• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Skore Cognitive Test For Delirium (CTD) Dengan Lamanya Masa Rawat Inap Penderita Trauma Kapitis Sedang-Berat Di Rumah Sakit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Skore Cognitive Test For Delirium (CTD) Dengan Lamanya Masa Rawat Inap Penderita Trauma Kapitis Sedang-Berat Di Rumah Sakit"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR DELIRIUM

(CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT INAP

PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

DI RUMAH SAKIT

T E S I S

Oleh

Kiki Mohammad Iqbal Nomor Register CHS : 14567

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

(2)

HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR DELIRIUM

(CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT INAP

PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

DI RUMAH SAKIT

T E S I S

Untuk memperoleh gelar Spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

Oleh

Kiki Mohammad Iqbal Nomor Register CHS : 14567

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN

(3)

LEMBARAN PENGESAHAN

Judul Tesis : HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR

DELIRIUM (CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT

INAP PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT

DI RUMAH SAKIT

Nama : KIKI MOHAMMAD IQBAL

Nomor Register CHS : 14567

Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

NIP 130 905 363 NIP 130 702 008

Mengetahui / mengesahkan

Ketua Program Studi Ketua Departemen Neurologi

Ilmu Penyakit Saraf FK USU / RSHAM

Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

NIP 131 124 054 NIP 130 702 008

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 6 Mei 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahir, Sp.S(K)

2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K)

3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S

4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)

5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)

6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S

7. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S

8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S

9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S

(5)

ABSTRAK

Latar belakang : Delirium sering dijumpai setelah kejadian koma yang disebabkan oleh trauma kapitis, yang terutama muncul saat pemulihan kesadaran setelah trauma kapitis akut. Delirium berhubungan dengan peningkatan mortalitas, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit (lengths of hospital stay), peningkatan penggunaan fasilitas rumah sakit, dan semakin memperburuk

outcome fungsional dan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah sakit.

Metode : Studi ini merupakan studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara non random dengan metode konsekutif pada penderita trauma kapitis sedang-berat yang dirawat di ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan periode Februari sampai Juli 2007. Dilakukan perhitungan skore SKG dan dilakukan pemeriksaan CT scan kepala, selanjutnya dilakukan identifikasi delirium dengan menggunakan instrumen Cognitive Test for Delirium (CTD) dan dicatat lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit. Untuk melihat hubungan antara skore CTD dengan rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit digunakan uji t-independent. Nilai kemaknaan p < 0,05.

Hasil : Didapati 34 sampel penderita trauma kapitis sedang-berat, yang terdiri dari 30 orang pria (88,2%) dan 4 orang wanita (11,8%). Dijumpai penderita trauma kapitis yang mengalami delirium (CTD < 19) sebanyak 20 orang (58,8%). Nilai rerata skore CTD pada penderita trauma kapitis sebesar 16,79 ± 5,17. Nilai rerata skore CTD pada kelompok SKG 3 – 8 (10,29 ± 6,26) lebih rendah dibanding pada kelompok SKG 9 – 12 (18,48 ± 3,25) meskipun rerata skore CTD pada kedua kelompok SKG sama-sama menunjukkan adanya gejala delirium (p = 0,013). Secara keseluruhan dijumpai rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit yaitu selama 17,50 ± 5,83 hari dengan masa rawat inap paling singkat yaitu 10 hari dan paling lama yaitu 30 hari. Rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit pada penderita trauma kapitis yang mengalami delirium dijumpai lebih panjang dibanding pada penderita tauma kapitis yang tanpa mengalami delirium (21,05 ± 4,61 hari vs 12,43 ± 2,85 hari; p = 0,000).

Kesimpulan : Rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit pada penderita trauma kapitis yang mengalami delirium secara signifikan dijumpai lebih panjang dibanding pada penderita trauma kapitis yang tanpa mengalami delirium.

(6)

ABSTRACT

Background : Delirium is universal following coma caused by head injury, it is

particularly likely to occur on recovery of consciousness following acute brain injury. Delirium is associated with increased mortality, longer lengths of hospital stay, increased utilization of hospital resources, and poorer functional and cognitive outcomes. The objective of this study was to determine the correlation between CTD score and lengths of hospital stay in moderate-severe head injury patients.

Methods : This is a cross sectional study with non random sampling using the

consecutive method applied to moderate-severe head injury patients in neurology ward Haji Adam Malik Medan hospital between the periode of February until July 2007. Calculation of GCS score and Head CT scan were performed. Afterward, delirium identification was performed using the CTD instrument and length of hospital stay was noted. To determine the correlation between the CTD score and mean of lengths of hospital stay, t-independent test was used. The significance value is p < 0,05.

Result :The were 34 samples of moderate-severe head injury patients, consisted

of 30 males (88.2%) and 4 females (11.8%). There were 20 patients (58.8%) who suffered delirium (CTD score <19). The mean of CTD score was 16.79 ± 5.17. The mean of CTD score in GCS score 3 – 8 group (10.29 ± 6.26) was lower than GCS score 9 – 12 group (18.48 ± 3.25) although the mean of CTH score in both groups showed that there were symptoms of deliium (p = 0.013). Overall, the mean of lengths of hospital stay was 17.50 ± 5.83 days with the shortest lengths of hospital stay was 10 days and the longest was 30 days. The mean of lengths of hospital stay in head injury patients with delirium was longer than those with not delirium (21.05 ± 4.61 days vs 12.43 ± 2.85 days, p = 0.000).

Conclusion : The mean of lengths of hospital stay in head injury patients with

delirium was significantly longer than head injury patients without delirium.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan

semesta alam yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Shalawat dan salam kita sampaikan bagi junjungan Rasulullah Muhammad

SAW, keluarga dan sahabatnya yang telah menunjuki kita dari alam kesesatan ke

alam yang penuh ilmu pengetahuan.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu

tugas akhir dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H.

Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin

P. Lubis, DTM&H, SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis

di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. H. T. Bahri Anwar Johan, SpJP(K), (Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai

(8)

peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. Dr. H. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD(KGEH), atas kesempatan dan

fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan

Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

Yang terhormat Prof. Dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), (Ketua

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat

penulis diterima sebagai PPDS) yang telah memberikan kesempatan kepada

penulis untuk menjadi peserta didik serta memberi bimbingan selama mengikuti

Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.

Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) yang telah

memberikan kesempatan, bimbingan, arahan serta dorongan semangat yang tak

ternilai selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.

Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi

Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat

penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi

peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses

pendidikan.

Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas

(9)

memberikan kesempatan, banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam

menjalani pendidikan spesialisasi ini.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan

kepada Dr. H. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) dan Prof. DR. Dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)

selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong,

membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,

pembuatan dan penyelesaian tesis ini.

Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K) almarhum; Dr.

Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) almarhum; Dr. LBM Sitorus, Sp.S; Dr. Darlan

Djali Chan, Sp.S; Dr. H. Yuneldi Anwar, Sp.S(K); Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; Dr.

Dadan Hamdani, Sp.S.; Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S;

Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S dan Dr. Cut Aria

Arina, Sp.S; dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik

di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK

USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis

sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.

Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes, selaku pembimbing statistik

yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam

pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.

Kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang

telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga

penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.

Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I

(10)

memberi dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Bapak

Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di SMF Neurologi RSUP

H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien

sehari-hari.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada orang tua saya,

Dr. H. Yong Nasvi Radjab (almarhum) dan Dra. Hj. Siti Hadijah (almarhumah)

yang semasa hidup beliau telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang,

membekali saya dengan pendidikan, kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras

dan bertanggung jawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan

nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti

pendidikan.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kepada Bapak

dan Ibu mertua saya, Drs. Putra Munsya Sembiring, SH dan Hj. Elly Gusrina Pane

yang terus memberikan dorongan, nasehat serta doa yang tulus hingga penulis

dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.

Teristimewa kepada istriku tercinta Putri Sisca Sari Sembiring, SH dan

putriku Alyfia Sizqi Sekarfitri yang dengan sabar dan penuh pengertian,

mendampingi dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka, saya

ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.

Kepada adik-adik kandungku, T. Pito Jayalangkara, BComp beserta istri;

Harly Vivaldi, ST beserta istri dan Siti Rauzelia Delany; kepada adik iparku Andry

Syaly Sembiring dan Agi Tantahira Sembiring; kepada Wak Atik; beserta seluruh

(11)

dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang

sebesar-besarnya.

Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebut satu

persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih

yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT, Tuhan semesta alam selalu

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan

penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan

segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari

semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis

mengaharapkan semoga penelitaian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Amin.

Wassalamua’laikum Wr. Wb.

Medan, Mei 2008

(12)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dr. Kiki Mohammad Iqbal

Tempat / tanggal lahir : Banda Aceh, 5 Oktober 1977

Agama : Islam

Pekerjaan : Staf Pengajar FK USU

NIP : 132 303 384

Pangkat / Golongan : Penata Muda Tk I / III b

Nama Ayah : Dr. H. Yong Nasvi Radjab (almarhum)

Nama Ibu : Dra. Hj. Siti Hadijah (almarhumah)

Nama Istri : Putri Sisca Sari Sembiring, SH

Nama Anak : Alyfia Sizqi Sekarfitri

Riwayat Pendidikan

1. SD Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1989.

2. SMP Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1992.

3. SMA Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1995.

4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2001.

Riwayat Pekerjaan

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 15

I.3. Tujuan Penelitian ... 16

I.4. Hipotesis ... 16

I.5. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18

II.1. TRAUMA KAPITIS ... 18

II.1.1. Definisi ... 18

II.1.2. Epidemiologi ... 18

II.1.3. Klasifikasi ... 19

II.1.4. Patofisiologi ... 20

II.1.5. Diagnostik pasca perawatan ... 22

(14)

II.2. DELIRIUM PADA TRAUMA KAPITIS ... 24

II.2.1. Definisi ... 24

II.2.2. Epidemiologi ... 24

II.2.3. Faktor resiko ... 26

II.2.4. Etiologi ... 27

II.2.5. Patogenesis ... 28

II.2.6. Patologis ... 31

II.2.7. Gambaran klinis ... 32

II.2.8. Kriteria diagnostik ... 33

II.2.9. Prognosis ... 35

II.3. INSTRUMEN ... 35

II.3.1. Skala Koma Glasgow (SKG) ... 35

II.3.2. CT scan kepala ... 37

II.3.3. Cognitive Test for Delirium (CTD) ... 37

II.4. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 40

BAB III. METODE PENELITIAN ... 41

III.1. Tempat dan Waktu ... 41

III.2. Subjek Penelitian ... 41

III.3. Batasan Operasional ... 43

III.4. Rancangan Penelitian ... 48

III.5. Instrumen ... 48

III.6. Pelaksanaan Penelitian ... 48

III.6.1. Pengambilan sampel ... 48

(15)

III.7. Variabel Diamati ... 49

III.8. Analisa Statistik ... 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

IV.1. HASIL PENELITIAN ... 51

IV.1.1. Karakteristik penelitian ... 51

IV.1.2. Karaktersitik demografi subjek penelitian ... 51

IV.1.3. Distrbusi sampel berdasarkan gambaran CT scan kepala ... 53

IV.1.4. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore SKG ... 54

IV.1.5. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore SKG ... 55

IV.1.6. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dengan rerata skore SKG ... 56

IV.1.7. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore SKG ... 57

IV.1.8. Karakteristik demografi subjek berdasarkan identifikasi delirium ... 58

IV.1.9. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore SKG ... 60

IV.1.10. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore CTD ... 61

IV.1.11. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore CTD ... 62

IV.1.12. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore CTD ... 62

IV.1.13. Hubungan antara suku bangsa dengan rerata skore CTD ... 63

(16)

IV.1.15. Hubungan antara skore SKG dengan

rerata skore CTD ... 64

IV.1.16. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore CTD ... 65

IV.1.17. Hubungan antara jenis kelamin dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 67

IV.1.18. Hubungan antara kelompok usia dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 67

IV.1.19. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dan skore SKG dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 68

IV.1.20. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit .. 69

IV.1.21. Hubungan antara identifikasi delirium dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 71

IV.2. PEMBAHASAN ... 71

IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian ... 73

IV.2.2. Hubungan antara variabel dengan skore SKG .. 77

IV.2.3. Hubungan antara variabel dengan delirium ... 79

IV.2.4. Hubungan antara variabel dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 81

IV.2.5. Hubungan antara gangguan kognitif dan delirium dengan lamanya masa rawat inap ... 83

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89

V.1. KESIMPULAN ... 89

V.2. SARAN ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

LAMPIRAN ... 98

(17)

DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

APT : amnesia pasca trauma

ARAS : ascending reticular activating systems

BNIS : Barrow Neurological Institute Screen for Higher

Cerebral Function

CBF : cerebral blood flow

Cho : choline

CKR : cedera kranioserebral ringan

CKS : cedera kranioserebral sedang

CKB : cedera kranioserbral berat

Cr : creatine

CT : computed tomography

CTD : Cognitive Test for Delirium

d : selisih rerata kedua kelompok yang bermakna

(clinical judgment)

dkk : dan kawan-kawan

DOL : depth of lesion

DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental

Disorders - 4th ed - Text Revision

ICD : International Classification of Diseases

ICU : Intensive Care Unit

MMSE : Mini Mental State Examination

MRI : Magnetic Resonance Imaging

(18)

NAA : N-acetylaspartate

PET : Positron Emission Tomography

PTA : post-traumatic amnesia

ROC : receiver operating characteristic

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SD : standar deviasi

sd : perkiraan simpang baku dari selisih rerata

(dari penelitian atau judgment)

SKG : Skala Koma Glasgow

SPECT : Single Photon Emission Computed Tomogaphy

p : tingkat kemaknaan

PAPS : pulang atas permintaan sendiri

USA : United State of America

vs : versus

Zα : nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah

ditentukan = 1,96

Zβ : nilai baku normal berdasarkan nilai β yang telah

ditentukan = 1,282

(19)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

Tabel 1. Prevalensi delirium pada populasi yang berbeda ... 7

Tabel 2. Faktor predisposing dan presipitating pada delirium ... ... 26

Tabel 3. Penyebab delirium pada penderita trauma kapitis ... 28

Tabel 4. Kriteria diagnostik delirium diakibatkan karena kondisi medis umum menurut DSM-IV-TR ... 33

Tabel 5. Kriteria diagnostik delirium menurut ICD 10 ... 34

Tabel 6. Skala Koma Glasgow (SKG) ... 36

Tabel 7. Karakteristik demografi subjek penelitian ... 52

Tabel 8. Distribusi sampel berdasarkan gambaran CT scan kepala.. 54

Tabel 9. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore SKG.. 55

Tabel 10. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore SKG 55 Tabel 11. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dengan rerata skore SKG ... 56

Tabel 12. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore SKG ... 57

Tabel 13. Karakteristik demografi subjek berdasarkan identifikasi delirium ... 59

Tabel 14. Hubungan antara ientifikasi delirium dengan rerata skore SKG ... 61

Tabel 15. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore CTD ... 61

Tabel 16. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore CTD .. 62

(20)

Tabel 19. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan

rerata skore CTD ... 64

Tabel 20. HUbungan antara skore SKG dengan rerata skore CTD .... 65

Tabel 21. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan

rerata skore CTD ... 66

Tabel 22. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata lamanya

masa rawat inap rumah sakit ... 67

Tabel 23. Hubungan antara kelompo usia dengan rerata lamanya

masa rawat inap rumah sakit ... 68

Tabel 24. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dan skore

SKG dengan rerata lamanya masa rawat inap ... 69

Tabel 25. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan

rerata lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 70

Tabel 26. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

Lampiran 1. Surat persetujuan ikut dalam penelitian ... 98

Lampiran 2. Lembaran pengumpulan data penelitian ... 99

Lampiran 3. Cognitive Test for Delirium (CTD) ... 103

Lampiran 4. Persetujuan komite etik pelaksanaan penelitian ... 106

(22)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Trauma kapitis merupakan masalah kesehatan yang penting yang dapat

menimbulkan kecacatan atau kematian, kekacauan dalam keluarga, kehilangan

pekerjaan dan penghasilan, dan besarnya biaya perawatan. Trauma kapitis

mempunyai insidens yang tinggi, terutama pada usia dewasa muda. (Rizzo, 2002)

Trauma kapitis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada anak,

dewasa dan pada usia produktif. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 1,6 juta

orang pertahunnya mengalami trauma kapitis dan lebih dari 250.000 orang

berobat ke rumah sakit. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000

sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. Kerugian finansial

karena kehilangan produktifitas dan biaya perawatan medis sekitar 100 milyar

dollar Amerika pertahunnya. (Marik dkk, 2002)

Data epidemiologis Indonesia belum ada, tetapi dari data salah satu Rumah

Sakit di Jakarta yaitu RS Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun, untuk

penderita rawat inap, dijumpai 60-70% dengan cedera kranioserebral ringan

(CKR), 15-20% cedera kranioserebral sedang (CKS) dan sekitar 10% dengan

cedera kranioserebral berat (CKB). Angka kematian tertinggi sekitar 35-50%

akibat CKB, 5-10% akibat CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.

Kebanyakan penderita orang muda, berusia < 35 tahun, dan akibat dari

(23)

Memprediksi outcome jangka panjang segera saat pasien tiba di ruang

gawat darurat dapat dilakukan baik dengan menggunakan imaging atau tanpa

imaging yaitu secara klinikal, untuk kepentingan komunikasi bagi dokter dan

paramedis profesional kerja yang menangani; sehingga dapat dipersiapkan

strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang

terbaik bagi pasien. (Signorini dkk, 1999; Musridharta, 2006)

Penderita-penderita trauma kapitis memerlukan pemeriksaan dan resusitasi

yang cepat. Salah satu jenis pemeriksaan yang pada awalnya dikembangkan

untuk pemeriksaan serial di unit perawatan intensif adalah Skala Koma Glasgow

(SKG). Skala neurologikal ini telah diadopsi secara luas sejak diperkenalkan

pertama kali tahun 1974, dan telah menjadi tool standar untuk komunikasi status

mental pada penderita traumatik dan non-traumatik (Gill dkk, 2006).

Musridharta dkk (2006) menggunakan parameter spesifik yaitu SKG,

tekanan darah sistolik dan frekuensi pernafasan untuk memprediksi outcome

kematian dalam 3 hari. Studi ini melaporkan bahwa parameter respon motorik,

frekuensi nafas dan respon membuka mata merupakan prediktor bermakna dalam

memperkirakan kematian 3 hari pertama.

Signorini dkk (1999) melakukan studi terhadap 372 penderita trauma kapitis

sedang dan berat yang di follow up keadaan survival selama 1 tahun. Studi ini

bertujuan mengembangkan suatu model yang mudah dan sederhana yang

melibatkan variabel yang dapat digunakan secara klinis cepat dan mudah sebagai

prediktor terhadap survival pada penderita trauma kapitis. Dari studi ini didapati

(24)

reaktivitas pupil (p = 0,04), dan adanya gambaran hematom pada CT scan

sebagai prediktor independen yang signifikan terhadap survival.

Pillai dkk (2003) melakukan studi retrospektif terhadap 289 penderita

trauma kapitis berat (SKG 3 – 8). Studi ini melakukan analisa terhadap usia, tipe

injury, SKG saat masuk rumah sakit, reaksi pupil, reflek okulosefalik, skor motorik

SKG dan adanya midline shift pada CT scan sebagai prediktor outcome. Diperoleh

hasil bahwa refleks okulosefalik, skor motorik SKG dan adanya midline shift pada

CT scan sebagai prediktor terpenting terhadap outcome yang jelek setelah 1

bulan.

Suresh dkk (2003) melakukan studi untuk menentukan faktor-faktor yang

mempenguruhi outcome pada 340 anak dengan trauma kapitis. Penelitian ini

melaporkan bahwa dari 95 anak dengan epidural hematom, 8,4% memiliki

outcome yang jelek. Dari 100 anak dengan gambaran diffuse cerebral edema

pada CT scan, 25% memiliki outcome yang jelek. Gambaran klinis yang memiliki

hubungan dengan prognosis buruk meliputi tidak dijumpainya ocular movement

(50%), ukuran dan reaksi abnormal dari pupil (49%), serta usia kurang dari 2

tahun (27%).

Srinivasan (2006) melakukan suatu studi prospektif bagi 85 penderita

trauma kapitis sedang (SKG 9 – 12) yang meninggal, mengalami disabilitas berat

atau problema kognitif dan behavioral pada hari pertama setelah trauma. Didapati

bahwa kombinasi data CT scan dengan respon verbal dan gejala neurologis dapat

menjadi prediktor yang akurat pada trauma kapitis sedang. Sehingga berdasarkan

(25)

(verbal respon + neurological sign). Secara keseluruhan akurasinya mencapai

80% manakala digunakan pada hari saat pasien masuk rumah sakit.

Sebelumnya Lipper dkk (1985) melakukan suatu analisa retrospektif

terhadap gambaran CT scan kepala pada 128 penderita trauma kapitis berat.

Studi ini mendapatkan hasil adanya hubungan yang jelas antara outcome dan

ukuran dari lesi yang terlihat berdasarkan jumlah slice dari CT scan yang

menunjukkan gambaran perdarahan. Dijumpai perbedaan outcome yang

signifikan antara penderita yang memiliki gambaran CT scan normal dan tidak

normal, dimana 80% penderita dengan gambaran CT scan normal memiliki

outcome yang baik (p = 0,0001). Disimpulkan bahwa correct prediction rate dari

outcome dengan hanya menggunakan CT scan saja dijumpai sebesar 69,7%. Bila

CT scan dikombinasikan dengan skore SKG maka angka ini akan meningkat

menjadi 75,8%.

Literatur pada neurologi dan bedah saraf telah menyebutkan adanya

deskripsi klinis mengenai kelainan tingkah laku yang early atau delayed setelah

terjadinya trauma kapitis. Sindroma akut termasuk diantaranya confusional states,

apati, agitasi, kegelisahan (restlessness), gampang marah dan amnesia pasca

traumatik. Sedang delayed syndrome sering bersifat irreversibel sebagai akibat

dari cedera, termasuk diantaranya gangguan kognitif (seperti amnesia, demensia,

disfungsi eksekutif), gangguan mood dan perubahan kepribadian akibat kondisi

medis umum. (Jorge dkk, 2000)

Sewaktu dikonsulkan pada psikiater saat periode di mana penderita trauma

(26)

delirium dengan kegelisahan (restlessness), agitasi, confusion, disorientasi, delusi,

dan / atau halusinasi. (Silver dkk, 2004)

Analisa dari serial kasus pada Oxford Collection of Head Injury Records

menyatakan bahwa variabel-variabel biologikal seperti perluasan kerusakan otak,

lokasi lesi dan adanya epilepsi pasca trauma merupakan faktor etologi penting

dalam menentukan tipe dan durasi dari sindroma psikiatrik. (Jorge dkk, 2000)

Rao dan Lyketsos (2000) menyebutkan bahwa trauma kapitis dapat

menimbulkan berbagai gangguan neuropsikiatri, mulai dari defisit yang tidak jelas

sampai gangguan intelektual dan emosional yang berat. Gangguan neuropsikiatri

yang berhubungan dengan trauma kapitis meliputi gangguan kognitif, gangguan

mood dan ansietas, psikosis dan masalah tingkah laku. Defisit kognitif telah

berbagai macam diklasifikasikan seperti delirium, demensia oleh karena trauma

kapitis, gangguan amnestik oleh karena trauma kapitis atau gangguan intelektual,

bergantung pada berbagai gejala dan waktu saat onset serta masa resolusi.

Kesemuanya ini dapat menunda proses kesembuhan pada sistem saraf pusat.

Diagnosa delirium setelah trauma kapitis dapat dipersulit dengan adanya

perbedaan klasifikasi diantara berbagai disiplin ilmu. Konsep yang sangat

mendekati delirium dalam literatur psikiatri dan bedah saraf adalah amnesia pasca

traumatik. Namun istilah ini sering digunakan secara tidak tepat, dan kondisi yang

disebut sebagai amnesia pasca traumatik dapat tumpang tindih dengan koma,

stupor, delirium dan sindroma amnestik. Instrumen yang digunakan untuk menilai

amnesia pasca traumatik tidak cukup adekuat untuk menilai delirium. (Kennedy

(27)

Belakangan ini para ahli telah menganjurkan untuk meninggalkan

penggunaan konsep amnesia pasca traumatik untuk suatu confusion pasca

traumatik. Confusion pasca traumatik sangat dekat dengan delirium, namun istilah

ini tidak mengikutkan beberapa gambaran delirium seperti labilitas emosional dan

gangguan persepsi. Istilah agitasi pasca traumatik juga digunakan dalam literatur

psikiatrik dan sama-sama mirip dengan delirium namun tetaplah tidak sinonim

dengan delirium. Beberapa ahli memandang agitasi pasca traumatik sebagai

subtipe dari delirium, sedangkan lainnya memperkirakan sebagai gangguan yang

terpisah. (Kennedy dkk, 2003)

Delirium sering dijumpai setelah kejadian koma yang disebabkan oleh

trauma kapitis (mencakup cedera fokal) yang dapat berakhir beberapa menit

sampai beberapa minggu, yang terutama muncul saat pemulihan kesadaran

setelah trauma kapitis akut, dengan gejala yang bervariasi. (Burns dkk, 2004)

Delirium dapat berasal dari proses trauma kapitis itu sendiri atau berasal dari

komplikasi medis yang berhubungan sebagai predisposisi untuk terjadinya

delirium. (Kennedy dkk, 2003)

Meagher (2001) menyebutkan beberapa prevalensi delirium pada populasi

yang berbeda yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Prevalensi delirium pada populasi yang berbeda

Populasi umum : 0,4%

Populasi umum (> 55 tahun) : 1,1%

(28)

Penderita kanker (stadium terminal) : 25-40% (28-85%) Penderita pasca operatif : 5-75%

Penderita intensive care units : 12-50%

Nursing home residents : lebih 60%

Dikutip dari : Meagher, D. 2001. Delirium : the role of psychiatry. Advanced in Psychiatric Treatment. 7:433-443.

Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 42 studi cohort

mengenai kejadian delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa

prevalensi delirium saat masuk rumah sakit berkisar 10-31%, insidens kejadian

delirium baru saat masuk rumah sakit berkisar 3-29% dan angka kejadian

bervariasi antara 11-42%.

Dari penelitian baru-baru ini telah menemukan tingginya insidens delirium

setelah trauma kapitis. Prevalensi delirium dilaporkan mencapai 80% di Intensive

Care Unit (ICU) dan sekitar 69% pada penderita dengan trauma kapitis. (Kennedy

dkk, 2003) Delirium sering teramati pada kasus-kasus trauma kapitis yang berat.

(Jorge dkk, 2000)

Studi imaging pada metabolik (hepatic encephalopathy) dan struktural

(trauma kapitis, stroke) sebagai penyebab delirium mendukung hipotesis

mengenai adanya jaras neuronal tertentu yang sangat penting pada delirium.

Laporan-laporan scan otak menyatakan bahwa hemisfer kanan, baik korteks

maupun subkorteks, sangatlah penting pada delirium. Studi-studi lainnya

mendukung bahwa lateralisasi sirkuit neuronal pada delirium adalah pada

hemisfer kanan. Penelitian-penelitian atau laporan kasus serial (mengenai MRI,

CT, SPECT dan PET scans) memperlihatkan bahwa korteks frontalis, thalamus

(29)

korteks temporo-oksipitalis mesial-basal sangatlah penting pada delirium.

(Trzepacz, 1999)

Pada penderita trauma kapitis, adanya oedem serebri, dengan kompresi

terhadap ventrikel ketiga dan sisterna basalis berhubungan dengan peningkatan

tekanan intrakranialis, yang selanjutnya menimbulkan delirium dan koma. Lesi

otak yang semakin dalam pada penderita trauma kapitis berkaitan dengan

semakin lamanya durasi delirium dan koma. Lesi thalamus anteromedial berkaitan

dengan confusional state yang konsisten dengan delirium. (Trzepacz, 1994)

Blackman dkk (2003) melakukan studi mengevaluasi CT / MRI brain

imaging pada 92 penderita berusia 3-21 tahun untuk menentukan nilai prognostik

dini (early prognostic value) dengan menggunakan sistem klasifikasi depth of

lesion (DOL) bagi penderita trauma kapitis derajat berat. Imaging diklasifikasikan

menjadi 5 tingkat depth of lesion (DOL) (kortikal sampai batang otak). Selanjutnya

dinilai outcome fungsional dalam hal mobilitas, self-care dan kognitif, dan

dihubungkan dengan tingkatan DOL. Didapati bahwa lesi yang lebih dalam dan

pencapaian fungsional yang baik tidaklah berbeda secara signifikan diantara

tingkatan DOL; dan penderita dengan lesi yang lebih dalam cenderung menjalani

rawat inap yang lebih lama di unit rehabilitasi. Namun disimpulkan bahwa sistem

klasifikasi DOL masih terbatas kegunaannya sebagai tool prognostik dini.

Disebutkan juga bahwa tidak mungkin memprediksi outcome pada fase akut dini

di intensive care unit (ICU) hanya berdasarkan gambaran imaging standar otak

saja.

Wardlaw dkk (2002) melakukan studi terhadap 425 penderita trauma

(30)

rumah sakit sebagai informasi klinis dasar dalam memprediksi survival pada

penderita trauma kapitis. CT scan kepala dilakukan pada semua kelompok trauma

kapitis baik ringan, sedang maupun berat. Gambaran CT scan berupa

perdarahan, edema otak, cedera otak fokal atau difus didata secara blind baik

terhadap informasi klinis maupun outcome. Selanjutnya gambaran CT scan

diklasifikasikan menjadi 7 tingkatan (normal, mild, moderate, or severe focal injury;

dan mild, moderate, atau severe diffuse injury). Disimpulkan bahwa usia, SKG,

dan reaksi pupil merupakan prediktor yang signifikan bagi penderita yang survival

setelah trauma kapitis. Selanjutnya variabel CT scan merupakan variabel

prognostik yang independen dan dapat membantu mengindentifikasi penderita

trauma kapitis yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami kematian saat masuk

rumah sakit.

Masalah kognitif hampir selalu muncul setelah trauma kapitis berat dan

seringkali diikuti oleh penyebab lain dari kerusakan otak. Pada penderita trauma

kapitis yang survival biasanya (namun tidak selalu) memperlihatkan penyembuhan

fungsi motorik yang sesuai, dapat timbul masalah tingkah laku, dan hampir selalu

ditemukan masalah kognitif terutama dengan perhatian (atensi), proses informasi,

memori dan fungsi eksekutif. (Wilson, 1999)

Soertidewi (2004) menyebutkan bahwa kecacatan pasca trauma kapitis

yang sering ditemukan adalah gangguan kortikal luhur. Pemeriksaan kortikal luhur

sering tidak dilakukan karena belum disadari adanya gangguan fungsi kortikal

luhur ini. Padahal banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur ini yang

(31)

Borgaro dan Prigatano (2002) melakukan studi untuk menilai gangguan

kognitif dan afektif selama stadium akut setelah trauma kapitis dengan

menggunakan Barrow Neurological Institute Screen for Higher Cerebral Function

(BNIS) pada 42 individu dengan trauma kapitis derajat sedang-berat dan 21

kontrol. Didapati bahwa skore BNIS total maupun semua subtestnya secara

signifikan lebih baik pada kontrol dibanding pada penderita dengan trauma kapitis.

Penderita yang memenuhi kriteria untuk suatu delirium akan

memperlihatkan gangguan kognitif yang lebih besar dibanding dengan individu

yang tidak mengalami delirium. (Kennedy dkk, 2003)

Jackson dkk (2004) meninjau kembali literatur-literatur yang berkenaan

dengan hubungan antara delirium dan gangguan kognitif. Sembilan makalah

melaporkan adanya gangguan kognitif pada penderita dengan delirium. Empat

makalah melaporkan dijumpainya gangguan kognitif yang hebat diantara

penderita delirium dibanding dengan kontrol. Empat makalah melaporkan insidens

demensia yang cukup tinggi pada penderita dengan riwayat delirium sebelumnya.

Satu studi menemukan 1 dari 3 penderita penyakit kritis dengan delirium yang

survival selanjutnya dijumpai gangguan kognitif.

McCusker dkk (2001) melakukan studi untuk menentukan prognostik

delirium yang signifikan, dengan atau tanpa demensia, terhadap fungsi kognitif

dan status fungsional setelah masuk rumah sakit pada penderita berusia 65 tahun

atau lebih yang dilakukan skrining delirium selama minggu pertama rawatan.

Disimpulkan bahwa pada penderita yang berusia lebih tua dengan atau tanpa

(32)

perburukan kognitif dan status fungsional selama setahun setelah masuk rumah

sakit.

Kennedy dkk (2003) melakukan studi untuk menyelidiki kegunaan dari

Cognitive Test for Delirium (CTD) pada suatu populasi penderita dengan trauma

kapitis yang masuk ke unit neurorehabilitasi. Cognitive Test for Delirium (CTD)

berkembang sebagai metode alternatif untuk diagnosis delirium yang hanya

semata-mata berdasarkan gambaran kognitif. Dengan menilai fungsi eksekutif dan

fungsi kognitif non-verbal, maka CTD dapat mengukur fungsi hemisfer kanan yang

ikut memainkan peranan penting dalam patofisiologi terjadinya delirium. Dari hasil

analisa status kognitif saat pemulihan awal setelah cedera, didapati bahwa cutoff

score optimal yang kurang dari 22 dengan menggunakan CTD dapat

mengidentifikasi delirium, dengan sensitivitas sebesar 72% dan spesifisitas 71%

dibanding dengan diagnosis DSM-IV. Hasil ini menyimpulkan bahwa CTD dapat

menentukan perbedaan antara delirious dan non-delirious penderita trauma

kapitis.

Hart dkk (1996) sebelumnya telah melakukan studi validasi terhadap

penggunaan Cognitive Test for Delirium (CTD) untuk mengidentifikasi delirium

pada penderita dengan delirium, demensia, depresi dan schizofrenia yang dirawat

di Intensive Care Unit (ICU). Dari analisa menunjukkan bahwa cutoff score optimal

dari CTD dalam membedakan delirium dari gangguan lainnya yaitu sebesar ≤ 18

(atau < 19). Nilai cutoff ini berhubungan dengan sensitivitas sebesar 100% dan

spesifisitas 95,1%.

Delirium pada penderita yang berusia tua telah dihubungkan dengan

(33)

terhadap kontrol berdasarkan keparahan penyakit yang diderita. Delirium juga

berkaitan dengan peningkatan ongkos biaya perawatan rumah sakit dan

kemungkinan besar membutuhkan perawatan di rumah saat penderita pulang.

Gangguan kognitif, yang muncul di awal rawatan rumah sakit, dapat memprediksi

perpanjangan lamanya rawat inap dan telah dianalisa terhadap kontrol

berdasarkan keparahan penyakit yang diderita, gangguan fungsional dan

variabel-variabel penggangu potensial lainnya. (Saravay dkk, 2004)

Delirium pada trauma kapitis dapat menimbulkan peristiwa yang secara

signifikan merugikan, yang independen terhadap komplikasi lain akibat cedera.

Studi pada populasi lain telah memperlihatkan bahwa delirium berhubungan

dengan peningkatan mortalitas, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah

sakit (lengths of hospital stay), peningkatan penggunaan fasilitas rumah sakit, dan

semakin memperburuk outcome fungsional dan kognitif. (Kennedy dkk, 2003)

Fulop dkk (1998) melakukan studi untuk menentukan perbedaan lamanya

masa rawat inap di rumah sakit pada 467 penderita medikal-surgikal geriatrik

dengan dan tanpa komorbiditas psikiatrik. Didapatkan bahwa penderita dengan

gangguan kognitif secara signifikan dijumpai penambahan lamanya rawat inap di

rumah sakit dibanding dengan yang tanpa gangguan kognitif (14,6 vs 10,6 hari)

yaitu sekitar 4,0 hari atau 30% masa rawat inap yang lebih lama.

Bourgeois dkk (2006) melakukan studi untuk mencari hubungan antara

lamanya masa rawat inap di rumah sakit dengan diagnosa gangguan kognitif dan

usia pada 155 penderita dengan gangguan kognitif dari pelayanan medis

psikosomatik. Usia penderita dikelompokkan menjadi 18-64 tahun dan di atas 65

(34)

(11,0 hari) lebih singkat dibanding kelompok lebih muda (14,4 hari), meskipun

secara statistik tidak signifikan. Didapati bahwa gangguan kognitif berkaitan

dengan penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit penderita dewasa

dengan segala usia.

Saravay dan Lavin (1994) sebelumnya telah meninjau ulang 26 studi

Internasional dan American outcome yang menilai pengaruh komorbiditas

psikiatrik dan lamanya masa rawat inap pada penderita rawatan medis dan

operasi. Delapan puluh sembilan persen dari seluruh studi dengan jumlah sampel

yang lebih dari 110 dan 75% bersifat prospektif, dengan kontrol, studi American

menemukan hubungan yang signifikan antara komorbiditas psikiatrik dan

pertambahan lamanya masa rawat inap. Disimpulkan bahwa gangguan kognisi

yang berkaitan dengan delirium dan demensia, mood depresi dan variabel

kepribadian lainnya dapat memperlama masa rawat inap di rumah sakit dan

meningkatkan pemakaian jasa kesehatan saat di rumah sakit maupun setelah

keluar.

O’Keeffe dan Lavan (1999) melakukan studi untuk meneliti frekuensi dan

outcome dari subtipe klinis delirium pada penderita geriatri. Dijumpai adanya

perbedaan yang signifikan antara subtipe klinis delirium dengan keparahan

penyakit, lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan frekuensi terjatuh. Angka

mortalitas tidak berbeda diantara subtipe. Penderita dengan delirium subtipe

hipoaktif mengalami penyakit yang lebih berat, rawat inap lebih lama di rumah

sakit dan lebih sering mengalami dekubitus dibanding subtipe hiperaktif yang lebih

(35)

Saravay dkk (2004) selanjutnya melakukan studi untuk meng-identifikasi

penyebab pada demensia dan delirium yang dapat memperpanjang lamanya

rawat inap di rumah sakit pada 93 penderita berusia ≥ 65 tahun yang masuk ke

rumah sakit umum rujukan melalui unit emergensi. Didapati hasil bahwa penderita

berusia tua dengan demensia dan / atau delirium yang bersifat simptomatik

setelah dirawat di rumah sakit akan memperlihatkan tanda-tanda dan gejala

mental, yang diikuti dengan gangguan tingkah laku, dan selanjutnya manifestasi

mental dan tingkah laku ini dapat menjadi penyebab bertambah lamanya masa

rawat inap di rumah sakit.

Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 19 studi cohort

mengenai outcome delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa delirium

berkaitan dengan peningkatan mortalitas saat keluar rumah sakit dan pada saat

12 bulan, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan

institusionalisasi.

Turkel dan Tavare (2003) melakukan studi untuk memperlihatkan

presentasi klinis, gejala dan outcome delirium pada 84 kanak-kanak dan remaja

(berusia 6 bulan sampai 18 tahun) yang mengalami delirium dengan berbagai

etiologi. Didapati mortalitias delirium yang cukup tinggi yaitu 20% dengan lama

masa rawat inap yang panjang, bergantung pada keparahan penyakit yang

mendasarinya. Pada penderita delirium oleh karena trauma kapitis tidak dijumpai

adanya kematian, dan dijumpai rerata lamanya masa rawat inap di rumah sakit

(36)

I.2. PERUMUSAN MASALAH

1. Apakah ada hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan

lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah

sakit.

2. Apakah ada hubungan antara keparahan dan kedalaman lesi pada gambaran

CT scan kepala dengan ada tidaknya gejala delirium pada penderita trauma

kapitis sedang-berat.

3. Apakah ada hubungan antara karakteristik demografi (usia, jenis kelamin,

suku bangsa, tingkat pendidikan) dengan ada tidaknya gejala delirium pada

penderita trauma kapitis sedang-berat.

I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD)

dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di

rumah sakit.

I.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD)

dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di

RSUP H. Adam Malik Medan.

2. Untuk mengetahui hubungan antara keparahan dan kedalaman lesi pada

gambaran CT scan kepala dengan ada tidaknya gejala delirium pada

(37)

3. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografi (usia, jenis

kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan) dengan ada tidaknyanya gejala

delirium pada penderita trauma kapitis sedang-berat di RSUP H. Adam Malik

Medan.

I.4. HIPOTESIS

Ada hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan

lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah sakit.

I.5. MANFAAT PENELITIAN

I.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan

Dengan mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium

(CTD) dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di

rumah sakit, diharapkan semakin memahami bahwa adanya delirium dapat

mempengaruhi outcome penderita trauma kapitis dan diharapkan memahami

pentingnya penatalaksanaan yang tepat terhadap delirium maupun trauma kapitis

tersebut.

I.5.2. Manfaat penelitian untuk masyarakat

Diharapkan masyarakat dapat memahami lebih lanjut mengenai pengaruh

buruk akibat adanya delirium pada penderita trauma kapitis sedang-berat

terhadap lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit dan biaya perawatan

(38)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. TRAUMA KAPITIS II.1.1. Definisi

Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara

langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi

neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer

ataupun permanen. (Perdossi, 2006)

II.1.2. Epidemiologi

Lebih dari 2 juta penderita trauma kapitis setiap tahunnya dijumpai di ruang

emergensi United State of America (USA), dan 25% dari penderita ini selanjutnya

diopname. (Jorge dkk, 2000) Insidens trauma kapitis diperkirakan sekitar 200 per

100.000 populasi tiap tahunnya. Di USA, antara 2,5-6,5 juta individu hidup sebagai

konsekwensi akibat trauma kapitis jangka panjang. (Silver dkk, 2004)

Trauma kapitis dapat terjadi pada semua usia, tapi puncaknya pada

dewasa muda yaitu antara usia 15 dan 24 tahun. Pria 3-4 kali lebih sering dari

pada wanita. Infant dan orang tua (> 70 tahun) ternyata juga memiliki insidens

yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. (Avellino dkk, 1997)

Kecelakaan kendaraan bermotor dijumpai sekitar setengah dari penyebab

trauma kapitis; penyebab lainnya diantaranya terjatuh (21%), serangan dan

kekerasan (20%) dan kecelakaan yang berhubungan dengan olah raga dan

(39)

Dari seluruh penderita trauma kapitis yang dirawat, dijumpai trauma kapitis

ringan sebanyak 60-80%, trauma kapitis sedang 10-20% dan trauma kapitis berat

10%. (Avellino dkk, 1997)

Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan

teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kapitis cenderung makin

meningkat. Trauma kapitis berperan pada hampir sebagian dari seluruh kematian

akibat trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan dan sering

terlibat dalam kecelakaan. (Listiono, 1998)

II.1.3. Klasifikasi

Menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal

(Perdossi, 2006) klasifikasi trauma kapitis berdasarkan sebagai berikut :

1. Patologi :

2.2 Lesi kerusakan vaskuler otak

2.3. Lesi fokal

2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri

2.3.2. Hematoma intrakranial

2.3.2.1. Hematoma ekstradural (hematoma epidural)

2.3.2.2. Hematoma subdural

2.3.2.3. Hematoma intraparenkimal

2.3.2.3.1. Hematoma subarakhnoid

2.3.2.3.2. Hematoma intraserebral 2.3.2.3.3. Hematoma intraserebellar 3. Derajat kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)

Kategori SKG Gambaran klinik CT scan otak

Minimal 15 Pingsan (-), defisit

(40)

Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit

neurologik (-) Normal

Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6

jam, defisit neurologik (+) Abnormal

Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit

neurologik (+) Abnormal

Catatan :

1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat

2. Jika abnormalitas CT scan berupa perdarahan intrakranial, penderita

dimasukkan

klasifikasi trauma kapitis berat

II.1.4. Patofisiologi

Patologi kerusakan otak akibat trauma kapitis

dapat dikelompokkan atas dua stadium utama yaitu cedera primer dan sekunder.

(Avellino dkk, 1997; Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002)

1. Cedera Otak Primer (Primary Brain Injury)

Cedera otak primer merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang

terjadi pada saat kejadian trauma. (Marik dkk, 2002) Dapat terjadi akibat tubrukan

atau kecelakaan. (Avellino dkk, 1997) Cedera primer dihasilkan oleh tekanan

akselarasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena

pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak. (Avellino, 1997; Gilroy,

2000)

Patofisiologi cedera primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus.

Cedera otak fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan pukulan terhadap

kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal

(41)

progresifitasnya. Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury) disebabkan oleh

tekanan inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada

praktisnya, diffuse axonal injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan.

(Marik dkk, 2002)

Yang termasuk tipe dari cedera otak primer ini diantaranya fraktur tengkorak,

epidural hematoma, subdural hematoma, intraserebral hematoma dan diffuse

axonal injury. (Marik dkk, 2002)

2. Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)

Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan

neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal. (Marik dkk,

2002) Cedera sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi yang

menyebabkan pengurangan dan perubahan cerebral blood flow (CBF) yang

menimbulkan hipoksia dan iskemik. (Avellino dkk, 1997)

Faktor sekunder akan memberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi otak,

robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi

intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat

menimbulkan kerusakan dan kematian neuron. (Gilroy, 2000)

II.1.5. Diagnostik pasca perawatan

1. Minimal (Simple Head Injury)

SKG 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma

(APT), tidak ada defisit neurologi.

(42)

SKG 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat

rumah sakit < 48 jam, APT < 1jam.

3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)

SKG 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau SKG > 12 akan tetapi ada lesi operatif

intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan > 30 menit – 24 jam, APT 1-24

jam.

4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)

SKG < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam,

APT > 7 hari. (Perdossi, 2006)

II.1.6. Aspek neurospikiatrik pada trauma kapitis

Terdapat gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma

kapitis, yang meliputi masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan

fungsi eksekutif; perubahan intelektual; gangguan memori; perubahan

kepribadian; gangguan afektif; gangguan ansietas; psikosis; epilepsi pasca

traumatik; gangguan tidur; aggresi; dan gampang marah. (Silver dkk, 2004)

Sekuele trauma kapitis dapat muncul akibat dari kerusakan fisik langsung

pada otak, dan akibat dari faktor sekunder seperti gangguan vaskuler, anoksia

dan oedem serebral. (Wilson, 1999) Keparahan sekuele neuropsikiatrik pada

trauma kapitis ditentukan oleh berbagai faktor yang telah ada saat sebelum,

selama dan sesudah cedera. (Silver dkk, 2004)

Trauma kapitis kebanyakan berhubungan dengan defisit kognitif, mencakup

gangguan arousal, perhatian (atensi), konsentrasi, memori, bahasa dan fungsi

(43)

dibedakan menjadi 4 kelompok menurut waktu terjadinya bila dikaitkan dengan

fase pada trauma kapitis. Fase pertama yaitu periode kehilangan kesadaran atau

koma yang terjadi segera setelah trauma kapitis. Fase kedua ditandai dengan

campuran gangguan kognitif dan tingkah laku, seperti agitasi, confusion,

disorientasi dan perubahan aktifitas psikomotor. Kedua fase tersebut terjadi

beberapa hari sampai satu bulan setelah cedera, merupakan bentuk dari delirium

pasca traumatik. Diikuti fase ketiga yaitu periode 6-12 bulan penyembuhan cepat

fungsi kognitif, diikuti oleh penyembuhan bersifat plateau selama 12-24 bulan

setelah cedera. Fase keempat ditandai dengan sekuele kognitif yang permanen,

fase ini disebut juga sebagai demensia oleh karena trauma kapitis. (Rao dan

Lyketsos, 2000)

Penderita pada fase awal pemulihan seringkali mengalami penurunan

tingkat kesadaran dan memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders - 4th ed - Text Revision (DSM-IV-TR) untuk suatu delirium.

Gejala biasanya muncul dengan onset yang tiba-tiba dengan perjalanan yang

berfluktuasi. (Jorge dkk, 2000)

II.2. DELIRIUM PADA TRAUMA KAPITIS II.2.1. Definisi

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - 4th ed -

Text Revision (DSM-IV-TR), delirium adalah suatu sindroma yang ditandai dengan

gangguan kesadaran dan perubahan kognisi yang muncul dalam waktu yang

(44)

Kata delirium berasal dari istilah Latin dengan makna “off the track

Sindroma ini dilaporkan semasa jaman Hippocrates pada tahun 1813.

(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005) Sinonim : acute confusional state, acute

brain syndrome, metabolic encephalopathy, toxic psychosis, dan acute brain

failure. (Sadock dan Sadock, 2003; Pincus dan Tucker, 2003)

II.2.2. Epidemiologi

Delirium merupakan gangguan yang umum. Menurut DSM-IV-TR, batasan

prevalensi delirium pada populasi umum adalah 0,4% untuk orang yang berusia

18 tahun dan lebih serta 1,1% untuk orang berusia 55 dan lebih. Sekitar 10-30%

penderita yang mengalami penyakit medis dan dirawat inap mengalami delirium.

(Sadock dan Sadock, 2003) Sekitar 15-60 % penderita berusia tua mengalami

delirium sebelum atau selama dirawat di rumah sakit, namun diagnosa sering

luput pada lebih 70% kasus. (Waszynski, 2004)

Usia lanjut merupakan faktor resiko mayor munculnya suatu delirium.

Sekitar 30-40% dari penderita rawat inap yang berusia lebih dari 65 tahun

dijumpai suatu episode delirium, dan lainnya 10-15% orang tua memperlihatkan

delirium saat masuk rumah sakit. Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko

independen untuk delirium menurut DSM-IV-TR. (Sadock dan Sadock, 2003)

Alagiakrishnan dan Blanchette (2005) menyebutkan bahwa delirium lajim

dijumpai di USA. Ditemukan sekitar 14-56% pada penderita berusia tua yang

dirawat di rumah sakit. Delirium dijumpai pada 10-22% penderita berusia tua saat

awal masuk ke rumah sakit, dan meningkat 10-30% setelah rawatan di rumah

(45)

(ICU). Sebanyak 80% penderita akan mengalami delirium saat mendekati

kematian. Delirium sangat sering dijumpai pada penghuni panti jompo (nursing

home residents).

Penelitian lain telah menemukan tingginya insidens delirium setelah trauma

kapitis. Prevalensi delirium dilaporkan mencapai 80% di Intensive Care Unit (ICU)

dan sekitar 69% pada penderita dengan trauma kapitis. (Kennedy dkk, 2003)

Delirium sering teramati pada kasus-kasus trauma kapitis yang berat. (Jorge dkk,

2000)

II.2.3. Faktor resiko

Tabel 2. Faktor predisposing dan presipitating pada delirium

Faktor prediposing Faktor presipitating

Usia lebih tua Narkotiks Jenis kelamin pria Penyakit akut berat

Gangguan visual Infeksi saluran kemih Adanya demensia Hiponatremia

Keparahan demensia Hipoksemia

Depresi Shock

Ketergantungan fungsional Anemia Immobilitas Nyeri

Fraktur pangkal paha Pengekangan fisik

Dehidrasi Penggunaan kateter urine Alkoholisme Peristiwa iatrogenik Keparahan penyakit fisik Operasi orthopedi Stroke Operasi jantung

Abnormalitas metabolik Lamanya bypass kardiopulmoner

Operasi non-jantung

(46)

Dikutip dari : Burns, A.; Gallagley, A. and Byrne, J. 2004. Delirium. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 75:362-367.

Faktor resiko delirium dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposing

atau faktor presipitating (Tabel 3), meskipun kombinasi keduanya dapat dijumpai.

(Burns dkk, 2006) Faktor predisposing telah dijumpai saat masuk ke rumah sakit

dan menunjukkan sifat yang mudah terkena / rentan, sedangkan faktor

presipitating mencakup stimulus noksius atau cedera dan / atau hospital-related

factors yang berperan terhadap perkembangan delirium.

II.2.4. Etiologi

Delirium merupakan suatu sindroma, bukan suatu penyakit, dan memiliki

banyak penyebab yang kesemuanya memberikan pola tanda dan gejala yang

serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran penderita dan gangguan

kognitif. (Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)

Penyebab utama delirium adalah mencakup penyakit sistem saraf pusat

(seperti epilepsi, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, neoplasma dan

penyakit vaskuler), penyakit sistemik (seperti disfungsi endokrin, hepatic

encepalopathy, uremic encephalopathy, hipoksia, gagal jantung, aritmia, hipotensi,

penyakit defisiensi, infeksi sistemik, ketidakseimbangan elektrolit, dll), dan

intoksikasi maupun putus dari agen farmakologi atau toksik. (Sadock dan Sadock,

2003; Adams dkk, 2001)

Meskipun delirium pada penderita trauma kapitis paling sering sebagai

(47)

akan adanya penyebab lain pada delirium (seperti efek samping obat, putus obat

atau intoksikasi obat yang digunakan sebelum kejadian cedera) dan adanya faktor

lingkungan. (Tabel 3) (Silver dkk, 2004)

Tabel 3. Penyebab delirium pada penderita dengan trauma kapitis

Pengaruh mekanikal (akselerasi atau deselerasi, kontusio, dll) Oedem serebral

Perdarahan Infeksi

Hematoma subdural

Seizure

Hipoksia (kardiopulmoner atau iskemik lokal) Peningkatan tekanan intrakranial

Intoksikasi atau putus alkohol, ensefalopati Wernicke

Penurunan hemoperfusi yang berkaitan dengan cedera multipel Emboli lemak

Perubahan pH

Ketidakseimbangan elektrolit

Pengobatan (barbiturat, steroid, opioid dan antikholinergik)

(48)

II.2.5. Patogenesis

Mekanisme patofisiologis yang sebenarnya mendasari terjadinya dan

perkembangan delirium belum jelas. (Pincus dan Tucker, 2003; Truman dan Ely,

2003) Neurotransmitter utama yang dihipotesiskan berperan pada delirium adalah

asetilkholin, dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio retikularis.

(Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)

Di dalam batang otak, formasio retikularis terdapat di bagian tengah medula

oblongata hingga diensefalon. Struktur ini terdiri atas sel-sel neuron berukuran

sedang dan kecil yang berhubungan melalui dendrit dan aksonnya satu dengan

lainnya. Neuron-neuron yang membentuk sistem aktifans asendens berakson

panjang atau dikenal sebagai ascending reticular activating systems (ARAS),

mendapat kolateral dari semua saraf-saraf sensorik yang berjalan di dalam batang

otak. (Markam dam Markam, 2003)

Formasio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur

perhatian (atensi) dan arousal, dan jaras utama yang berperan dalam delirium

adalah jaras tegmental dorsalis, yang berproyeksi dari formasio retikularis

mesensefalik ke tektum dan thalamus. (Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan

dan Blanchette, 2005)

Delirium berkaitan dengan kerusakan atau disfungsi pada struktur yang

berhubungan dengan arousal dan perhatian (atensi). Delirium dapat terjadi oleh

karena lesi fokal yang mengenai daerah supramodal (area limbik, prefrontal dan

parietal) dan inframodal (ARAS), atau karena lesi multifokal yang mengenai

daerah modulasi perhatian spesifik. (Katz dan Giacino, 2004) Literatur lain

(49)

pertama bersifat difus yang melibatkan thalamus dan jaras bihemisferik, dan

kedua bersifat fokal yang melibatkan korteks frontalis dan parietalis di hemisfer

kanan. (Burns dkk, 2004)

Terdapat perluasan gangguan fungsi kortikal luhur pada delirium, dengan

bukti terdapatnya disfungsi pada beberapa area di otak, seperti struktur

subkortikal, brain stem dan thalamus, lobus parietalis non dominan, fusiformis,

korteks pre-frontalis dan juga korteks motorik primer. Lesi di sisi kanan telah

disebutkan berperan penting pada final common pathway delirium. (Burns dkk,

2004) Laporan-laporan scan otak menyatakan bahwa hemisfer kanan, baik

korteks maupun subkorteks, sangatlah penting pada delirium. (Trzepacz, 1999)

Cuting (cit. Trzepacz, 1994) menyatakan bahwa delirium agitasi dengan

gejala psikotik yang dominan lebih berkaitan dengan lokasi hemisfer kanan,

sedang delirium hipoaktif dan somnolen lebih mungkin berkaitan dengan hemisfer

kiri.

Mekanisme delirium disebutkan berkaitan dengan gangguan keseimbangan

(imbalans) neurotransmitter yang memodulasi pengaturan fungsi kognitif, tingkah

laku dan mood. Tiga sistem neurotransmitter utama yang terlibat dalam

patofisologi delirium diantaranya dopamine, γ-amino-butyric acid, dan asetilkholin.

Sistem neurotransmitter lainnya yang dapat terlibat yaitu serotonin, hiperfungsi

endorfin, peningkatan aktifitas noradrenergik sentral, dan kerusakan sistem enzim

interneuronal. (Truman dan Ely, 2003)

Terdapat beberapa bukti adanya defisiensi kolinergik pada delirium.

Pertama, faktor resiko delirium mencakup gangguan metabolik dan struktural otak

(50)

antikolinergik yang tinggi berhubungan dengan keparahan delirium. Ketiga,

terdapat bukti-bukti yang berdasarkan riwayat percobaan klinis, yang

mengemukakan bahwa penggunaan obat-obat antikolinesterase pada pengobatan

penyakit Alzheimer ternyata juga bermanfaat dalam mengobati gejala-gejala

delirium. (Burns dkk, 2004)

Hunter dkk (2005) melakukan studi untuk melihat penurunan kadar

N-acetylaspartate (NAA) di regio frontalis dan oksipitalis dengan menggunakan

proton MR spectroscopy pada 7 penderita kanak-kanak yang mengalami trauma

kapitis akut non penetrasi dan hubungannya dengan outcome kognitif. Didapati

bahwa konsentrasi NAA dan choline (Cho) menurun pada penderita trauma

kapitis, dan penurunan NAA ini berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif. Kadar

NAA, choline (Cho) dan creatine (Cr) dijumpai lebih tinggi pada hemisfer kiri

dibanding kanan.

Studi terakhir menduga adanya peranan sitokin, seperti interleukin-1 dan

interleukin-6, pada patogenesis delirium. Setelah mengalami infeksi, inflamasi dan

toksik, pirogen endogen, seperti interleukin-1, akan dilepaskan dari sel. Trauma

kapitis dan iskemik, yang sering berkaitan dengan munculnya delirium, ditandai

dengan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin-6.

(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)

II.2.6. Patologis

Pada otak penderita delirium yang telah meninggal tanpa berkaitan dengan

penyakit atau cedera, biasanya terlihat tidak adanya perubahan patologik yang

(51)

patologis yang nyata. Topografi lesi pada keadaan ini cukup menarik. Biasanya

cenderung berlokasi di midbrain, hipothalamus dan pada lobus temporalis, di

mana selanjutnya melibatkan retikularis dan sistem limbik. (Adams dkk, 2001)

Proses patologis pada daerah sistem limbik dan atau neokorteks serta

jaras-jaras assosiasinya dapat menyebabkan perubahan tingkah laku berupa

gejala neurobehavior : defisit fungsi kognitif (perhatian, bahasa, memori, praksis,

visuospatial, eksekutif) dan atau gejala neuropsikiatri (perubahan afek, mood dan

kepribadian). (Lumempouw, 2004)

II.2.7. Gambaran klinis

Delirium bersifat sementara, biasanya reversibel, adanya disfungsi serebral

dan bermanifestasi klinis secara luas berupa kelainan neuropsikiatrik.

(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005) Delirium merupakan istilah umum yang

sering digunakan untuk menjelaskan sejumlah gejala psikiatrik. (Maull dkk, 1996)

Delirium merupakan suatu kondisi gangguan kognitif global yang terutama

berkaitan dengan defisit perhatian (atensi). (Katz dan Giacino, 2004)

Delirium dikategorikan berdasarkan tingkat kewaspadaan (alertness) dan

tingkat aktifitas psikomotor. (Truman dan Ely, 2003) Terdapat 3 tipe dari delirium

yaitu delirium hiperaktif (tipe agitasi), delirium hipoaktif (delirium somnolen) dan

delirium campuran. (Gleason, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)

Penderita dengan subtipe hiperaktif dapat mengalami agitasi, disorientasi,

delusi dan halusinasi. Penderita dengan subtipe hipoaktif sering mengalami

Gambar

Tabel 19. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan
Gambaran klinik
Tabel 2. Faktor predisposing dan presipitating pada delirium
Tabel 3. Penyebab delirium pada penderita dengan trauma kapitis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Idealnya, PAR dirancang oleh pimpinan perguruan tinggi, sebagai bagian dari program pengembangan sumber daya manusia yang telah memperhatikan berbagai hal, termasuk bidang

Penelitian ini dilakukan untuk memetakan posisi pemain dan alur Strategi Futsal menggunakan Finite State Automata (FSA) dengan konsep Non Deterministic Finite State Automata

Dari nilai critical ratio skewness value hanya indikator ukuran perusahaan, umur perusahaan dan pengungkapan pelaporan yang menunjukkan distribusi normal dengan nilai

Tampilan form pencarian data info dapat dilihat pada Gambar 4.39. Gambar 4.39 Tampilan Form Pencarian

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa keberadaan penganut Ajaran Kerohanian Sapta Darma di Dukuh Sepat Kelurahan Lidah Kulon masih ada dan mampu bertahan di

Steganografi merupakan suatu teknik menyembunyikan data rahasia di dalam suatu wadah atau media digital sehingga keberadaan data rahasia tersebut tidak diketahui oleh orang

Faktor-faktor yang berhubungan diantaranya hasil belajar matematika dan peran guru dalam proses pembelajaran sehingga peneliti terdorong untuk melakukan penelitian yang

[r]