.
Urban Magnet
O
rang mungkin sudah lupa, atau bagi yang masih ingat ba-rangkali telah meremehkan apa yang dulu pernah dikatakan sang filsuf revolusioner Karl Marx mengenai gejala melua-pnya industri dalam masyarakat modern: commodification of everything! Segalanya telah berubah menjadi komoditi. Dan karena itu segalanya telah membenda!Pembendaan seluruh bentuk kehidupan (forms of life kata Giorgio Agamben, filsuf Italia, masa kini) boleh dipandang menjadi dasar dan pijakan yang paling mula dari pemikiran modern mengenai masalah transformasi manusia. Apabila Marx menunjuk transformasi dalam arti manusia berformasi menjadi komoditi, Martin Heidegger menunjuk trans-formasi dalam arti dari ‘manusia otentik’ menjadi manusia dalam kejatuhan atau kerumunan, sementara Elias Canneti menunjuk transformasi sebagai animalisasi yakni manusia individual yang kehilangan jati diri dan menjadi binatang ke-tika menyatu dalam kerumunan/massa/kota.
Bagi keempat pelukis, yang karyanya dipamerkan ini, ben-tuk-bentuk transformasi itu telah bergerak sedemikian rupa dan mengambil wadah sebagai yang urban! Yang urban adalah arena atau wujud dari suatu proses pembekuan ben-tuk-bentuk kehidupan ke arah benda-benda. Di dalam yang urban manusia otentik ditekuk dan dirontokkan.
Susilo Soedirman misalnya, melukiskan keadaan ini secara transparan dalam ‘tutol-tutol’ (tubuh-botol). Tubuh-tubuh yang telah dikosongkan, di mana gestur telah sama sekali kehilangan keterkaitan dengan pikiran, jiwa atau kehendak. Dengan begitu sang tutol bukan lain adalah obyek saja yang bisa diisi atau direguk oleh penikmat-penikmat dari luar. Obyektifikasi dan instrumentasi ini, olehnya bahkan kemudi-an diperluas hingga menjkemudi-angkau persoalkemudi-an ykemudi-ang lebih kom-pleks seperti sejarah dan harapan-harapan politis. Tutol men-jadi satu-satunya kategori atau hukum besi baik bagi periode yang telah lalu maupun bagi yang akan datang. Di dalam yang urban, yang kosong bukan lain adalah transformasi yang telah termanipulasi. Yang Urban adalah obyektifikasi ganda yang merelatifisasi sejarah. Oleh karenanya, tutol-tu-tol adalah lambang manusia yang kehilangan kemampuan reflektifnya atas waktu, sejarah dan makna.
Obyektifikasi ganda ini rupanya mau dilampaui juga oleh Tri Pandrong. Untuk itu ia memilih subyeknya sendiri: sang jagoan kota yang tampil, juga dengan fakultas ganda: skate-board dan kadang sayap sang malaikat. Yang mau dicapai adalah kecepatan dan pengatasan. Kecepatan yang
diharap-“Yang Urban sebagai
.
Urban Magnet
kannya bisa menundukkan musuh-musuh yang diam tapi besar dan menjulang: sang urban sendiri.Yang jadi soal adalah mana yang lebih cepat kebebasan yang didaur dari kombinasi skateboard dan sayap malaikat, ataukah menju-langnya dinding dan menara dingin kota-kota? Skateboard adalah siasat atas yang urban, sementara sayap adalah lambang imanensi dan pengatasan. Di sini, Pandrong nam-paknya telah memilih: berhadapan dengan ‘yang urban’ ia lebih memilih siasat, gerak dan meluncur dalam kecepatan serta menyusup dalam kepadatan ketimbang terbang men-gatasi tapi berdiam diri.
Problematisasi yang lebih rumit ditampilkan oleh Kohar Mu-zakir. Ia tidak memilih siasat, melainkan masuk dan melebur ke dalam fantasi. Oleh karenanya, gitar bisa tersambung-kan dengan semburat tak pasti dalam lukisan dari lukisan, dan tumbuhan menjalar dari satu lukisan ke puncak tebing-tebing dari lukisan dalam lukisan. Dari sini, ia mau mem-bawa kehidupan menerabas fantasi, tapi arah terabasannya justru bukan ke luar dari melainkan masuk ke lorong fantasi yang lebih dalam lagi. Dengan demikian, obat fantasi adalah fantasi dari fantasi. Di dalam Muzakir, ketertaklukan dalam yang urban masih menyisakan sesuatu yang bisa dinikmati yakni fantasi dalam ketertaklukan itu sendiri. Persis seb-agaimana biola masih tergantung di atas telepon berdamp-ingan dengan kota yang membusuk. Artinya, meski sudah tak ada ‘jalan tuk kembali’ toh masih ada telepon dan biola dalam fantasi di “sebelah sana”.
Residu fantasmatis dalam ‘yang urban’ ini juga hadir dalam karakteristik tubuh, senyum perempuan dan bayang-bayang dalam karya Farid Sycumbang. Tubuh itu masih bisa berge-liat sementara wajah masih bisa menampilkan senyum, na-mun keseluruhan formasi dari wajah dan senyum itu adalah keseluruhan yang makin redup, samar. Demikian juga sub-yek dihadapan senyum, rengkuh dan lenggok si perempuan juga adalah subyek berupa bayang-bayang: subyek yang menghilang. Sehingga dengan demikian segala ekspresi dari tubuh dan senyum itu bukan lain adalah permainan, hiburan menjelang kesendirian: nyaris katarsis!
Ringkasnya, inilah paradoks dalam ‘yang urban’ yakni bah-wa kegembiraan kita adalah kegembiraan yang hampa. Meskipun bagi sebagian orang: kegembiraan yang hampa toh masih kegembiraan juga! Enjoy!
Robertus Robet
.
Urban Magnet
.
Urban Magnet
.
Urban Magnet
.
Urban Magnet
10.
Urban Magnet
11.
Urban Magnet
1.
Urban Magnet
Saparman | 180 x 140 cm | Oil on Canvas | 2008