• Tidak ada hasil yang ditemukan

KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl.)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Perspektif Vol. 12 No. 1/Juni 2013. Hlm 23-36 ISSN: 1412-8004

KETAHANAN TANAMAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK

BUAH (Phytophthora palmivora Butl.)

Resistance of Cocoa to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl.)

RUBIYO dan WIDI AMARIA

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jl. Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi 43357, Jawa Barat - Indonesia e-mail:rubiyo_rb@yahoo.co.id

Diterima: 9 Desember 2012; Disetujui: 16 Mei 2013

ABSTRAK

Peningkatan produksi kakao menghadapi banyak kendala, antara lain serangan penyakit busuk buah kakao (BBK) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora

palmivora. Penyakit ini merugikan karena dapat

menurunkan produksi sampai 44%. Pengendalian yang biasa dilakukan adalah penggunaan secara periodik fungisida kimiawi yang memerlukan biaya besar, dan dapat berdampak negatif terhadap manusia dan lingkungan. Penggunaan bahan tanam tahan BBK merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut. Cara ini juga bersifat jangka panjang sehingga diperlukan informasi mengenai mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan atas mekanisme struktural dan biokimia, baik sebelum maupun sesudah penetrasi penyakit. Aktifitas penyebaran inokulum P. palmivora pada daur penyakit dipengaruhi oleh ciri morfologi buah kakao terhadap deposisi, pertumbuhan prapenetrasi inokulum dan kemampuan penetrasi inokulum ke dalam jaringan buah. Varietas kakao di Indonesia yang termasuk kategori tahan BBK adalah ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12 dan DRC 16.

Kata kunci: kakao, mekanisme ketahanan,

Phytoph-thora palmivora Butl.

ABSTRACT

The increase of cocoa production faces many problems such as black pod disease caused by Phytophthora

palmivora. The disease may reduce the production of

cocoa up to 44%. Control of the disease by chemical fungicides is costly and creates negative impact to humans and environment. Utilizing plant material which is resistant to black pod disease is an alternative to overcome this problem. It is also a long-term

solution, which require information on the mechanism of cocoa resistance. Mechanism of plant resistance to diseases determined by structural and biochemical mechanism that work on the entire cycle of disease, both before penetration and after infection. Distribution activity of inoculum of P. palmivora in the disease cycle is influenced by the morphological characters of cocoa pod as a deposition of inoculum pre-penetration and inoculum penetration ability into the fruit tissue. Cocoa varieties in Indonesia resistant to black pod disease are ICCRI3, ICCRI 4, Sca 6, Sca 12 dan DRC 16.

Key words: cocoa, mechanism of resistance,

Phytophthora palmivora Butl.

PENDAHULUAN

Budidaya kakao (Theobroma cacao

)

menghadapi banyak kendala, antara lain serangan organisme pengganggu yang dapat menurunkan produksi tanaman. Penyakit penting kakao baik di Indonesia maupun negara produsen lain adalah busuk buah (blackpod) yang disebabkan oleh jamur Phytophthora palmivora Butl. Kerugian akibat penyakit ini berbeda antar daerah atau negara. Pada umumnya besarnya kerugian akibat penyakit ini mencapai 20-30% dan kematian tanaman 10% pertahun (ICCO, 2012). Serangan penyakit ini mampu menurunkan produksi kakao hingga 44%. P. palmivora merupakan salah satu patogen yang paling serius pada kakao di seluruh dunia, dan di Asia Tenggara spesies ini ditemukan hampir

(2)

pada semua penyakit yang disebabkan Phytophthora palmivora.

Besarnya kerugian akibat penyakit busuk buah kakao (BBK) karena usaha pengendalian yang dilakukan seringkali memberikan hasil yang tidak konsisten. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya epidemi penyakit tersebut. Epidemi penyakit BBK didukung oleh beberapa faktor, yaitu (1) kakao diusahakan di daerah yang mempunyai kondisi iklim cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah, (2) jenis kakao yang diusahakan pada umumnya mempunyai ketahanan sedang sampai rendah, (3) umur buah sampai panen berkisar antara 5-7 bulan, (4) patogen dapat menyerang semua organ kakao dan serangan pada buah terjadi pada semua tahap pertumbuhannya, (5) tersedianya inokulum pada tanaman kakao, dan (6) patogen mempunyai tanaman inang yang luas. Pada umumnya penyakit busuk buah kakao dikendalikan secara preventif menggunakan fungisida kimiawi baik yang bersifat kontak maupun sistemik dengan aplikasi secara periodik sehingga memerlukan biaya lebih besar. Disamping itu, fluktuasi harga kakao yang sering tidak menentu juga menyebabkan pengendalian kimiawi menjadi tidak ekonomis, oleh karena itu diperlukan alternatif pengendalian lain yang secara bertahap dapat mengurangi ketergan-tungan pada fungisida kimiawi. Selain secara ekonomis kurang menguntungkan, penggunaan fungisida kimiawi juga berdampak negatif pada kesehatan manusia dan lingkungan terutama kehidupan musuh alami dan mikroorganisme yang bermanfaat.

Salah satu alternatif pengendalian penyakit yang aman untuk lingkungan dan merupakan komponen dalam pengendalian penyakit terpadu adalah penggunaan varietas tahan, yang bermanfaat karena bersifat ramah lingkungan (Akrofi dan Opoku, 2000). Mc.Mohan dan Purwantara (2004) menambahkan bahwa langkah pengendalian yang paling efektif adalah pengenalan genotif kakao tahan. Selain koleksi plasma nutfah, juga pemeliharaan onfarm variabilitas genetik sehingga memudahkan dalam seleksi di bidang pemuliaan. Varietas kakao dengan tingkat ketahanan tertentu lebih mudah ditemukan di antara bahan tanam yang

ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi dapat menjadi cara terbaik untuk mengatasi BBK (Muller, 1974). Dijelaskan bahwa penggunaan bahan tanam tahan dalam pengendalian preventif dapat memperlambat perkembangan epidemi penyakit (Campbell and Madden, 1990) sehingga dapat meringankan beban petani. Iswanto dan Winarno (1992) menjelaskan, pemuliaan kakao di Indonesia ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan ciri memiliki potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap hama dan penyakit penting seperti busuk buah (P. palmivora) dan vascular streak dieback (Oncobasidium theobromae).

Keberhasilan ketahanan terhadap Phytophthora di lapangan ditentukan oleh interaksi antara inang, patogen dan lingkungan. Konsentrasi inokulum dan kondisi lingkungan menentukan seberapa efektif ketahanan inang untuk menekan kejadian penyakit. Hal tersebut tidak mudah terutama patogen yang memiliki kisaran inang luas (André Drenth dan David, 2004). Menurut van der Vossen (1997), ketahanan tanaman terhadap P. palmivora merupakan program pemuliaan prioritas pada negara produsen kakao, namun kemajuan yang dicapai kurang memuaskan karena kurangnya keanekaragaman plasma nutfah kakao, belum ada metode uji saring yang efisien, tidak adanya strategi pemuliaan yang efektif, dan kurangnya penelitian mengenai genetika dan mekanisme ketahanan inang. Dengan demikian, informasi serta pemahaman mengenai mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap P. palmivora sangat membantu usaha di bidang pemuliaan ketahanan.

BIOEKOLOGI DAN EPIDEMI PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO

P. palmivora dapat menyerang semua organ atau bagian tanaman, seperti akar, daun, batang, ranting, bantalan bunga, dan buah pada semua tingkatan umur. Tetapi serangan pada buah paling merugikan (Opeke and Gorenz, 1974), terutama serangan buah yang belum matang. P. palmivora dapat menginfeksi seluruh permukaan buah, namun bagian paling rentan adalah pangkal buah. Buah yang telah terinfeksi patogen

(3)

akan berwarna cokelat kehitaman pada permukaannya, menjadi busuk basah, dan selanjutnya gejala menyebar menutupi seluruh permukaan buah. Pada bagian yang menghitam akan muncul lapisan berwarna putih bertepung

yang merupakan spora jamur sekunder dan terdapat juga sporangium Phytophthora (Semangun, 2000). Jika kondisi lingkungan (kelembaban) sesuai maka miselium yang berwarna putih dan mengandung sporangium Gambar 1. Gejala penyakit busuk buah kakao (foto: Rubiyo)

(4)

Gambar 2. Siklus hidup P. palmivora (Erwin dan Ribeiro, 1996) akan menutupi seluruh permukaan buah. Guest

(2007) menjelaskan bahwa awalnya bercak pada buah berukuran kecil seperti spot-spot yang kotor, tebal dan terdapat pada setiap fase perkembangan buah, kemudian bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Patogen menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut serta berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi. Gejala busuk buah dapat ditemukan dari ujung, pangkal, tengah, buah pentil, muda, tua, buah yang berada di bawah, di tengah, maupun di atas pohon. Bila buah kakao terserang dibelah maka nampak biji-biji dan daging buah busuk, berwarna cokelat (Gambar 1). Pada infeksi lanjutan, biji kakao akan berubah warna dan berkerut (Bowers et al., 2001). Keadaan ini dapat menyebabkan kehilangan hasil dan rendahnya kualitas buah.

Penyebaran penyakit P. palmivora dapat melalui air, semut, tikus, tupai, bekicot yang dijumpai di perkebunan kakao. Selama daur hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa inokulum yang berperan dalam perkembangan penyakit pada kakao, yaitu miselium, sporangium, oospora, dan klamidospora.

Sporangium berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah, dan tidak langsung dengan membentuk zoospora (Semangun, 2000). Menurut Erwin dan Ribeiro (1996) Phytophthora memiliki miselium coenocytic tanpa atau sedikit sekat dan di dalam air dapat menghasilkan zoosporangia. Oospora seksual terbentuk secara tunggal dalam oogonium setelah pembuahan oleh inti dari antheridium tersebut. Dinding sel mengandung selulosa mikrofibril dan B-1,3-glukan (Gambar 2).

Morfologi P. palmivora yaitu sporangium ovoid dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas (Drenth dan Sendall, 2001). Sporangium mempunyai panjang 35-40 µm dan lebar 23-28 µm, nisbah panjang/lebar 1,4-1,6, ukuran ini bervariasi sesuai dengan medium, inang, umur biakan, lengas dan cahaya. Panjang pedikel 2-10 µm. Umumnya di alam sporangium menghasilkan 15-30 spora kembara. Sporangium dapat pula menjadi sporangium sekunder atau konidium (Waterhouse, 1974).

Bentuk klamidospora P. palmivora dapat bertahan dalam tanah kurang dari 10 bulan (ICCO, 2012). Selain itu, berupa miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang

(5)

tersebar di tanah, yang kemudian dapat menjadi sumber inokulum BBK. Sumber inokulum tersebut memiliki peranan yang berbeda, tergantung pada lingkungan maupun iklim setempat. Umumnya tanah dan akar berperan sebagai sumber inokulum primer yang memberikan inokulum infektif pada awal musim hujan untuk dimulainya epidemi busuk buah, sedangkan buah dan bagian kanopi yang sakit berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan berhubungan langsung dengan kehilangan hasil (Pereira, 1995).

Epidemi penyakit BBK terjadi akibat penyebaran inokulum P. palmivora secara vertikal (dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon). Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak langsung antara buah sakit dan buah sehat, penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari buah sakit ke buah sehat di bawahnya, bantuan serangga vektor, dan percikan air hujan dari tanah kebuah di sekitar pangkal batang. Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan bantuan serangga, kontak antar pohon dan angin (Muller, 1974). Penyebaran horizontal terjadi lebih lambat daripada penyebaran vertikal.

Penyakit busuk buah sukar dikendalikan karena epidemi penyakit ini kompleks dan belum dapat diungkapkan secara tuntas. Pembuangan sumber inokulum primer yang terdapat di pohon (buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah (serasah dan kulit buah) tidak menyebabkan penundaan terjadinya epidemi pada musim hujan. Hal ini menunjukkan adanya sumber inokulum lain yang memperbesar inokulum primer (Dennis dan Konam, 1994).

Thorold (1975) menjelaskan bahwa perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh kelembaban udara, yaitu 80-95% selama 2-4 jam yang mendukung infeksi spora kembara P. palmivora. Pada kondisi lembab, P. palmivora dapat menghasilkan sampai 4 juta sporangia yang disebarkan melalui hujan, semut, serangga, tikus, kelelawar maupun peralatan pemangkasan yang terkontaminasi (ICCO, 2012). Disamping itu, busuk buah juga berhubungan langsung dengan jumlah buah di pohon dan curah hujan, namun jumlah buah berbanding terbalik dengan curah hujan sehingga ada interaksi antara curah hujan, keragaan (performance) tanaman dan

penyakit (Thorold, 1975). Hasil penelitian Rubiyo et al. (2008a) dengan menguji isolat P. palmivora dari berbagai daerah sentra kakao di Indonesia dengan membasahi buah kakao dan daun kakao spora mampu menginfeksi, umumnya memberikan tingkat patogenisitas yang tinggi terhadap tanaman kakao di buah maupun di bibit.

Menurut Purwantara (1990) kebasahan permukaan buah dan kelembaban udara berperan langsung terhadap infeksi P. palmivora pada buah kakao. Dalam hal ini peranan curah hujan terjadi secara tidak langsung melalui terjadinya kebasahan permukaan buah dan meningkatnya kelembaban udara. Demikian juga pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi terjadi secara tidak langsung, melalui pengaruhnya terhadap kelembaban udara dan kebasahan buah.

VARIETAS KAKAO TAHAN BUSUK BUAH Varietas tahan merupakan salah satu cara pengendalian penyakit yang sangat dianjurkan karena ramah lingkungan (Akrofi dan Opoku, 2000). Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang ditemukan di antara bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao (Muller, 1974). Menurut Muller (1974), ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dibedakan atas ketahanan sejati (true resistance) dan ketahanan semu (false resistance atau diseaseavoidance). Ketahanan pertama merupakan hasil dari karakteristik anatomi, fisiologi dan biokimia, sedangkan ketahanan kedua hasil dari karakteristik fenologi pohon sehingga terhindar dari infeksi P. palmivora. Penggunaan bahan tanam tahan dapat memperlambat perkembangan epidemi penyakit (Campbell dan Madden, 1990). Berdasarkan epidemilogi, ketahanan tanaman dapat bekerja dengan cara: a) mereduksi jumlah infeksi, b) mereduksi laju perluasan bercak, c) mereduksi sporulasi patogen, d) memperpanjang masa inkubasi, dan e) mereduksi deposisi spora (Berger, 1977).

Sumber gen ketahanan terhadap penyakit BBK dapat ditemukan antara lain pada daerah

(6)

asal tanaman bersangkutan, yaitu dari hulu sungai Amazon (Brazil). Klon atau hibrida tahan dari wilayah ini (Iquinitos, Nanay, dan Parinari) adalah P 7, P 30, Pa 35, Na 32, T.85/799 (IMC 60 x Na 34), T 87 (IMC 60 x Na 34), T. 79/501 (Na 32 x Pa 7), T 60 (Pa 7 x Na 32), T 86/2 (Pa 35 x Pa 7), T 65/7 (P 7 x IMC 47). Klon tahan lain adalah Sca 6, Sca 12 (dari Ekuador), TSH 565, 516, 774 (dari Trinidad) (Soria, 1974). Hasil pengujian dibeberapa negara menunjukkan bahwa Sca 6 dan Sca 12 memberikan ketahanan mantap (Iswanto dan Winarno, 1992; Philip-Mora, 1999). Klon tahan lain di Indonesia adalah ICS 6, DRC 16, Sca 12, Sca 6, ICCRI 3 an ICCRI 4 sedangkan GC 7, DR 2, DR 38, DRC 9, Sca 89 moderat, dan DR 1 rentan (Iswanto dan Winarno, 1992). Klon anjuran yang tahan terhadap penyakit BBK adalah P 300, RRC 71, RCC 73. Menurut Winarno dan Sukamto (1986), hibrida DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 tidak menunjukkan beda nyata dalam luas bercak hasil inokulasi miselium P. palmivora dibanding dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca12 yang tahan. Bila dibandingkan dengan klon DR 1 yang bersifat rentan, maka hibrida-hibrida tersebut tahan terhadap patogen P. palmivora. Hasil penelitian Rubiyo et al. (2008b) menunjukkan bahwa apabila klon kakao dari tetua yang rentan disilangkan dengan klon kakao dengan yang tahan akan menghasilkan hibrida yang cenderung tahan.

Ketahanan semu disebabkan oleh bergesernya periode pembungaan dari musim yang mendukung perkembangan patogen. Di Kamerun, klon UPA 134 berbunga melimpah pada pertengahan musim kemarau sehingga buah dapat tahan dari serangan P. palmivora. Klon serupa adalah SNK 10, 12, 16,136, 213, 459; ICS 39, 40, 43, 46, 61 (Muller, 1974). Di Nigeria, puncak produksi kakao klon T 24/12 tercapai 2-3 bulan setelah musim hujan sehingga umumnya buah masih kecil dan kerugian akibat busuk buah rendah. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara ukuran buah dan serangan P. palmivora. Fenomena escape diamati pula di Pantai Gading (Kebe et al., 1999).

Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula dicari dari jenis kakao lain. Buah T. grandiflora tahan terhadap inokulasi spora patogen tersebut, sebaliknya T. bicolor, T. spiciosa,

T. simiarum dan T. mammosum rentan (Hansen, 1961 dalam Soria, 1974). Penggunaan jenis ini sebagai sumber gen tahan menghadapi kendala karena keberhasilan hibridisasinya dengan T. cacao sangat terbatas. Hibrid F1 T. cacao x T. grandiflora mempunyai pertumbuhan lambat, lemah dan fertilitas rendah (Soria, 1974).

SIFAT, PROSES DAN MEKANISME KETAHANAN KAKAO TERHADAP

PENYAKIT BUSUK BUAH

Sifat Ketahanan

Simmonds (1994) menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada vertikal. Umumnya ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan, seperti kakao, namun tidak mudah dalam penanganannya terutama berhubungan dengan pemuliaan tanaman. Zadoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan jamur patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistant) yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain. Menurut Agrios (2005) bahwa ketahanan tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia.

Iwaro et al. (1995) menjelaskan ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, yaitu ketahanan prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi patogen, serta menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pascapenetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya jaringan tanaman (ukuran bercak) yang diinfeksi patogen. Fry (1982) menyatakan walaupun patogen berhasil

(7)

mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat.

Proses Infeksi Patogen

Proses infeksi patogen diawali dengan penetrasi P. palmivora pada buah kakao, yaitu beberapa saat setelah patogen berkontak dengan air, spora kembara mulai dibebaskan, mengkista dan kemudian menghasilkan buluh kecambah. Penetrasi buluh kecambah melalui mulut kulit. Bintik nekrotik kehitaman terlihat antara 24 sampai 36 jam setelah infeksi pada tempat inokulasi. Gejala awal pada kultivar tahan sama dengan kultivar rentan, yaitu adanya sel yang mempunyai granula berwarna kecokelatan (Tarjot, 1974). Sel yang berkontak dengan hifa jamur menjadi kecokelatan dan tampak granula kecil, kemudian sel menjadi nekrosis, dinding sel menjadi cokelat dan tebal, dan kadang terlihat hifa di dalam sel. Kejadian ini mengawali munculnya bercak busuk buah. Patogen P. palmivora tetap mempenetrasi buah tahan maupun buah rentan, namun terjadi perbedaan penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah kakao (Tarjot, 1974). Pada buah rentan, jamur tidak dapat bertahan lama dalam sel, sel rusak dengan cepat dan segera terlihat granula kecokelatan. Ada penyebaran patogen yang cepat dari satu ke sel lain, sehingga periode inkubasinya pendek dan perkembangan busuk berlangsung cepat. Berbeda pada buah tahan, jamur tetap bertahan lebih lama di dalam sel sebelum munculnya nekrosis. Jamur mengalami degenerasi lambat, dan perpindahan dari sel yang satu ke sel lainnya menjadi terhambat, serta menghasilkan periode inkubasi yang lama atau bahkan terjadi ketahanan sempurna (Tarjot, 1972 dan 1974).

Mekanisme Ketahanan

Mekanisme ketahanan pada tanaman kakao terdiri dari struktural dan biokimia.

a. Struktural

Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry (1982) walaupun seringkali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi,

karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada deposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora jamur ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora.

Ketahanan struktural yang dipengaruhi sifat morfologi dan anatomi, dijelaskan pada beberapa tanaman lain, sebagai contoh ketebalan kutikula dan kerapatan mulut kulit merupakan faktor penting yang berhubungan dengan ketahanan ubi jalar terhadap infeksi Sphacelomabatatas (Baijit and Gapasin, 1987 dalam Iwaro et al., 1997). Ketahanan kecipir terhadap Phoma sorghina diketahui berhubungan dengan lapisan lilin, ketebalan kutikula dan kerapatan mulut kulit. Penelitian mengenai ketahanan Dioscorea alata terhadap antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) mengungkapkan bahwa kultivar tahan mempunyai mulut kering yang tenggelam dengan pori lebih pendek yang dikelilingi oleh sel sklerenkim (Nwankiti and Okpala, 1984 dalam Iwaro et al., 1997).

Penelitian Tarjot (1972) menunjukkan bahwa jumlah mulut kulit dan rambut-rambut pada epidermis tidak berkorelasi dengan ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora. Parasit ini selalu dapat melakukan penetrasi kedalam jaringan buah rentan maupun tahan. Diperkirakan ketahanan terhadap jamur ini terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di bawah epidermis. Phillips-Mora (1999) menyatakan bahwa hubungan antara jumlah, panjang, lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar mulut kulit tidak dapat menjelaskan ketahanan kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun ada perbedaan nyata antarkultivar, kultivar tahan (P 7) dan moderat (UF 668) mempunyai jumlah mulut kulit terbanyak, sebaliknya CATIE 1000 (tahan) dan P 12 (rentan) mempunyai jumlah mulut kulit yang lebih sedikit.

Iwaro et al. (1997) yang mengkaji hubungan Monilia roreri dan T. cacao menunjukkan tidak ada

(8)

perbedaan anatomi eksternal antara buah kakao tahan dan rentan. Penelitian berbeda menunjukkan adanya korelasi nyata antara ketahanan penetrasi (jumlah bercak) dengan kerapatan mulut kulit dan panjang pori. Ketahanan ini tidak berkorelasi dengan lapisan lilin pada permukaan epidermis, ketebalan, kekerasan, dan kandungan lengas perikarp. Ciri morfologi buah tidak berkorelasi dengan ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan peran mekanisme biokimiawi Iwaro et al. (1997). Setiap buah kakao yang tahan terhadap M. roreri mempunyai cellular arrangement parenkim sub epidermis yang berbeda dibandingkan buah rentan. Buah tahan mempunyai sel-sel yang kompak dan juga mengandung sejumlah besar senyawa fenolat.

Lignifikasi dinding sel merupakan suatu bentuk ketahanan tanaman terhadap penetrasi patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam lamela tengah, dinding sel primer dan sekunder (Akai dan Fukutomi, 1980). Penggabungan lignin ke dalam dinding sel tanaman memberikan kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding sel lebih tahan terhadap degradasi enzim patogen (Goodwin dan Mercer, 1990). Dinding sel yang terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat mencegah pergerakan hara sehingga patogen dapat mengalami kelaparan. Prekursor lignin berpengaruh toksis pada patogen. Semua perubahan dinding sel setelah infeksi dapat meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan patogen secara langsung atau memperlambat proses penetrasi sehingga tanaman dapat mengaktifkan mekanisme pertahanan selanjutnya. Lignifikasi dapat pula terjadi pada sel jamur. Menurut Toxopeus dan Jacob (1970) dalam Wood (1985) ada perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat lignifikasinya antarkultivar kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit busuk buah.

Mekanisme ketahanan struktural kakao terhadap penyakit BBK, juga diteliti oleh Winarno dan Sukamto (1986), melaporkan perkembangan diameter bercak tongkol kakao yang diinokulasi dengan P. palmivora diketahui perkembangan diameter bercak hibrida DR1x Sca 12, DRC 16x Sca6 dan DRC 16x Sca12 tidak

berbeda nyata dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca 12. Penelitian lain (Suhendi et al., 2005) menunjukkan bahwa ada perbedaan ketahanan antar klon kakao terhadap penyakit busuk buah. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858 mempunyai bercak yang paling kecil, diikuti oleh klon yang moderat DRC 16 dan klon ICS 60, dan klon rentan NIC 4 dan GC 7. Disamping itu penelitian berkaitan dengan ciri morfologi buah kakao dilaporkan oleh Wirianata (2004), bahwa panjang pori mulut kulit kakao, kedalaman dan lebar alur primer menunjukkan peran yang lebih besar dalam ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora dibandingkan dengan kerapatan mulut kulit. Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan panjang pori yang besar berhubungan dengan mekanisme ketahanan struktural yang lain dan faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi patogen pasca penetrasi.

Mekanisme ketahanan struktural ini dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam dan morfologi luar yang masing-masing menunjuk pada ciri morfologi buah dan anatomi/histologi jaringan buah kakao. Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman dan lebar alur primer permukaan buah. Klon Sca 12 mempunyai kedalaman dan lebar alur primer yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini menentukan kondisi habitat mikro permukaan buah kakao yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi (perkecambahan dan pertumbuhan buluh kecambah) inokulum patogen. Meskipun penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak mempengaruhi katahanan kakao terhadap patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858 mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.

b. Biokimia

Mekanisme ketahanan biokimia tanaman dihubungkan dengan produksi senyawa antimikrobia tanaman dari jalur metabolisme sekunder. Senyawa ini pada ketahanan aktif disebut fitoaleksin, sedangkan pada ketahanan

(9)

pasif disebut fitoantisipin (Van Etten et al., 1994 dalam Osbourn, 1996). Fitoaleksin mempunyai sifat sebagai berikut: (1) metabolit sekunder yang mempunyai berat molekul rendah, dihasilkan sebagai tanggapan terhadap kematian lokal sel tanaman, (2) sintesis fitoaleksin terjadi dalam sel-sel sehat sebagai tanggapan terhadap bahan yang merembes dari sel yang mati, (3) sintesis fitoaleksin melibatkan banyak enzim.

Serangan patogen dapat meningkatkan respirasi jaringan tanaman yang tahan. Hal ini terkait dengan aktivasi sistem pertahanan tanaman yang memerlukan energi dan prekursor bagi biosintesis senyawa yang berperan langsung (bersifat antimikrobia) maupun tidak langsung (sebagai prekursor ketahanan struktural) Metabolisme sekunder yang terkait erat dengan peningkatan respirasi tersebut adalah biosintesis senyawa fenolat (Agrios, 2005). Biosintesis senyawa fenolat pada tumbuhan memerlukan prekursor asam amino aromatik yang berasal dari jalur shikimat, malonat, dan mevalonat. Umumnya jalur shikimat terdapat pada tumbuhan dan mendapatkan pasokan karbohidrat dari glikolisis dan pentosafosfat (Goodman et al., 1986). Jalur ini menghasilkan asam shikimat yang merupakan prekursor sintesis fenilalanin dan tirosin (Herrmann, 1995).

Metabolisme fenilpropanoid merupakan jalur karbon utama dari metabolisme primer ke metabolisme sekunder. Jalur ini diawali dengan deaminasi fenilalanin oleh phenylalanine ammonia liase (PAL) (enzim 1) menghasilkan asam sinamat, prekursor biosintesis senyawa fenolat melalui jalur fenilpropanoid (Goodman et al., 1986; Goodwin dan Mercer, 1990). Asam sinamat dihidrolisis oleh sinamat-4-hidroksilase (enzim 3) menghasilkan ρ-kumarat. Asam ini dapat pula dihasilkan melalui deaminasitirosin oleh tirosinamonialiase (enzim 2). Kemudian asam kumarat dihidrolisis menjadi asam kafeat oleh asam ρ-kumarathidroksilase (enzim 4). Asam kafeat membentuk ester dengan asam kuinat menghasilkan asam klorogenat. Metilasi asam kafeat oleh o-metiltransferase (enzim 5) menghasilkan asam ferulat. Enzim tersebut juga dapat mengubah asam ferulat menjadi asam hidroksi ferulat dan asam sinapat. Asam-asam ini merupakan prekursor sintesis lignin. Asam

ρ-kumarat dapat pula diubah menjadi kumaroil-KoA oleh asam sinamat: KoAligase (enzim 6).

Ekspresi gen yang menyandi PAL, cinnamate-4 hydroxylase dan cinnamate: CoAligase dipengaruhi oleh faktor lingkungan termasuk serangan patogen. Ekspresi gen tersebut berhubungan produk senyawa fenolat yang dapat larut dan yang terikat dalam dinding sel tanaman Wirianata (2004) menyatakan bahwa aktivitas PAL pada buah kakao belum dapat menunjukkan tingkat ketahanan terhadap P. palmivora.

Beberapa fenilpropanoid sederhana (C6-C3

dari fenilalanin) dihasilkan dari senyawa sinamat melalui serangkaian reaksi hidroksilasi, metilasi, dan dehidrasi, meliputi asam ρ-kumarat, asam kafeat, asam ferulat, asam sinapat, dan kumarin. Asam hidroksinamat yang bersifat anti jamur adalah asam ρ-kumarat, asam ferulat, asam kafeat, asam sinapat, dan asam klorogenat. Senyawa ini terdistribusi dalam banyak jenis tanaman (Grayer dan Harborne, 1994).

Pada umumnya senyawa fenolat dalam jaringan tumbuhan dihubungkan dengan ketahanan terhadap penyakit, seperti kandungan asam klorogenat dalam jaringan umbi kentang berkorelasi positif dengan ketahanan terhadap Streptomyces, Verticillium alboatrum, dan Phytophthora infestans. Fenol sederhana seperti asam klorogenat dihubungkan dengan ketahanan tanaman sebagai preformed antibiotics maupun dengan ketahanan terimbas. Senyawa fenolat dapat pula berperan tidak langsung dalam ketahanan, yaitu sebagai komponen lignin dan esterfenol yang membentuk ikatan-lintas (cross-linking) sehingga memperkuat dinding sel, adanya lignin dapat ditunjukkan dengan adanya senyawa asam siringat (Donaldson, 2001).

Tanin adalah senyawa polifenol yang larut dalam air yang berbeda dengan senyawa fenolat alami lain dalam kemampuannya mengendapkan protein. Tanin dapat terakumulasi dalam jumlah besar dalam organ atau jaringan tertentu seperti kulit, kayu, daun dan akar.

Spance (1961) dan Prendergast (1965) dalam Iwaro et al. (1999) mengemukakan keterlibatan polifenoloksidase dalam mekanisme ketahanan tahap pascapenetrasi buah kakao terhadap P. palmivora. Okey (1996) dalam Iwaro et al. (1999) menunjukkan bahwa klon tahan mempunyai

(10)

kandungan tanin yang lebih tinggi dan fenol spesifik ini mungkin terlibat dalam mekanisme ketahanan. Terdapat variasi kandungan karbohidrat, asam amino, dan fenol dalam perikarp buah empat hari setelah infeksi P. megakarya. Penurunan kandungan karbohidrat lebih besar diamati pada klon SNK 10 (sangat rentan) daripada klon SNK 413 (tahan) dan ICS 95 (agak tahan), ini menunjukkan bahwa senyawa ini dipergunakan oleh jamur. Pada saat yang sama kandungan asam amino meningkat dalam buah ketiga klon tersebut. Ada peningkatan kandungan fenol empat hari setelah infeksi. Klon kakao yang tahan mempunyai kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi, baik dalam buah sehat maupun yang sakit. Namun, kandungan fenolat dalam buah sehat belum dapat berperan sebagai preformat inhibitor, seperti ditunjukkan dengan gejala busuk buah pada semua klon kakao. Secara komulatif senyawa fenolat dapat membatasi perkembangan busuk buah pada klon kakao yang tahan.

Penghambatan perkecambahan spora P. palmivora dihasilkan oleh fenol total yang berasal dari Sca 12 dan terkecil dari GC 7, sedangkan fenol total yang berasal dari TSH 858, DRC 16, ICS 60 dan NIC 4 menghasilkan penghambatan perkecambahan yang sama besar. Penghambatan panjang buluh kecambah P. palmivora yang terbesar dihasilkan oleh fenol total yang berasal dari Sca 12 dan DRC 16, diikuti NIC 4, penghambatan terkecil dihasilkan oleh GC7. Hasil ini berhubungan erat dengan kandungan senyawa fenolat dalam ekstrak buah masing-masing klon kakao. Penghambatan ini didukung oleh pendapat bahwa pertumbuhan inokulum merupakan proses enzimatik, padahal senyawa fenolat mempunyai afinitas yang tinggi terhadap protein sehingga senyawa ini dapat berperan sebagai inhibitor enzim (Grayer dan Harborne, 1994).

PENGUJIAN KETAHANAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH

Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa ketahanan buah kakao ditentukan oleh mekanisme ketahanan struktural

yang terdiri atas morfologi buah khususnya kedalaman alur primer dan panjang pori mulut kulit, dan lignifikasi perikap pascainfeksi patogen, serta mekanisme biokimia yang melibatkan peningkatan kandungan senyawa fenolat pascapenetrasi. Ada keterkaitan erat antara mekanisme biokimia dan struktural, yaitu melalui peran langsung maupun tidak langsung senyawa fenolat dalam ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah. Hubungan ini dapat ditunjukkan oleh kedalaman alur primer dan panjang pori mulut kulit dengan kandungan asam klorogenat, asam ferulat dan asam siringat. Di samping itu, ada perbedaan kepekaan antara perkecambahan spora dan pertumbuhan buluh kecambah P. palmivora terhadap pengaruh fenol total dari klon yang sama. Hasil ini disebabkan oleh toksisitas asam tanat yang lebih tinggi dibanding asam fenolat. Dibandingkan dengan perkecambahan spora, proses metabolisme yang terlibat dalam pertumbuhan buluh kecambah lebih komplek sehingga lebih memungkinkan bekerjanya mekanisme penghambatan oleh asam tanat.

Pengujian ketahanan pada buah kakao di laboratorium telah dilakukan oleh Suhendi et al. (2005) tentang luas bercak akibat infeksi P. palmivora pada buah dan diameter bercak busuk buah dari enam klon kakao. Winarno dan Sukamto (1986) dan Rubiyo et al. (2008b) tentang. perkembangan diameter bercak tongkol kakao yang di inokulasi dengan P. palmivora, Wirianata (2004) tentang ciri morfologi buah dari enam klon kakao. Dari hasil pengujian tersebut dapat disimpulkan bahwa panjang pori mulut kulit kakao, kedalaman dan lebar alur primer menunjukkan peran yang lebih besar dalam ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora dibandingkan dengan kerapatan mulut kulit. Ketahanan Klon kakao TSH 858 yang mempunyai kerapatan mulut kulit tertinggi dan panjang pori yang besar berhubungan dengan mekanisme ketahanan struktural yang lain dan faktor biokimia yang dapat membatasi kolonisasi patogen pasca penetrasi.

Mekanisme ketahanan struktural ini dipilahkan menjadi struktur morfologi dalam dan morfologi luar yang masing-masing menunjuk ke ciri morfologi buah dan

(11)

anatomi/histologi jaringan buah kakao. Ketahanan kakao dipengaruhi oleh kedalaman dan lebar alur primer permukaan buah. Sca 12 mempunyai kedalaman dan lebar alur primer yang lebih besar, sebaliknya klon kakao yang rentan GC 7 mempunyai kedalaman alur primer terdangkal dan lebar alur terbesar. Kedua ciri ini menentukan kondisi habitat mikro permukaan buah kakao yang selanjutnya akan mempengaruhi pertumbuhan pra penetrasi (perkecambahan dan pertumbuhan buluh kecambah) inokulum patogen. Meskipun penetrasi buluh kecambah P. palmivora melalui mulut kulit, namun kerapatan mulut kulit tidak mempengaruhi katahanan kakao terhadap patogen ini. Klon tahan Sca 12 dan TSH 858 mempunyai kerapatan mulut kulit terbesar, dan sebaliknya untuk klon rentan NIC 4 dan GC 7.

Klon kakao yang tahan mempunyai kandungan senyawa fenolat yang lebih tinggi, baik dalam buah sehat maupun yang sakit. Namun kandungan fenolat dalam buah sehat belum dapat berperan sebagai preformat inhibitor, seperti ditunjukkan adanya gejala busuk buah pada semua klon kakao. Secara komulatif senyawa fenolat dapat membatasi perkembangan busuk buah pada klon kakao yang tahan.

Di negara lain, penelitian pengujian ketahanan banyak dilakukan. Sebagai contoh yang telah dilaporkan oleh Nyadanu et al. (2012) yang menguji ketahanan struktural dari 12 genotipe kakao dengan dan tanpa lapisan lilin (epicuticular wax) pada buah dan daun. Dijelaskan bahwa genotipe kakao yang di permukaannya mengandung lapisan lilin lebih tinggi dapat mempertahankan air dan lebih cepat menguap, kelembaban di permukaan menjadi berkurang sehingga dapat mencegah penyebaran patogen. Lebih lanjut Nyadanu et al. (2013) melaporkan untuk pengujian ketahanan biokimia dari 12 genotipe kakao, bahwa senyawa dari gula larut, flavanoid, tanin dan lignin adalah faktor biokimia yang berperan penting dan dapat diandalkan serta digunakan sebagai penanda sifat untuk ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao.

KESIMPULAN

Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh jamur P. palmivora merupakan penyakit utama kakao di Indonesia, bahkan penyakit ini dapat menyerang semua bagian tanaman kakao. Ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora lebih bersifat horizontal daripada vertikal dengan mekanisme ketahanan secara struktural dan biokimia. Mekanisme ketahanan struktural kakao terhadap penyakit busuk buah dipengaruhi oleh cirri morfologi buah, dan ketahanan biokimia dihubungkan dengan senyawa fenolat yang dominan dalam perikarp buah kakao, klon tahan mempunyai kandungan senyawa fenolat pasca infeksi yang lebih tinggi daripada klon moderat dan rentan. Klon kakao ICS 6, Sca 12, Sca 6 DRC 15, DRC 16, ICCRI 4 dan ICCRI 3 merupakan klon kakao yang mempunyai tingkat ketahanan lebih baik dibandingkan klon yang lain di Indonesia sehingga klon–klon kakao tersebut mempunyai potensi untuk dapat digunakan sebagai tetua dalam merakit verietas baru maupun dikembangkan sebagai bahan tanam klonal.

DAFTAR PUSTAKA

Agrios, G. N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. USA. 922 p. Akai, S. and M. Fukutomi. 1980. Preformed

internal Physical Defenses. Dalam: J.A. Bailey & B.J. Deverall (Eds).Dynamic of Host Defence. Academic Press. Sydny. Akrofi, A. Y. dan I. Y. Opoku. 2000. Managing

Phytophtora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3rdInt. Seminar of

International Permanent Working Group for Cocoa Pest and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia. 16-17th October.

André Drenthand I. David. 2004. Principles of Phytophthora Disease Management. Dalam: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. p. 154-160.

Berger, R.D. 1977. Application of epidemiological principles to achieve plant desease

(12)

control.Annu. Rev.Phytopatol. 15: 165-183.

Bowers, J. H., B.A. Bailey, P.K. Hebbar, S. Sanogo, and R. Lumsden. 2001. The impact of plant diseases on world chocolate production. American Phytopathological Society. Feature Story. http://www.apsnet.org/online/feature/cac ao/top.html [November 2012].

Campbell, C.L. and L.V. Madden. 1990. Intruduction to Plant Disease Epidemio-logy. John Wely & Sons, New York. 532p. Drenth A. dan Sendall B. 2001. Pratical guide to

Detection and Identification of Phytophthora. CRC for Tropical Plant Protection, Brisbane, Australia. 41 p. Dennis, J. J. and Konam. 1994. Phytophthora

palmivora Cultur Control Methodes and The Relationship to Disease Epidemio-logy on Cocoa in Papua New Guinea. Proc.11st Int.Cocoa Res. Conf.

Yamoussoukro, Coted’Ivoire. 18-24 July. p. 953-957.

Donaldson, L. A. 2001. Lignification and lignin topochemestry: an ultrastructural viuw. Phytocemistry 57: 859-873.

Erwin, D. C., and O. K. Ribeiro, 1996. Phytophthora palmivora var. palmivora. Dalam: D. C. Erwin, and O. K. Ribeiro. Phytophthora Diseases Worlwide. American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. p. 408-421.

Fulton, R.H. 1989. Cocoa disease trilogy: black pod, monilia pod rot and witches broom. Plant Disease 73(7): 601-603.

Fry, W. E. 1982. Principles of Plant disease Management. Academic Press, New York. 376 p.

Goodman, R. N., Z. Kiraly, and K. R. Wood. 1986. Biochemistry and Physiology of Plant Disease. Univ. Missouri Press. Colombia. 433 p.

Goodwin, T. W. and E. I. Mercer. 1990. Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p.

Gorenz, A. M. 1974. Chemical control of black pod. Dalam: P.H. Gregory (ed.). Phytophthora Disease of Cocoa. Longman, London. p. 235-257.

Grayer, R.J. and J.B. Harborne. 1994. A survey of anti fungal Compounds from higher plants, 1982-1993. Phytochemistry 37(1): 19-42.

Guest, D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa yield. Phytopathology 97(12):1650-1653.

Herrmann, K. M. 1995. The Shikimate Pathway as an entry to aromatic secondary metabolism. Plant Physiol. 107: 7-12. ICCO [International Cocoa Organization]. 2012.

Pest and Disease. http://www.icco.org/ about-cocoa/pest-a-diseases.html.

[Desember 2012].

Iswanto, A. dan H. Winarno, 1992. Cocoa Breeding at RIEC Jember and The Roll of Planting Material Risistant to VSD and Black Pod. Dalam: P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia. FAO Palnt Production and Protection Paper No. 112. p. 163-169. Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan.

1995. Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: 79-85.

Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan, and Umaharan. 1997. Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobromacacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: 557-565.

Iwaro, D. A., T. N. Sreenivasan., Umaharan, and J. A. Spence 1999. Studies on black pod disease in Trinidad. Prc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Vareity Improvement.. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November.

p. 67-74.

Kebe, I. B., J. A. K. N. Goran, G.H. Tahi, D.Paulin, D. Clement, and A.B. Eskes, 1999. Phatology and breeding for resistance to black pod in Cote d’Ivorie. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Vareity Improvement. Salvador Bahia, Brasil. 12-26th November. p. 135-140.

Mc. Mahon, P. and A. Purwantara. 2004. Phytophthora on Cocoa. Dalam: Diversity

(13)

and Management of Phytophthora in Southeast Asia. p.104-115.

Muller, R.A. 1974. Integrated Control Methods. Dalam: P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa. Longman, London. p. 259-265.

Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C. Kwoseh, H. Dzahini Obiatev, S. T. Lowor, A. Y. Akrofi, and M.K. Assuah. 2012. Host plant resistance to Phytophthora pod rot in cacao (Theobroma cacao L.): The role of epicuticular wax on pod and leaf surfaces. International Journal of Botany 8 (1): 13-21.

Ndayanu, D., R. Akromah, B. Adomako, C. Kwoseh, S. T. Lowor, H. Dzahini Obiatev, A. Y. Akrofi, F. Owusu Ansah, Yaw Opoku Asiama, and M.K. Assuah. 2013. Biochemical mekanisme of resistance to black pod disease in cocoa (Theobroma cacao L.). American Journal of Biochemistry and Molecular Biology 3 (1): 20-37.

Opeke, L. K and A. M. Gorenz. 1974. Phytophthora Pod rot: Symtoms and Economic Importance. Dalam:P.H. Gregory(Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa. Longman, London. p. 117-124.

Osbourn, A.E.1996. Preformed antimicrobial compounds and plant defense against fungal attack. Plant Cell. 8:1821-1831. Purwantara, A. 1990. Pengaruh beberapa unsur

cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58(3): 78-83.

Periera, J.L. 1995. Phytophthora Pod Rot of Cocoa: Advences and Prospects. Proc.1stIn Cocoa

Pest and Disease Seminar. p.76-97 Accra, Ghana.6-10 Nov.

Philips-Mora, W.1999. Studies on resistance to black pod disease(Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc.Int.Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. Salvador, Bahia, Brasil. 24-26th November. p. 41-50.

Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto, dan Sudarsono. 2008a. Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity

characterizations. Pelita Perkebunan 24 : 37- 49.

Rubiyo, A. Purwantara, D. Suhendi, Trikoesoemaningtyas, S. Ilyas, dan Sudarsono. 2008b. Uji katahanan kakao (Theobroma cacao L) terhadap penyakit busuk buah dan efektivitas metode inokulasi. Pelita Perkebunan 24 : 95-113. Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman

Perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 835 hlm. Simmonds, N. W. 1994. Horizontal resistance to

cocoa disease. Cocoa Growers Bul. 47:42-52.

Soria, J. 1974. Sources of Resistance to Phytophthora palmivora Dalam: P.H Gregory (ed.) PhytophthoraDisease of cocoa. Longman, London. p. 197-202. Suhendi, D., H.Winarno dan A.W. Susilo. 2005.

Peningkatan produksi dan mutu hasil kakao melalui penggunaan klon baru. Pro.Simp. Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jogjakarta, 4-5 Oktober 2004. Hlm. 98-111.

Thorold, C. A. 1975. Disease of Cocoa. Clarendon Press, Oxford. 423 p.

Tarjot, M. 1967. Etude de la pourriture des cabosses due an Phytophthora palmivora en Côte d'Ivoire. Café Cacao Thé 11:321-330. Tarjot, M. 1972. Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. St Augustine, Trinidad. 8-18thJanuary. p. 379-397.

Tarjot, M. 1974. Physiology of the fungus. Dalam: P.H. Gregory (ed.). Phytophthora disease of cocoa. Longman, London. p. 103-116 Thurston, H. D. 1998. Tropical Plant Disease.

APS. St. Paul, Minnesota. 2nd Ed. 200 p.

Van der ossen, H.A.M. 1997. Strategies of Variety Improvement on Cocoa with Emphasis on Durable Disease Resistance. INGENIC. Reading, UK. 32p.

Waterhouse, G. M. 1974. Phytophthora palmivora and some Related Species. P.H. Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa. Longman, London. p. 51-70.

Winarno, H dan Sukamto. 1986. Uji laboratorium ketahanan tongkol beberapa hibrida

(14)

kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytopthora palmivora Butler). Pelita Perkebunan 2(3): 115-119.

Wirianata, H. 2004. Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yugyakarta (tidak diterbitkan), 130 hlm.

Wood, G.A.R. 1985. Establishment. Dalam: G.A.R. Wood and R.A. Lass (Eds.) Cocoa. Longman, London. p. 119-165.

Wood, G.A.R. 1985. History and development. Dalam: G.A.R. Wood and R.A. Lass.

Cocoa. Fourth Edition. Longman, London, New York. p. 1-10.

Zadooks. 1997. Disease Resistance Testing in Cocoa. INGNIC. UK. 58 p.

Zentmyer, G. A. 1974. Variation Genetics and Giographical Distribution of Mating Type. Dalam: P.H. Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa: Longman, London. p. 89-102.

____________.1988. Origin and distribution of four species of Phytophthora Tranc. Br. Mycol. Soc. 91(3): 367-378.

Referensi

Dokumen terkait

14 Data sekunder dalam penelitian ini berasal dari dokumen-dokumen yang berkenaan dengan akad-akad pembiayaan di lembaga keuangan syariah seperti buku-buku yang

Sedangkan analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah ikan yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pempek gluten, sedangkan lama pembekuan dan interaksi

Manajemen lingkungan pada wilayah endemis malaria di Puskesmas Atapupu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu serta dampaknya terhadap kejadian malaria melalui

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui cara akuisisi foto udara format kecil hingga identifikasi obyek yang masuk dalam ruang bebas dengan data olahan

Kemudian akan diamati zona hambat dari 6 kelompok tersebut sehingga akan diperoleh data konsentrasi ekstrak kayu manis (Cinnamomum burmanii) yang paling efektif

Juga perlu dipertanyakan apakah pembukaan rahasia bank yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun

Basel adalah strategi yang termasuk dalam tiga strategi utama untuk pengembangan pertanian padi berdasarkan preferensi petani di daerah pertanian belum berkembang (Tabel 16).

Dari pengolahan data maka dapat kita analisis kesesuain perancangan desain baru preamplifier gitar bass elektrik, dari 20 responden 15 diantarnya tertarik dan 18 merasa