah cerita, tokoh atau pelaku berperan penting dalam menunjang sebuah cerita. Setiap tokoh dalam cerita memiliki peran yang berbeda-beda. Utomo (2012: 118) menyatakan bahwa penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik dalam keadaan lahir maupun batin yang dapat berupa pandangan hidup, sikap, keyakinan, dan adat istiadat tokoh yang bersangkutan. Sedangkan Minderop (2005:95) berpendapat bahwa perwatakan adalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh di dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku atau kebiasaan, tetapi juga penampilan.

Aminuddin (2011:79) menegaskan bahwa penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku. Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2002: 165) penokohan diartikan sebagai gambaran yang jelas antara seseorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(2)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah gambaran tokoh yang ditampilkan oleh pengarang dalam sebuah cerita. Tokoh merujuk pada orang atau pelaku dalam cerita sedangkan penokohan merujuk pada tokoh beserta watak dalam cerita. Jadi, penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh.

b. Jenis-jenis Tokoh

Menurut Waluyo (2011: 19), tokoh yang menyebabkan konflik disebut tokoh protagonis dan antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang mendukung jalannya cerita sebagai tokoh yang mendatangkan simpati atau tokoh baik. tokoh antagonis adalah tokoh yang menentang arus cerita atau yang menimbulkan perasaan antipati atau benci pada diri pembaca.

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, Nurgiyantoro (2005:176) membagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut. 1) Tokoh utama cerita (central character, main character) adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita, dan

2) Tokoh tambahan (peripheral character) adalah tokoh yang dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang lebih pendek.

c. Teknik Penggambaran Tokoh

Penggambaran watak tokoh yang baik adalah penggambaran watak yang wajar, dapat dipertanggungjawabkan secara nalar baik dari dimensi psikologis, sosiologis, maupun fisiologis. Menurut Waluyo (2011:21) watak tokoh memiliki sifat dan karakteristik yang dapat dirumuskan ke dalam tiga dimensi. Tiga dimensi yang dimaksud adalah dimensi psikologis, dimensi sosiologis, dan dimensi fisiologis. Dimensi psikologis meliputi latar belakang kejiwaan yang memiliki ukuran mentalitas, moral untuk membedakan mana yang baik dan buruk, tempramen, kecerdasan, tingkah laku, keinginan, IQ, keahlian khusus dalam satu bidang dalam ciri psikologis yang lain. Dimensi sosiologis meliputi ciri atau pola kehidupan sosial yang digambarkan seperti status, pekerjaan, jabatan, peranan dalam masyarakat serta tingkat

(3)

pendidikan, penghasilan, pendangan hidup, agama, dan ciri sosial yang mampu memberi nilai lebih terhadap dimensi ini. Dimensi fisiologis merupakan ciri fisik seperti usia yang menggambarkan kedewasaan, jenis kelamin, keadaan tubuh, dan ciri fisik yang khas yang menguatkan karakter tokoh.

Aminuddin (2010: 80-81) membagi beberapa cara memahami watak tokoh. Cara itu adalah melalui (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbicara tentangnya, (7) melihat tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimanakah tokoh-tokoh yang lain itu memberi reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lainnya.

Nurgiyantoro (2005: 194) membedakan dua teknik atau cara untuk melukiskan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku tokoh, yaitu: (1) teknik ekspositori (expository) dan; (2) teknik dramatik (dramatic). Teknik ekspositori adalah pelukisan watak tokoh cerita dengan memberikan deskripsi, uraian atau penjelasan secara langsung . Artinya, tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit, melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi kediriannya, yang mungkin berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan juga ciri fisiknya. Teknik dramatik pelukisan watak tokoh seperti yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sikap, sifat, serta tingkah laku. Hal ini mengharuskan pembaca untuk menebak watak tokoh.

Menurut Minderop (2005:6) metode karakterisasi tokoh ada dua, yakni metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing). Metode langsung atau direct method (telling) mencakup (1) karakterisasi melalui penggunaan nama tokoh (2) karakterisasi melalui penampilan tokoh,

(4)

dan (3) karakterisasi melalui tuturan pengarang. Metode tidak langsung (showing) mencakup; (1) karakterisasi melalui dialog; (2) lokalisasi dan situasi percakapan; (3) jatidiri tokoh yang dituju penutur; (4) kualitas mental pra tokoh; (5) nada suara, tekanan, dialek, dan kosakata; (6) karakterisasi melalui tindakan para tokoh.

Suroto (1989: 93-94) mengemukakan bahwa terdapat tiga macam cara untuk menggambarkan watak para tokoh. (1) Secara analitik, pengarang menjelaskan atau menceritakan secara terinci watak tokoh-tokohnya. (2) Secara dramatik, di sini pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokoh-tokohnya, tetapi menggambarkan watak tokoh-tokohnya dengan cara; (a) melukiskan tempat atau lingkungan sang tokoh; (b) pengarang mengemukakan atau menampilkan dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain; (c) pengarang menceritakan perbuatan tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. (3) Gabungan cara analitik dan dramatik, penjelasan dan dramatik saling melengkapi.

Teknik penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (1966: 56) dalam Wahyuningtyas (2011: 4) adalah sebagai berikut.

1) Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, dan penjelasan secara langsung.

2) Secara dramatik, pengarang tidak langsung mendeskripsikan sifat, sikap, dan tingkah laku tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu:

a) Teknik cakapan, yaitu percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. b) Teknik tingkah laku, yaitu teknik untuk menunjukkan tingkah laku

verbal yang berwujud kata-kata para tokoh, teknik tingkah laku yang menyaran pada tindakan non verbal atau fisik.

c) Teknik pikiran dan perasaan, yaitu teknik penuturan untuk menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.

d) Teknik arus kesadaran, yaitu teknik yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh dimana tanggapan indera

(5)

bercampur dengan kesadaran dan ketaksadaran pikiran, perasaan, ingatan, harapan, serta asosiasi-asosiasi acak.

e) Teknik reaksi tokoh, yaitu teknik terhadap reaksi tokoh terhadap suatu kejadian, masalah, keadaan, kata, dan sikap (tingkah laku) orang lain, dan sebagainya berupa rangsang dari luar diri tokoh yang bersangkutan.

f) Teknik reaksi tokoh lain, yaitu teknik sebagai reaksi yang diberikan oleh tokoh lain terhadap tokoh utama.

g) Teknik pelukisan latar, yaitu suasana latar dapat dipakai untuk melukiskan kedirian seorang tokoh.

h) Teknik pelukisan fisik, yaitu teknik melukiskan keadaan fisik tokoh. 2. Hakikat Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi berasal dari kata psyche yang diartikan dengan jiwa, dan logos yang diartikan ilmu atau ilmu pengetahuan (science) sehingga psikologi diartikan sebagai ilmu pengetahuan mengenai jiwa atau ilmu jiwa (Walgito, 2003:1). Endraswara (2003: 96) mengemukakan bahwa psikologi sastra adalah kajian sastra yang memandang karya sebagai aktivitas kejiwaan. Pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karya dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya juga tak akan lepas dari kejiwaan masing-masing. Bahkan psikologi sastra pun mengenal karya sastra sebagai pantulan kejiwaan. Pengarang akan menangkap gejala jiwa kemudian diolah ke dalam teks dan dilengkapi dengan kejiwaannya.

Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra memiliki posisi yang dominan. Ratna (2013:350) menyatakan bahwa psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Sedangkan menurut Minderop (2010: 54-55) psikologi karya sastra adalah telaah karya sastra yang diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan.

(6)

Dalam menelaah suatu karya psikologis hal yang paling penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dalam masalah kejiwaan. Endraswara (2013: 70-73) menyatakan bahwa psikologi sastra adalah ilmu yang mempelajari sastra dari sisi psikologis. Dengan memberikan perhatian pada tokoh-tokoh maka akan ditemukan konflik batin yang terkandung dalam karya sastra.

Aspek kejiwaan berupa konflik batin akan menjadi dasar kajian berdasar pada teori psikologi atas penokohan yang terdapat dalam novel. Penelitian psikologi sastra membicarakan persoalan-persoalan manusia dari aspek kejiwaan. Unsur kejiwaan tokoh itu dapat berupa konflik batin, kepribadian ganda, deviasi tingkah laku, perubahan karakter, gejolak emosi, dan lain-lain.

Berdasarkan penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa psikologi sastra adalah analisis teks sastra yang mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Hal itu berarti psikologi sastra memberikan perhatian pada pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra yang menjadikan pengalaman manusia sebagai bahan utama penelaahan.

Minderop (2011:59) menyatakan bahwa daya tarik psikologi sastra ialah pada masalah manusia yang melukiskan potret jiwa. Tidak hanya jiwa sendiri yang muncul dalam sastra tetapi juga bisa mewakili jiwa orang lain. Hal itu sesuai dengan pendapat Endraswara (2008: 10) yang mengungkapkan bahwa pergolakan tokoh selalu dijadikan fokus penelitian apabila teks yang dijadikan tumpuan. Hubungan psikologi dengan sastra adalah di pihak karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas manusia. Psikologi dapat dimanfaatkan seorang pengarang dalam memantulkan kepekaannya pada kenyataan, mempertajam kemampuan pengamatan dan memberi kesempatan untuk menjajagi pola-pola yang belum terjamah.

Menurut Ratna (2013: 343) ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra yaitu sebagai berikut. Pertama memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis. Kedua, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra.

(7)

Ketiga memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.

Sedangkan Endraswara (2008:89) mengungkapkan bahwa langkah pemahaman teori psikologi sastra dapat melalui tiga cara sebagai berikut. Pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan analisis terhadap suatu karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian.

a. Jalur Kajian Psikologi Sastra

Pada dasarnya, psikologi sastra akan ditopang oleh tiga pendekatan. Pertama, pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologis tokoh dalam karya sastra. Kedua, pendekatan reseptif-pragmatik, yang megkaji aspek psikologis pembaca sebagai penikmat karya sastra yang terbentuk dari pengaruh karya yang dibacanya, serta proses resepsi pembaca dalam menikmati karya sastra. Ketiga, pendekatan ekspresif, yang mengkaji aspek psikologis sang penulis ketika melakukan proses kreatif yang terproyeksi lewat karyanya, baik penulis sebagai pribadi maupun wakil masyarakatnya.

Penulis dalam melakukan penelitian terhadap novel 12 Menit karya Oka Aurora mengambil jalur kajian psikologi sastra dengan melakukan pendekatan tekstual yaitu berfokus pada teks sastra itu sendiri. Pendekatan psikologi sastra terhadap teks tidak dilangsungkan secara deskriptif belaka, tetapi mendekati suatu penafsiran, sering digunakan psikoanalisis dari Freud. Terdapat titik temu antara penelitian sastra dengan teori psikoanalisis, khususnya mengenai metodenya.

Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatru karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung.

(8)

Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimapangan lain yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike. (Ratna, 2013: 342-343).

Pada dasarnya, psikologi sastra memberikan perhatian dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Psikologi sastra memiliki peranan penting dalam pemahaman sastra. Menurut Atar Semi (dalam Endraswara, 2008:12) ada beberapa kelebihan penggunaan psikologi sastra yaitu (1) sangat sesuai untuk mengkaji secara mendalam aspek perwatakan, (2) memberikan umpan balik kepada penulis tentang permasalahan perwatakan yang dikembangkannya, dan (3) sangat membantu dalam menganalisis karya sastra dan dapat membantu pembaca dalam memahami karya sastra.

b. Teori Psikoanalisis

Teori psikoanalisis diperkenalkan oleh Sigmund Freud (Suryabrata, 2013: 122). Pada awalnya Freud (dalam Semiun, 2006: 60) memperkenalkan beberapa model pikiran. Model pertama adalah model neurologis (1895) yang kemudian segera ditinggalkannya. Model kedua adalah model topografis yang berlangsung selama 20 tahun. Kedua model tersebut ditinggalkan karena memiliki kelemahan yakni tidak dapat menggambarkan dengan jelas saling pengaruh kekuatan-kekuatan dalam kepribadian. Lalu, Freud menciptakan model struktural. Model struktural menggambarkan pikiran manusia sebagai campuran atau gabungan dari kekuatan-kekuatan dimana bagian-bagian dari kekuatan sadar juga dapat mengandung isi tak sadar. Tiga agen baru yang diberi nama baru, yakni id, ego, dan superego. Meskipun ketiga aspek itu masing-masing mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja, dinamika sendiri-sendiri, tetapi ketiganya saling berhubungan sehingga sukar (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya terhadap tingkah laku manusia; tingkah laku selalu merupakan hasil sama dari ketiga aspek itu.

Psikoanalisis termasuk dalam golongan ilmu jiwa bukan ilmu jiwa kedokteran dalam arti kata yang lama, bukan ilmu jiwa tentang proses

(9)

penyakit jiwa melainkan semata-mata ilmu jiwa yang luar biasa. Sudah pasti bahwa psikoanalisis tidak merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa biasa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhannya “ilmu jiwa”. Teori ini menganalisis kehidupan jiwa manusia sampai pada alam bawah sadar, karena sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu mengalami konflik batin dalam keresahan dan ketekanan jiwa.

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari perilaku dan aspek kejiwaan manusia. Terdapat beberapa kajian psikologi dan yang berkaitan dengan penelitian ini adalah psikologi kepribadian. Hal ini mengingat bahwa penelitian ini menganalaisis tentang tingkah laku manusia (tokoh) guna memperoleh tipologi kepribadian tertentu berdasarkan karakter tokoh tersebut.

Teori psikoanalisis berhubungan erat dengan fungsi dan perkembangan mental manusia. Menurut teori psikoanalisis, struktur kejiwaan manusia terdiri atas id (das es), yaitu aspek biologis, ego (das ich), yaitu aspek psikologis, dan super ego (das uber ich) (Prawira, 2013: 186). Ketiga sistem keribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk totalitas, tingkah laku manusia yang tak lain merupakan produk interaksi ketiganya.

1) Id

Freud (Prawira, 2013: 187) menyebut lapisan jiwa id (das es) dengan sebutan system der unbewussten. Lapisan tidak sadar dari jiwa manusia berasal dari keturunan (biologis) dan sudah ada semenjak manusia dilahirkan ke dunia. Menurut Minderop (2010: 21), Id merupakan energi psikis dan naluri yang menekan manusia agar memenuhi kebutuhan dasar, misalnya kebutuhan makan, seks, menolak rasa sakit atau tidak nyaman. Struktur Id terdiri dari nafsu, gairah, dan lain-lain yang kesemuanya tidak disadari dan menuntut pemuasan.

(10)

Isi lapisan Id berupa dorongan-dorongan (drives) dan nafsu-nafsu yang sangat kuat dan bersifat pembawaan yang secara hakiki tidak disadari oleh individu manusia yang bersangkutan karena Id berada di alam bawah sadar, tidak ada kontak dengan realitas. Freud juga menyebutnya sebagai “kenyataan psikis yang sebenarnya” karena ia mempresentasikan dunia batin dari pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan yang objektif.

Semiun (2006: 61) mengungkapkan Id tidak bisa menanggulangi peningkatan energi yang dialaminya sebagai keadaan-keadaan tegangan yang tidak menyenangkan. Karena itu, apabila tingkat tegangan organisme meningkat-entah sebagai akibat stimulasi dari luar atau rangsangan-rangsangan yang timbul dari dalam-maka id akan bekerja sedemikian rupa untuk segera menghentikan tegangan dan mengembalikan organisme pada tingkat energi yang rendah serta menyenangkan. Prinsip reduksi tegangan yang merupakan ciri kerja id ini disebut psinsip kenikmatan (pleasure principle). Jadi, pedoman berfungsinya das es ialah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan.

Menurut Prawira (2013: 188) Id menempuh dua cara dalam menghilangkan ketidakenakan untuk selanjutnya dapat mencari kenikmatan, yaitu, pertama, id melakukan refleks dan reaksi-reaksi otomatis, seperti bersin, berkedip-kedip, gerakan menghindar, dan lain-lain. Kedua, melakukan proses primer, seperti membayangkan sesuatu atau benda-benda tertentu yang diinginkan. Semiun (2006: 63) mengungkapkan ciri lain dari id adalah tidak memiliki moralitas. Karena tidak dapat menilai atau membedakan antara baik dan jahat, maka id adalah amoral, primitif, khaos (tidak teratur). Seluruh energinya hanya digunakan untuk satu tujuan-mencari kenikmatan tanpa menghiraukan apakah hal itu tepat atau tidak.

(11)

2) Ego

Ego (Das ich) (Suryabrata, 2013:126) dalam bahasa inggris disebut the ego adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan (Realita). Lapisan jiwa das ich berada pada lapisan prasadar disebut juga system der-bewussten verbewusten (prawira, 2013: 189). Letak perbedaan yang pokok antara id dan ego, yaitu kalau id hanya mengenal dunia subyektif (dunia batin) maka ego dapat membedakan sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar (dunia obyektif, dunia realitas)

Lapisan ego bekerja berdasarkan pada prinsip kenyataan (realita) dan bereaksi dengan proses-proses sekunder dengan maksud mencari objek yang tepat guna mereduksi tegangan-tegangan yang terjadi pada tubuh manusia. Menurut Agus Sujanto (2006) (dalam Prawira, 2013: 190) proses-proses sekunder dalam hal ini, yaitu proses berpikir realistis. Proses sekunder ini digunakan untuk merumuskan suatu rencana guna pemuasan kebutuhan dan kemudian mengujinya.

Ego (Suryabrata, 2013: 127) dapat pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian karena mengontrol jalan-jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi serta cara-cara memenuhinya, serta memilih obyek-obyek yang dapat memenuhi kebutuhan; di dalam menjalankan fungsi ini seringkali ego harus mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego dan dunia luar.

Menurut Minderop (2010: 22) Ego terperangkap di antara dua kekuatan yang bertentangan dan dijaga serta patuh pada prinsip realitas dengan mencoba memenuhi kesenangan individu yang dibatasi oleh realitas. (Semiun, 2006: 65) ego harus mempertimbangkan tuntutan-tuntutan dari id dan superego yang bertentangan dan tidak realistik. Ego terus-menerus mendamaikan tuntutan-tuntutan dari id dan super ego dengan tuntutan-tuntutan realistik dari dunia luar.

(12)

Ego bukanlah derivat dari id dan bukan untuk merintanginya; peran utamanya ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dengan keadaan lingkungan. Tugas ego (Minderop, 2010:22) memberi tempat pada fungsi mental utama, misalnya: penalaran, penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan. Dengan alasan ini ego merupakan pimpinan utama dalam kepribadian, layaknya seorang pemimpin perusahaan yang mampu mengambil keputusan rasional demi kemajuan perusahaan. Id dan ego tidak memiliki moralitas karena keduanya ini tidak mengenal nilai baik dan buruk.

Demikianlah ego menolong manusia untuk mempertimbangkan apakah ia dapat memuaskan diri tanpa mengakibatkan kesulitan atau penderitaan bagi dirinya sendiri. Ego berada di antara alam sadar dan alam bawah sadar.

Sifat-sifat atau ciri-ciri lapisan das ich atau the ego adalah semua disadari. Maksudnya, bersifat logis, rasional, bertugas menghadapi kenyataan atau realitas dalam lingkungan di sekitar kita dan kondisi-kondisi lingkungan yang nyata (Prawira, 2013: 191).

3) Superego

Suryabrata mengungkapkan bahwa (2013: 127) das ueber ich atau superego adalah aspek sosiologis kepribadian, wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang dimasukkan (diajarkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Das ueber ich dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. Minderop (2010: 22) menyatakan superego mengacu pada moralitas dalam kepribadian. Superego sama halnya dengan „hati

nurani‟ yang mengenali nilai baik dan buruk (conscience).

Fungsinya yang pokok ialah menentukan apakah sesuatu benar atau salah, pantas atau tidak, susila atau tidak, dan dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat. Das ueber ich (superego) diinternalisasikan dalam perkembangan anak sebagai response terhadap hadiah dan hukuman yang diberikan oleh orang tua (dan

(13)

pendidik-pendidik lain). Dengan maksud untuk mendapatkan hadiah dan menghindari hukuman anak mengatur tingkah lakunya sesuai dengan garis-garis yang dikehendaki oleh orang tuanya. Apapun juga yang dikatakan sebagai tidak baik dan bersifat menghukum akan cenderung menjadi conscientia anak, apapun juga yang disetujui dan membawa hadiah cenderung untuk menjadi ich ideal anak. Jadi das ueber ich itu berisikan dua hal, ialah conscientia dan ich ideal. Dengan terbentuknya das ueber ich ini maka kontrol terhadap tingkah laku yang dulu pernah dilakukan oleh orang tuanya (atau wakilnya) menjadi dilakukan oleh pribadi sendiri .

Terdapat dinamika dalam kepribadian. Dinamika kepribadian menyangkut masalah pengunaan energi yang bersumber pada id. Freud mengacu pada hukum kelangsungan energi, yaitu energi dapat berubah dari suatu keadaan atau bentuk ke dalam yang lain, tetapi tidak akan hilang dari sistem secara kesleuruhan. Berdasarkan hukum ini Freud mengajukan gagasan bahwa energi fisik dengan kepribadian adalah id dengan naluri dan keinginannya.

Energi seperti yang dikemukakan di atas berasal dari id. Dalam dinamikanya, terjadi pemindahan sekaligus perebutan energi antar id, ego, dan super ego. Apabila ternyata suatu sistem memperoleh energi yang lebih banyak maka yang lain akan kekurangan energi sampai energi baru ditambahkan kepada sistem keseluruhan. Dengan demikian dapat diterangkan mengenai keadaan pribadi tertentu. Artinya, apabila energi banyak digunakan oleh id, maka yang terjadi adalah kepribadian yang hanya mengejar keinginan tanpa melihat kenyataan yang ada. Bila yang mendominasi super ego, maka yang terlihat orang tersebut cenderung merepresi sebagian besar keinginannya untuk menjadi orang yang selalu taat pada norma dan adat istiadat yang berlaku di lingkungannya, maka kondisi yang ideal adalah apabila terdapat keseimbangan energi antara id dan super ego. Jadi, ego berfungsi dengan baik. Bila demikian maka individu dapat memenuhi kebutuhannya tanpa meninggalkan norma yang ada di lingkungannya.

(14)

Freud selain menjelaskan struktur kepribadian manusia, juga mengemukakan adanya kecemasan (Suryabrata, 2013:139) yaitu, kecemasan realistis, yaitu ketakutan akan bahaya dunia luar, kecemasan neurotis, yaitu kecemasan kalau-kalau insting-insting tidak dapat dihukum, dan kecemasan moral, yaitu kecemasan yang dialami sebagai suatu perasaan bersalah atau malu dalam ego, ditimbulkan oleh sesuatu pengamatan mengenai bahaya dari hati nurani.

Meskipun kecemasan menyebabkan individu dalam keadaan tidak senang, tetapi juga bisa berfungsi sebagai peringatan bagi individu agar mengetahui adanya bahaya sehingga individu bisa mempersiapkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi bahaya yang mengancam tersebut. Apabila langkah yang diambil bisa mengatasi kecemasan-kecemasan yang dihadapi, kepribadian individu akan berkembang ke arah yang lebih positif.

Kepribadian individu berkembang berhubungan dengan bermacam-macam sumber tegangan. Kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat sumber ketegangan pokok, yakni (1) proses-proses pertumbuhan fisiologis, (2) frustasi-frustasi, (3) konflik-konflik, (4) ancaman-ancaman. Sebagai akibat dari meningkatnya tegangan karena sumber itu maka harus belajar cara baru untuk mereduksi tegangan (Semiun, 2006: 93). Belajar mempergunakan cara-cara baru dalam mereduksi tegangan disebut perkembangan kepribadian.

Cara individu mereduksi tegangan dan kecemasan yaitu dengan (1) Identifikasi, sebagai metode yang dipergunakan orang dalam menghadapi orang lain dan membuatnya menjadi bagian dari kepribadiannya. Dia belajar mereduksikan tegangannya dengan cara bertingkah laku seperti tingkah laku orang lain. (2)Pemindahan objek, apabila objek sesuatu insting yang asli tidak dapat dicapai karena rintangan baik rintangan dari dalam maupun dari luar, maka terbentuklah cathexis yang baru kecuali kalau terjadu penekanan yang cukup kuat. Insting adalah sumber perangsang somatic dalam yang dibawa sejak lahir. (3) Mekanisme pertahanan das ich. Terdapat beberapa bentuk

(15)

pokok mekanisme pertahanan antara lain, (a) Penekanan atau represi adalah pengertian yang mula-mula sekali dalam psikoanalisis. Mekanisme yang dilakukan individu dalam hal ini adalah ego, untuk meredakan kecemasan dengan jalan menekan dorongan atau keinginan yang menjadi sebab kecemasan tersebut ke alam tak sadar; (b) Proyeksi adalah mekanisme yang dipergunakan untuk mengubah ketakuta neurotis dan ketakutan moral menjadi ketakutan realistis. Pengubahan ini mudah dilakukan karena ketakutan neurits dan ketakutan moral dua-duanya sumber aslinya adalah ketakutan akan hukuman dari luar; (c) Pembentukan reaksi adalah penggantian impuls atau perasaan yang menimbulkan ketakutan atau kecemasan dengan lawannya di dalam kesadaran. (4)Fiksasi dan Regresi, pada perkembangan yang normal, kepribadian akan melewati fase-fase yang sedikit banyak sudah tetap sejak lahir sampai dewasa. Hal ini akan menimbulkan sejumlah frustasi dan ketakutan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketiga aspek di atas memiliki hubungan yang erat dan saling mempengaruhi satu sama lain sehingga sukar untuk dipisahkan.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ada hubungan antara sastra dengan psikoanalisa. Hubungan itu menurut Milner (1992: 32) dalam (Endraswara, 2003:101) ada dua hal, pertama ada kesamaan antara hasrat-hasrat yang tersembunyi pada setiap manusia yang menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita, karena karya sastra itu menyebabkan kehadiran karya sastra yang mampu menyentuh perasaan kita dan memberikan jalan keluar terhadap hasrat-hasrat rahasia tersebut. Kedua, ada kesejajaran antara mimpi dan sastra, dalam hal ini kita menghubungkan elaborasi mimpi, yang oleh Freud disebut “pekerjaan mimpi”. Baginya, mimpi seperti tulisan yaitu sistem tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda dengan tanda-tanda itu sendiri.keadaan orang yang bermimpi adalah seperti penulis yang menyembunyikan pikiran-pikirannya.

(16)

3. Hakikat Nilai Pendidikan a. Pengertian Nilai

Nilai adalah sebuah konsepsi abstrak yang menjadi acuan atau pedoman utama mengenal masalah mendasar dan umum yang sangat penting dan ditinggikan dalam kehidupan suatu masyarakat (Ismawati, 2013:18). Menurut Theodorson (1979: 455) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak yang dijadikan pedoman serta prinsip-prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku (dalam Basrowi, 2005: 80).

Sedangkan Frondizi beranggapan bahwa nilai sebagai kualitas yang independen tidak berbeda dari benda (Frondizi, 2011:115). Maksudnya nilai yang tetap tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Berdasarkan beberapa penejelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah suatu konsep abstrak yang independen dan mendasar bagi kehidupan masyarakat.

b. Pengertian Pendidikan

Pendidikan pertama muncul dalam bahasa Yunani yaitu paedagogiek yang berarti menuntun anak. Orang yang menuntun anak disebut paedagog. Menurut Good (dalam Rohman, 2009: 6-8), pendidikan adalah keseluruhan proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku lainnya yang bernilai di dalam masyarakat dimana ia hidup.

Pendidikan sebagai proses dalam mana potensi-potensi, kemampuan, kapasitas yang dengan mudah dapat dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang baik dengan alat yang disusun sedemikian rupa dan digunakan manusia untuk menolong orang lain atau diri sendiri dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Ahli dari Indonesia, Ki Hajar Dewantara, mengartikan pendidikan sebagai usaha menuntun segenap kodrat yang ada pada anak baik sebagai individu manusia maupun sebagai anggota masyarakat agar dapat mencapai kesempurnaan hidup. Sedangkan pendidikan menurut John Dewey adalah proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia (Muslich, 2011: 67)

(17)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses untuk menuntun dan mengembangkan kodrat anak sebagai individu dan makhluk sosial agar bernilai di dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai pendidikan bisa dikatakan suatu konsep mengenai pendidikan yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra

c. Nilai Pendidikan Karakter

Nilai pendidikan bisa dikatakan suatu konsep mengenai pendidikan yang berguna bagi kehidupan bermasyarakat, dalam hal ini nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra. Terdapat nilai pendidikan karakter menurut Kemendiknas (Wibowo, 2013: 15), yaitu sebagai berikut.

1) Religius merupakan sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2) Jujur merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3) Toleransi merupakan sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama,suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4) Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5) Kerja keras merupakan perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

6) Kreatif merupakan berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

7) Mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8) Demokratis merupakan cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

(18)

9) Rasa ingin tahu merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

10) Semangat kebangsaan merupakan cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompokknya.

11) Cinta tanah air merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

12) Menghargai prestasi merupakan sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.

13) Bersahabat/Komunikatif merupakan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14) Cinta damai merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15) Gemar membaca merupakan kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16) Peduli lingkungan merupakan sikap dan tindakan yang selalu berupaya

mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17) Peduli sosial merupakan sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

18) Tanggung jawab merupakan sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

(19)

4. Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah Menengah Atas

Gove dalam Aminuddin (2011: 34) mengemukakan bahwa apresiasi mengandung makna pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Sumaryadi dalam Wibowo (2013: 144) mengatakan bahwa apresiasi sastra merupakan kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra. Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa apresiasi karya sastra adalah suatu kegiatan mengenal karya sastra dengan menikmatinya sehingga tumbuh kepekaan batin, pemahaman, dan rasa menghargai terhadap suatu karya sastra.

Karya sastra sangat baik digunakan dalam pengajaran untuk pembentukan karakter. Hal itu sejalan dengan pendapat Edgington (2002:133), sastra di setiap genre-fiksi, fiksi sejarah, buku informasi, puisi, cerita rakyat, atau gambar buku-dapat digunakan dalam pendidikan karakter untuk pra TK sampai SMA. Karya sastra tersebut dapat mempengaruhi pembentukan karakter peserta didik. Tentu saja setiap karya sastra yang diperuntukkan untuk pengajaran apresiasi karya sastra disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Melalui kegiatan membaca karya sastra, secara tidak langsung akan diperoleh manfaat nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya.

Karya sastra yang dipilih sebagai bahan ajar apresiasi bukan hanya indah tetapi juga mengandung nilai-nilai yang dapat membimbing anak didik menjadi manusia yang berbudi luhur. Pembelajaran sastra diarahkan pada tumbuhnya sikap apresiatif terhadap karya sastra, yaitu sikap menghargai karya sastra (Wibowo, 2013: 136).

Kompetensi yang diasah dalam pendidikan yaitu kemampuan menikmati dan menghargai karya sastra. Siswanto (2013: 154) mengatakan bahwa pendidikan sastra berupa pembelajaran sastra yang dilakukan untuk mengembangkan kompetensi apresiasi karya sastra, kritik sastra, dan proses

(20)

kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara langsung. Pembelajaran sastra dilakukan dengan memahami dan menikmati unsur-unsur karya sastra bukan melalui hafalan teori semata tetapi dengan memahami karya sastra. Dengan membaca karya sastra, dalam hal ini novel, pembaca akan bertemu dengan bermacam-macam orang dengan bermacam-macam masalah. Melalui kegiatan apresiasi sastra, kecerdasan siswa dipupuk hampir dalam semua aspek. Peserta didik yang membaca sastra akan berhadapan dan mengalami secara langsung kategori moral dan sosial dengan segala permasalahannya.

Rahmanto (1996: 27) mengemukakan bahwa ada tiga aspek penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pengajaran sastra, yaitu sebagai berikut. Pertama, dari sudut bahasa, agar pengajaran sastra dapat lebih berhasil, guru kiranya perlu mengembangkan ketrampilan khusus untuk memilih bahan pengajaran sastra yang bahasanya sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswanya. Kedua, dari segi kematangan jiwa (psikologi), hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap minat dan keengganan anak didik dalam banyak hal. Ketiga dari sudut latar belakang kebudayaan para siswa. Biasanya siswa akan mudah tertarik pada karya sastra denan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka dan mempunyai kesamaan dengan mereka atau orang-orang di sekitar mereka.

Karya sastra yang dijadikan sebagai materi ajar hendaknya memiliki nilai-nilai pendidikan karakter. Hal itu dikarenakan karakter para tokoh dapat dijadikan contoh karakter yang baik bagi pembaca. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Smagorinsky (2000:64), beberapa versi dalam cerita dapat dijadikan pendidikan karakter yang bersifat mendidik atau reflektif.

Guru sastra bertugas memberi peserta didik kesempatan untuk mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya. Peserta didik hendaknya didorong untuk mengenal karya sastra dan mengadakan kontak langsung dengan karya sastra dengan menikmatinya. Dengan demikian, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti

(21)

nyata yang ada di dalam karya sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra tetapi juga diajak untuk mengembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Hal itu membuka peluang bagi peserta didik untuk tumbuh menjadi pribadi yang kritis pada satu sisi, dan pribadi yang bijaksana pada sisi lain. Pendidikan semacam ini akan mengembangkan kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran apresiasi sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral.

Selain itu, Rahmanto (1996: 27) membagi beberapa tahapan usia psikologis anak-anak sekolah dasar dan menengah. Hal ini diharapkan dapat membantu guru dalam menentukan materi bahan apresiasi karya sastra. berikut ini adalah urutan tahapan perkembangan psikologis siswa dalam memahami karya sastra.

a) Tahap penghayal (8-9 tahun)

Pada tahap ini imajinasi anak belum banyak diisi hal-hal nyata tetapi masih penuh dengan berbagai macam fantasi kekanakan.

b) Tahap romantik ( 10-12 tahun)

Pada tahap ini anak mulai meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meski pandangannya tentang dunia ini masih sangat sederhana, tapi pada tahap ini anak telah menyenangi cerita-cerita kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan)

c) Tahap realistik ( 13-16 tahun)

Pada tahap ini anak-anak sudah benar-benar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau apa yang benar-benar terjadi. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan yang nyata.

d) Tahap generalisasi (umur 16 tahun dan usia selanjutnya)

Pada tahap ini anak sudah tidak lagi hanya berminat pada hal-hal praktis saja tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Dengan menganalisis fenomena, mereka berusaha menemukan dan merumuskan penyebab utama

(22)

fenomena itu yang kadang-kadang mengarah ke pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan moral.

Peran sastra dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran (Wibowo, 2013: 167).

Karya sastra mempunyai manfaat pada dunia pendidikan dan pengajaran. Pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu membantu ketrampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak (Rahmanto, 1996:16).

Sedangkan menurut Aminuddin (2011: 63) kegiatan membaca sastra dapat memberikan manfaat, pertama dapat dijadikan pengisi waktu luang, kedua pemerolehan hiburan, ketiga memberikan informasi, keempat media pengembang dan pemerkaya pandangan kehidupan, dan kelima memberikan pengetahuan nilai sosio-kultural dari zaman karya sastra itu dilahirkan. Jadi karya sastra berhubungan dengan pemerolehan nilai-nilai kehidupan.

B. Kerangka Berpikir

Pengarang menciptakan suatu karya sastra melaui segala sesuatu yang dilihat, dialami, dan dirasakan baik dari lingkungan sekitar maupun yang muncul dari dalam dirinya. Karya sastra yang dibuat dapat mempengaruhi cara pandang pembaca dan membuka wawasn para pembaca terhadap kehidupan. Jadi, dengan mengkaji novel kita dapat belajar dan menambah wawasan kita.

Dalam penelitian ini, peneliti berorientasi kepada aspek kondisi kejiwaan para tokoh dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora. Novel tersebut peneliti kaji berdasarkan pendektan psikologi sastra. Hal ini dikarenakan karakter tokoh dalam novel ini menarik untuk diteliti.

(23)

Selain pendekatan psikologi sastra, peneliti juga menggunakan pendekatan lain yaitu pendekatan struktural. Pendekatan struktural mengkaji novel ini berdasarkan unsur intrinsik novel. Analisis struktural terhadap tokoh peneliti gunakan dalam mengungkap penokohan novel 12 Menit karya Oka Aurora. Peneliti juga mengkaji nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam novel 12 Menit karya Oka Aurora. Setelah menganalisis secara struktur, psikologi, dan nilai pendidikan karakter, peneliti melakukan relevansi kajian sebagai materi pembelajaran apresiasi sastra. Berikut gambaran kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Novel 12 Menit Karya Oka Aurora

Penokohan Dimensi: -Fisiologis -Psikologis -Sosiologis Konflik Batin -Id -Ego -Super ego

Nilai Pendidikan Karakter -Religius -Jujur -Toleransi -Disiplin -Kerja Keras -Kreatif -Mandiri -Demokratis -Rasa Ingin Tahu -Semangat Kebangsaan -Cinta Tanah Air -Menghargai Prestasi -Bersahabat -Komunikatif -Cinta Damai -Gemar Membaca -Peduli Lingkungan -Peduli Sosial Relevansi Sebagai Media Apresiasi

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sejalan dengan penelitian dari Che-Ahmad, Shaharim, & Abdullah (2017), Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat interaksi guru-siswa, kesesuaian lingkungan

Kesimpulannya, yaitu:(1) Penerapan model kemitraan dalam mengoptimalkan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan guna meningkatkan pelayanan pendidikan di Sekolah Dasar

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut!.. Ilmu administrasi negara banyak dipengaruhi oleh berbagai disiplin ilmu. Oleh

Disisi lain seiring dengan makin banyaknya bermunculan media pembelajaran interaktif yang mengajarkan pada anak-anak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini penulis

Dengan menempatkan pendidikan sebagai pilar kehidupan maka dengan demikian orang yang mempunyai pendidikan (ilmu pengetahuan) akan mendapat tempat yang

Kelima, sinkronisasi program CSR, secara kuantitatif telah memberikan hasil signifikan, dalam kurun waktu antara Bulan Maret hingga November 2011, telah terdistribusikan

Sehingga dalam konteks tertentu, disatu sisi agama dapat beradaptasi dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di

Pelayanan Sakramen Baptisan Kudus secara rutin dilaksanakan setiap bulan pada Minggu ke dua, Bagi orang tua yang akan membawa anaknya di Baptis, dapat