HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR DELIRIUM
(CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT INAP
PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT
DI RUMAH SAKIT
T E S I S
Oleh
Kiki Mohammad Iqbal Nomor Register CHS : 14567
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR DELIRIUM
(CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT INAP
PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT
DI RUMAH SAKIT
T E S I S
Untuk memperoleh gelar Spesialis dalam program studi Ilmu Penyakit Saraf pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Oleh
Kiki Mohammad Iqbal Nomor Register CHS : 14567
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP. H. ADAM MALIK MEDAN
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul Tesis : HUBUNGAN SKORE COGNITIVE TEST FOR
DELIRIUM (CTD) DENGAN LAMANYA MASA RAWAT
INAP PENDERITA TRAUMA KAPITIS SEDANG-BERAT
DI RUMAH SAKIT
Nama : KIKI MOHAMMAD IQBAL
Nomor Register CHS : 14567
Program Studi : Ilmu Penyakit Saraf
Menyetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
NIP 130 905 363 NIP 130 702 008
Mengetahui / mengesahkan
Ketua Program Studi Ketua Departemen Neurologi
Ilmu Penyakit Saraf FK USU / RSHAM
Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K) Prof. DR. Dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
NIP 131 124 054 NIP 130 702 008
Telah diuji pada
Tanggal 6 Mei 2008
PANITIA PENGUJI TESIS
1. Prof. DR. Dr. Hasan Sjahir, Sp.S(K)
2. Prof. Dr. Darulkutni Nasution, Sp.S(K)
3. Dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
4. Dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K)
5. Dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)
6. Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S
7. Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S
8. Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S
9. Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S
ABSTRAK
Latar belakang : Delirium sering dijumpai setelah kejadian koma yang disebabkan oleh trauma kapitis, yang terutama muncul saat pemulihan kesadaran setelah trauma kapitis akut. Delirium berhubungan dengan peningkatan mortalitas, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit (lengths of hospital stay), peningkatan penggunaan fasilitas rumah sakit, dan semakin memperburuk
outcome fungsional dan kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah sakit.
Metode : Studi ini merupakan studi potong lintang dengan pengambilan sampel secara non random dengan metode konsekutif pada penderita trauma kapitis sedang-berat yang dirawat di ruang rawat inap RSUP H. Adam Malik Medan periode Februari sampai Juli 2007. Dilakukan perhitungan skore SKG dan dilakukan pemeriksaan CT scan kepala, selanjutnya dilakukan identifikasi delirium dengan menggunakan instrumen Cognitive Test for Delirium (CTD) dan dicatat lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit. Untuk melihat hubungan antara skore CTD dengan rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit digunakan uji t-independent. Nilai kemaknaan p < 0,05.
Hasil : Didapati 34 sampel penderita trauma kapitis sedang-berat, yang terdiri dari 30 orang pria (88,2%) dan 4 orang wanita (11,8%). Dijumpai penderita trauma kapitis yang mengalami delirium (CTD < 19) sebanyak 20 orang (58,8%). Nilai rerata skore CTD pada penderita trauma kapitis sebesar 16,79 ± 5,17. Nilai rerata skore CTD pada kelompok SKG 3 – 8 (10,29 ± 6,26) lebih rendah dibanding pada kelompok SKG 9 – 12 (18,48 ± 3,25) meskipun rerata skore CTD pada kedua kelompok SKG sama-sama menunjukkan adanya gejala delirium (p = 0,013). Secara keseluruhan dijumpai rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit yaitu selama 17,50 ± 5,83 hari dengan masa rawat inap paling singkat yaitu 10 hari dan paling lama yaitu 30 hari. Rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit pada penderita trauma kapitis yang mengalami delirium dijumpai lebih panjang dibanding pada penderita tauma kapitis yang tanpa mengalami delirium (21,05 ± 4,61 hari vs 12,43 ± 2,85 hari; p = 0,000).
Kesimpulan : Rerata lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit pada penderita trauma kapitis yang mengalami delirium secara signifikan dijumpai lebih panjang dibanding pada penderita trauma kapitis yang tanpa mengalami delirium.
ABSTRACT
Background : Delirium is universal following coma caused by head injury, it is
particularly likely to occur on recovery of consciousness following acute brain injury. Delirium is associated with increased mortality, longer lengths of hospital stay, increased utilization of hospital resources, and poorer functional and cognitive outcomes. The objective of this study was to determine the correlation between CTD score and lengths of hospital stay in moderate-severe head injury patients.
Methods : This is a cross sectional study with non random sampling using the
consecutive method applied to moderate-severe head injury patients in neurology ward Haji Adam Malik Medan hospital between the periode of February until July 2007. Calculation of GCS score and Head CT scan were performed. Afterward, delirium identification was performed using the CTD instrument and length of hospital stay was noted. To determine the correlation between the CTD score and mean of lengths of hospital stay, t-independent test was used. The significance value is p < 0,05.
Result :The were 34 samples of moderate-severe head injury patients, consisted
of 30 males (88.2%) and 4 females (11.8%). There were 20 patients (58.8%) who suffered delirium (CTD score <19). The mean of CTD score was 16.79 ± 5.17. The mean of CTD score in GCS score 3 – 8 group (10.29 ± 6.26) was lower than GCS score 9 – 12 group (18.48 ± 3.25) although the mean of CTH score in both groups showed that there were symptoms of deliium (p = 0.013). Overall, the mean of lengths of hospital stay was 17.50 ± 5.83 days with the shortest lengths of hospital stay was 10 days and the longest was 30 days. The mean of lengths of hospital stay in head injury patients with delirium was longer than those with not delirium (21.05 ± 4.61 days vs 12.43 ± 2.85 days, p = 0.000).
Conclusion : The mean of lengths of hospital stay in head injury patients with
delirium was significantly longer than head injury patients without delirium.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan
semesta alam yang telah memberikan segala berkah, rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Shalawat dan salam kita sampaikan bagi junjungan Rasulullah Muhammad
SAW, keluarga dan sahabatnya yang telah menunjuki kita dari alam kesesatan ke
alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan salah satu
tugas akhir dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H.
Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. H. Chairuddin
P. Lubis, DTM&H, SpA(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis
di Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.
Yang terhormat Prof. Dr. H. T. Bahri Anwar Johan, SpJP(K), (Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat penulis diterima sebagai
peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Prof. Dr. H. Gontar Alamsyah Siregar, SpPD(KGEH), atas kesempatan dan
fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan
Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.
Yang terhormat Prof. Dr. H. Darulkutni Nasution, Sp.S(K), (Ketua
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat
penulis diterima sebagai PPDS) yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk menjadi peserta didik serta memberi bimbingan selama mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.
Yang terhormat Ketua Departemen / SMF Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Prof. DR. Dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) yang telah
memberikan kesempatan, bimbingan, arahan serta dorongan semangat yang tak
ternilai selama penulis mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis ini.
Yang terhormat Dr. H. Hasanuddin Rambe, Sp.S(K), (Ketua Program Studi
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara saat
penulis diterima sebagai PPDS), yang telah bersedia menerima penulis menjadi
peserta didik serta banyak memberi bimbingan dalam menjalankan proses
pendidikan.
Yang terhormat Ketua Program Studi Departemen Neurologi Fakultas
memberikan kesempatan, banyak memberikan bimbingan dan arahan dalam
menjalani pendidikan spesialisasi ini.
Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan
kepada Dr. H. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) dan Prof. DR. Dr. H. Hasan Sjahrir, Sp.S(K)
selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong,
membimbing, mengkoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan,
pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
Kepada guru-guru saya, Dr. Syawaluddin Nasution, Sp.S(K) almarhum; Dr.
Ahmad Syukri Batubara, Sp.S(K) almarhum; Dr. LBM Sitorus, Sp.S; Dr. Darlan
Djali Chan, Sp.S; Dr. H. Yuneldi Anwar, Sp.S(K); Dr. Irsan NHN Lubis, Sp.S; Dr.
Dadan Hamdani, Sp.S.; Dr. Aldy S. Rambe, Sp.S; Dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S;
Dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S; Dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S dan Dr. Cut Aria
Arina, Sp.S; dan guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, baik
di Departemen Neurologi maupun Departemen / SMF lainnya di lingkungan FK
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, terima kasih yang setulus-tulusnya penulis
sampaikan atas segala bimbingan dan didikan yang telah penulis terima.
Kepada Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M. Kes, selaku pembimbing statistik
yang telah banyak membimbing, membantu dan meluangkan waktu dalam
pembuatan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya.
Kepada Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, yang
telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga
penulis dapat mengikuti pendidikan spesialisasi ini sampai selesai.
Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh teman sejawat PPDS-I
memberi dorongan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Bapak
Amran Sitorus, Sukirman Aribowo dan seluruh perawat di SMF Neurologi RSUP
H. Adam Malik Medan yang membantu penulis dalam pelayanan pasien
sehari-hari.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada orang tua saya,
Dr. H. Yong Nasvi Radjab (almarhum) dan Dra. Hj. Siti Hadijah (almarhumah)
yang semasa hidup beliau telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang,
membekali saya dengan pendidikan, kebiasaan hidup disiplin, jujur, kerja keras
dan bertanggung jawab, memberikan bimbingan, dorongan, semangat dan
nasehat serta doa yang tulus agar penulis tetap sabar dan tegar dalam mengikuti
pendidikan.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada kepada Bapak
dan Ibu mertua saya, Drs. Putra Munsya Sembiring, SH dan Hj. Elly Gusrina Pane
yang terus memberikan dorongan, nasehat serta doa yang tulus hingga penulis
dapat menyelesaikan pendidikan spesialisasi ini.
Teristimewa kepada istriku tercinta Putri Sisca Sari Sembiring, SH dan
putriku Alyfia Sizqi Sekarfitri yang dengan sabar dan penuh pengertian,
mendampingi dengan penuh cinta dan kasih sayang dalam suka dan duka, saya
ucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya.
Kepada adik-adik kandungku, T. Pito Jayalangkara, BComp beserta istri;
Harly Vivaldi, ST beserta istri dan Siti Rauzelia Delany; kepada adik iparku Andry
Syaly Sembiring dan Agi Tantahira Sembiring; kepada Wak Atik; beserta seluruh
dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini penulis haturkan terima kasih yang
sebesar-besarnya.
Kepada semua rekan dan sahabat yang tak mungkin saya sebut satu
persatu yang telah membantu saya sekecil apapun, saya haturkan terima kasih
yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT, Tuhan semesta alam selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Dengan segala keterbatasan, penulis menyadari dalam penelitian dan
penulisan tesis ini masih dijumpai banyak kekurangan, oleh sebab itu dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan masukan yang berharga dari
semua pihak untuk kebaikan dimasa yang akan datang. Akhirnya penulis
mengaharapkan semoga penelitaian dan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
Wassalamua’laikum Wr. Wb.
Medan, Mei 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Dr. Kiki Mohammad Iqbal
Tempat / tanggal lahir : Banda Aceh, 5 Oktober 1977
Agama : Islam
Pekerjaan : Staf Pengajar FK USU
NIP : 132 303 384
Pangkat / Golongan : Penata Muda Tk I / III b
Nama Ayah : Dr. H. Yong Nasvi Radjab (almarhum)
Nama Ibu : Dra. Hj. Siti Hadijah (almarhumah)
Nama Istri : Putri Sisca Sari Sembiring, SH
Nama Anak : Alyfia Sizqi Sekarfitri
Riwayat Pendidikan
1. SD Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1989.
2. SMP Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1992.
3. SMA Negeri 1 Banda Aceh, tamat tahun 1995.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2001.
Riwayat Pekerjaan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... viii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
I.1. Latar Belakang ... 1
I.2. Perumusan Masalah ... 15
I.3. Tujuan Penelitian ... 16
I.4. Hipotesis ... 16
I.5. Manfaat Penelitian ... 17
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 18
II.1. TRAUMA KAPITIS ... 18
II.1.1. Definisi ... 18
II.1.2. Epidemiologi ... 18
II.1.3. Klasifikasi ... 19
II.1.4. Patofisiologi ... 20
II.1.5. Diagnostik pasca perawatan ... 22
II.2. DELIRIUM PADA TRAUMA KAPITIS ... 24
II.2.1. Definisi ... 24
II.2.2. Epidemiologi ... 24
II.2.3. Faktor resiko ... 26
II.2.4. Etiologi ... 27
II.2.5. Patogenesis ... 28
II.2.6. Patologis ... 31
II.2.7. Gambaran klinis ... 32
II.2.8. Kriteria diagnostik ... 33
II.2.9. Prognosis ... 35
II.3. INSTRUMEN ... 35
II.3.1. Skala Koma Glasgow (SKG) ... 35
II.3.2. CT scan kepala ... 37
II.3.3. Cognitive Test for Delirium (CTD) ... 37
II.4. KERANGKA KONSEPSIONAL ... 40
BAB III. METODE PENELITIAN ... 41
III.1. Tempat dan Waktu ... 41
III.2. Subjek Penelitian ... 41
III.3. Batasan Operasional ... 43
III.4. Rancangan Penelitian ... 48
III.5. Instrumen ... 48
III.6. Pelaksanaan Penelitian ... 48
III.6.1. Pengambilan sampel ... 48
III.7. Variabel Diamati ... 49
III.8. Analisa Statistik ... 50
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
IV.1. HASIL PENELITIAN ... 51
IV.1.1. Karakteristik penelitian ... 51
IV.1.2. Karaktersitik demografi subjek penelitian ... 51
IV.1.3. Distrbusi sampel berdasarkan gambaran CT scan kepala ... 53
IV.1.4. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore SKG ... 54
IV.1.5. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore SKG ... 55
IV.1.6. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dengan rerata skore SKG ... 56
IV.1.7. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore SKG ... 57
IV.1.8. Karakteristik demografi subjek berdasarkan identifikasi delirium ... 58
IV.1.9. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore SKG ... 60
IV.1.10. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore CTD ... 61
IV.1.11. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore CTD ... 62
IV.1.12. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore CTD ... 62
IV.1.13. Hubungan antara suku bangsa dengan rerata skore CTD ... 63
IV.1.15. Hubungan antara skore SKG dengan
rerata skore CTD ... 64
IV.1.16. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore CTD ... 65
IV.1.17. Hubungan antara jenis kelamin dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 67
IV.1.18. Hubungan antara kelompok usia dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 67
IV.1.19. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dan skore SKG dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 68
IV.1.20. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit .. 69
IV.1.21. Hubungan antara identifikasi delirium dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 71
IV.2. PEMBAHASAN ... 71
IV.2.1. Karakteristik demografi subjek penelitian ... 73
IV.2.2. Hubungan antara variabel dengan skore SKG .. 77
IV.2.3. Hubungan antara variabel dengan delirium ... 79
IV.2.4. Hubungan antara variabel dengan lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 81
IV.2.5. Hubungan antara gangguan kognitif dan delirium dengan lamanya masa rawat inap ... 83
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
V.1. KESIMPULAN ... 89
V.2. SARAN ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 91
LAMPIRAN ... 98
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
APT : amnesia pasca trauma
ARAS : ascending reticular activating systems
BNIS : Barrow Neurological Institute Screen for Higher
Cerebral Function
CBF : cerebral blood flow
Cho : choline
CKR : cedera kranioserebral ringan
CKS : cedera kranioserebral sedang
CKB : cedera kranioserbral berat
Cr : creatine
CT : computed tomography
CTD : Cognitive Test for Delirium
d : selisih rerata kedua kelompok yang bermakna
(clinical judgment)
dkk : dan kawan-kawan
DOL : depth of lesion
DSM-IV-TR : Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders - 4th ed - Text Revision
ICD : International Classification of Diseases
ICU : Intensive Care Unit
MMSE : Mini Mental State Examination
MRI : Magnetic Resonance Imaging
NAA : N-acetylaspartate
PET : Positron Emission Tomography
PTA : post-traumatic amnesia
ROC : receiver operating characteristic
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SD : standar deviasi
sd : perkiraan simpang baku dari selisih rerata
(dari penelitian atau judgment)
SKG : Skala Koma Glasgow
SPECT : Single Photon Emission Computed Tomogaphy
p : tingkat kemaknaan
PAPS : pulang atas permintaan sendiri
USA : United State of America
vs : versus
Zα : nilai baku normal berdasarkan nilai α yang telah
ditentukan = 1,96
Zβ : nilai baku normal berdasarkan nilai β yang telah
ditentukan = 1,282
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
Tabel 1. Prevalensi delirium pada populasi yang berbeda ... 7
Tabel 2. Faktor predisposing dan presipitating pada delirium ... ... 26
Tabel 3. Penyebab delirium pada penderita trauma kapitis ... 28
Tabel 4. Kriteria diagnostik delirium diakibatkan karena kondisi medis umum menurut DSM-IV-TR ... 33
Tabel 5. Kriteria diagnostik delirium menurut ICD 10 ... 34
Tabel 6. Skala Koma Glasgow (SKG) ... 36
Tabel 7. Karakteristik demografi subjek penelitian ... 52
Tabel 8. Distribusi sampel berdasarkan gambaran CT scan kepala.. 54
Tabel 9. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore SKG.. 55
Tabel 10. Hubungan antara kelompok usia dengan rerata skore SKG 55 Tabel 11. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dengan rerata skore SKG ... 56
Tabel 12. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan rerata skore SKG ... 57
Tabel 13. Karakteristik demografi subjek berdasarkan identifikasi delirium ... 59
Tabel 14. Hubungan antara ientifikasi delirium dengan rerata skore SKG ... 61
Tabel 15. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata skore CTD ... 61
Tabel 16. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata skore CTD .. 62
Tabel 19. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan
rerata skore CTD ... 64
Tabel 20. HUbungan antara skore SKG dengan rerata skore CTD .... 65
Tabel 21. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan
rerata skore CTD ... 66
Tabel 22. Hubungan antara jenis kelamin dengan rerata lamanya
masa rawat inap rumah sakit ... 67
Tabel 23. Hubungan antara kelompo usia dengan rerata lamanya
masa rawat inap rumah sakit ... 68
Tabel 24. Hubungan antara klasifikasi trauma kapitis dan skore
SKG dengan rerata lamanya masa rawat inap ... 69
Tabel 25. Hubungan antara gambaran CT scan kepala dengan
rerata lamanya masa rawat inap rumah sakit ... 70
Tabel 26. Hubungan antara identifikasi delirium dengan rerata
DAFTAR LAMPIRAN
No Judul Halaman
Lampiran 1. Surat persetujuan ikut dalam penelitian ... 98
Lampiran 2. Lembaran pengumpulan data penelitian ... 99
Lampiran 3. Cognitive Test for Delirium (CTD) ... 103
Lampiran 4. Persetujuan komite etik pelaksanaan penelitian ... 106
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Trauma kapitis merupakan masalah kesehatan yang penting yang dapat
menimbulkan kecacatan atau kematian, kekacauan dalam keluarga, kehilangan
pekerjaan dan penghasilan, dan besarnya biaya perawatan. Trauma kapitis
mempunyai insidens yang tinggi, terutama pada usia dewasa muda. (Rizzo, 2002)
Trauma kapitis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada anak,
dewasa dan pada usia produktif. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 1,6 juta
orang pertahunnya mengalami trauma kapitis dan lebih dari 250.000 orang
berobat ke rumah sakit. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000
sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. Kerugian finansial
karena kehilangan produktifitas dan biaya perawatan medis sekitar 100 milyar
dollar Amerika pertahunnya. (Marik dkk, 2002)
Data epidemiologis Indonesia belum ada, tetapi dari data salah satu Rumah
Sakit di Jakarta yaitu RS Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun, untuk
penderita rawat inap, dijumpai 60-70% dengan cedera kranioserebral ringan
(CKR), 15-20% cedera kranioserebral sedang (CKS) dan sekitar 10% dengan
cedera kranioserebral berat (CKB). Angka kematian tertinggi sekitar 35-50%
akibat CKB, 5-10% akibat CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.
Kebanyakan penderita orang muda, berusia < 35 tahun, dan akibat dari
Memprediksi outcome jangka panjang segera saat pasien tiba di ruang
gawat darurat dapat dilakukan baik dengan menggunakan imaging atau tanpa
imaging yaitu secara klinikal, untuk kepentingan komunikasi bagi dokter dan
paramedis profesional kerja yang menangani; sehingga dapat dipersiapkan
strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang
terbaik bagi pasien. (Signorini dkk, 1999; Musridharta, 2006)
Penderita-penderita trauma kapitis memerlukan pemeriksaan dan resusitasi
yang cepat. Salah satu jenis pemeriksaan yang pada awalnya dikembangkan
untuk pemeriksaan serial di unit perawatan intensif adalah Skala Koma Glasgow
(SKG). Skala neurologikal ini telah diadopsi secara luas sejak diperkenalkan
pertama kali tahun 1974, dan telah menjadi tool standar untuk komunikasi status
mental pada penderita traumatik dan non-traumatik (Gill dkk, 2006).
Musridharta dkk (2006) menggunakan parameter spesifik yaitu SKG,
tekanan darah sistolik dan frekuensi pernafasan untuk memprediksi outcome
kematian dalam 3 hari. Studi ini melaporkan bahwa parameter respon motorik,
frekuensi nafas dan respon membuka mata merupakan prediktor bermakna dalam
memperkirakan kematian 3 hari pertama.
Signorini dkk (1999) melakukan studi terhadap 372 penderita trauma kapitis
sedang dan berat yang di follow up keadaan survival selama 1 tahun. Studi ini
bertujuan mengembangkan suatu model yang mudah dan sederhana yang
melibatkan variabel yang dapat digunakan secara klinis cepat dan mudah sebagai
prediktor terhadap survival pada penderita trauma kapitis. Dari studi ini didapati
reaktivitas pupil (p = 0,04), dan adanya gambaran hematom pada CT scan
sebagai prediktor independen yang signifikan terhadap survival.
Pillai dkk (2003) melakukan studi retrospektif terhadap 289 penderita
trauma kapitis berat (SKG 3 – 8). Studi ini melakukan analisa terhadap usia, tipe
injury, SKG saat masuk rumah sakit, reaksi pupil, reflek okulosefalik, skor motorik
SKG dan adanya midline shift pada CT scan sebagai prediktor outcome. Diperoleh
hasil bahwa refleks okulosefalik, skor motorik SKG dan adanya midline shift pada
CT scan sebagai prediktor terpenting terhadap outcome yang jelek setelah 1
bulan.
Suresh dkk (2003) melakukan studi untuk menentukan faktor-faktor yang
mempenguruhi outcome pada 340 anak dengan trauma kapitis. Penelitian ini
melaporkan bahwa dari 95 anak dengan epidural hematom, 8,4% memiliki
outcome yang jelek. Dari 100 anak dengan gambaran diffuse cerebral edema
pada CT scan, 25% memiliki outcome yang jelek. Gambaran klinis yang memiliki
hubungan dengan prognosis buruk meliputi tidak dijumpainya ocular movement
(50%), ukuran dan reaksi abnormal dari pupil (49%), serta usia kurang dari 2
tahun (27%).
Srinivasan (2006) melakukan suatu studi prospektif bagi 85 penderita
trauma kapitis sedang (SKG 9 – 12) yang meninggal, mengalami disabilitas berat
atau problema kognitif dan behavioral pada hari pertama setelah trauma. Didapati
bahwa kombinasi data CT scan dengan respon verbal dan gejala neurologis dapat
menjadi prediktor yang akurat pada trauma kapitis sedang. Sehingga berdasarkan
(verbal respon + neurological sign). Secara keseluruhan akurasinya mencapai
80% manakala digunakan pada hari saat pasien masuk rumah sakit.
Sebelumnya Lipper dkk (1985) melakukan suatu analisa retrospektif
terhadap gambaran CT scan kepala pada 128 penderita trauma kapitis berat.
Studi ini mendapatkan hasil adanya hubungan yang jelas antara outcome dan
ukuran dari lesi yang terlihat berdasarkan jumlah slice dari CT scan yang
menunjukkan gambaran perdarahan. Dijumpai perbedaan outcome yang
signifikan antara penderita yang memiliki gambaran CT scan normal dan tidak
normal, dimana 80% penderita dengan gambaran CT scan normal memiliki
outcome yang baik (p = 0,0001). Disimpulkan bahwa correct prediction rate dari
outcome dengan hanya menggunakan CT scan saja dijumpai sebesar 69,7%. Bila
CT scan dikombinasikan dengan skore SKG maka angka ini akan meningkat
menjadi 75,8%.
Literatur pada neurologi dan bedah saraf telah menyebutkan adanya
deskripsi klinis mengenai kelainan tingkah laku yang early atau delayed setelah
terjadinya trauma kapitis. Sindroma akut termasuk diantaranya confusional states,
apati, agitasi, kegelisahan (restlessness), gampang marah dan amnesia pasca
traumatik. Sedang delayed syndrome sering bersifat irreversibel sebagai akibat
dari cedera, termasuk diantaranya gangguan kognitif (seperti amnesia, demensia,
disfungsi eksekutif), gangguan mood dan perubahan kepribadian akibat kondisi
medis umum. (Jorge dkk, 2000)
Sewaktu dikonsulkan pada psikiater saat periode di mana penderita trauma
delirium dengan kegelisahan (restlessness), agitasi, confusion, disorientasi, delusi,
dan / atau halusinasi. (Silver dkk, 2004)
Analisa dari serial kasus pada Oxford Collection of Head Injury Records
menyatakan bahwa variabel-variabel biologikal seperti perluasan kerusakan otak,
lokasi lesi dan adanya epilepsi pasca trauma merupakan faktor etologi penting
dalam menentukan tipe dan durasi dari sindroma psikiatrik. (Jorge dkk, 2000)
Rao dan Lyketsos (2000) menyebutkan bahwa trauma kapitis dapat
menimbulkan berbagai gangguan neuropsikiatri, mulai dari defisit yang tidak jelas
sampai gangguan intelektual dan emosional yang berat. Gangguan neuropsikiatri
yang berhubungan dengan trauma kapitis meliputi gangguan kognitif, gangguan
mood dan ansietas, psikosis dan masalah tingkah laku. Defisit kognitif telah
berbagai macam diklasifikasikan seperti delirium, demensia oleh karena trauma
kapitis, gangguan amnestik oleh karena trauma kapitis atau gangguan intelektual,
bergantung pada berbagai gejala dan waktu saat onset serta masa resolusi.
Kesemuanya ini dapat menunda proses kesembuhan pada sistem saraf pusat.
Diagnosa delirium setelah trauma kapitis dapat dipersulit dengan adanya
perbedaan klasifikasi diantara berbagai disiplin ilmu. Konsep yang sangat
mendekati delirium dalam literatur psikiatri dan bedah saraf adalah amnesia pasca
traumatik. Namun istilah ini sering digunakan secara tidak tepat, dan kondisi yang
disebut sebagai amnesia pasca traumatik dapat tumpang tindih dengan koma,
stupor, delirium dan sindroma amnestik. Instrumen yang digunakan untuk menilai
amnesia pasca traumatik tidak cukup adekuat untuk menilai delirium. (Kennedy
Belakangan ini para ahli telah menganjurkan untuk meninggalkan
penggunaan konsep amnesia pasca traumatik untuk suatu confusion pasca
traumatik. Confusion pasca traumatik sangat dekat dengan delirium, namun istilah
ini tidak mengikutkan beberapa gambaran delirium seperti labilitas emosional dan
gangguan persepsi. Istilah agitasi pasca traumatik juga digunakan dalam literatur
psikiatrik dan sama-sama mirip dengan delirium namun tetaplah tidak sinonim
dengan delirium. Beberapa ahli memandang agitasi pasca traumatik sebagai
subtipe dari delirium, sedangkan lainnya memperkirakan sebagai gangguan yang
terpisah. (Kennedy dkk, 2003)
Delirium sering dijumpai setelah kejadian koma yang disebabkan oleh
trauma kapitis (mencakup cedera fokal) yang dapat berakhir beberapa menit
sampai beberapa minggu, yang terutama muncul saat pemulihan kesadaran
setelah trauma kapitis akut, dengan gejala yang bervariasi. (Burns dkk, 2004)
Delirium dapat berasal dari proses trauma kapitis itu sendiri atau berasal dari
komplikasi medis yang berhubungan sebagai predisposisi untuk terjadinya
delirium. (Kennedy dkk, 2003)
Meagher (2001) menyebutkan beberapa prevalensi delirium pada populasi
yang berbeda yang terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Prevalensi delirium pada populasi yang berbeda
Populasi umum : 0,4%
Populasi umum (> 55 tahun) : 1,1%
Penderita kanker (stadium terminal) : 25-40% (28-85%) Penderita pasca operatif : 5-75%
Penderita intensive care units : 12-50%
Nursing home residents : lebih 60%
Dikutip dari : Meagher, D. 2001. Delirium : the role of psychiatry. Advanced in Psychiatric Treatment. 7:433-443.
Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 42 studi cohort
mengenai kejadian delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa
prevalensi delirium saat masuk rumah sakit berkisar 10-31%, insidens kejadian
delirium baru saat masuk rumah sakit berkisar 3-29% dan angka kejadian
bervariasi antara 11-42%.
Dari penelitian baru-baru ini telah menemukan tingginya insidens delirium
setelah trauma kapitis. Prevalensi delirium dilaporkan mencapai 80% di Intensive
Care Unit (ICU) dan sekitar 69% pada penderita dengan trauma kapitis. (Kennedy
dkk, 2003) Delirium sering teramati pada kasus-kasus trauma kapitis yang berat.
(Jorge dkk, 2000)
Studi imaging pada metabolik (hepatic encephalopathy) dan struktural
(trauma kapitis, stroke) sebagai penyebab delirium mendukung hipotesis
mengenai adanya jaras neuronal tertentu yang sangat penting pada delirium.
Laporan-laporan scan otak menyatakan bahwa hemisfer kanan, baik korteks
maupun subkorteks, sangatlah penting pada delirium. Studi-studi lainnya
mendukung bahwa lateralisasi sirkuit neuronal pada delirium adalah pada
hemisfer kanan. Penelitian-penelitian atau laporan kasus serial (mengenai MRI,
CT, SPECT dan PET scans) memperlihatkan bahwa korteks frontalis, thalamus
korteks temporo-oksipitalis mesial-basal sangatlah penting pada delirium.
(Trzepacz, 1999)
Pada penderita trauma kapitis, adanya oedem serebri, dengan kompresi
terhadap ventrikel ketiga dan sisterna basalis berhubungan dengan peningkatan
tekanan intrakranialis, yang selanjutnya menimbulkan delirium dan koma. Lesi
otak yang semakin dalam pada penderita trauma kapitis berkaitan dengan
semakin lamanya durasi delirium dan koma. Lesi thalamus anteromedial berkaitan
dengan confusional state yang konsisten dengan delirium. (Trzepacz, 1994)
Blackman dkk (2003) melakukan studi mengevaluasi CT / MRI brain
imaging pada 92 penderita berusia 3-21 tahun untuk menentukan nilai prognostik
dini (early prognostic value) dengan menggunakan sistem klasifikasi depth of
lesion (DOL) bagi penderita trauma kapitis derajat berat. Imaging diklasifikasikan
menjadi 5 tingkat depth of lesion (DOL) (kortikal sampai batang otak). Selanjutnya
dinilai outcome fungsional dalam hal mobilitas, self-care dan kognitif, dan
dihubungkan dengan tingkatan DOL. Didapati bahwa lesi yang lebih dalam dan
pencapaian fungsional yang baik tidaklah berbeda secara signifikan diantara
tingkatan DOL; dan penderita dengan lesi yang lebih dalam cenderung menjalani
rawat inap yang lebih lama di unit rehabilitasi. Namun disimpulkan bahwa sistem
klasifikasi DOL masih terbatas kegunaannya sebagai tool prognostik dini.
Disebutkan juga bahwa tidak mungkin memprediksi outcome pada fase akut dini
di intensive care unit (ICU) hanya berdasarkan gambaran imaging standar otak
saja.
Wardlaw dkk (2002) melakukan studi terhadap 425 penderita trauma
rumah sakit sebagai informasi klinis dasar dalam memprediksi survival pada
penderita trauma kapitis. CT scan kepala dilakukan pada semua kelompok trauma
kapitis baik ringan, sedang maupun berat. Gambaran CT scan berupa
perdarahan, edema otak, cedera otak fokal atau difus didata secara blind baik
terhadap informasi klinis maupun outcome. Selanjutnya gambaran CT scan
diklasifikasikan menjadi 7 tingkatan (normal, mild, moderate, or severe focal injury;
dan mild, moderate, atau severe diffuse injury). Disimpulkan bahwa usia, SKG,
dan reaksi pupil merupakan prediktor yang signifikan bagi penderita yang survival
setelah trauma kapitis. Selanjutnya variabel CT scan merupakan variabel
prognostik yang independen dan dapat membantu mengindentifikasi penderita
trauma kapitis yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami kematian saat masuk
rumah sakit.
Masalah kognitif hampir selalu muncul setelah trauma kapitis berat dan
seringkali diikuti oleh penyebab lain dari kerusakan otak. Pada penderita trauma
kapitis yang survival biasanya (namun tidak selalu) memperlihatkan penyembuhan
fungsi motorik yang sesuai, dapat timbul masalah tingkah laku, dan hampir selalu
ditemukan masalah kognitif terutama dengan perhatian (atensi), proses informasi,
memori dan fungsi eksekutif. (Wilson, 1999)
Soertidewi (2004) menyebutkan bahwa kecacatan pasca trauma kapitis
yang sering ditemukan adalah gangguan kortikal luhur. Pemeriksaan kortikal luhur
sering tidak dilakukan karena belum disadari adanya gangguan fungsi kortikal
luhur ini. Padahal banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur ini yang
Borgaro dan Prigatano (2002) melakukan studi untuk menilai gangguan
kognitif dan afektif selama stadium akut setelah trauma kapitis dengan
menggunakan Barrow Neurological Institute Screen for Higher Cerebral Function
(BNIS) pada 42 individu dengan trauma kapitis derajat sedang-berat dan 21
kontrol. Didapati bahwa skore BNIS total maupun semua subtestnya secara
signifikan lebih baik pada kontrol dibanding pada penderita dengan trauma kapitis.
Penderita yang memenuhi kriteria untuk suatu delirium akan
memperlihatkan gangguan kognitif yang lebih besar dibanding dengan individu
yang tidak mengalami delirium. (Kennedy dkk, 2003)
Jackson dkk (2004) meninjau kembali literatur-literatur yang berkenaan
dengan hubungan antara delirium dan gangguan kognitif. Sembilan makalah
melaporkan adanya gangguan kognitif pada penderita dengan delirium. Empat
makalah melaporkan dijumpainya gangguan kognitif yang hebat diantara
penderita delirium dibanding dengan kontrol. Empat makalah melaporkan insidens
demensia yang cukup tinggi pada penderita dengan riwayat delirium sebelumnya.
Satu studi menemukan 1 dari 3 penderita penyakit kritis dengan delirium yang
survival selanjutnya dijumpai gangguan kognitif.
McCusker dkk (2001) melakukan studi untuk menentukan prognostik
delirium yang signifikan, dengan atau tanpa demensia, terhadap fungsi kognitif
dan status fungsional setelah masuk rumah sakit pada penderita berusia 65 tahun
atau lebih yang dilakukan skrining delirium selama minggu pertama rawatan.
Disimpulkan bahwa pada penderita yang berusia lebih tua dengan atau tanpa
perburukan kognitif dan status fungsional selama setahun setelah masuk rumah
sakit.
Kennedy dkk (2003) melakukan studi untuk menyelidiki kegunaan dari
Cognitive Test for Delirium (CTD) pada suatu populasi penderita dengan trauma
kapitis yang masuk ke unit neurorehabilitasi. Cognitive Test for Delirium (CTD)
berkembang sebagai metode alternatif untuk diagnosis delirium yang hanya
semata-mata berdasarkan gambaran kognitif. Dengan menilai fungsi eksekutif dan
fungsi kognitif non-verbal, maka CTD dapat mengukur fungsi hemisfer kanan yang
ikut memainkan peranan penting dalam patofisiologi terjadinya delirium. Dari hasil
analisa status kognitif saat pemulihan awal setelah cedera, didapati bahwa cutoff
score optimal yang kurang dari 22 dengan menggunakan CTD dapat
mengidentifikasi delirium, dengan sensitivitas sebesar 72% dan spesifisitas 71%
dibanding dengan diagnosis DSM-IV. Hasil ini menyimpulkan bahwa CTD dapat
menentukan perbedaan antara delirious dan non-delirious penderita trauma
kapitis.
Hart dkk (1996) sebelumnya telah melakukan studi validasi terhadap
penggunaan Cognitive Test for Delirium (CTD) untuk mengidentifikasi delirium
pada penderita dengan delirium, demensia, depresi dan schizofrenia yang dirawat
di Intensive Care Unit (ICU). Dari analisa menunjukkan bahwa cutoff score optimal
dari CTD dalam membedakan delirium dari gangguan lainnya yaitu sebesar ≤ 18
(atau < 19). Nilai cutoff ini berhubungan dengan sensitivitas sebesar 100% dan
spesifisitas 95,1%.
Delirium pada penderita yang berusia tua telah dihubungkan dengan
terhadap kontrol berdasarkan keparahan penyakit yang diderita. Delirium juga
berkaitan dengan peningkatan ongkos biaya perawatan rumah sakit dan
kemungkinan besar membutuhkan perawatan di rumah saat penderita pulang.
Gangguan kognitif, yang muncul di awal rawatan rumah sakit, dapat memprediksi
perpanjangan lamanya rawat inap dan telah dianalisa terhadap kontrol
berdasarkan keparahan penyakit yang diderita, gangguan fungsional dan
variabel-variabel penggangu potensial lainnya. (Saravay dkk, 2004)
Delirium pada trauma kapitis dapat menimbulkan peristiwa yang secara
signifikan merugikan, yang independen terhadap komplikasi lain akibat cedera.
Studi pada populasi lain telah memperlihatkan bahwa delirium berhubungan
dengan peningkatan mortalitas, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah
sakit (lengths of hospital stay), peningkatan penggunaan fasilitas rumah sakit, dan
semakin memperburuk outcome fungsional dan kognitif. (Kennedy dkk, 2003)
Fulop dkk (1998) melakukan studi untuk menentukan perbedaan lamanya
masa rawat inap di rumah sakit pada 467 penderita medikal-surgikal geriatrik
dengan dan tanpa komorbiditas psikiatrik. Didapatkan bahwa penderita dengan
gangguan kognitif secara signifikan dijumpai penambahan lamanya rawat inap di
rumah sakit dibanding dengan yang tanpa gangguan kognitif (14,6 vs 10,6 hari)
yaitu sekitar 4,0 hari atau 30% masa rawat inap yang lebih lama.
Bourgeois dkk (2006) melakukan studi untuk mencari hubungan antara
lamanya masa rawat inap di rumah sakit dengan diagnosa gangguan kognitif dan
usia pada 155 penderita dengan gangguan kognitif dari pelayanan medis
psikosomatik. Usia penderita dikelompokkan menjadi 18-64 tahun dan di atas 65
(11,0 hari) lebih singkat dibanding kelompok lebih muda (14,4 hari), meskipun
secara statistik tidak signifikan. Didapati bahwa gangguan kognitif berkaitan
dengan penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit penderita dewasa
dengan segala usia.
Saravay dan Lavin (1994) sebelumnya telah meninjau ulang 26 studi
Internasional dan American outcome yang menilai pengaruh komorbiditas
psikiatrik dan lamanya masa rawat inap pada penderita rawatan medis dan
operasi. Delapan puluh sembilan persen dari seluruh studi dengan jumlah sampel
yang lebih dari 110 dan 75% bersifat prospektif, dengan kontrol, studi American
menemukan hubungan yang signifikan antara komorbiditas psikiatrik dan
pertambahan lamanya masa rawat inap. Disimpulkan bahwa gangguan kognisi
yang berkaitan dengan delirium dan demensia, mood depresi dan variabel
kepribadian lainnya dapat memperlama masa rawat inap di rumah sakit dan
meningkatkan pemakaian jasa kesehatan saat di rumah sakit maupun setelah
keluar.
O’Keeffe dan Lavan (1999) melakukan studi untuk meneliti frekuensi dan
outcome dari subtipe klinis delirium pada penderita geriatri. Dijumpai adanya
perbedaan yang signifikan antara subtipe klinis delirium dengan keparahan
penyakit, lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan frekuensi terjatuh. Angka
mortalitas tidak berbeda diantara subtipe. Penderita dengan delirium subtipe
hipoaktif mengalami penyakit yang lebih berat, rawat inap lebih lama di rumah
sakit dan lebih sering mengalami dekubitus dibanding subtipe hiperaktif yang lebih
Saravay dkk (2004) selanjutnya melakukan studi untuk meng-identifikasi
penyebab pada demensia dan delirium yang dapat memperpanjang lamanya
rawat inap di rumah sakit pada 93 penderita berusia ≥ 65 tahun yang masuk ke
rumah sakit umum rujukan melalui unit emergensi. Didapati hasil bahwa penderita
berusia tua dengan demensia dan / atau delirium yang bersifat simptomatik
setelah dirawat di rumah sakit akan memperlihatkan tanda-tanda dan gejala
mental, yang diikuti dengan gangguan tingkah laku, dan selanjutnya manifestasi
mental dan tingkah laku ini dapat menjadi penyebab bertambah lamanya masa
rawat inap di rumah sakit.
Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 19 studi cohort
mengenai outcome delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa delirium
berkaitan dengan peningkatan mortalitas saat keluar rumah sakit dan pada saat
12 bulan, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan
institusionalisasi.
Turkel dan Tavare (2003) melakukan studi untuk memperlihatkan
presentasi klinis, gejala dan outcome delirium pada 84 kanak-kanak dan remaja
(berusia 6 bulan sampai 18 tahun) yang mengalami delirium dengan berbagai
etiologi. Didapati mortalitias delirium yang cukup tinggi yaitu 20% dengan lama
masa rawat inap yang panjang, bergantung pada keparahan penyakit yang
mendasarinya. Pada penderita delirium oleh karena trauma kapitis tidak dijumpai
adanya kematian, dan dijumpai rerata lamanya masa rawat inap di rumah sakit
I.2. PERUMUSAN MASALAH
1. Apakah ada hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan
lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah
sakit.
2. Apakah ada hubungan antara keparahan dan kedalaman lesi pada gambaran
CT scan kepala dengan ada tidaknya gejala delirium pada penderita trauma
kapitis sedang-berat.
3. Apakah ada hubungan antara karakteristik demografi (usia, jenis kelamin,
suku bangsa, tingkat pendidikan) dengan ada tidaknya gejala delirium pada
penderita trauma kapitis sedang-berat.
I.3. TUJUAN PENELITIAN I.3.1. Tujuan umum
Untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD)
dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di
rumah sakit.
I.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD)
dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di
RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui hubungan antara keparahan dan kedalaman lesi pada
gambaran CT scan kepala dengan ada tidaknya gejala delirium pada
3. Untuk mengetahui hubungan antara karakteristik demografi (usia, jenis
kelamin, suku bangsa, tingkat pendidikan) dengan ada tidaknyanya gejala
delirium pada penderita trauma kapitis sedang-berat di RSUP H. Adam Malik
Medan.
I.4. HIPOTESIS
Ada hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium (CTD) dengan
lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di rumah sakit.
I.5. MANFAAT PENELITIAN
I.5.1. Manfaat penelitian untuk ilmu pengetahuan
Dengan mengetahui hubungan antara skore Cognitive Test for Delirium
(CTD) dengan lamanya masa rawat inap penderita trauma kapitis sedang-berat di
rumah sakit, diharapkan semakin memahami bahwa adanya delirium dapat
mempengaruhi outcome penderita trauma kapitis dan diharapkan memahami
pentingnya penatalaksanaan yang tepat terhadap delirium maupun trauma kapitis
tersebut.
I.5.2. Manfaat penelitian untuk masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memahami lebih lanjut mengenai pengaruh
buruk akibat adanya delirium pada penderita trauma kapitis sedang-berat
terhadap lamanya masa rawat inap penderita di rumah sakit dan biaya perawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. TRAUMA KAPITIS II.1.1. Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
ataupun permanen. (Perdossi, 2006)
II.1.2. Epidemiologi
Lebih dari 2 juta penderita trauma kapitis setiap tahunnya dijumpai di ruang
emergensi United State of America (USA), dan 25% dari penderita ini selanjutnya
diopname. (Jorge dkk, 2000) Insidens trauma kapitis diperkirakan sekitar 200 per
100.000 populasi tiap tahunnya. Di USA, antara 2,5-6,5 juta individu hidup sebagai
konsekwensi akibat trauma kapitis jangka panjang. (Silver dkk, 2004)
Trauma kapitis dapat terjadi pada semua usia, tapi puncaknya pada
dewasa muda yaitu antara usia 15 dan 24 tahun. Pria 3-4 kali lebih sering dari
pada wanita. Infant dan orang tua (> 70 tahun) ternyata juga memiliki insidens
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya. (Avellino dkk, 1997)
Kecelakaan kendaraan bermotor dijumpai sekitar setengah dari penyebab
trauma kapitis; penyebab lainnya diantaranya terjatuh (21%), serangan dan
kekerasan (20%) dan kecelakaan yang berhubungan dengan olah raga dan
Dari seluruh penderita trauma kapitis yang dirawat, dijumpai trauma kapitis
ringan sebanyak 60-80%, trauma kapitis sedang 10-20% dan trauma kapitis berat
10%. (Avellino dkk, 1997)
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan
teknologi dan pembangunan, frekuensi trauma kapitis cenderung makin
meningkat. Trauma kapitis berperan pada hampir sebagian dari seluruh kematian
akibat trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan dan sering
terlibat dalam kecelakaan. (Listiono, 1998)
II.1.3. Klasifikasi
Menurut Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal
(Perdossi, 2006) klasifikasi trauma kapitis berdasarkan sebagai berikut :
1. Patologi :
2.2 Lesi kerusakan vaskuler otak
2.3. Lesi fokal
2.3.1. Kontusio dan laserasi serebri
2.3.2. Hematoma intrakranial
2.3.2.1. Hematoma ekstradural (hematoma epidural)
2.3.2.2. Hematoma subdural
2.3.2.3. Hematoma intraparenkimal
2.3.2.3.1. Hematoma subarakhnoid
2.3.2.3.2. Hematoma intraserebral 2.3.2.3.3. Hematoma intraserebellar 3. Derajat kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG)
Kategori SKG Gambaran klinik CT scan otak
Minimal 15 Pingsan (-), defisit
Ringan 13-15 Pingsan < 10 menit, defisit
neurologik (-) Normal
Sedang 9-12 Pingsan > 10 menit s/d 6
jam, defisit neurologik (+) Abnormal
Berat 3-8 Pingsan > 6 jam, defisit
neurologik (+) Abnormal
Catatan :
1. Tujuan klasifikasi ini untuk pedoman triase di gawat darurat
2. Jika abnormalitas CT scan berupa perdarahan intrakranial, penderita
dimasukkan
klasifikasi trauma kapitis berat
II.1.4. Patofisiologi
Patologi kerusakan otak akibat trauma kapitis
dapat dikelompokkan atas dua stadium utama yaitu cedera primer dan sekunder.
(Avellino dkk, 1997; Gilroy, 2000; Marik dkk, 2002)
1. Cedera Otak Primer (Primary Brain Injury)
Cedera otak primer merupakan hasil dari kerusakan mekanikal langsung yang
terjadi pada saat kejadian trauma. (Marik dkk, 2002) Dapat terjadi akibat tubrukan
atau kecelakaan. (Avellino dkk, 1997) Cedera primer dihasilkan oleh tekanan
akselarasi dan deselerasi yang merusak kandungan intrakranial oleh karena
pergerakan yang tidak seimbang dari tengkorak dan otak. (Avellino, 1997; Gilroy,
2000)
Patofisiologi cedera primer dapat dibedakan menjadi lesi fokal dan lesi difus.
Cedera otak fokal (focal brain injury) khas berhubungan dengan pukulan terhadap
kepala yang menimbulkan kontusio serebral dan hematoma. Cedera fokal
progresifitasnya. Cedera aksonal difus (diffuse axonal injury) disebabkan oleh
tekanan inersial yang sering berasal dari kecelakaan sepeda motor. Pada
praktisnya, diffuse axonal injury dan focal brain lesions sering terjadi bersamaan.
(Marik dkk, 2002)
Yang termasuk tipe dari cedera otak primer ini diantaranya fraktur tengkorak,
epidural hematoma, subdural hematoma, intraserebral hematoma dan diffuse
axonal injury. (Marik dkk, 2002)
2. Cedera Otak Sekunder (Secondary Brain Injury)
Cedera otak sekunder terjadi setelah trauma awal dan ditandai dengan kerusakan
neuron-neuron akibat respon fisiologis sistemik terhadap cedera awal. (Marik dkk,
2002) Cedera sekunder melibatkan hasil kejadian vaskuler dan hematologi yang
menyebabkan pengurangan dan perubahan cerebral blood flow (CBF) yang
menimbulkan hipoksia dan iskemik. (Avellino dkk, 1997)
Faktor sekunder akan memberat cedera otak dikarenakan adanya laserasi otak,
robekan pembuluh darah, spasme vaskuler, oedem serebral, hipertensi
intrakranial, pengurangan CBF, iskemik, hipoksia dan lainnya yang dapat
menimbulkan kerusakan dan kematian neuron. (Gilroy, 2000)
II.1.5. Diagnostik pasca perawatan
1. Minimal (Simple Head Injury)
SKG 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma
(APT), tidak ada defisit neurologi.
SKG 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat
rumah sakit < 48 jam, APT < 1jam.
3. Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury)
SKG 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau SKG > 12 akan tetapi ada lesi operatif
intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan > 30 menit – 24 jam, APT 1-24
jam.
4. Trauma kapitis berat (Severe Head Injury)
SKG < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam,
APT > 7 hari. (Perdossi, 2006)
II.1.6. Aspek neurospikiatrik pada trauma kapitis
Terdapat gejala neuropsikiatrik yang merupakan sekuele dari trauma
kapitis, yang meliputi masalah perhatian (atensi) dan arousal, konsentrasi dan
fungsi eksekutif; perubahan intelektual; gangguan memori; perubahan
kepribadian; gangguan afektif; gangguan ansietas; psikosis; epilepsi pasca
traumatik; gangguan tidur; aggresi; dan gampang marah. (Silver dkk, 2004)
Sekuele trauma kapitis dapat muncul akibat dari kerusakan fisik langsung
pada otak, dan akibat dari faktor sekunder seperti gangguan vaskuler, anoksia
dan oedem serebral. (Wilson, 1999) Keparahan sekuele neuropsikiatrik pada
trauma kapitis ditentukan oleh berbagai faktor yang telah ada saat sebelum,
selama dan sesudah cedera. (Silver dkk, 2004)
Trauma kapitis kebanyakan berhubungan dengan defisit kognitif, mencakup
gangguan arousal, perhatian (atensi), konsentrasi, memori, bahasa dan fungsi
dibedakan menjadi 4 kelompok menurut waktu terjadinya bila dikaitkan dengan
fase pada trauma kapitis. Fase pertama yaitu periode kehilangan kesadaran atau
koma yang terjadi segera setelah trauma kapitis. Fase kedua ditandai dengan
campuran gangguan kognitif dan tingkah laku, seperti agitasi, confusion,
disorientasi dan perubahan aktifitas psikomotor. Kedua fase tersebut terjadi
beberapa hari sampai satu bulan setelah cedera, merupakan bentuk dari delirium
pasca traumatik. Diikuti fase ketiga yaitu periode 6-12 bulan penyembuhan cepat
fungsi kognitif, diikuti oleh penyembuhan bersifat plateau selama 12-24 bulan
setelah cedera. Fase keempat ditandai dengan sekuele kognitif yang permanen,
fase ini disebut juga sebagai demensia oleh karena trauma kapitis. (Rao dan
Lyketsos, 2000)
Penderita pada fase awal pemulihan seringkali mengalami penurunan
tingkat kesadaran dan memenuhi kriteria Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders - 4th ed - Text Revision (DSM-IV-TR) untuk suatu delirium.
Gejala biasanya muncul dengan onset yang tiba-tiba dengan perjalanan yang
berfluktuasi. (Jorge dkk, 2000)
II.2. DELIRIUM PADA TRAUMA KAPITIS II.2.1. Definisi
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders - 4th ed -
Text Revision (DSM-IV-TR), delirium adalah suatu sindroma yang ditandai dengan
gangguan kesadaran dan perubahan kognisi yang muncul dalam waktu yang
Kata delirium berasal dari istilah Latin dengan makna “off the track”
Sindroma ini dilaporkan semasa jaman Hippocrates pada tahun 1813.
(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005) Sinonim : acute confusional state, acute
brain syndrome, metabolic encephalopathy, toxic psychosis, dan acute brain
failure. (Sadock dan Sadock, 2003; Pincus dan Tucker, 2003)
II.2.2. Epidemiologi
Delirium merupakan gangguan yang umum. Menurut DSM-IV-TR, batasan
prevalensi delirium pada populasi umum adalah 0,4% untuk orang yang berusia
18 tahun dan lebih serta 1,1% untuk orang berusia 55 dan lebih. Sekitar 10-30%
penderita yang mengalami penyakit medis dan dirawat inap mengalami delirium.
(Sadock dan Sadock, 2003) Sekitar 15-60 % penderita berusia tua mengalami
delirium sebelum atau selama dirawat di rumah sakit, namun diagnosa sering
luput pada lebih 70% kasus. (Waszynski, 2004)
Usia lanjut merupakan faktor resiko mayor munculnya suatu delirium.
Sekitar 30-40% dari penderita rawat inap yang berusia lebih dari 65 tahun
dijumpai suatu episode delirium, dan lainnya 10-15% orang tua memperlihatkan
delirium saat masuk rumah sakit. Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko
independen untuk delirium menurut DSM-IV-TR. (Sadock dan Sadock, 2003)
Alagiakrishnan dan Blanchette (2005) menyebutkan bahwa delirium lajim
dijumpai di USA. Ditemukan sekitar 14-56% pada penderita berusia tua yang
dirawat di rumah sakit. Delirium dijumpai pada 10-22% penderita berusia tua saat
awal masuk ke rumah sakit, dan meningkat 10-30% setelah rawatan di rumah
(ICU). Sebanyak 80% penderita akan mengalami delirium saat mendekati
kematian. Delirium sangat sering dijumpai pada penghuni panti jompo (nursing
home residents).
Penelitian lain telah menemukan tingginya insidens delirium setelah trauma
kapitis. Prevalensi delirium dilaporkan mencapai 80% di Intensive Care Unit (ICU)
dan sekitar 69% pada penderita dengan trauma kapitis. (Kennedy dkk, 2003)
Delirium sering teramati pada kasus-kasus trauma kapitis yang berat. (Jorge dkk,
2000)
II.2.3. Faktor resiko
Tabel 2. Faktor predisposing dan presipitating pada delirium
Faktor prediposing Faktor presipitating
Usia lebih tua Narkotiks Jenis kelamin pria Penyakit akut berat
Gangguan visual Infeksi saluran kemih Adanya demensia Hiponatremia
Keparahan demensia Hipoksemia
Depresi Shock
Ketergantungan fungsional Anemia Immobilitas Nyeri
Fraktur pangkal paha Pengekangan fisik
Dehidrasi Penggunaan kateter urine Alkoholisme Peristiwa iatrogenik Keparahan penyakit fisik Operasi orthopedi Stroke Operasi jantung
Abnormalitas metabolik Lamanya bypass kardiopulmoner
Operasi non-jantung
Dikutip dari : Burns, A.; Gallagley, A. and Byrne, J. 2004. Delirium. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 75:362-367.
Faktor resiko delirium dapat dikelompokkan menjadi faktor predisposing
atau faktor presipitating (Tabel 3), meskipun kombinasi keduanya dapat dijumpai.
(Burns dkk, 2006) Faktor predisposing telah dijumpai saat masuk ke rumah sakit
dan menunjukkan sifat yang mudah terkena / rentan, sedangkan faktor
presipitating mencakup stimulus noksius atau cedera dan / atau hospital-related
factors yang berperan terhadap perkembangan delirium.
II.2.4. Etiologi
Delirium merupakan suatu sindroma, bukan suatu penyakit, dan memiliki
banyak penyebab yang kesemuanya memberikan pola tanda dan gejala yang
serupa yang berhubungan dengan tingkat kesadaran penderita dan gangguan
kognitif. (Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)
Penyebab utama delirium adalah mencakup penyakit sistem saraf pusat
(seperti epilepsi, trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat, neoplasma dan
penyakit vaskuler), penyakit sistemik (seperti disfungsi endokrin, hepatic
encepalopathy, uremic encephalopathy, hipoksia, gagal jantung, aritmia, hipotensi,
penyakit defisiensi, infeksi sistemik, ketidakseimbangan elektrolit, dll), dan
intoksikasi maupun putus dari agen farmakologi atau toksik. (Sadock dan Sadock,
2003; Adams dkk, 2001)
Meskipun delirium pada penderita trauma kapitis paling sering sebagai
akan adanya penyebab lain pada delirium (seperti efek samping obat, putus obat
atau intoksikasi obat yang digunakan sebelum kejadian cedera) dan adanya faktor
lingkungan. (Tabel 3) (Silver dkk, 2004)
Tabel 3. Penyebab delirium pada penderita dengan trauma kapitis
Pengaruh mekanikal (akselerasi atau deselerasi, kontusio, dll) Oedem serebral
Perdarahan Infeksi
Hematoma subdural
Seizure
Hipoksia (kardiopulmoner atau iskemik lokal) Peningkatan tekanan intrakranial
Intoksikasi atau putus alkohol, ensefalopati Wernicke
Penurunan hemoperfusi yang berkaitan dengan cedera multipel Emboli lemak
Perubahan pH
Ketidakseimbangan elektrolit
Pengobatan (barbiturat, steroid, opioid dan antikholinergik)
II.2.5. Patogenesis
Mekanisme patofisiologis yang sebenarnya mendasari terjadinya dan
perkembangan delirium belum jelas. (Pincus dan Tucker, 2003; Truman dan Ely,
2003) Neurotransmitter utama yang dihipotesiskan berperan pada delirium adalah
asetilkholin, dan daerah neuroanatomis utama adalah formasio retikularis.
(Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)
Di dalam batang otak, formasio retikularis terdapat di bagian tengah medula
oblongata hingga diensefalon. Struktur ini terdiri atas sel-sel neuron berukuran
sedang dan kecil yang berhubungan melalui dendrit dan aksonnya satu dengan
lainnya. Neuron-neuron yang membentuk sistem aktifans asendens berakson
panjang atau dikenal sebagai ascending reticular activating systems (ARAS),
mendapat kolateral dari semua saraf-saraf sensorik yang berjalan di dalam batang
otak. (Markam dam Markam, 2003)
Formasio retikularis batang otak adalah daerah utama yang mengatur
perhatian (atensi) dan arousal, dan jaras utama yang berperan dalam delirium
adalah jaras tegmental dorsalis, yang berproyeksi dari formasio retikularis
mesensefalik ke tektum dan thalamus. (Sadock dan Sadock, 2003; Alagiakrishnan
dan Blanchette, 2005)
Delirium berkaitan dengan kerusakan atau disfungsi pada struktur yang
berhubungan dengan arousal dan perhatian (atensi). Delirium dapat terjadi oleh
karena lesi fokal yang mengenai daerah supramodal (area limbik, prefrontal dan
parietal) dan inframodal (ARAS), atau karena lesi multifokal yang mengenai
daerah modulasi perhatian spesifik. (Katz dan Giacino, 2004) Literatur lain
pertama bersifat difus yang melibatkan thalamus dan jaras bihemisferik, dan
kedua bersifat fokal yang melibatkan korteks frontalis dan parietalis di hemisfer
kanan. (Burns dkk, 2004)
Terdapat perluasan gangguan fungsi kortikal luhur pada delirium, dengan
bukti terdapatnya disfungsi pada beberapa area di otak, seperti struktur
subkortikal, brain stem dan thalamus, lobus parietalis non dominan, fusiformis,
korteks pre-frontalis dan juga korteks motorik primer. Lesi di sisi kanan telah
disebutkan berperan penting pada final common pathway delirium. (Burns dkk,
2004) Laporan-laporan scan otak menyatakan bahwa hemisfer kanan, baik
korteks maupun subkorteks, sangatlah penting pada delirium. (Trzepacz, 1999)
Cuting (cit. Trzepacz, 1994) menyatakan bahwa delirium agitasi dengan
gejala psikotik yang dominan lebih berkaitan dengan lokasi hemisfer kanan,
sedang delirium hipoaktif dan somnolen lebih mungkin berkaitan dengan hemisfer
kiri.
Mekanisme delirium disebutkan berkaitan dengan gangguan keseimbangan
(imbalans) neurotransmitter yang memodulasi pengaturan fungsi kognitif, tingkah
laku dan mood. Tiga sistem neurotransmitter utama yang terlibat dalam
patofisologi delirium diantaranya dopamine, γ-amino-butyric acid, dan asetilkholin.
Sistem neurotransmitter lainnya yang dapat terlibat yaitu serotonin, hiperfungsi
endorfin, peningkatan aktifitas noradrenergik sentral, dan kerusakan sistem enzim
interneuronal. (Truman dan Ely, 2003)
Terdapat beberapa bukti adanya defisiensi kolinergik pada delirium.
Pertama, faktor resiko delirium mencakup gangguan metabolik dan struktural otak
antikolinergik yang tinggi berhubungan dengan keparahan delirium. Ketiga,
terdapat bukti-bukti yang berdasarkan riwayat percobaan klinis, yang
mengemukakan bahwa penggunaan obat-obat antikolinesterase pada pengobatan
penyakit Alzheimer ternyata juga bermanfaat dalam mengobati gejala-gejala
delirium. (Burns dkk, 2004)
Hunter dkk (2005) melakukan studi untuk melihat penurunan kadar
N-acetylaspartate (NAA) di regio frontalis dan oksipitalis dengan menggunakan
proton MR spectroscopy pada 7 penderita kanak-kanak yang mengalami trauma
kapitis akut non penetrasi dan hubungannya dengan outcome kognitif. Didapati
bahwa konsentrasi NAA dan choline (Cho) menurun pada penderita trauma
kapitis, dan penurunan NAA ini berkaitan dengan penurunan fungsi kognitif. Kadar
NAA, choline (Cho) dan creatine (Cr) dijumpai lebih tinggi pada hemisfer kiri
dibanding kanan.
Studi terakhir menduga adanya peranan sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6, pada patogenesis delirium. Setelah mengalami infeksi, inflamasi dan
toksik, pirogen endogen, seperti interleukin-1, akan dilepaskan dari sel. Trauma
kapitis dan iskemik, yang sering berkaitan dengan munculnya delirium, ditandai
dengan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan interleukin-6.
(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)
II.2.6. Patologis
Pada otak penderita delirium yang telah meninggal tanpa berkaitan dengan
penyakit atau cedera, biasanya terlihat tidak adanya perubahan patologik yang
patologis yang nyata. Topografi lesi pada keadaan ini cukup menarik. Biasanya
cenderung berlokasi di midbrain, hipothalamus dan pada lobus temporalis, di
mana selanjutnya melibatkan retikularis dan sistem limbik. (Adams dkk, 2001)
Proses patologis pada daerah sistem limbik dan atau neokorteks serta
jaras-jaras assosiasinya dapat menyebabkan perubahan tingkah laku berupa
gejala neurobehavior : defisit fungsi kognitif (perhatian, bahasa, memori, praksis,
visuospatial, eksekutif) dan atau gejala neuropsikiatri (perubahan afek, mood dan
kepribadian). (Lumempouw, 2004)
II.2.7. Gambaran klinis
Delirium bersifat sementara, biasanya reversibel, adanya disfungsi serebral
dan bermanifestasi klinis secara luas berupa kelainan neuropsikiatrik.
(Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005) Delirium merupakan istilah umum yang
sering digunakan untuk menjelaskan sejumlah gejala psikiatrik. (Maull dkk, 1996)
Delirium merupakan suatu kondisi gangguan kognitif global yang terutama
berkaitan dengan defisit perhatian (atensi). (Katz dan Giacino, 2004)
Delirium dikategorikan berdasarkan tingkat kewaspadaan (alertness) dan
tingkat aktifitas psikomotor. (Truman dan Ely, 2003) Terdapat 3 tipe dari delirium
yaitu delirium hiperaktif (tipe agitasi), delirium hipoaktif (delirium somnolen) dan
delirium campuran. (Gleason, 2003; Alagiakrishnan dan Blanchette, 2005)
Penderita dengan subtipe hiperaktif dapat mengalami agitasi, disorientasi,
delusi dan halusinasi. Penderita dengan subtipe hipoaktif sering mengalami