Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-1
1
1
0
0
.
.
1
1
T
T
A
A
T
T
A
A
R
R
U
U
A
A
N
N
G
G
S
S
E
E
B
B
A
A
G
G
A
A
I
I
I
I
L
L
M
M
U
U
I
I
N
N
T
T
E
E
R
R
D
D
I
I
S
S
I
I
P
P
L
L
I
I
N
N
:
:
I
I
M
M
P
P
L
L
I
I
K
K
A
A
S
S
I
I
D
D
A
A
N
N
P
P
E
E
R
R
K
K
E
E
M
M
B
B
A
A
N
N
G
G
A
A
N
N
N
N
Y
Y
A
A
OlehHendropranoto SuseloI
ILLMMUUIINNTTEERRDDIISSIIPPLLIINN? ?
Tata ruang kerap dikatakan sebagai ilmu interdisiplin. Maksudnya, pengetahuan dan ilmu tata ruang tidak semata meliputi satu disiplin ilmu pengetahuan. Disiplin pengetahuan adalah suatu kecanggihan yang dikembangkan untuk memikirkan dan mendalami permasalahan yang sudah lama menarik perhatian dan menjadi kepedulian pemerhati yang gemar berpikir. Demikian dikemukakan
Howard Gardner dan Veronica Boix-Mansilla dalam tulisan “Teaching
for Understanding Within and…”.
Dalam tulisan itu, dikemukakan apa yang dinamakan “sesuatu
yang berada di atas disiplin pengetahuan” (beyond disciplinary
knowledge). Menurut pendapat mereka sebelum seseorang dapat
menuju ke situ ia harus memahami terlebih dulu salah satu disiplin
pengetahuan, sehingga yang disebut “antardisiplin” interdisiplinary
work) sebenarnya adalah predisciplinary work. Pekerjaan itu adalah
semata menggunakan akal sehat (common sense), jadi bukan
berupa penguasaan atau memadukan komponen dari banyak disiplin pengetahuan.
Ali Noam dalam tulisannya “Conversation with Ali Noam”
berpendapat, pekerjaan yang berada di atas satu disiplin
pengetahuan sebagai suatu lips service dan luxury dalam pengertian
bridge building saja. Tapi, Noam mengakui, ahli yang berprestasi
istimewa dalam disiplin umumnya adalah orang yang memiliki
perspektif luas yang memungkinkan mereka menjadi bridge builders.
Dalam pengamatan ahli itu dapat dibedakan pekerjaan multidisiplin (multidisciplinary work) yang melihat permasalahan dari berbagai disiplin pengetahuan, seperti seni, literatur, sejarah dan
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-2
filsafat. Lalu ada pekerjaan antardisiplin (interdisciplinary work)
misalnya konsep kesehatan dengan memadukan ilmu kedokteran dengan ilmu psikologi dan mensintesekannya menjadi lebih umum.
Ada pula pekerjaan metadisiplin (metadisciplinary work) yang
membandingkan praktek suatu disiplin pengetahuan dan
menerapkannya pada disiplin pengetahuan lain. Masih ada pekerjaan
transdisiplin (transdisciplinary work) yang menggunakan konsep
se-perti “badan” (body) sebagaimana dapat digunakan dalam masalah
politik maupun dalam artian fisik.
Mungkin analisa ini dapat lebih dipahami dengan mengacu
pada tulisan Dr. David Hargrave “What Constitutes an
Interdisciplinary Environmental Education”. Hargrave tidak hanya
menganalisa masalah dari disiplin pengetahuan semata, tetapi mengamatinya dalam praktek pendidikan. Dikatakan, dalam pekerjaan interdisiplin tidak dianut pemikiran “hasil perpaduan banyak unsur sama dengan jumlah unsurnya”, tetapi misalnya dalam pemahaman masalah lingkungan hidup diperlukan suatu cara pikir
“menyeluruh” (comprehensive): hasil perpaduan banyak unsur lebih
besar dari jumlah unsurnya.
Oleh karena itu, perlu pengembangan sistem cara berpikir
baru (a new system of paradigm). Pemahaman masalahnya tidak
dapat dilakukan hanya dengan menggabungkan cara fikir berbagai disiplin pengetahuan. Dikatakan, agar suatu tim multidisiplin dapat bekerja sama secara interdisiplin, perlu kemampuan tim untuk mengembangkan sistematik perspektif yang dimiliki bersama. Pertanyaan menarik yang diajukan Hargrave, “dapatkan tim yang terdiri atas perorangan yang sudah terkunci dengan pola pikir disiplin pengetahuan tertentu mengembangkan suatu sistematik perspektif bersama semacam itu?”
P
PRRAAKKTTEEKKDDAANNPPEERRKKEEMMBBAANNGGAANNNNYYAA
Analisa di atas masih terkesan teoritis dan belum bermakna sebelum diterapkan dalam mengupas suatu disiplin pengetahuan seperti ‘tata ruang’. Mengapa tata ruang kerap disebut sebagai ilmu interdisiplin? Sugijanto Soegijoko dalam tulisan “Peta Perkembangan Perencanaan: Suatu Tantangan bagi Pendidikan Planologi di Indonesia”, membahas keluasan dan kedalaman ilmu perencanaan maupun jangkauan kerja sama dengan bidang lain yang terlihat dari perkembangan perencanaan tata ruang. Sugijanto mencermati
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-3
pembiasaan penghayatan permasalahan tata ruang yang
memberikan dasar persamaan dalam pandangan dan pendekatan. Pemikiran itu sejalan dengan sistematik perspektif bersama seperti diutarakan Hargrave di atas. Oleh karena itu, ia berpendapat, seorang ahli planologi memerlukan keterampilan dengan dasar persamaan; tidak interdisciplinary tetapi metadisciplinary lebih lanjut dikatakan, dalam kenyataan dunia perencanaan tata ruang di Indonesia, pendidikan planologi dibina dengan pemahaman kaidah unsur fisik, ekonomi dan unsur kegiatan manusia lainnya yang dilaksanakan sesuai hukum dan peraturan yang berlaku.
Kiranya, menarik untuk menyimak kajian Yohanes Surya dalam tulisan “Santa Fe Institute, Pendekatan Multidisiplin” yang mengkaji perkembangan pendekatan multidisiplin dalam ilmu
pengetahuan. Dalam pengamatannya, hal yang banyak
diperdebatkan adalah menghubungkan ilmu ilmu eksakta dengan ilmu ilmu yang bersifat sosial dan yang melibatkan sifat dan perilaku manusia. Tidak banyak yang menyangkal ilmu fisika berhubungan erat dengan matematika dan kimia karena sama-sama tergolong ilmu eksakta. Begitu pula penggabungan ilmu ekonomi, politik dan sosial.
Serangan mulai terasa saat ada usaha menghubungkan fisika dengan ekonomi misalnya. Fisika adalah ilmu yang murni melibatkan variabel eksak, sedangkan ekonomi melibatkan interaksi sosial dan perilaku manusia yang menurut sebagian besar orang sulit diramalkan. Ilmu tata ruang, menurut pendapat penulis, merupakan ilmu yang jelas dan nyata coba menghubungkan eksakta dengan kejadian dan perilaku sosial, seperti dinyatakan Sugijanto di atas.
Perlu dimaklumi, dalam dunia tata ruang di Indonesia terjadi perkembangan yang berupa beberapa perubahan yang fundamental.
Pertama, awalnya ilmu planologi hanya diterapkan pada
perencanaan kota dan sifat pemakaiannya pun condong pada segi fisik. Oleh karena itu, dapat dimaklumi, ahli planologi yang pertama berkembang dari disiplin pengetahuan teknik, yaitu spesialisasi tehnik
sipil. Belakangan barulah menjadi spesialisasi teknik dan
perencanaan, khususnya arsitektur. Pendidikan sarjana planologi sebagai disiplin pengetahuan tersendiri baru dimulai pada tahun 1959
yang megenalkan cara pendidikan planners menurut sistem Amerika.
Pendidikan sarjana planologi yang dimulai di ITB juga dirintis instansi teknis pemerintah, yaitu Departeman Pekerjaan Umum. Baru
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-4
perencanaan dan tata ruang wilayah (regional development
planning).
Kedua, seperti dapat disimak dalam tulisan Sugijanto di atas, awalnya titik berat pendidikan planologi adalah pada pekerjaan perencanaan yang kemudian dinamakan perancangan untuk
membedakan pengertian design dengan planning. Undang-undang
No. 24/1992 tentang “Penataan Ruang” merupakan revolusi dalam pemikiran tata ruang. Penataan ruang bukan hanya perencanaan tata ruang semata, tetapi meliputi juga pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Setelah UU Penataan Ruang
diberlakukan, tidak hanya spatial planning yang dibicarakan, tetapi
lebih mengenai spatial management.
Perkembangan praktek tata ruang dapat diamati pula dalam kelembagaan serta aspek hukum dan perundang-undangan.
Awalnya, hanya dikenal SVV dan SVO (Stadsvorming Verordening
dan Stadsvorming Ordinantie) sebagai landasan
perundang-undangan yang mengatur tata ruang yang diberlakukan pada tahun 1948/1949. Undang-undang tersebut jelas memberikan kewenangan
kepada Departemen Pekerjaan Umum (Departement van Openbare
Werken) sebagai instansi teknis dalam memberikan rekomendasi
penetapan rencana tata ruang. Jadi, instansinya adalah teknis dan yang diatur adalah penetapan rencana untuk kota sesuai dengan Undang-Undang tersebut.
Berdasarkan UU itu, kemudian lahir “Balai Tata Ruang dan Pembangunan” yang kelak menjadi Direktorat Perencanaan Kota dan Daerah, lalu Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, dan kemudian Direktorat Pembinaan Tata Perkotaan dan Perdesaan. Sekarang lembaga ini telah menduduki status instansi lebih tinggi menjadi Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Perlu diperhatikan, meski ada penekanan pada pekerjaan perencanaan, sejak awal pengertian tata ruang sudah lebih luas dari sekedar perencanaan.
Istilah stadsvorming memiliki pengertian pembentukan kota
atau pembangunan kota, bukan sekedar perencanaan kota. Jelas
pula, Departement van Openbare Werken (Departemen Pekerjaan
Umum) adalah instansi teknis yang bertugas melaksanakan pembangunan prasarana umum. Jadi, titik beratnya pada pembangunan fisik. Ahli-ahli yang bekerja dalam instansi ini kebanyakan para insinyur, dengan orientasinya melaksanakan pembangunan. Demikian pula Direktorat Perencanaan Kota dan
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-5
Daerah dalam sejarahnya pernah ditugasi merencanakan
pembangunan kota baru Palangka Raya dan Pekan Baru , juga terlibat langsung dalam pelaksanaan pembangunannya.
Selain Departemen Pekerjaan Umum, dikenal instansi lain yaitu Badan Perancang Negara yang kelak menjadi Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kalau
Departemen PU lebih menitikberatkan pada tugas tata ruang kota,
sedangkan sejalan dengan tugasnya, Bappenas lebih
memperhatikan perencanaan pembangunan dalam konteks wilayah yang lebih luas. Tugas Bappenas adalah menyusun rencana pembangunan nasional untuk menyelenggarakan pekerjaan yang terpenting yang dibebankan kepada instansi ini, yakni alokasi sumber daya (khususnya dana) yang berasal dari tingkat nasional atau pemerintah pusat. Kewenangan dan tugas ini membuat Bappenas lebih dekat dengan pekerjaan pembangunan nyata. Oleh karena sifat tugasnya, perhatian Bappenas lebih tertuju pada daerah administratip propinsi dan sektor pembangunan yang kewenangannya berada di departemen.
Di dalam organisasi Bappenas terdapat dua “sayap” penyelenggaraan tugas, yakni “sayap regional” dan “sayap sektoral”. Sayap regional berkaitan langsung dengan pembangunan yang berada dalam kewenangan pemerintahan di daerah, sedangkan sayap sektoral berkaitan dengan departemen sektoral. Meski ada
dua sayap, namun kewenangan Bappenas tersalur lewat
kewenangan memutuskan pengalokasian sumber dana yang dulu condong dimiliki oleh sayap sektoral yang mengolah dan mengalokasikan DIP (Daftar Isian Proyek). Baru kemudian sayap regional mendapatkan kewenangan juga dalam pengalokasian pendanaan untuk proyek pengembangan perkotaan yang tumbuh
dengan pesat lewat proyek P3KT yang melahirkan urban
development projects.
S
SUUMMBBAANNGGAANNTTAATTAARRUUAANNGGDDAALLAAMMPPRRAAKKTTEEKK
Apa sebenarnya sumbangan yang diberikan tata ruang sebagai ilmu interdisiplin yang oleh Sugijanto ditekankan lebih bersifat metadisiplin? Sebenarnya, yang ingin ditekankan Sugijanto, menurut pendapat penulis, adalah tata ruang itu bukan sekedar penggabungan beberapa ilmu, seperti ekonomofisika atau ekonomika yang banyak ditulis mass media (lihat tulisan Yohanes Surya). Tetapi, seperti diungkapkan oleh Hargrave, diperkenalkan suatu paradigma
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-6 baru mengenai kemampuan mengembangkan suatu sistematika perspektip bersama.
Lebih lanjut, menurut pengalaman penulis, sumbangan terpenting dari pendidikan tata ruang sebagai ilmu interdisiplin adalah
pola pikir yang bersifat menyeluruh (comprehensive) dan terpadu
(integrated). Pemikiran menyeluruh dan terpadu yang dibawa oleh
suatu pengetahuan interdisiplin, menurut pengalaman penulis, mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan disiplin pengetahuan lain. Pengisian kekosongan itu sangat diperlukan dalam praktek pe-ngambilan keputusan tata ruang dalam pengertian luas. Contoh yang jelas dalam pembangunan perkotaan. Pada masa lalu, tata ruang kota dapat berdiri sendiri dan mengambil jarak dari keputusan pembangunan prasarana dan pelayanan kota melalui jalur sektoral yang dikuasai oleh ahli disiplin pengetahuan tunggal dan sektoral.
Pertengahan tahun 1980-an, diperkenalkan pendekatan program pembangunan prasarana kota terpadu. Sistematik perspektif bersama yang diperkenalkan meliputi (1) keterpaduan antarsektor prasarana perkotaan karena eratnya kaitan satu sektor prasarana dengan lainnya, (2) keterpaduan sistem pembiayaan prasarana perkotaan antara berbagai sumber pembiayaan (pusat, propinsi, kota, antara pinjaman dan hibah, sumber dalam dan luar negeri), yang berujung pada kemampuan pembiayaan rumah tangga yang memikul beban pembiayaan, (3) keterpaduan perencanaan program, pembiayaan, pembangunan fisik dan manajemen otonomi pemerinta-han yang diwujudkan dalam suatu tim koordinasi yang mewakili instansi Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Dalam Negeri.
Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan prasarana perkotaan, maka acuan tata ruang (rencana tata ruang perkotaan) menjadi relevan dan dibutuhkan. Tata ruang perkotaan tidak dapat berdiri terpisah lagi, tetapi harus ikut dalam aliran pengambilan
keputusan untuk menentukan alokasi pendanaan dalam
pembangunan prasarana perkotaan dan bagaimana memadukan beragam pola pikir perencanaan masing-masing sektor yang tergambar dalam rencana induk sistem prasarana.
Dengan mengambil contoh pembangunan prasarana
perkotaan, penulis ingin menggambarkan kecenderungan bagaimana tata ruang melepas diri dari keisolasiannya dalam perencanaan tata ruang, memasuki kegiatan selanjutnya yaitu pemanfaatan ruang.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-7 Dalam perspektif yang lebih luas, tata ruang menjadi bagian tak terpisahkan dari fungsi manajemen pengembangan wilayah, khususnya manajemen perkotaan dalam konteks pembangunan perkotaan. Hal ini dapat dipahami, karena demikianlah hakekat manajemen perkotaan yang harus mampu mengatasi permasalahan pembangunan perkotaan yang bersifat multidimensional. Karena itu, memerlukan pendekatan menyeluruh dan keterpaduan.
Ketiga bidang itu, yakni tata ruang, manajemen perkotaan,
dan manajemen lingkungan hidup (environmental management)
adalah contoh jelas dan nyata bagaimana suatu pendekatan bersifat menyeluruh dan terpadu dalam konteks manajemen pembangunan dan pengembangan wilayah atau kawasan dapat memberi jawaban efektif. Setidaknya, memberi harapan terhadap permasalahan pengelolaan sumber daya yang esensiil bagi kehidupan.
Penulis ingat pengalaman menarik ketika terjadi perdebatan, apakah Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah yang bidang tugasnya tata ruang, mampu menyusun program pembangunan prasarana perkotaan yang dapat dilaksanakan sektor terkait. Dan, ketika Menteri Permukiman dan Pengembangan (Prasarana) Wilayah
meminta aparatnya menggunakan pendekatan holistik dan
menyeluruh, sehingga alergi terhadap usulan pembangunan yang berasal dari pemikiran sektor semata. Namun, pendekatan menyeluruh dan terpadu tidak dapat dipertentangkan dengan sektor, karena pendekatan terpadu bukan untuk menggantikan sektor. Apa-kah artinya keterpaduan kalau yang bersifat sektor tunggal tidak ada atau dihapus. Bukankah justru keterpaduan dan pendekatan menyeluruh diperlukan karena ada pembangunan sektor?
Pengalaman lain, menyangkut perkembangan struktur organisasi dalam penanganan pembangunan nasional. Terakhir, struktur organisasi Departemen Pekerjaan Umum (sebelum dibubarkan di era reformasi), terjadi perubahan drastis dari yang semula berorientasi sektor ke struktur yang berorientasi wilayah. Perubahan struktur organisasi berdampak pada tuntutan mutu sumber daya manusia. Dalam struktur organisasi sektor, misalnya Direktorat Air Bersih, tidaklah terlalu sulit untuk mencari direktur dan staf yang berlatar pendidikan teknik penyehatan (tehnik lingkungan). Tetapi, saat dalam struktur dibentuk Direktorat Permukiman Wilayah Tengah misalnya, tidak mudah mencari keahlian yang meliputi pengetahuan lintas disiplin, meliputi tata ruang, tata bangunan,
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-8 penyehatan lingkungan, jalan, yang semuanya dirangkun dalam keahlian manajemen atau teknik pembangunan permukiman.
Disiplin tata ruang memenuhi kualifikasi multidisiplin untuk mengisi kebutuhan profesi itu, asalkan latar pendidikannya sudah menyesuaikan dengan pengertian penataan ruang. Hingga kini, dengan terbentuknya Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, masalah tuntutan kebutuhan, bentuk struktur organisasi dan pola pendidikan memadai merupakan permasalahan yang belum tuntas. Dalam konteks struktur organisasi Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah misalnya, kini dibentuk Direktorat Tata Perko-taan dan Tata Perdesaan yang kembali menuntut kebutuhan keahlian, cara pandang dan pola pikir, wadah organisasi yang holistik
dan comprehensive. Hal ini masih memerlukan kajian lebih
mendalam.
Selain berdampak pada struktur organisasi, pendekatan multidisiplin juga berdampak pada struktur program pembangunan nasional. Saat Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan dibentuk, menguat desakan untuk merubah pendekatan pembangunan yang hanya terbatas pada pembangunan prasarana (dirintis Departemen Pekerjaan Umum dulu) menuju pembangunan perkotaan dan perdesaan yang berbasis wilayah.
Pendekatan itu cocok dengan era reformasi dan desentralisasi yang meletakkan manajemen pembangunan prasarana dan permukiman kota dan desa. Jadi jelas berbasis wilayah, yang menghendaki pembangunan bersifat multidimensional, terpadu dan menyeluruh, tidak lagi terkotak pada pembangunan prasarana. Manajemen tingkat daerah ini bersifat lokal, sehingga meningkatlah kebutuhan untuk memperhatikan pembangunan lokal, seperti pemba-ngunan ekonomi lokal, sumber daya manusia dan alam lokal, dan tata ruang yang berorientasi lokal, sebagai pengisi dan pelengkap pembangunan berskala nasional dan propinsi.
K
KEESSIIMMPPUULLAANNDDAANNCCAATTAATTAANNAAKKHHIIRR
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Tata ruang sebagai ilmu interdisiplin tidak semata merupakan gabungan ilmu-ilmu yang sudah ada, tetapi mengenalkan
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-9 paradigma baru yang merupakan sistematika perspektif bersama dalam wujud pola pikir menyeluruh dan terpadu.
(2) Perkembangan tata ruang sebagai ilmu yang bersifat metadisiplin tidak hanya berkembang dalam ruang terbatas ilmu atau pendidikan tetapi dapat ditelusuri dalam sejarah perkembangan praktek tata ruang di Indonesia.
(3) Pola pikir yang menyeluruh dan terpadu yang dibawakan tata ruang cepat dan cocok sekali ketika bersinggungan dengan pengetahuan manajemen, terutama dengan perkembangan manajemen perkotaan dan juga manajemen lingkungan hidup. Hal itu sejalan dengan perkembangan kebutuhan di Indonesia dalam merumuskan program pembangunan perkotaan, dimulai pembangunan prasarana perkotaan menggunakan pendekatan keterpaduan antarsektor, antarsumber pembiayaan dan antara perencanaan, pembiayaan, pembangunan fisik dan manajemen otonomi pemerintahan di daerah. Ini sejalan pula dengan perkembangan pengertian penataan ruang yang tidak lagi terbatas pada perencanaan tata ruang tetapi meliputi juga pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang.
(4) Pola pikir menyeluruh dan terpadu dalam tata ruang bermanfaat untuk mewujudkan keterpaduan dan penanganan menyeluruh pengembangan kota dan wilayah, namun tidak dimaksudkan untuk menggantikan pendekatan sektor. Pendekatan sektor masih diperlukan dan justru memberikan makna pada pendekatan menyeluruh dan terpadu.
(5) Praktek tata ruang sementara ini masih bercorak fisik dan lebih mudah dikenali manfaatnya dalam penataan ruang kota, sedangkan penataan ruang wilayah dan kawasan yang lebih luas mempunyai sejarah perkembangan yang lebih baru. (6) Tata ruang mulai berkembang dari disiplin pengetahuan tehnik
sipil, kemudian perencanaan dan arsitektur, terakhir lahir sebagai disiplin ilmu yang bersifat metadisiplin. Namun
pemikiran menyeluruh dan terpadu sebagai instrumen
pengambilan keputusan dapat tumbuh dari pemikiran para ahli dalam disiplin tunggal dan sektoral. Tidak dapat dipungkiri, seorang Sutami dapat meraih gelar doktor dalam ilmu wilayah, seorang Poernomosidi pada suatu saat memperkenalkan teori dan konsep pendekatan pengembangan wilayah yang semuanya memberi sumbangan pikiran yang sangat bermakna dalam pengembangan konsep tata ruang di Indonesia. Seperti
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-10
dikatakan Noam, “it’s always been true that some of the most
outstanding people of the academy have been both strong inside the discipline and also possessed of a strong broad perspective
that enables them to build these bridges”.
(7) Akhirnya, sebagai ilustrasi dapat diberikan contoh: (a) seorang ahli penataan ruang dalam menata ruang harus berhubungan dengan dan menguasai prinsip pengetahuan seperti teknik sipil, arsitektur, ekonomi, sosial, politik, hukum dan lainnya (dalam pengertian ini penataan ruang bersifat multidisiplin; (b) disiplin pengetahuan penataan ruang tumbuh dari interaksi pelbagai pengetahuan disiplin tunggal seperti antara teknik sipil dengan arsitektur, antara disiplin ilmu teknik dan ilmu sosial yang kemudian berkembang menjadi disiplin tersendiri yang bersifat lintas pengetahuan (dalam pengertian ini penataan ruang bersifat interdisiplin); (c) penataan ruang tidak semata merupakan pengetahuan yang bersifat interdisiplin karena ada unsur ‘pengetahuan’ baru atau ‘cara berpikir’ baru yang melihat sesuatu permasalahan dalam konteks ‘keseluruhan’ yang memerlukan ‘keterpaduan’ yang diiintroduksikan dalam penataan ruang, dan oleh karena itu penataan ruang disebut mempunyai ciri metadisiplin, dan (d) sifat metadisiplin penataan ruang lebih dapat dirasakan dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian tata ruang karena dalam aspek ini penataan ruang bekerjasama antara lain dengan disiplin pengetahuan ‘manajemen wilayah’ dan ‘manajemen lingkungan’, yang mensyaratkan terwujudnya
pembangunan wilayah dan lingkungan yang mengikuti
perencanaan yang sudah disepakati bersama dan diberikan landasan hukum.
Sejarah Penataan Ruang Indonesia X.1-11
DAFTAR PUSTAKA
1. ACM :Ubiquity – A Conversation with Ali Noam, 2000.
2. Dr.David Hargreave, What Constitutes an Interdisciplinary
Education? Western Michigan University.
3. Howard Gardner and Veronice Boix-Mansilla, Teaching and
Understanding—Within and ……, Educational Leadership,
Volume 51, Number 5, February 1994.
4. Sugijanto Soegijoko, Peta Perkembangan Perencanaan:
Suatu Tantangan bgi Pendidikan Planologi di Indonesia,
Bunga Rampai Perencanaan Pembangunan di Indonesia,
1997.
5. Yohanes Surya, Santa Fe, Pendekatan Multidisiplin, Harian