• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kampung Pengemis (Part 1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kampung Pengemis (Part 1)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

Kampung Pengemis (Part 1)

free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin j o g j a p r e w e d d i n g j o g j a p r e w e d d i n g y o g y a k a r t a b e r i t a indonesiayogyakarta wooden craftAku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah.

“Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya.

“Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,”

“Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku.

“Kamu tahu dari mana?”

“Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”.

Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya.

“Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?”

(2)

“Mengemis?” aku mencoba menebak.

“Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu”

“Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar.

Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas.

“Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.”

“Sangat tidak punya malu.”

“Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata.

“Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplop-amplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampus-kampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas.

(3)

“Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius.

“Kamu yakin?”

“Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”

“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.”

Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis.

“Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.”

“Jangan!”

“Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita

(4)

kampung pengemis itu.

“Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.”

“Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu.

“Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.”

“Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nanti-nanti saja.”

“Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.”

“Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?”

(5)

“Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya.

“Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?”

“Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.”

“Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.”

“Amin.” Sambutnya.

Bersambu

Aku tahu tentang kampung pengemis dari seorang teman. Sewaktu aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah.

“Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya.

“Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,”

“Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku.

(6)

“Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”.

Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya.

“Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?”

“Mengemis?” aku mencoba menebak.

“Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu”

“Kurang ajar” aku menggumami pujian temanku itu. Sebab pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar.

Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas.

“Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.”

(7)

“Sangat tidak punya malu.”

“Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata.

“Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplop-amplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampus-kampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas.

“Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius.

“Kamu yakin?”

“Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”

“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.”

Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau.

(8)

Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis.

“Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.”

“Jangan!”

“Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu.

“Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.”

“Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu.

“Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.”

“Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya

(9)

nanti-nanti saja.”

“Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.”

“Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?”

“Hah? Secepat itu kah?”

“Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya.

“Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?”

“Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.”

“Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.”

“Amin.” Sambutnya.

Bersambung….

(10)

aku dan teman itu mengobrol sambil minum kopi di kantin kampus, dia sempat bercerita tentang kampung itu. Kami sebagai dua orang makhluk yang sedang belajar di fakultas ilmu sosial memang sering berdiskusi perihal fenomena sosial dan kehidupan masyarakat. Apalagi, kami sedang merangkak di semester-semester akhir masa kuliah.

“Kamu pernah dengar tentang kampung pengemis?” tanya teman itu seraya menyeruput kopinya.

“Aku baru dengar dari kamu sekarang ini,”

“Jadi, di kampung itu semua penduduknya bepekerjaan sebagai pengemis,” dia menjelaskan sedikit lalu menghisap rokoknya. Aku pun membenarkan letak dudukku.

“Kamu tahu dari mana?”

“Sudah jadi rahasia umum di kota ku. Kampung itu berjarak seseberang sungai dari kota ku. Kampung itu ada di sebuah pulau yang memang hanya punya satu kampung. Ya, kampung pengemis itu. Pulau dan kampung itu masih satu kabupaten dengan kota ku”.

Ganti aku yang meneguk kopi. Ada rasa penasaran di pikiranku. Mengapa orang kok sudi jadi peminta-minta. Satu kampung lagi. Belum sempat rasa penasaranku terjabar sepenuhnya dalam benak, temanku itu melanjutkan ceritanya.

“Ada yang menarik, dulu ada seorang lelaki yang ingin menikahi salah satu penduduk di kampung itu. Terus, oleh orang tua si gadis, pemuda itu diberi syarat. Kebetulan pemuda itu adalah pemuda luar pulau. Kamu tahu syaratnya apa?”

“Mengemis?” aku mencoba menebak.

“Cerdas! Jarang ada teman yang tebakannya sempurna seperti kamu”

(11)

pujiannya terdengar seperti mengejek. Dia lalu tertawa sebentar.

Kantin kampus tempat kami mengobrol belum terlalu ramai. Waktu itu memang tergolong masih pagi. Baru pukul delapan. Hanya sedikit mahasiswa yang sarapan. Sebagian mereka mungkin memilih sarapan di warung-warung dekat kos atau di rumah masing-masing. Harga di kantin kampus memang terpaut lumayan lebih mahal daripada di warung dekat kos atau sekitar kampus. Maklum, kantin kampus harus bayar sewa alias ‘pajak’ pada pihak universitas.

“Cara mengemis yang mereka terapkan sangat beragam. Ada yang pura-pura cacat, melumuri tubuh dengan darah. Berpakaian compang-camping di pinggir jalan trans provinsi atau pun pasar. Dengan wajah sok disedih-sedihkan, mereka tanpa malu mengemis. Dan banyak cara lainnya.”

“Sangat tidak punya malu.”

“Bahkan konon kabarnya, ini baru kabarnya ya.” Temanku itu melemahkan suaranya. Agak berbisik dia berkata.

“Pengemis-pengemis dari kampung pengemis sudah banyak yang intelek. Mereka membuat surat tugas. Juga menyiapkan amplop-amplop kosong yang diberi stempel suatu lembaga atau yayasan sosial. Kadang surat tugas dan amplop kosong itu diakui mereka dikeluarkan oleh yayasan jompo, yatim piatu, sekolah agama, lalu mereka minta sumbangan ke kantor-kantor. Juga ke kampus-kampus. Kita kan juga kerap disodori amplop-amplop oleh sukarelawan-sukarelawan yang kurang jelas yayasannya itu.” dia jeda sejenak. Menarik napas.

“Nah, konon, aku bukan menuduh, cuma kabarnya, mereka itu adalah pengemis-pengemis dari kampung pengemis. Yang sekarang punya metode baru untuk meminta-minta.” temanku itu menjelaskan dengan wajah serius.

(12)

“Aku tidak yakin, cuma aku pernah dengar analisa yang seperti itu. Kalau kupikir-pikir cukup masuk akal juga. Yayasan mereka yang sering minta-minta ke kita itu cukup tidak jelas, bukan?” “Biasanya kan, di amplop-amplop atau surat tugas mereka ada nomor telepon atau alamatnya, apa kamu tidak pernah menghubungi untuk sekadar konfirmasi?”

“Tidak pernah sih, tapi kan aku juga tidak menuduh. Memangnya apa urusanku repot-repot mengkonfirmasi segala.”

Tiba-tiba aku mulai tertarik dengan kampung pengemis yang temanku itu ceritakan. Terbersit untuk mengangkat tema kampung pengemis sebagai bahan tugas akhirku kelak. Aku bisa menelaah fenomema kampung pengemis melalui beberapa sudut pandang. Di antaranya: dari letak geografisnya, mengingat kata temanku tadi, letak kampung pengemis terkhusus di sebuah pulau. Mungkin keeksklusifan tempat bisa membuat penduduknya bersikap eksklusif. Bisa juga melalui akar filosofis kaum pengemis di sana, berpatokan dari penjelasan temanku bahwa orang luar yang ingin menikah dengan orang kampung pengemis, harus rela mengakui—sebut saja begitu— ideologi pengemis, dengan cara turut mengemis.

“Aku jadi berminat meneliti perkampungan pengemis yang baru kamu ceritakan, sebagai sumber tugas akhirku.”

“Jangan!”

“Lho? Kenapa jangan? Apa salahnya? Apa kampung pengemis itu cuma mitos rekaanmu belaka? Apa kamu takut ketahuan bohong?” larangannya seketika membuat aku ragu dengan kebenaran cerita kampung pengemis itu.

“Eh jangan salah, dari awal kan aku bilang cerita ku ini memang rahasia umum. Tapi bukan kenyataan umum. Kalau ternyata kampung pengemis tidak benar-benar ada, ya aku tak bertanggung jawab. Masalahnya begini, menurut mitos dan lagi-lagi menurut konon, siapa yang masuk ke kampung itu, atau masuk ke pulau

(13)

itu, maka otaknya akan tercuci dan akan jadi pengemis juga. Aku kuatir kamu jadi pengemis.”

“Kurang ajar!” sekali lagi aku mengumpatnya dengan suara rendah. Aku pun membuat pembelaan atas prasangkanya itu.

“Kamu meremehkanku, ya? Masa aku mudah tercuci otak oleh para pengemis-pengemis itu.” Aku memincingkan mataku pada teman itu. Lalu mereguk kopi dari cangkir yang keberadaannya sempat sedikit terlupakan sebab perbincangan kami yang mulai serius. “Bukan begitu. Cuma mengingatkan. Aku sih percaya kalau kamu kuat. Tapi ya agar kamu lebih waspada bila akhirnya tetap bersikeras ke sana.”

“Mungkin untuk awalnya aku main-main saja ke pulau itu. Hitung-hitung rekreasi ke luar pulau. Penelitiannya nanti-nanti saja.”

“Kalau mau rekreasi, ke kota ku saja. Tak usah ke pulau itu.” “Kamu kenapa sih? Nampaknya menghalang-halangi aku.?” Sebelum menjawab pertanyaanku, teman itu menghisap rokoknya dalam-dalam. Sambil berucap, nampak asap dari mulutnya berhamburan. “Aku tidak menghalang-halangi. Hanya mencarikan alternatif yang lebih baik untuk rekreasi. Bila kamu tidak bersedia ya tidak apa-apa.”

“Terima kasih. Tapi aku tak memilih alternatif dari mu. Terus, kapan kamu mau mengantarku ke sana?”

“Hah? Secepat itu kah?”

“Lebih cepat lebih baik. Paling tidak aku survey dulu. Lihat keadaan di sana dulu.” Teman itu menggeleng-geleng lalu berujar sekenanya.

“Ah, terserah kamu sajalah.” “Akhir pekan ini?”

(14)

“Boleh. Tapi jangan salah sangka, aku tak mengantarmu sampai ke pulau. Aku hanya mengantarmu ke dermaga penyebarangan di kota ku. Kamu nyebrang sendiri saja. Aku takut mitos yang kuceritakan benar. Nanti bisa-bisa ketika pulang aku jadi pengemis.”

“Ya, terserah kamu sajalah. Tolong doakan aku, tak jadi pengemis selepas pulang.”

“Amin.” Sambutnya.

Bersambung…. Klik Kampung Pengemis (Part 2)

Sepotong Setia

Kursi yang kududuki terasa berguncang. Lalu kurasakan sepetak gambar di jendela mulai berganti seperti layar televisi. Pandanganku menerawang ke luar. Hanya punggung rumah yang saling berhimpitan yang akan kulihat hingga stasiun Sepanjang. “Bapak sakit.”

Pesan dari Ibu hanya dua kata, tetapi lebih dari cukup untuk memanggilku pulang. Bapak memang mengidap diabetes. Penyakit turunan dari Eyang itu akan kambuh ketika Bapak terlalu banyak berpikir.

Sudah tiga bulan lamanya kami tak bertatap muka. Kesibukan kampus selalu kujadikan senjata.

“Terserah kamu saja. Semoga sehat dan sukses selalu.” Ucap Ibu ketika aku menolak pulang entah kali keberapa.

(15)

Kalimat itu awalnya kupahami sebagai pengertian dari Ibu. “Aku pulang.” Kalimat itu kukirimkan sebagai pesan balasan. Klakson masinis bersiul panjang. Kabar bahwa kereta akan berhenti di stasiun selanjutnya: Wonokromo.

Ketika ia benar-benar berhenti, penumpang yang jumlahnya puluhan merangsek masuk tak sabaran. Berimpitan, dan saling sikut mencari nomor kursi yang telah ditentukan.

***

Wajah tua Bapak terbayang. Dan segala ingatan tentangnya hadir bagai kolase yang ditampilkan acak.

Sekarang, misi Bapak dan misiku tak lagi sama. Segalanya mulai berubah ketika aku masuk kuliah.

Organisasi eksekutif kampus mengajakku membaur dengan banyak orang, pun menyublim di berbagai aksi sosial.

Organisasi yang justru merusak, kata Bapak. “Kamu berubah, Nduk! Jadi liar dan urakan.”

Kritis dan frontal yang disebut Bapak sebagai keliaran. Berani dan terbuka yang disalah artikan sebagai urakan.

“Bapak ndak suka?” Balasku.

Semua bermula dari keinginanku ikut serta demo kenaikan BBM dua tahun lalu. Aku yang saat itu berstatus mahasiswa baru meminta izin Bapak-Ibu.

“Mau jadi apa kamu, Nduk berani ikut-ikut demo?”

Akupun mengulas jawaban panjang yang sudah tentu tidak Bapak dengar.

“Tak usahlah kau ikut-ikut demo. Tugasmu hanya belajar biar jadi akuntan yang benar!”

(16)

Tentangan Bapak tidak kudengar. Selain solidaritas dengan teman-teman angkatan, akupun sudah terikat janji dengan Mas Damar.

“Kembalikan harga BBM! Jangan sengsarakan rakyat yang kadung melarat!”

Tak kuhiraukan peluh membasahi tubuh yang terpanggang di bawah terik matahari. Meminta Pertamina mengkaji ulang kenaikan harga BBM.

“Berlindung, Ranai!” Mas Damar menarikku dalam pelukannya ketika massa di belakang kami merangsek maju.

Setelah menutup Jalan Jagir, kini sebagian mereka membakar ban bekas lalu merusak pagar pembatas berkawat.

“Kau harus siap, apapun yang akan terjadi nanti.” Bisik Mas Damar.

“Apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu ada untukmu…” Aku memalingkan muka.

Peluh membasahi pelipis. Panas yang kurasakan jelas tak sebanding dengan yang sekarang dirasakan Mas Damar.

Hari ini ia bersama BEM SI menggelar aksi demonstrasi dua tahun kepemimpinan presiden di depan gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Di barisan paling depan ia berdiri membawa spanduk bertuliskan ‘tagih janji 2 tahun Jokowi-JK untuk negeri’.

Harusnya aku juga di sana. Ikut serta membawa lima tuntutan reformasi mahasiswa[1].

Dan unjuk rasalah langkah tepat penyuara kepentingan rakyat. “Rakyat yang mana?” Tanya Bapak pekan lalu saat aku pamit izin demo lagi.

(17)

Rakyat serupa nenek renta yang duduk di atas rinjing bersandar dinding toilet di ujung gerbong. Memangku sebuah tas plastik beranyam yang terlihat kosong.

“Wong cilik dong, Pak!”

Bapak lalu tersenyum mencibir.

“Reformasi sekarang ini kan ya karena mahasiswa, Pak.” Selorohku membela diri.

Aku ingin mengingatkan Bapak akan peristiwa besar delapan belas tahun lalu.

Peluit masinis melenguh panjang. Papan bertuliskan Stasiun Kertosono terpampang besar-besar.

“Mari saya bantu”

Jarak pintu kereta cukup tinggi dari peron. Nenek yang tadi naik dari Stasiun Sepanjang mengulur senyum.

“Boleh.”

Aku kemudian memondong tas jinjingnya.

“Mbah kenapa tadi duduk di dekat toilet?” Tanyaku.

Semenjak kereta melewati stasiun Mojokerto, penumpang banyak yang turun. Menyisakan hampir seperempat kursi kosong. Tetapi kulihat ia tetap duduk bersandar dinding toilet di atas rinjing yang sekarang digendongnya.

“Ning, petugas loket tadi bilang Mbah ndak dapat tempat duduk karena belinya mepet. Mbah ndak berhak duduk di kursi.”

Senyum di wajahku memudar. Aku meremas kertas di genggaman. Membentuknya menjadi bulatan paling kecil lalu membuangnya sembarangan.

(18)

kursi di kereta. Hanya sepotong, tetapi itu adalah hak penumpang. Bukan masalah besar atau sepele, namun kesetiannya akan prinsip luhur. Menjaga kejujuran pada selembar tiket miliknya. Pantang seseorang mengambil hak orang lain, kecuali berdasarkan kerelaan. Dan sang nenek memilih duduk di atas rinjingnya, bersandar pada dinding toilet yang bau.

Lidahku kelu. Wajahku kebas karena malu. Malu karena tiket yang kupunya, nomor tempat dudukpun tak tertera.

***

*Penulis adalah mahasiswi semester 6 prodi Teknobiomedik Fakultas Sains dan

Teknologi-[1] Disingkat literasi mahasiswa. Tindak tegas mafia kasus kebakaran hutan dan lahan; tolak reklamasi Teluk Benoa dan Teluk Jakarta; tolak tax amnesty yang tidak pro rakyat; tolak perpanjangan izin ekspor konsentrat setelah Januari 2017 dan komitmen terhadap usaha hilirisasi minerba; dan cabut hokum kebiri, selesaikan akar permasalahan kejahatan seksual pada pempuan dan anak.

Piramida Warna (Part 1)

free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin j o g j a p r e w e d d i n g j o g j a p r e w e d d i n g y o g y a k a r t a b e r i t a indonesiayogyakarta wooden craft

(19)

Kultur Media Sosial dan

Pendakwah Muda

free instagram followermake up wisudamake up jogjamake up prewedding jogjamake up wedding jogjamake up pengantin j o g j a p r e w e d d i n g j o g j a p r e w e d d i n g y o g y a k a r t a b e r i t a indonesiayogyakarta wooden craft

21 Februari, Momen Memaknai

Hari Bahasa Ibu Internasional

UNAIR NEWS – Perdebatan panjang antara bangsa Pakistan Barat (Pakistan sekarang, red) dan Pakistan Timur (Bangladesh sekarang, red) dalam memperjuangkan eksistensi bahasa lokal untuk menjadi bahasa nasional di negara tersebut, menjadi titik balik lahirnya Hari Bahasa Ibu Internasional yang secara resmi diputuskan oleh UNESCO jatuh pada tanggal 21 Februari. Untuk memaknai Hari Bahasa Ibu Internasional, tim UNAIR News mewawancarai pakar linguistik budaya Universitas Airlangga Dr. Ni Wayan Sartini, M.Hum., Selasa (21/2). Wayan, sapaan akrabnya, dosen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UNAIR menjelaskan, keberadaan bahasa ibu merupakan suatu hal yang mutlak. Pasalnya, bahasa ibu lah yang pertama kali menjadi ujaran bagi setiap penutur.

“Kalau meruntut pengertian bahasa ibu, ini masih menjadi diskusi panjang, ada yang mengatakan sebagai bahasa daerah, ada yang mengatakan sebagai bahasa pertama yang diujarkan. Bagi saya, keduanya bisa benar, tergantung konteksnya,” terang Wayan.

(20)

BACA JUGA: Mari Hapus Stigma Buruk Pada Penderita Bipolar

Ditanya perihal eksistensi sebuah bahasa lokal yang menjadi bahasa pertama bagi sebagian besar penutur, Wayan menjelaskan, kearifan dan nilai pada sebuah bahasa akan menggambarkan budaya seorang penutur. “Bahasa itu menunjukkan dari bangsa dan budaya mana seseorang itu berasal,” imbuhnya.

Wayan menegaskan, keterbukaan di era global seperti sekarang ini hendaknya tak menjadi penghalang untuk setiap penutur bahasa daerah meninggalkan kearifan dan nilai bahasa ibu. “Silakan berpikir global mempelajari bahasa asing. Tapi, jangan sampai tercerabut dari akar kebudayaan sendiri. Jadi, ini akar budaya, bahasa ibu kita harus kita perkuat, sembari kita berkompetisi ke ranah global,” tegas Wayan mengakhiri. Penulis: Nuri Hermawan

Editor: Defrina Sukma S

Antara Imam Syafii dan

Kumpulan

Cerita

Pendek

“Merantau”

Salah satu idola saya, yang namanya nyaris tiap hari didengung-dengungkan di Pondok Pesantren Gontor adalah Imam Syafii. Dia membuat puisi yang mahsyur. Yang di Indonesia, setelah melalui proses penerjemahan, kerap diberi judul

Merantau.

Imam Syafii, yang jalan pikirannya dipegang sepenuh hati oleh mayoritas muslim Indonesia, dan kemudian populer dengan istilah Mahzab (aliran) Syafii, selalu menjadi inspirasi para

(21)

santri. Semua ucapannya terukur, tidak sembarangan. Termasuk, omongannya dalam puisi tersebut. Esensi sajak yang terangkum pula pada kitab Diwan Asy Syafii itu, selalu diingat para santri, yang mengagumi Imam Syafii, sampai ke darah-darah kami.

Terjemahan bebas puisi tersebut di bawah ini, saya kutip dari alumnus Gontor Ahmad Fuadi dari novel monumentalnya, Negeri Lima Menara:

Merantaulah …

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah …

Kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah

berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam, tentu

manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa Jika didalam hutan

Berbeda

Puisi itulah yang ada di pikiran saya ketika melihat kumpulan cerita pendek Rio F. Rachman dengan titel Merantau. Rio,

(22)

sapaan akrabnya, kebetulan memang fans berat Mahzab Syafii. Dalam kumpulan puisinya yang terbit tahun lalu, Balada

Pencatat Kitab, dia bahkan mengutip salah satu kisah terkenal

tentang Imam Syafii. Kisah itu dimampatkannya dalam puisi berjudul “Guru”.

Dalam Balada Pencatat Kitab, hanya “Guru” yang memakan halaman sampai dua: yang lainnya satu belaka. Artinya, ada yang istimewa dari puisi itu. Kisah Imam Syafii yang disarankan gurunya merantau ke negeri lain untuk menuntut ilmu. Kenapa? Karena sang guru mengaku bahwa ilmunya telah habis untuk diturunkan pada lelaki bernama kecil Idris tersebut.

Meski demikian, kumpulan cerita pendek Merantau tentu berbeda. Di dalamnya, tak hanya soal merantau. Bahkan, di cerita pendek berjudul “Merantau”, alasan yang dipakai tokoh utama bukanlah menuntut ilmu layaknya Imam Syafii. Melainkan, bersandar pada dalih mencari sesuap nasi alias mencari pekerjaan yang layak. Persoalan keluarga yang rumit membuat tokoh utama merasa perlu meninggalkan tanah air. Pergi ke Arab untuk memburu riyal.

Problematik

Cerita-cerita di kumpulan ini banyak yang problematik. Seingat saya, tidak ada yang happy ending. Bahkan “Membunuh Anjing” yang memiliki ending win-win solution antara tokoh utama dan ibunya pun, didahului dengan kisah-kisah sedih. Berakhir pun tidak dengan sepenuhnya membahagiakan. Tokoh utama “mendapatkan” Ibunya kembali, tapi anjingnya tetap mampus.

Pada kisah romantis pun, alurnya dibuat pilu. Ada yang tentang poligami, putus asa dalam asmara, hingga kasih tak sampai. Ada satu cerita berjudul “Kunang di Atas Lautan” yang tidak mengandung kesedihan. Tapi pun, tak pula berisi kesenangan. Secara umum, kisah-kisah di dalamnya mengingatkan saya pada novel O karya Eka Kurniawan. Di dalamnya, full kisah tragis dan ironis. Ada sih, kisah cinta yang mengembalikan dua insan yang di masa lampau pernah kasmaran. Namun, mereka

(23)

dipertemukan saat yang lelaki sudah buta, dan yang perempuan telah gendeng. Tak diceritakan, apakah perempuan gila itu jadi waras saat bertemu kekasihnya, atau tidak. Yang jelas, mereka kembali bersama saat telah lama terpisah.

Merantau berisi 19 cerita pendek. Pada event LPDP EduFair di

gedung Airlangga Convention Center Selasa lalu (2/2), salah satu copy buku dibagikan pada pengunjung sebagai “perkenalan” pada karya yang diterbitkan oleh Penerbit Suroboyo dan berisi 130 halaman tersebut. Kebetulan, Rio menjadi pembicara pada sesi Awardee Story, karena dia memang pernah menerima beasiswa tersebut.

Menanti “Edisi Revisi” Buku

Menyikapi Perang Informasi

Dalam sebuah obrolan ringan di Radio UNAIR, Rio F. Rachman menuturkan keinginannya untuk menerbitkan/mencetak kembali buku Menyikapi Perang Informasi. Karya yang dipublikasikan melalui penerbit Sarbikita Publishing pada 2015 itu, kata Rio, memerlukan penambahan artikel sebagai pendalaman dari tulisan-tulisan yang sudah ada. Pendalaman, bukan pengulangan. Tapi artikel yang sudah ada, tentu tetap dpertahankan.

Sejatinya, buku tersebut memiliki 27 esai ringkas (140 halaman) yang sudah dimuat di media massa: cetak maupun online. Pemikiran di dalamnya, dipartisi menjadi tiga topik besar: Media Komunikasi, Sosio-Kultural, dan Keindonesiaan. Di edisi revisi nantinya, ujar Rio, selain penambahan tulisan, tidak menutup kemungkinan akan diperluas pula poin pembagian topik. Bisa saja, akan ada lebih dari tiga bagian.

(24)

sejumlah permasalahan di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini. Banjir informasi membuat manusia berada dalam dua posisi: hanyut atau selektif. Bila tidak selektif dan asal percaya pada bahan “share” dari internet atau media massa lain, bersiaplah tenggelam dalam kabar negatif yang menjebak. Pelbagai problem atau perspektif tentang media dan strategi komunikasi dipaparkan di satu topik besar. Sementara di topik lain, Sosio-Kultural, Alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini memaparkan banyak kritik sosial pada lingkungan sekitar yang makin egois, materialistik, dan gampang berkiblat pada hedonisme. Sementara di topik Keindonesiaan, terdapat banyak esai yang menuturkan soal pentingnya mengobarkan optimisme. Mengapa? Karena sejatinya, Indonesia adalah negara kaya yang potensial menjadi terdepan di muka bumi.

Yang menarik, buku ini juga menjelaskan sejumlah pandangan mengenai kesusastraan. Disiplin yang digeluti penulisnya saat masih mengenyam S1 di Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya.

Edisi revisi yang diidamkan Rio, tidak akan lepas dari tema-tema tersebut di atas. Meski memang, pasti akan pembenahan di sana-sini. Awalnya, buku baru tersebut ingin diterbitkannya pada tahun lalu melalui Penerbit Suroboyo. Namun, dia beranggapan, perlu persiapan konten yang lebih lama, agar hasil dari revisi bisa maksimal. (*)

Khutbah yang Melampaui Waktu

UNAIR NEWS – Yang dipotret di buku ini adalah ceramah mendiang Cak Nur yang melintas zaman. Apa bukti kalau petuahnya melangkahi waktu? Silakan nikmati kumpulan berjudul 32 Khutbah

(25)

Buku ini memberi gambaran keasyikan khutbah di Yayasan Waqaf Paramadina akhir 90-an. Pembaca dibawa berimajinasi, dia sedang berada di ruang kuliah yang gayeng dengan pembicara yang tidak membosankan.

Mengambil tema kehidupan sehari-hari, lulusan Chicago University ini seolah menyesuaikan diri dengan para hadirin. Mereka bukan hanya orang kampus. Namun juga, para karyawan kantor, pekerja serabutan, dan pemangku profesi lain yang luar biasa beragam dan memilih shalat Jum’at di sana.

Tanpa membaca teks, mantan ketua umum PB HMI ini membagikan pengetahuan. Topik khutbah tergolong ringan namun segar. Tentu, dia tidak menggali tema debatable yang akrab melingkupinya selama ini: sekularisme, liberalisme, dan plurarisme. Karena mungkin, dia paham, tema tersebut tidak tepat diusung dalam waktu sesingkat durasi Jum’atan.

Umumnya, khutbah Jum’at yang ada saat ini bersifat general dengan dalil yang diulang-ulang. Tidak salah memang. Cak Nur sendiri pernah mengatakan, wasiat takwa (pesan kebaikan) tak boleh berhenti diingatkan. Bahkan tidak mengapa bila saban hari digaungkan laksana jatung yang berdetak. Adapun yang membedakan ceramah Cak Nur dengan pendakwah zaman sekarang adalah kedalaman referensi dan variasi konten.

Kelengkapan informasi yang diberikan orisinal dan tidak pasaran. Sebagai contoh, kala berbicara tentang “Mendamaikan Persaudaraan Seiman” (halaman: 133), dia tidak sekadar menyitir Al Qur’an surah Al-Hujurat (49) ayat 9: Dan apabila

ada dua golongan orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Lebih dari itu, dia bercerita

sejarah dan kelompok muslim di masa setelah Nabi Muhammad wafat.

Ada tiga kelompok. Pertama, pewaris aristokrasi Makkah, Bani Umayyah, yang karakternya kaya dan berpengalaman di pemerintahan/politik. Kedua, kelompok populis-sosialis yang

(26)

karakternya sangat saleh. Diidentikkan dengan para sahabat Nabi seperti Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar Al Ghifari, dan Salman Al farisi. Sedangkan kelompok ketiga, kaum moderat yang disimbolkan dengan sosok Abu Bakar Shiddiq dan Umar Bin Khaththab. Mereka inilah penengah dan pemilik kebijaksanaan yang sempurna.

Dia tidak berkisah bahwa tiga kelompok itu bersilang sengketa. Namun paling tidak, Cak Nur mengisyaratkan, bahwa perbedaan sudah ada sejak di zaman lampau. Persoalan ini merupakan

sunatullah atau hukum alam. Sehingga, mesti disikapi dengan

kepala dingin. Buku

Judul : Catatan Khutbah Jumat Cak Nur Penulis : Nurcholish Madjid

Penerbit : Noura Books, Jakarta Cetakan : Pertama, April 2006 Tebal : xvi + 409 halaman

Sejarah Islam dalam “Balada

Pencatat Kitab”

UNAIR NEWS – Buku puisi tidak sekadar curhat. Kerap kali, mengandung pesan atau kritik sosial, pelajaran tentang prilaku, bahkan sejarah. Semua aspek yang disebutkan tadi tercermin dalam kumpulan Balada Pencatat Kitab karya Rio F. Rachman. Penyair alumnus S2 Media dan Komunikasi UNAIR ini meluncurkan buku tersebut pada 2016 lalu.

(27)

Setidaknya, mushaf berisi 59 puisi itu sudah dibedah di Warung Mbah Tjokro Prapen oleh Masika ICMI Jatim, Surabaya (30 September) dan Kafe Pahlawan oleh Komunitas Stingghil, Sampang (20 November). Beberapa resensi tentangnya pun bisa dijumpai di media cetak maupun online.

Sajak-sajak di sana tergolong ringan. Bahasa yang digunakan lugas dan tak bertele-tele, apalagi mendayu-dayu. Tak banyak majas dan to the point. Sejumlah riwayat sejarah Islam dikemukakan. Yang pada satu titik, menjadi sekelumit keunikan di dalamnya.

Bila diperhatikan, apa yang diceritakan pada puisi “Balada Pencatat Kitab”, yang juga dijadikan judul kumpulan ini, bercerita tentang momen wafatnya Utsman bin Affan. Salah satu sahabat nabi yang sudah dijanjikan Tuhan masuk Surga.

Seperti banyak diberitakan dalam banyak literatur, lelaki yang juga menantu Rasulullah Muhammad ini meninggal akibat pemberontakan. Dia dikepung dirumahnya, diserang oleh orang-orang yang terhasut api fitnah. Utsman bisa saja menumpas mereka dari awal. Namun, dia memilih sabar. Pilihan yang sejatinya sudah diisyaratkan Nabi lebih dari dua puluh tahun sebelumnya.

Kisah Utsman tidak satu-satunya sejarah Islam yang dipaparkan di Balada Pencatat Kitab. Pada “Kecuali Dia”, kehebatan Ali bin Thalib juga disinggung. Tentang kehebatan Ali, menantu dan sahabat Nabi, dalam peperangan. Dan keberaniannya mempertaruhkan nyawa demi junjungannya itu. Cerita soal pertempuran di Padang Uhud pada masa awal perjuangan Islam tercantum di puisi “Isyarat”.

Sedangkan kisah Imam Syafi’i, pemimpin aliran yang paling populer di Asia Tenggara, diceritakan dengan menyentuh di “Guru”. Di sana tertulis bagaimana guru dari Sang Imam sampai harus “mengusirnya” ke luar kota untuk merantau. Kenapa? Karena ilmu guru tersebut sudah tumpas disesap oleh Imam

(28)

Syafi’i.

Dikisahkan pula ketika Imam Syafi’i telah sukses menjadi seorang ulama dan akhirnya pulang kampung membawa banyak oleh-oleh untuk Ibu. Namun, ibunya menolak itu semua dan bersikeras tak ingin menerimanya di rumah, bila tetap membawa semua itu. Sehingga Imam Syafi’i akhirnya menyerahkan semua perbekalan pada warga sekitar. Dia hanya membawa sebuah kitab saat menghadap Sang Bunda.

Tentu, sejarah yang dipuisikan dalam kumpulan ini bisa jadi

debatable. Karena, riwayat kisah-kisah tersebut tidak tunggal.

Namun secara esensi, ada benang merah yang muncul dan diperlihatkan pada puisi-puisi tadi.

Selain tentang sejarah Islam, Balada Pencatat Kitab juga berkisah tentang fenomena masyarakat kekinian yang serba terbuka di media sosial, kartun di televisi, problem rumah tangga wong cilik, hingga romantisme dan kerinduan. Cover buku yang simpel, membuatnya tampak manis dan sederhana.

Buku

Judul : Kumpulan Puisi Balada Pencatat Kitab

Penulis : Rio F. Rachman Penerbit : Penerbit Suroboyo Tebal : 60 halaman Cetakan : Pertama, 2016

(29)

Pakar Sejarah Tionghoa Bicara

Pernak-pernik dan Harapan

Imlek

UNAIR NEWS – Tahun Baru Imlek atau Sin Cia tak hanya berkaitan dengan urusan angpau atau selebrasi barongsai. Sin Cia juga merupakan perayaan menyambut musim semi, musim yang menurut etnis Tionghoa dipercaya memberikan kegembiraan kepada seluruh manusia. Tibanya musim semi dirasakan sebagai sesuatu yang membawa kehidupan baru, simbol tumbuhnya sesuatu yang baru dan memberikan harapan dan keinginan baru dalam hidup. Hari Raya Imlek juga menjadi momen pertemuan anggota keluarga sekali dalam setahun, mendekatkan yang jauh dan merekatkan yang dekat, saling silaturrahmi dan juga berbagi cerita. Perayaan ini terasa penting ketika setiap anggota keluarga maupun tetangga saling memberi kasih, saling mengayomi dan membuka lembaran baru. Itulah rangkuman awal perbincangan

UNAIR News dengan Sintha Devi Ika Santhi Rahayu, S.S., M.A.,

selaku dosen Ilmu Sejarah UNAIR yang fokus dalam sejarah etnis Tionghoa.

Sintha bercerita tentang harapan etnis Tionghoa yang disimbolkan pada perayaan Imlek. Menurutnya, etnis Tionghoa yang masih memegang tradisi leluhur, perayaan Imlek menjadi kegiatan rutinitas setiap tahunnya, perayaan yang sangat kental dengan sejarah panjang sebagai simbol harapan baru dalam sebuah kehidupan.

“Perayaan Imlek sudah ada dan menjadi tradisi orang-orang Tionghoa ribuan tahun lalu, bahkan terkait dengan hal itu, keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia lebih dulu ada bila dibandingkan dengan orang-orang Belanda,” tutur Shinta.

“Perayaan Imlek dari masa kemasa itu berubah-ubah sesuai selera para penyelenggara atau yang merayakan Imlek serta

(30)

bagaimana kebijakan pemerintah. Bahkan perayaan ini sempat dilarang pada era Orde Baru,” imbuhnya.

Shinta juga bercerita banyak tentang perayaan Imlek, terkait pernak-pernik perayaan Imlek yang ada hubungannya dengan ritual, tantangan, dan juga simbol pelengkap lainnya. Berbicara tentang ritual misalnya, perayaan Imlek yang identik dengan warna merah seperti rumah merah, lampion merah, amplop merah, kue merah, dan juga baju merah, hal tersebut menandakan bahwa etnis Tionghoa memiliki harapan untuk selalu diberikan kehidupan yang bahagia, makmur dan sejahtera.

Kemudian, lanjut Shinta, ritual lain adalah memakai baju baru yang berarti membuka lembaran baru, menghidangkan berbagai jenis kue yang rasanya manis dan lengket dengan harapan selalu dijauhkan dari yang pahit atau jahat.

“Memang banyak ritual dilakukan demi terwujudnya harapan, mulai dari rumah sendiri hingga puncak acara pada malam kelima yang biasa disebut Cap Go Meh,” cerita Shinta yang juga alumnus Ilmu Sejarah UNAIR.

Sintha Devi Ika Santhi Rahayu, S.S., M.A., ahli sejarah Tionghoa. (Foto: Istimewa)

(31)

Seperti yang tadi disebutkan, selain ritual ada juga pantangan, di antaranya adalah bagi yang belum menikah, tidak boleh memberikan angpau, makan mi tidak boleh diputus atau juga makan ikan tidak boleh dibalik. Hal tersebut berkaitan dengan harapan untuk diberikan jodoh, umur panjang dan juga dijauhkan dari segala kejahatan.

“Tantangan-tantangan pada saat perayaan imlek diantaranya sudah dikenal dimasyarakat, seperti pemberian angpau kepada yang belum memiliki pasangan,” ungkap Shinta yang sesekali tertawa ketika bercerita.

Ada hal lain yang juga menjadi pelengkap dalam perayaan Imlek, yaitu shio dan barongsai. “Tahun ini shionya adalah ayam api yang menandakan kepribadian yang jujur, energik, cerdas, fleksibel, dan memiliki rasa percaya diri yang kuat. Jadi harapan etnis Tionghoa pada tahun ini untuk Indonesia bisa jauh labih baik dari tahun 2016, “ tegasnya.

“Nah untuk barongsai sendiri yang identik dengan binatang Singa, adalah kepercayaan mereka akan binatang singa bisa mengusir keburukan-keburukan, arwah-arwah jahat dan hal-hal yang tidak baik” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Janni Editor: Nuri Hermawan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan film animasi 2 dimensi untuk menyampaikan informasi mengenai persyaratan membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian yang

Berikut adalah peran yang dijalankan oleh Kelompok Tani Manunggal sebagai kelas belajar, sebagai wadah kerjasama dan sebagai unit produksi dalam pengembangan pertanian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Untuk mendeskripsikan sebaran dan kecenderungan penelitian skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi

Kolesisttitis akut adalah suatu reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai dengan keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demama. Kolesistitis kronik

Penurunan luas panen padi ladang lebih banyak disebabkan adanya rasionalisasi anggaran program SLPTT pada akhir tahun 2013 dalam rangka penyediaan benih padi

Penjelasan mengenai batas usia 21 tahun ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental seseorang

Trauma thorax adalah luka atau cedera mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan