• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA KEPADA KONSUMEN TENTANG KEAMANAN PANGAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh: Aulia Muthiah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA KEPADA KONSUMEN TENTANG KEAMANAN PANGAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh: Aulia Muthiah."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

1 TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA KEPADA KONSUMEN TENTANG KEAMANAN PANGAN DALAM PERSFEKTIF HUKUM PERLINDUNGAN

KONSUMEN

Oleh: Aulia Muthiah

Abstract

Food security is very crucial in every aspect of human lives that all humans will fulfill their food needs by producing the food on their own or buy readily consumed food. When consumers consume food, they badly expect foods that are safe for their bodies. We might often encounter consumers who have problems with their health, which sometimes leads them to death due to consuming dangerous foods.

A food entrepreneur should be responsible of the mistakes they have made on producing dangerous foods which harm and endanger the health of their consumers, and cause their death at some cases, either the mistakes are on purpose or unintended. The responsibility of entrepreneurs is the responsibility that is based on the harm caused on the consumers and the consumers in this case have to prove the mistake of the entrepreneur. However, there is another alternative of responsibility that ease the consumers, which is called strict liability. This kind of responsibility is a form of risk from the entrepreneur and proving the mistakes should use reverse proof system, in which the entrepreneur is responsible to prove their own mistakes in the food production.

Keywords: responsibility, entrepreneur, consumers

PENDAHULUAN

Pada era globalisasi hanya pelaku usaha yang mampu menghasilkan barang dan atau jasa yang mempunyai daya saing tinggi dan memenangkan persaingan baik di dalam maupun luar negeri. Di sisi lain perdagangan bebas cenderung mengakibatkan barang dan atau jasa yang beredar belum tentu menjamin keamanan, keselamatan dan kesehatan konsumen. Lebih-lebih keadaan konsumen yang rata-rata kurang bersikap hati-hati, kondisi tersebut dikarenakan posisi pihak

konsumen berada di pihak lemah dalam menghadapi pihak produsen.

Produsen sebagai pelaku usaha

mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha

yang sehat yang menunjang bagi

pembangunan perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan norma-norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Etika bisnis

(2)

2

merupakan salah satu pedoman bagi setiap

pelaku usaha. Prinsip business is business,

tidak dapat diterapkan, tetapi harus dengan pemahaman atas prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sejauh mungkin, pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan

usahanya memberi kontribusi pada

peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan. Pelaku usaha mempunyai tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga iklim usaha yang sehat,

menunjang bagi pembangunan

perekonomian nasional secara keseluruhan. Karena itu, kepada produsen dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban itu, yaitu melalui penerapan

norma-norma hukum, kepatutan, dan

menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di

kalangan dunia usaha. Etika bisnis

merupakan salah satu pedoman bagi setiap pelaku usaha.

Kewajiban pelaku usaha untuk senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatannya (Pasal 7 angka 1) berarti bahwa pelaku usaha ikut bertanggung jawab untuk menciptakan iklim yang sehat dalam berusaha demi menunjang pembangunan nasional. Jelas ini adalah tanggung jawab publik yang diemban oleh seorang pelaku usaha. Banyak ketentuan di dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini yang bermaksud mengarahkan pelaku usaha untuk berperilaku sedemikian

rupa dalam rangka menyukseskan

pembangunan ekonomi nasional, khususnnya di bidang usaha.

Permasalahan mengenai perlindungan konsumen pada perkembangannya belum dapat teratasi namun justru permasalahan tersebut semakin meningkat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal, faktor eksternal

salah satunya adalah pengaruh globalisasi yang menyebabkan konsumen diberikan banyak pilihan dan pelaku usaha semakin dipacu untuk memproduksi barang yang

sesuai kebutuhan dan diminati oleh

masyarakat namun kurang memperhatikan

kualitas bahan produksi yang dapat

dipertanggung jawabkan, selain itu

pelayanan terhadap konsumen juga belum optimal. Faktor internal dari konsumen itu

sendiri, yaitu kurangnya pengetahuan

mengenai produk yang akan dikonsumsi terutama masalah pangan yang aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat tersebut.

Masyarakat pada dasarnya sangat

menginginkan adanya keamanan pangan yaitu produk pangan yang bergizi dan tidak mengakibatkan pada terganggunya kesehatan seseorang. Pada kenyataannya banyak

produk pangan yang mengakibatkan

masyarakat sakit. Hal ini disebabkan karena pihak pelaku lalai dalam memproduksi pangan, namun ada pula pelaku usaha yang sengaja melakukan kesalahan agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang banyak. Berdasarkan hal ini maka para pelaku usaha harus bertanggung jawab atas semua kelasalahan yang mereka perbuat baik karena kelalaian atau pun karena kesalahan yang disengaja, yang mengakibatkan kerugian para konsumen pangan bahkan mungkin kematian.

Keamanan pangan di Indonesia masih jauh dari keadaan aman, kita sering melihat peristiwa keracunan makanan yang banyak terjadi saat ini. Konsumen pada umunya tidak jarang hal tersebut mengakibatkan konsumen senantiasa berada dalam posisi lemah dan dirugikan, maka perlu adanya aturan yang dapat menjembatani kepentingan pelaku

(3)

3 usaha dan kepentingan konsumen yang tidak

merugikan salah satu pihak.1

Berdasarkan permasalahan yang telah penulis jelaskan di atas, penulis akan mengkaji bentuk tanggung jawab pada tata hukum di Indonesia tentang perlindungan konsumen dan tanggung jawab antara pelaku

usaha dengan konsumen terkait

permasalahan keamanan pangan. PEMBAHASAN

Aspek Hukum Tanggung Jawab pada Hukum Perlindungan Konsumen

1. Hukum Perdata

Menurut hukum perdata, setiap tuntutan pertanggung jawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum seseorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain itu untuk memberi pertanggung jawabannya.

Pertanggung jawaban dalam kajian hukum perdata ada dua yaitu kesalahan dan risiko. Seseorang wajib bertanggung jawab (atau lahir kewajiban bertanggung jawab) karena dia bersalah, baik berupa kesalahan maupu kelalaian. Inilah yang disebut dengan tanggung jawab atas dasar kesalahan. Kemudian, hukum perdata memngkinkan seseorang bertanggung jawab bukan karena dia bersalah, tetapi karena dia mengambil risiko dalam kedudukan hukumnya sedemikian rupa yang mewajibkan bertanggung jawab, inilah yang disebut dengan tanggung

jawab atas dasar risiko. Kedua

menimbulkan akibat dan konsekuensi yang jauh berbeda.

1 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan

Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2011,hlm 170

Secara teoritis pertanggung jawaban terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggung jawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab. Oleh karena itu berdasarkan jenis hubungan hukum atau peristiwa hukum yang ada,

maka dapat dibedakan: pertama

petanggung jawaban atas dasar kesalahan adalah tanggung jawab yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum atau karena tindakan yang kurang hati-hati. Kedua, pertanggung jawaban atas dasar risiko adalah tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan

usahanya.2

Jika suatu peristiwa yang merugikan konsumen telah terjadi, misalnya adanya

kerugian karena memakai atau

mengonsumsi suatu produk, maka harus pertama kali dicari adalah penyebab terjadinya peristiwa yang menimbulkan kerugian itu. Dalam kasus hukum perdata dapat dicari dua kemungkinan yaitu kerugian karena adanya wanprestasi yang mana sebelumnya telah terjadi hubungan hukum berupa perjanjian, atau terjadinya kerugian dikarenakan adanya perbuatan melawan hukum yang mana tidak ada hubungan hukum sebelumnya.

Apabila ternyata kerugian ini dapat

dibuktikan karena ada hubungan

perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen, tahap selanjutnya adalah mencari dari bagian-bagian perjanjian yang tidak dipenuhi oleh pelaku usaha

sehingga mengakibatkan kerugian

2 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen,

(4)

4

terhadap konsumen. Jika kerugian ini diakibatkan oleh peristiwa ini maka seorang pelaku usaha dapat dikategorikan sebagai pihak yang wanprestasi.

Apabila kerugian itu tidak ada hubungan hukum yang berupa perjanjian antara pelaku usaha dan konsumen maka harus dicari kesalahan dari saluran lain, yaitu dengan mengonstruksikan fakta-fakta pada peristiwa itu ke dalam suatu perbuatan melawan hukum.

Dalam kaitannya dengan

perlindungan konsumen khususnya

menentukan tanggung jawab pelaku usaha dengan konsumen yang menderita kerugian karena produk cacat, maka

fakta-fakta sekitar peristiwa yang

menimbulkan kerugian itu terlebih

dahulu dikualifisir menjadi suatu

perbuatan melawan hukum. Artinya dapat ditunjukkan bahwa perbuatan pelaku usaha adalah perbuatan yang melanggar hukum, baik itu berupa pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, atau pelaku usaha melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, melanggar kesusilaan, ataupun telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kepatutan dan pergaulan hidup masyarakat dalam

menjalankan usahanya, khususnya

kepatutan dalam hal berproduksi dan

mengedarkan produknya. 3

2. Hukum Pidana

Hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara Negara dan alat-alat perlengkepannya atau hubungan Negara dengan perorangan. Termasuk hukum publik dalam kerangka hukum

3Ibid, hlm 89

konsumen adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara

pidana. Berbagai peraturan yang

berkaitan dengan upaya perlindungan konsumen pada dasarnya sama dengan

peraturan-peraturan lain yang

ketentuannya mengandung ide-ide atau konsep-konsep yang boleh digolongkan abstrak, yang idealnya meliputi ide

tentang keadilan, kepastian dan

kemanfaatan sebagaimana diungkapkan oleh Gustav Radbruch. Oleh karena itu, persoalan konsumen untuk memperoleh perlindungan sebagai bagian dari suatu sistem hukum akan berkaitan dengan upaya mewujudkan ide-ide tersebut, bahkan seringkali negara harus ikut campur tangan karena adanya kekuatan pengaruh yang menuntut hal demikian agar bekerjanya hukum dapat efektif, khususnya dalam hal ini adalah mengenai penyelenggaraan struktur hukum yang

berupa lembaga-lembaga penegak

hukum sebagai sarana bagi pihak yang dirugikan untuk memperoleh keadilan. Dengan demikian diharapkan sistem hukum publik dalam upaya perlindungan konsumen dapat berjalan dengan baik.

Keterlibatan Negara atau pemerintah saja belum dapat menjamin terpenuhinya atau berjalannya suatu sistem hukum karena di dalam suatu sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman meliputi tiga hal yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultural hukum.

Dalam kaitannya fungsi hukum

sebagai sarana rekayasa sosial (social

engineering) agar hukum (termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999)

(5)

5 masyarakat(yang dalam hal ini corak

hidup masyarakat selaku konsumen

maupun pelaku usaha) bukanlah hal yang

mudah, sebab banyak faktor yang

mempengaruhinya, di samping bahwa

dalam setiap individu akan tergantung

pada pilihan-pilihan individu secara

rasional untuk taat atau tidak taatkepada

ketentuan hukum yang berlaku (Undang-undang No 8 Tahun 1999).

Agar hukum dapat berfungsi sebagai sarana rekayasa sosial bagi masyarakat konsumen dan pelaku usaha maka dapat

dipakai pula pendekatan dengan

mengambil teori Robert Seidman, yaitu

bahwa bekerjanya hukum dalam

masyarakat itu melibatkan tiga

komponen dasar yakni pembuat hukum/ Undang-undang, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Bekerjanya hukum dapat dikatakan baik dan efektif bila melibatkan tiga komponen dasar yaitu pembuat hukum, birokrat pelaksana dan pemegang peran.

Setiap anggota masyarakat (para

konsumen dan pelaku usaha)

sebagaimana pemegang peran,

perilakunya ditentukan oleh pola peranan

yang diharapkan darinya, namun

bekerjanya harapan itu ditentukan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor-faktor tersebut adalah: Sanksi yang terdapat dalam peraturan, aktivitas dari lembaga atau badan pelaksana hukum, dan seluruh kekuatan sosial, politik dan yang lainnya

yang bekerja atas diri pemegang peran.4

Pengaturan hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum

4 Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial

bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1977, hlm. 36.

terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hukum pidana ini sendiri termasuk pada kategori dalam hukum publik, karena hukum pidana

mengatur hubungan hukum antara

Negara dengan masyarakat. Hukum pidana juga berfungsi untuk menegakkan hukum perlindungan konsumen, akan tetapi di dalam KUHP itu sendiri tidak disebutkan kata konsumen, tetapi hanya secara implisit. Dalam ketentuan pidana masalah perlindungan konsumen juga

memperoleh perhatian sebagaimana

diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan dengan

hak konsumen untuk memperoleh

informasi secara benar. pasal yang

memberikan perlindungan terhadap

konsumen sebagai contoh:

Pasal 204 KUHP menyatakan: “barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan, atau membagi-bagikan

barang, yang diketahui bahwa

membahyakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan

matinya orang, yang bersalah

dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. ”

Pasal 205 KUHP menyatakan: “barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang

(6)

6

yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui

sifat berbahayanya oleh yang

membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus juta.”

Jika perbuatan mengakibatkan

matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita.

Ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen banyak terdapat di luar dari KUHP seperti undang-undang pangan, undang-undang kesehatan, dan undang-undang lainnya yang berkaitan dengan palaku usaha dan konsumennya. Pengaturan tentang pidana bersifat khusus dan sektoral sesuai dengan bidang masing-masing.

Pengkhususan ini sangat penting karena dalam hukum pidana dikenal

larangan melakukan analogi-analogi

berbeda pengertiannya dengan penafsiran ekstensif. Dalam penafsiran ekstensif makna suatu rumusan diberi pengertian menurut kebutuhan masyarakat saat itu, yang berbeda dengan makna tatkala rumusan itu dibuat oleh pembentuk undang-undang. Jadi tetap ada sandaran peraturannya, Cuma diberi penafsiran yang lebih luas. Sebaliknya pada analogi

5 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 82-83.

sudah tidak lagi bersandar pada suatu

rumsan peraturan. Hanya inti (ratio) dari

aturan itu yang masih dipertahankan.

Pada hakikatnya penafsiran ektensif dan

analogi itu sama, hanya ada perbedaan graduil.5

Akibatnya aparat penegak hukum (dalam hal ini khususnya hakim) tidak dapat dengan leluasa menetapkan tindak pidana yang baru di luar rumusaan undang-undang. Jika dilakukan berarti bertentangan dengan asas legalitas.

3. Hukum Administrasi

Hukum administrasi adalah

instrumen hukum publik yang penting dalam hukum perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak

disertai sanksi administratif. 6 Sanksi ini

tidak ditujukan pada konsumen

umumnya, tetapi justru kepada

pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan pemerintah

kepada pengusaha. Jika terjadi

pelanggaran izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari pelaku usaha. Produksi di sini hanya diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi

konsumaen pula, yakni mencegah

jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen)

6 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen

Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Grasindo, 2004, hlm 93.

(7)

7 yang dirugikan bukan lagi tugas intrumen

hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata atau pidana. 7

Menurut Shidarta8 sanksi

administratif seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini yaitu:

a) Sanksi administratif dapat

diterapkan secara langsung dan

sepihak. Dikatakan demikian

karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujan terlebih dahulu dari

pihak manapun. Persetujuan

kalaupun itu diperlukan mungkin

hanya dari instansi-instansi

pemerintah terkait. Sanksi

administratif juga tidak perlu

melalui proses pengadilan.

Memang bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk membela diri antara lain mengajukan kasus tersebut ke pengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga lebih efektif.

b) Sanksi perdata atau pidana

seringkali tidak membawa efek jera bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan

mungkin tidak seberapa

dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif

pelaku usaha. Belum lagi

7Ibid, hlm 93.

8Ibid, hlm 96-97. 9Ibid, hlm 59.

mekanisme penjatuhan putusan itu yang biasa berbelit-belit dan memerlukan proses yang lama,

sehingga konsumen sering

menjadi tidak sabar. Untuk

gugatan secara perdata,

konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar menawar yang tidak selalu menguntungkan dibanding dengan keuntungan yang didapat oleh pelaku usaha.

Tanggung Jawab Perlindungan Konsumen tentang Keamanan Pangan

1. Prinsip Tanggung Jawab

Perlindungan Konsumen

Prinsip tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam kajian hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen

diperlukan kehati-hatian dalam

menganalisis siapa yang harus

bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada

pihak-pihak terkait. 9

Secara umum prinsip-prinsip

tanggung jawab dalam hukum

perlindungan konsumen dapat dibedakan sebagai berikut:

a. Prinsip tanggung jawab

berdasarkan unsur

kesalahan/kelalaian

Tanggung jawab berdasarkan

kesalahan/kelalaian (negligence)

adalah prinsip tanggung jawab yang

bersifat subjektif, yaitu suatu

tangyagung jawab yang ditentukan

oleh perilaku pelaku usaha.10

10 Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen,

Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004, hlm 46.

(8)

8

Berdasarkan teori ini kelalaian pelaku

usaha yang berakibat pada

munculnya kerugian konsumen

merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada pelaku

usaha. Negligence ini dapat dijadikan

dasar gugatan, manakala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Suatu tingkah yang

menimbulkan kerugian, tidak sesuai dengan sikap hati-hati yang normal.

2) Harus dibuktikan bahwa

tergugat lalai dalam

kewajiban berhati-hati

terhadap penggugat.

3) Perilaku tersebut merupakan

penyebab nyata dari kerugian

yang timbul. 11

Adapun yang dimaksud

dengan negligence adalah suatu

perilaku yang tidak sesuai dengan

standar kelakuan (standard of

conduct ) yang ditetapkan oleh

undang-undang demi

perlindungan anggota masyarakat

terhadap risiko yang tidak

rasional. Yang dimaksudkan

disini adalah adanya perbuatan

kurang cermat, kurang hati-hati

Prinsip yang cukup umum ini berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata

khususnya pasal 1365, 1366 dan 1367 prinsip pada ketiga pasal ini dipegang secara mutlak. Prinsip

11 Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan Konsumen,

Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, hlm 148.

ini menyatakan, seseorang dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPdt yang biasa

disebut dengan perbuatan

melawan hukum mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok yaitu:

1) Adanya perbuatan adalah

mengandung pengertian berbuat (aktif) atau tidak berbuat (pasif) sehingga

perbuatan itu

bertentangan dengan

hukum, baik berupa

pelanggaran terhadap hak

orang lain, terhadap

kewajiban sendiri,

terhadap kesusilaan,

maupun terhadap

kepantasan/kepatutan.

2) Adanya kesalahan adalah

berupa kesengajaan

maupun kekurang

hati-hatian. Kesengajaan

menunjukkan adanya

maksud atau niat dari

pelaku usaha untuk

menimbulkan akibat

tertentu. Akibat itu dapat

diketahui atau dapat

diduga akan terjadi dan dengan sadar melakukan perbuatan itu. Kekurang hati-hatian

mempersoalkan masalah kelalaian, lalai mengambil tindakan yang sepatutnya

(9)

9 sehingga timbul akibat

yang tidak dikehendaki.

3) Adanya kerugian yang

diderita dimaksud adalah kerugian yang berbentuk unsur rugi, biaya, dan bunga sebagaimana yang

diuraikan sehubungan

dengan wanprestasi pada perjanjian dan kerugian

sehubungan dengan

perbuatan melawan

hukum.

4) Adanya hubungan

kausalitas antara

kesalahan dan kerugian yang dimaksud adalah kerugian yang diderita oleh korban perbuatan

melawan hukum itu

adalah kerugian yang

semata-mata timbul atau lahir karena terjadinya

perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh pelaku. Ini berarti harus dibuktikan kaitan

antara kerugian dan

kesalahan pelaku pada

perbuatan melawan

hukum.

Selain itu faktor kesalahan atau kelalaian pelaku usaha, tuntutan ganti rugi tersebut dapat juga diajukan dengan bukti-bukti lain yaitu:

1) Pihak tergugat merupakan

pelaku usaha yang

benar-benar mempunyai

12 Inosentius Samsul, op.cit, hlm 47.

kewajiban untuk

melakukan tindakan yang

dapat menghindari

terjadinya kerugian

konsumen.

2) Pelaku usaha tidak

melaksanakan

kewajibannya untuk

menjamin kualitas produk sesuai dengan standar

yang aman untuk

dikonsumsi atau

digunakan

3) Konsumen menderita

kerugian

4) Kelalaian pelaku usaha

merupakan faktor yang

mengakibatkan adanya

kerugian bagi

konsumen.12

Mengenai pembagian beban

pembuktiannya, asas ini

mengikuti ketentuan pasal 163 HIR, atau pasal 283 RBg dan

pasal 1865 KUHPdt yang

menyatakan bahwa barang siapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya

hal atau peristiwa itu (actorie

incumbit probation). 13

b. Prinsip praduga untuk selalu

bertanggungjawab (Presumption

of libility)

Prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggung jawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa

ia tidak bersalah, jadi beban

pembuktian ada pada tergugat. 13 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit, hlm. 93.

(10)

10

Pembuktian semacam ini lebih dikenal dengan sistem pembuktian

terbalik. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen rupanya mengadopsi sistem pembuktian ini, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 19, 22, 23 dan 28. Dasar pemikiran dari teori pembuktian terbalik ini adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas

hukum praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) yang

lazim dikenal dalam hukum. Namun,

jika diterapkan dalam kasus

konsumen akan tampak, asas

demikian cukup relevan. Jika

digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada dipihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini

harus menghadirkan bukti-bukti

dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat

sekehendak hati mengajukan

gugatan.

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu

bertanggung jawab (Presumption

of nonliability)

Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, di mana tergugat selalu dianggap tidak bertanggung jawab sampai dibuktikan, bahwa ia bersalah. Prinsip ini hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan

demikian biasanya secara common

14 Shidarta, op.cit, hlm 62.

sanse dapat dibenarkan. 14 Akan

tetapi prinsip ini tidak lagi

diterapakan secara mutlak dan

mengarah pada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi.

d. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

(Strict Liability)

Berkaitan dengan lemahnya

kedudukan konsumen penggugat

dalam hal membuktikan kesalahan

ataupun negligence nya pelaku usaha

tergugat karena tidak mempunyai

pengetahuan dan sarana yang

memuaskan untuk itu, maka dalam

perkembangannya,

pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat

menempuh cara lain untuk meminta pertanggung jawaban dari pelaku usaha, yaitu dengan mempergunakan prinsip pertanggung jawaban mutlak (strict liability) tersebut.

Strict liability adalah bentuk

khusus dari tort (perbuatan malawan

hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada

kesalahan (sebagaimana tort

umumnya ), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian

yang timbul karena perbuatan

melawan hukum itu.

Prinsip pertanggung jawaban

mutlak (strict liability) ini tidak

mempersoalkan lagi mengenai ada atau tidak adanya kesalahan, tetapi pelaku usaha langsung bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan

(11)

11 oleh produknya yang cacat, karena

pelaku usaha yang kurang hati-hati dan karena pelaku usaha yang harus

mencegah kerugian itu. 15

Pada tata hukum yang ada di

Indonesia strict liability secara

implisit dapat ditemukan di dalam KUHPdt pada pasal 1367 yaitu:

“Seseorang tidak saja

bertanggung jawab untuk

kerugian yang disebabkan

perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

perbuatan orang-orang yang

menjadi tanggungannya atau

disebabkan oleh barang-barang

yang berada di bawah

pengawasannya.”

“Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian yang disebabkan oleh anak-anak belun dewasa, yang tinggal pada mereka

dan terhadap siapa mereka

melakukan kekuasaan orang tua atau wali.”

“Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili

urusan-urusan mereka, adalah

bertanggung jawab tentang

kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau

bawahan-bawahan mereka di dalam

melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.” “Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab

15 Janus Sidablok, op.cit, hlm 101.

tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.”

“Tanggung jawab yang

disebutkan di atas berakhir jika orang tua-orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan

bahwa mereka tidak dapat

mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.”

Pasal ini mengatur tentang

tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya, misalnya seseorang pemilik barang tertentu, suatu ketika barang itu mengakibatkan kerugian bagi orang lain sebagai contoh seperti

meledak dan kejadian ini

mengakibatkan luka-luka terhadap orang lain. Maka pemiliknya harus bertanggung jawab atas luka-luka yang diderita oleh orang tersebut, tanpa mempersoalkan ada tidaknya

kesalahan yang menimbulkan

ledakan itu. Begitu pula dengan

anak-anak, jika mereka melakukan

kesalahan yang mengakibatkan

kerugian terhadap orang lain maka yang harus bertangung jawab atas kerugian tersebut adalah orang tua atau walinya, dan juga guru-guru sekolah harus bertanggung jawab

(12)

12

sekolah yang masih ada dalam tanggung jawab mereka. Begitu pula dengan para pekerja, maka yang

harus bertanggung jawab atas

kesalahan yang mengakibatkan

kerugian maka yang bertanggung jawab atas semua kerugian ini adalah para majikan.

Dalam penerapannya Pasal 1367 ini sudah dapat dijadikan sebagai salah satu dasarnya kata-kata “barang

yang berada di bawah

pengawasannya” dapat dipandang sebagai faktor yang berdiri sendiri

sebagai penyebab timbulnya

kerugian, begitu pula dengan anak-anak dan para pekerja, yang berarti bhwa tidak memerlukan adanya kesalahan dari pemilik barang, wali atau majikan.

Selain dari pasal 1367 kita juga akan mendapati tentang masalah tanggung jawab ini pada pasal 1367 KUHPdt yaitu: “Pemilik seekor

binatang, atau siapa yang

memakainya adalah, selama binatang itu dipakainya bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh binatang tersebut, baik binatang itu ada di bawah pengawasannya, maupun tersesat atau terlepas dari pengawasannya.”

Pasal ini mengatur tentang

tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang atas kerugian yang

ditimbulkan oleh binatang itu

meskipun binatang itu dalam keadaan

tersesat atau terlepas dari

pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas itu sudah dapat dijadikan sebagai faktor penentu tanggung

jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau menyesatkan binatangnya. Dengan kata lain pemilik atau pemakai binatang dapat dituntut bertanggung jawab atas dasar risiko yang diambil oleh pemilik atau pemakai binatang.

Sedangkan untuk

mempergunakan konsep strict

liability ini pada bidang perlindungan

konsumen khususnya tanggung

jawab produk, akan memudahkan pembuktian, yang pada akhirnya

benar-benar memberikan

perlindungan kepada konsumen.

Dengan menggunakan kedua pasal 1376 KUHPdt itu maka konsumen yang dirugikan dapat langsung

meminta pertanggung jawaban

kepada para pemberi kerja (majikan). Hal ini tidak dimaksudkan untuk menempatkan pelaku usaha pada posisi yang sulit semata-mata, tetapi karena kedudukan pelaku usaha yang jauh lebih kuat dibanding konsumen

yang antara lain disebabkan

kemapuannya di bidang keuangan sehingga seorang pelaku usaha dapat menggunakan jasa ahli hukum yang terbaik dalam menghadapi suatu perkara.

Alasan lain yang dapat dijadikan dasar untuk memberlakukan atau

memakai konsep strict liability

dalam perlindungan konsumen,

khususnya tanggung jawab produk adalah dengan melihat pada tujuan dari perlindungan itu sendiri. Kata

perlindungan mengandung arti

memberi kemudahan bagi konsumen untuk mempertahankan dan atau

(13)

13 memperoleh apa yang menjadi

haknya. Janus Sidablok16

berpendapat dalam bukunya yang

berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen di Indonesia yaitu

“dengan memberlakukan konsep pertanggung jawaban mutlak, maka

apa yang diharapkan dari

perlindungan konsumen dapat

tercapai sebab pihak konsumen yang akan dilindungi itu akan dapat dengan

mudah mempertahankan atau

memperoleh haknya jika

dibandingkan dengan konsep

kesalahan, di mana konsumen masih

dibebani kewajiban untuk

membuktikan kesalahan pelaku

usaha. Jadi dengan konsep strict

liability ini pelaku usaha harus bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita konsumen.

Prinsip ini sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab

absolut (absolute liability). Kendati

demikian ada pula para ahli yang

membedakan kedua terminologi di

atas.Ada pendapat yang mengatakan,

strict liability adalah prinsip

tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang

menentukan. Namun ada

pengecualian-pengecualian yang

memungkinkan untuk dibebaskan

dari tanggung jawab, misalnya

keadaan force majeur. Sebaliknya,

absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiaannya. Selain itu ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaan kedua

16Ibid, hlm. 105.

pada ada tidaknya hubungan

kausalitas antara subjek yang

bertanggungjawab dankesalahannya.

Pada strict liability, hubungan itu

harus ada, sementara pada absolute

liability, hubungan itu tidak selalu

ada. Maksudnya, pada absolute

liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu

bukan si pelaku langsung kesalahan

tersebut (misalnya dalam kasus bencana alam).

Menurut R.C. Hoeber et.al, yang

dikutip dari buku Hukum

Perlindungan Konsumen karangan

Celina Tri Siwi Kristiyanti

menyatakan bahwa “biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena (1) konsumen tidak berada dalam posisi menguntungkan untuk

membuktikan adanya kesalahan

dalam suatu proses produksi dan

distribusi yang kompleks, (2)

diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,

misalnya dengan asuransi atau

menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa pelaku usaha lebih

berhati-hati”.17

Pelaku usaha dianggap harus bertanggung jawab apabila telah timbul kerugian pada konsumen karena mengonsumsi suatu produk dan oleh karena itu pelaku usaha

harus mengganti kerugian itu.

Sebaliknya pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah, yaitu bahwa dia telah 17 Celina Tri Siwi Kristiyanti, op.cit hlm. 96-97.

(14)

14

melakukan produksi dengan benar

malakukan langkah-langkah

pengamanan yang wajib dia

laksanakan.

Prinsip tanggung jawab mutlak

dalam hukum perlindungan

konsumen secara umum digunakan untuk “ menjerat “ pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang

memasarkan produknya yang

merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen

atas penggunaan produk yang

dipasarkannya. Gugatan product

liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:

1) Melanggar jaminan (breach

of warranty), misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang

tertera dalam kemasan

produk;

2) Ada unsur kelalaian

(negligence), yaitu produsen

lalai memenuhi standar

pembuatan produk yang baik;

3) Menerapkan tanggung jawab

mutlak (strict liability).

Istilah product liability

diterjemahkan secara bervariasi ke dalam bahasa Indonesia seperti “

tanggung gugat produk “ atau juga “

tanggung jawab produk “.adapun

yang dimaksud dengan product

Liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan

18Ibid.

yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak

dalam suatu proses untuk

menghasilkan suatu produk

(processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.

Secara historis product liabity

lahir karena ada ketidak seimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran

produknya, harus mengubah

strateginya menjadi consumer

oriented.

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab

mutlak terletak pada risk liability.

Dalam risk liability, kewajiban

mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko

adanya kerugian itu. Namun,

penggugat (konsumen) tetap

diberikan beban pembuktian,

walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu

membuktikan adanya hubungan

kausalitas antara perbuatan pelaku

usaha dan kerugian yang

dideritannya. Selebihnya diterapkan strict liability.18

Meskipun sistem tanggung jawab

pada product liability berlaku prinsip

strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung

jawabnya, baik untukseluruhnya atau

(15)

15 Hal-hal yang dapat membebaskan

tanggung jawab produsen tersebut adalah:

1) Jika produsen tidak

mengedarkan produknya (put

into circulation),

2) Cacat yang menyebabkan

kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian,

3) Bahwa produk tersebut tidak

dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan

untuk tujuan ekonomis

maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis,

4) Bahwa terjadinya cacat pada

produk tersebut akibat

keharusan memenuhi

kewajiban yang ditentukan

dalam peraturan yang

dikeluarkan oleh pemerintah,

5) Bahwa secara ilmiah dan

teknis (state of scintific an

technical knowledge,state or art defense) pada saat produk

tersebut diedarkan tidak

mungkin cacat,

6) Dalam hal produsen dari suatu

komponen, bahwa cacat

tersebut disebabkan oleh

desain dari produk itu sendiri

dimana komponen telah

dicocokkan atau disebabkan kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut,

7) Bila pihak yang menderita

kerugian atau pihak ketiga

turut menyebabkan terjadinya

kerugian tersebut

(contributory negligence),

8) Kerugian yang terjadi

diakibatkan oleh Acts of God

atau force majeur.

Namun demikian, dengan

berlakunya prinsip strict liability

dalam hukum tentang product

liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak

produsen juga dapat

mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Pentingnya hukum tentang tanggung

jawab produsen (product liability)

yang menganut prinsip tanggung

mutlak (strict liability) dalam

mengantisipasi kecenderungan dunia dewasa ini yang lebih menaruh

perhatian pada perlindungan

konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku dewasa ini dipandang

terlalu menguntungkan pihak

produsen, sementara produsen

memiliki posisi ekonomis yang lebih kuat.

e. Prinsip tanggung jawab dengan

pembatasan (limitation of

liability).

Prinsip ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara

(16)

16

sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang

merugikan konsumen, termasuk

membatasi maksimal tanggung

jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhap Konsumen Pangan yang Berbahaya

1. Keamanan pangan

Keamanan pangan merupakan salah

satu faktor penting yang harus

diperhatikan dalam konsumsi sehari-hari. Dengan demikian, sesungguhnya pangan selain harus tersedia dalam jumlah yang cukup, harga yang terjangkau juga harus memenuhi persyaratan lain, yaitu sehat, aman, dan halal. Jadi sebelum pangan tersebut didistribusikan harus memenuhi persyaratan kualitas, penampilan, dan cita rasa, maka terlebih dahulu pangan tersebut harus benar-benar aman untuk dikonsumsi. Artinya, pangan tidak boleh mengandung bahan berbahaya seperti cemaran pestisida, logam berat, ataupun tercemar oleh bahan-bahan yang dapat

mengganggu kepercayaan ataupun

keyakinan masyarakat misalnya tercemar

bahan berbahaya.19

Berdasarkan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang

Pangan menjelaskan bahwa: “Keamanan

pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia,

19Ibid, hlm. 169.

dan benda lain yang yang dapat

mengganggu, merugikan, dan

membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi”.

Keamanan pangan yang dikehendaki dari undang-undang pangan ini adalah suatu langkah untuk mencegah pangan

yang berbahaya untuk kesehatan

konsumen, mengingat perekembangan teknologi pengolahan pangan di salah satu sisi membawa hal-hal positif seperti peningkatan mutu, perbaikan sanitasi, standarisasi pengepakan. Akan tetapi pada sisi lain teknologi pangan akan menyebabkan beberapa risiko tidak aman bagi makanan yang dikonsumsi, seperti zat pengawet makanan atau zat-zat kimia lain yang berbahaya untuk kesehatan. Agar pangan yang aman tersedia memadai maka diperlukan sistem pangan yang mampu memberikan perlindungan

terhadap manusia yang

mengkonsumsinya, salah satu bentuk perlindungan yang dibuat adalah undang-undang pangan.

Pada undang-undang pangan masalah keamanan pangan diatur pada Pasal 67 yaitu:

1) Keamanan pangan

diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak

bertentangan dengan agama,

keyakinan, dan budaya

masyarakat.

2) Keamanan pangan dimaksudkan

untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan

(17)

17

benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan dan

membahayakan kesehatan

manusia.

Berdasarkan Undang-Undang Pangan di atas terlihat jelas bahwa keamanan

pangan terkait langsung dengan

kesehatan manusia, yang dapat terjadi sebagai akibat cemaran. Standar yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha pangan menurut pasal 69 Undang-Undang Pangan adalah:

Penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui:

a. Sanitasi Pangan;

b. Pengaturan terhadap bahan

tambahan pangan;

c. Pengaturan terhadap pangan

produk rekayasa genetik;

d. Pengaturan terhadap iradiasi

pangan;

e. Penetapan standar kemasan

pangan;

f. Pemberian jaminan keamanan

pangan dan mutu pangan; dan

g. Jaminan produk halal bagi yang

dipersyaratkan.

2. Pihak yang Bertanggung Jawab

Pada kasus pertanggung jawaban pangan ini, terdapat dua pihak yaitu pihak yang dapat menuntut dan pihak yang dapat dituntut, adalah konsumen dan pelaku usaha.

Pihak yang dapat menuntut adalah konsumen, yaitu orang perorangan yang yang telah mengkonsumsi pangan dan kemudian sakit. Orang perorangan yang dimaksud adalah setiap orang yang

mengkonsumsi pangan tanpa

mempersoalkan dari mana dan dengan

cara bagaimana dia memperoleh

makanan yang dimaksud. Jadi, tidak terbatas pada konsumen pembeli (melalui perjanjian jual beli) tetapi juga mereka yang memperoleh pangan dengan cara apapun (di luar perjanjian), misalnya anggota keluarga lain, tamu, dan juga mereka yang mendapatkan pangan

sebagai pemberian, hadiah, dan

sebagainya. Hal ini dipertegas lagi dengan kata-kata “setiap orang yang dirugikan” Pihak lain adalah ahli warisnya jika konsumen itu akhirnya meninggal dunia. Jadi berdasarkan ketentuan ini maka menunjukkan bahwa yang dapat menuntut bukan hanya orang

yang terkait hubungan kontraktual

dengan pelaku usaha melainkan mereka yang tidak terkait hubungan kontraktual.

Berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Pangan ini maka pihak yang dapat dituntut adalah pelaku usaha pangan, baik berupa badan usahanya maupun orang perorangan yang diberi tanggung jawab atas usaha pangan di mana dia adalah penanggung jawab atas keamanan pangan yang diproduksi. Ketentuan pada Undang-Undang Pangan ini menegaskan bahwa harus ada pihak yang bertanggung jawab atas keamanan

pangan jika ternyata meninbulkan

kerugian terhadap konsumen.

3. Dasar Tuntutan Pertanggung

Jawaban

Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi,

apabila ada kewajiban untuk

membuktikan kesalahan, berarti

kesalahan itu sebagai dasar lahirnya kewajiban untuk bertanggung jawab.

(18)

18

Kesalahan itu sedemikian rupa sehingga dipandang sebagai penyebab timbulnya

kerugian, berdasarkan pasal 1365

KUHPdt secara tegas menyatakan bahwa kesalahan sebagai dasar pertanggung jawaban.

Dengan demikian dapat pula

dikatakan bahwa ketentuan tentang pasal

69 Undang-Undang Pangan yang

dilanggar oleh pelaku usaha dapat dihubungkan dengan pasal 1365 KUHPdt tentang perbuatan melawan hukum. Perbuatan pelaku usaha yang tidak sesuai

dengan standar keamanan pangan

menimbulkan kerugian bagi konsumen yang mengkonsumsi produk pangan tersebut membahayakan bagi kesehatan konsumen dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Menurut

Janus Sidabalok20 dalam bukunya yang

berjudul Hukum Perlindungan

Konsumen di Indonesia menjelaskan tentang rumusan perbuatan melawan hukum ada empat kemungkinan hal yang dilanggar supaya perbuatan itu dapat disebut dengan perbuatan melawan hukum, yaitu: melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku bertentangan dengan kesusilaan, serta bertentangan dengan sikap hati-hati yang dapat dituntut dalam pergaulan masyarakat perihal menjaga diri dan menjaga barang milik orang lain.

Dalam kasus keamanan pangan jika konsumen sakit atau meninggal dunia karena mengkonsumsi pangan yang tidak

aman maka pelaku usaha yang

memproduksi pangan ini telah melanggar hak orang lain yaitu hak konsumen untuk mendapatkan pangan yang aman bagi

20 Janus Sidabalok, op. cit, hlm. 117.

kesehatan dan keselamatannya. Di samping itu pelaku usaha telah bertindak bertentangan dengan hukum, yaitu tidak

melaksanakan kewajibannya

sebagaimana mestinya, sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perihal memproduksi dan mengedarkan pangan yang baik dan aman bagi kesehatan.

Dengan alasan menggunakan

perbuatan melawan hukum sebagai saluran untuk menuntut ganti rugi oleh konsumen kepada pelaku usaha dengan

dalil bahwa pelaku usaha telah

melakukan kesalahan berupa

memproduksi dan menyalurkan produk pangan yang tidak aman sehingga mengakibatkan konsumen sakit atau meninggal dunia. Jadi kesalahan pelaku

usaha dapat diketegorikan sebagai

perbuatan melawan hukum.

Dalam hal menuntut pertanggung jawaban atas dasar kesalahan maka yang pertama kali harus dibuktikan adanya peristiwa yang menyebabkan kerugian itu berdasarkan pasal 1865 KUHPdt yaitu: “Setiap orang yang mendalilkan bahwa

ia mempunyai hak, atau guna

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjukkan pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.”

Berdasarkan pasal ini maka berkaitan dengan tuntutan pertanggung jawaban oleh konsumen kepada pelaku usaha. Konsumen sebagai penggugat harus membuktikan adanya peristiwa yang melahirkan hak untuk menuntut itu. Termasuk dalam hal ini juga konsumen

(19)

19 harus membuktikan adanya kesalahan.

Pada peristiwa keamanan pangan yang

harus dibuktikan adalah tentang

keasalahan pada pelanggaran aturan standar yang ditetapkan undang-undang tepatnya pada pasal 69 Undang-Undang Pangan seperti misalnya pelanggaran pada sanitasi yaitu kebersihan dan kehigienisan suatu produk makanan, maka kesalahan inilah yang harus

dibuktikan oleh konsumen untuk

menjerat pelaku usaha.

Akan tetapi yang menjadi masalah

adalah bahwa pada kenyataannya

konsumen tidak cukup mengetahui

bahan-bahan olahan pangan yang

membahayakan untuk kesehatan

konsumen tersebut, dan juga konsumen terkadang tidak mengetahui tingkat keberbahayaan dari suatu produk pangan yang tidak aman. Untuk meneliti ini diperlukan seorang ahli dan peralatan untuk meneliti bahan pangan tersebut.

Konsumen memang dapat

mengupayakan pembuktian ini tetapi harus mengeluarkan biaya yang cukup mahal, dan juga konsumen tentu tidak mengetahui seluk beluk proses produksi sehingga sulit menentukan di mana letak kesalahan pelaku usaha.

Selain itu konsumen sebagai

penggugat juga harus membuktikan adanya kerugian dan hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian, yaitu kerugian sebagai akibat langsung dari kesalahan pelaku usaha selaku tergugat. Membuktikan kerugian dan hubungan

kausalnya dengan kesalahan tentu

bukanlah perkara yang mudah, terhadap kerugian dapat diajukan bukti-bukti

seperti luka-luka dan biaya

pengobatan/perawatan. Akan tetapi untuk

membuktikan hubungan kausalnya

dengan kesalahan memerlukan

pemahaman yang mendalam akan seluk beluk produksi pangan.

Masalah ganti rugi ini merupakan hak konsumen menurut Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen pada pasal 4

huruf h yaitu: “hak untuk mendapatkan

kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya”. Pasal ini menujukkan bahwa setiap konsumen mempunyai hak untuk mendapat ganti rugi apabila produk yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian. Begitu pula pada masalah pangan, jika konsumen mendapat kerugian yang diakibatkan oleh produk pangan, maka

pelaku usaha pangan ini harus

memberikan hak ganti rugi terhadap konsumen tersebut.

Pada kajian hukum perlindungan konsumen juga memberikan solusi yaitu dengan prinsip tanggung jawab risiko hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa

kewajiban menanggung kerugian

dipandang sebagai risiko yang harus dipikul sendiri karena tidak ada pihak lain yang dapat dipersalahkan. Prinsip ini bukanlah hal baru sebab Negara-Negara maju telah lama mempraktikkannya khususnya kasus-kasus yang berkaitan dengan risiko lingkungan.

Sehubungan dengan hal di atas, dengan memakai prinsip pertanggung

jawaban mutlak (strict liability) sebagai

dasar pertanggung jawaban maka

(20)

20

diwajibkan lagi membuktikan kesalahan pelaku usaha sebagai tergugat. Sebab menurut prinsip ini dasar pertanggung jawaban bukan lagi kesalahan, melainkan

pelaku usaha tergugat langsung

bertanggung jawab sebagai risiko dari usahanya. Di lain pihak pelaku usaha yang harus membuktikan bahwa dia tidak

bersalah, yaitu bahwa dia telah

melakukan proses produksi sesuai

dengan ketentuan yang berlaku, dengan memegang teguh prinsip kehati-hatian

dalam berproduksi.21

4. Pembinaan dan pengawasan produk

pangan

Makanan merupakan salah satu

kebutuhan pokok manusia yang

memegang peranan penting dalam

meningkatkan kesehatan manusia dalam menjalankan berbagai aktifitas dalam keseharian dan dapat pula meningkatkan kecerdasan masyarakat, sehingga dalam hal ini masyarakat perlu dilindungi

terhadap produksi dan peredaran

makanan olahan yang tidak memenuhi syarat terutama dari segi mutu, kesehatan, keselamatan, dan keyakinan agama.

Undang-Undang Perlindungan

Konsumen pasal 30 ayat (1)

menyebutkan bahwa pengawasan

terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan

peraturan perundang-undangan

dilaksanakan oleh: 1) Pemerintah; 2) Masyarakat;

3) Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

21 Ibid, hlm. 113-114.

Sedangkan para pelaku usaha pangan akan selalu mendapat pengawasan dari pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan tepatnya pada pasal 108 yaitu:

1. Dalam melaksanakan

penyelenggaraan pangan,

pemerintah berwenang melalui pengawasan

2. Pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 dilakukan terhadap pemenuhan:

a. Ketersediaan dan/atau

kecukupan pangan pokok yang aman, bergizi, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

b. Persyaratan keamanan

pangan, mutu pangan, dan gizi pangan, serta persyaratan label dan iklan.

3. Pengawasan terhadap:

a. Ketersediaan dan/atau

kecukupan pangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a dilaksanakan

oleh lembaga pemerintah

yang menyelenggarakan

urusan pemerintahan di

bidang pangan;

b. Persyaratan keamanan

pangan, mutu pangan, dan gizi pangan, serta persyaratan

label dan iklan pangan

sebagaimana yang dimaksud dengan ayat 2 huruf b, untuk pangan olahan, dilaksanakan

oleh lembaga pemerintah

yang melaksanakan tugas

(21)

21

pengawasan obat dan

makanan; dan

c. Persyaratan keamanan

pangan, mutu pangan, dan gizi pangan serta persyaratan

label dan iklan pangan

sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, untuk pangan

segar, dilaksanakan oleh

lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang

pangan.

4. Pemerintah menyelenggarakan

program pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses

produksi, penyimpanan,

pengankutan, dan/atau peredaran pangan oleh pelaku usaha pangan. Berdasarkan pasal di atas maka tugas pengawasan pangan ini dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan, yaitu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlahnya maupun mutunya. Pihak yang dapat melakukan pengawasan pangan ini

adalah lembaga pemerintah yang

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.

Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Pasal 29 ayat (1) menyatakan “Pemerintah bertanggung jawab atas

pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.” Dalam hal

ini dilaksanakan oleh menteri-menteri teknis terkait.

Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan

bahwa pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen dimaksudkan untuk:

a. Terciptanya iklim usaha dan

tumbuhnya hubungan yang sehat

antara pelaku usaha dan

konsumen.

b. Berkembangnya lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

c. Meningkatnya kualitas sumber

daya manusia serta meningkatnya

kegiatan penelitian dan

pengembangan di bidang

perlindungan konsumen.

Pembinaan yang dimaksud dalam

praktiknya dilakukan oleh Dinas

Kesehatan Republik Indonesia.

Berdasarkan ketentuan undang-undang pangan diketahui yang berwengan adalah

pemerintah dalam praktik tugas

pembinaan ini dilakukan oleh Dinas

Lingkungan Kementrian Kesehatan,

sedangkan pengawasan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Untuk melaksanakan kewenangan tersebut setiap pejabat yang diberi tugas harus dilengkapi dengan surat perintah. Hal ini untuk menghindari timbulnya pemeriksaan yang sewenang-wenang atau pemeriksaan oleh pihak yang tidak berwenang.

(22)

22

KESIMPULAN

Bentuk tanggung jawab seorang pelaku usaha kepada konsumen pada tatanan hukum di Indonesia adalah:

a. Tanggung jawab secara perdata

berdasarkan peristiwa hukum dapat

dibedakan menjadi dua yaitu:

pertanggung jawaban atas dasar kesalahan yaitu tanggung jawab yang

dapat lahir karena terjadinya

wanprestasi atau perbuatan melawan hukum baik yang disebabkan karena perbuatan yang kurang hati-hati atau karena kesengajaan. Pertanggung jawaban atas dasar risiko adalah tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang pelaku usaha atas kegiatan usahanya yang menerbitkan kerugian terhadap konsumen.

b. Tanggung jawab dalam ketentuan

pidana masalah perlindungan

konsumen juga memperoleh

perhatian sebagaimana diatur dalam Pasal 204 dan 205 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Ketentuan ini terutama berkaitan

dengan hak konsumen untuk

memperoleh informasi secara benar.

c. Tanggung jawab secara hukum

administrasi adalah memberikan

Sanksi kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur

hasil-hasil produknya. Sanksi

administratif berkaitan dengan

perizinan yang diberikan pemerintah

kepada pengusaha. Jika terjadi

pelanggaran izin-izin itu dapat

dicabut secara sepihak oleh

pemerintah.

Tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen tentang keamanan pangan adalah dengan cara melakukan tuntutan terhadap pelaku usaha pangan yang memproduksi dan menjual pangan yang berbahaya yaitu dengan cara membuktikan kesalahan si pelaku usaha dengan prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan atau dengan cara membebankan risiko kesalahan terhadap pelaku usaha dengan menggunkan prinsip tanggung jawab mutlak.

Penelitian ini kepada konsumen pangan

hendaklah berhati-hati dalam memilih

pangan yang akan dikonsumsi, agar tidak merugikan terhadap kesehatan dan kepada pemerintah agar memberikan sanksi yang lebih berat kepada pelaku usaha yang memproduksi pangan berbahaya, supaya para pelaku usaha lebih berhati-hati dalam memproduksi pangan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Karya Ilmiah

Kristiyanti, Celina Tri Siwi, Hukum

Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Ahmadi Miru, Hukum Perlindungan

Konsumen, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

Sajipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu

Sosial bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1977.

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan

Konsumen di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014.

(23)

23

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen

Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Grasindo, 2004.

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen,

Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta: Universitas Indonesia, 2004.

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Hukum Perlindungan

Konsumen

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

Referensi

Dokumen terkait

Klien usia 40-an Klien hamil/ Postpartum Klien Pasca keguguran Klien dengan HIV/AIDS Ganti metode Buka tab metode atau klien baru Tab Klien kunjungan ulang Tanyakan metode

Terdapat dua daripada tiga item berada dalam kedudukan paling rendah yang merupakan item dalam indikator penilaian terhadap rangsangan luar (item 8: Saya berasa risau

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Karakteristik mahasiswa FKIP-UT di UPBJJ-UT Banda Aceh, yaitu: rataan umur 37,5 tahun, rataan lama pendidikan 10,3 tahun, rataan

Pada umumnya konsentrasi asam lemak terbang akan mempunyai konsentrasi yang lebih tinggi pada saat tanaman pakan yang diberikan masih muda, karena tana- man yang

Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Giddens tentang strukturas. Tema sentral yang Giddens yang pertama, yaitu hubungan antara struktur dan pelaku berupa

Jadi, metode dakwah adalah cara-cara yang digunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan

: Produktivitas Sekolah (Ditinjau dari Kepemimpinan Kepala Sekolah, Iklim Sekolah dan Motivasi Kerja di MTs Negeri Kabupaten Pati) Dengan ini kami menilai tesis tersebut

Menurut pendapat kami, berdasarkan audit kami dan laporan auditor independen lain, laporan keuangan konsolidasi tahun 2002 yang kami sebut di atas menyajikan secara wajar, dalam