BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa perubahan sistem pengadaan barang/jasa dari konvensional ke
e-Procurement di Pemerintah Kota Yogyakarta telah dilakukan dengan melewati sejumlah proses dan tahapan. Ditinjau dari pengalaman praktis, Pemerintah Kota
Yogyakarta telah banyak menerapkan elemen-elemen yang terkandung dalam
teori manajemen perubahan.
Tahap pertama adalah persiapan melakukan perubahan yang diawali
dengan melakukan assessment untuk menilai pentingnya dilakukan perubahan
serta untuk mengetahui sejauhmana kesiapan dari Pemerintah Kota Yogyakarta
menghadapi perubahan. Secara teknokratis, Pemerintah Kota Yogyakarta telah
menyiapkan rencana perubahan tersebut, yaitu dengan memasukkan program
pemberantasan korupsi ke dalam dokumen RAD. Dokumen RAD tersebut
kemudian diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan.
Assessment tersebut menghasilkan rekomendasi bawa kesiapan
Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menerapkan e-Procurement adalah tahun
2010. Wali Kota Yogyakarta pada waktu itu Bapak Heri Zudianto mensikapi hasil
assessment lebih progresif, dimana menargetkan pada tahun 2008 Pemerintah Kota Yogyakarta harus sudah bisa menerapkan e-Procurement.
Kebijakan dari Wali Kota Yogyakarta tersebut didukung oleh jajaran di
bawahnya dan ditindaklanjuti dengan membentuk kelompok kerja yang
melibatkan sejumlah perwakilan SKPD di lingkungan Pemerintah Kota
Yogyakarta untuk difungsikan sebagai agen perubahan. Kegiatan berikutnya
adalah melakukan studi banding ke Kota Surabaya dan Kota Bogor yang sudah
lebih awal menerapkan e-Procurement. Hasil studi banding memutuskan bahwa,
Pemerintah Kota Yogyakarta memilih untuk menggunakan aplikasi
Procurement yang disusun oleh LKPP. Persyaratan untuk mengadopsi aplikasi e-Procurement LKPP pada saat itu cukup berat, namun karena komitmen yang kuat dari Pemerintah Kota Yogyakarta untuk menerapkan e-Procurement tahun 2008
maka semua persyaratan bisa dipenuhinya.
Salah satu faktor penting yang menjadi kunci keberhasilan dari penerapan
e-Procurement di Kota Yogyakarta adalah adanya komitmen yang kuat dari pucuk pimpinan dan jajaran di bawahnya. Pihak legislatif yang diwakili oleh komisi III
juga dilibatkan dalam proses perubahan. Dengan komitmen yang kuat, Pemerintah
Kota Yogyakarta berhasil memenuhi persyaratan yang ditentukan LKPP
antaralain: tersedianya alokasi anggaran, terbentuknya kelembagaan, adanya
payung hukum dan kesiapan SDM serta dukungan sarana prasarana. Persyaratan
tersebut disiapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam waktu sekitar satu
tahun, yaitu mulai pertengahan tahun 2007 sampai dengan pertengahan 2008.
Tahap berikutnya adalah implementasi e-Procurement yang ditandai
dengan peluncuran e-Procuremnet tgl 25 Juli 2008. Perubahan yang disebabkan
menunjukkan hasil dan manfaat yang positif. Melalui e-Procurement mendorong
terwujudnya sistem pengadaan barang/jasa yang transparan, akuntabel, adil serta
terhindar dari praktik KKN. Perubahan yang menarik juga terjadi pada ranah
mindset & cultureset dari para stakeholders.
Aspek keadilan diukur dari adanya peluang yang sama kepada publik
untuk ikut berpartisipasi sebagai peserta tender maupun sebagai pemantau
jalannya proses tender karena perkembangan tahapan lelang bisa diakses dari
mana saja, kapan saja tanpa terhalang oleh dimensi waktu dan jarak. Keadaan
tersebut berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penyedia jasa (provider)
yang ikut serta dalam proses tender di Pemerintah Kota Yogyakarta, dimana
setiap tahunnya selalu mengalami peningkatan. Pada awal implementasi
e-Procurement hanya diikuti sekitar 185 penyedia jasa. Jumlah penyedia jasa yang ikut lelang terus meningkat pada tahun 2013 terdapat 3000 calon penyedia jasa,
yang mana sekitar 2000 provider adalah merupakan penyedia jasa lokal.
Aspek transparansi dapat ditunjukkan dengan keterbukaan informasi data
lelang yang di-upload di website LPSE Kota Yogyakarta. Berapa jumlah kegiatan
yang dilelangkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, berapa nilai pagu kontrak
masing-masing kegiatan, siapa saja peserta yang mengikuti lelang, semua itu bisa
diakses melalui internet. Jadual pelaksanaan lelang dan progress-nya dalam setiap
tahapan bisa diketahui bersama karena diumumkan terbuka di website LPSE Kota
Yogyakarta. Hasil penilaian dari panitia pengadaan dan penentuan pemenang
Melalui e-Procurement dapat mengurangi potensi terjadinya praktik
KKN, karena pertemuan antara panitia lelang dan provider sangat dibatasi. Pada
saat lelang secara konvensional masih banyak dilakukan pertemuan langsung
antara peserta tender dan panitia sehingga membuka kesempatan terjadinya
“transaksi negatif”. Pemasukan dokumen penawaran pada lelang secara
konvensional ada kecenderungan saling menunggu, dan memasukkan dokumen
pada saat akhir menjelang penutupan. Kesempatan tersebut bisa digunakan untuk
“mengintip” mencari informasi berapa harga penawaran terendah, sehingga yang
bersangkutan atau calon yang sudah dikondisikan bisa mengajukan harga
penawaran yang lebih rendah. Dengan sistem e-Procurement tidak bisa lagi saling
“mengintip” karena dokumen penawaran disampaikan dalam bentuk soft file dan
sudah diprogram tidak bisa dibuka sebelum waktu yang dijadualkan.
Penerapan e-Procurement di Kota Yogyakarta diperoleh adanya efektifitas
waktu. Proses pengadaan dengan sistem e-Procurement terbukti lebih cepat
sehingga jumlah hari yang dibutuhkan lebih sedikit, karena hanya memerlukan
waktu 14-18 hari kerja. Sedangkan sistem konvensional prosesnya lebih lama
karena memerlukan waktu lebih dari 30 hari kerja. Pada saat tender masih secara
konvensional kepanitiaan tender tersebar di SKPD dan memerlukan ratusan orang
sebagai panitia. Setelah menerapkan e-Procurement, kepanitiaan terpusat di ULP
dan hanya membutuhkan puluhan orang. Hal itu dinilai mendatangkan efisiensi
SDM dan anggaran untuk honor panitia tender. Efisiensi anggaran juga diperoleh
dari belanja modal, antaralain dari pengadaan ATK, konsumsi, honor panitia
Yogyakarta sudah bisa meraih Break Event Point (BEP) atas biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk investasi penerapan e-Procurement.
Perubahan mindset & cultureset dari para stakeholders dirasakan mulai
kelihatan. Perubahan tersebut dikenali melalui beberapa indikasi antaralain, pada
saat ini hampir tidak ada resistensi dari para stakeholders. Pada saat awal
penerapan e-Procurement sebagian besar stakeholders masih gagap dalam
mengoperasikan komputer, internet dan menjalankan aplikasi website LPSE Kota
Yogyakarta. Keadaan sudah berubah dimana saat ini stakeholders sudah terbiasa
dan menguasai perkembangan teknologi yang ada di e-Procurement. Masyarakat
menilai positif dan baik terhadap sistem e-Procurement Kota Yogyakarta, yang
diukur melalui Survai Indek Kepuasan Masyarakat terhadap LPSE Kota
Yogyakarta tahun 2013 dimana memperoleh penilaian rata-rata baik. Seluruh
SKPD di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta sudah menyerahkan proses
lelang atas kegiatan yang diampunya kepada ULP dan LPSE. Perkembangan
jumlah paket kegiatan yang dilelangkan di LPSE Kota Yogyakarta dan jumlah
penyedia jasa menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada awal
diterapkannya e-Procurement, LPSE Kota Yogyakarta hanya melelangkan
sembilan paket kegiatan. Pada tahun 2013 mencapai 366 paket kegiatan dan pada
tahun 2014 melelangkan 217 paket. Pada tahun 2008 hanya diikuti 185 penyedia
jasa, jumlah peserta tender bertambah signifikan pada tahun 2013 yaitu 3000
Tahap penguatan dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dengan
melakukan survai kepuasan pelanggan pada setiap tahun untuk dipakai sebagai
bahan masukan perbaikan dan penguatan sistem e-Procurement. Sebagai upaya
untuk memperkuat sistem e-Procurement di Kota Yogyakarta dilakukan dengan
berbagai pengembangan dan perbaikan terhadap standard pelayanan, penyediaan
dukungan teknologi informasi yang memadai, serta peningkatan kapasitas SDM
pengelola LPSE serta para stakeholder.
Dalam rangka untuk menyiapkan LPSE menjadi sebuah lembaga layanan
pengadaan yang profesional, visioner, pada saat ini LPSE tengah berbenah dan
menata diri untuk mendapatkan sertifikasi ISO 9001. Meskipun persyaratan yang
harus dipenuhi oleh LPSE sangat banyak, sampai dengan penelitian ini disusun,
LPSE telah menyelesaikan sekitar 70% dari jumlah keseluruhan persyaratan yang
harus dipenuhi.
Bagian Organisasi juga telah melakukan kajian kelembagaan terhadap
organisasi LPSE sekarang. Salah satu hasil kajiannya adalah merekomendasikan
untuk penguatan organisasi LPSE yang sekarang berbentuk sekretariat,
ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Layanan Pengadaan Barang/Jasa untuk
digabung dengan ULP. Payung hukum berupa draft perda tentang perubahan
Sekretariat LPSE menjadi Kantor Layanan Pengadaan Barang/Jasa telah
disampaikan kepada DPRD Kota Yogyakarta pada tahun 2013. Pada saat ini pihak
Kerjakeras dan komitmen yang kuat dari Pemerintah Kota Yogyakarta
untuk menjadikan LPSE sebagai salah satu terobosan dalam memberantas
paraktik-praktik KKN menunjukkan adanya keberhasilan. Atas prestasinya itu,
LPSE Kota Yogyakarta pernah memperoleh sejumlah penghargaan diantaranya
adalah Penilaian Indek Anti Korupsi (PIAK) diberikan oleh KPK, sebagai LPSE
Pelopor dalam pembentukan LPSE dan implementasi e–Procurement yang
diberikan oleh LKPP.
Pemerintah Kota Yogyakarta menyadari bahwa beban kerja LPSE
termasuk berat, oleh karena itu kepada pengelola LPSE diberikan reward berupa
tambahan pendapatan di luar gaji pokok. Namun demikian, pihak pengelola LPSE
merasa bahwa besaran tambahan pendapatan tersebut masih belum sebanding
dengan beban kerja yang diampunya. Tambahan pendapatan yang resmi diterima
oleh pegawai LPSE dinilai masih cukup jauh jika dibanding dengan pegawai yang
berada di unit lain, yang sama-sama bertugas mengawal proses pengadaan
barang/jasa.
Sejalan dengan waktu dan proses yang terus bergulir, Pemerintah Kota
Yogyakarta memandang bahwa organisasi LPSE pada saat ini sudah semakin
mapan. Penting untuk dikemukaan sebagai hasil temuan dalam penelitian, pada
saat ini perhatian serta dukungan dari pimpinan terhadap LPSE sudah mulai
berkurang tidak seperti pada saat awal berdiri. Bila hal ini benar adanya maka
menjadi kontradiktif dengan tahapan perubahan yang sekarang sedang berada
6.2 Hambatan-hambatan yang dihadapi pada saat melakukan perubahan Proses perubahan sistem pengadaan barang/jasa dari konvensional ke
sistem e-Procurement yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta, tidaklah
semudah dengan apa yang direncanakan. Di dalamnya penuh dengan tantangan,
hambatan serta masalah yang juga turut menyertainya. Secara umum dapat
diinformasikan bahwa hambatan serta masalah yang paling banyak adalah muncul
pada tahap persiapan dan tahap awal implementasi e-Procurement. Pada tahap
tersebut LPSE menghadapi masalah keterbatasan alokasi anggaran karena pada
tahun 2007 belum tersedia anggaran khusus untuk pelaksanaan e-Procurement.
Penetapan Perda APBD baru dilakukan pada bulan Februari 2008. Akibat adanya
hambatan terkait penyediaan anggaran maka berpengaruh kepada terbatasnya
dukungan sarana prasarana untuk Sekretariat LPSE. Dengan terbatasnya sarana
prasarana khusunya penyediaan server, kurangnya jumlah komputer laboratorium,
terbatasnya alokasi bandwidth serta jaringan internet yang belum lancar maka
berdampak pada kecepatan dalam melaksanakan tugas rutin LPSE.
Kendala lain yang juga ditemuinya adalah dalam menentukan pilihan
bentuk kelembagaan yang tepat untuk organisasi yang nanti bertugas mengawal
pelaksanaan e-Procurement. Dalam hal penyiapan SDM juga menghadapi
hambatan, dimana Sekretariat LPSE adalah berada di Bagian Pengendalian
Pembangunan, sementara jumlah pegawai di Bagian Pengendalian Pembangunan
juga terbatas. Untuk mengisi kebutuhan SDM tidak cukup hanya mengambil
mengambil pegawai dari instansi di luar Bagian Pengendalia Pembangunan
diperlukan proses dan ditempuh sesuai prosedur yang berlaku.
Hambatan yang juga dirasakan adalah terkait dengan adaptasi terhadap
e-Procurement. Mengingat bahwa sistem ini adalah baru maka tidak mudah untuk merubah mindset & cultureset dari para stakeholder terkait, yang notabene selama
ini sudah nyaman dengan sistem konvensional. Melatih ketrampilan mereka untuk
bisa mengoperasionalkan sistem ini saja mengalami kesulitan apalagi merubah
pola pikir serta budaya yang selama ini telah mengakar pada sistem konvensional.
Seiring dengan berjalannya waktu, masalah-masalah yang berkaitan
dengan penyediaan anggaran, dukungan sarana-prasarana, serta mindset &
cultureset secara berangsur sudah teratasi. Pada saat ini diakui bahwa LPSE Kota Yogyakarta lebih mapan dibandingkan empat tahun yang lalu. Meskipun
demikian, bukan berarti LPSE Kota Yogyakarta tidak memiliki masalah.
Berdasarkan hasil penelitain, LPSE Kota Yogyakarta menghadapi permasalahan
internal.
Masalah yang pertama adalah terkait dengan kapasitas kelembagaan yang
sampai dengan saat ini masih berbentuk sekretariat. Sebagai unit kerja yang tidak
independent menjadikan LPSE tidak bisa bergerak cepat karena segala sesuatunya harus dikomunikasikan lebih dahulu dengan koordinator LPSE. Dalam hal
penyusunan rencana kegiatan dan rencana anggaran LPSE juga hanya menerima
hasil jadinya. Semua tergantung dengan koordinator LPSE. Keadaan ini dirasakan
menjadi hambatan bagi LPSE untuk berkembang lebih cepat mengikuti tuntutan
Masalah yang kedua adalah berpindahnya sebagian besar dari pegawai
LPSE ke unit lain yang juga bertugas mengawal pelaksanaan pengadaan
barang/jasa di Kota Yogyakarta. Diperkirakan perpindahannya disebabkan
ketertarikan mereka dengan tambahan pendapatan yang lebih menjanjikan
dibandingkan dengan di LPSE. Akibatnya, pada saat ini jumlah pegawai yang
berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang standby di LPSE hanya dua orang,
padahal sebelumnya berjumlah tujuh orang.
Masalah yang ketiga adalah munculnya rasa ketidakpuasan dari pegawai
LPSE dikarenakan tidak sebandingnya beban kerja yang diemban oleh mereka
dengan jumlah tambahan pendapatan yang diperolehnya. Terlebih bila
dibandingkan dengan pegawai di unit lain yang sama-sama bertugas mengawal
proses pengadaan barang/jasa di Kota Yogyakarta.
Seperti yang disampaikan oleh narasumber, masalah seperti ini tidak hanya
terjadi di LPSE Kota Yogyakarta, namun hampir dirasakan oleh kebanyakan
pegelola LPSE di daerah yang lain. Menurut pengamatan peneliti, masalah seperti
ini adalah merupakan bom waktu yang bisa meledak suatu saat dan berpotensi
menjadi masalah serius yang berdampak negatif terhadap kemajuan LPSE Kota
Yogyakarta khususnya dan LPSE di daerah lain pada umumnya.
Ketidakpuasan yang disebabkan karena reward yang diterima pegawai
LPSE dinilai belum sebanding dengan beban kerja yang diemban. Keadaan ini
dapat berpotensi menyurutkan komitmen mereka sehingga bisa memancing
terbukanya celah-celah yang tidak tidak sehat dalam mengawal proses pengadaan
Masalah keempat adalah terkait dengan adanya penyedia jasa yang
melakukan upload penawaran di atas jam kerja Pemkot Yogyakarta yakni pukul
15.00 – 21.00 WIB. Dalam hal ini LPSE tetap harus menyiapkan pegawai untuk
bisa melayani penyedia jasa yang sedang upload penawaran.
Persoalan yang juga perlu diperhatikan adalah adanya pergantian atau
mutasi pegawai yang memang tidak bisa dihindarkan dalam birokrasi publik.
Mutasi atau pergantian pegawai sering menjadi masalah di instansi terkait karena
pimpinan tidak menempatkan orang yang ahli dibidangnya (right man on the right
job) untuk mengisi posisi yang kosong menggantikan pegawai yang dimutasi. Ketidaktepatan dalam melakukan mutasi pegawai bisa berdampak pada tidak
connect keberlanjutan program/kegiatan yang menjadi tujuan sebuah organisasi.
6.3 Solusi yang dilakukan
Hambatan yang berupa keterbatasan anggaran pada tahap awal
implementasi bisa dipecahkan dengan melakukan sharing anggaran oleh sejumlah
instansi yang memiliki anggaran rutin sesuai kebutuhan LPSE. Untuk kebutuhan
sarana teknolgi informasi seperti adanya kekurangan server disiasati dengan
menggunakan server yang dimiliki oleh Bagian Teknologi Informasi. Demikian
juga dengan kebutuhan pemasangan instalasi jaringan LAN dibebankan kepada
Bagian Teknologi Informasi. Kebutuhan yang menyangkut pelatihan
menggunakan anggaran rutin dari Badan Diklat Daerah. Sedangkan untuk
operasional kegiatan LPSE menggunakan anggaran dari Bagian Pengendalaian
Dalam kaitannya dengan terbatasnya jumlah pegawai di LPSE,
Pemerintah Kota Yogyakarta telah merekrut sejumlah orang sebagai tenaga
kontrak untuk ditempatkan di LPSE. Dalam rangka untuk melayani penyedia jasa
yang mengupload penawaran setelah di atas jam 15.00 WIB, maka ditugaskan
tenaga untuk piket bergantian sampai dengan pukul 21.00 WIB.
6.4 Saran/Rekomendasi
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah disusun oleh
peneliti, rekomendasi dalam peneltian ini dibagi menjadi dua:
a. Rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah Kota Yogyakarta:
§ Birokrasi pemerintah selalu berubah menyesuaikan dengan tuntutan
kebutuhan publik dan kemajuan zaman. Salah satu prasyarat untuk
melakukan perubahan yang baik perlu adanya desain dan strategi
manajemen perubahan. Prasayarat lainnya untuk melakukan perubahan
adalah adanya agen perubahan. Dalam kaitannya dengan penerapan
e-Procurement di Pemerintah Kota Yogyakarta, agen perubahan yang dibentuk bekerja efektif hanya sampai pada tahap persiapan. Adapun
pada tahap pelaksanaan dan penguatan sudah tidak ada lagi agen
perubahan. Perubahan dapat berjalan dengan baik apabila seluruh
tahapan perubahan dikawal oleh agen perubahan. Sebagai perbaikan
dimasa mendatang, sebelum melakukan perubahan ditubuh birokrasi
perubahan yang baku berdasarkan sejumlah teori yang telah dibangun
oleh para pakar.
§ Pemerintah Kota Yogyakarta perlu melakukan kajian mendalam
terhadap hal-hal yang menjadi masalah dalam tubuh Sekretariat LPSE.
Penting kiranya menentukan skala prioritas terhadap masalah mana
yang penting diselesikan lebih dahulu. Menurut hemat peneliti,
Pemerintah Kota Yogyakarta perlu memfokuskan kepada dua masalah,
yang pertama adalah bagaimana memperkuat kapasitas kelembagaan
LPSE, dan yang kedua adalah memberikan perhatian kepada pegawai
pengelola LPSE atas ketidakpuasan mereka dengan reward yang
selama ini mereka terima. Ketidakpuasan dari para pengelola LPSE
dikhawatirkan dapat melemahkan komitmen mereka sehingga
berdampak negatif terhadap sistem e-Procurement yang selama ini telah
dibangun dengan baik oleh Pemerintah Kota Yogyakarta.
b. Rekomendasi yang ditujukan kepada publik apabila hendak melakukan
penelitian dengan tema e-Procurement di Kota Yogyakarta, sebaiknya
obyek utama penelitiannya tidak hanya di Sekretariat LPSE saja, namun
melakukan penelitian juga di Unit Layanan Pengadaan (ULP). Sebab
antara LPSE dan ULP adalah bagaikan dua sisi mata uang yang saling
melengkapi dan masing-masing memiliki peran strategis dalam mengawal
6.5 Kontribusi Teoritik
Berdasarkan uraian hasil penelitian sebagaimana yang telah dipaparkan
pada bagian sebelumnya, secara umum dapat dikemukakan bahwa indikator
manajemen perubahan yang dipakai sebagai teori dalam penelitian ini sudah
diterapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mengelola perubahan sistem
pengadaan barang/jasa dari konvensional ke sistem e-Procurement.
Kontribusi dari penelitian ini adalah memperoleh masukan adanya
indikator lainnya yang tidak kalah penting untuk mengelola perubahan penerapan
e-Procurement di Kota Yogyakarta. Indikator tersebut adalah komitmen yang kuat dari pimpinan dan jajaran di bawahnya untuk senantiasa konsisten terhadap tujuan
dilakukannya perubahan. Indikator berupa komitmen yang kuat ini tidak
tercantum dalam indikator teori manajemen perubahan yang diajukan peneliti.
Pemerintah Kota Yogyakarta telah membuktikan bahwa dengan komitmen
yang kuat dari pucuk pimpinan sebagai pengambil kebijakan serta staff yang
menjalankan langsung proses perubahan, dalam waktu yang relatif singkat yaitu
hanya satu tahun dapat mengantarkan berdirinya LPSE, dan sampai dengan saat
ini sudah berjalan sekitar enam tahun.
Komitmen yang kuat tersebut harus dimiliki oleh setiap individu pelaku
perubahan dan harus tetap terjaga disepanjang proses perubahan. Bila komitmen
tersebut pudar maka hakikat dan tujuan perubahan tidak akan tercapai. Dalam
konteks ini, tujuan utama menerapkan e-Procurement adalah untuk mewujudkan
pengadaan barang/jasa yang transparan, akuntabel, adil dan menghindari praktik
menerapkan nilai-nilai transparansi, akuntabel, keadilan, serta menutup
rapat-rapat celah terjadinya praktik KKN dalam proses pengadaan barang/jasa.
Komitmen yang kuat adalah merupakan energi yang luar biasa untuk
menggerakkan individu bekerja tanpa mengenal lelah dan pamrih. Keberlanjutan
dan eksistensi LPSE Kota Yogyakarta masa kini dan masa depan sangat
tergantung dengan komitmen kuat dari setiap individu yang terlibat. Bila
komitmen tersebut lemah atau hilang maka bukan tidak mustahil bila arah tujuan
penerapan e-Procurement berbelok, dan akhirnya sulit untuk mewujudkan hakikat