• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan, tingkat percepatan pengembangan produk, dan perkembangan tingkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. lingkungan, tingkat percepatan pengembangan produk, dan perkembangan tingkat"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Keragaman konsumen, pergeseran dan pergerakan selera, kebutuhan dan minat konsumen, kepedulian terhadap kebijakan publik, kepedulian terhadap lingkungan, tingkat percepatan pengembangan produk, dan perkembangan tingkat persaingan, memicu perusahaan-perusahaan untuk semakin memahami konsumen, sehingga semakin dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen. Dalam dunia bisnis, perilaku konsumen merupakan topik khusus yang harus dipahami pemasar, sehingga pemasar dapat merancang strategi pemasaran yang sesuai dan dapat mempengaruhi perilaku konsumen.

Perilaku konsumen meliputi tindakan pada saat sebelum, sedang, dan setelah mengkonsumsi suatu produk atau layanan. Penelitian ini berfokus pada tindakan pelanggan setelah menggunakan layanan jasa, tepatnya ketika pelanggan mengalami ketidakpuasan dan mengajukan keluhan dalam mengkonsumsi layanan.

Penelitian ini akan dilakukan dengan mengacu pada beberapa teori pemasaran yang mencakup perilaku pelanggan yang mengeluh, pemulihan jasa (service recovery), persepsi keadilan terhadap penanganan keluhan, kepuasan pasca penanganan keluhan, dan loyalitas pelanggan.

(2)

2.1 Perilaku Pelanggan yang Mengeluh

Greenberg (1996) menyatakan bahwa orang akan memberikan reaksi pada hubungan yang dirasakan tidak adil dengan menunjukkan emosi negatif (ketidakpuasan) dan mereka akan termotifasi untuk memperbaiki pengalaman tidak adil (niat word of mouth negatif).

Perilaku pelanggan yang mengeluh merupakan ekspresi dari ketidakpuasan pelanggan setelah mengkonsumsi suatu produk/jasa. Ketidakpuasan tersebut ditimbulkan oleh kegagalan produk atau jasa dalam memenuhi harapan konsumen atau adanya penyimpangan antara harapan konsumen terhadap produk atau jasa tersebut dengan kenyataan. Respon publik meliputi penuntutan ganti rugi atau mengadu kepada pihak ketiga, sementara itu respon pribadi meliputi perilaku tetap diam, namun tidak pernah datang lagi, dan atau menyebarkan informasi yang negatif tentang penyedia jasa.

Dalam kaitannya dengan keluhan, Denhamn (1998) dalam Tjiptono (2005:457) mengidentifikasi tiga tipe pelanggan sebagai berikut :

1) Active complainer, yaitu mereka yang memahami haknya, asertif, percaya diri, dan mengetahui dengan baik cara menyampaikan keluhan. Bila ekspektasi mereka akan pelayanan dan nilai (value) tidak terpenuhi, mereka akan menyampaikan keluhannya ke perusahaan yang bersangkutan. Tipe pelanggan seperti ini sangat berharga bagi perusahaan, karena mereka cenderung langsung menginformasikan dan mencari solusi atas setiap keluhan yang mereka rasakan.

(3)

2) Inactive complainers, yaitu mereka yang lebih suka menyampaikan keluhan kepada orang lain (teman, keluarga, rekan kerja) daripada langsung kepada perusahaan bersangkutan. Mereka cenderung langsung berganti pemasok dan tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, peluang perbaikan bagi perusahaan praktis tidak ada.

3) Hyperactive complainers, yaitu mereka yang selalu mengeluh terhadap apa pun. Tipe ini bisa disebut pula chronic complainers yang kadangkala berlaku kasar dan agresif. Mereka ini hampir tidak mungkin dipuaskan karena tujuan keluhannya lebih dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencari “untung”.

Lovelock (2000) menemukan bahwa keluhan dapat berhubungan dengan tiga sumber utama yaitu, (1) disebabkan oleh perusahaan, seperti kualitas produk rendah, komunikasi dan informasi tidak akurat (inkonsisten), harga yang terlalu mahal, (2) disebabkan oleh karyawan seperti sikap dan perilaku karyawan yang bertindak kasar dan kurang sopan, (3) ketidaktelitian pelanggan dan ekspektasi terlalu tinggi dari pelanggan.

Sugiarto (2002:200) membagi keluhan ke dalam empat kategori yaitu (1) mechanical complaint yaitu keluhan yang disebabkan oleh tidak berfungsinya suatu alat dalam suatu interaksi dengan pelayanan; (2) attitudinal complaint, yaitu keluhan konsumen karena sikap negatif yang ditampilkan oleh petugas pelayanan saat berhubungan dengan konsumen; (3) service related complaint, yaitu keluhan konsumen yang diakibatkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan layanan itu

(4)

sendiri; (4) unusual complaint, yaitu keluhan konsumen yang di mata petugas merupakan keluhan yang aneh atau tidak wajar.

Model perilaku keluhan konsumen mengidentifikasi dua tujuan utama untuk mengeluh. Pertama, konsumen mengeluh untuk menutupi kerugian ekonomi. Mereka mungkin berusaha untuk menukar produk bermasalah dengan produk lainnya, atau berusaha memperoleh uang mereka kembali, baik secara langsung dari perusahaan/toko maupun tidak langsung melalui tindakan hukum. Alasan kedua, untuk membangun kembali citra diri mereka. Untuk memperbaiki citra diri, konsumen dapat menggunakan komunikasi dari mulut ke mulut yang negatif (negative word of mouth), berhenti membeli karena melihat merek, mengeluh kepada perusahaan, atau mengambil tindakan hukum (Mowen dan Minor, 2001:103)

Tjiptono (2005:458) mengutip beberapa klasifikasi faktor penentu perilaku keluhan sebagai berikut :

a) Singh (1990) mengindikasikan bahwa respon pelanggan terhadap ketidakpuasan dipengaruhi oleh karakteristik individu seperti demografis, nilai-nilai pribadi, sikap terhadap keluhan, serta sikap terhadap bisnis dan perusahaan.

b) Day dalam Engel et al.1990 mengemukakan determinan perilaku keluhan konsumen yang tidak puas adalah sebagai berikut :

1) Penting tidaknya konsumsi yang dilakukan (service importance), yaitu menyangkut tingkat kepentingan produk bagi pelanggan, harga, waktu yang dibutuhkan untuk mengkonsumsi produk dan social visibility.

(5)

2) Pengetahuan dan pengalaman, yakni jumlah pembelian sebelumnya, pemahaman mengenai produk, persepsi terhadap kapabilitas sebagai konsumen dan penanganan keluhan sebelumnya.

3) Tingkat kesulitan dalam mendapatkan ganti rugi, meliputi jangka waktu penyelesaian masalah, gangguan aktifitas rutin, dan biaya.

4) Peluang keberhasilan dalam melakukan keluhan (likelihood of success)

c) Stephens dan Gwinner (1998) menambahkan, bahwa selain pengaruh karakteristik individu, faktor produk dan situasi juga memainkan peranan penting dalam menjelaskan respon pelanggan terhadap ketidakpuasan. Faktor-faktor ini meliputi peranan daya tanggap penyedia jasa, biaya keluhan, harga, arti penting produk bagi konsumen, pengalaman konsumen, iklim sosial, dan atribusi terhadap kesalahan yang terjadi.

d) Sheth et al. (1999) mengklasifikasikan faktor penentu terhadap perilaku keluhan ke dalam tiga kategori berikut :

1) Dissatisfaction salience, yang dipengaruhi oleh kesenjangan antara kinerja dan harapan, serta derajat kepentingan produk/jasa. Tidak semua situasi ketidakpuasan sama kadarnya. Ada yang sangat menyusahkan, mengganggu, bahkan menjengkelkan, namun ada pula yang tidak terlalu menjadi masalah. Umumnya konsumen cenderung mengabaikan kesenjangan kecil antara kinerja dan harapan. Mereka juga tidak akan melakukan keluhan bila produk atau jasa yang dibeli tidak terlalu penting.

(6)

2) Attribution to the marketer, berkenaan dengan kesalahan yang sesungguhnya bisa dikendalikan pihak pemasar, kemungkinan diulanginya kesalahan yang sama oleh pemasar, dan kemungkinan adanya tindakan korektif oleh pemasar. Konsumen akan menunjuk siapa yang patut disalahkan sehubungan dengan jeleknya kinerja produk/jasa. Bila konsumen menyalahkan mereka sendiri atau keadaan, maka keluhan tidak akan terjadi, namun kalau mereka membebankan kesalahan pada pemasar, maka kemungkinan mereka akan melakukan keluhan. Lebih lanjut, bila konsumen menganggap bahwa kesalahan yang terjadi tidak mungkin terulang lagi, mereka cenderung akan melakukan keluhan. Selain itu, bila konsumen berkeyakinan bahwa pemasar tidak akan melakukan tindakan perbaikan, maka mereka akan menganggap keluhan hanya sebagai usaha yang sia-sia.

3) Customer’s personality traits berkaitan dengan tingkat kepercayaan diri dan agresivitas konsumen. Penyampaian keluhan membutuhkan kepercayaan diri dan agresivitas yang mendorong konsumen untuk menuntut haknya. Oleh sebab itu, kedua sifat itu menyebabkan konsumen memilih melakukan keluhan daripada pasrah menerima kinerja pemasaran yang jelek.

Mowen dan Minor (2001:103) menyebutkan bahwa di antara sejumlah faktor yang mempengaruhi perilaku keluhan pelanggan, adalah jenis produk atau jasa yang terlibat, biaya, dan arti sosial produk. Kemungkinan perilaku keluhan meningkat bila (1) tingkat ketidakpuasan meningkat, (2) sikap konsumen dalam mengeluh

(7)

meningkat, (3) jumlah manfaat yang diperoleh dari sikap mengeluh meningkat, (4) perusahaan disalahkan atas suatu masalah, (5) produk tersebut penting bagi konsumen, (6) sumber-sumber yang tersedia bagi konsumen untuk mengeluh meningkat.

Pelanggan yang mengajukan keluhan memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memperbaiki segala persoalan, memulihkan hubungan dengan orang yang mengadukan, dan meningkatkan kualitas jasa untuk semua pelanggan. (Lovelock dan Wright, 2007:144). Dengan menerima keluhan konsumen, perusahaan mendapatkan peluang untuk mempelajari sejauh mana pelayanan yang diberikan memenuhi harapan konsumen dan bagaimana memperbaiki diri.

2.2 Pemulihan Jasa (Service Recovery)

Salah satu pakar, (Nasution, 2004:98) yang menyatakan bahwa hukum pertama perusahaan yang telah menyampaikan jasanya dengan baik, tetap saja akan ada pelanggan yang tidak puas atau kecewa. Nasution (2004:116) menjelaskan kualitas adalah “melakukan segala sesuatu yang benar sejak awal”. Bila hal ini tercapai, maka akan terwujud kepuasan pelanggan, walaupun kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa kegagalan terus terjadi, kadang-kadang karena alasan di luar kendali perusahaan (Lovelock dan Wright, 2007:144).

Tujuan dari pemulihan layanan adalah untuk mengembalikan kepusan pelanggan kepada situasi normal atau bahkan membuat mereka merasa senang setelah terjadinya suatu kegagalan dalam pelayanan. Pemulihan layanan didefinisikan

(8)

sebagai tindakan yang diambil oleh penyedia layanan untuk mengatasi ketidakpuasan dan sebagai respon pada kualitas pelayanan yang buruk, menjadi sangat efektif untuk mengurangi kerusakan hubungan dan untuk menenangkan konsumen yang tidak puas (Kau dan Loh , 2006:101).

Investasi perusahaan dalam penanganan keluhan berarti menambah komitmen konsumen dan membangun kesetiaan konsumen. Pemulihan layanan yang baik memiliki pengaruh positif pada beragam hasil pelayanan termasuk kepuasan konsumen, minat kembali, dan penyebaran komunikasi getok tular positif (Blodgett, et.al 1997). Tax, et.al (1998:60) menyebutkan bahwa pemulihan yang efektif dari kegagalan layanan (service failure) memiliki kontribusi terhadap penilaian pelanggan pada perusahaan, akan memberikan dampak yang luar biasa pada angka penahan pelanggan, menangkis penyebaran word of mouth (WOM) yang merusak dan mengembangkan kinerja perusahaan.

Menurut Nasution (2004:117), pemulihan jasa (service recovery) berkaitan erat dengan kepuasan pelanggan, dan secara umum dapat diwujudkan dengan tiga cara pokok sebagai berikut :

1) Memperlakukan para pelanggan yang tidak puas sedemikian rupa sehingga bisa mempertahankan loyalitas mereka.

2) Penyedia jasa memenuhi atau melebihi harapan para pelanggan yang mengeluh dengan cara menangani keluhan mereka.

(9)

Nasution (2004:130) menyatakan penanganan keluhan yang baik memberikan peluang untuk mengubah seorang pelanggan yang tidak puas menjadi pelanggan yang puas. Manfaat lain dari penanganan keluhan pelanggan adalah :

1) Penyedia jasa memperoleh kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungan dengan pelanggan yang kecewa.

2) Penyedia jasa bisa terhindar dari publisitas negatif.

3) Penyedia jasa akan mendapatkan kepercayaan kembali dari pelanggan.

Menurut Johnston (2000:213), aktivitas yang diperlukan dalam rangka memulihkan layanan pelanggan, meliputi beberapa hal sebagai berikut :

a) Respon, pengakuan bahwa telah terjadi masalah atau kegagalan jasa; permohonan maaf, empati, respon yang cepat, keterlibatan manajemen.

b) Informasi, penjelasan atas kegagalan yang terjadi, mendengarkan pandangan pelanggan terhadap solusi yang diharapkan; menyepakati solusi, menjamin bahwa masalah yang sama tidak akan terulang lagi, permohonan maaf tertulis. c) Tindakan, koreksi atas kegagalan atau kesalahan; mengambil langkah-langkah

perbaikan, seperti mengubah prosedur untuk mencegah terulangnya masalah di kemudian hari, melakukan tindak lanjut untuk memeriksa dampak setelah pemulihan jasa.

d) Kompensasi, yaitu memberikan ganti rugi kepada pelanggan

Manajemen pemulihan dianggap memiliki pengaruh yang signifikan pada konsumen yang mengalami kegagalan layanan karena mereka yang terlibat dan setia

(10)

biasanya lebih emosional terhadap usaha pemulihan layanan (Berry dan Parasuraman, 1991). Banyak konsumen memiliki reaksi emosi yang kuat dalam merespon pemulihan layanan dan kemudian memutuskan apakah akan melanjutkan hubungan mereka dengan perusahaan (Smith dan Bolton, 2002). Pemulihan layanan sangat efektif untuk mengurangi kerusakan hubungan dan untuk menenangkan konsumen yang tidak puas. Pemulihan layanan yang efektif mengantarkan pada kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepuasan pelayanan yang ditampilkan saat pertama kali (McCollough dan Bharadwaj, 1992).

Dari proses perspektif, pemulihan layanan dapat digambarkan sebagai urutan kejadian sebuah prosedur, dimulai dengan mengkomunikasikan keluhan, menghasilkan proses interaksi melalui keputusan dan terdapat hasil (Tax, 1998:61). Didalam area pemulihan layanan, persepsi keadilan diidentifikasi sebagai kunci yang berpengaruh pada pembentukan penilaian evaluatif dari proses pemulihan.

Keberhasilan suatu program pelayanan didefinisikan sebagai pemuasan dalam pengalaman atas penanganan jasa (service encounter) yang mungkin saja didalamnya termasuk pemulihan (recovery) layanan proaktif maupun efektif (Severt, 2002). Sebuah layanan proaktif terjadi ketika suatu kesuksesan dalam pertemuan jasa dihasilkan setelah adanya suatu insial kegagalan layanan (service failure) di mana penyedia jasa melakukan upaya pemulihan. Pemulihan layanan reaktif terjadi ketika seorang pelanggan mengajukan keluhan dan selanjutnya ditanggapi oleh penyedia jasa dengan upaya pemulihan layanan dari kegagalan (Smith, 1998 dalam Severt 2002).

(11)

2.3 Persepsi Keadilan terhadap Penanganan Keluhan

Keadilan menawarkan sebuah bingkai kerja yang luas untuk memahami proses keluhan dari awal sampai selesai, melibatkan kesopanan dari keputusan, menyinggung tidak hanya pendistribusian hasil, tetapi juga bagaimana pendistribusian itu didatangkan dan sikap dari pelaksanaannya.

Konsepsi dari persepsi keadilan telah digunakan secara luas dalam penelitian organisasional untuk dapat meramalkan beragam tampilan hasil hubungan kerja (Daly dan Geyer, 1995; Gilliland, 1994). Schoefer dan Ennew (2005) menunjukkan bahwa persepsi keadilan adalah cara yang bermanfaat dan efektif yang berhubungan dengan respon konsumen pada pengalaman pemulihan. Pada penelitian lintas sektor, Tax (1998) menunjukkan bukti pentingnya ketiga dimensi persepsi keadilan (keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional) dalam menghasilkan penilaian positif pada penanganan keluhan. Maxham dan Netemeyer (2002) memberikan bukti pentingnya persepsi keadilan sebagai determinan dari kepuasan, niat membeli, dan word of mouth. Mereka juga menyoroti pentingnya persepsi karyawan tentang ikut ambil bagian dalam perusahaan, dan kesediaan karyawan untuk terikat dalam perilaku peran ekstra sebagai determinan dari persepsi keadilan. Blodgett (1997) menggunakan dasar skenario retail untuk mempertunjukkan pentingnya keadilan interaksional yang mempengaruhi perilaku konsumen selanjutnya. Hui dan Au (2001) menggunakan dasar skenario hotel untuk menguji ketiga strategi penanganan keluhan, dengan: 1) suara (memberikan kebebasan kepada

(12)

konsumen untuk dapat menyatakan pendapat mereka sepenuhnya pada karyawan yang bersangkut paut), 2) kompensasi, dan 3) permintaan maaf.

Keluhan dipandang sebagai konflik antara konsumen dan organisasi sebagai keadilan dari : (1) prosedur pemecahan, (2) komunikasi dan perilaku perseorangan, dan (3) hasil dari prinsip kriteria penilaian konsumen (Tax et al, 1998:61).

Keluhan pelanggan merupakan salah satu komponen penting yang perlu untuk diperhatikan, namun sering kali terlewatkan. Ada beberapa alasan penting mengapa perusahaan harus memperhatikan keluhan pelanggan yaitu : 1) keluhan pelanggan merupakan cerminan bahwa terdapat suatu masalah dalam produk atau layanan yang ditawarkan oleh perusahaan, 2) keluhan pelanggan mengindikasikan bahwa terdapat kebutuhan pelanggan yang tidak terpuaskan, 3) keluhan pelanggan mengindikasikan bahwa produk dan layanan yang tidak memuaskan sudah berada diluar batas toleransi pelanggan.

Bell dan Zemke (1987) dalam Hocutt, et.al (2006:200) menyebutkan lima hal penting untuk keberhasilan pemulihan layanan: apology, urgent reinstatement, empathy, atonement, dan follow up. Johnston (1995) dalam Hocutt et,al (2006:200) menemukan bahwa konsumen yang mengalami kegagalan layanan membutuhkan bagian-bagian berikut dari usaha pemulihan pelayanan karyawan : karyawan harus bersikap menyenangkan, penuh perhatian dan membantu, perhatian pada konsumen, bertindak cepat dan fleksibel.

Sebuah prosedur penanganan keluhan perusahaan mengarah kepada sebuah interaksi dengan konsumen yang mengharuskan perusahaan membuat keputusan.

(13)

Dengan kata lain, ketentuan harus dibuat antara prosedur, peranan, dan hasilnya. Kesemuanya umumnya disebut keadilan distributif (distributive justice), keadilan prosedural (procedural justice), dan keadilan interaksional (interactional justice).

Blodgett, et.al (1993:405) menyebutkan, dalam konteks perilaku keluhan, (1) komponen distributif mengarah pada keadilan yang dirasakan pelanggan terhadap perbaikan yang ditawarkan oleh perusahaan (jumlah pembayaran kembali, apa jenis pengembalian yang ditawarkan, gratis perbaikan), (2) komponen prosedural mengarah pada keadilan yang dirasakan pelanggan terhadap pengembalian dan kebijakan pertukaran yang dilakukan oleh perusahaan, dan (3) komponen interaksional mencakup sikap bagaimana perusahaan memberikan respon terhadap keluhan konsumen (apakah perusahaan memberikan respon tepat pada waktunya dan sikap yang sopan)

2.3.1 Keadilan distributif (distributive justice)

Dalam konteks kegagalan layanan, keadilan distributif fokus pada persepsi keadilan hasil atau perbaikan dari usaha pemulihan layanan (Blodgett et.al, 1993). Keadilan distributif fokus pada persepsi keadilan hasil dari pelayanan, apa yang khususnya ditawarkan oleh perusahaan yang bersalah untuk mengatasi kegagalan pelayanan (Tax dan Brown, 2000; Tax et.al, 1998; Blodgett,1997). Gilliland (1993) menyatakan bahwa keadilan distributif terkait dengan hasil spesifik dari upaya pemulihan layanan.

(14)

Dalam kasus kegagalan layanan, konsumen berharap penyedia layanan akan mengganti tiap kerugian yang dialami sebagai hasil dari pemulihan kegagalan layanan. Konsumen dapat mengharapkan tingkat penggantian yang berbeda tergantung pada seberapa banyak kegagalan layanan mempengaruhi mereka. Konsumen yang mengalami kegagalan layanan akan mengharapkan “perbaikan yang adil” pada masalah, sedangkan konsumen yang merasa sebagai “korban” dari hasil kegagalan layanan dapat mengharapkan penggantian tambahan (Bell dan Ridge, 1992 dalam Hocutt, et.al, 2006:200).

Sparks dan McColl-Kennedy (2001) menemukan bahwa responden puas ketika diberikan pengembalian 50% atas kegagalan layanan. Secara keseluruhan, dalam usaha pemulihan layanan, penggantian mengarahkan pada persepsi keadilan distributif yang lebih tinggi (perbaikan keadilan), yang akan mengarahkan pada kepuasan konsumen yang lebih tinggi dan niat negatif word of mouth yang lebih rendah.

Dalam penanganan keluhan, beberapa hasil distributif yang sering dipergunakan sebagai kompensasi antara lain dalam bentuk pemberian diskon, koreksi harga, kupon, pengembalian, hadiah gratis, penggantian, perbaikan, kredit, dan permintaan maaf, dimana hasilnya harus dirasakan adil atau konsumen menjadi puas dengan pemulihan layanan (Kelley et.al, 1993; Goodwin dan Ross, 1992; Blodgett et al, 1997; Tax et al, 1998; Hoffman dan Kelley, 2000; Kau dan Loh, 2006). Mckoll-Kennedy et al (2003) menunjukkan bahwa tidak memperhatikan jenis kelamin, konsumen yang memiliki kesempatan untuk menyampaikan ketidakpuasan

(15)

mereka dan mendapat penggantian, memiliki sikap yang lebih positif terhadap penyedia layanan. Pentingnya permintaan maaf menyarankan bahwa penggantian tidak hanya untuk biaya ekonomi, melainkan juga untuk biaya emosional (Tax, et.al, 1998:72)

Membuat penilaian keadilan dengan perhatian pada hasil, persamaan hak, dan keinginan juga relevan pada penilaian dari keadilan distributif. Perusahaan yang berjanji untuk peduli pada keinginan konsumen dan mengatakan bahwa mereka akan memberikan kepuasan 110% menciptakan harapan bahwa komplainan akan diperlakukan dengan sikap yang hampir mendekati pencerminan peran keinginan. Banyak situasi keluhan ditentukan oleh metode keadilan, di mana konsumen yang mengajukan keluhan terlihat pada keseimbangan dari penyebab ketidakpuasan, biaya keluhan, dan harapan untuk mendapatkan kompensasi yang sesuai.

Orang yang memasuki situasi keluhan mengetahui bagaimana teman konsumen diperlakukan dalam kondisi yang sama, kemungkinan mengharapkan diperlakukan sama. Oleh karena itu, konsumen dapat menilai keadilan dari perbedaan kompensasi berdasarkan pada (1) pengalaman mereka terdahulu dengan perusahaan dan perusahaan lain, (2) mengetahui pemecahan dari konsumen lain, dan (3) persepsi kehilangan yang dirasakan (Tax, et.al.1998:62). Greenberg (1996) menyatakan bahwa orang akan memberikan reaksi pada hubungan yang dirasakan tidak adil dengan menunjukkan emosi negatif (ketidakpuasan) dan mereka akan termotifasi untuk memperbaiki pengalaman tidak adil (niat word of mouth negatif)

(16)

2.3.2 Keadilan prosedural (procedural justice)

Teori keadilan presedural menguji pengaruh proses keputusan pada hubungan pertukaran yang berkualitas (Hocutt, et.al, 2006:200). Keadilan prosedural berkaitan dengan keterbukaan yang dirasakan oleh pelanggan mengenai kebijakan, prosedur, dan kriteria yang digunakan oleh pengambil keputusan sampai memperoleh hasil keputusan atas perselisihan yang terjadi (Blodgett, et. al, 1993). Lind dan Tyler (1998) dalam Severt (2002) mengemukakan keadilan prosedural sebagai langkah aksi perusahaan dalam memecahkan permasalahan. Keadilan prosedural cara kerjanya sebagai penundaan dalam pemrosesan keluhan, proses kontrol, pencapaian, waktu/kecepatan, dan fleksibilitas beradaptasi pada kebutuhan pemulihan konsumen (Tax dan Brown, 2000; Tax,1998; Blodgett,1997). Elemen keadilan menyarankan bahwa prosedur keluhan yang adil mudah untuk dicapai, memberikan beberapa kontrol pengaturan, fleksibel, dan diputuskan dengan sikap yang sesuai dan tepat waktu (Tax et al, 1998:62).

Keadilan prosedural sangat berarti karena tujuannya untuk memecahkan perselisihan dengan cara mendorong kelanjutan hubungan produktif antara orang yang berselisih, bahkan ketika hasil tidak memuaskan bagi salah satu atau kedua kubu. Keadilan prosedural sangat penting dalam pemulihan layanan karena konsumen mungkin merasa puas terhadap tipe strategi pemulihan yang ditawarkan tetapi merasa tidak puas bila proses yang dilalui untuk memperoleh penggantian tidak memuaskan (Kelley, et.al, 1993; Saxby, et.al, 2000).

(17)

Tax et.al (1998) menyebutkan bahwa ketika karyawan bertanggung jawab pada pembuatan prosedur, disana terdapat kesempatan bagi perilaku karyawan untuk mempengaruhi penilaian keadilan prosedural. Penilaian keadilan prosedural juga dapat dipengaruhi oleh penjelasan bahwa hasil yang diberikan menggunakan proses yang adil (Conlon dan Murray, 1996). Penjelasan yang cukup pada prosedur keluhan mempertinggi penilaian, di mana penjelasan yang kurang baik berpengaruh pada proses penilaian yang lebih rendah dari keadilan prosedural dan kepuasan keseluruhan terhadap proses. Karyawan baris depan yang menangani pemulihan layanan mampu segera meningkatkan persepsi konsumen pada keadilan prosedural dengan memberikan respon yang cepat pada kegagalan layanan (Hocutt, et.al, 2006:200). Nilai dari penjelasan yang dapat diterima pelanggan, dapat berkurang jika perusahaan dirasakan lambat dalam merespon keluhan (Conlon dan Murray, 1996).

Cara keputusan diperoleh sama pentingnya dengan keputusan itu sendiri. Sebuah perusahaan dinilai dari fasilitas proses keluhan. Proses keluhan terdiri dari semua kebijakan, prosedur, dan alat-alat yang digunakan perusahaan untuk mendukung komunikasi dan keluhan konsumen, sebaik waktu yang digunakan perusahaan untuk mengatasi keluhan dan mendatangkan hasil. Konsumen hanya bisa menilai kebijakan dan prosedur yang mempengaruhi mereka secara langsung, dan ini adalah dasar untuk persepsi mereka terhadap keadilan prosedural.

Multidimensionalitas dari keadilan prosedur dalam Saxby et al (2000:208), mengidentifikasi empat dimensi dari keadilan prosedural. Konseptualisasi penamaan dimensi empat keadilan prosedural : (1) bilateral communications, (2) familiarity

(18)

with the situation of individuals, (3) refute decisions, (4) consistent application of procedures.

Bilateral communications mengarah pada kemampuan yang dirasakan individu untuk terikat dalam komunikasi dua arah selama proses keputusan. Kesempatan untuk terikat dalam komunikasi dua arah umumnya terjadi dalam situasi tipe interview dengan interaksi individu (Gilliland 1993). Komunikasi dua arah dapat mengarah pada kesempatan yang dirasakan individu untuk menanyakan pertanyaan mengenai subyek yang menjadi masalah, perusahaan, atau proses keputusan. Dalam konteks keluhan konsumen, komunikasi bilateral diartikan sebagai berapa banyak komunikasi dua arah terjadi.

Familiarity tertuju pada merasakan dalamnya pengetahuan yang ditunjukkan oleh pembuat keputusan tentang situasi individu. Lebih tinggi dirasakannya pengetahuan dari pembuat keputusan, lebih adil penilaian proses oleh individu. Pelajaran ini menerjemahkan familiarity dimension pada seberapa baik penanganan keluhan individu mengerti keadaan pelanggan yang mengajukan keluhan.

Dimensi ketiga adalah refute decisions yaitu kemampuan yang dirasakan individu untuk menyangkal atau membantah keputusan. Dimensi ini melibatkan kesempatan individu untuk menantang keputusan atau merubah proses keputusan. Dimensi ini dapat diringkas sebagai memiliki kesempatan kedua. Dalam konteks keluhan, kemampuan untuk membantah keputusan mengarah pada kemampuan konsumen yang mengajukan keluhan untuk menolak proses hasil awal dan mengajukan kembali keluhan kepada wasit lain.

(19)

Dimensi keempat adalah consistent application of procedures yaitu melihat adanya konsistensi administrasi. Konsistensi mengarah pada persepsi bahwa proses keputusan dipegang konstan pada orang dan waktu yang berbeda. Konsistensi mungkin menjadi dimensi yang sulit bagi individu untuk menilai atau memastikan (Gilliland 1993). Konsistensi dalam konteks keluhan konsumen berarti bahwa konsumen membuat penentuan apakah keluhan mereka ditangani dengan sikap yang sama pada semua komplainan yang lain.

2.3.3 Keadilan interaksional (interactional justice)

Keadilan interaksional berhubungan dengan sikap bagaimana orang diperlakukan selama proses penanganan keluhan termasuk elemen seperti kebaikan dan kesopanan yang ditunjukkan oleh personil, empati, usaha peninjauan dalam pemecahan masalah, dan kesediaan perusahaan untuk memberikan penjelasan mengapa kegagalan terjadi (Gilliland, 1993; Blodgett et.al,1997; Tax dan Brown, 2000; Hocutt, et.al, 2006). Keadilan interaksional dipersepsikan meliputi keadilan perlakuan yang diterima pelanggan dari orang-orang yang terlibat selama mereka melalui prosedur yang ada (Tax, et.al, 1998). Dalam situasi pemulihan layanan, keadilan interaksional merujuk pada cara bagaimana proses pemulihan itu dilaksanakan dan hasil dari proses pemulihan disajikan.

McColl-Kennedy dan Sparks (2003) menyebutkan bahwa emosi konsumen akan meningkat jika mereka merasakan perhatian yang kurang pada bagian dari perbaikan yang dilakukan perusahaan selama usaha pemulihan layanan. Maxham dan

(20)

Netemeyer (2003) menyebutkan bahwa persepsi karyawan pada keadilan perusahaan mempengaruhi perilaku peran ekstra mereka kepada konsumen, dan perilaku ini selanjutnya mempengaruhi persepsi keadilan konsumen tentang pengalaman layanan mereka.

Tax et al (1998) menyebutkan, banyak penelitian menemukan hubungan atara penilaian keadilan dan kepuasan dengan variabel seperti membayar, kerja, penilaian penampilan, putusan percobaan, sales, dan yang lebih penting pelayanan konsumen. Konsumen kemungkinan memiliki reaksi positif saat awal menemui kegagalan pelayanan, yang diikuti oeleh pemulihan yang efektif seperti menempatkan ke ruangan yang lebih baik, mengganti kerugian dengan makanan atau minuman gratis, memberikan penjelasan mengapa pelayanannya tidak tersedia, atau bantuan dalam memecahkan masalah (Conlon dan Murray, 1996; Tax, et. al, 1998).

2.4 Kepuasan Pasca Penanganan Keluhan

Kotler dan Keller (2008:136) mengemukakan bahwa kepuasan sebagai perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan kinerja produk yang dipikirkan (dirasakan) terhadap kinerja yang diharapkan. Sullivan dan Adcock (2002:233) menyatakan kepuasan pelanggan tercipta dari adanya perbandingan (oleh pelanggan) nilai atau manfaat yang diterima (persepsi terhadap apa yang telah diterima) dengan pengorbanan (termasuk biaya) yang telah dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Menurut Lovelock dan Wright (2007:102), kepuasan pelanggan pada bidang jasa adalah reaksi emosional jangka

(21)

pendek pelanggan terhadap kinerja jasa tertentu. Sivadas et.al (2000), menyatakan kepuasan merupakan suatu alat ukur yang sangat baik dan telah banyak terbukti dalam mempengaruhi sikap, pembelian ulang, dan word of mouth (WOM).

Pelanggan mengalami tingkat kepuasan atau ketidakpuasan, setelah mengalami masing-masing jasa sesuai dengan sejauh mana harapan mereka terpenuhi atau terlampaui. Karena kepuasan adalah keadaan emosional, reaksi pasca pembelian mereka dapat berupa kemarahan, ketidakpuasan, kejengkelan, netralitas, kegembiraan atau kesenangan.

Pelanggan yang marah atau tidak puas akan menimbulkan masalah karena mereka dapat berpindah ke perusahaan lain dan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut. Pelanggan yang sedikit puas atau netral dapat direbut oleh pesaing, dan pelanggan yang senang akan tetap loyal, walaupun ada tawaran yang menarik dari pesaing.

Kepuasan terhadap penanganan keluhan adalah seluruh perasaan pelanggan yang mengajukan keluhan terhadap perusahaan sebagai hasil dari penanganan keluhan perusahaan, apa yang dirasakan konsumen setelah keluhannya ditangani. Ketika sebuah perusahaan mengembangkan sistem mengatasi keluhan konsumen yang bagus, ini mengarah pada kepuasan konsumen yang lebih besar (Kau dan Loh, 2006).

Kepuasan penanganan keluhan dapat menjadi penghubung inti yang menghubungkan persepsi dari dimensi keadilan pada sikap dan perilaku setelah mengadukan keluhan. Kepuasan biasanya dilihat sebagai pusat penghubung perilaku

(22)

pasca pembelian, menghubungkan kepercayaan produk sebelum memilih sampai struktur kognitif setelah memilih, komunikasi konsumen, dan perilaku beli ulang. (Tax et al, 1998:64).

Sikap dan perilaku akibat dari kepuasan konsumen memainkan peran utama dalam mengemudikan hubungan konsumen jangka panjang. Perilaku pembelian ulang tergantung pada tingkat kepuasan pasca pembelian. Blodgett et al (1993) mengamati bahwa pemecahan yang memuaskan atau tidak memuaskan dari perselisihan akan mempengaruhi apakah konsumen yang mengadukan keluhan akan kembali pada penjual (atau keluar) dan apakah orang tersebut akan terikat dalam komunikasi getok tular yang baik atau yang buruk. Konsumen yang mengadukan keluhan yang merasa telah mendapatkan keadilan, kemungkinan datang kembali kepada perusahaan tersebut (bahkan bisa menjadi konsumen yang lebih setia).

Pengaduan yang diselesaikan dengan memuaskan, ada kemungkinan yang lebih besar pelanggan tersebut akan loyal dan tetap membeli kembali barang-barang tersebut. TARP (Technical Assistance Research Institute) menemukan bahwa keinginan untuk membeli lagi berbagai jenis produk yang lain berkisar antara 69-80% di kalangan pengadu yang benar-benar puas dengan hasil pengaduannya. Angka ini turun menjadi 17-32% (bergantung pada jenis produk) bagi pengadu yang merasa pengaduannya tidak diselesaikan hingga memuaskan mereka (Lovelock dan Wright, 2007:147)

Tercipta kepuasan pelanggan akan memberi manfaat kepada perusahaan karena pembeli merasa terpenuhi keinginannya dan kebutuhan akan membeli ulang

(23)

(repeat buying) dan terciptanya loyalitas terhadap jasa yang diterima, selain itu mereka akan merekomendasikannya dari mulut ke mulut (worf of mouth) kepada teman-teman sekitarnya untuk menggunakan jasa tersebut dan akan menguntungkan perusahaan.

Pengetahuan sebuah perusahaan terhadap adanya kegagalan layanan diikuti oleh respon yang kurang tepat, dengan kata lain adanya penyimpangan ganda (double deviation) dari ekspektasi selanjutnya akan mengurangi persepsi pelanggan atas kualitas layanan dan menghasilkan ketidakpuasan yang bertambah buruk dari yang sudah terjadi sebelumnya diawal terjadinya kegagalan (Severt, 2002). Keaveney (1995) menemukan bahwa kegagalan layanan atau gagalnya pemulihan layanan menyebabkan perginya enam dari sepuluh pelanggan yang berkeinginan meninggalkan perusahaan atau berganti pada perusahaan jasa yang sama lainnnya. Keaveney (1995) mengkategorikan respon tersebut sebagai : 1) keengganan merespon (reluctant responses), 2) gagal untuk merespon (failures to respond), dan 3) tidak adanya respon (negative responses). Penelitian memperkirakan bahwa gambaran perilaku negatif ini di dalamnya termasuk ketidakpedulian (uncaring), kekurangsopanan (impolite), kekurangtanggapan (unresponsive), dan kurang pemahaman (unknowledge) (Keaveney , 1995).

2.5 Loyalitas Pelanggan

Istilah loyalitas digunakan untuk melukiskan kesediaan pelanggan untuk terus berlangganan pada sebuah perusahaan dalam jangka panjang, dengan membeli dan

(24)

menggunakan barang dan jasanya secara berulang-ulang dan lebih baik lagi secara eksklusif, dan dengan suka rela merekomendasikan produk perusahaan tersebut kepada teman-teman dan rekan-rekannya.

Loyalitas akan berlanjut hanya sepanjang pelanggan merasakan bahwa ia menerima nilai yang lebih baik (termasuk kualitas yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan harga) dibandingkan dengan yang dapat diperoleh dengan beralih ke penyedia jasa lain. Jika perusahaan pertama tersebut melakukan sesuatu yang mengecewakan pelanggan atau jika pesaing mulai menawarkan nilai yang lebih baik, resikonya ialah bahwa pelanggan tersebut akan berpindah ke pesaing (Lovelock dan Wright, 2007:134).

Loyalitas pelanggan memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan pelanggan yang ada berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, hal ini menjadi alasan utama bagi perusahaan untuk menarik dan mempertahankan pelanggannya.

Menurut Mowen dan Minor (2001) mendefinisikan loyalitas sebagai kondisi ketika pelanggan mempunyai sikap positif terhadap suatu merek, mempunyai komitmen pada merek tersebut, dan bermaksud meneruskan pembeliannya di masa mendatang. Saxby, et.al (2000) menyatakan, meskipun secara relatif sedikit konsumen yang tidak puas mengeluh, mereka yang melakukan keluhan sebenarnya menambah kesetiaan mereka pada perusahaan dalam kondisi dimana keluhan mereka ditangani dengan efektif.

(25)

Griffin (2002:31) menyatakan bahwa pelanggan yang loyal merupakan aset penting bagi perusahaan, hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya seperti : melakukan pembelian secara teratur (makes regular repeat purchases), membeli di luar lini produk atau jasa (purchases across product and service the line), merekomendasikan kepada orang lain (refers other), menunjukkan kekebalan dari daya tarik produk sejenis dari pesaing (demonstrates an immunity to the full of the competition), dan bersedia membayar lebih mahal (pay more for the product).

Loyalitas dipandang sebagai hubungan erat antara sikap relatif dengan perilaku pembelian ulang. Pandangan yang mendasarkan hubungan antara sikap dan perilaku ini amat bermanfaat bagi pemasar. Pertama, dari segi validitas yang akan lebih baik, terutama dapat digunakan untuk memprediksi apakah loyalitas yang terlihat dari peilaku pembelian ulang terjadi karena memang sikapnya yang positif (senang) terhadap produk tersebut ataukah hanya karena situasi tertentu yang memaksanya (spurious loyalty). Kedua, memungkinkan pemasar melakukan identifikasi terhadap faktor yang dapat menguatkan atau melemahkan konsistensi loyalitas.

Referensi

Dokumen terkait

Extender tidak akan dapat terhubung ke router atau AP nirkabel jika router nirkabel atau AP menggunakan kata sandi yang

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama menstruasi dan status gizi terhadap kejadian anemia pada remaja putri di SMA Nadhlatul Palembang Tahun 2017 Penelitian

Peta Kelas Penutupan Lahan Tahun 2000 pada Kawasan Lindung di luar Hutan Lindung Kabupaten Sumedang.. Peta Kelas Penutupan Lahan Tahun 2005 pada Kawasan Lindung di luar Hutan

Sistem informasi pelaksanaan Praktek kerja dan penelitian berbasis web ini dapat digambarkan sebagai bentuk sebuah fasilitas yang menyediakan informasi-informasi

Pautan genetik (genetic linkage dalam bahasa Inggris) dalam genetika adalah kecenderungan alel-alel pada dua atau lebih lokus pada satu berkas kromosom yang sama (kromatid)

116 dan sisanya 44,8677 dijelaskan oleh variabel lain faktor makroekonomi (inflasi dan pertumbuhan ekonomi) yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Saran yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompos ela sagu dapat dimanfaatkan sebagai media perbanyakan antagonis Trichoderma harzianum ; kompos ela sagu jika dicampurkan dengan dedak

Perundungan (bullying) adalah tindakan fisik dan atau psikis, verbal maupun non verbal, yang dilakukan sendiri maupun bersama-sama oleh orang yang merasa dirinya lebih kuat,