• Tidak ada hasil yang ditemukan

VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) : PENYAKIT BARU PADA TANAMAN KAKAO DI SULAWESI Ade Rosmana Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) : PENYAKIT BARU PADA TANAMAN KAKAO DI SULAWESI Ade Rosmana Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) : PENYAKIT BARU PADA

TANAMAN KAKAO DI SULAWESI

Ade Rosmana

Fakultas Pertanian dan Kehutanan, Universitas Hasanuddin

ABSTRAK

Penyakit vascular streak dieback (VSD) merupakan penyakit relative baru di Sulawesi dan saat ini sudah meluas ke sejumlah daerah sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 2002 di Polmas dan Pinrang. Kerugian hasil akibat penyakit ini di Sulawesi belum banyak diteliti, namun tampaknya akan lebih besar bila dibandingkan dengan serangan penggerek buah kakao yang saat ini sudah terdistribusi secara luas, karena penyakit ini menyebabkan penggundulan tanaman. Usaha-usaha pengendalian harus segera dilakukan agar kerugian yang lebih besar dapat dihindari. Pengaturan tanaman penutup merupakan salah satu cara yang baik untuk mengurungi perkembangan penyakit. Selain itu usaha mencari tanaman resisten terhadap penyakit ini harus segera dilakukan, misal dengan cara menseleksi di daerah terserang VSD. Penginfusan dengan menggunakan fungisida telah dicoba dan berhasil dalam menurunkan serangan oleh penyakit VSD, dengan demikian berprospek untuk digunakan dalam skala yang lebih luas.

Kata kunci : VCD, penyakit baru, tanananaman kakao

PENDAHULUAN

Kakao

merupakan

tanaman

penting dan

sumber pendapatan bagi

kira-kira

400.000

keluarga

petani

di

Indonesia. Dengan produksi yang tercatat

sampai tahun 2000 yaitu sekitar 190 mt,

Indonesia menempati posisi ke tiga dunia

sebagai produser kakao setelah Pantai

Gading dan Gana. Delapan puluh lima

persen dari produksi ini

berasal dari

Sulawesi yang dihasilkan dari 500.000 ha

pertanaman kakao (van Grinsven, 2003).

Hal

ini

menunjukkan

bahwa

perkem-bangan kakao di Sulawesi memegang

peranan penting dalam perkembangan

perkakaon di Indonesia.

Produktivitas kakao di Sulawesi

mencapai 1300 – 1500 kg biji kakao kering

per hektar, namun selama 5 tahun terahir,

produktivitas ini menurun sampai di bawah

1000 kg biji kering per hektar (Manwan

et

al.

, 2000; van Grinsven, 2003). Banyak

faktor yang menyebabkan menurunnya

produktivitas

ini,

di

antaranya

adalah

masalah budidaya yang kurang intensif,

penurunan

vigor

tanaman

karena

penuaan,

serta

hama

dan

penyakit

tanaman. Hama dan penyakit memegang

peranan

penting

dalam

penurunan

produktivitas tersebut di atas sebagai

berikut : a)

penyakit busuk buah kakao

(

Phytophthora

palmivora

)

yang

kebe-radaannya sudah sejak lama diketahui.

Menurut pengamatan bulan April 2005 di

Pinrang, kehilangan hasil akibat penyakit

ini dapat mecapai 55% berat biji kakao

kering, b) hama penggerek buah kakao

(

Conopomorpha cramerella

) yang

diketa-hui pertama kali di Sulawesi pada tahun

1991. Penyakit ini sudah menyebar secara

merata di seluruh Sulawesi dan diketahui

dapat menurunkan produksi antara 25%

sampai

40%

(Manwan

et

al

.,

2000;

Sulistiowaty, 2002; van Grinsven, 2003;

Jaax, 2003), c) penyakit vascular streak

dieback (

Oncobasidium theobromae

) yang

pertama kali ditemukan pada tahun 2002

di daerah Polmas dan Pinrang. Karena

penyakit ini relative baru di Sulawesi, data

mengenai dampak ekonomi dari serangan

penyakit

ini

masih

belum

banyak

dikemukakan.

Seperti diuraikan di atas bahwa

organisme pengganggu tanaman kakao

tersebut adalah masih relatif baru di

Sulawesi maka bahasan makalah ini akan

(2)

ditujukan pada OPT ini. Diharapkan tulisan

ini dapat memberikan masukan penting

dalam

usaha

menanggulangi

penyakit

tersebut.

PENYEBARAN DAN DAMPAK

VASCULAR STREAK DIEBACK PADA

PRODUKSI KAKAO

Penyakit VSD hanya tersebar di

daerah Asia-Oseania, pertama ditemukan

pada akhir tahun 1930 an di Papua New

Guinea. Kemudian penyakit ini menyebar

ke negara Asia lainya dan sekarang

terdapat di India Selatan, Pulau

Hainan-Cina, Burma, Thailand, Malaysia, Filipina,

Indonesia, dan sejumlah pulau di Oseania

(Wood dan Lass, 1985; Keane and Prior,

1991).

Di Sulawesi, penyakit VSD pertama

kali ditemukan di Kolaka pada tahun 1989

(Susilo, komunikasi

pribadi), kemudian

pada tahun 2002 ditemukan di

Polmas-Pinrang dan sekarang tahun 2005 telah

menyebar ke Luwu Utara, Luwu, Sidrap,

Wajo,

Soppeng,

Bone,

Maros,

dan

Pangkep dengan total areal terserang

sekitar 34.000 ha (Data Dinas Perkebunan

Sulawesi Selatan)

Kehilangan hasil akibat serangan

VSD untuk Asia-Oseania pada tahun 2001

ditaksir mencapai 30 000 ton biji kering

yang setara dengan US $ 20 000 000

(Bowers

et

al.,

2001).

Di

Sulawesi

kehilangan hasil oleh VSD belum banyak

dianalisis, namun dari pengamatan di

lapangan banyak tanaman menjadi gundul

dan berakibat pada sedikitnya buah yang

diproduksi. Penyakit ini nampaknya lebih

berbahaya

bila

dibandingkan

dengan

serangan penggerek buah kakao, karena

serangan

VSD

akan

memperlemah

tanaman yang berakibat tidak hanya pada

penurunan produksi tanaman, tetapi juga

secara

perlahan

dapat

membunuh

tanaman secara keseluruhan.

EKOSISTEM TANAMAN KAKAO

DI SULAWESI

Kakao pertama kali dibudidayakan

di Sulawesi yaitu pada awal abad ke 19 di

Minahasa, namun pada pertengahan abad

19 produksinya secara bertahap menurun

akibat serangan hama penggerek buah

kakao dan hama penghisap buah kakao

(Wardoyo, 1980). Setelah sekian lama,

tanaman

kakao

mulai

dibudidayakan

kembali di daerah Sulawesi lainya pada

akhir

tahun

1970an.

Tanaman

kakao

dikembangkan oleh petani pada

lahan-lahan

yang

telah

ditanami

dengan

tanaman

lain

seperti

kelapa,

durian,

sengon, langsat, dan tanaman hutan.

Dengan

demikian

tanaman

kakao

berkembang pada kondisi tertutup, dan

ditambah lagi dengan

naungan kanopi

kakao menyebabkan mudah

berkembang-nya

organisme

pengganggu

tanaman

(OPT) seperti

Oncobasidium theobromae

.

Tanaman

penutup

ini

berakibat

pada

berkurangnya pergerakan udara,

mengu-rangi

masuknya

sinar

matahari,

dan

meningkatkan kelembaban udara. Sistem

zero shading telah dilakukan di Sabah

Malaysia,

namun

ini

dapat

menekan

perkembangan OPT pada lahan dengan

kondisi yang superior. Sedangkan pada

lahan marginal, zero shading

menyebab-kan tanaman menjadi rentan terhadap

mati

ranting,

karena

terkena

secara

langsung

oleh

sinar

matahari

(Chok,

2004). Hal yang sama diamati di Sulawesi,

zero shading bisa dilakukakan pada lahan

yang kandungan air tanahnya memadai

sepanjang tahun, sedangkan pada lahan

dengan kadar air yang kurang memadai

tanaman kakao akan mati terutama di

musim

kemarau

sebagai

akibat

penguapan dan intensitas sinar matahari

yang tinggi. Oleh karena itu untuk lahan

seperti yang terakhir, perlu pengaturan

naungan

agar

dapat

mengurangi

perkembangan

OPT

dan

sekaligus

memperbaiki

pertumbuan

tanaman.

Tanaman kakao akan tumbuh baik apabila

(3)

dalam

sehari

menerima

penyinaran

langsung selama 2 jam yaitu antara pukul

11.00-13.00

siang.

Smith

(1981)

menyatakan

bahwa

tanaman

kakao

dibawah tanaman penutup yang tinggi

seperti kelapa lebih sedikit terserang OPT

bila dibandingkan tanaman kakao dengan

tanaman penutup yang tidak terlalu tinggi

seperti

Leucaena

.

Penataan tanaman penutup atau

tanaman pelindung sangat penting dalam

mengurangi perkembangan penyakit VSD

dan

menjaga pertumbuhan yang baik

tanaman kakao. Untuk tanaman kakao

yang sudah ada di lapangan, diperlukan

pemangkasan tanaman pelindung di awal

musim hujan . Sedangkan untuk tanaman

kakao baru yang akan ditanam di daerah

terbuka, penanaman tanaman pelindung

sebaiknya dilakukan satu tahun sebelum

ditanam

kakao.

Penanaman

tanaman

pelindung yang bisa menjadi inang VSD

perlu dihindari, sebagai contoh tanaman

alpokat (Keane and Prior, 1991). Agar

lebih

praktis

perlu

dipikirkan

pula

penggunaan

tanaman

pelindung

yang

daunnya bisa mengkerut di musim hujan

dan mengembang di musim kemarau,

sebagai contoh petai cina.

ONCOBASIDIUM DAN SIKLUSNYA

Penyakit

VSD

disebabkan

oleh

cendawan

Oncobasidium

theobromae

(Basidiomycetes). Cendawan

ini

mem-produksi basidiospora pada basidium yang

berkembang pada cabang kakao yang

terserang

dan

terjadi

setelah

tengah

malam

pada

kondisi

sangat

lembab.

Basidiospora disebarkan oleh angin dan

bila spora ini datang pada permukaan

yang

kering,

maka

akan

segera

kehilangan viabilitasnya. Pada daun yang

lunak

dan

mengandung

tetesan

air,

basidiospora berkecambah cepat sekali

dan tabung kecambah berpenetrasi pada

epidermis dan kemudian masuk ke dalam

xylem (Gambar 1). Dalam waktu 6 sampai

16 minggu yang tergantung pada umur

tanaman kakao, gejala akan muncul pada

daun ke 2 dan ke 3 dari pucuk. Bila hujan

terus , maka perkecambahan terjadi dan

akan mengalami siklus yang sempurna

(Purdy, 2000; Frison

et al

., 1999).

Gambar 1. HifaO.theobromaemenginfeksi xylem, diwarnai dengan lactophenol cotton blue. (Dr C. Prior)

O.

theobromae

adalah

parasit

obligat,

tetapi

Musa

(1983)

mengem-bangkan

medium

air

kelapa

dan

cendawan

ini

dapat

tumbuh

secara

terbatas (Gambar 2). Tanaman inang

lainnya selain kakao yang sejauh ini

diketahui adalah hanya alpokat (

Persea

Americana

) (Keane dan Prior, 1991).

(4)

Gambar 2. Hifa vegetatif dan monilioid O. theobromae dalam kultur. (Dr. M.A. Zainal Abidin)

GEJALA

O. theobromae

menginfeksi pucuk

dan cabang kakao, tetapi gejala hanya

terlihat pada daun

yang tampak klorotik

dan dapat berkembang pada gejala khas

berupa belang hijau dengan latar belakang

kuning. Pada tanaman yang sudah tua,

gejala pada daun sering ditemukan pada

bagian tengah cabang, sedangkan pada

tanaman muda gejala dapat terjadi pada

daun mana saja. Selain gejala tersebut di

atas,

terjadi

pula

perubahan

warna

jaringan vaskuler pada scars daun segar

yang jatuh, pembenkakan lentisel pada

kulit dalam daerah daun yang jatuh, serta

sprouting tunas aksilar. Nekrosis antara

tulang daun terminar tampak menyerupai

gejala kekurangan kalsium. Selain itu

garis-garis coklat terlihat

pada cabang

yang terinfeksi, bila cabang ini dibelah

secara longitudinal.

PENGENDALIAN

Kultur teknis

Seperti disebutkan di atas bahwa

cendawan

O. theobromae

berkembang

baik pada keadaan basah dan lembab.

Tingkat

kelembaban

yang

mendekati

100% pada malam hari menghasilkan

kondensasi air bebas yang sangat penting

untuk terjadinya infeksi. Kerusakan oleh

O.

theobromae

akan lebih besar bila keadaan

tersebut di atas ditunjang dengan tanaman

pelindung yang lebat. Dengan demikian

pemangkasan pohon pelindung di musim

hujan akan memungkinkan mengurangi

kelembaban dan masuknya sinar matahari

yang

akan mengurangi

perkembangan

cendawan

pathogen

dan

sekaligus

membantu pertumbuhan tanaman kakao

sendiri sehingga secara tidak langsung

memberikan

mekanisme

pertahanan

terhadap cendawan patogen tersebut.

Untuk mengurangi sumber

inoku-lum, pemangkasan tanaman pelindung

bisa bersamaan dengan pemangkasan

sanitasi yaitu memangkas ranting yang

terserang

sampai

pada

batas

tidak

ditemukan lagi garis coklat pada jaringan

kayu ditambah sekitar 30 cm kearah

bawah. Potongan tanaman ini

dikumpul-kan dan kemudian dibakar.

Tanaman resisten

Strategi yang paling baik untuk

pengendalian

jangka

panjang

adalah

penggunaan tanaman resisten. Resisten

atau toleran terhadap VSD berhubungan

dengan tinginya aktivitas

enzim

Poly-phenol

oxydase

dan

kitinase

pada

tanaman kakao (Chowpada, 2001). Untuk

mencegah kerusakan yang lebih besar

oleh VSD, maka penggunaan tanaman

resisten harus segera dilakukan. Hal ini

dilakukan

dengan

cara

mencari

klon

resisten di lapang atau mendapatkanya

dari Puslitbun Koka Jember.

(5)

Puslitbun Koka Jember telah

menghasil-kan klon-klon lindak anjuran yang selain

toleran

terhadap

VSD,

juga

toleran

penyakit

busuk

buah

dan

penyakit

antraknosa.

Klon-klon

tersebut

adalah

GC7, ICS 13, ICS 60, TSH 858, TSH 908,

Pa 300, Pa 303, NW 6261, SD 6225, UIT

1, RCC 71, RCC 72, dan RCC 73.

Perbanyakan

klon-klon

tersebut

perlu

dilakukan

dan

selanjutnya

digunakan

ditanam langsung pada lahan atau side

grafting pada tanaman terserang VSD

pada lahan lama.

Pengendalian biologi

Penelitian

penggunaan

musuh

alami untuk mengendalikan penyakit VSD

belum pernah dilakukan baik di Sulawesi,

maupun di Negara lainnya. Pengendalian

biologi

adalah

memungkinkan,

namun

tampaknya harus menggunakan musuh

alami yang bersifat endofit untuk bisa

berkompetisi di dalam jaringan tanaman.

O.

theobromae

menginfestasi

jaringan

xylem sehingga bisa bertahan lama dalam

jaringan tanaman, walaupun kondisi luar

tanaman

tidak

memungkinkan

untuk

berkembangnya cendawan ini.

Sejumlah

musuh

alami

yang

endofit

ini

telah

diidentifikasi

pada

tanaman

kakao

di

Panama dan Brazil seperti

Colletotrichum,

Botryospharia, Nectria dan Trichoderma

(Mejia

et al

., 2004; Samuel, 2004). Di

Sulawesi sendiri, identifikasi cendawan

endofit

sedang

dilakukan

dan

ada

beberapa isolate Trichoderma ditemukan

pada biji kakao. Cendawan endofit di

Panama dan di Brazil digunakan untuk

mengendalikan penyakit busuk buah yang

disebabkan

Phytophthora

sp.

dan

Moniliophthora

serta penyakit sapu setan

yang

disebabkan

oleh

cendawan

Crinepellis perniciosa

. Cendawan terakhir

dapat masuk pada jaringan

meristem.

Penggunaan

cendawan

endofit

ini

mungkin dapat dilakukan melalui

daun-daun terserang atau melalui penginfusan.

Pengendalian secara kimia

Karena

tempat

berkembangnya

Oncobasidium theobromae

adalah xylem,

maka fungisida yang digunakan harus

bersifat sistemik. Akan tetapi pengujian

yang dilakukan di Pinrang menunjukkan

bahwa

fungisida

tidak

sistemik

dapat

digunakan hanya saja melalui metoda

penginfusan. Fungisida tersebut berbahan

aktif tembaga oksida (CuO). Senyawa ini

dapat menghambat intensitas

penyakit

VSD

berdasarkan

pengamatan

pada

gejala yang muncul pada tanaman kakao

yang

berumur

kira-kira

15

tahun.

Persentase

penghambatan

sangat

sempurna

pada

penginfusan

dengan

konsentrasi fungisida 2g/l/tanaman, yang

dapat mencapai 100% pada enam minggu

setelah aplikasi (Gambar 3 ).

(6)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 1 2 3 4 5

Minggu pengam atan

P e rs e n ta s e p e n g h a m b a ta n (% ) I g/ltr 2 g/ltr

Gambar 3. Persentase penghambatan gejala VSD oleh fungisida berbahan aktif CuO

Fungisida sistemik yang dianjurkan

digunakan untuk mengendalikan penyakit

VSD

adalah

fungisida

berbahan

aktif

triazol

seperti

triadimenol

dan

propiconazol. Fungisida grup ini diabsopsi

oleh daun dan batang dan dapat masuk ke

jaringan

vaskuler

dan

menghambat

cendawan dengan mengganggu sintesis

ergosterol

(Anonim,

2002a;

Anonim

2002b).

Konsentrasi

anjuran

untuk

triadimenol

dan

propconazole

masing-masing adalah 250-500 g/ha dan 400-600

ml/ha melalui aplikasi penyemprotan daun.

KESIMPULAN

Usaha-usaha pengendalian harus

segera dilakukan agar kerugian yang lebih

besar

dapat

dihindari.

Pengaturan

tanaman penutup merupakan salah satu

cara

yang

baik

untuk

mengurangi

perkembangan penyakit. Selain itu usaha

mencari

tanaman

resisten

terhadap

penyakit ini harus segera dilakukan, misal

dengan

cara

menseleksi

di

daerah

terserang

VSD.

Penginfusan

dengan

menggunakan fungisida telah dicoba dan

berhasil

dalam menurunkan serangan

oleh

penyakit

VSD,

dengan

demikian

berprospek untuk digunakan dalam skal

a

yang lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.

2002a.

Shavit

(triadimenol).

Biological Data Sheet Makhteshim

Agan Industries Ltd. 7 pp.

Anonim. 2002b. Bumper, propconazole

fungiside.

Biological

Data

Sheet

Makhteshim Agan Industries Ltd. 3

pp.

Bowers, J. H., Bailey, B. A., Hebbar, P. K.,

Sanogo, S., Lumsden, R. D. 2001.

The impact of plant diseases on

world chocolate production. Online.

Plant Health Progress doi:10.1094/

PHP2001-0709-01-RV.

Chok, D. 2004. Cocoa Development and

its Environmental Dilemma.

Smith-sonian Migratory Bird Center. Online

Publication. 9 pp.

Chowpada, P. 2001. 13

th

International

cocoa

research

conference

and

INCOPED 3

rd

international seminar

on cocoa pests and diseases. The

Newsletter of the British Society for

Plant Pathology No 38, Spring 2001.

(7)

Frison, E.A., Diekman, M., and Nowell, D.,

1999. Cacao. FAO/IPGRI Technical

Guidelines for the Safe Movement of

Germplasm No 20. 32 pp.

Jaax, R. 2003. An alliance for sustainable

cocoa cropping system in East Asia

p. 11-17, in Rosmana, A., P. van

Grinsven, La Daha, and G. Sarbini

(eds.), Summary and highlight of

Technical Brain-storming Meeting on

Biocontrol Technologies for IPM of

Cocoa in Sulawesi. Prima Effem,

Acdi Voca, Usaid , Unhas Makassar.

Keane, P.J. and Prior, C. 1991. Vascular

streak

dieback

of

cacao.

Phytopathological Papers No. 33.

International

Mycological

Institute,

UK.

Manwan I., Nazaruddin, dan Ramli, S.A.

2000. Laporan sementara survey

intensitas serangan dan kerusakan

penggerek

buah

kakao

Conopo-morpha

cramerella

di

Sulawesi

Selatan. CCDC Sulawesi Selatan. 4

pp.

Mejia, L.C., Rojas, E.I., Maynard, Z.,

Arnold, A.E., Kyllo, D., Robbins, N.,

and Herre, E.A., 2004. Inoculation of

beneficial

endophytic

fungi

into

Theobromae cacao

tissues. Online

Publication. 8 pp.

Musa, M.J. 1983. Coconut water as culture

medium

for

Oncobasidium

theo-bromae. MARDI Research Bulletin

11: 107-110.

Purdy, L.H. 2000. Fungal disease of

cacao. Online Publication. 9 pp.

Samuels, G.J. 2004. Trichoderma: its

potential for control of diseases of

cacao.

Smith, E.S.C. 1981. An integrated control

scheme

for

cocoa

pests

and

diseases in Papua New Guinea.

Tropical Pest Management 27:

351-359.

Sulistyowati, E. 2002. Perkembangan hasil

hasil penelitian pengendalian hama

penggerek buah kakao. Lokakarya

Tengah Periode Proyek SUCCESS

dan Pertemuan International Masa

Depan

Pengembangan

Kakao

di

Indonesia, Makassar, Indonesia,

15-18 Januari 2002.

van Grinsven, P. 2003.CPB problem in

Sulawesi

:

overview

p.

11,

in

Rosmana, A., P. van Grinsven, La

Daha,

and

G.

Sarbini

(eds.),

Summary and highlight of Technical

Brain-storming Meeting on Biocontrol

Technologies for IPM of Cocoa in

Sulawesi. Prima Effem, Acdi/Voca,

Usaid , Unhas Makassar.

Wardoyo, S. 1980. The cocoa pod borer :

A hindrance to cocoa development.

Indonesian

Agricultural Research

and Development Journal 2: 1-4.

Wood,

G.A.R.

and Lass,

R.A.

1985.

Cocoa. Longman, London and New

York. 620 pp.

Gambar

Gambar 1. Hifa O.theobromae menginfeksi xylem, diwarnai dengan lactophenol cotton blue
Gambar 2. Hifa vegetatif dan monilioid O. theobromae dalam kultur. (Dr. M.A. Zainal Abidin)
Gambar 3. Persentase penghambatan gejala VSD oleh fungisida berbahan aktif CuO

Referensi

Dokumen terkait

Persekutuan bagi Remaja-Pemuda (13-25th) Mengundang segenap Remaja-Pemuda (13-25th) untuk bergabung dalam Persekutuan SNG yang diadakan secara online (SNG Online

 Paul B. Horton, sosiologi jilid1, penerbit eirlangga, jakarta, 1987, hlm.25..  banyak dan paling relevan dengan sosial kemasyarakatan adalah nilai spiritual yang

Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru, harus dilakukan dengan cara membangun sebuah masyarakat sipil yang demokratis, dengan penegakkan hukum untuk

S26 - Jika kontak dengan mata, segera bilas dengan air yang banyak dan minta saran medis.. Kontak dengan kulit Segera cuci dengan air yang banyak selama setidaknya

Salah satu senyawa kimia yang sangat penting adalah SnO2 dimana dipakai untuk resistor dan dielektrik, dan digunakan untuk membuat berbagai macam garam timah. Senyawa SnF2

Berdasarkan pada jumlah bangunan kuno yang ada di Kota Pasuruan kemudian dilakukan survey penilaian secara objektif yang dapat dilakukan oleh peneliti menggunakan

a. Seni Rupa Tradisional, adalah seni rupa yang dibuat dengan pola, aturan, atau pakem tertentu sebagai pedoman dalam berkarya seni dan dibuat berulang-ulang

Saat nilai yang dikembalikan adalah FALSE maka baris program selanjutnya akan memanggil method copyDatabase yang akan berusaha menyalin file database yang ada di dalam folder