• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG POLA ATTACHMENT ANAK DENGAN AUTISM SPECTRUM DISORDER DI KLINIK X JAKARTA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI ORANG TUA TENTANG POLA ATTACHMENT ANAK DENGAN AUTISM SPECTRUM DISORDER DI KLINIK X JAKARTA BARAT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI ORANG TUA TENTANG POLA

ATTACHMENT ANAK DENGAN AUTISM

SPECTRUM DISORDER DI KLINIK “X”

JAKARTA BARAT

Sekar Pradani Niken M.D.A.A.P

Astrini

Binus University

Jl. Kemanggisan Ilir III No.45, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta 11480, Indonesia. Telp. (62-61) 532-7630 Fax. (62-61) 533-2985

sekar_pradani@yahoo.com

ABSTRACT

The development of children with autism spectrum disorder (ASD) can increase, but it needs the closeness and attachment between the children and the parent. This is because the parent are important figure. Attachment can develop within a harmonious relationship between the mother and the children. Beside that, with the feeling of trust in surrounding people, especially parent, can build the attachment. Secure relationship with an important figure, can make children explore their environment optimally in a safe and supporting condition. The purpose of this research is to find out the description of parent's perception about attachment pattern of children with ASD in "X" Clinic at Jakarta Barat. This research use quantitative method that using descriptive analysis and purposive sampling technique. The results and conclusions find out that parent's perception about their child's attachment pattern are dominated by secure attachment with 11 children, then ambivalent attachment with 2 children, and avoidant attachment with only 1 child. (SP)

Keywords: Attachment, Autism Spectrum Disorder, ASD, Perception, Parents.

ABSTRAK

Perkembangan dari anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) dapat meningkat, namun butuh sebuah kedekatan atau kelekatan diantara anak dan orang tua karena orang tua adalah figur yang penting. Kelekatan atau attachment dapat berkembang jika hubungan antara ibu dan anak terjalin harmonis. serta karena adanya rasa percaya (trust) pada orang-orang di sekitarnya, khususnya orang tua. Adanya hubungan yang aman dengan figur penting tersebut, anak akan lebih optimal untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dalam kondisi yang aman dan mendukung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat gambaran persepsi orang tua tentang pola attachment anak dengan Autism Spectrum Disorder di Klinik “X” Jakarta Barat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik pengambilan sampel, yaitu purposive sampling. Hasil dan kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa jumlah terbanyak mengenai persepsi orang tua tentang pola attachment anak terdapat pada Secure Attachment, yaitu 11 anak. Sedangkan, Avoidant Attachment memiliki jumlah 1 anak dan Ambivalent Attachment memiliki jumlah 2 anak.(SP)

(2)

PENDAHULUAN

Anak merupakan aset bangsa yang berharga, generasi penerus yang kelak akan memajukan negara. Untuk menjadi generasi penerus bangsa, tentunya harus menjadi anak yang sehat. Anak yang sehat tidak hanya sehat secara fisik, namun juga psikis dan bagaimana dia bersosialisasi dengan masyarakat. Sehat secara fisik dapat dilihat dari sehatnya badan dan pertumbuhan jasmani yang normal; sehat secara psikis dapat dilihat dari berkembanganya jiwa secara wajar, semakin cerdas, perasaan yang peka, serta kemampuan bersosialisasi yang baik; dan sehat secara sosialisasi dapat dilihat dari aktif, gesit, gembira, dan dapat beradaptasi dengan lingkungan (Tabloid Nakita, 2012).

Selain sebagai aset bangsa yang berharga, anak adalah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada setiap pasangan suami-istri. Pria dan wanita yang mempunyai hubungan serius tentunya mereka akan membuat suatu komitmen untuk menempuh jenjang yang lebih jauh lagi yaitu pernikahan, di mana masing-masing mengucapkan janji setia sehidup-semati kepada pasangannya yang disaksikan oleh para pemuka agama, saksi, undangan yang hadir, dan terutama Tuhan. Saat mereka sudah bersatu menjadi sepasang suami-istri, selanjutnya mereka akan mendambakan seorang anak. Setiap orang tua tentunya mempunyai keinginan dan berharap anaknya kelak akan menjadi anak yang sehat, bahagia, mandiri, dan sukses, tidak hanya di dalam keluarga, tetapi juga di masyarakat. Namun, pada kenyataannya, terdapat beberapa orang tua yang dianugerahi anak dengan kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus (ABK) mencakup ruang lingkup yang cukup luas, seperti keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkominikasi, autisme,

traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, atau special gifts or talents

(Mangunsong, 2009).

Peneliti memberikan perhatian khusus pada penelitiannya yaitu pada anak usia 4 sampai 7 tahun dengan gangguan autistik. Gangguan autistik merupakan bagian dari Aksis I menurut klasifikasi dari DSM IV-TR yang khususnya masuk dalam bagian “Gangguan yang biasanya mulai tampak pada bayi, kanak, atau remaja” (Davison, Neale, & Kring, 2010). Gangguan autistik itu sendiri merupakan gangguan perkembangan yang pervasif (Matson dalam Hadis, 2006). Seorang anak dapat dikatakan memiliki gangguan autistik jika anak tersebut mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, dan emosi (Depdiknas dalam Hadis, 2006).

Oleh karena kondisi yang anak tersebut alami, beberapa orang tua tidak dapat menerima kenyataan yang ada dengan mudah dan mengalami peningkatan stress. Penelitian yang dilakukan oleh Davis dan Carter (2008) kepada ibu dan ayah dari 52 balita dengan Autism Spectrum Disorders (ASD) mendapatkan hasil, dikarenakan kondisi anak dengan ASD yang memiliki kekurangan atau keterlambatan dalam social

relatedness berdampak pada tingkat stress orang tua.

Selain itu, bahkan terdapat orang tua-orang tua yang justru menolak anak tersebut. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh Novia dan Kurniawan (2007), terdapat salah satu faktor yang menimbulkan penolakan orang tua terhadap anaknya yang memiliki gangguan autistik, yaitu sang anak yang tidak menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan.

Penolakan yang ditunjukkan oleh orang tua tentunya memberikan dampak yang tidak baik terhadap anak yang bersangkutan. Salah satu hal yang akan berdampak tidak baik adalah tahapan perkembangan dari anak yang merupakan kebutuhan utama. Menurut Erik Erikson (dalam Feist & Feist, 2008), kebutuhan utama satu tahun pertama kehidupan adalah adanya rasa percaya terhadap pengasuh utama, biasanya ibu. Rasa percaya pada tahap pertama ini berhubungan erat pada kebutuhan sensori-oral dari seorang bayi. Rasa percaya dapat timbul dengan memberikan perhatian kepada anak, seperti menyediakan atau memberikan makan disaat lapar, memberikan perlindungan, ataupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Selain itu, mendengar suara ibu yang ramah secara konsisten juga dapat mengembangkan dan memperkuat rasa percaya. Elemen kritis dalam mengembangkan rasa percaya adalah perawatan yang sensitif, responsif, dan konsisten (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Kasus penolakan orang tua terhadap anaknya yang memiliki gangguan autistik/ASD dialami oleh Phillip dan Stephen, di mana sang ayah memilih untuk meninggalkan mereka saat diagnosis ditegakkan. Namun beruntung, ibu kedua anak tersebut masih setia dan terus berjuang demi kelangsungan hidup mereka (Thomas & Brozek, 2012).

Selain itu, dilihat dari salah satu gejala utama yang juga merupakan kelemahan dari anak dengan gangguan autistik/ASD yaitu interaksi sosial, serupa dengan gambaran yang terjadi pada anak ASD di

(3)

lapangan. Peneliti melakukan wawancara kepada salah satu psikolog sebuah klinik di Jakarta Barat dan mendapatkan fenomena bahwa anak dengan gangguan autistik/ASD merupakan individu yang pasif (interaksi sosial lemah), dengan kepasifannya tersebut, yang berarti kurangnya responsif terhadap orang lain, orang tua dari anak tersebut pun menjadi individu yang pasif (V.Susanty, personal communication, November 10, 2012). Mereka tidak tahu bagaimana cara untuk berinteraksi dengan anaknya, bahkan mereka kehilangan cara bermain dengan anak karena disaat orang tua mencoba melakukan interaksi, anak tidak memberikan timbal balik atau respon untuk menjawab interaksi tersebut. Namun, hal tersebut tidak semata-mata karena kesalahan dari anak atau tidak semata-mata karena kelemahan dari anak dengan gangguan autistik/ASD. Ketidaktahuan orang tua mengenai cara bermain dengan anak juga merupakan hal yang perlu diperhatikan. Orang tua cenderung membanjiri anak dengan pertanyaan-pertanyaan, bukan mengajak anak bermain dalam arti sebenarnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang tua seperti, “ini apa?”, “ini warna apa?”, “ini angka berapa?”, dan sebagainya.

Dikarenakan keadaan seperti itu, tidak sedikit orang tua yang justru lebih memilih untuk menyerahkan anaknya kepada pihak-pihak yang terkait atau pihak-pihak yang mendalami gangguan autistik/ASD, seperti psikolog, psikiater, atau terapis. Sedangkan, untuk membantu perkembangan anak dengan gangguan autistik/ASD tidak dapat hanya dengan terapi, namun keikutsertaan orang tua juga sebagai pendorong keberhasilan yang tentunya sangat diharapkan. Selain itu, menurut Newell (dalam Dolloff, 2008), orang tua adalah terapis terbaik yang dapat membantu berkembang dan jalannya fungsi dari otak bagi anak penderita down syndrome, gangguan konsentrasi, autis, cerebral palsy, gangguan belajar, dan juga gangguan penglihatan, serta gangguan pendengaran.

Peran dari keikutsertaan orang tua dapat dilihat dari kasus yang terjadi pada salah satu anak bernama Andi (bukan nama sebenarnya) berusia kurang lebih 10 tahun. Andi seorang anak dengan gangguan autistik/ASD. Tahun 2012, tepatnya sebelum lebaran, perkembangan dari terapi yang sudah dia lakukan mengalami peningkatan yang cukup memuaskan, seperti mulai dapat melakukan kontak mata dengan orang lain, adanya respon yang dia berikan, dan sebagainya. Keberhasilan tersebut tidak hanya karena peran dari terapis, melainkan adanya campur tangan dari orang tua, khususnya ibu, seperti ikut mengantar anak menjalani terapi, ikut kegiatan anak saat sedang bermain, ikut aktif membantu anak saat terapi di rumah, dan lain sebagainya. Namun saat lebaran tiba, babysitter yang biasa menemani Andi dan adiknya pulang ke kampung halamannya. Kondisi tersebut mengakibatkan sang ibu lebih memfokuskan diri pada adiknya yang pada saat itu masih bayi. Dikarenakan berkurangnya peran ibu tersebut, kondisi perkembangan dari Andi mengalami penurunan dan cukup mengagetkan pihak klinik dan orang tua (V.Susanty, personal communication, November 10, 2012).

Di dalam 20 sampai 30 tahun terakhir, jumlah penyandang gangguan autistik/ASD semakin meningkat (Moekdas, Sukadi, & Yuniati, 2010). Namun, di Indonesia sendiri belum ada penelitian yang mendalam, sehingga jumlah penyandang gangguan autistik/ASD belum diketahui dengan tepat (Yayasan Autisma Indonesia, 2008). Seperti pernyataan yang diutarakan oleh Dr. Ika Widyawati (Wijaya, 2010), Beliau hanya memperkirakan dan tidak terdapat perhitungan yang tepat. Beliau memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak dan jumlah tersebut meningkat setiap tahunnya. Selain itu, sensus penduduk pada tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, sudah terdapat pengelompokan untuk topik Kesejahteraan Sosial pada tingkat kesulitan mengingat atau berkonsentrasi, namun penyandang gangguan autistik/ASD tidak dikategorikan sendiri, melainkan digabungkan dengan tunarungu/wicara.

Berdasarkan berbagai studi yang sudah dilakukan, menunjukkan bahwa gangguan autistik/ASD empat kali lebih banyak terjadi pada anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan (Volkamr, Szatmari, & Sparrow dalam Davison, Neale, & Kring, 2010). Namun, anak perempuan penyandang gangguan autistik/ASD biasanya mempunyai gejala yang lebih berat dan hasil tes inteligensinya lebih rendah dibandingkan dengan anak laki-laki (Widyawati dalam Mangunsong, 2009).

Banyak asumsi yang salah mengenai penyebab gangguan autistik/ASD (Davison, Neale, & Kring, 2010). Faktor penyebab yang sebenarnya masih terus dicari dan masih dilakukan penelitian sampai saat ini. Namun, faktor genetika memegang peran penting menurut beberapa teori terakhir (Hadis, 2006). Hal tersebut terlihat dari kemiripan gangguan autistik/ASD yang sama pada bayi kembar satu telur (Hadis, 2006). Selain itu juga dapat disebabkan oleh virus rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi yang buruk, pendarahan, dan keracunan makanan saat masa kehamilan yang dapat menghambat pertumbuhan pada sel otak (Depdiknas dalam Hadis, 2006).

Menurut Semiun (2006), gangguan autistik/ASD memiliki tiga gejala utama. Gejala pertama, kurangnya responsif terhadap orang lain. Anak dengan gangguan autistik bukan menarik diri dari

(4)

masyarakat, namun sejak awal mereka memang tidak pernah sepenuhnya bergabung dengan masyarakat (Davison, Neale, & Kring, 2010). Menurut Mangunsong (2009), saat bayi atau balita, anak dengan gangguan autistik/ASD tidak menunjukkan respon saat diangkat atau dipeluk. Tidak adanya perbedaan respon saat berhadapan dengan orang terdekat dan orang lain. Mereka juga memiliki tatapan mata yang berbeda, bahkan terkadang menghindari kontak mata dengan orang lain. Gejala kedua, gangguan komunikasi. Mengoceh atau babbing jarang dilakukan saat bayi (Ricks dalam Davison, Neale, & Kring, 2010). Babbing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan ucapan bayi sebelum mereka mulai mengucapkan kata-kata yang sebenarnya (Davison, Neale, & Kring, 2010). Selain itu, anak dengan gangguan autistik/ASD mengalami abnormalitas dalam intonasi, rate, volume, dan isi bahasa, seperti berbicara layaknya robot atau mengulang perkataan orang lain yang didengarnya (Mangunsong, 2009). Gejala ketiga, perilaku atau minat yang diulang-ulang, seperti berputar-putar dengan cepat (twirling), memutar-mutar objek, mengepak-ngepakkan tangan (flapping), bergerak maju mundur atau kiri kanan

(rocking) (Mangunsong, 2009).

Dilihat dari ciri-ciri anak dengan gangguan autistik/ASD yang sudah dijelaskan sebelumnya, peneliti ingin melihat bagaimana orang tua mempersepsikan attachment atau kelekatan yang dimiliki oleh anak mereka yang memiliki gangguan autistik/Autism Spectrum Disorder (ADS). Di mana peran orang tua untuk membantu perkembangan anak selayaknya terapis yang baik seperti yang dikatakan Newell (dalam Dolloff, 2008) atau agar perkembangan dari anak dengan gangguan autistik/ASD dapat meningkat, butuh sebuah kedekatan atau kelekatan diantara anak dan orang tua, dalam hal ini tentunya orang tua adalah figur yang penting. Kelekatan atau attachment dapat berkembang jika hubungan antara ibu dan anak terjalin harmonis. Selain itu, attachment juga dapat berkembang dengan baik karena adanya rasa percaya (trust) pada orang-orang di sekitarnya, khususnya orang tua. Rasa percaya (trust) mulai dikembangkan pada masa bayi dan berlanjut hingga sekitar usia 18 bulan (Papalia, Olds, Feldman, 2009). Selain itu, adanya hubungan yang aman dengan figur penting tersebut, anak akan lebih optimal untuk mengeksplorasi lingkungan sekitarnya dalam kondisi yang aman dan mendukung (Ainsworth & Bowlby dalam Naber dkk, 2008).

Attachment itu sendiri merupakan ikatan emosional yang kuat dengan orang lain yang signifikan,

dalam hal ini adalah orang tua (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Menurut Bowlby (dalam Feist & Feist, 2008), attachment yang terbentuk selama masa kanak-kanak memiliki pengaruh yang penting bagi kepribadian masa dewasa – pada kasus ini, dapat dipersempit pada keberhasilan terapi yang dijalani anak dengan gangguan autistic/ASD.

Setiap anak, bahkan anak dengan gangguan autistik/ASD sekalipun akan mengembangkan keterikatan dengan orang tuanya, namun sifat dari attachment dapat bervariasi. Ainsworth dan rekannya (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2009) mengidentifikasi tiga pola attachment antara orang tua dan anak, yaitu secure attachment, avoidant attachment, dan anxious/ambivalent attachment.

Secure attachment terjadi ketika orang tua secara umum hadir dan responsif terhadap kebutuhan

anak. Anak yang merasa aman biasanya akan merasa mendapat dukungan dan keamanan. Avoidant

attachment terjadi ketika orang tua umumnya bersifat dingin, tidak responsif, atau bahkan menolak. Anak

mungkin pada awalnya “protes” terhadap kurangnya perhatian ini, namun kemudian akan menjadi “menjauh” dari pengasuh. Anak yang menghindar ini mungkin akan menekan rasa butuhnya dan menjadi mandiri secara prematur. Anxious/ambivalent attachment terjadi ketika orang tua tampak cemas dan tidak merespon secara konsisten terhadap kebutuhan anak. Orang tua mungkin terkadang responsif, terkadang tidak. Anak mungkin anak menjadi lebih waspada pada tanggapan dan merasa cemas (Taylor, Peplau, & Sears, 2009).

Pentingnya attachment yang aman (secure attachment) yang terbentuk dari keharmonisan di antara orang tua dengan anak untuk perkembangan seorang anak, khususnya anak dengan gangguan autistik/ASD seperti yang sudah dijabarkan peneliti pada latar belakang di atas, maka peneliti ingin mengetahui bagaimana gambaran persepsi orang tua tentang pola attachment anak dengan Autism

Spectrum Disorder (ASD).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental – ex post facto field study, di mana variabel independen sudah terjadi sebelum penelitian dilakukan dan situasi tidak dikontrol (Seniati, Yulianto, &

(5)

Setiadi, 2011).Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak dengan gangguan autistik/ASD di klinik “X” Jakarta Barat. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik sampling ini merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012). Teknik ini dilakukan dengan cara memilih sampel dari suatu populasi yang didasarkan pada informasi yang tersedia, sehingga perwakilannya terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan (Sarwono, 2012). Peneliti menggunakan teknik purposive sampling karena mempertimbangkan sulitnya mendapatkan sampel dan rumitnya permasalahan anak dengan gangguan autistik/ASD. Sehingga, sampel dan karakteristik pada penelitian ini adalah anak usia 4 sampai 7 tahun dengan gangguan autistik/ASD di klinik ”X” Jakarta Barat.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner pola attachment. Kuesioner tersebut akan diberikan kepada orang tua, baik ibu maupun ayah yang memiliki anak usia 4 sampai 7 tahun dengan gangguan autistik/ASD. Kuesioner ini menggunakan skala pengukuran, yaitu skala likert. Peneliti menggunakan skala Likert empat tingkatan, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skor yang diberikan adalah SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1. Pernyataan yang terdapat dalam kuesioner ini berjumlah 52 item. Selain itu, terdapat pula pertanyaan mengenai identitas partisipan sekaligus sebagai data kontrol, meliputi usia orang tua, domisili, pekerjaan orang tua, pengisi kuesioner, usia anak, jumlah anak, jumlah anak yang memiliki kebutuhan khusus, kegiatan anak di luar terapi, usia diagnosa, lamanya menjalani terapi, dan apakah menggunakan pengasuh atau tidak.

Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti adalah memilih topik penelitian, kemudian peneliti menentukan judul penelitian dengan membaca materi dan artikel mengenai fenomena yang terjadi pada anak-anak yang memiliki gangguan autistik/ASD. Namun, dikarenakan sulitnya mendapatkan fenomena nyata di Indonesia, peneliti melakukan wawancara dengan salah satu psikolog di sebuah klinik untuk mengetahui apa saja permasalahan yang seringkali dihadapi anak-anak tersebut dan orang tuanya. Setelah melakukan wawancara, peneliti menentukan judul penelitian dan membuat proposal skripsi. Proposal tersebut kemudian diujikan dengan melakukan pra-sidang skripsi. Setelah dinyatakan lulus, peneliti membuat alat ukur/instrumen penelitian berupa kuesioner serta surat izin untuk melakukan penelitian di klinik ”X” Jakarta Barat. Pembuatan alat ukur dibantu oleh dua expert judgment serta mendapat beberapa saran dari salah satu dosen sebelum dilakukan penyebaran kuesioner kepada orang tua dari anak dengan gangguan autistik/ASD di klinik ”X” Jakarta Barat.

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 26 Juni 2013 sampai 16 Juli 2013. Beruntung peneliti mendapatkan izin untuk sit in saat anak tersebut melakukan terapi sekaligus memberikan kuesioner kepada orang tua. Selain memberikan kuesioner, peneliti juga melakukan sedikit wawancara jika keadaan memungkinkan dan melakukan observasi terhadap anak dan orang tua yang bersangkutan. Setelah seluruh data terkumpul, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas. Program yang digunakan adalah program aplikasi statistik SPSS. Selanjutnya peneliti menggunakan Microsoft Office Excel untuk menghitung total dan rata-rata skor masing-masing attachment dari masing-masing anak.

(6)

HASIL DAN BAHASAN

Tabel 1 Rata-rata dan Hasil Skor Attchment

Anak Rata-rata Skor Attachment Hasil

Secure Avoidant Ambivalent

A 2,846 2,071 2,200 Secure B 3,538 1,214 1,800 Secure C 2,000 2,500 3,000 Ambivalent D 1,538 2,429 2,600 Ambivalent E 2,769 1,429 2,000 Secure F 2,923 1,857 1,600 Secure G 3,615 1,214 1,000 Secure H 2,846 1,786 2,200 Secure I 2,923 1,500 2,000 Secure J 2,385 2,357 2,200 Secure K 3,308 1,214 2,400 Secure L 2,231 2,357 2,000 Avoidant M 3,615 1,286 1,000 Secure N 2,692 1,786 1,800 Secure

Tabel 2 Total Subjek Berdasarkan Attachment

ATTACHMENT JUMLAH

Secure Attachment 11

Avoidant Attachment 1

Ambivalent Attachment 2

Total 14

Berdasarkan dua tabel di atas, terlihat bahwa jumlah terbanyak mengenai persepsi orang tua tentang pola attachment anak terdapat pada Secure Attachment, yaitu 11 anak. Sedangkan, Avoidant

Attachment memiliki jumlah 1 anak dan Ambivalent Attachment memiliki jumlah 2 anak.

Hasil persepsi orang tua tentang pola attachment anak terlihat dari bagaimana orang tua menangkap perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh anak mereka. Pertama, orang tua akan memperhatikan bagaimana anak mereka berperilaku dan bagaimana anak memposisikan orang tua sebagai bagian dari diri anak tersebut. Kemudian, perilaku-perilaku tersebut dimaknai atau diinterpretasi oleh orang tua.

Berdasarkan data yang sudah di dapat, persepsi orang tua tentang pola secure attachment anak berjumlah 11 orang. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua menangkap perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh anak mereka sebagai perilaku yang menggambarkan pola secure attachment. Secure

attachment itu sendiri dapat terbentuk ketika orang tua umumnya hadir dan responsif terhadap kebutuhan

anak. Tindakan orang tua tersebut akan memberikan rasa aman pada anak dan anak akan merasa mendapat dukungan (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Anak di bawah dua tahun dengan pola ini akan menangis atau protes ketika pengasuh utama pergi dan secara aktif mendekat bila sang pengasuh utama kembali. Pengasuh utama merupakan dasar rasa aman bagi mereka. Pada saat pengasuh utama hadir, anak akan meninggalkan pengasuh utama mereka untuk menjelajahi lingkungan dengan sesekali kembali

(7)

kepada pengasuh utama mereka untuk memastikan bahwa pengasuh utama mereka masih ada. Anak-anak ini cenderung kooperatif dan relatif bebas dari rasa marah (Papalia, Olds, Feldman, 2009). Kehadiran dan responsifitas dari orang tua merupakan indeks dari kualitas kepedulian. Selain dua hal tersebut, sensitivitas, psychological accessibility, kerjasama, dan penerimaan juga merupakan bagian dari indeks kualitas kepedulian yang dapat mempengaruhi gaya atau pola attachment dengan orang tua (Ainsworth dalam Feeney & Noller, 1996).

Jika dilihat dari kuesioner yang sudah diisi oleh orang tua, terdapat 11 orang tua yang memberikan skor tinggi pada pernyataan-pernyataan yang dikategorikan peneliti sebagai perilaku anak yang menggambarkan pola secure attachment, sehingga dapat dikatakan bahwa orang tua tersebut mempersepsikan anak mereka memiliki pola secure attachment. Salah satu pernyataannya adalah ”saat berhasil melakukan suatu hal, anak akan menunjukkan keberhasilannya kepada saya.” Sebelas orang tua tersebut memberikan skor tinggi pada pernyataan ini. Selain itu, perilaku tersebut juga terlihat saat peneliti melakukan observasi, di mana anak akan menunjukkan hal yang sudah dia lakukan kepada orang tuanya atau sesekali melihat dan memberikan senyuman. Terdapat juga anak yang hanya dengan melihat dan memberikan senyuman, seakan menunjukkan apa yang sudah dia capai, meskipun tidak dengan perkataan karena sebagian besar dari partisipan memiliki masalah dalam kemampuan verbalnya. Di sela-sela melakukan observasi di dalam ruang terapi, terdapat satu kejadian ketika ibu dari salah satu anak tersebut sedang mengobrol dengan peneliti, sang anak seketika mendekati ibu dan menarik tangan ibunya agar memperhatikan apa yang sedang dia lakukan.

Hal tersebut tidak semata-mata karena kemampuan anak, melainkan juga adanya faktor yang mempengaruhi terbentuknya attachment tersebut. Salah satu dari faktor tersebut adalah perilaku orang tua, di mana perilaku orang tua tersebut akan mempengaruhi perilaku anak (Ainsworth dalam Feeney & Noller, 1996). Terlihat pada saat peneliti melakukan observasi, orang tua dari sebelas anak tersebut akan memberikan respon terhadap perilaku anaknya. Respon tersebut seperti orang tua yang ikut tersenyum atau ikut memperhatikan anaknya yang terlihat sedang meminta diperhatikan atas apa yang sudah dilakukannya. Orang tua juga ikut ambil bagian dari terapi yang ada. Orang tua ikut belajar bagaimana cara yang baik dan tepat untuk memperlakukan dan memberikan ilmu kepada anaknya. Orang tua pun tidak hanya menerima keadaan anaknya begitu saja dan ”pasrah” mengikuti apa saja yang disarankan oleh terapis, melainkan juga mencari tahu apa kegunaan, untung dan rugi, serta mencari tahu apa yang terjadi dan bagaimana kondisi anaknya saat ini.

Berdasarkan data yang sudah di dapat, persepsi orang tua tentang pola avoidant attachment anak berjumlah 1 orang. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua menangkap perilaku-perilaku yang ditunjukkan oleh anak mereka sebagai perilaku yang menggambarkan pola avoidant attachment. Avoidant attachment itu sendiri dapat terbentuk ketika orang tua umumnya bersikap dingin, tidak responsif, atau bahkan menolak. Dikarenakan tindakan tersebut, awalnya mungkin anak akan melakukan ”protes” dan pada akhirnya anak akan ”menjauh” dari orang tua. Anak yang seperti itu mungkin akan menekan rasa butuhnya dan menjadi mandiri secara prematur (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Anak di bawah dua tahun dengan pola ini jarang menangis ketika terpisah dari pengasuh utama atau orang tua dan menghindari kontak ketika pengasuh utama kembali. Anak tersebut cenderung marah dan tidak mencoba menghampiri pengasuh utama ketika mereka membutuhan sesuatu. Mereka tidak suka dipegang, tetapi lebih tidak suka apabila pegangannya dilepas (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian ”Secure Attachment” bahwa kehadiran, responsifitas, sensitivitas, psychological

accessibility, kerjasama, dan penerimaan merupakan bagian dari indeks kualitas kepedulian yang dapat

mempengaruhi gaya atau pola attachment dengan orang tua (Ainsworth dalam Feeney & Noller, 1996), pada pembahasan ini memiliki kemungkina bahwa intensitas orang tua melakukan hal tersebut sangat sedikit.

Jika dilihat dari kuesioner yang sudah diisi oleh orang tua, terdapat 1 orang tua yang memberikan skor tinggi pada pernyataan-pernyataan yang dikategorikan peneliti sebagai perilaku anak yang menggambarkan pola avoidant attachment, sehingga dapat dikatakan bahwa orang tua tersebut mempersepsikan anaknya memiliki pola avoidant attachment. Salah satu pernyataannya adalah ”anak memilih bermain sendiri.” Orang tua tersebut memberikan skor tinggi pada pernyataan ini. Selain itu, perilaku tersebut juga terlihat saat peneliti melakukan observasi, anak tersebut terlihat tidak pernah menghampiri orang tuanya, dia seraya tidak mempedulikan kehadiran orang tuanya yang ikut berada di dalam ruang terapi.

(8)

Hal tersebut tidak semata-mata karena kesalahan anak, melainkan juga adanya faktor yang mempengaruhi terbentuknya attachment tersebut. Salah satu dari faktor tersebut adalah perilaku orang tua, di mana perilaku orang tua tersebut akan mempengaruhi perilaku anak (Ainsworth dalam Feeney & Noller, 1996). Terlihat pada saat peneliti melakukan observasi, orang tua terlihat acuh-tak acuh dan terlihat tidak antusias terhadap kegiatan anaknya selama terapi. Bahkan orang tua anak tersebut justru sibuk sendiri dengan kegiatannya, seperti asyik dengan smartphone-nya. Selain itu, ketika terapis memberikan keterangan mengenai kondisi anak tersebut, orang tua hanya menanggapi seadanya, tidak terlalu banyak bertanya. Sikap-sikap itu juga yang ditunjukkan ketika peneliti memberikan kuesioner untuk mengetahui kondisi anaknya yang ASD.

Peneliti berasumsi bahwa mungkin saya rasa aman anak tersebut bukan pada ayahnya (yang mengisi kuesioner), melainkan pada ibunya. Akan tetapi, peneliti tidak dapat men-judge karena pada saat pengambilan data, ibu dari anak tersebut tidak ikut serta, sehingga peneliti tidak dapat melakukan observasi yang mendalam.

Berdasarkan data yang sudah di dapat, persepsi orang tua tentang pola anxious/ambivalent

attachment anak berjumlah 2 orang. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua menangkap perilaku-perilaku

yang ditunjukkan oleh anak mereka sebagai perilaku yang menggambarkan pola anxious/ambivalent

attachment. Anxious/ambivalent attachment itu sendiri terbentuk ketika orang tua tampak cemas dan tidak

memberikan respon yang konsisten terhadap kebutuhan anak. Terkadang orang tua memberikan respon, terkadang tidak memberikan respon. Berdasarkan tindakan tersebut, anak akan menjadi lebih waspada pada respon yang diberikan orang tua dan akan merasa cemas (Taylor, Peplau, & Sears, 2009). Anak dengan pola ini akan merasa cemas sebelum pengasuh urama atau orang tua meninggalkannya. Ketika pengasuh utama kembali, anak akan menunjukkan ambivalensinya dengan mencari kontak dengan pengasuh utama seraya pada saat yang sama menolak dengan menendang atau menggeliat-geliat. Selain itu, anak akan sedikit mengeksplor dan sulit untuk ditenangkan (Papalia, Olds, & Feldman, 2009).

Jika dilihat dari kuesioner yang sudah diisi oleh orang tua, terdapat 2 orang tua yang memberikan skor tinggi pada pernyataan-pernyataan yang dikategorikan peneliti sebagai perilaku anak yang menggambarkan pola anxious/ambivalent attachment, sehingga dapat dikatakan bahwa orang tua tersebut mempersepsikan anaknya memiliki pola anxious/ambivalent attachment. Salah satu pernyataannya adalah ”saya kurang bisa memprediksi respon anak saat bermain.” Berdasarkan pandangan Greenspan, Wieder, dan Simons (2006), perilaku dari orang tua dapat terpengaruh dikarenakan mempunyai anak berkebutuhan khusus. Terjadi kebingungan dan tidak ada lagi kekuatan ketika orang tua mempunyai seorang anak yang sangat mereka cintai, namum membingungkan baginya. Orang tua menjadi bingung harus bersikap seperti apa dan bagaimana memperlakukan anaknya tersebut. Saat mengajak anak bermain, anak memberikan respon yang tidak konsisten yang mengakibatkan kebingungan pada orang tua tersebut. Selain itu, saat dilakukan observasi, terlihat kedua anak tersebut tidak pernah menghampiri orang tuanya yang sedang duduk menemaninya terapi. Salah satu dari anak tersebut justru lebih memilih untuk tiduran di dalam ruang terapi. Saat diminta melakukan permainan bersama terapis, anak tidak mau meskipun sudah dibujuk beberapa kali.

Hal tersebut tidak semata-mata karena kesalahan anak, melainkan juga adanya faktor yang mempengaruhi terbentuknya attachment tersebut. Salah satu dari faktor tersebut adalah perilaku orang tua, di mana perilaku orang tua tersebut akan mempengaruhi perilaku anak (Ainsworth dalam Feeney & Noller, 1996). Terlihat pada saat peneliti melakukan observasi, orang tua yang menemaninya terlihat acuh-tak acuh dengan apa yang dilakukan anaknya. Orang tua tersebut terlihat cuek dan terkadang sibuk dengan smartphone-nya yang dipegangnya. Saat terapis memberikan keterangan mengenai kondisi anaknya, orang tua hanya menanggapi seadanya, tidak terlalu banyak bertanya dan tidak terlalu banyak menceritakan kondisi anaknya di luar terapi. Namun, ketika terapi sudah selesai dan mereka harus bersiap-siap pulang, orang tua mendekati dan mengajak anaknya untuk membereskan barang bawaan dan menanyakan apakah anak tersebut mau ke kamar mandi terlebih dahulu sebelum pulang atau tidak. Berdasarkan tindakan tersebut, terdapat sedikit perhatian yang diberikan orang tua kepada anaknya. Ketidak-konsistenan tersebut yang mungkin saja mengakibatkan anak memiliki anxious/ambivalent

(9)

SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini adalah:

- Persepsi orang tua tentang pola attachment anak yang memiliki Secure attachment sebanyak 11 anak. Terlihat kedekatan di antara anak dan orang tua, di mana anak akan menunjukkan hal yang sudah dia lakukan kepada orang tuanya atau sesekali melihat dan memberikan senyuman. Terdapat juga anak yang hanya dengan melihat dan memberikan senyuman, seakan menunjukkan apa yang sudah dia capai, meskipun tidak dengan perkataan karena sebagian besar dari partisipan memiliki masalah dalam kemampuan verbalnya. Begitupun dengan orang tua yang akan memberikan respon terhadap perilaku anaknya tersebut.

- Persepsi orang tua tentang pola attachment anak yang memiliki Avoidant Attachment sebanyak 1 anak. Anak terlihat tidak pernah menghampiri orang tuanya, mereka seraya tidak mempedulikan kehadiran orang tuanya yang ikut berada di dalam ruang terapi. Orang tua pun terlihat acuh-tak acuh dan terlihat tidak antusias terhadap kegiatan anaknya selama terapi. Bahkan orang tua anak tersebut justru sibuk sendiri dengan kegiatannya, seperti asyik dengan smartphone-nya.

- Persepsi orang tua tentang pola attachment anak yang memiliki Anxious/Ambivalent Attachment sebanyak 2 anak. Anak terlihat tidak pernah menghampiri orang tuanya yang sedang duduk menemaninya terapi. Salah satu dari anak tersebut justru lebih memilih untuk tiduran di dalam ruang terapi. Saat diminta melakukan permainan bersama terapis, anak tidak mau meskipun sudah dibujuk beberapa kali. Orang tua yang menemaninya pun terlihat acuh-tak acuh dengan apa yang dilakukan anaknya. Namun, ketika terapi sudah selesai dan mereka harus bersiap-siap pulang, orang tua mendekati dan mengajak anaknya untuk membereskan barang bawaan dan menanyakan apakah anak tersebut mau ke kamar mandi terlebih dahulu sebelum pulang atau tidak. Berdasarkan tindakan tersebut, terdapat sedikit perhatian yang diberikan orang tua kepada anaknya. Ketidak konsistenan tersebut yang mungkin saja mengakibatkan anak memiliki anxious/ambivalent

attachment.

- Setengah dari partisipan menggunakan pengasuh atau babysitter dan mereka adalah anak yang memiliki secure attachment. Berdasarkan data tersebut dan observasi yang telah dilakukan peneliti, dapat disimpulkan bahwa orang tua dapat dengan baik melakukan pembagian tugas dengan pengasuh atau babysitter sehingga anak tidak mengalami kebingungan mengenai kelekatan atau

attachment.

Menyadari masih adanya kekurangan dalam penelitian ini, berikut adalah saran yang kiranya dapat membantu penelitian berikutnya:

- Jangka waktu pengambilan data lebih diperhatikan. Untuk penelitian mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dibutuhkan waktu yang cukup lama.

- Penelitian mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) sebaiknya dengan metode kualitatif karena dibutuhkan observasi dan wawancara kepada beberapa pihak terkait.

- Area penyebaran kuesioner dan sampel perlu diperluas agar persepsi orang tua mengenai anaknya yang memiliki gangguan autistik/ASD dapat digambarkan lebih general.

- Melengkapi referensi (teori) mengenai materi yang terkait.

- Jika dilihat dari kondisi anak berkebutuhan khusus (ABK), untuk penelitian selanjutnya dapat menghubungkan attachment dengan penerimaan orang tua.

- Saran yang dapat diberikan kepada klinik yang bersangkutan adalah memperbanyak seminar mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK), khususnya Autism Spectrum Disorder (ASD), agar pengetahuan yang dimiliki orang tua dapat lebih kaya.

- Memperbanyak seminar mengenai pentingnya Attachment anak dengan orang tua karena dengan adanya secure attachment di antara keduanya, perkembangan anak dengan Autism Spectrum

(10)

- Saat pengambilan data, sebaiknya tidak pada saat liburan sekolah. Jika kiranya akan ada kemungkinan terjadinya benturan jadwal, peneliti diharapkan dapat lebih cepat melakukan penelitian agar dapat mengambil data semua sampel yang ada (manajemen waktu).

REFERENSI

American Psychiatric Association. (2004). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR (4th ed.). Washington: APA.

Bordens, K. S., & Abbott, B. B. (2008). Research Design and Methods (7th ed.). New York: McGraw-Hill Interbational Edition.

Cassidy, J., & Philip, R. S. (1999). Handbook of Attachment: Theory, Research, and Clinical Applications. London: The Guilford Press.

Davis, N. M., & Carter, A. S. (2008). Parenting Stress in Mother and Father of Toddlers with Autism Spectrum Disorders: Associations with Child Characteristics, Journal Autism Development

Disorder, 38, 1278-1291.

Davison, G. C., Neale, J. M., & Kring, A. M. (2010). Psikologi Abnormal (9th ed.). N. Fajar (Trans.). Jakarta: Rajawali Pers.

Dolloff, A. (2008). Family key to helping special needs children. Bangor Daily News-United States. Diperoleh pada tanggal 19 November 2012, dari http://www.highbeam.com/doc/1P2-15335559.html

Feeney, J., Noller, P. (1996). Adult Attachment. USA: Sage Publications.

Feist, J., & Feist, G. J. (2008). Theories of Personality (6th ed.). Y. Santoso (Trans.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Greenspan, S. I., & Wieder, S. (2010). Engaging Autism : Melangkah Bersama Autisme. Jakarta: Yayasan Ayo Main!

Greenspan, S. I., Wieder, S., & Simons, R. (2006). The Child with Special Needs: Anak Berkebutuhan

Khusus. Jakarta: Yayasan Ayo Main!

Gul , W. (2011). Metodologi Penelitian. Jakarta: Grasindo (Gramedia).

Gulsrud, A. C., Wong, C., Kwon, S., & Locke, J. (2010). Randomized Controlled Caregiver Mediated Joint Engagement Intervention for Toddlers with Autism. Journal of Autism and Developmental

Disorders, 40, 1045-1056.

Hadis, A. (2006). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus-Autistik. Bandung: Alfabeta.

Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Moekdas, R., Sukadi, A., & Yuniati, T. (2010). Kapasitas Fungsi Intelektual pada Berbagai Kelompok Interaksi Sosial Anak Autis. Majalah Kedokteran Bandung (Bandung Medical Journal), 42 (3), 96-100.

Mulatsih, I. (2008). Berebut Pengaruh dengan Pengasuh Anak. Diperoleh pada tanggal 29 Juli 2013, dari http://edukasi.kompas.com/read/2008/10/16/15075416/Berebut.Pengaruh.dengan.Pengasuh.Anak Mulatsih, I. (2010). Berebut Pengaruh dengan Pengasuh Anak. Diperoleh pada tanggal 29 Juli 2013, dari

http://www.tabloidnova.com/Nova/Keluarga/Anak/Berebut-Pengaruh-Dengan-Pengasuh-Anak Naber, F. B. A., dkk. (2008). Play Behavior and Attachment in Toddlers with Autism. Journal Autism

Development Disorder, 38, 857-866.

Novia, P. R., & Kurniawan, I., N. (2007). Penerimaan Orang Tua pada Anak Autis. Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development (10th ed.). B. Marswendy (Trans.). Jakarta: Penerbit Salemba Humanika.

(11)

Rutgers, A.H., dkk. (2007). Autism, Attachment and Parenting: A Comparison of Children with Autism Spectrum Disorder, Mental Retardation, Language Disorder, and Non-clinical Children. Journal

Abnormal Child Psuchology, 35, 859-870.

Sarjono, H., & Julianita, W. (2011). SPSS vs LISREL: Sebuah Pengantar, Aplikasi untuk Riset. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Sarwono, J. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sarwono, J. (2012). Metode Riset Skripsi: Pendekatan Kuantitatif (Menggunakan Prosedural SPSS). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Semiun, Y. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Semiun, Y. (2006). Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius. Seniati, L., Yulianto, A., & Setiadi, B. N. (2011). Psikologi Eksperimen. Jakarta; PT Indeks.

Solso, R. L., Maclin, O. H., & Maclin M. K. (2008). Psikologi Kognitif (8th ed.). M. Rahardanto & K. Batuadji (Trans.). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Suriyani, L. D. (2009). Mereka Merasa Diabaikan Keluarga. Diperoleh pada tanggal 4 Maret 2013, dari http://www.balebengong.net/kabar-anyar/2009/07/23/mereka-merasa-diabaikan-keluarga.html Susanty, V. (2012, November 10). Fenomena yang Terjadi Di Lapangan Mengenai Anak dengan

Gangguan Autistik dan Orang Tua. (S. Putri).

Tablod Nakita. (2012). 9 Ciri Anak Sehat. Diperoleh pada tanggal 24 Oktober 2012, dari http://www.tabloid-nakita.com/read/35/9-ciri-anak-sehat

Taniredja, T., & Mustafidah, H. (2011). Penelitian Kuantitatif (Sebuah Pengantar). Bandung: Penerbit Alfabeta.

Taylor, S. E., Peplau, L. A., & Sears, D. O. (2009). Psikologi Sosial (12th ed.). T. Wibowo (Trans.). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Thomas, C. M., & Brozek, G. (2012). Run, Dear, Run. I. Laksmi (Trans.). Jakarta: Noura Books. Walgito, B. (2004). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: ANDI.

Wardhani, Y. F., Prabaningrum, V., Kristiana, L., & Handajani, A. (2009). Apa dan Bagaimana Autisme,

Terapi Medis Alternatif. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Wijaya, D. R. (2010). Fenomena Autisme di Indonesia: Tantangan & Peluang Pekerja Sosial Anak,

Keluarga, dan Sekolah. Diperoleh pada tanggal 7 Juli 2012, dari http://kesos.unpad.ac.id/?p=552

Yayasan Autisma Indonesia. (2008). Pengertian. Diperoleh pada tanggal 7 Juli 2012, dari http://autisme.or.id/istilah-istilah/autisme-masa-kanak/

RIWAYAT PENULIS

Sekar Pradani Niken M.D.A.A.P lahir di kota Yogyakarta pada 22 Desember 1991. Penulis

Gambar

Tabel 1 Rata-rata dan Hasil Skor Attchment  Anak  Rata-rata Skor Attachment

Referensi

Dokumen terkait

Dalam UU Wakaf, pasal 62 yang menjelaskan tentang penyelesaian sengketa mengenai wakaf, disebutkan apabila penyelesian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat 1

Dari penelitian yang pernah dilakukan di Puskesmas Mandala Tahun 2009 diperoleh gambaran hasil pemberian PMT selama 90 hari dari program Jaring Pengaman Sosial Bidang

Dapat disimpulkan bahwa risiko likuiditas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional secara bersama- sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap CAR pada

Untuk mengatur atau menggeser halaman dokument yang ditampilkan adalah fungsi dari.... Untuk Memilih teks dapat dilakukan dengan cara

Hasil temuan penelitian ini menunjukan bahwa: (1) SOIna adalah satu-satunya organisasi di Indonesia yang menyelenggarakan pelatihan dan kompetisi olahraga bagi

Tindakaan tersebut sesuai dengan panduan yang dikeluarkan oleh badan kesehatan dunia.Salah satu usaha yang dilakukan untuk dapat membantu memberikan oksigen yang

District,  South  Sumatra.  A  survey  was  conducted  to  measure  canal  profiles  related  to  wutcr  flow,  observe  grain  size  and  sediment  transport 

Ada sebagian orang yang senang sekali membatasi hidup orang lain berdasarkan warna yang dia gunakan, misalnya mengatakan “kamu sih suka baju warna hitam,