• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOKUMEN KSCT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DOKUMEN KSCT"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rencana Induk (Master Plan) Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) merupakan salah satu dokumen perencanaan pengembangan KSCT di daerah yang diamanatkan dalam Permendagri Nomor 29 Tahun 2008 Tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di daerah.

Rencana Induk ini disusun dalam kurun waktu 5 (lima) tahunan yang memuat hasil kajian secara menyeluruh (komprehensif) dan terpadu terhadap semua aspek kunci pengembangan KSCT sebagai data dasar serta proyeksi arah, skenario, dan tahapan pengembangan KSCT dalam jangka menengah. Rencana Induk ini menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Pengusahaan dan Rencana Tindak.

Permendagri nomor 29 Tahun 2008 memberikan salah satu pilihan bagi daerah untuk membangun daerahnya melalui pendekatan pengembangan daerahnya melalui wilayah berupa Kawasan Strategis dan Cepat Tumbuh, yang sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang pada akhirnya mampu memperkuat daya saing perekonomian. Permendagri hanya merupakan sarana untuk pendorong percepatan pengembangan kawasan yang berpotensi sebagai pusat pertumbuhan wilayah yang telah berkembang atau potensial berkembang, mengurangai kesenjangan pemnbangunan antar wilayah dan mendorong pertumbuhan daerah sekitarnya yang relatif masih tertinggal, daerah perbatasan, pesisir dan pulau-pulau kecil, serta mengoptimalkan pemanfaatan komparatif dan kompetitif sektor/produk unggulan daerah dan daya tarik kawasan di pasar domestik dan internasional.

(2)

2 1.2. Prinsip

Prinsip penyusunan Dokumen Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh diselenggarakan berdasarkan prinsip:

a. Penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan investasi

b. Kepastian hukum tentang jaminan keamanan investasi, kemudahan dan transparansi pengelolaan perijinan usaha melalui pelayanan satu pintu, keharmonisan hubungan investor dengan tenaga kerja, dan keadilan di antara pelaku usaha di hulu dengan di hilir

c. Keterpaduan program dan kegiatan sektoral di pusat, provinsi, dan Kabupaten/kota, dengan kegiatan pelaku usaha dan masyarakat sesuai dengan kebutuhan

d. Peningkatan keterkaitan bisnis yang saling menguntungkan antara pelaku usaha skala besar, dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui pemberdayaan masyarakat UMKM

e. Pengutamaan keterkaitan yang saling menguntungkan antarpelaku usaha dan antarkawasan, seperti mengupayakan keterkaitan pengembangan pusat pertumbuhan dengan sentra produksi di kawasan sekitarnya

f. Pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara optimal dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat

g. Pengutamaan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi guna meningkatkan dayaguna dan hasilguna industri pengolahan di dalam negeri berbahan baku lokal dengan tujuan ekspor dalam bentuk barang jadi

1.3. Tujuan

Sedangkan tujuan penyusunan Dokumen Perencanaan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh adalah:

a. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk unggulan di kawasan b. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan

c. Mendorong peningkatan kerjasama pembangunan antarwilayah secara fungsional, dan antardaerah yang relatif sudah berkembang dengan daerah tertinggal di sekitarnya dalam suatu keterpaduan sistem wilayah pengembangan ekonomi

(3)

3 d. Mengoptimalkan pengelolaan potensi sumberdaya spesifik daerah bagi peningkatan perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat, yang berwawasan kelestarian lingkungan

(4)

4

BAB II. KAJIAN TEORI dan PENDEKATAN KONSEP

2.1. Kajian Teori

2.1.1. Definisi Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh

Defenisi Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh (WSCT) ini sangat terkait dengan UU Penataan Ruang Tahun 1992 dan PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN yang sudah tidak berlaku lagi saat ini, karena diperbaharui dalam bentuk UU Penataan Ruang Tahun 2007. Istilah Kawasan Andalan tercantum dalam PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN yang diidentifikasi sebanyak 111 kawasan sebagai pendekatan perencanaan pemerataan pembangunan nasional, kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk KAPET sebanyak 13 kawasan umumnya di Indonesia Bagian Timur.

Istilah Pendekatan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh, salah satunya dikenal dengan Kawasan Andalan, sejak Tahun 1992 berada pada posisi yang lemah jika dilihat dari aspek legal formal atau dukungan politik yang kurang untuk tataran implementasinya. Hingga tahun 1998 diterbitkannya Keppres tentang 13 KAPET, Kawasan Andalan dijadikan sebagai base line data pemilihan KAPET meski tidak semua wilayah KAPET diambil dari Kawasan Andalan.

Dalam UU Nomor 26 tentang Penataan Ruang Tahun 2007, istilah Kawasan Andalan tidak lagi muncul, yang ada adalah istilah Kawasan Strategis yang dibedakan dari berbagai aspek poleksosbudhankam, serta dibedakan dari tingkatan administrasi pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sedangkan kawasan cepat tumbuh dikenal dalam RPJM 2004-2009 yakni sebagai wilayah yang memiliki produk-produk unggulan dan berpotensi untuk cepat berkembang dibandingkan dengan kawasan potensial lainnya.

Seperti yang telah diungkapkan sekilas sebelumnya, kawasan Strategis menurut undang-undang tersebut didefinisikan sebagai wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan. Sedangkan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) adalah merupakan bagian

(5)

5 kawasan strategis yang telah berkembang atau potensial untuk dikembangkan karena memiliki keunggulan sumber daya dan geografis yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya.

Hakekat pembangunan daerah dapat dikelompokkan pada dua pendekatan yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan kewilayahan. Terkait dengan amanat RPJM 2004-2009 yang berfokus pada Pengurangan Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah, maka pendekatan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh menjadi harapan dalam mendorong pengembangan wilayah sekitarnya (dalam arti bahwa wilayah sekitarnya adalah daerah tertinggal dan termasuk perbatasan), bertujuan meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah tentunya dilakukan melalui dua pendekatan sektoral dan kewilayahan.

Dari sisi pendekatan kewilayahan, defenisi wilayah strategis adalah wilayah yang secara ekonomi diharapkan mampu menjawab kebutuhan pembangunan di tingkat nasional, atau provinsi atau Kabupaten/Kota dalam rangka mencapai visi Indonesia 2020 “Terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara”.

Meski sudah tidak diberlakukan lagi, untuk sekedar mereview defenisi pendekatan wilayah strategis menurut Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 adalah suatu wilayah ditetapkan secara nasional memiliki nilai strategis yang penataan ruangnya diprioritaskan, dan kawasan strategis menurut PP 47 Tahun 1997 tentang RTRWN adalah kawasan - kawasan berikut :

 Kawasan tertentu pertahanan dan keamanan : kawasan yang diperuntukkan untuk memelihara hankam negara.

 Kawasan tertentu ekonomi nasional : kawasan ekonomi yang memiliki sumberdaya alam strategis, teknologi tinggi dan berskala besar.

 Kawasan tertentu sosial budaya : kawasan pelestarian adat istiadat dan budaya nasional.

(6)

6

 Kawasan tertentu lingkungan: kawasan tempat perlindungan sumberdaya alam nasional.

 Kawasan tertinggal: kawasan yang perkembangannya tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain karena kendala pembangunan yang dimilikinya.

 Kawasan andalan : kawasan yang berperan mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan sekitarnya serta dapat mendorong terwujudnya pemerataan pemanfaatan ruang secara nasional.

2.1.2. Pelaksanaan Pengembangan Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh Dalam implementasinya, wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh di Indonesia dikembangkan dalam berbagai bentuk baik melalui program pengembangan sektoral maupun program pengembangan kewilayahan, dan dibedakan menurut tingkatan tahapan perkembangannya di daerah. Wilayah Strategis dan cepat tumbuh ditinjau dari sudut pandang ekonomi tingkat nasional adalah :

 Wilayah Strategis (wilayah bernilai strategis di bidang ekonomi yang relatif sudah berkembang) seperti : Kawasan FTZ, Kawasan Industri, Kawasan Berikat, KAPET, KEKI).

 Wilayah Cepat Tumbuh (wilayah produk-produk unggulan yang berdaya saing relatif sedang berkembang atau potensial untuk dikembangkan) seperti:

- Kawasan Sentra Produksi atau disebut juga sebagai Kawasan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura, Kawasan Agribisnis Peternakan/Kunak, - Kawasan Agribisnis Perkebunan/Kimbun, Kawasan Agribisnis Perikanan, - Kawasan Agropolitan, Kawasan Minapolitan, Kawasan Industri UKM, - Kawasan Wisata Agro, Kawasan Wisata Budaya, Kawasan Wisata Alam, - Kawasan Industri UKM, dan kawasan produksi lainnya yang sejenis.

2.2. Konsep

2.2.1. Konsep Dasar Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah mengandung arti yang luas, namun pada prinsipnya merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Berbagai konsep pengembangan wilayah telah

(7)

7 diterapkan di berbagai negara melalui berbagai disiplin ilmu. Konsep-konsep yang telah pernah berkembang sebelumnya umumnya didominasi oleh ilmu ekonomi regional, walaupun sesungguhnya dalam penerapannya akan lebih banyak tergantung pada potensi pertumbuhan setiap wilayah yang akan berbeda dengan wilayah lainnya, baik potensi SDA, kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya. Di bab ini akan dibahas mengenai beberapa konsep konvensional pengembangan wilayah yang berkembang dan bagaimana keterkaitan konsep-konsep tersebut dengan tantangan eksternal dan internal di Indonesia.

A. Konsep Wilayah Berbasis Karakter Sumber Daya yang dimiliki

Kebutuhan akan pengembangan daerah dengan pendekatan kewilayahan yang berkembang pada masa kini pada umumnya didasari atas adanya masalah-masalah ketidakseimbangan demografi dalam suatu daerah, tingginya biaya, turunnya taraf hidup masyarakat, ketertinggalan pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak di daerah tertentu.

Pengembangan wilayah sesungguhnya merupakan program yang menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan, yang didasarkan atas sumber daya yang ada dan kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah tertentu. Dengan demikian, dalam mengembangkan suatu wilayah diperlukan pendekatan-pendekatan tertentu yang disesuaikan dengan karakteristik daerah yang bersangkutan.

Beberapa pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan karakter dan sumber daya daerah yang bersangkutan, antara lain dikemukakan sebagai berikut:

1. Pengembangan wilayah berbasis sumber daya

Konsep ini menghasilkan sejumlah pilihan strategi sebagai berikut :

 Pengembangan wilayah berbasis input namun surplus sumber daya manusia. Bagi wilayah yang memiliki SDM yang cukup banyak namun lahan dan SDA terbatas maka labor surplus strategy cukup relevan untuk diterapkan. Tujuan utama strategi ini adalah menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.

(8)

8 Strategi ini mengupayakan berbagai SDA yang mengalami surplus yang dapat diekspor ke wilayah lain baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Hasil dari ekspor SDA ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengimpor produk yang jumlahnya sangat terbatas di wilayah tersebut, misalnya barang modal, bahan baku, bahan penolong, barang konsumsi atau jasa.

 Pengembangan wilayah berbasis sumber daya modal dan manajemen.

Strategi pengembangan wilayah berdasarkan pengembangan lembaga keuangan yang kuat dan pengembangan sistem manajemen yang baik, yang dapat ditempuh oleh wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal modal dan manajemen tersebut.

 Pengembangan wilayah berbasis seni budaya dan keindahan alam

Wilayah dengan potensi-potensi pantai dan pemandangan yang indah, seni budaya yang menarik dan unik, dapat mengembangkan wilayahnya dengan cara membangun transportasi, perhotelan dan restoran, indutri-industri kerajinan, pelayanan travel, dan lainnya yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan.

2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan

Konsep ini menekankan pada pilihan komoditas unggulan suatu wilayah sebagai motor penggerak pembangunan, baik di tingkat domestik maupun internasional.

3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi

Konsep ini menekankan pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang porsinya lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lain. Pembangunan ekonomi ini dilaksanakan dalam kerangka pasar bebas/pasar persaingan sempurna.

4. Pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan

Peranan setiap pelaku pembangunan menjadi fokus utama dalam pengembangan wilayah konsep ini. Pelaku pembangunan ekonomi tersebut

(9)

9 dapat dipilah menjadi lima kelompok yaitu : usaha kecil/rumah tangga (household), usaha lembaga sosial (nonprofit institution), lembaga bukan keuangan (nonfinancial institution), lembaga keuangan (financial institution), dan pemerintah (government). Di Indonesia, di samping kelima pelaku tersebut, juga terdapat pelaku pembangunan ekonomi lain yaitu koperasi (UUD 1945).

B. Konsep Pengembangan Wilayah berbasis Penataan Ruang

Tiga konsep pengembangan wilayah diperkenalkan dalam kebijakan pembangunan berbasis pendekatan tata ruang. Pada umumnya konsep ini lebih didasarkan pada penataan ruang wilayah, yang dirinci ke dalam wilayah provinsi dan Kabupaten, yaitu:

1. Pusat pertumbuhan

Konsep ini menekankan pada perlunya melakukan investasi pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini cukup dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup cepat. Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh melalui proses tetesan (trickle down effect) ke bawah. Di Indonesia, konsep ini diimplementasikan dalam bentuk Kawasan Andalan. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan sektor-sektor unggulan.

2. Integrasi Fungsional

Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu wilayah memiliki hirarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan secara fungsional agar terjadi ikatan yang kuat ke depan

(10)

10 maupun ke belakang dari suatu proses produksi merupakan pengembangan dari konsep ini.

3. Desentralisasi

Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia. Berbagai konsep tersebut di atas tidak secara konsisten dan konsekuen diimplementasikan karena berbagai macam permasalahannya, serta pada akhirnya belum dapat menciptakan pembangunan secara merata. Pemerintah pusat yang sentralistis cenderung pada konsep pusat pertumbuhan, karena lingkup wilayah yang sangat luas sementara dana pembangunan terbatas. Selain itu, kebijakan sektoral di pusat tidak kondusif dan tidak terpadu di dalam memacu pertumbuhan ekonomi di daerah, dan pembangunan cenderung bersifat top down yang tidak mengakomodasi kebutuhan berbagai pelaku di daerah.

C. Konsep Pengembangan Wilayah Terpadu

Konsep pengembangan wilayah terpadu pernah dilaksanakan melalui berbagai ragam program pengembangan wilayah terpadu, yang pada asalnya merupakan upaya pembangunan wilayah-wilayah khusus yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pada dasarnya program ini berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu wilayah, dan dapat berorientasi regional apabila terkait dengan upaya suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat.

Pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada keterpaduan antar sektor telah banyak dilakukan, dalam berbagai fokus kawasan pengembangan, seperti pengembangan wilayah kepulauan, pengembangan konservasi lahan kritis atau yang terkait dengan kepentingan mempertahankan dan melestarikan lingkungan

(11)

11 hidup, pengembangan kawasan penyangga, pengembangan sosial budaya pembinaan masyarakat terasing dan pengembangan wilayah tertinggal atau perbatasan.

Program-program yang telah pernah dijalankan adalah misalnya program-program pengembangan wilayah terpadu (PPWT) di beberapa wilayah provinsi di Yogyakarta, Sulawesi, NTT, Irian Jaya; program-program integrated community development program di taman-taman nasional, wilayah pantai atau wilayah konservasi lainnya.

Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah peningkatan kesejahteraan dan mutu sumber daya manusia, perbaikan mutu lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pengembangan wilayah secara terpadu, dalam artian penanganan pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang bersifat multisektor, serta disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing kawasan atau daerah. Aspek-aspek utama kegiatannya didasarkan pada pengembangan kualitas kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk pelatihan, transformasi teknologi, keahlian dalam berbagai bidang, serta berorientasi pada kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatannya sendiri mengikutsertakan pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang dalam beberapa kasus harus dikembangkan dalam bentuk dana bergulir sehingga menjamin keberlanjutan program.

Pengelolaan program-program dengan pendekatan keterpaduan, sepenuhnya melibatkan pemerintah daerah tingkat Kabupaten dan masyarakat, dengan memberikan peluang yang lebih besar kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum muda, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk dapat berperan serta. Koordinasi

penanganan program dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja yang terdiri atas instansi terkait di tingkat Kabupaten yang sesuai dengan program kegiatan yang dilakukan secara lintas sektoral tersebut. Koordinasi tersebut

(12)

12 dilakukan oleh BappedaKabupaten dan Biro Penyusunan Program Setwilda Kabupaten, khususnya dalam rangka memperkuat kemampuan aparatur dan kelembagaannya, serta untuk menjamin keterpaduan, kesinambungan program, terutama dikaitkan dengan pembiayaan program yang dikaitkan dengan kegiatan program pembangunan lainnya, apakah program sektoral, regional, khusus, maupun yang berbantuan luar negeri. Pemikiran akan kesinambungan program diperlukan, mengingat program-program pemerintah dengan pendekatan keterpaduan ini umumnya dianggap sebagai stimulan kegiatan di kawasan yang dibangun, dan dengan pelaksanaan riil pembangunan wilayah memerlukan waktu yang tak terbatas, maka kesinambungan program hanya dapat terjadi bila pemerintah daerah setempat memberikan kontribusi pendanaan dan masyarakat setempat terlibat secara langsung dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan.

Namun demikian, pendekatan pembangunan secara terpadu tersebut belum secara optimal diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaan pada tatanan lokal yang dapat menjamin keberlanjutan program pada masyarakat di daerah, sehingga tidak tercipta kesinambungan seperti yang diharapkan. Selain itu, kurang adanya komitmen serta tidak terciptanya koordinasi yang kuat antarsektor di daerah, yang menyebabkan tidak terpadunya program kegiatan dan lokasi antara satu program dengan program lainnya, dan antara satu lokasi dan lokasi lainnya. Program kegiatannya pun masih berorientasi pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik, dan kegiatan pengembangan produksi tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan, yang belum memperhatikan transfer pengetahuan teknologi dan pasar yang dapat diadopsi masyarakat lokal untuk kesinambungan program pada tahapan selanjutnya. Pola pengelolaan sumber daya modal dalam sistem bergulir pun belum banyak dipahami, dan terhambat oleh adanya budaya dan akses terhadap sumber daya modal tersebut.

D. Konsep Pengembangan Wilayah Berdasarkan Klaster

Konsep pengembangan wilayah berikutnya yang mulai dikembangkan di beberapa negara adalah pengembangan wilayah berdasarkan klaster. Klaster

(13)

13 diartikan sebagai konsentrasi dari suatu kelompok kerjasama bisnis atau unit-unit usaha dan lembaga-lembaga, yang bersaing, bekerjasama, dan saling tergantung satu sama lain, terkonsentrasi dalam satu wilayah tertentu, dalam bidang aspek unggulan tertentu.

Pada umumnya motor penggerak dalam pengembangan wilayah berdasarkan klaster adalah sektor industri. Model klaster berkembang didasarkan atas kesadaran bahwa industri utama dan unit-unit usaha di sekitarnya saling terkait satu dengan lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, pengembangan wilayah berdasarkan klaster terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku-pelaku (stakeholders) dalam suatu jaringan kerja produksi, sampai kepada jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya.

Kebijakan klaster berbasis industri menjadi pola pembangunan ekonomi masa kini dan sudah dikembangkan secara luas. Jenis klaster bisa bermacam-macam, seperti klaster anggur di Adelaide-Australia, klaster pertahanan keamanan di kota metropolitan Adelaide, dan klaster budidaya air di Port Lincoln.

Klaster dapat dianggap sebagai suatu kelompok pembangun ekonomi bagi wilayah, yang merepresentasikan adanya spesialisasi wilayah, keunggulan komparatif wilayah, terfokus pada industri tertentu, dan berorientasi pada pengembangan kerjasama dan perdagangan. Anggota-anggota klaster ini saling berkontribusi, khususnya dalam infrastruktur dan teknologi, tenaga kerja ahli, dan jasa pelayanan.

Arah pengembangan klaster adalah menarik investasi baru, mendorong adanya ekspansi dan terbentuknya unit-unit usaha dan bisnis baru.

Tujuan dari pengembangan wilayah model klaster adalah :

 Didapatkannya manfaat kesejahteraan, kesempatan kerja, dan ekspor.

 Didapatkannya kesempatan untuk mengembangkan inovasi dan perdagangan melalui jaringan kerja yang kuat

(14)

14

 Berkembangnya pasar dan jaringan kerja internasional

 Berkembangnya infrastruktur pendukung

 Berkembangnya budaya baru dalam upaya-upaya kerjasama – dengan biaya transaksi yang rendah

 Tumbuhnya generasi pengusaha-pengusaha lokal baru industri yang memiliki sendiri usaha bisnisnya

 Berkembangnya kemitraan dengan pemerintah didasarkan atas saling ketergantungan, dan bukan ketergantungan hanya dari satu pihak ke pihak yang lain

Klaster yang berhasil adalah klaster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal. Rosenfeld (1997) mengidentifikasi karakteristik dari klaster wilayah yang berhasil yaitu:

 Adanya spesialisasi, satu klaster wilayah terspesialisasi untuk satu atau beberapa industri.

 Adanya jaringan lokal (local networks) khususnya dalam jaringan sistem produksi, serta jaringan pembelajaran (learning networks)

 R&D dan institusi pendidikan yang relevan dengan kegiatan dalam klaster wilayah

 Tenaga kerja yang berkualitas. Kompetisi yang baik berkembang diantara pekerja.

 Akses yang baik pada institusi pembiayaan, permodalan.

 Kerjasama yang baik antara perusahaan dan lembaga/institusi lainnya.

 Mengikuti perkembangan teknologi

 Tingkat inovasi yang tinggi sehingga dapat berkompetisi di pasar global.

2.3. Pendekatan Konsep

Pembangunan ekonomi daerah dalam era otonomi menghadapi berbagai tantangan, baik tantangan internal maupun eksternal, yang menuntut adanya pemahaman yang lengkap terhadap seluruh tantangan dan masalah, kesiapan dalam perencanaan dan pengelolaan termasuk menggalang berbagai pelaku, serta keseriusan dan komitmen terhadap pelaksanaan pembangunannya. Masalah internal yang masih dihadapi

(15)

15 adalah adanya kesenjangan antarkawasan serta kemiskinan, yang merupakan masalah yang belum terselesaikan dan bahkan semakin membesar. Upaya pembangunan yang masih sangat kuat berorientasi sektoral dan kurang memperhatikan karakteristik dan kondisi dari sumber daya suatu wilayah, serta semakin terbatasnya sumber-sumber daya pembangunan, semakin memperburuk kesenjangan dan kemiskinan dalam wilayah. Dalam kondisi tersebut, maka pendekatan keterpaduan antarsektor dan antarpelaku dalam pembangunan daerah merupakan pendekatan yang perlu dilakukan di semua aspek pembangunan di daerah.

Selain itu, perubahan yang cepat pun juga terjadi pada lingkungan eksternal wilayah Nasional. Iklim globalisasi yang tidak dapat dibendung, dan kesepakatankesepakatan internasional, seperti AFTA, WTO, dan APEC, mengharuskan daerah-daerah dalam wilayah nasional untuk bersaing dalam perdagangan bebas secara kompetitif mulai tahun 2003 dengan produk negara-negara Asean, bahkan paling lambat tahun 2020 dengan produk negara-negara dari seluruh dunia. Konsekuensinya adalah hanya daerah yang mampu menawarkan produk unggulan bermutu dan pelayanan prima yang didukung oleh kemampuan sumber daya manusia, riset, teknologi, dan informasi, serta kemampuan dan keunggulan pemasaran, yang akan dapat bersaing dalam kompetisi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Kedua hal tersebut memberikan implikasi kepada wilayah provinsi dan Kabupaten/kotamadya sebagai wilayah terdepan dari perwilayahan nasional dalam pembangunan ekonomi daerah, untuk melaksanakan percepatan pembangunan ekonomi daerah secara terfokus melalui pengembangan kawasan dan produk andalannya agar tidak tertinggal dalam persaingan pasar bebas minimal di wilayah sendiri, dengan tidak mengurangi perhatian pada masalah pengurangan kesenjangan antardaerah dan distribusi serta pemerataan kesejahteraan dalam wilayah. Dengan demikian mutlak seluruh sektor dan pelaku yang memiliki peran untuk mengisi pembangunan ekonomi daerah harus dapat bekerjasama secara sinergis melalui suatu bentuk pengelolaan keterkaitan antar sektor, antar program, dan antarpelaku, serta antar daerah.

(16)

16 Sementara itu, dalam iklim dimana Pemerintah Daerah sedang dalam masa transisi dan dalam upaya memantapkan Otonomi Daerah, maka tantangan kedepan adalah mengupayakan pengelolaan jalannya pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan efisien, dengan memanfaatkan seoptimal mungkin potensi wilayah, termasuk sumber daya alam dan sumber daya manusianya, sehingga menjadi kekuatan pendorong utama dalam melaksanakan pembangunan daerah, pembangunan, dan pelayanan masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Pemerintah Daerah harus mampu mengelola seluruh sumber-sumber dana untuk membiayai pembangunan ekonomi daerahnya. Peran pemerintah yang semula bersifat sektoral secara bertahap beralih ke pemerintahan daerah, Kabupaten khususnya, dengan pendekatan regional yang lebih bersifat lintas sektor.

Kawasan Andalan, dalam pengertian berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional adalah suatu kawasan yang dikembangkan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah melalui pengembangan kegiatan ekonomi yang diandalkan sebagai motor penggerak pengembangan wilayah, sehingga mampu menjadi pusat pertumbuhan dan pendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan di sekitarnya. Dengan adanya masalah-masalah internal wilayah nasional ditengah tuntutan persaingan di wilayah domestik

maupun internasional, maka Kawasan Andalan sesungguhnya tidak saja diharapkan dapat menjadi wilayah pengembangan ekonomi yang diandalkan di daerah, namun juga dapat bersaing dalam era pasar bebas baik di dalam negeri maupun di luar negeri melalui pengembangan produk unggulannya yang kompetitif di pasar domestik maupun pasar global yang mutlak didukung oleh sumber daya manusia yang andal, riset dan teknologi,

informasi, serta keunggulan pemasarannya. Dalam implementasinya di daerah, konsep pengembangan kawasan andalan tidak secara efektif dikembangkan sehingga tidak pernah dapat diukur keberhasilannya. Di lain pihak, beberapa program pengembangan kawasan yang dikelola secara sektoral, baik kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan industri, dan lainnya, baik secara sadar atau tidak telah mengembangkan dan mengedepankan potensi unggulan daerah dalam wilayah kawasan andalan, namun melupakan unsur keterpaduan antarsektor, antarpelaku, dan

(17)

17 antardaerah, sehingga hasil yang dicapai tidak dapat menjadi tolak ukur pendorong kegiatan ekonomi wilayah sekitarnya. Sebaliknya program pengembangan wilayah yang mengedepankan unsur keterpaduan telah banyak dikembangkan, namun juga memberikan dampak yang kurang optimal, karena menekankan pada sisi pengelolaan „project oriented‟, kurang terfokus pada kesinambungan program dalam jangka panjang, serta adanya masalah-masalah pengelolaan lainnya. Dalam hal ini maka dibutuhkan suatu bentuk pola pengembangan ekonomi daerah dengan pendekatan kawasan andalan yang dapat mencirikan konsep pengembangan yang terfokus dan terpadu, terutama berorientasi pada karakteristik potensi

(18)

18

BAB III. TINJAUAN KEBIJAKAN

Untuk memberi arah dan payung hukum bagi terlaksananya penyusunan Dokumen Perencanaan Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh diperlukan dasar-dasar kebijakan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548)

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700)

3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725)

4. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593)

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737)

6. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761)

(19)

19 7. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 11)

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh Di Daerah

9. Peraturan Bupati Kabupaten Bireuen Nomor 842 A Tahun 2007 tentang Rencana Pembngunan Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Bireuen Tahun 2007-2012

(20)

20

BAB IV. METODOLOGI dan ANALISIS DATA

4.1. Metodologi

Metode pengumpulan data adalah dengan cara pengamatan langsung ke wilayah yang menjadi isu yang mengemuka pada musrembang dan data-data kajian yang telah ada pada titik yang menjadi acauan pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh dan atau yang berpotensi untuk tumbuh.

Proses pelaksanaan kajian meliputi:

1. Studi literatur terhadap konsep-konsep pengembangan wilayah yang telah pernah dikembangkan.

2. Tinjauan terhadap tantangan bangsa dan negara pada masa sekarang dan yang akan datang serta berbagai upaya dalam menjawab tantangan tersebut: a. Berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah yang menjawab

kesenjangan antar daerah.

b. Berbagai teori dan konsep pengembangan kawasan dan bisnis untuk menjawab antisipasi pasar global dan perdagangan bebas

c. Berbagai teori dan konsep pengembangan ekonomi daerah khususnya berkaitan dengan pemantapan otomatis daerah melalui pengelolaan keterkaitan antar program pengembangan ekonomi berbasis kawasan strategis cepat tumbuh

3. Pengumpulan data dan analisa di pusat terkait dengan:

a. Konsep pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh secara makro (RTRW)

b. Rencana pengembangan ( Master Plan ) kawasan strategis cepat tumbuh c. Program sektor-sektor kementrian yang terkait (APBN atau Program

Andalan Sektoral)

4. Penentuan faktor-faktor kunci, pola keterkaitan dan model pengelolaan kawasan

(21)

21 a. Menggunakan alat penelitian kuesioner dengan wawancara kepada para

pengelola pengembangan kawasan di Bappeda, dinas teknis terkait dan pelaku lainnya

b. Mengadakan FGD (Forum Group Discussion) diskusi dengan seluruh pelaku pengembangan kawasan, terdiri dari para pengelola pengembangan kawasan di Bappeda, dinas teknis terkait, pengusaha, ketua kelompok pengembang kawasan, dan institusi lain terkait, dengan alat bantu utama hasil temuan tahap awal tentang faktor-faktor kunci pengembangan kawasan, keterkaitan serta pola pengelolaan kawasan.

6. Diskusi intensif dan analisis dengan pakar pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah serta beberapa narasumber dari unsur sektoral. 7. Perumusan akhir prinsip-prinsip dasar pengembangan kawasan, kriteria

(faktor-faktor kunci) pengembangan kawasan, pola keterkaitan antar program dalam pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh, serta pola pengelolaan pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh, dalam bentuk arahan kebijakan pengelolaan pengembangan kawasan strategis cepat tumbuh.

4.2. Analisa Data

Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk menggambarkan kecamatan-kecamatan yang akan dijadikan sebagai Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Kabupaten Bireuen. Analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung keterkaitan ekonomi antar wilayah-wilayah kecamatan di Kabupaten Bireuen.

(22)

22

BAB V. KONDISI UMUM WILAYAH

5.1. Kondisi Geografis Wilayah

Kabupaten Bireuen sebelumnya merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Utara. Kemudian, melalui Undang – Undang Nomor 48 Tahun 1999 dan selanjutnya dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2000, Bireuen dimekarkan menjadi sebuah Kabupaten yang otonom.

Secara geografis letak Kabupaten Bireuen sangat strategis karena berada dibagian pantai timur Sumatera dan pada jalur perdagangan daerah, yaitu tepatnya pada jalur lalu lintas Banda Aceh – Medan. Kabupaten ini berada pada posisi 4º54‟ menit - 5º21‟ menit Lintang Utara dan 96º20‟ - 97º21‟ Bujur Timur, dengan batas – batas sebagai berikut:

Sebelah Utara dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan dengan Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah Sebelah Barat dengan Kabupaten Pidie Jaya

Sebelah Timur dengan Kabupaten Aceh Utara

Tabel I. Jumlah Kecamatan, Kemukiman, dan Gampong/Kelurahan Dalam Kabupaten Bireuen Tahun 2011

No Kecamatan Luas Wilayah

(Ha)

Jumlah

Kemukiman Jumlah Gampong

1 Samalanga 15.622 5 46 2 Sp. Mamplam 21.849 3 41 3 Pandrah 8.933 3 19 4 Jeunieb 11.452 5 43 5 Peulimbang 6.415 3 22 6 Peudada 39.133 3 52 7 Juli 21.208 4 36 8 Jeumpa 6.942 5 42 9 Kota Juang 3.156 3 23 10 Kuala 2.372 4 20 11 Jangka 8.133 5 46 12 Peusangan 12.236 9 69 13 Peusangan Sb. Krueng 5.462 3 21 14 Peusangan Selatan 12.830 3 21 15 Makmur 6.653 3 27 16 Gandapura 3.615 4 40 17 Kuta Blang 4.110 4 41 Jumlah 190.121 70 609

(23)

23 5.1.1. Tata Guna Tanah

Dari luas wilayah tersebut sebanyak 35,57 persen atau seluas 67.630,53 ha merupakan kawasan hutan negara, 17,58 persen atau 33.427 ha dimanfaatkan untuk ladang, seluas 27.791 ha (14,62 persen) dimanfaatkan untuk lahan perkebunan rakyat, serta seluas 22.948 ha (12,07 persen) dari luas wilayah diperuntukkan sebagai areal persawahan. Secara rinci tentang penggunaan lahan ini diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.

Tabel II. Jenis dan Penggunaan Lahan Kabupaten Bireuen Tahun 2010

No Jenis Penggunaan

Lahan Luas (Ha) Persentase

1 Persawahan 22.948 12.07 2 Perkebunan besar 16.416,93 8,63 3 Perkebunan rakyat 27.791 14,62 4 Ladang 33.427 17,58 5 Padang rumput 4.869 2,56 6 Hutan rakyat 1.615 0,85 7 Hutan negara 67.630,53 35,57 8 Rawa-rawa 1.429 0,75 9 Tambak 4.556 2,40 10 Kolam 31 0,02 11 Lain-lain 9.407,54 4,95 Jumlah 190.121 100

Sumber: Bireuen Dalam Angka 2010

Selain itu, di Kabupaten Bireuen dijumpai 6 (enam) buah sungai yang bermuara ke Selat Malaka, yaitu Krueng Samalanga, Krueng Pandrah, Krueng Jeunieb, Krueng Nalan, Krueng Peudada, dan Krueng Peusangan. Disamping itu, terdapat satu sungai yaitu Krueng Simpo yang bermuara ke Peusangan. Semua sungai – sungai tersebut bermanfaat besar bagi masyarakat daerah ini, baik untuk mengairi lahan maupun keperluan lainnya.

Kabupaten Bireuen juga dianugerahi sejumlah kuala yang dapat digunakan oleh para nelayan sebagai jalur keluar masuk ke laut lepas. Akan tetapi, hampir semua kuala yang ada relatif dangkal, bahkan sebagiannya dalam kondisi tersumbat. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap kelancaran aktivitas nelayan untuk melaut, disamping

(24)

24 berpengaruh pada kurang lancarnya arus air keluar masuk ke areal pertambakan rakyat.

5.2. Kondisi Perekonomian Kabupaten Bireuen

Suatu daerah akan berkembang sesuai dengan sumber daya ekonomi (economic resources) yang tersedia dan digunakan. Sumber daya tersebut adalah sumber daya tenaga kerja (labour) dan sumber daya modal atau kapital (capital). Kedua sumber daya tersebut dalam ilmu ekonomi disebut sebagai faktor – faktor produksi (factor of production).

5.2.1. Struktur Ekonomi

Perekonomian di Kabupaten Bireuen dari tahun ke tahun secara umum didominasi oleh kegiatan primer dan kegiatan tersier, mengingat Bireuen merupakan salah satu sentra produksi pertanian juga posisinya yang strategis pada perlintasan mobilitas manusia dan barang dari arah timur (Medan, Lhokseumawe, dan Langsa) maupun arah barat (Bener Meriah, Takengon) menuju Banda Aceh, sehingga pendistribusian barang dan manusia dari tempat – tempat tersebut menggerakkan perdagangan di Bireuen.

Dalam kurun waktu 3 tahun terakhir terjadi perubahan komposisi pembentuk perekonomian Bireuen, dimana pada tahun 2007 kegiatan primer dan tersier hampir sama peranannya masing – masing dengan kontribusi 45,69% dan 45,09%. Namun pada tahun – tahun berikutnya kegiatan tersier yang paling dominan dengan kontribusi 47,21% di tahun 2009. Sedangkan kegiatan primer semakin menurun dengan share 44,74% di tahun 2008 dan 41,66% di tahun 2009. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor diantaranya semakin menggeliatnya perdagangan dengan semakin kondusifnya stabilitas keamanan dan juga ada kemungkinan perubahan lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian. Sedangkan jika ditinjau dari sisi sektoral, sektor pertanian masih menjadi yang paling berpengaruh di Bireuen, walaupun kontribusinya dalam 3 (tiga) tahun terakhir sedikit menurun, yaitu 44,57% di tahun 2007; 43,57% di tahun 2008, dan 40,57% di tahun 2009.

Di tempat kedua sektor perdagangan cenderung stabil peranannya dari tahun ke tahun dengan pengaruh 24,32% pada tahun 2009. Kemudian disusul sektor

(25)

25 pengangkutan dan komunikasi yang meningkat andilnya terhadap perekonomian dari tahun ke tahun, dengan 9,57% di tahun 2007; 10,59% pada tahun 2008; dan pada tahun 2009 menjadi 11,77%. Sektor – sektor lainnya masing – masing hanya mampu membentuk roda perekonomian Kabupaten Bireuen di bawah 10%. Sektor listrik dan air bersih paling kecil porsinya yaitu 0,52%.

5.2.2. Pertumbuhan Ekonomi

Sepanjang kurun waktu 2008 – 2009 perekonomian Kabupaten Bireuen mengalami pertumbuhan yang cukup berarti yaitu dari 5,57% di tahun 2008 menjadi 6,39% pada tahun 2009. Sektor listrik dan air bersih adalah yang tertinggi pertumbuhannya dari tahun ke tahun, yaitu sebesar 32,84% di tahun 2008, meningkat menjadi 34,59% di tahun 2009, walaupun sektor ini adalah yang paling kecil peranannya terhadap perekonomian. Namun sejalan dengan kebutuhan listrik dan air bersih yang mengikuti jumlah penduduk yang terus bertambah diperkirakan sektor ini akan terus meningkat. Sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami pertumbuhan terbesar kedua sebesar 16,66% di tahun 2009, walaupun pertumbuhannya tidak sebesar tahun sebelumnya 23,16%. Sektor pertanian walaupun mempunyai nilai terbesar dalam pembentukan perekonomian Bireuen, namun pertumbuhannya adalah yang paling rendah, hanya 1,09% di tahun 2009, seiring peranannya yang juga terus menurun.

Tabel III. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Bireuen Tahun 2008 – 2009 (Persen)

No Lapangan Usaha 2008*) 2009**)

1 Pertanian 1,39 1,09 2 Pertambangan dan Penggalian 19,19 14,14 3 Industri Pengolahan 3,77 1,50 4 Listrik dan Air Minum 32,84 34,59 5 Bangunan 6,48 12,99 6 Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,37 4,76 7 Pengangkutan dan Komunikasi 23,16 16,66 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 6,44 5,42 9 Jasa-jasa 2,69 12,87

PDRB 5,57 6,39

Sumber: PDRB Kabupaten Bireuen 2010 *) angka diperbaiki

(26)

26 5.2.3. PDRB dan Pendapatan Regional Per Kapita

Pendapatan regional per kapita merupakan hasil bagi antara Produk Domestik Regional Netto (PDRN) atas biaya faktor produksi (PDRB yang telah dikurangi penyusutan dan pajak tak langsung) dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun.

Pendapatan regional per kapita digunakan untuk melihat rata – rata pendapatan tiap penduduk pada suatu daerah. Tapi keadaan ini tidak dapat sepenuhnya dijadikan ukuran kesejahteraan karena ukuran agregat yang dihasilkan dapat membuat pendapatan besar sekelompok orang terdistribusi keseluruh penduduk.

Pendapatan regional per kapita atas dasar harga berlaku pada tahun 2007 sebesar Rp 10.088.450 meningkat menjadi Rp 11.527.976 di tahun 2008, dan terus naik menjadi Rp 13.626.405 di tahun 2009. Demikian juga dengan pendapatan regional per kapita atas dasar harga konstan yang terus meningkat, dengan nilai Rp 6.717.391 di tahun 2009.

Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai PDRB per satu orang penduduk. Sedangkan Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan menunjukkan pertumbuhan ekonomi per kapita penduduk suatu daerah. PDRB per kapita atas dasar harga konstan Bireuen di tahun 2009 senilai Rp 7.066.475 dengan pertumbuhan ekonomi per kapita sebesar 5,96% dibanding tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan ekonomi perkapita di tahun 2009 sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008 yaitu sebesar 5,11%.

5.2.4. Kegiatan Ekonomi Sektoral A. Pertanian

Sektor pertanian adalah yang paling dominan di Kabupaten Bireuen, di tahun 2009 40,57 % perekonomian digerakan oleh sektor ini. Perkembangan subsektor tanaman bahan makanan, peternakan dan perikanan sangat mempengaruhi perekonomian di Bireuen, mengigat peranan ketiga subsektor sangat besar. Pada tahun 2009 17,98 % perekonomian Bireuen berasal dari subsektor tanaman bahan makanan. 10,02 % dari sub sektor peternakan dan sub sektor perikanan 9,23 %. Sedangkan kontribusi

(27)

27 subsektor tanaman perkebunan dan subsektor kehutanan hanya sebesar 2,90 % dan 0,44 %.

Secara umum subsektor-subsektor yang ada di sektor pertanian mengalami sedikit penurunan peranan selama tahun 2007 sampai dengan 2009, terutama subsektor tanaman bahan makanan, pada tahun 2007 berpartisipasi terhadap ekonomi senilai 20,42 % menurun menjadi 19,78 % di tahun 2008, dan terus menurun menjadi 17,98 % pada tahun 2009.

Primadona tanaman bahan makanan di Bireuen adalah padi dan kedelai. Sentra produksi padi terdapat di Kecamatan Samalanga, Peusangan dan Gandapura. Sebagian besar areal persawahan di Bireuen dialiri oleh irigasi, baik teknis, semi teknis, sederhana maupun irigasi non pekerjaan umum, yang sumber airnya berasal dari sungai.

Sedangkan daerah penghasil terbesar kedelai berasal di Kecamatan Juli dan Peudada. Selain konsumsi lokal, kacang kedelai dipasarkan dalam bentuk butiran hingga ke Medan (Sumatera Utara).

Potensi perikanan Bireuen cukup besar mengingat Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian utara, ikan cakalang dan tuna menjadi andalannya. Sedangkan untuk budidaya perikanan, udang windu dan bandeng tetap menjadi pilihan para petani.

Pertumbuhan sektor pertanian adalah yang paling terkecil diantara sektor lainnya, di tahun 2009 hanya sebesar 1,09 %, sedikit lebih kecil dari tahun sebelumnya 1,39 %. Hal yang sama juga terjadi pada subsektor tanaman bahan makanan dengan pertumbuhan tahun 2009 sebesar 0,78 %, subsektor peternakan 1,48 %, subsektor perikanan 0,36 %. Bahkan subsektor kehutanan mengalami pertumbuhan negatif di tahun 2008 sebesar 9,51 %, dan terus mengalami pertumbuhan negatif 22,28 % di tahun 2009.

(28)

28 B. Pertambangan dan Penggalian

Nilai tambah sektor ini hanya berasal dari subsektor penggalian, mengingat di Kabupaten Bireuen tidak ada pertambangan baik pertambangan minyak dan gas bumi, maupun bukan pertambangan migas. Setiap tahun kontribusi subsektor penggalian sangat kecil dan relatif konstan, di tahun 2009 hanya sebesar 1,09 %. Pertumbuhan subsektor ini juga relatif stabil, dengan laju pertumbuhan 14,44 persen di tahun 2009.

C. Industri Pengolahan

Industri pengolahan Kabupaten Bireuen juga hanya berasal dari industri bukan migas, mengingat tidak adanya industri migas. Industri pengolahan juga memberikan kontribusi yang sangat kecil terhadap PDRB Kabupaten Bireuen. Salah satu produk industri kecil rumah tangga adalah keripik pisang, dengan sentra produksi di Kecamatan Jeumpa, Peusangan dan Juli. Selama tahun 2007 hingga 2009, nilai tambah sektor ini tidak pernah melebihi 2 persen dari keseluruhan PDRB Kabupaten Bireuen, pada tahun 2009 hanya sebesar 1,36 %.

Pada tahun 2009, sektor ini mengalami perlambatan pertumbuhan dari tahun sebelumnya menjadi 1,50 persen. Fluktuasi pada sektor ini sangat dipengaruhi nilai produksi industri menengah dan industri kecil rumah tangga, sedangkan industri besar sampai saat ini belum ada. Penanganan yang baik pada skala usaha industri kecil rumah tangga dapat membantu peningkatan ekonomi masyarakat secara langsung.

D. Listrik dan Air Bersih

Sektor listrik dan air bersih memberi nilai tambah terkecil pada PDRB Kabupaten Bireuen. Sepanjang tahun 2007-2009 sektor ini hanya menyumbang sekitar 0,37-0,52 persen dari keseluruhan PDRB. Nilai tambah utama dari sektor ini berasal dari subsektor listrik.

Dalam periode 3 (tiga) tahun terakhir sektor listrik dan air bersih adalah yang tertinggi pertumbuhannya dari tahun ke tahun, mengingat kebutuhan masyarakat

(29)

29 akan listrik dan air bersih sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Pada tahun 2009 pertumbuhan sektor listrik dan air bersih sebesar 34,59 %, dengan rincian pertumbuhan subsektor listrik 34,62 % dan air bersih 31,21%.

E. Bangunan

Sumbangan sektor bangunan terhadap perekonomian selama beberapa tahun mengalami sedikit kenaikan, 7,28 % mampu disumbangkan sektor ini pada tahun 2007, pada tahun berikutnya naik menjadi 8,23 %, dan terus meningkat menjadi 9,25 % di tahun 2009. Meninjau pertumbuhannya, laju pertumbuhan 2008 sebesar 6,48 % dan meningkat dua kali lipat menjadi 12,99 % di tahun 2009. Hal ini dimungkinkan dengan semakin kondusifnya stabilitas keamanan.

F. Perdagangan, Hotel dan Restoran

Sektor perdagangan, hotel dan restoran sangat didominasi oleh subsektor perdagangan besar dan eceran. Besarnya peranan perdagangan tidak terlepas faktor letak Bireuen yang sangat strategis di titik persimpangan mobilitas manusia dan barang dari arah timur (Medan, Langsa dan Lhoksuemawe) maupun arah barat (Gayo dan Takengon) menuju Banda Aceh. Hampir seperempat dari perekonomian Bireuen digerakan oleh subsektor ini, tercatat pada tahun 2009 subsektor ini berperan 23,71 %. Walaupun laju pertumbuhannya pada tahun 2009 sebesar 4,87 %, tidak sebesar laju pertumbuhan tahun sebelumnya 6,35 %.

Sedangkan subsektor hotel dan subsektor restoran tidak terlalu berperan, hanya 0,05 % dan 0,56 % dari total produk domestik regional bruto Kabupaten Bireuen.

G. Pengangkutan dan Komunikasi

Kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi sepanjang tahun 2007-2009 berkisar antara 9,57 % - 11,77 %. Penyumbang terbesar dari sektor ini adalah subsektor pengangkutan terutama pengangkutan jalan raya, 9,07 % di tahun 2009. Sedangkan subsektor pos dan komunikasi menyumbang 2,70 %.

(30)

30 Laju pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi mengalami fluktuatif, pada tahun 2009 pertumbuhan sektor ini 16,66 persen. Percepatan pertumbuhan sektor ini dipacu oleh angkutan jalan raya dengan pertumbuhan 18,82 persen.

H. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahan

Walaupun nilainya masih kecil, namun peranan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan sepanjang tahun 2007-2009 mengalami peningkatan, kontribusi yang diberikan antara 1,67 %- 1,89 %. Kegiatan subsektor bank merupakan penyumbang terbesar dalam pembentukan sektor ini. Pada tahun 2009 subsektor ini menyumbang 0,93 persen dari PDRB Kabupaten Bireuen.

Laju pertumbuhan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan pada tahun 2009 sebesar 5,42 %, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,44 %. Fluktuasi sektor ini sangat dipengaruhi subsektor bank.

I. Jasa – Jasa

Sektor ini dibagi menjadi 2 subsektor yaitu subsektor jasa pemerintahan umum dan subsektor jasa swasta. Dari dua subsektor ini kegiatan subsektor jasa pemerintahan lebih dominan dibandingkan jasa swasta.

Sektor jasa-jasa pada tahun 2009 mampu menggerakan perekonomian Bireuen sebesar 9,23 %, dimana peranana sekor ini dari tahun ke tahun cukup stabil. Kontribusi terbesar sektor ini disumbangkan oleh subsektor jasa pemerintahan umum 9,20 %, dan sisanya 0,03 % berasal dari subsektor jasa swasta.

Laju pertumbuhan sektor jasa-jasa cukup tinggi di tahun 2009, yaitu 12,87 %, dimana sektor ini didongkrak oleh subsektor jasa pemerintahan umum dengan pertumbuhan 12,88 %. Sedangkan pada tahun sebelumnya pertumbuhan sektor ini sangat kecil, yaitu hanya 2,69 %.

5.3. Sosial Kependudukan

Penduduk merupakan modal utama dalam perencanaan. Perencanaan yang disusun tidak mungkin berjalan atau diimplementasikan jika penduduk tidak dilibatkan.

(31)

31 Karena itulah dalam seluruh lingkup perencanaan, peran penduduk tidak mungkin terabaikan.

5.3.1. Jumlah Penduduk

Berdasarkan data tahun 2010 diketahui jumlah penduduk Kabupaten Bireuen sebanyak 359.032 jiwa. Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Kabupaten Bireuen dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel IV. Jumlah Penduduk Kabupaten Bireuen Tahun 2010

No Kecamatan Luas Wilayah

(Km²) Jumlah Penduduk 1 Samalanga 156,22 24.034 2 Sp. Mamplam 218,49 21.093 3 Pandrah 89,33 7.509 4 Jeunieb 114,52 18.764 5 Peulimbang 64,15 9.330 6 Peudada 391,33 22.148 7 Juli 212,08 25.416 8 Jeumpa 69,42 28.390 9 Kota Juang 31,56 42.783 10 Kuala 23,72 15.100 11 Jangka 81,18 25.300 12 Peusangan 122,48 44.148 13 Peusangan Selatan 106,33 11.971 14 Peusangan Siblah Krueng 76,62 9.320 15 Makmur 66,53 13.295 16 Gandapura 36,15 20.857 17 Kuta Blang 41,1 19.574

Jumlah 1.901,21 359.032

Sumber: Bireuen Dalam Angka Tahun 2010

5.3.2. Laju Pertambahan Penduduk

Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bireuen dipengaruhi oleh besarnya kelahiran, kematian, migrasi masuk dan migrasi keluar. Penduduk akan bertambah jumlahnya jika ada bayi lahir dan penduduk yang datang, dan akan berkurang jumlahnya jika ada penduduk yang mati dan meninggalkan wilayah Kabupaten Bireuen. Jumlah penduduk Kabupaten Bireuen terus mengalami kenaikan sejak tahun 2004 sebanyak 350.609 jiwa sampai dengan tahun 2009 sebanyak 359.032 jiwa. Dengan laju pertumbuhan penduduk rata-rata dari tahun 2004 – 2009 mengalami kenaikan sebesar 0,48%. Data tersebut secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut:

(32)

32 Tabel V. Laju Pertumbuhan Penduduk

Kabupaten Bireuen 2004 - 2009 Tahun Jumlah Penduduk

(Jiwa) Laju Pertumbuhan Penduduk (%) 2004 350.609 2005 351.835 0,35 2006 354.763 0,83 2007 355.989 0,35 2008 357.218 0,35 2009 359.032 0,51

Rata-rata laju pertumbuhan 0,48

Sumber : Hasil Olah Data BPS

5.3.3. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk kasar adalah jumlah penduduk per luas wilayah. Berdasarkan tingkat kepadatan penduduk kasar, dengan luas Kabupaten Bireuen 1.901,21 km2 maka tingkat kepadatan penduduk mencapai 189 jiwa/km2. Wilayah yang memiliki tingkat kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Kota Juang 1.356 jiwa/km2, sedangkan kecamatan dengan kepadatan terendah adalah Kecamatan Peudada sebesar 57 jiwa/km2.

Tabel VI. Jumlah Penduduk Kabupaten Bireuen Tahun 2010

No Kecamatan Luas Wilayah

(Km²) Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk /Km² 1 Samalanga 156,22 24.034 154 2 Sp. Mamplam 218,49 21.093 97 3 Pandrah 89,33 7.509 84 4 Jeunieb 114,52 18.764 164 5 Peulimbang 64,15 9.330 145 6 Peudada 391,33 22.148 57 7 Juli 212,08 25.416 120 8 Jeumpa 69,42 28.390 409 9 Kota Juang 31,56 42.783 1.356 10 Kuala 23,72 15.100 637 11 Jangka 81,18 25.300 312 12 Peusangan 122,48 44.148 360 13 Peusangan Selatan 106,33 11.971 113 14 Peusangan Siblah Krueng 76,62 9.320 122 15 Makmur 66,53 13.295 200 16 Gandapura 36,15 20.857 577 17 Kuta Blang 41,1 19.574 476

Jumlah 1.901,21 359.032 189

(33)

33 5.4. Kondisi Infrastruktur Jalan

Jenis, kondisi, kelas dan panjang jalan (km) di Kabupaten Bireuen pada tahun 2009 menurut data dari Badan Pusat Statistik sebagai berikut:

Tabel VII. Jenis, Kondisi, Kelas dan Panjang Jalan (Km) Di Kabupaten Bireuen Tahun 2009

Jenis/Kondisi/Kelas

Status Jalan

Jalan Negara Jalan Provinsi Jalan Kabupaten

2008 2009 2008 2009 2008 2009 1 2 3 4 5 6 7 Jenis Permukaan a. Aspal b. Kerikil c. Tanah d. Tidak Terinci 72.80 - - - 72.80 - - - 35.80 - - - 35.80 - - - 392.40 274.25 210.21 - 424.30 230.56 222.00 - Jumlah 72.80 72.80 35.80 35.80 876.86 876.86 Kondisi Jalan a. Baik b. Sedang c. Rusak d. Rusak Berat 67.00 5.80 - - 67.00 5.80 - - 29.50 0.80 1.80 3.70 29.50 0.80 - 5.50 166.71 311.28 100.74 298.13 198.61 292.12 98.00 288.13 Jumlah 72.80 72.80 35.80 35.80 876.86 876.86 Kelas Jalan a. Kelas I b. Kelas II c. Kelas III d. Kelas IIIA e. Kelas IIIB f. Kelas IIIC g. Tidak Terinci - - - 72.80 - - - - - - 72.80 - - - - - - - 35.80 - - - - - - 35.80 - - - - - - - 876.86 - - - - - - 876.86 - Jumlah 72.80 72.80 35.80 35.80 876.86 876.86

Sumber: Bireuen Dalam Angka 2010

(34)

34 5.4.1. Kondisi Jaringan Jalan Strategis Kabupaten

Sedangkan data jaringan jalan strategis kabupaten, yang berada di Kabupaten Bireuen sebagai berikut:

Tabel VIII. Jaringan Jalan Strategis Kabupaten Bireuen

No No.

Ruas Nama Ruas Jalan Kec. Yang dilalui

Panjang Ruas (Km) Lebar Ruas (m)

Panjang Tiap Kondisi (km)

Akses Ke

Jalan Ket.

Baik Sedang Rusak Ringan Rusak Berat N / P / K 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1 406 Keude Samalanga - Tanjungan Samalanga 3,50 6,0 3,50

- - - K Akses ke Kab Pijay 2 407 Kp.Meurah - Sp. Kandang Samalanga 6,00 3,5 1,00 - 5,00 - K

3 416 Sp.Mamplam - Keude Samalanga Simpang Mamplam 6,00 5,0 6,00 - - - K 4 396 Keude Jeunieb - Sp.Lhok Kulam Jeunieb 9,70 3,5 3,40 - - 1,90 K

3,0 1,50 0,30 - -

4,5 2,70 - - -

5 400 Sp. Nalan - Krueng Nalan Jeunieb 5,40 5,0 5,40 - - - K 6 393 Kd.Plimbang - Teupin Panah Plimbang 5,00 3,5 3,30 - - 1,70 K 7 389 Sp. Tambu - Sp. Pandrah Pandrah 13,00 5,0 13,00 - - - K 8 606 Peudada - Teupok Baroh Peudada 8,30 4,5 6,80 - 1,50 - K 9 343 Teupin Mane - Sarah Sirong Juli 11,00 5,0 2,90 - - 2,60 K

3,5 3,10 - - 1,40

10 350 Teupok Baroh - Lhok Awe Awe Jeumpa 8,00 4,0 8,00 - - - K 11 355 Cot Unoe - Lancok Kuala 4,25 5,0 1,25 - - - K

(35)

35

12 311 Matang Glp.Dua - Jangka Jangka 8,20 5,0 8,20 - - - K 13 318 Jangka - Bugak Jangka 3,50 3,5 - - - 3,50 K 14 911 Sp. Bugeng - Cot Ara Jangka 1,80 5,0 1,80 - - - K 15 313 Matang Glp.Dua - Ulee Jalan Peusangan 8,60 5,0 - - - 4,50 K

3,5 - 4,10 - -

16 321 Cot Ijue - Jangka Peusangan 9,50 4,0 3,90 4,20 1,40 - K 17 323 Balee Seutuy - Lancok Peusangan 3,30 5,0 1,40 - - - K

3,5 - - - 1,90

18 332 Pante Baro - Lueng Daneun

Peusangan Siblah

Krueng 3,00 3,5 - 3,00 - - K 19 905 Lueng Daneun - Awe Geutah

Peusangan Siblah

Krueng 7,20 3,5 7,20 - - - K 20 301 Leubu - Ulee Gle Makmur 7,50 3,5 - - - 7,50 K 21 339 Krueng Tingkeum - Pante Baro Kuta Blang 3,40 4,0 3,40 - - - K 22 276 Kd.Geurugok - SP. Cot Baroh Gandapura 6,80 3,5 - - - 6,80 K

Total 142,95 87,75 11,60 10,90 31,80

(36)

36

BAB VI. ANALISIS

6.1. Analisis

Menurut Hagget dalam Bintarto (1983), masalah interaksi keruangan menjadi perhatian dalam geografi sejak tahun 1850-an dan orang yang pertama menggunakan gravitasi ini adalah E.J. Ravenstein dalam studinya mengenai hukum migrasi dalam tahun 1885 dan 1889. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa jumlah migran yang masuk ke suatu kota dipengaruhi oleh besarnya jumlah penduduk kota yang didatangi, besarnya jumlah penduduk tempat asal migran, dan jarak antara kota asal dengan kota yang dituju. Selanjutnya, dalam tahun 1929 model gravitasi diterapkan dalam studi geografi pemasaran dan studi transportasi. Model gravitasi yang didasarkan pada hukum Issac Newton berbunyi “ dua masa yang berdekatan akan saling tarik menarik dan daya tarik masing – masing massa adalah sebanding dengan bobotnya” telah banyak diterapkan pada masa sekarang dalam hubungannya dengan masalah interaksi, masalah perpindahan/migrasi penduduk, masalah pemilihan lokasi, dan lain – lain.

Menurut Ravenstein dalam Tarigan (2005), model gravitasi ini pada mulanya digunakan untuk menghitung banyaknya kendaraan (trip) antara satu tempat dengan tempat lainnya yang berada dalam satu sistem (saling berhubungan dimana perubahan pada salah satu subwilayah akan berpengaruh pada subwilayah yang lain). Rumus dasar untuk menghitung banyaknya perjalanan (trip) antara Pi dan Pj, yaitu trip yang berasal dari daerah i dan memilih tujuan daerah j adalah:

Keterangan:

Tij = banyaknya trip dari subwilayah i ke subwilayah j

K = konstanta/rata-rata perjalanan per penduduk Pi = penduduk subwilayah i

Pj = penduduk subwilayah j

P = total penduduk di wilayah tersebut

Tetapi rumus di atas terlalu sederhana, karena tidak memperhatikan faktor jarak. Semakin jauh jarak antara dua tempat, maka semakin rendah daya tariknya. Jadi, Pj/P harus dilengkapi menjadi:

k. Pi.Pj

Tij = ---

(37)

37 Dimana Dij adalah jarak antara i dengan j

Selain dianggap bahwa makin jauh jarak itu maka daya tariknya menurun secara drastis, bukan proporsional. Oleh sebab itu, rumus di atas perlu diubah menjadi:

Dengan asumsi b ≥ 1

Maka selengkapnya rumus tersebut adalah

Rumus di atas dapat disempurnakan karena pada suatu wilayah, K dan P adalah konstanta, jadi apabila kita sederhanakan K/P = G rumus di atas berubah menjadi:

Rumus di atas hanya menggambarkan reaksi antara subwilayah i dengan salah satu subwilayah lain. Kita bisa menulis reaksi antara subwilayah i dengan subwilayah 1, yaitu Ti1, subwilayah i dengan subwilayah 2, yaitu Ti2 dan seterusnya.

Pi/P --- Dij Pi/P --- Dijb Pi.Pj Tij =K --- P --- Dijb Pi.Pj Tij =G --- Dijb

(38)

38 Tabel IX. Analisa Keterkaitan Ekonomi Antara

Ibukota Kabupaten Dengan Kecamatan Sekitar Keterkaitan Jarak

(km) Interaksi Persentase Kekuatan

Kota Juang – Jeumpa 4 75,91 31,8% Kuat Kota Juang – Juli 12 7,55 3,2% Sedang Kota Juang – Kuala 3 71,78 30,1% Kuat Kota Juang – Peusangan 10 18,89 7,9% Kuat Kota Juang – Peudada 12 6,58 2,8% Sedang Kota Juang – Peulimbang 16 1,56 0,7% Sedang Kota Juang – Jeunieb 20 2,01 0,8% Sedang Kota Juang – Pandrah 23 0,61 0,3% Sedang Kota Juang - Sp. Mamplam 28 1,15 0,5% Sedang Kota Juang – Samalanga 36 0,79 0,3% Sedang Jeumpa – Juli 16 2,82 1,2% Sedang Jeumpa – Kuala 7 8,75 3,7% Sedang Jeumpa – Peusangan 14 6,39 2,7% Sedang Jeumpa – Peudada 8 9,82 4,1% Sedang Jeumpa – Peulimbang 12 1,84 0,8% Sedang Jeumpa – Jeunieb 16 2,08 0,9% Sedang Jeumpa – Pandrah 19 0,59 0,2% Sedang Jeumpa - Sp. Mamplam 24 1,04 0,4% Sedang Jeumpa – Samalanga 32 0,67 0,3% Sedang Juli – Kuala 15 1,71 0,7% Sedang Juli – Peusangan 22 2,32 1,0% Sedang Juli – Peudada 24 0,98 0,4% Sedang Juli – Peulimbang 28 0,30 0,1% Sedang Juli – Jeunieb 32 0,47 0,2% Sedang Juli – Pandrah 35 0,16 0,1% Sedang Juli - Sp. Mamplam 40 0,34 0,1% Sedang Juli – Samalanga 48 0,27 0,1% Sedang Kuala – Peudada 15 1,49 0,6% Sedang Kuala – Peulimbang 19 0,39 0,2% Sedang Kuala – Jeunieb 23 0,60 0,3% Sedang Kuala – Pandrah 26 0,17 0,1% Sedang Kuala - Sp. Mamplam 31 0,33 0,1% Sedang Kuala – Samalanga 39 0,24 0,1% Sedang Peusangan – Kuala 13 3,94 1,7% Sedang Peusangan – Peudada 32 0,95 0,4% Sedang Peusangan – Peulimbang 26 0,61 0,3% Sedang Peusangan – Jeunieb 30 0,92 0,4% Sedang Peusangan – Pandrah 33 0,30 0,1% Sedang Peusangan - Sp. Mamplam 38 0,64 0,3% Sedang Peusangan – Samalanga 46 0,50 0,2% Sedang

(39)

39 Pengkategorian

Interaksi

nilai > rata-rata + 1 sd = kuat rata2 - 1 sd < nilai < rata2 + 1 sd = sedang nilai < rata2 - 1 sd = lemah Standar Deviasi 16,19

Rata- Rata 5,96

rata2 + 1 sd 22,15 rata2 - 1 sd -10,23

Dari hasil perhitungan menggunakan teori gravitasi untuk mengambarkan keterkaitan pergerakan manusia, barang, ekonomi, serta keterkaitan antara wilayah kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain, dengan menetapkan bahwa Kecamatan Kota Juang, ibukota Kabupaten Bireuen sebagai pusat perdagangan regional dan Kecamatan Peusangan dengan Matanggeulumpang Dua sebagai ibukota yang merupakan pusat perdagangan di wilayah timur Kabupaten Bireuen, didapat bahwa: 1. Hubungan ( interaksi ) yang kuat antara Kecamatan Kota Juang dengan

Kecamatan Kuala dan Kecamatan Peusangan. Hal ini dikarenakan oleh faktor jarak tempuh yang dekat serta infrastruktur jalan yang membaik.

2. Hubungan ( interaksi ) yang sedang antara Kecamatan Kota Juang dengan kecamatan-kecamatan lain yang masih berada di wilayah Kabupaten Bireuen. Faktor utama yang mempengaruhi ini adalah jarak tempuh yang memakan waktu lebih lama.

Tabel X. Analisa Keterkaitan Ekonomi Antara Ibukota Kecamatan Peusangan Dengan Kecamatan Sekitar

Keterkaitan Jarak (km) Interaksi Persentase Kekuatan

Peusangan – Jangka 6 31,03 27,6% Kuat Peusangan – Makmur 19 1,63 1,4% Sedang Peusangan - P. Selatan 7 10,79 9,6% Sedang Peusangan - P. Sb. Krueng 8 6,43 5,7% Sedang Peusangan – Gandapura 13 5,45 4,8% Sedang Peusangan - Kuta Blang 7 17,64 15,7% Kuat Jangka – Makmur 25 0,54 0,5% Sedang Jangka - P. Selatan 13 1,79 1,6% Sedang Jangka - P. Sb. Krueng 14 1,20 1,1% Sedang Jangka – Gandapura 29 0,63 0,6% Sedang Jangka - Kuta Blang 7 10,11 9,0% Sedang Makmur - P. Selatan 26 0,24 0,2% Sedang Makmur - P. Sb. Krueng 27 0,17 0,2% Sedang

(40)

40

Makmur – Gandapura 6 7,70 6,8% Sedang Makmur - Kuta Blang 12 1,81 1,6% Sedang P. Selatan - P. Sb. Krueng 15 0,50 0,4% Sedang P. Selatan – Gandapura 14 1,27 1,1% Sedang P. Selatan - Kuta Blang 10 2,34 2,1% Sedang Gandapura - Kuta Blang 6 11,34 10,1% Sedang

Sumber : Olah Data

Pengkategorian

Interaksi

nilai > rata-rata + 1 sd = kuat rata2 - 1 sd < nilai < rata2 + 1 sd = sedang nilai < rata2 - 1 sd = lemah Standar Deviasi 7,83

Rata- Rata 5,93

rata2 + 1 sd 13,75 rata2 - 1 sd -1,90

Dari hasil perhitungan keterkaitan ekonomi antara wilayah kecamatan yang satu dengan kecamatan yang lain, dengan menetapkan bahwa Kecamatan Peusangan dengan Matanggeulumpang Dua sebagai ibukota yang merupakan pusat perdagangan di wilayah timur Kabupaten Bireuen, didapat bahwa:

1. Hubungan ( interaksi ) yang kuat antara Kecamatan Peusangan dengan Kecamatan Jangka dan Kecamatan Kuta Blang. Hal ini dikarenakan oleh faktor jarak tempuh yang dekat serta infrastruktur jalan yang membaik.

2. Hubungan ( interaksi ) yang sedang antara Kecamatan Peusangan dengan kecamatan-kecamatan lain yang masih berada di wilayah Kabupaten Bireuen. Faktor utama yang mempengaruhi ini adalah jarak tempuh yang memakan waktu lebih lama.

(41)

41 Gambar I. Interaksi Antar Wilayah Perkotaan Bireuen

Gambar

Tabel I. Jumlah Kecamatan, Kemukiman, dan Gampong/Kelurahan  Dalam Kabupaten Bireuen Tahun 2011
Tabel II. Jenis dan Penggunaan Lahan Kabupaten Bireuen  Tahun 2010
Tabel III. Pertumbuhan Sektor Ekonomi Kabupaten Bireuen  Tahun 2008 – 2009 (Persen)
Tabel IV.   Jumlah Penduduk    Kabupaten Bireuen Tahun 2010  No  Kecamatan  Luas Wilayah
+5

Referensi

Dokumen terkait

Bahasa teknis diatas berhubungan dan sesuai dengan Pilar - pilar yang ada dalam TPM, hubungan bahasa teknis dengan pilar – pilar TPM, serta hasil analisa maintenance

Dari data yang telah diperoleh, dilakukan tahap analisis dengan metode analisa yang telah ditetapkan yaitu metode delphi dan analisis statistik mengunakan program SPSS, dengan

Pada penelitian dengan judul “Kesadaran Hukum Berjilbab Studi Komparasi Mahasiswi STAIN Kudus Dan UNISNU Jepara (Angkatan 2013)” ini peneliti menfokuskan penelitiannya

POKJA II ULP (Procurement Unit) akan melaksanakan pelelangan ulang paket pekerjaan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka ,

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan efektifitas antara model pembelajaran Examples Non Examples dan model pembelajaran

Pendidikan Seni Drama, Tari Dan Musik Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Pendidikan Bahasa Inggris.. Universitas