APLIKASI
FEEDING REGIME PADA PEMELIHARAAN UDANG VANAME
(Litopenaeus vannamei) POLA SUPER INTERSIF
Makmur, Hidayat Suryanto Suwoyo, dan Rachman Syah
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No.129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail: [email protected] ABSTRAK
Udang merupakan komoditas unggulan ekspor perikanan Indonesia. Komoditas ini sangat strategis dalam menopang perekonomian nasional melalui penciptaan devisa nasional, perluasan lapangan kerja dan usaha, serta peningkatan pendapatan pembudidaya. Tujuan aplikasi teknik feeding regime pada budidaya udang vaname super-intensif untuk mengetahui seberapa besar perannya dalam upaya efisiensi biaya pakan, produksi, beban limbah, dan kualitas udang yang dihasilkan. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya air Payau (BPPBP), Desa Punaga, Kabupaten Takalar, menggunakan dua petak tambak beton berukuran masing-masing 1000 m2/petak. Hewan uji yang digunakan adalah benur vaname PL-10 ditebar dengan kepadatan masing-masing 300.000 ekor/petak. Perlakuan yang diujikan dalam penelitian ini yaitu: (A) Pakan berprotein 40-37, (B) Campuran pakan berprotein 40-37% (DOC 0-60) dan pakan berprotein 35 (DOC 61-98). Pemberian pakan dilakukan secara manual (DOC 1-60) dan menggunakan automatic feeder (DOC 61-98) dengan dosis pakan yang telah ditentukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pakan A, selama pemeliharaan udang vaname menghasilkan ukuran udang 82 ekor/ kg, lebih besar dibandingkan udang pada pakan B, yaitu 94 ekor/kg. Protein pada karkas udang yang diberi pakan A lebih tinggi dibandingkan pakan B, namun sebaliknya kandungan lemak karkas udang pakan A lebih rendah dibandingkan karkas udang di pakan B. Beban limbah N dan P pada kedua perlakuan masing-masing adalah 49,12-53,94 kgN/ton udang dan 14,96—17,10 kgP/ton udang. Udang yang diberi pakan protein tinggi menghasilkan 11 jenis asam amino yang memiliki kandungan asam amino lebih tinggi dibandingkan perlakuan B yang hanya 7 jenis asam amino.
KATA KUNCI: feeding regime, udang vaname, super intensif PENDAHULUAN
Udang merupakan komoditas utama dalam industrialisasi perikanan budidaya. Dalam periode 2010-2014, produksi udang diharapkan meningkat sebesar 74,75%, yaitu dari 400.000 ton menjadi 699.000 ton, Target produksi udang di tahun 2014 dihadapkan pada berbagai tantangan, satu diantaranya adalah manajemen budidaya yang mampu menghasilkan tingkat produktivitas yang tinggi. Untuk saat ini, udang vaname masih menjadi tumpuan yang strategis bagi upaya pencapaian target produksi udang dalam rangka industrialisasi perikanan budidaya. Budidaya udang vaname super-intensif pada tambak kecil menjadi orientasi sistem budidaya masa depan dengan konsep low volume high density. Teknologi budidaya ini memiliki ciri luasan petak tambak 1.000 m2, kedalaman air >2 m; padat penebaran tinggi, produktivitas tinggi, beban limbah minimal, dilengkapi dengan tandon air bersih dan petak pengolah limbah budidaya (Rachmansyah et al., 2014)
Padat penebaran tinggi yang diaplikasikan dalam sistem budidaya superintensif memberikan konsekuensi pada beban limbah sebagai hasil samping kegiatan budidaya yang dapat mempengaruhi kelayakan habitat udang serta lingkungan hidup perikanan. Sementara kebutuhan pakan sebagai sumber energi dan nutrisi udang memberikan kontribusi sebesar 60-70% dari biaya produksi udang. Kedua aspek tersebut perlu dikelola secara efektif dan efisien agar produk udang yang dihasilkan berdaya saing tinggi. (Rachmansyah et al., 2013). Oleh karena itu, efisiensi pakan menjadi sangat penting dalam upaya meningkatkan daya saing produk sehingga lebih kompetitif dengan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Salah satu upaya efisiensi pakan dalam budidaya udang vaname super-intensif adalah dengan menerapkan feeding regime yang tepat dengan mensubstitusi pakan protein lebih rendah tanpa mempengaruhi pertumbuhan dan biomassa serta kualitas udang yang
dihasilkan. Udang vaname memerlukan pakan berkadar protein antara 28-40%. Kombinasi pakan berprotein tinggi dengan pakan berprotein rendah yang tepat dapat meningkatkan efisiensi pakan sampai 15-19% (Tahe et al., 2011; Mansyur et al., 2011). Tujuan aplikasi teknik feeding regime pada budidaya udang vaname super-intensif untuk mengetahui seberapa besar perannya dalam upaya efisiensi biaya pakan, produksi, beban limbah, dan kualitas udang yang dihasilkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan (ITP), Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, (BPPBAP), yang berlokasi di Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan dari bulan Agustus sampai dengan November 2014. Sebanyak 2 petak tambak berukuran 1.000 m2 digunakan untuk menguji pakan yang berbeda kandungan
nutrisinya. Perlakuan yang diuji adalah (A) Pakan berprotein 40-37, (B) Campuran pakan berprotein 40-37% (DOC 0-60) dan pakan berprotein 35 (DOC 61-98). Pemberian pakan dilakukan secara manual (DOC 1-60) dan menggunakan automatic feeder (DOC 61-98) dengan dosis pakan sebagai seperti tertera pada Tabel 1.
Persiapan tambak dilakukan dengan tahapan: pemagaran tambak, pemasangan saringan inlet, pemasangan papan skala ketinggian air, pemasangan sistem aerasi, pengeringan tambak, desinfeksi, pengisian air yang telah ditandon setinggi 100 cm, klorinasi air dosis 40 mg/L, aplikasi mineral dengan dosis 20 mg/L, pemupukan dengan urea 20 kg/petak dan SP-36 sebanyak 10 kg/petak, penumbuhan plankton selama satu minggu, kemudian aplikasi probiotik dan ketinggian air dinaikkan secara bertahap sampai 150 cm. Penebaran benur dilakukan setelah seminggu aplikasi probiotik.
Benur udang vaname PL-10 diperoleh dari unit perbenihan di Bali yang bersertifikat bebas WSSV, TSV dan IMNV. Adaptasi terhadap lingkungan tambak khususnya terhadap suhu dan salinitas dilakukan sebelum benur ditebar di tambak. Padat penebaran adalah 300 ekor/m2. Pemasangan anco sebanyak
4 buah setiap petak tambak ditujukan untuk memantau respon udang terhadap pakan yang diberikan. Selama pemeliharaan dilakukan pengelolaan air meliputi pembuangan air dan lumpur dari central
drain dan pengisian air tambak sesuai jumlah yang dibuang (Tabel 2). Probiotik komersial diaplikasikan
ke tambak sesuai SOP. Teknik aplikasi probiotik selama pemeliharaan disajikan pada Tabel 3. Peubah yang diamati meliputi pertumbuhan udang dilakukan setiap 5 hari, sementara sintasan, produksi, FCR, retensi nutrien dihitung pada akhir penelitian. Parameter kualitas air meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut dan pH dipantau setiap hari di tambak menggunakan DO meter model YSI650, sementara TSS, BOT, amoniak, nitrit, nitrat, fosfat, plankton, total bakteri dan vibrio diukur setiap dua minggu di laboratorium. Untuk mengetahui beban limbah budidaya (TN, TP, dan C organik), maka analisa proksimat dilakukan terhadap pakan dan karkas benur pada awal serta karkas udang pada akhir pemeliharaan. Panen dilakukan pada pemeliharaan hari ke-98. Keragaman ukuran saat panen dihitung dengan mengambil sampel sebanyak 3 kg, ditimbang bobot individu udang.
A B 1-10 40 40 300-50 4 08, 12, 16, 22 11-20 38 38 50-20 4 08, 12, 16, 22 21-30 38 38 20-10 4 08, 12, 16, 22 31-45 37 37 7,0-5,5 48 Setiap 30” 46-60 37 37 5,5-4,0 48 Setiap 30” 61-75 37 35 4,0-3,0 48 Setiap 30” 76-90 37 35 3,0-2,5 48 Setiap 30” 91-105 37 35 2,5-2,0 48 Setiap 30” Umur
(hari) Waktu pemberian
Kandungan protein
pakan (%) (%/BW)Dosis Frekuensi
Data yang terkoleksi ditabulasi, ditampilkan dalam gambar dan dianalisis secara deskriptif. Sementara analisa biaya dihitung untuk mengetahui tingkat kelayakan usaha serta efisiensi pakan yang diperoleh.
HASIL DAN BAHASAN
Manajemen pemberian pakan dalam budidaya udang di tambak intensif bertujuan untuk mereduksi biaya operasional dan meningkatkan produksi budidaya serta mengurangi limbah nutrient yang berasal dari leaching pakan (Carvalho & Nunes, 2006; Burford & Longmore, 2001). Primavera (1998) melaporkan bahwa pakan buatan memberikan kontribusi sebesar 92% dan 51%, 40% dari total input nitrogen, fosfor dan bahan organik. Penelitian yang dilakukan oleh Carvalho & Nunes (2006) menunjukkan bahwa protein, lemak dan bahan organik pakan berkurang masing-masing sebesar 5,51%, 1,37% dan 10,20% setelah terpapar dalam air selama delapan jam.
Optimalisasi manajemen pakan pada budidaya udang vaname skala intensif telah dilakukan melalui evaluasi strategi pemberian pakan yakni aplikasi tabel pakan, feeding tray dan kombinasi antara
feeding tray dan pakan alami (Martinez-Cordova et al., 1998). Dalam penelitian tersebut,
Martinez-Cordova et al. (1998) merekomendasikan penggunaan feeding tray dalam penentuan jumlah pakan.
Umur (DOC) hari Buang (cm) Masuk (cm) Tinggi air (cm) Frekuensi Waktu Awal penebaran 150 1-15 175 0 16-30 5 5 200 1 06.00 31-45 5 5 200 2 06.00, 17.00 46-60 5 5 200 3 06.00; 17.00; 23.00 61-75 5 5 200 3 Idem 76-90 10 10 200 3 Idem 91-105 10 10 200 3 Idem 106-120 10 10 200 3 idem
Tabel 2. Prosedur pembuangan dan pergantian air tambak selama pemeliharaan
Tabel 3. Aplikasi probiotik selama pemeliharaan udang
<7 Jul-14 >14
Mineral X = (a x 0,0000044) + b x 0,00044) 1 dosis 1 dosis 1 dosis X = Dosis (kg/ha) satu kali pemakaian
a = Jumlah benur b = Luas kolam Penumbuh
fitoplankton
idem 1 dosis 1 dosis 0,5 dosis Probiotik X = (a x 0,000154) + (b x 0,011) 0,5 dosis 1 dosis 1,25 dosis
X = Dosis (kg/ha) satu kali pemakaian a = Jumlah benur
b = Luas kolam
X = (a x 0,0000013) + (b x 0,000132) 0,5 dosis 1 dosis 0,5 dosis X = Dosis (kg/ha) satu kali pemakaian
a = Jumlah benur b = Luas kolam Bahan pengkaya Dosis Bobot udang (g) Probiotik (Nitrosomonas)
Selanjutnya dalam penelitian tersebut, penggunaan tabel pemberian pakan dapat menyebabkan
overfeeding tidak memperhitungkan keberadaan pakan alami yang merupakan pakan tambahan di
tambak. Peran makanan alami sebagai pakan udang dalam tambak udang intensif, khususnya tambak dengan zero water exchanges dilaporkan oleh Campos et al. (2009) dan Godoi et al. (2012) di mana macro-inververtebra dan diatom menjadi salah satu sumber pakan alami udang di tambak.
Pola pertumbuhan udang vaname pada perlakuan pakan A kandungan protein 40-37% selama proses budidaya memiliki pola pertambahan bobot yang lebih tinggi dibandingkan udang yang diberi pakan B dengan kandungan protein 40-37% (DOC 1-60) kemudian dilanjutkan pakan protein 35% pada DOC 61-98 (B) (Gambar 1). Artinya, pakan protein tinggi masih memberikan respons pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan pakan protein rendah. Hal ini menjawab sebagian pendapat bahwa udang vaname memiliki kinerja pertumbuhan yang sama jika diberikan pakan baik protein tinggi maupun rendah. Tingginya harga pakan akan memicu pembudidaya untuk mencari alternatif pakan yang ekonomis. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Martinez-Cordova (2002) yang memperoleh pertumbuhan yang tidak berbeda pada udang vaname yang diberi pakan dengan kandungan protein tinggi (40%) dan protein rendah (25%) yakni masing-masing sebesar 12,12 dan 12,93 g.
Jika dilihat dari pertambahan bobot harian udang vaname setelah hari ke-35 pemeliharaan (DOC-35) memperlihatkan pertambahan yang fluktuatif seiring dengan meningkatnya salinitas air tambak. Proses ganti kulit yang umumnya berlangsung sekitar lima hari sekali, mengalami kemunduran sampai sekitar sepuluh hari. Hal ini diindikasikan dengan naik turunnya pertambahan bobot harian udang (Gambar 2). Tingginya salinitas air yang mencapai 40 ppt mengakibatkan sebagian energi yang diperoleh dari pakan dialokasikan untuk mengatur proses osmoregulasi sehingga mempengaruhi energi untuk pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Haliman dan Adijaya (2005) mengemukakan bahwa pada salinitas yang tinggi (di atas 40 ppt) sering terjadi pada musim kemarau menyebabkan pertumbuhan udang menjadi lambat karena proses osmoregulasi terganggu. Pada salinitas yang tinggi pertumbuhan udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi. Kisaran salinitas optimal untuk udang vaname berkisar 15–30 ppt. Bray et al. (1994) melaporkan bahwa pertumbuhan udang vaname pada salinitas 5-15 ppt lebih tinggi secara signifikan dibanding pada salinitas 49 ppt. Hurtado et al. (2006) mendapatkan pertumbuhan, sintasan, produksi, rasio konversi pakan udang vaname yang lebih baik pada salitas 30 ppt dibanding dengan perlakuan 5 dan 50 ppt. 0 2 4 6 8 10 12 14 1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 Bobot (g/e kor)
Waktu pemeliharaan (hari)
A B
Gambar 1. Pertumbuhan udang vaname pola super intensif dengan aplikasi manajemen pakan
Pemberian pakan protein tinggi selama budidaya menghasilkan produksi sebesar 3.485 kg (A) dengan ukuran individu saat panen 82 ekor/kg. Produksi ini lebih tinggi dibandingkan perlakuan B yang mencapai 3.053 kg dengan ukuran individu saat panen 94 ekor/kg (Tabel 4). Meskipun sintasan relatif sama, namun ukuran individu yang berbeda akan menyebabkan perbedaan di dalam produksi biomassa udang yang mencapai 432 kg. Subiyakto et al. (2009) melaporkan hasil budidaya udang vaname pola semi-intensif dengan metode resirkulasi tertutup medapatkan produksi sebesar produksi 2.895 kg atau 9,6 ton/ha, berat udang 16,6 g , FCR 1,3 dan SR 96,5% pada petak A dan 3.025 kg atau 10,0 ton/ha, dengan bobot udang 17,24 g, FCR 1,28 dan SR 97,4% pada petak B. Hopkins et al. (1994) melaporkan bahwa dari beberapa budidaya intensif udang vaname yang dilakukan menunjukkan tidak ada perbedaan produksi udang yang dihasilkan dengan pemberian pakan dengan kandungan protein berkisar 20-40%. Martinez-Cordova (2003) mengemukakan bahwa input protein tinggi selama periode pemeliharaan udang tidak selalu diperlukan untuk memperoleh produksi yang lebih baik untuk udang vaname dan rostris. Pada udang vaneme, pakan protein rendah memberikan produksi terbaik dan penggunaan input protein yang lebih tinggi tampaknya tidak perlu jika produktivitas alami tinggi di dalam tambak. Tingkat masukan protein memiliki efek pada beberapa airparameter kualitas air, seperti amonia dan bahan organik.
Pemberian pakan protein rendah dibulan ketiga juga menghasilkan nilai FCR 1,75 yang lebih tinggi dibandingkan udang yang diberi pakan protein tinggi dengan nilai FCR 1,58. Artinya pakan protein rendah kurang efisien, meskipun harga pakan lebih rendah. Dari percobaan ini diperoleh selisih harga pakan mencapai Rp. 14.889.530,- dengan selisih harga jual udang mencapai Rp. 43.421.286,- sehingga selisih pendapatan bersih sebesar Rp. 28.531.756,-. Dengan demikian, pemberian pakan protein tinggi selama budidaya masih menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan pakan protein rendah. Menurut Boyd & Clay (2002), konversi pakan (feed
conversion ratio, FCR) udang vaname antara 1,3-1,4. Martinez-Cordova (2002) mendapatkan rasio
konversi pakan pada udang vaname sebesar 1,64 yang diberi pakan dengan kandungan protein tinggi (40%) dan 1,68 yang diberi pakan dengan kandungan protein rendah (25%) selama 16 minggu pemeliharaan. Hurtado et al. (2006) mengemukakan Pembelanjaan energi untuk osmoregulasi ditunjukkan oleh FCR udang yang lebih rendah pada salinitas optimal (30 ppt) yang mengindikasikasikan penggunaan energi yang lebih baik untuk pertumbuhan.
Hasil analisis proksimat terhadap karkas udang vaname memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kandungan protein sekitar 5,67% lebih tinggi di perlakuan A (66,39%) dibandingkan perlakuan B (60,72%) (Tabel 5). Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian energi udang didepositkan dalam bentuk lemak yang mencapai 11,04% lebih tinggi dibandingkan perlakuan A sebesar 7,48%. Protein pakan
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 Pe rtu m bu ha n h ari an (g/e kor) Waktu pemeliharaan A B
Gambar 2. Pertumbuhan harian udang vaname pada aplikasi manajemen pakan
yang rendah memungkinkan adanya asam amino esensial yang terbatas atau menjadi faktor pembatas sehingga beberapa asam amino yang berlebih akan disentesis menjadi lemak tubuh.
Beban limbah nutrien N dan P yang dihasilkan akan seiring dengan total nutrien N dan P pakan yang dikonsumsi. Pada perlakuan B, nilai retensi N relatif sama, namun retensi P mencapai 20,12% lebih tinggi dibandingkan retensi P di perlakuan A (Tabel 6). Hal ini mengindikasikan bahwa beban limbah budidaya yang dihasilkan ditentukan oleh jumlah total nutrien yang dikonsumsi dan tingkat retensi nutrien di dalam karkas udang. Perlakuan pakan protein tinggi (A) menghasilkan beban limbah N dan P masing-masing 53,93 kgN/ton udang dan 17,10 kgP/ton udang, lebih tinggi dibandingkan perlakuan B, masing-masing 49,12 kgN/ton udang dan 14,96 kgP/ton udang. Dengan demikian, pemberian pakan protein rendah menghasilkan beban limbah sekitar 20% lebih kecil dibandingkan perlakuan pakan protein tinggi. Di satu sisi, pemberian pakan protein tinggi dapat menghasilkan produksi dan tingkat keuntungan yang lebih besar, namun disisi lain, juga menghasilkan beban
Tabel 4. Kinerja feeding regime pada pemeliharaan udang vaname pola super intensif
A B
Tanggal penebaran 05-Agust-14 05-Agust-14
Padat penebaran (ekr/petak) 300.000 300.000 Feeding regime
- Pakan CP 40-37% DOC 1-98 DOC 1-60
- Pakan CP 35% - DOC 61-98 DOC (hari) 98 98 Produksi (kg) 3.485 3.053 Size (ekr/kg) 82 94 Sintasan (%) 95,26 95,67 FCR 1,58 1,75 Pakan (kg) 5.501 5.340 Harga pakan (Rp) 81.911.540 67.022.010 Nilai jual udang (Rp) 212.152.860 168.731.574 Selisih produksi (kg)
Selisih nilai jual udang (RP) Selisih harga pakan (Rp) Selisih nilai jual bersih (Rp)
Biaya produksi udang (Rp/kg udang) 38.525 33.826 432
43.421.286 14.889.530 28.531.756
Tabel 5. Analisis proksimat (%) udang vaname hasil aplikasi manajemen pakan Parameter A B Protein kasar (%) 66,39 60,72 Lemak kasar (%) 7,48 11,04 Serat kasar (%) 7,67 7,87 Kadar abu (%) 12,55 13,16 BETN (%) 5,91 8,21 P-Total (%) 1,04 1,3 C organik (%) 10,28 10,71
limbah yang lebih besar. Menurut Sutanto (2005) bahwa untuk meningkatkan efisiensi dalam budidaya udang vaname salah satu hal yang perlu dilakukan yakni menggunakan pakan yang berkualitas baik dan berprotein rendah sehingga bisa mengurangi pencemaran/lebih ramah lingkungan, pengelolaan air lebih mudah, pertumbuhan lebih baik, FCR lebih rendah sehingga biaya pakan menjadi lebih rendah. Rachmansyah et al. (2014) mendapatkan beban limbah TN dan TP organik masing-masing 50,12 gTN/kg udang dan 15,73 gTP/kg udang pada kepadatan udang 500 ekor/m2 dan pada kepadatan
udang 600 ekor/m2 beban limbah masing-masing 43,09 gTN/kg udang dan 14,21 gTP/kg udang.
Dilihat dari karakteristik asam amino karkas udang hasil budidaya, diperoleh informasi bahwa terdapat 11 jenis asam amino yang kandungannya lebih tinggi di udang yang diberi pakan protein tinggi (A), sementara hanya 7 jenis asam amino yang tinggi kandungannya di perlakuan B (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa profil asam amino pada udang yang diberi pakan protein tinggi, lebih baik dibandingkan udang yang diberi pakan protein rendah. Arginin, prolin, glutamat, dan glisin merupakan jenis asam amino yang memiliki perbedaan nilai yang tinggi. Substansi rasa umami pada udang, bulu babi, kepiting, abalon, skallop dan lobster dihasilkan dari gabungan beberapa asam amino bebas seperti glisin, alanin, arginin, methionin, valin dan prolin serta ion-ion inorganik sodium, pottasium, chlorin dan asam phospharic (Komata, 1990).
Brown (2002) mengemukakan bahwa asam amino essensial yang paling berperan penting terhadap pertumbuhan larva ikan dan udang adalah asam amino essensial valina, isoleusiana, leusina dan lysina. Fungsi dari asam amino essensial valin antara lain yaitu valina menggantikan posisi asam glutamat yang kemampuan mengikat oksigen secara efektif. Fungsi asam amino essensial isoleusina adalah sebagai penyusun protein, selanjutnya asam amino leusina adalah Ia mutlak diperlukan dalam pertumbuhan larva ikan dan udang, yaitu menjaga kesetimbangan nitrogen, dan berperan dalam menjaga perombakan dan pembentukan protein. Fungsi asam amino essensial lysine adalah sebagai kerangka pembentuk vitamin B1, bersifat anti virus, membantu penyerapan kalsium, pembentuk hormone antibody, menstimulasi selera makan, membantu dalam produksi carnitin mengubah asam lemak menjadi energi (Herawati, 2014).
Selama pemeliharaan udang, kondisi kualitas air masih berada pada ambang yang layak bagi kehidupan dan pertumbuhan udang (Tabel 8), Parameter salinitas berada pada kondisi yang kurang ideal, namun udang vaname cukup toleran terhadap rentang salinitas yang lebar.
Feeding regime A B
Pakan CP 40-37% DOC 1-98 DOC 1-60
Pakan CP 35% - DOC 61-98 Total pakan (kg) 5.501 5.340 Produksi udang (kg) 3.485 3.053 TN pakan (kg) 295,23 235,86 TP pakan (kg) 70,11 57,16 TN udang (kg) 107,33 85,97 TP udang (kg) 10,5 11,51 Retensi N (%) 36,33 36,42 Retensi P (%) 14,98 20,12 Beban limbah TN (kg) 187,97 149,97 Beban limbah TP (kg) 59,6 45,66
Beban limbah TN (gN/kg udang) 53,94 49,12 Beban limbah TP (gP/kg udang) 17,1 14,96 Rasio N pakan / N udang 2,75 2,74 Rasio P pakan / P udang 6,67 4,97 Tabel 6. Beban limbah tambak udang vaname pada aplikasi manajemen
Parameter Unit A B Valin mg/L 12832,46 10406,79 Leusin mg/L 31285,81 39174,03 Arginin mg/L 37601,15 6247,6 Isoleusin mg/L 11795,83 13052,26 Histidin mg/L 7425,11 6693,76 Serin mg/L 18856,2 23655,82 Prolin mg/L 30715,91 20352,78 Glutamat mg/L 80185,75 69860,46 Alanin mg/L 31896,82 21049,11 Phenilalanin mg/L 18384,92 11188,99 Aspartat mg/L 45073,33 40050,33 Threonin mg/L 14185,47 23156,55 Tirosin mg/L 16598,25 12790,69 Lisin (Lysine HCl) mg/L 37506,27 32732,37 Glisin mg/L 46657,39 10484,51 Metionin mg/L 9116,75 10030,97 Sistin (Cystein) mg/L 627,39 2284,5 Triptophan mg/L 8085,91 8110,62 Tabel 7. Kandungan asam amino udang hasil aplikasi manajemen pakan
Tabel 8. Kualitas air tambak selama pemeliharaan udang vaname
A B
Suhu air (oC) 23,60—29,60 (26,39±1,15) 24,10—29,80 (26,61±1,10) Salinitas (ppt) 36,51—39,88 (38,24±0,94) 37,27—40,52 (38,64±0,92) pH 6,00—9,73 6,70—9,49 (7,63±0,52) (7,73±0,49) Oksigen terlarut (mg/L) 1,60—16,10 2,80—15,90 (6,50±1,92) (7,23±1,87) Alkalinitas (mg/L) 157,56—197,96 125,24—161,60 (175,34±15,54) (152,71±15,75) Bahan Organik Total (mg/L) 42,53—75,70 41,46—62,53
(62,82±12,19) (54,67±9,24) TSS (mg/L) 3—108 4—97 (45,8±40,8) (34,0±38,1) TAN (mg/L) 0,23—63.52 0,18—32,58 (11,12±25,67) (5,71±13,16) NO3-N (mg/L) 0,16—26,53 0,10—24,72 (4,86±10,62) (6,58±10,51) NO2-N (mg/L) 0,02—0,47 0,03—0,08 (0,12±0,17) (0,05±0,02) PO4 (mg/L) 0,05—30,00 0,12—14,01 (7,96±12,81) (6,87±6,62)
Hasil pengukuran suhu pada kedua petak tambak perlakuan relatif sama,dimana suhu berkisar 23,60-29,800C. Suhu air pada petak A berkisar 23,6-29,60 dan petak B berkisar 24,10-29,80. Menurut
Boyd (1990) bahwa temperatur yang umum untuk spesies daerah tropik yang memberikan pertumbuhan optimal berkisar 29–300C, sedangkan suhu yang dapat menyebabkan pertumbuhan
rendah <26 – 280C dan batas tingkat lethal <10 – 150C. Suhu juga sangat mempengaruhi
pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu dibawah 150C atau di atas 330C dalam waktu
24 jam atau lebih. Sublethal stres terjadi pada 15–220C dan 30–330C. Suhu optimum untuk udang
vaname adalah antara 23–300C (Wyban & Sweeny, 1991).
Hasil pengukuran salinitas petak A berkisar 36,51-39,88 ppt dan petak B berkisar 37,27-40,52. .Menurut Lee Lee & Wickins (1993) salinitas yang direkomendasikan untuk udang vaname berkisar 15-30 ppt.. Gunarto & Mansyur (2007) pada penelitian budidaya udang vaname tradisional plus diperoleh bahwa udang vaname mampu tumbuh baik pada salinitas tinggi 30-53 ppt. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran kadar garam 15–25 ppt, bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada salinitas 5 ppt masih layak untuk pertumbuhannya. (Samocha & Lawrence,1993). Menurut Mc Grow & Scarpa (2002) bahwa udang vaname dapat hidup pada kisaran yang lebar dari 0,5–45 ppt.
Kisaran nilai pH air yang diperoleh selama penelitian berkisar 6,00–9,49. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang tersebut masih dapat ditolerir oleh udang vaname. Menurut Suprapto (2005) bahwa kondisi pH air yang optimal untuk budidaya vannamei berkisar 7,3–8,5 dengan torelansi 6,5–9. Wyban & Sweeny (1991) mengemukakan bahwa kisaran pH air yang cocok untuk budidaya udang vaname secara intesif sebesar 7,4–8,9 dengan nilai optimum 8,0. Hasil pengukuran oksigen terlarut petak A berkisar 1,60-16,10 mg/L dengan rata-rata 6,50±1,92 mg/L dan petak B berkisar 2,80-15,90 mg/L dengan rata-rata 7,23±1,87 mg/L. Clifford (1998) melaporkan bahwa level DO minimum untuk kesehatan udang 3,0 mg/L dan DO yang potensial menyebabkan kematian adalah < 2,0 mg/L. Suprapto (2005) berpendapat bahwa nilai DO optimal untuk budidaya vanamei > 3 mg/L dengan tolerasi 2 mg/L. Adiwijaya et al. (2003) mengemukakan bahwa kisaran optimal oksigen terlarut selama masa pemeliharaan berkisar 3,5–7,5 mg/L.
Kisaran nilai Bahan Organik Total (BOT) yang diperoleh selama penelitian berkisar 41,46–75,70 mg/L, Nilai BOT yang diperoleh ini cukup tinggi. Budiardi (1998) mendapatkan nilai BOT di tambak Karawang berkisar 6,52–29,9 mg/L dengan rata-rata 22,47 mg/L dengan padat tebar benur 34–35 ekor/m2. Adiwijaya et al. (2003) bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname
< 55 mg/L.
Hasil pengamatan kandungan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid/ TSS) yang didapatkan berkisar 3–108 mg/L, dengan rata 45,8 ±40,8 mg/L pada petak A dan 4-97 mg/L dengan rata-rata 34,0±38,1. Rachmansyah et al. (2006) yang mendapatkan kadar TSS air tambak udang vaname berkisar 249,28±137,47 – 254,89±143,55 mg/L dan saluran pemasukan 128,11± 24,82. Hal ini menunjukkan bahwa selama proses budidaya dihasilkan material organik yang terakumulasi di dalam tambak dan menciri pada meningkatnya nilai TSS air tambak. Peningkatan nilai TSS dalam tambak dapat disebabkan oleh operasional kincir yang berlebih dan hembusan angin yang kencang dan pengadukan dan pelarutan bahan organik dari dasar tambak sehingga dapat meningkatkan kekeruhan dan siltasi. Menurut Soemardjati & Suriawan (2007) bahwa nilai TSS air sumber untuk budidaya udang vaname berkisar 25–500 mg/L.
Hasil pengukuran TAN pada tambak A berkisar 0,23—63.52 mg/L (11,12±25,67) pada petak A dan 0,18—32,58 mg/L (5,71±13,16) pada petak B. Menurut Samocha & Lawrence (1993) bahwa kandungan amonia untuk juvenil udang vaname berkisar antara 0,4 – 2,31 mg/L. Lin & Chen (2001) melaporkan bahwa nilai LC50 amonia untuk juvenil udang vaname pada perendaman 24, 48, 72 dan 96 jam, salinitas 35 ppt yakni 2,78; 2,18; 1,82 dan 1,60 mg/L. Suprapto (2005) mengemukakan bahwa kadar amonia yang masih dapat ditoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–0,5 mg/L.
Kandungan nitrat yang yang diperoleh sekitar 0,16—26,52 mg/L pada petak A dan pada petak B berkisar 0,10—24,72 (6,58±10,51) mg/L. Nilai ini tergolong tinggi. Menurut Effendi (2000), Nitrat adalah bentuk nitrogen utama diperairan alami dan sangat diperlukan oleh pertumbuhan akuatik
(algae), sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Kandungan nitrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan algae di perairan adalah 0,2–0,9 mg/L dan optimal pada kisaran 0,1–4,5 mg/L. Sementara Clifford (1994) mengemukakan bahwa konsentrasi nitrat yang optimal untuk udang vaname berkisar 0,4–0,8 mg/L.
Hasil pengamatan kandungan nitrat yang didapatkan pada kedua tambak berkisar 0,02–0,47 mg/ L, pada petak A berkisar 0,02—0,47 dengan rata-rata 0,12±0,17 mg/L sedangkan pada petak B berkisar 0,03—0,08 dengan rata-rata 0,05±0,02. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat melalui proses nitrifikasi, serta antara nitrat dan gas hidrogen melalui proses dinitrifikasi. Kisaran optimal nitrit untuk budidaya vaname yakni 0,01–0,05 mg/L (Adiwijaya et al., 2003; Soemardjati & Suriawan, 2007). Menurut Suprapto (2005), kandungan nitrit yang dapat di toleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1 mg/L. Haliman & Adijaya (2005), kandungan nitrit yang baik untuk kehidupan udang vaname adalah d” 0,1 mg/L. Clifford (1994) mengemukakan bahwa kandungan nitrit yang optimal untuk budidaya udang vaname < 1,0 mg/L.
Hasil pengamatan kandungan fosfat pada petak A berkisar 0,05–30,00 mg/L, dengan rata-rata 7,96±12,81 mg/L sedangkan pada petak B berkisar 0,12-14,01 mg/L dengan rata-rata 6,87±6,62 mg/L. Konsentrasi fosfat selama penelitian tergolong tingkat kesuburan tinggi berdasarkan kriteria Joshimura (1983 dalam Effendie, 2000), perairan dengan tingkat kesuburan rendah kadar fosfatnya berkisar 0–0,02 ppm, tingkat kesuburan sedang berkisar 0,021–0,05 mg/L dan kesuburan tinggi berkisar 0,051–0,1 mg/L.
KESIMPULAN
Pertumbuhan udang vaname yang di beri pakan A (CP40-37%) lebih cepat dibandingkan pakan B (pakan protein tinggi CP40-37% pada DOC1-60 kemudian dilanjutkan pakan CP35% pada DCO61-98), namun pakan B lebih efisien dengan biaya operasional 33.826/kg dibanding pakan A 38.525/kg
UCAPAN TERIMA KASIH
Diucapkan terima kasih kepada Teknisi dan Analis BPPBAP yang telah membantu kegiatan penelitian. Penelitian ini dibiayai oleh anggaran DIPA BPPBAP tahun 2014.
DAFTAR ACUAN
Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng, & Subiyanto. (2003). Budidaya udang vaname (Litopenaeus
vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Dirjen
Perikanan Budidaya. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara. 29 hlm.
Boyd, C.E. (1990). Water quality in pond for aquaculture. Alabama Agriculture Experiment Station. Auburn University. Birmingham Publishing Co, Alabama. USA.
Boyd, C.E. (1992). Shrimp pond bottom soil and sediment management. p 166-181. in Wyban, J. (ed): Proceeding of the Special Session on Shrimp Farming. Word Aquacultur Society. Baton Rauge, L.A., USA.
Boyd, C.E., & Clay, J.W. (2002). Evaluation of Belize Aquaculture LTD, A Superintensive Shrimp Aquaculture System. Report prepared under The Word Bank, NACA, and FAO Consorsium. Work in progress for Public Discussion. Published by The Consorsium. 17p
Brown, M.R. (2002). Preparation and Assessment of Microalgae Concentrates as Feeds for Larva and Juvenile Pacific Oyster Crassostrea. J. World. Aquaculture. Soc. 7: 289-309.
Clifford, H.C. (1998). Management of ponds stocked with Blue Shrimp Litopenaeus stylirostris. In Print, Proceedings of the 1st Latin American Congress on Shrimp Culture, Panama City, Panama, October, 1998. 101- 109 p.
Effendi, H. (2000). Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya lingkungan perairan. Jurusan Sumberdaya Perairan dan Kelautan. IPB. Bogor. 258 hal.
Haliman, R.W., & Adijaya, D.S. (2005). Udang vannamei, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hal.
Herawati, V.E. (2014). Transfer nutrisi dan energi larva udang vanname (Litopennaeus vannamei) dengan pemberian pakan Artemia sp. produk lokal dan impor. AQUASAINS. Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan. Universitas Lampung. Vol 2(2):177-186.
Hopkins, J.S., Browdy, C.L., Sandifer, P.A., & Stokes, A.D. (1994) Effect of two fed protein level and two fed rate, stocking density combination on water quality and production in intensive shrimp ponds which do not utilize water exchange. Abstracts of the World Aquaculture Society Meeting, January 1994, p. 30.
Hurtado, M.A., Racotta, I.S., Arjona, O., Hernandez-Rodriquez, M., Goytortua, E., Civera, R., & Palacios, E. (2006). Effect of hypo- and hyper-saline conditions on osmolarity and fatty acid composition of juvenile shrimp Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) fed low- and high-HUFA diets. Aquaculture Research, 37: 1316-1326.
Lin, Y.C., & Chen, J.C. (2001). Acute toxicity of ammonia on Litopenaeus vannamei boone juveniles at different salinity levels. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology. Elsevier Science Ltd. ISSN 0022-0981.259 (1): 109 – 119 p
Mansyur, A., Suwoyo, H.S., .& Rachmansyah. (2011). Pengaruh pengurangan ransum pakan secara periodik terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (Litopenaeus vanamei) pola semiintensif di tambak. Jurnal Riset Akuakultur 6(1):71-80
Martinez-Cordova, L.R., Porchas-Cornejo, A., Villarreal-Colemnares, H., Calderon-Perez, J.A., & Naranjo-Paramo J.N. (1998). Evaluation of three feeding strategies on the culture of white shrimp Penaeus
vannamei (Boone 1931) in low water exchange ponds. Aquacultural Engineering 17,21-28
Martinez-Cordova, L.R, Compana-Torres, A., & Porcas-Cornejo, M.A. (2002). The effect of variation in feed protein level on the culture of white shrimp Litopenaeus vannamei (Boone) low water exchange experimental ponds. Aquaculture Research 33: 993-998.
Martinez-Cordova, L.R., Campana-Torres, A., & Porchas-Cornejo, M.A. (2003). Dietary protein level and natural food management in the culture of blue (Litopenaeus stylirostris) and white shrimp (Litopenaeus vannamei) in microcosms. Aquaculture Nutrition, Vol 9;155-160.
Mc Graw, W.J., & Scarpa, J. (2002). Determining ion concentration for Litopenaeus vannamei culture in freshwater. Global Aquaculture. Advocate. 5 (3): 36-37.
Rachmansyah, Suwoyo, H.S., Undu, M.C., & Makmur. (2006). Pendugaan nutrien budget tambak intensif udang vaname, Litopenaeus vannamei. Jurnal Riset Akuakultur Vol.1(2), 2006:181-202.
Rachmansyah, Susianingsih, E., Mangampa, M., Tahe, S., Makmur, Undu, M.C., Suwoyo, H.S., . Asaad, A.I.J., Tampangallo, B.R., Septiningsih, E., Safar, Ilham, Rohani, St., Rosni, & Nurjannah. (2013). Laporan Teknis Akhir Kegiatan Pengembangan Budidaya Udang Vaname Super Intensif di Tambak Kecil. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan.
Rachman Syah, Makmur, & Undu, M.C. (2014). Estimasi beban limbah nutrient pakan dan daya dukung kawasan pesisir untuk tambak udang vaname super-intensif. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau. 15 hal
Samocha, T.M., Lawrence, A.L., & Bray, W.A. (1993). Design and opration 0f an intensive nursery raceway system for penaeid shrimp. James P. McVey (ed) CRC Hand Book of Mariculture 2nd edition
Vol 1. Crustacean Aguaculture. Fishery Biologist. National Sea Grant College Program Silver Spring, Maryland. 113-210p.
Soemardjati, W., & Suriawan, A. (2006). Petunjuk teknis budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Tambak. Departemen Kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 30 hal.
Suprapto. (2005). Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei). CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hlm.
Sutanto. I. (2005). Kesuksesan budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) di Lampung dalam Sudrajat, A., Azwar, Z.I., Hadi, L.E., Haryanti, Giri, N.A., & Sumiarsa, G. (2005). Buku Perikanan Budidaya Berkelanjutan. Pusat Riset Perikanan Budidaya. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Hal 67–72.
Tahe, S., Nawang, A., & Mansyur, A. (2011). Pengaruh pergiliran pakan terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei). Hal. 809- 816. Dalam. Sudradjat, A. (dkk). Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Jilid 2. Diterbitkan dan dicetak Pusat Penelitian dan Pengembangan Budi daya. Jakarta.
Wyban, J.A., & Sweeny, J.N. Intensive Shrimp Production Technology. The Oceanic Institute Makapuu Point. Honolulu, Hawai USA. 158 p