• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Lahey (2007) mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Lahey (2007) mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku yang"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Self-Directed Learning 1. Pengertian belajar

Lahey (2007) mendefinisikan belajar sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dan terjadi sebagai hasil dari latihan dan pengalaman. Belajar tidak semestinya melibatkan penguasaan fakta atau konsep sesuatu bidang ilmu tetapi juga melibatkan perasaan-perasaan yang berkaitan dengan emosi, kasih sayang, benci, hasrat, dengki dan kerohanian.

Spears (dalam Suryabrata, 2002) yang menyatakan belajar sebagai suatu proses atau kegiatan yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada seseorang dalam melakukan kegiatan belajar. Perubahan yang terjadi ketika belajar juga dapat berbentuk perubahan cara berpikir yang mungkin dapat menyebabkan perubahan tujuan dan arah kehidupan, sehingga apa yang dilakukan sebelumnya ditinggalkan sama sekali.

Pada belajar ada suatu proses yang disebut dengan proses pembelajaran. Pembelajaran merupakan upaya sengaja dan bertujuan yang berfokus kepada kepentingan, karakteristik, dan kondisi orang lain agar orang tersebut dapat belajar dengan efektif dan efisien (Miarso, 2004). Di dalam proses pembelajaran setiap mahasiswa selalu diarahkan untuk menjadi mahasiswa yang mandiri, dan

(2)

2. Pengertian self-directed learning

Self-directed learning atau kemandirian belajar merupakan salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa pendidikan jarak jauh atau pengguna e-learning. Definisi self-directed learning atau belajar mandiri bukan berarti belajar sendiri dan diselesaikan sendiri, tetapi lebih kepada bagaimana dapat memperoleh pengetahuan atas inisiatif sendiri. Self-directed learning memberikan kesempatan kepada mahasiwa untuk menentukan tujuan belajar, merencanakan proses belajar, menggunakan sumber-sumber belajar yang dipilih, membuat keputusan-keputusan akademis, dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan belajar (Seamolec, 2008).

Bandura (dalam Tennant, 2006) mendefinisikan self-directed learning (SDL) yaitu berkaitan dengan kontrol diri dalam belajar. Merriam & Caffarella (dalam Gibbons, 2002) menyatakan self-directed learning juga didefinisikan sebagai sebuah proses di mana orang-orang mengambil inisiatif utama untuk perencanaan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran mereka sendiri. Perspektif tujuan dari self-directed learning juga beragam, dan meliputi individu untuk mencapai potensial penuhnya, mendorong perspektif perubahan, atau belajar mempromosikan emansipatoris dan perubahan sosial (Baumgartner, 2003). Hiemstra (dalam Tennant, 2006) mengungkapkan self-directed learning merupakan kemampuan yang tidak banyak berkaitan dengan cara belajar yang digunakan, tetapi lebih berkaitan dengan bagaimana pembelajaran tersebut

(3)

dilakukan. Pendidikan jarak jauh atau e-learning merupakan suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan untuk mengatasi keterpisahan yang hampir permanen dalam jarak ruang dan waktu antara mahasiswa dan dosen. Penyelenggaraan pendidikan tersebut menitikberatkan pada penggunaan media dan sistem belajar yang lebih banyak menyerahkan kendali pembelajaran kepada mahasiswa.

Menurut Knowles (dalam, Tennant, 2006), self-directed learning adalah dimana individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, dalam mendiagnosa kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, mengidentifikasi sumber daya manusia dan material untuk belajar, memilih dan menerapkan strategi pembelajaran yang tepat dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Sedangkan Wedemeyer (dalam Rusman, 2011) menyatakan bahwa self-directed learning adalah seseorang belajar secara mandiri mempunyai kebebasan untuk belajar tanpa harus menghadiri pembelajaran yang diberikan dosen dikelas.

Candy (dalam Tennant, 2006) menyatakan bahwa self-directed learning dapat dianggap suatu proses dimana mahasiswa secara bertahap mengendalikan pembelajaran mereka atau sebagai titik akhir yang ideal di mana self-directed learning dapat dikembangkan. Sedangkan Gibbons (2002) menyatakan self-directed learning merupakan peningkatan pengetahuan, kemampuan, pencapaian, atau pengembangan diri yang dipilih dan dilakukan oleh seorang individu dengan cara apapun dan kapanpun dia inginkan.

(4)

Jadi, self-directed learning merupakan suatu kemampuan dari individu untuk dapat berpikir, merencanakan, memilih strategi belajar, dan mengevaluasi performanya sehingga individu dapat menyelesaikan masalahnya secara efektif. Self-directed learning bisa dikatakan kemandirian seseorang dalam kegiatan belajarnya.

3. Dimensi self-directed learning

Menurut Gibbons (2002) ada beberapa dimensi dari self-directed learning yaitu:

a. Mahasiswa mengontrol pengalaman belajarnya.

Bagi mahasiswa, diarahkan untuk bisa mengontrol diri dari luar untuk dapat mengendalikan dirinya. Seperti pada perubahan besar yang berlangsung dalam kehidupan mahasiswa karena mereka mulai membangun diri sebagai individu yang terpisah dari ketergantungan yang ada di masa kecil mereka. Mahasiswa mulai membentuk pendapat mereka sendiri dan ide, membuat keputusan sendiri, memilih kegiatan mereka sendiri, mengambil tanggung jawab lebih untuk diri mereka sendiri, dan memasuki mulai dunia kerja. Mahasiswa mengembangkan metode pembelajaran mereka sendiri untuk memperdayakan diri mereka sendiri, disini akan berkembang individualitas mereka yang akan membantu mereka untuk berlatih menjadi orang dewasa. Saat mereka mengarahkan diri (self-directing)

(5)

mereka sendiri, mereka tidak hanya belajar secara efektif tetapi mereka juga menjadi sendiri mereka sendiri.

b. Perkembangan ketrampilan

Dimana mahasiswa belajar untuk fokus dan mengeluarkan bakat dan energi. Untuk alasan ini, penekanan dalam self directing learning ada pada perkembangan ketrampilan dan proses yang mengarah pada kegiatan yang produktif. Mahasiswa belajar untuk mencapai hasil yang baik, berpikir secara independen, dan merencanakan dan melaksanakan kegiatan mereka sendiri. Proses-proses, dan keterampilan yang terlibat di dalamnya, datang secara bersama-sama untuk melakukan suatu tindakan. Mahasiswa mempersiapkan dan kemudian bernegosiasi dengan diri mereka sendiri dengan dosennya, sering dalam bentuk perjanjian tertulis yang menjadi catatan dari kontrak. Tujuannya adalah untuk menyediakan sebuah kerangka kerja yang memungkinkan mahasiswa untuk mengidentifikasi kepentingan mereka dan melengkapi mereka untuk mewujudkannya dengan sukses.

c. Mengubah diri pada kinerja yang paling baik

Self-direction disini akan terbengkalai jika tidak diberikan tantangan. Pertama, dosen akan menantang mahasiswa, dan kemudian para mahasiswa akan menantang diri mereka sendiri. Tantangan dibutuhkan untuk meraih kinerja baru dalam bidang atau hal baru agar lebih menarik. Ini berarti standar prestasi yang lebih tinggi bisa dengan mudah dicapai. Menantang diri sendiri berarti mengambil

(6)

risiko untuk melampaui yang mudah dan susah. Bagi mahasiswa itu berarti mahasiswa mau untuk menunjukan kemampuan mereka yang terbaik.

d. Manajemen diri

Manajemen diri yaitu, pengelolaan diri dan usaha mereka dalam belajar. Dalam self-directed learning, pilihan dan kebebasan akan dicocokkan dengan kontrol diri dan tanggung jawab. Mahasiswa belajar untuk mengekspresikan kontrol diri dengan mencari, dan membuat komitmen untuk, kepentingan pribadi inti. Dalam proses ini, mereka tidak hanya menentukan apa yang akan mereka lakukan tetapi jenis penampilan yang akan mereka lakukan. Self-directed learning membutuhkan keyakinan, keberanian, dan tekad untuk memberi energi pada usaha yang akan dilakukan. Mahasiswa mengembangkan sifat ini agar mereka terampil dalam mengelola waktu mereka sendiri dan usaha serta sumber daya yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan mereka. Bahkan dalam hal organisir dengan baik. Dalam menghadapi hambatan, mahasiswa belajar untuk memecahkan kesulitan mereka, mencari alternatif, dan memecahkan masalah mereka dalam rangka mempertahankan produktivitas yang efektif.

e. Motivasi diri dan penilaian diri.

Banyak prinsip-prinsip motivasi yang dibangun pada self-directed learning, seperti mengejar tujuan sendiri. Ketika mahasiswa mengadopsi prinsip-prinsip ini, mereka menjadi unsur utama untuk memotivasi diri. Dengan menetapkan tujuan yang penting bagi diri mereka sendiri, mengatur untuk umpan balik pada

(7)

pekerjaan mereka, dan mencapai sukses, mereka belajar untuk menginspirasi usaha mereka sendiri. Demikian pula, mahasiswa belajar untuk mengevaluasi kemajuan mereka sendiri mereka menilai kedua kualitas pekerjaan mereka dan proses yang mereka dirancang untuk melakukan itu. Dalam self-directed learning, penilaian diri adalah cara penilaian yang penting dalam belajar dan belajar bagaimana belajar menjadi mahasiswa kritis dan penilaian akan kegiatan mereka sendiri. Sama seperti motivasi diri memberikan energi mahasiswa untuk menghasilkan prestasi yang dievaluasi, penilaian diri, dan memotivasi mahasiswa untuk mencari prestasi terbaik.

4. Proses self-directed learning dalam konteks online

Beberapa peneliti juga telah memeriksa dampak pembelajaran online pada proses self-directed learning (dalam Gibbons, 2002). Tiga bidang utama telah dieksplorasi, yaitu:

a. Perencanaan

Belajar online menyediakan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk kecepatan belajar mereka sendiri. Dalam pembelajaran e-learning (misalnya, chatting atau classroom-virtual), mahasiswa masih memiliki fleksibilitas untuk memilih tempat yang paling nyaman dari yang untuk berpartisipasi. Tidak seperti di kelas tradisional dimana waktu tempat, spesifik, dan jadwal kegiatan disusun untuk kelas yang memerlukan mahasiswa, sehingga belajar secara online banyak kontrol

(8)

bagi mahasiswa untuk menciptakan ruang belajar mereka sendiri dan menentukan kecepatan belajar mereka sendiri dan urutan.

b. Monitoring

Fleksibilitas yang diberikan dalam pembelajaran online menawarkan kebebasan lebih untuk mahasiswa, namun juga menyajikan tantangan (dalam Gibbons, 2002). Beberapa tantangan dapat diamati oleh mahasiswa untuk memonitoring pembelajaran mereka. Tidak seperti di ruang kelas tradisional dimana instruktur dapat dengan mudah melihat apakah mahasiswa memperhatikan atau aktif berpartisipasi dalam kegiatan kelas dengan mengamati isyarat fisik mereka (seperti ekspresi wajah), dalam sebuah lingkungan belajar online, tanggung jawab memotitoring diri sangat besar.

c. Mengevaluasi

Palloff dan Pratt (dalam Gibbons, 2002), telah menyimpulkan bahwa instruktur menghabiskan waktu lebih banyak memberikan kursus online dibandingkan mereka melakukan tatap muka kelas. Tantangan beban kerja yang berat membuat hampir tidak mungkin bagi instruktur untuk menanggapi setiap pesan diposting dipapan buletin. Hal ini agak tak terelakkan bahwa peserta didik akan memberikan komentar, saran, dan jawaban untuk satu sama lain dalam lingkungan semacam ini.

(9)

5. Pengukuran Self-Directed Learning

Salah satu cara untuk mengetahui self-directed learning subjek adalah dengan menggunakan pengukuran self-directed learning. Metode self-report yang akan digunakan untuk mengungkapkan self-directed learning yang mengacu dari teori Gibbon (2002). Metode ini dianggap sebagai salah satu metode yang paling bisa diandalkan dengan menggunakan beberapa daftar pernyataan-pernyataan yang harus dijawab oleh individu. Metode ini sering disebut dengan skala self-directed learning. Dari respon subjek pada setiap pernyataan akan disimpulkan guna mengetahui arah dan intensitas self-directed learning pada setiap subjek. Salah satu sifat skala self-directed learning adalah isi pernyataannya dapat berupa pernyataan langsung yang jelas tujuan ukurnya, akan tetapi dapat pula berupa pernyataan langsung yang kurang jelas bagi para subjek. Para subjek akan mendapatkan stimulus tentang self-directed learning yang jawabannya berupa setuju sampai tidak setuju (Azwar, 2000).

B. E-learning

Munir (2008) menyatakan bahwa e-learning merupakan pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika. E-learning adalah proses belajar secara efektif yang dihasilkan dengan cara menggabungkan penyampaian materi secara digital yang terdiri dari dukungan dan layanan dalam belajar.

(10)

E-learning bisa juga diartikan sebagai pembelajaran jarak jauh (distance learning) yang memanfaatkan teknologi komputer, jaringan komputer dan/atau internet. E-learning memungkinkan pembelajar untuk belajar melalui komputer di tempat mereka masing-masing tanpa harus secara fisik pergi mengikuti pelajaran/perkuliahan di kelas. E-learning sering pula dipahami sebagai suatu bentuk pembelajaran berbasis web yang bisa diakses dari intranet di jaringan lokal atau internet. Sebenarnya materi e-learning tidak harus didistribusikan secara online baik melalui jaringan lokal maupun internet, distribusi secara offline menggunakan media CD/DVD pun termasuk pola e-learning (E-learning system, 2008).

E-learning sering disebut penggunaan jaringan pada teknologi informasi dan komunikasi dalam mengajar dan belajar. Sejumlah istilah lain juga digunakan untuk menggambarkan cara mengajar dan belajar. E-learning termasuk online learning (pembelajaran online), virtual learning (pembelajaran virtual), distributed learning, network and web-based learning. Pada dasarnya, mereka semua merujuk kepada proses pendidikan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk menengahi kegiatan pembelajaran asynchronous maupun synchronous dan aktifitas pembelajarannya (Naidu, 2006).

(11)

1. Pola-pola e-learning

Menurut Romiszowski (dalam Naidu, 2006), ada 4 (empat) pola dalam penggunaan e-learning yaitu,

a. Individualized self-paced e-learning online

Individualized self-paced e-learning online mengacu pada situasi dimana seorang individu belajar melalui mengakses sumber belajar seperti database atau course content online via intranet atau internet, contohnya tipikal dari ini adalah seorang mahasiswa belajar sendiri atau melakukan beberapa penelitian di internet atau local network.

b. Individualized self-paced e-learning offline

Individualized self-paced e-learning offline mengacu pada situasi di mana seorang pembelajar menggunakan sumber belajar seperti database atau secara offline belajar dengan bantuan komputer (misalnya, meskipun tidak tersambung ke intranet atau internet), contoh dari hal ini adalah mahasiswa bekerja sendirian dari hard drive, CD atau DVD.

c. Group-based e-learning synchronously

Group-based e-learning synchronously mengacu pada situasi dimana kelompok mahasiswa belajar bersama melalui intranet atau internet. Ini mungkin termasuk konferensi berbasis chat, dan satu atau dua arah audio atau video-conference, contoh ini termasuk mahasiswa yang terlibat dalam chatting atau audio-videoconference.

(12)

d. Group-based e-learning asynchronously

Group-based e-learning asynchronously mengacu pada situasi di mana sekelompok mahasiswa belajar bersama melalui intranet atau internet dan dalam pertukaran atau proses pembelajaran antara peserta terjadi dengan jeda waktu (yakni, tidak secara real time), contoh umum semacam ini aktivitas termasuk diskusi online melalui mailing list dan text-based conferencing dalam sistem pembelajaran manajemen.

2. Komponen e-learning

Secara garis besar, menurut Romiszowski (dalam Naidu, 2006) ada 3 (tiga) komponen utama yang menyusun e-learning, yaitu:

a. Sistem e-learning

Sistem perangkat lunak yang memvirtualisasi proses belajar mengajar konvensional. Bagaimana manajemen kelas, pembuatan materi atau konten, forum diskusi, sistem penilaian (rapor), sistem ujian online dan segala fitur yang berhubungan dengan manajemen proses belajar mengajar. Sistem perangkat lunak tersebut sering disebut dengan learning managements system (LMS).

b. Konten e-learning

Konten dan bahan ajar yang ada pada e-learning system (learning management system). Konten dan bahan ajar ini bisa dalam bentuk

(13)

multimedia-based content (konten berbentuk multimedia interaktif) atau text-multimedia-based content (konten berbentuk teks seperti pada buku pelajaran biasa)

c. Peralatan e-learning

Infrastruktur e-learning dapat berupa personal computer (PC), jaringan komputer dan perlengkapan multimedia. Termasuk di dalamnya peralatan teleconference apabila kita memberikan layanan synchronous learning melalui teleconference.

3. Kelebihan dan kekurangan pada e-learning

Rusman (2011) ada beberapa kelebihan dari e-learning yaitu :

a. Tersedianya fasilitas e-moderating dimana dosen dan mahasiswa dapat berkomunikasi secara mudah melalui fasilitas internet secara regular atau kapan saja tanpa dibatasi jarak, tempat, dan waktu.

b. Dosen dan mahasiswa dapat menggunakan bahan ajar atau petunjuk belajar yang terstruktur dan terjadwal melalui internet, sehingga keduanya saling menilai sampai berapa jauh bahan ajar dipelajari.

c. Mahasiswa dapat belajar atau me-review bahan pelajaran setiap saat dan dimana saja kalau diperlukan, mengingat bahan ajar tersimpan di komputer.

d. Bila mahasiswa memerlukan tambahan informasi yang berkaitan dengan bahan yang dipelajarinya, ia dapat mengakses di internet secara lebih mudah.

(14)

e. Baik dosen maupun mahasiswa dapat melakukan diskusi melalui internet yang dapat diikuti dengan jumlah mahasiswa yang banyak, sehingga menambah ilmu pengetahuan dan wawasan yang lebih luas.

f. Perubahan dari mahasiswa yang pasif ke aktif dan lebih mandiri.

g. Relatif lebih efisien, misalnya bagi mereka yang tinggal jauh dari perguruan tinggi.

Selain itu, ada terdapat beberapa kritik mengenai e-learning menurut Bullen (dalam Rusman, 2011), yaitu :

a. Kurangnya interaksi antara dosen dan mahasiswa atau bahkan antar sesama mahasiswa itu sendiri.

b. Kecenderungan mengabaikan aspek akademis atau aspek sosial dan sebaliknya mendorong tumbuhnya aspek bisnis/komersial.

c. Proses pembelajaran cenderung ke arah pelatihan daripada pendidikan.

d. Perubahan peran dosen dari yang semula menguasai teknik pembelajaran konvensional, kini juga dituntut mengetahui teknik pembelajaran yang menggunakan ICT/medium komputer.

e. Mahasiswa yang tidak mempunyai motivasi belajar yang tinggi cenderung gagal. f. Tidak semua tempat tersedia difasilitasi internet.

g. Kurangnya tenaga yang mengetahui dan memiliki ketrampilan mengoperasikan internet.

(15)

C. Mahasiswa

Mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Menurut Susantoro (dalam Puspita 2009) mahasiswa merupakan kalangan muda yang berumur antara 19 sampai 28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap kenyataan objektif, sistematik dan rasional.

Menurut Papalia (2003), mahasiswa termasuk dalam tahap pencapaian (achieving stage), yaitu tahap dimana indivdu menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk mencapai kemandirian dan kompetensi, misalnya dalam hal karir dan keluarga. Masa di kampus merupakan tempat dimana mahasiswa dapat mengembangkan rasa ingin tahu mereka secara intelektual, dan meningkatkan kemampuan dalam hal bekerja serta meningkatkan kesempatan untuk memperoleh pekerjaan. Memilih untuk kuliah merupakan suatu gambaran untuk memperoleh karir di masa depan dan hal ini akan cenderung mempengarhui pola berpikir individu.

Perry (dalam Papalia, 2003) menyatakan bahwa terjadi perubahan pola berpikir pada masa transisi dari sekolah menengah menuju universitas, dimana pola berpikir yang awalnya kaku berubah menjadi lebih fleksibel dan dapat memilih sesuatu dengan bebas. Namun, penuh dengan komintmen. Mahasiswa juga telah dapat mengenali individu yang berbeda dan memiliki nilai-nilai

(16)

tersendiri, sehingga mahasiswa mencapai komitmen yang relatif dimana dia membuat pertimbangan sendiri dan memilih nilai serta kepercaan yang benar menurutnya.

Menurut Piaget (dalam Papalia, 2003) mahasiswa termaksud dalam tahap berpikir post-formal, yaitu pola berpikir yang matang didasari pada pengalaman dan intuisi subjektif, tapi tetap berlandaskan pada logika untuk mengatasi keraguan, ketidakpastian dan lainnya. Secara umum, mahasiswa adalah seseorang yang terdaftar dan aktif dalam perkuliahan di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta.

Mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) adalah para peserta didik yang terdaftar, aktif dan belajar di perguruan tinggi USU. Mahasiswa USU Stara-1 (S-Stara-1) tersebar di Stara-13 fakultas, dimana sudah mulai menggunakan sistem e-learning. Salah satu bentuk dari e-learning adalah dari pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) yang sekarang dilakukan secara online dengan mengakses portal akademik. Selain itu para mahasiswa USU sering menggunakan media elektronik sebagai alat pendukung dalam pembelajarannya seperti dengan menggunakan laptop, in-focus, flashdisk, Wi-Fi dan lainnya.

Selain itu, USU juga telah membuat suatu program e-learning di dalam situs akamedik USU, disana mahasiswa dapat mengunduh beberapa materi perkuliah yang tersedia. Di beberapa Fakultas di USU juga sudah menggunakan slide powerpoint dalam pembelajaran mereka, lalu menggunakan e-mail sebagai

(17)

media untuk mengirim tugas serta menggunakan milis Fakultas sebagai tempat untuk berbagi informasi atau untuk berdiskusi baik dengan dosen maupun teman-teman. Wi-Fi juga sudah hampir ada di setiap kawasan USU, dengan menggunakan weblogin USU dimana mahasiswa bisa mengakses internet secara gratis dengan memasukan username dan password yang ada pada setiap mahasiswa

D. Hubungan Self-Drected Learning dengan Pola Pembelajaran E-learning Pada Mahasiswa Universitas Sumatera Utara

Belajar adalah sebagai perubahan perilaku yang relatif permanen dan terjadi sebagai hasil dari latihan dan pengalaman (Lahey, 2007). Proses dimana seseorang belajar sering juga disebut dengan pembelajaran. Pembelajaran merupakan upaya sengaja dan bertujuan yang berfokus kepada kepentingan, karakteristik, dan kondisi orang lain agar orang tersebut dapat belajar dengan efektif dan efisien (Miarso, 2004). Di dalam proses pembelajaran, para mahasiswa selalu diarahkan untuk menjadi mahasiswa yang mandiri, dan untuk menjadi seorang mahasiswa dituntut untuk belajar, sehingga dapat dicapai suatu kemandirian belajar atau self directed learning.

Self directed learning adalah peningkatan pengetahuan, kemampuan, pencapaian, atau pengembangan diri yang dipilih dan dilakukan oleh seorang individu dengan cara apapun dan kapanpun dia inginkan (Gibbons, 2002). Gibbon

(18)

(2002) menyatakan ada lima dimensi dalam mahasiswa mengontrol atas pengalaman belajarnya, mampu mengembangkan ketrampilannya dalam pembelajaran, mahasiswa juga mengubah diri pada kinerja yang paling baik, mampu untuk manajemen diri dan yang terakhir adalah motivasi diri serta penilaian diri.

Kerka (dalam Hiemstra, 2009) menyatakan bahwa self directed learning bersifat fleksibel dalam proses pembelajaran baik secara waktu dan tempat. Self directed learning bisa digunaka pada setiap metode pembelajaran termaksud pada pembelajaran e-learning. Hal ini selaras dengan Ruelland (dalam Hiemstra, 2009), bahwa e-learning menyediakan flesibilitas dalam ritme pembelajaran.

Selain itu, Mathai (dalam Hiemstra, 2009) bahwa e-learning adalah alat yang baik untuk meningkatkan self directed learning karena bisa mengakses informasi yang tidak terbatas dan memudahkan untuk berkomunikasi. Boyd (dalam Hiemstra, 2009) melihat e-learning dapat mengidentifikasi beberapa karakteristik keberhasilan dimana dalam melakukan pembelajaran e-learning, seorang mahasiswa juga mengasah kemampuannya untuk motivasi diri, disiplin diri, dan merasa nyaman dalam self directed learning. Dari hal ini dapat terlihat bahwa, self-directed learning seorang mahasiswa yang baik, maka mahasiswa akan mampu melakukan salah satu dari pola pembelajaran e-learning secara baik. Tetapi jika seorang mahasiswa tidak mampu untuk melakukan self-directed

(19)

learning yang tidak baik maka mahasiswa tidak akan mampu melakukan salah satu dari pola pembelajaran e-learning secara baik.

E-learning bisa diartikan pembelajaran dengan menggunakan media atau jasa bantuan perangkat elektronika (Munir, 2008). Sedangkan Romiszowski (dalam Naidu, 2006) menyatakan terdapat empat pola dari e-learning yang digunakan untuk keperluan pembelajaran, yaitu individualized self-paced e-learning online yang mengacu pada situasi dimana seorang individu belajar melalui mengakses sumber belajar seperti database atau course content online via intranet atau internet. Individualized self-paced e-learning offline mengacu pada situasi dimana seorang pembelajar menggunakan sumber belajar seperti database atau secara offline belajar dengan bantuan komputer (misalnya, meskipun tidak tersambung ke intranet atau internet). Group-based e-learning synchronously mengacu pada situasi dimana kelompok pelajar bekerja sama melalui intranet atau internet. Hal ini termasuk konferensi berbasis chat, dan satu atau dua arah audio atau video-conference, dan group-based e-learning asynchronously mengacu pada situasi dimana sekelompok pelajar bekerja melalui intranet ata internet dan dalam pertukaran atau proses pembelajaran antara peserta terjadi dengan jeda waktu.

Sama seperti sistem pendidikan di Universitas Sumatera Utara (USU) yang sudah mulai menetapkan pola pembelajaran e-learning sejak tahun ajaran 2009/2010 (Ramli, 2011). Tidak hanya para dosen yang menggunakan proses

(20)

pembelajaran e-learning tetapi para mahasiswa juga sudah mulai melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan pola pembelajaran e-learning.

Hal ini bisa dilihat jelas bahwa pada self directed learning mahasiswa USU memiliki keterkaitan dengan pola pembelajaran yang ada di USU. Perbedaan antara self directed learning dengan pola pembelajara e-learning yang dimaksudkan sebagai perbedaan pada suatu peningkatan pengetahuan, kemampuan, pencapaian atau pengembangan diri yang dipilih individu dan membuat usaha mereka sendiri yang ditinjau dari penggunaan pola-pola pembelajaran learning itu sendiri yaitu, Pertama, individualized self-paced e-learning online, Kedua, individualized self-paced e-e-learning offline, Ketiga, group-based learning synchoronously dan yang Keempat, group-based e-learning asynchoronously.

Pada mahasiswa yang mengontrol pengalaman belajarnya, maka pada pola pembelajaran e-learning individualized self-paced e-learning online mahasiswa akan cenderung untuk mengontrol, memonitoring dan memilih metode pembelajaran secara individu dengan menggunakan media elektronik yang terhubung dengan internet. Jika dihubungan dengan pola pembelajaran self-pased e-learning offline mahasiswa lebih cenderung untuk mengontrol, memonitoring serta memilih metode pembelajaran dengan menggunakan media elektronik tanpa harus terhubung dengan internet misalnya dengan menggunakan laptop, flashdisk, atau hanya menggunakan CD-ROM saja. Lain halnya jika dihubungkan dengan

(21)

pola pembelajaran e-learning group-based e-learning synchoronously dimana mahasiswa lebih suka untuk memilih dan mengontrol pembelajarannya dalam belajar secara kelompok dengan menggunakan sarana internet seperti menggunakan chatting room, video conference dan lainnya. Terakhir pada pola pembelajaran e-learning group-based e-learning synchoronously mahasiswa akan mengontrol, memonitoring dan memilih pembelajarannya dalam belajar secara kelompok dimana melalui internet yang terdapat jeda waktu didalamnya.

E. Hipotesa Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada perbedaan self-directed learning ditinjau dari pola pembelajaran e-learning pada mahasiswa Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Mutu pendidikan dasar dan menengah adalah tingkat kesesuaian antara penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada

a. Semakin berkembangnya media massa sekarang ini mempengaruhi cepatnya informasi sampai pada pengamatnya. Informasi yang beredar dengan sangat cepat terkadang

Surabaya merupakan daerah yang terletak di dataran rendah. Kondisi geofisik kawasan berdasarkan jenis tanah di Surabaya dikelompokkan atas : tanah bukan abu vulkanik,

Pengamatan pertumbuhan dilakukan setiap hari dengan cara mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan dengan menggunakan beaker glass, kemudian diarahkan ke

Berdasarkan simpulan hasil analisis data dan pembahasan di atas, berikut diajukan tiga saran:Pertama, mengenai penerjemahan teks, khususnya teks jenis karya sastra,

Pada indikator ini dapat diinterpretasikan bahwa siswa telah memahami komponen dan alur kerja pembentukan bayangan pada mata, namun belum dapat memberi penjelasan

Berdasarkan metode pembuatan pembuatan dan jumlah untaian tali rami dikelompokan menadi tali polos dan tali kabel. Yang terakhir terbuat dari lilitan 3 buah lilitan yang berbeda.

Pada praktikum dilakukan pengujian tekstur pada agar dengan tingkat kekenyalan dan kekerasan yang berbedan, pengujian kerenyahan pada keripik, seta