• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. METODE PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. METODE PENELITIAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan mengkaji kinerja perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sebelum desentralisasi fiskal tahun 1994 – 2000 dan setelah desentralisasi fiskal tahun 2001 – 2008. Penulis memilih dua lokasi penelitian yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Depok dengan mempertimbangkan beberapa hal: (1) kedua daerah tersebut berasal dari satu daerah yang mengalami pemekaran, yaitu Kabupaten Bogor sebagai daerah induk dan Kota Depok sebagai daerah pemekaran; (2) Kabupaten Bogor dan Kota Depok merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Ibukota negara (DKI Jakarta) yang memiliki kemajuan pembangunan yang sangat pesat. Menurut Armida (2000), daerah kabupaten/kota yang dekat dengan Ibukota cenderung memiliki persentase PAD/Penerimaan Daerah yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lainnya.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis, yaitu data sekunder dan data primer.

4.2.1. Data Sekunder

Data sekunder mencakup indikator makro ekonomi, data sosial, dan data pendukung lainnya yang bersumber dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan instansi lain yang terkait. Jenis dan sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(2)

50

Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian

No. Jenis Data Sumber Data

(1) (2) (3) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Unsur APBD (PAD, DAU, pengeluaran pemerintah, pajak dan retribusi, dana perimbangan, dsb)

PDRB

Jumlah penduduk, Tingkat pengangguran, dan Tingkat Kemiskinan

Upah minimum kabupaten/kota

Fasilitas tempat berobat

Panjang jalan yang rusak

Jumlah murid, jumlah sekolah

BPS

BPS

BPS

Disnaker Kab.Bogor dan Kota Depok

Dinas Kesehatan Kab. Bogor dan Kota Depok

Dinas PU Kab. Bogor dan Kota Depok

Dinas pendidikan Kab. Bogor dan Kota Depok

4.2.2. Data primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui beberapa tahap berikut: 1. Menentukan responden yang akan diwawancarai. Responden terdiri dari

pejabat Pemerintah Daerah dan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok yang terlibat atau mengetahui proses penyusunan dan pengelolaan APBD. Jumlah responden yang menjadi target/obyek penelitian sebanyak 30 orang yang dipilih secara purposive.

2. Menyusun kuesioner. Jenis pertanyaan yang disajikan dalam kuesioner mengacu pada penelitian Yuliyati, 2001. Dalam setiap pertanyaan disediakan alternatif jawaban yang dapat dipilih oleh responden (pertanyaan tertutup). 3. Melakukan wawancara. Untuk responden yang tidak bersedia diwawancara,

(3)

51

4. Pertanyaan yang diajukan terdiiri dari 3 (tiga) bagian: a. keterangan tempat;

b. keterangan (identitas) responden; dan

c. pertanyaan inti mengenai pengelolaan anggaran yang mencakup pertanyaan mengenai disiplin anggaran, prioritas anggaran, efisiensi anggaran, siklus APBD, efektifitas pengelolaan anggaran, partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas.

4.3. Metode Analisis

Untuk menjawab permasalahan yang telah diuraikan pada bab I, penulis menggunakan 3 (tiga) pendekatan metode analisis, yaitu analisis deskriptif, analisis model ekonometrika persamaan simultan, dan analisis statistik non parametrik berupa uji Exact Fisher. Tahapan dalam membangun model perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok dapat diuraikan dalam bagan seperti berikut:

(4)

52

Gambar 11. Tahapan dalam Membangun Model Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok

• UU No, 22/1999 dan UU No. 25/1999 yang diperbaharui dengan UU No 32/2004 dan UU No. 33/2004 • PP No 129/2000 Permasalahan dan Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Analisis Persama-an SimultPersama-an Evaluasi/Estimasi Model Kesimpulan/ Rekomendasi

• Teori Ekonomi dan konsep-konsep yang terkait • Studi terhadap penelitian terdahulu Data perekonomian dan sosial Penentuan Variabel yang relevan Uji Exact Fisher Data primer Penyusunan/ Pengelolaan APBD Keputusan Uji Analisis Deskriptif

(5)

53 4.3.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kinerja ekonomi dan sosial serta potensi daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok sebelum dan setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal. Indikator yang akan digunakan untuk melihat kinerja ekonomi adalah kinerja keuangan daerah (kinerja penerimaan dan kinerja pengeluaran/belanja daerah), rasio keuangan daerah yang terdiri dari rasio kemandirian keuangan daerah (KKD), dan rasio efektifitas keuangan daerah (EKD), derajat desentralisasi fiskal yang terdiri dari derajat kewenangan daerah (authority power) dan derajat kemandirian (autonomy power). Untuk mendukung analisis, hasil wawancara dengan pejabat pemerintah Kabupaten Bogor dan Kota Depok serta tokoh masyarakat lainnya akan diolah hingga menghasilkan tabel-tabel atau gambar-gambar yang dapat menggambarkan apakah Kabupaten Bogor dan Kota Depok telah melakukan penyusunan/pengelolaan anggaran secara optimal dari sisi disiplin, efisiensi, prioritas, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas serta apakah sudah memperhatikan aspirasi masyarakat.

4.3.1.1. Derajat Kewenangan (authority power)

Desentralisasi fiskal terhadap pemerintah daerah, memberikan kewenangan kepada daerah dalam pengambilan keputusan. Dalam mengukur kinerja keuangan daerah, Akai dan Sakata (2005) menyarankan untuk mewakili alokasi kewenangannya menggunakan indikator yang didasarkan pada ukuran relatif penerimaan ataupun pengeluaran. Derajat kewenangan pemerintah daerah diukur menggunakan tiga indikator, yaitu RI (revenue indicator) yang merupakan revenue share, PI (expenditure indicator) yang merupakan expenditure share, dan PRI (Production-Revenue Indicator) merupakan average between revenue and expenditure.

a. Revenue Indicator (RI)

Revenue Indicator (RI) atau indikator penerimaan didefinisikan sebagai rasio antara penerimaan pemerintah daerah dan gabungan penerimaan pemerintah pusat-daerah. Indikator ini dapat memperkirakan alokasi kewenangan bila

(6)

54

pemerintah yang memiliki kewenangan mengumpulkan pendapatan yang terkait dengan pendapatannya sendiri (pajak dikumpulkan dan jenis pengeluaran ditetapkan). Penghitungan share penerimaan dilakukan dengan menggunakan penerimaan pemerintah termasuk bantuan dari pemerintah lain.

b. Production Indicator (PI)

Production Indicator (PI) atau indikator produksi didefinisikan sebagai rasio antara pengeluaran pemerintah daerah dan gabungan dari pengeluaran pemerintah pusat-daerah. Indikator ini dapat memperkirakan alokasi kewenangan bila pemerintah daerah memiliki kewenangan yang berkaitan dengan pengeluaran. Penghitungan share pengeluaran dilakukan dengan menggunakan pengeluaran pemerintah termasuk bantuan dari pemerintah lain.

c. Production-Revenue Indicator (PRI)

Production-Revenue Indicator (PRI) merupakan kombinasi dari indikator penerimaan dan indikator pengeluaran. PRI mewakili ukuran desentralisasi yang mencakup share penerimaan dan pengeluaran. Indikator ini juga merupakan indikator normalisasi yang didefinisikan sebagai rata-rata antara RI dan PI. PRI dapat dirumuskan sebagai berikut:

……….……….…...…….. (13)

4.3.1.2. Derajat Kemandirian (autonomy power)

Otonomi (kemandirian) pemerintah daerah dapat dikatakan tinggi jika seluruh kebutuhan fiskal didanai oleh pemerintah daerah itu sendiri. Oleh karena itu, digunakan indikator yang dapat mewakili otonomi/ kemandirian. Indikator ini disebut AI (autonomy indicator). AI dapat didefinisikan sebagai rasio penerimaan sendiri pemerintah daerah (PAD) terhadap total penerimaan. Jika nilai AI kecil, pemerintah daerah akan memperoleh bantuan yang semakin besar dari pemerintah

(7)

55

pusat, sebaliknya jika nilai AI besar, pemerintah daerah akan memperoleh bantuan yang semakin kecil dari pemerintah pusat.

4.3.1.3. Rasio Keuangan Daerah

Beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah, yaitu rasio kemandirian keuangan (otonomi fiskal), rasio efektifitas terhadap pendapatan asli daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian, rasio pertumbuhan (analisis shift), rasio proporsi pendapatan dan belanja daerah (analisis share). Dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan rasio kemandirian keuangan daerah (KKD) dan rasio efektifitas keuangan daerah (EKD).

a. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (KKD)

Rasio kemandirian keuangan daerah (KKD) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Menurut Halim, 2002, rasio KKD dapat diformulasikan sebagai berikut:

Berdasarkan formula diatas dapat diketahui bahwa rasio KKD menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio KKD berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD

Pendapatan Asli Daerah

Rasio KKD = X 100% ……... (14) Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi/Pinjaman

(8)

56

Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai berikut:

1. Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial).

2. Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.

3. Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat.

4. Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah pusat siap dan dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.

Pola hubungan pemerintah pusat-daerah berdasarkan rasio kemandirian keuangan daerah dapat dikelompokkan sebagai berikut:

Tabel 3. Kemampuan Keuangan Daerah, Rasio KKD, dan Pola Hubungan Pemerintah Pusat-Daerah

Kemampuan

Keuangan Daerah Rasio KKD (%)

Pola Hubunggan

(1) (2) (3)

Rendah Sekali 0 – 25 Instruktif

Rendah > 25 – 50 Konsultatif

Sedang > 50 – 75 Partisipatif

(9)

57

b. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah (EKD)

Rasio efektifitas keuangan daerah otonom (EKD) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2002:128). Rasio EKD dapat diformulasikan sebagai berikut:

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100 persen, semakin tinggi rasio efektifitas ini menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri No.690.900-327 Tahun 1996 mengkategorikan kemampuan efektifitas keuangan daerah otonom kedalam lima tingkatan sebagai berikut:

Tabel 4. Kemampuan dan Rasio EKD

Kemampuan EKD EKD (%) Rasio

(1) (2) Sangat Efektif > 100 Efektif > 90 – 100 Cukup Efektif > 80 – 90 Kurang Efektif > 60 – 80 Tidak Efektif ≤ 60

c. Trend Kemandirian dan Efektifitas Keuangan Daerah Otonom

Kecenderungan kemandirian dan efektifitas keuangan daerah otonom penting dinilai untuk mengetahui arah perkembangan kedua dimensi keuangan ini. Suatu daerah otonom kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu barangkali belum dapat memenuhi kemandirian dan efektifitas keuangannya, tetapi dengan melihat

Realisasi Pendapatan Asli Daerah

Rasio KKD = X 100% … (15) Target PAD yg Ditetapkan Berdasarkan Potensi Riil Daerah

(10)

58

trend positif dari kedua dimensi keuangan tersebut diperoleh keyakinan, walaupun lambat ada peluang akan menuju kemandirian dan efektifitas keuangan yang ideal.

Amin (2000) menyatakan bahwa persentase trend digunakan apabila ingin melihat perkembangan suatu perusahaan. Dalam menghitung persentase digunakan salah satu tahun sebagai tahun dasar. Trend kemandirian dan efektifitas keuangan dapat diformulasikan sebagai berikut.

4.3.2. Analisis Model Ekonometrika Persamaan Simultan

Dalam penelitian ini, akan dikaji kondisi perekonomian dan kesejahteraan di Kabupaten Bogor dan Kota Depok. Kondisi perekonomian dicerminkan melalui PDRB per Kapita (PDRBK) dan pengeluaran pemerintah untuk belanja modal (BM), sedangkan kesejahteraan masyarakat digambarkan melalui tingkat pengangguran (PENGG), dan tingkat kemiskinan (MSKN). Kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok memiliki keterkaitan yang sangat erat sehingga dapat diformulasikan dalam model persamaan simultan. Jika perekonomian daerah meningkat, dalam arti PDRBK meningkat dan belanja modal meningkat akan berakibat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, antara lain tingkat pengangguran dan kemiskinan menurun. Untuk keperluan analisis yang lebih rinci terhadap kondisi perekonomian dan kesejahteraan sebelum dan setelah diberlakukannya desentralisasi fiskal, maka dibangun empat persamaan struktural (PDRBK, BM, PENGG, dan MSKN) yang saling terkait dalam sistem persamaam simultan. Keterkaitan variabel-variabel ekonomi dan sosial dalam persamaan simultan dapat dilihat pada Gambar 12 berikut:

KKD pada t0+1 Trend KKD = X 100% ……….…... (16) KKD pada t0 EKD pada t0+1 Trend EKD = X 100% ……….……….…... (17) EKD pada t0

(11)

59

Keterangan:

: Variabel Eksogen

: Variabel Endogen

Gambar 12. Bagan Alir Model Persamaan Simultan Dampak Desentralisasi Fiskal dan Pemekaran Wilayah terhadap Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan Depok

4.3.2.1. Model Dugaan PDRB per Kapita (PDRBK)

Output tumbuh melalui kenaikan input dan melalui kenaikan produktifitas yang terjadi sebagai akibat perbaikan dalam teknologi dan peningkatan kemampuan angkatan kerja (Dornbush, 2001). Semakin tinggi teknologi, maka semakin besar output yang dihasilkan dan semakin meningkatnya kemampuan tenaga kerja juga akan meningkatkan output. PDRB (output) per Kapita merupakan rasio PDRB (output) terhadap jumlah penduduk sehingga persamaan

POPT

RMS

FTB

PJJLR

INF

D

LPE

INV

DF

BM

PDRBK

PENGG

MSKN

POP

PAD

DAU

UMK

E

K

O

N

O

M

I

S

O

S

I

A

L

(12)

60

PDRBK dalam penelitian ini diduga dipengaruhi oleh PBM dan jumlah penduduk terdidik (POPT). Penerimaan daerah (APBD) sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita, peningkatan APBD akan membuat aktifitas ekonomi tumbuh, selanjutnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan menyebabkan PDRBK meningkat. Berdasarkan alasan tersebut, diduga variabel penjelas BM, APBD, POPT diduga akan mempengaruhi PDRBK. Variabel BM, APBD, POPT, dummy desentralisasi fiskal (DF) dan variabel dummy daerah (D) diduga akan berpengaruh positif terhadap PDRBK. Untuk melihat kemungkinan adanya pengaruh interaksi di dalam persamaan dugaan yang dibentuk, maka dimasukkan variabel interaksi antara APBD dan D kedalam persamaan. Berdasarkan uraian diatas maka model dugaan persamaan PDRBK yang dibangun adalah sebagai berikut:

PDRBKt = β0 + β1BMt + β2APBDt + β3POPT + β4APBDVSDt + β5DFt (+) (+) (+) (+) (+)

+ β6Dt + µt ... (18) (+)

PDRBK = PDRB per Kapita (Ribu Rp)

PBM = Porsi Pengeluaran pemerintah daerah untuk belanja modal (%) APBD = Penerimaan Pemerintah Daerah dari dana APBD (Ribu Rp) POP = Jumlah penduduk (Orang)

POPT = Jumlah penduduk terdidik yang merupakan jumlah penduduk berpendidikan SMA keatas (Orang)

APBDVSD = Interaksi antara variabel APBD dan dummy Daerah DF = Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal

= 1, setelah diberlakukannya UU No. 25/1999 (2001 – 2008) = 0, sebelum diberlakukannya UU No. 25/1999 (1994, 2000)

D = Variabel Dummy Daerah

= 1, Kabupaten Bogor (daerah induk) = 0. Kota Depok (daerah pemekaran)

(13)

61

4.3.2.2. Model Dugaan Porsi Pengeluaran Pemerintah untuk Belanja Modal (PBM)

Dengan diberlakukannya otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengoptimalkan pendapatannya, khususnya pendapatan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan PAD dapat digunakan pemerintah daerah untuk meningkatkan belanja modalnya. Selain karena peningkatan PAD, hal lain yang dapat menyebabkan peningkatan belanja modal pemerintah adalah kondisi fasilitas layanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Perbaikan/penambahan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur akan menyebabkan meningkatnya belanja modal. Atas dasar alasan tersebut penelitian ini akan mengkaji perkembangan porsi belanja modal pemerintah daerah Kabupaten Bogor dan Kota Depok (PBM) berdasarkan porsi PAD, kondisi fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur di Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

Porsi PPAD, fasilitas pendidikan yang diwakili oleh variabel rasio jumlah murid terhadap jumlah sekolah SD dan SMP (RMS), fasilitas kesehatan yang digambarkan melalui rasio jumlah penduduk terhadap jumlah fasilitas tempat berobat berupa rumah sakit dan puskesmas (RFTB), dan fasilitas infrastruktur yang digambarkan oleh persentase panjang jalan yang rusak (PJJLR) diduga akan berpengaruh secara positif terhadap PBM. Variabel dummy DF diharapkan berpengaruh positif terhadap PBM, sedangkan variabel dummy D diharapkan berpengaruh negatif terhadap PBM. Artinya, sebagai daerah yang baru terbentuk tentunya Kota Depok perlu mengalokasikan belanja modal dengan porsi yang lebih besar untuk membangun fasilitas layanan publik agar masyarakat Kota Depok memiliki kemudahan akses terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya. Model dugaan persamaan PBM dapat diuraikan sebagai berikut:

PBM t = β0 + β1 PPADt + β2RMSt + β3FTBt + β4 PJJLRt + β5 DFt + β6 Dt (+) (+) (+) (+) (+) (-) + µt ... (19)

(14)

62

PBM = Porsi pengeluaran pemerintah untuk belanja modal (%) PPAD = Porsi Penerimaan Daerah dari PAD (%)

RMS = Rasio antara jumlah murid dan jumlah sekolah SD dan SMP (Orang/Sekolah)

RFTB = Rasio jumah Penduduk dan Fasilitas tempat berobat berupa rumah sakit dan puskesmas (Orang/Unit)

PJJLR = Persentase Panjang jalan yang rusak terhadap total panjang jalan (%) DF = Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal

= 1, setelah diberlakukannya UU No. 25/1999 (2001 – 2008) = 0, sebelum diberlakukannya UU No. 25/1999 (1994, 2000) D = Variabel Dummy Daerah

= 1, Kabupaten Bogor (daerah induk) = 0. Kota Depok (daerah pemekaran) t = tahun

4.3.2.3. Model Dugaan Persamaan Tingkat Pengangguran (PENGG)

Tenaga kerja merupakan salah satu input dalam proses produksi. Jika permintaan output bertambah, maka perusahaan harus menambah produksinya. Untuk menambah produksi diperlukan penambahan atau peningkatan barang-barang investasi. Penambahan atau peningkatan investasi akan menambah kesempatan kerja baru sehingga jumlah pengangguran akan berkurang. Disamping itu laju pertumbuhan ekonomi (LPE) merupakan refleksi nilai tambah yang meningkat dan juga akan memperluas kesempatan kerja sehingga berakibat pada menurunnya tingkat pengangguran. Variabel LPE diharapkan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran.

Sebagaimana Kurva Phillips yang menggambarkan hubungan terbalik (tradeoff) antara tingkat pengangguran dan tingkat inflasi, tingkat inflasi (INF) dalam penelitian ini digunakan sebagai variabel penjelas terhadap tingkat pengangguran. Inflasi (pertumbuhan) upah minimum kabupaten/kota (PUMK) juga dijadikan sebagai variabel penjelas terhadap tingkat pengangguran. Kurva

(15)

63

Phillips menunjukkan tingkat inflasi upah menurun sejalan dengan kenaikan tingkat pengangguran.

Jumlah penduduk (POP) diduga juga berpengaruh terhadap tingkat pengangguran. Semakin banyak jumlah penduduk akan menyebabkan semakin banyak tenaga kerja yang tidak terserap dalam lapangan kerja, akibatnya jumlah pengangguran akan meningkat. Dengan demikian POP diduga berpengaruh positif terhadap tingkat pengangguran. Variabel dummy DF dan D diduga akan berpengaruh negatif terhadap tingkat pengangguran, artinya tingkat pengangguran diharapkan akan semakin menurun setelah desentralisasi fiskal diberlakukan dan diduga kondisi tingkat pengangguran di Kota Depok lebih buruk dibandingkan dengan Kabupaten Bogor karena dalam waktu kurang dari sepuluh tahun tentunya Kota Depok belum dapat menurunkan tingkat penganggutan secara signifikan karena pengangguran merupakan masalah yang cukup sulit dan kompleks untuk diatasi. Model Dugaan Tingkat Pengangguran adalah sebagai berikut:

PENGGt = β0 + β1LPEt + β2INFt + β3PUMKt + β4POPt + β5DFt + β6Dt (-) (+) (-) (+) (-) (-)

+ µt ... (20)

PENGG = Tingkat pengangguran (%) LPE = Laju pertumbuhan ekonomi (%) INF = Tingkat Inflasi (%)

PUMK = Pertumbuhan Upah Minimum Kabupaten/Kota (%) POP = Jumlah penduduk (Orang)

DF = Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal

= 1, setelah diberlakukannya UU No. 25/1999 (2001 – 2008) = 0, sebelum diberlakukannya UU No. 25/1999 (1994 - 2000) D = Variabel Dummy Daerah

= 1, Kabupaten Bogor (daerah induk) = 0. Kota Depok (daerah pemekaran)

(16)

64

4.3.2.4. Model Dugaan Persamaan Tingkat Kemiskinan (MSKN)

Deaton dalam penelitiannya tentang pengukuran kemiskinan tahun 2003 menyatakan “Ketika terjadi pertumbuhan ekonomi, dalam arti peningkatan konsumsi rata-rata dan rata-rata pendapatan, apa yang terjadi pada kemiskinan bergantung pada apa yang terjadi pada distribusi pendapatan dan konsumsi. Jika pendapatan setiap orang tumbuh bersama, maka pertumbuhan tersebut akan berakibat pada penurunan kemiskinan”.

Kaitan dengan kesejahteraan, perkembangan kualitas layanan publik dasar, yakni pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dianggap akan memiliki pengaruh kuat terhadap tingkat kemiskinan di dalam masyarakat (Von Braun, 2002). Upah dan tingkat inflasi juga diduga sangat berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Peningkatan upah yang diterima masyarakat akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga masyarakat yang pada awalnya tergolong miskin akan meningkat taraf hidupnya, akibatnya tingkat kemiskinan akan menurun. Sebaliknya, jika terjadi kenaikan tingkat inflasi daya beli masyarakat menjadi rendah sehingga akan muncul orang-orang miskin baru, akibatnya tingkat kemiskinan akan meningkat.

Dengan alasan tersebut, maka diduga variabel PDRBK, upah minimum kabupaten/kota (UMK), dan tingkat inflasi (INF) akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Variabel PDRBK dan UMK diharapkan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan bariabel INF diduga akan berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan. Variabel dummy DF diduga akan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, artinya kondisi tingkat kemiskinan diharapkan akan lebih baik (menurun) setelah desentralisasi fiskal diberlakukan. Variabel dummy D diduga berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan, artinya tingkat kemiskinan di Kota Depok diduga lebih baik dibandingkan Kabupaten Bogor. Tingkat kemiskinan beserta variabel-variabel penjelasnya dapat diformulasikan sebagai berikut:

MSKN = β0 + β1PDRBKt + β2UMKt + β3INFt + β4DFt + β5Dt + µt ………. (21) (-) (-) (+) (-) (+)

(17)

65 PDRBK = PDRB per Kapita (Ribu Rp)

UMK = Upah minimum kabupaten/kota (Rupiah) INF = Tingkat inflasi (%)

DF = Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal

= 1, setelah diberlakukannya UU No. 25/1999 (2001 – 2008) = 0, sebelum diberlakukannya UU No. 25/1999 (1994, 2000)

D = Variabel Dummy Daerah

= 1, Kabupaten Bogor (daerah induk) = 0. Kota Depok (daerah pemekaran) t = tahun

a. Hipotesis Umum

Desentralisasi fiskal dan pemekaran wilayah serta faktor-faktor lainnya berpengaruh terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Bogor dan Kota Depok.

b. Hipotesis Khusus

Untuk mendukung hipotesis umum, maka dibangun hipotesis khusus sebagai berikut:

1. PDRB per Kapita (PDRBK) di Kabupaten Bogor dan Kota Depok dipengaruhi oleh belanja modal (BM), APBD, jumlah penduduk berpendidikan SMA keatas (POPT), variabel dummy desentralisasi fiskal (DF), dan variabel dummy daerah (D). Variabel BM, APBD, POPT, DF, dan D diduga berdampak positif terhadap PDRBK.

2. Porsi pengeluaran pemerintah untuk belanja modal (PBM) dipengaruhi oleh porsi PAD (PPAD), rasio jumlah murid terhadap jumlah sekolah SD dan SMP (RMS), fasilitas tempat berobat (FTB), panjang jalan yang rusak (PJJLR), dummy desentralisasi fiskal (DF), dan dummy daerah (D). Variabel PPAD, RMS, FTB, PJJLR, dan DF diduga berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah, sedangkan variabel D diduga berpengaruh negatif terhadap BM.

(18)

66

3. Tingkat pengangguran (PENGG) dipengaruhi oleh laju pertumbuhan ekonomi (LPE), tingkat inflasi (INF), pertumbuhan upah minimum kabupaten/kota (PUMK) jumlah penduduk (POP), dummy desentralisasi fiskal (DF), dan dummy daerah (D). Variabel LPE, PUMK, DF, dan D diduga berpengaruh negatif terhadap PENGG, sedangkan INF dan POP diduga berpengaruh positif terhadap PENGG.

4. Tingkat kemiskinan (MSKN) dipengaruhi oleh PDRBK, upah minimum kabupaten/kota (UMK), tingkat inflasi (INF), dummy desentralisasi fiskal (DF), dan dummy daerah (D). Variabel LPE, UMK, dan DF diduga berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan, sedangkan INF dan D diduga berpengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan.

4.3.3. Identifikasi Model Persamaan Simultan

Variabel-variabel yang digunakan dalam model persamaan simultan digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu :

(1). Endogenous variable, yaitu variabel-variabel yang nilainya ditentukan dalam model,

(2). Predetermined variable, yaitu variabel yang nilainya ditentukan di luar model.

Sebelum melakukan pendugaan terhadap model persamaan simultan, perlu dilakukan terlebih dahulu identifikasi terhadap model tersebut untuk mengetahui apakah model tersebut dapat diduga atau tidak. Setelah melakukan identifikasi model, maka dapat ditentukan metode estimasi yang akan digunakan dalam mengestimasi model. Untuk dapat diidentifikasi, maka harus dipenuhi kondisi berikut (yang dikenal sebagai order condition) :

1

K

M

≥ −

G

... (22)

• K = jumlah variabel yang terdapat dalam model (meliputi variabel endogen, variabel eksogen, dan variabel pre-determined ).

• M = jumlah variabel eksogen dan endogen yang dimasukkan dalam suatu persamaan tertentu dalam model.

(19)

67

• G = total persamaan (total variabel endogen).

Jika K-M sama dengan G-1 maka suatu persamaan di dalam model dikatakan teridentifikasi secara tepat (exactly identified). Jika K-M lebih kecil dari G-1, maka persamaan tersebut dikatakan tidak teridentifikasi (under identified). Jika K-M lebih besar dari G-1 maka persamaan tersebut dikatakan teridentifikasi berlebih (over identified).

(1). Exactly identified : jika (K - M) = (G - 1), (2). Unidentified : jika (K - M) < (G - 1), (3). Over identified : jika (K - M) > (G - 1).

Model ekonomi yang dibangun dalam penelitian ini terdiri dari 4 (empat) persamaan struktural sehingga variabel endogen berjumlah empat (G = 4) dan variabel eksogen berjumlah 15 (M = 15), sehingga total variabel yang terdapat dalam model adalah 19 (K = 19). Suatu model persamaan simultan yang berada dalam kondisi exactly identified, metode pendugaan yang tepat untuk digunakan adalah Indirect Least Square (ILS). Model persamaan simultan dikatakan over identified jika diperoleh dugaan parameter model struktural yang tidak khas (lebih dari satu nilai) dari model reduced form. Model persamaan simultan yang berada dalam kondisi over identified, metode pendugaan yang digunakan adalah Two Stage Least Square (2SLS). Metode 2SLS dapat juga ditertapkan pada kasus exactly identified. Metode OLS tidak disarankan untuk menduga sistem persamaan simultan karena jika dipaksakan, metode OLS dalam sistem persamaan simultan akan menghasilkan dugaan yang bias dan tidak konsisten.

Berdasarkan rumus identifikasi model di atas, setiap persamaan yang terdapat dalam penelitian ini termasuk dalam kategori over identified. Karena seluruh model dugaan tersebut termasuk ke dalam kategori over identified, maka pendugaan parameter dilakukan dengan metode 2SLS.

(20)

68

Tabel 5. Identifikasi Model Persamaan Simultan

Model Persamaan K M G K-M G-1 Kategori

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

PDRB per Kapita Porsi Belanja Modal Tingkat Pengangguran Tingkat Kemiskinan 19 19 19 19 6 6 6 5 4 4 4 4 13 13 13 14 3 3 3 3 Over identified Over identified Over identified Over identified

4.3.2. Analisis Statistik Non Parametrik Uji Exact Fisher

Uji statistik non parametrik digunakan untuk data yang tidak memenuhi syarat pada uji parametrik, seperti data dalam skala rasio atau interval, jumlah sampel relatif besar dan menyebar mengikuti distribusi normal. Uji statistik non parametrik Exact Fisher dapat digunakan untuk data yang berskala nominal dan ordinal, selain itu Uji Exact Fisher dapat digunakan untuk menganalisis data yang jumlahnya relatif sedikit (kurang dari 20). Tahapan dalam melakukan uji Exact Fisher:

1. Mengelompokkan data menurut kabupaten/kota.

2. Melakukan entry data menggunakan lembar kerja yang dibuat dengan paket program Microsoft Excel.

3. Membentuk beberapa tabel kontingensi 2 X 2 sesuai kebutuhan. Bentuk tabel kontingensi 2 X 2:

Tabel 6. Tabel Kontingensi 2 x 2

Kondisi Obyek1 Obyek2 Total

Kondisi1 a b a + b

Kondisi2 c d c + d

(21)

69

4. Mengolah tabel kontingensi 2 X 2 dengan uji Exact Fisher dengan rumus peluang sebagai berikut:

p menyebar mengikuti distribusi hipergeometrik.

a. Hipotesis Umum

Penyusunan dan pengelolaan APBD (dalam penerapan disiplin, prioritas, efisiensi, siklus, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas serta peran serta masyarakat) di Kabupaten Bogor sama saja dengan Kota Depok.

b. Hipotesis Khusus

1. Disiplin dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

2. Prioritas dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

3. Efisiensi dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

4. Sklus dalam penyusunan APBD Kabupaten Bogor sama saja dengan Kota Depok.

5. Efektifitas dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

6. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

7. Transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran Kabupaten Bogor sama dengan Kota Depok.

(22)

70 4.4. Definisi Operasional

Definisi operasional dari setiap variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah nilai barang dan jasa final

(untuk tujuan konsumsi) yang diproduksi oleh seluruh kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada suatu periode waktu tertentu.

2. PDRB per Kapita (PDRBK) adalah PDRB dibagi dengan jumlah penduduk. 3. Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) atau laju pertumbuhan PDRB adalah

pertumbuhan PDRB tahun tertentu terhadap tahun sebelumnya yang dinyatakan dalam persentase.

4. Belanja Modal (BM) adalah pengeluaran pemerintah daerah untuk pembelian/pengadaan atau pembangunan asset tetap berwujud yang nilai manfaatnya lebih dari satu tahun dan atau pemakaian jasa dalam melakukan program dan kegiatan pemerintah daerah. Karena adanya perbedaan kuesioner yang digunakan dalam pelaporan APBD, untuk tahun 1994 sampai dengan 2002 belanja modal didefinisikan sebagai belanja pembangunan yaitu belanja yang terkait dengan program dan kegiatan.

5. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah guna keperluan daerah yang bersangkutan dalam membiayai kegiatannya. PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

6. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah transfer dana dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang dimaksudkan untuk menutup kesenjangan fiskal (fiscal gap) dan pemerataan kemampuan fiskal antar daerah dalam rangka membantu kemandirian pemerintah daerah menjalankan fungsi dan tugasnya melayani masyarakat.

7. Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah penerimaan daerah yang berasal dari bagi hasil pajak (pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, pajak penghasilan, dan lain-lain) dan bagi hasil bukan pajak (iuran hak pengusahaan hutan, pemberian hak atas tanah negara, iuran eksplorasi/eksploitasi/royalti, pungutan pengusahaan perikanan dan hasil perikanan, hasil pertambangan minyak bumi/gas alam, dan lain-lain).

(23)

71

8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu daftar sistematis yang dirinci tentang penerimaan dan pengeluaran atau pembelanjaan daerah dalam jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun). Dari sisi penerimaan APBD terdiri atas sumber penerimaan dari PAD, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah.

9. Investasi merupakan nilai pembentukan modal tetap bruto yang diperolah dari PDRB menurut penggunaan.

10. Rasio murid terhadap jumlah sekolah SD dan SMP (RMS) adalah jumlah murid yang sedang bersekolah SD dan SMP dibagi dengan jumlah gedung/sekolah SD dan SMP.

11. Fasilitas tempat berobat (FTB) adalah jumlah rumah sakit dan puskesmas, termasuk puskesmas pembantu yang dibangun oleh pemerintah.

12. Persentase panjang jalan yang rusak (PJJLR) adalah panjang jalan yang kondisinya rusak, baik rusak ringan maupun rusak berat yang berakibat mengganggu akses masyarakat ke berbagai tujuan.

13. Upah minimum kabupaten/kota (UPAH) adalah upah minimum pekerja di kabupaten/kota yang ditentukan berdasarkan SK Gubernur atau SK Bupati/Walikota.

14. Jumlah penduduk (POP) adalah jumlah seluruh penduduk mulai usia nol pada waktu tertentu. Biasanya jumlah penduduk dihitung pada pertengahan tahun. 15. Jumlah penduduk terdidik (POPT) adalah jumlah penduduk berpendidikan

SMA keatas pada waktu tertentu.

16. Tenaga kerja (manpower) adalah seluruh penduduk yang berada dalam usia kerja (berusia 15 tahun atau lebih) yang potensial dapat memproduksi barang dan jasa.

17. Pengangguran Terbuka (PENGG) merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja.

(24)

72

18. Tingkat kemiskinan (MSKN) adalah persentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan atau dibawah rata-rata kebutuhan dasar minimum. 19. Variabel dummy desentralisasi fiskal (DF) didefinisikan 1 untuk masa setelah

desentalisasi fiskal (2001 – 2008) dan 0 untuk masa sebelum desentralisasi fiskal (1994 – 2000).

20. Variabel dummy daerah (D) didefinisikan 1 untuk Kabupaten Bogor (daerah induk) dan 0 untuk Kota Depok (daerah pemekaran).

Gambar

Tabel 2. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian
Gambar 11.  Tahapan dalam Membangun Model Perekonomian dan   Kesejahteraan Masyarakat di Kabupaten Bogor dan   Kota Depok
Tabel 3.  Kemampuan Keuangan Daerah, Rasio KKD, dan Pola Hubungan  Pemerintah Pusat-Daerah
Tabel 4.  Kemampuan dan Rasio EKD
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sumber daya manusia, kesiapan fasilitas dan fasilitas dukungan terhadap penggunaan

Prospek senyawa tetrapirol sebagai bahan baku obat menguraikan sebagian penelitian yang telah dilakukan di KK Farmakokimia, mencakup kajian porfirin dan turunan klorofil

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena rahmat-Nyalah maka Buku Pintar Bhabinkamtibmas ini dapat disusun dan didistribusikan kepada para

Dengan model RKE, perbedaan hasil simulasi numerik dengan hasil eksperimen untuk kenaikan temperatur udara yang mengalir dalam saluran berpenampang segitiga mencapai 15.56%

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian mengenai hubungan antara dukungan keluarga emosional dengan perilaku miras pada remaja, yang menunjukkan hasil bahwa 79,4% remaja

Masyarakat Asli Papua Khususnya masyarakat Port Numbay Kampung Enggros sebelum melakukan pengelolaan sumber daya alam maka yang paling penting adalah mengenai tentang

Melalui penerapan Model TIL (The Information Literacy) Tipe The Big6 dalam proses pembelajaran diharapkan dapat menciptakan indonesia sebagai negara yang minat dan

Ibu yang me- lakukan IMD namun terjadi keterlambatan onset laktasi dari hasil observasi selama pe- nelitian didapatkan 2 responden (3,5%), diketahui pada ibu yang mempunyai puting