• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Trauma kapitis merupakan masalah kesehatan yang penting yang dapat menimbulkan kecacatan atau kematian, kekacauan dalam keluarga, kehilangan pekerjaan dan penghasilan, dan besarnya biaya perawatan. Trauma kapitis mempunyai insidens yang tinggi, terutama pada usia dewasa muda. (Rizzo, 2002)

Trauma kapitis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada anak, dewasa dan pada usia produktif. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 1,6 juta orang pertahunnya mengalami trauma kapitis dan lebih dari 250.000 orang berobat ke rumah sakit. Dari keseluruhannya, 60.000 orang meninggal dan 70.000 sampai 90.000 orang mengalami cacat neurologis permanen. Kerugian finansial karena kehilangan produktifitas dan biaya perawatan medis sekitar 100 milyar dollar Amerika pertahunnya. (Marik dkk, 2002)

Data epidemiologis Indonesia belum ada, tetapi dari data salah satu Rumah Sakit di Jakarta yaitu RS Cipto Mangunkusumo dari tahun ke tahun, untuk penderita rawat inap, dijumpai 60-70% dengan cedera kranioserebral ringan (CKR), 15-20% cedera kranioserebral sedang (CKS) dan sekitar 10% dengan cedera kranioserebral berat (CKB). Angka kematian tertinggi sekitar 35-50% akibat CKB, 5-10% akibat CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal. Kebanyakan penderita orang muda, berusia < 35 tahun, dan akibat dari kecelakaan lalu lintas. (Soertidewi, 2004)

Memprediksi outcome jangka panjang segera saat pasien tiba di ruang

gawat darurat dapat dilakukan baik dengan menggunakan imaging atau tanpa

imaging yaitu secara klinikal, untuk kepentingan komunikasi bagi dokter dan paramedis profesional kerja yang menangani; sehingga dapat dipersiapkan strategi yang tepat untuk pengambilan keputusan dan penatalaksanaan yang terbaik bagi pasien. (Signorini dkk, 1999; Musridharta, 2006)

Penderita-penderita trauma kapitis memerlukan pemeriksaan dan resusitasi yang cepat. Salah satu jenis pemeriksaan yang pada awalnya dikembangkan untuk pemeriksaan serial di unit perawatan intensif adalah Skala Koma Glasgow (SKG). Skala neurologikal ini telah diadopsi secara luas sejak diperkenalkan pertama kali tahun 1974, dan telah menjadi tool standar untuk komunikasi status mental pada penderita traumatik dan non-traumatik (Gill dkk, 2006).

Musridharta dkk (2006) menggunakan parameter spesifik yaitu SKG,

tekanan darah sistolik dan frekuensi pernafasan untuk memprediksi outcome

kematian dalam 3 hari. Studi ini melaporkan bahwa parameter respon motorik, frekuensi nafas dan respon membuka mata merupakan prediktor bermakna dalam memperkirakan kematian 3 hari pertama.

Signorini dkk (1999) melakukan studi terhadap 372 penderita trauma kapitis sedang dan berat yang di follow up keadaan survival selama 1 tahun. Studi ini bertujuan mengembangkan suatu model yang mudah dan sederhana yang melibatkan variabel yang dapat digunakan secara klinis cepat dan mudah sebagai prediktor terhadap survival pada penderita trauma kapitis. Dari studi ini didapati bahwa usia (p < 0,001), skore SKG (p < 0,001), injury severity score (p < 0,001),

reaktivitas pupil (p = 0,04), dan adanya gambaran hematom pada CT scan

sebagai prediktor independen yang signifikan terhadap survival.

Pillai dkk (2003) melakukan studi retrospektif terhadap 289 penderita trauma kapitis berat (SKG 3 – 8). Studi ini melakukan analisa terhadap usia, tipe

injury, SKG saat masuk rumah sakit, reaksi pupil, reflek okulosefalik, skor motorik SKG dan adanya midline shift pada CT scan sebagai prediktor outcome. Diperoleh hasil bahwa refleks okulosefalik, skor motorik SKG dan adanya midline shift pada CT scan sebagai prediktor terpenting terhadap outcome yang jelek setelah 1 bulan.

Suresh dkk (2003) melakukan studi untuk menentukan faktor-faktor yang

mempenguruhi outcome pada 340 anak dengan trauma kapitis. Penelitian ini

melaporkan bahwa dari 95 anak dengan epidural hematom, 8,4% memiliki

outcome yang jelek. Dari 100 anak dengan gambaran diffuse cerebral edema

pada CT scan, 25% memiliki outcome yang jelek. Gambaran klinis yang memiliki

hubungan dengan prognosis buruk meliputi tidak dijumpainya ocular movement

(50%), ukuran dan reaksi abnormal dari pupil (49%), serta usia kurang dari 2 tahun (27%).

Srinivasan (2006) melakukan suatu studi prospektif bagi 85 penderita trauma kapitis sedang (SKG 9 – 12) yang meninggal, mengalami disabilitas berat atau problema kognitif dan behavioral pada hari pertama setelah trauma. Didapati bahwa kombinasi data CT scan dengan respon verbal dan gejala neurologis dapat menjadi prediktor yang akurat pada trauma kapitis sedang. Sehingga berdasarkan hal tersebut dikembangkan suatu “A Mathematical Model” yaitu CT Brain data x

(verbal respon + neurological sign). Secara keseluruhan akurasinya mencapai 80% manakala digunakan pada hari saat pasien masuk rumah sakit.

Sebelumnya Lipper dkk (1985) melakukan suatu analisa retrospektif

terhadap gambaran CT scan kepala pada 128 penderita trauma kapitis berat.

Studi ini mendapatkan hasil adanya hubungan yang jelas antara outcome dan

ukuran dari lesi yang terlihat berdasarkan jumlah slice dari CT scan yang

menunjukkan gambaran perdarahan. Dijumpai perbedaan outcome yang

signifikan antara penderita yang memiliki gambaran CT scan normal dan tidak

normal, dimana 80% penderita dengan gambaran CT scan normal memiliki

outcome yang baik (p = 0,0001). Disimpulkan bahwa correct prediction rate dari

outcome dengan hanya menggunakan CT scan saja dijumpai sebesar 69,7%. Bila CT scan dikombinasikan dengan skore SKG maka angka ini akan meningkat menjadi 75,8%.

Literatur pada neurologi dan bedah saraf telah menyebutkan adanya deskripsi klinis mengenai kelainan tingkah laku yang early atau delayed setelah terjadinya trauma kapitis. Sindroma akut termasuk diantaranya confusional states, apati, agitasi, kegelisahan (restlessness), gampang marah dan amnesia pasca traumatik. Sedang delayed syndrome sering bersifat irreversibel sebagai akibat dari cedera, termasuk diantaranya gangguan kognitif (seperti amnesia, demensia, disfungsi eksekutif), gangguan mood dan perubahan kepribadian akibat kondisi medis umum. (Jorge dkk, 2000)

Sewaktu dikonsulkan pada psikiater saat periode di mana penderita trauma kapitis tersadar dari koma, gambaran klinis yang sering terlihat adalah suatu

delirium dengan kegelisahan (restlessness), agitasi, confusion, disorientasi, delusi, dan / atau halusinasi. (Silver dkk, 2004)

Analisa dari serial kasus pada Oxford Collection of Head Injury Records

menyatakan bahwa variabel-variabel biologikal seperti perluasan kerusakan otak, lokasi lesi dan adanya epilepsi pasca trauma merupakan faktor etologi penting dalam menentukan tipe dan durasi dari sindroma psikiatrik. (Jorge dkk, 2000)

Rao dan Lyketsos (2000) menyebutkan bahwa trauma kapitis dapat menimbulkan berbagai gangguan neuropsikiatri, mulai dari defisit yang tidak jelas sampai gangguan intelektual dan emosional yang berat. Gangguan neuropsikiatri yang berhubungan dengan trauma kapitis meliputi gangguan kognitif, gangguan mood dan ansietas, psikosis dan masalah tingkah laku. Defisit kognitif telah berbagai macam diklasifikasikan seperti delirium, demensia oleh karena trauma kapitis, gangguan amnestik oleh karena trauma kapitis atau gangguan intelektual, bergantung pada berbagai gejala dan waktu saat onset serta masa resolusi. Kesemuanya ini dapat menunda proses kesembuhan pada sistem saraf pusat.

Diagnosa delirium setelah trauma kapitis dapat dipersulit dengan adanya perbedaan klasifikasi diantara berbagai disiplin ilmu. Konsep yang sangat mendekati delirium dalam literatur psikiatri dan bedah saraf adalah amnesia pasca traumatik. Namun istilah ini sering digunakan secara tidak tepat, dan kondisi yang disebut sebagai amnesia pasca traumatik dapat tumpang tindih dengan koma, stupor, delirium dan sindroma amnestik. Instrumen yang digunakan untuk menilai amnesia pasca traumatik tidak cukup adekuat untuk menilai delirium. (Kennedy dkk, 2003)

Belakangan ini para ahli telah menganjurkan untuk meninggalkan

penggunaan konsep amnesia pasca traumatik untuk suatu confusion pasca

traumatik. Confusion pasca traumatik sangat dekat dengan delirium, namun istilah ini tidak mengikutkan beberapa gambaran delirium seperti labilitas emosional dan gangguan persepsi. Istilah agitasi pasca traumatik juga digunakan dalam literatur psikiatrik dan sama-sama mirip dengan delirium namun tetaplah tidak sinonim dengan delirium. Beberapa ahli memandang agitasi pasca traumatik sebagai subtipe dari delirium, sedangkan lainnya memperkirakan sebagai gangguan yang terpisah. (Kennedy dkk, 2003)

Delirium sering dijumpai setelah kejadian koma yang disebabkan oleh trauma kapitis (mencakup cedera fokal) yang dapat berakhir beberapa menit sampai beberapa minggu, yang terutama muncul saat pemulihan kesadaran setelah trauma kapitis akut, dengan gejala yang bervariasi. (Burns dkk, 2004) Delirium dapat berasal dari proses trauma kapitis itu sendiri atau berasal dari komplikasi medis yang berhubungan sebagai predisposisi untuk terjadinya delirium. (Kennedy dkk, 2003)

Meagher (2001) menyebutkan beberapa prevalensi delirium pada populasi yang berbeda yang terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Prevalensi delirium pada populasi yang berbeda

Populasi umum : 0,4%

Populasi umum (> 55 tahun) : 1,1%

Secara umum saat masuk rumah sakit: 9-30% Orang tua secara umum masuk rumah sakit : 5-55% Kecelakaan dan keadaan emergensi pada orang tua : 16% AIDS : 17-40%

Penderita kanker (stadium terminal) : 25-40% (28-85%) Penderita pasca operatif : 5-75%

Penderita intensive care units : 12-50%

Nursing home residents : lebih 60%

Dikutip dari : Meagher, D. 2001. Delirium : the role of psychiatry. Advanced in Psychiatric Treatment. 7:433-443.

Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 42 studi cohort mengenai kejadian delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa prevalensi delirium saat masuk rumah sakit berkisar 10-31%, insidens kejadian delirium baru saat masuk rumah sakit berkisar 3-29% dan angka kejadian bervariasi antara 11-42%.

Dari penelitian baru-baru ini telah menemukan tingginya insidens delirium setelah trauma kapitis. Prevalensi delirium dilaporkan mencapai 80% di Intensive Care Unit (ICU) dan sekitar 69% pada penderita dengan trauma kapitis. (Kennedy dkk, 2003) Delirium sering teramati pada kasus-kasus trauma kapitis yang berat. (Jorge dkk, 2000)

Studi imaging pada metabolik (hepatic encephalopathy) dan struktural

(trauma kapitis, stroke) sebagai penyebab delirium mendukung hipotesis mengenai adanya jaras neuronal tertentu yang sangat penting pada delirium.

Laporan-laporan scan otak menyatakan bahwa hemisfer kanan, baik korteks

maupun subkorteks, sangatlah penting pada delirium. Studi-studi lainnya mendukung bahwa lateralisasi sirkuit neuronal pada delirium adalah pada hemisfer kanan. Penelitian-penelitian atau laporan kasus serial (mengenai MRI,

CT, SPECT dan PET scans) memperlihatkan bahwa korteks frontalis, thalamus

korteks temporo-oksipitalis mesial-basal sangatlah penting pada delirium. (Trzepacz, 1999)

Pada penderita trauma kapitis, adanya oedem serebri, dengan kompresi terhadap ventrikel ketiga dan sisterna basalis berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranialis, yang selanjutnya menimbulkan delirium dan koma. Lesi otak yang semakin dalam pada penderita trauma kapitis berkaitan dengan semakin lamanya durasi delirium dan koma. Lesi thalamus anteromedial berkaitan dengan confusional state yang konsisten dengan delirium. (Trzepacz, 1994)

Blackman dkk (2003) melakukan studi mengevaluasi CT / MRI brain

imaging pada 92 penderita berusia 3-21 tahun untuk menentukan nilai prognostik dini (early prognostic value) dengan menggunakan sistem klasifikasi depth of lesion (DOL) bagi penderita trauma kapitis derajat berat. Imaging diklasifikasikan menjadi 5 tingkat depth of lesion (DOL) (kortikal sampai batang otak). Selanjutnya dinilai outcome fungsional dalam hal mobilitas, self-care dan kognitif, dan dihubungkan dengan tingkatan DOL. Didapati bahwa lesi yang lebih dalam dan pencapaian fungsional yang baik tidaklah berbeda secara signifikan diantara tingkatan DOL; dan penderita dengan lesi yang lebih dalam cenderung menjalani rawat inap yang lebih lama di unit rehabilitasi. Namun disimpulkan bahwa sistem

klasifikasi DOL masih terbatas kegunaannya sebagai tool prognostik dini.

Disebutkan juga bahwa tidak mungkin memprediksi outcome pada fase akut dini di intensive care unit (ICU) hanya berdasarkan gambaran imaging standar otak saja.

Wardlaw dkk (2002) melakukan studi terhadap 425 penderita trauma

rumah sakit sebagai informasi klinis dasar dalam memprediksi survival pada penderita trauma kapitis. CT scan kepala dilakukan pada semua kelompok trauma

kapitis baik ringan, sedang maupun berat. Gambaran CT scan berupa

perdarahan, edema otak, cedera otak fokal atau difus didata secara blind baik

terhadap informasi klinis maupun outcome. Selanjutnya gambaran CT scan

diklasifikasikan menjadi 7 tingkatan (normal, mild, moderate, or severe focal injury;

dan mild, moderate, atau severe diffuse injury). Disimpulkan bahwa usia, SKG, dan reaksi pupil merupakan prediktor yang signifikan bagi penderita yang survival

setelah trauma kapitis. Selanjutnya variabel CT scan merupakan variabel

prognostik yang independen dan dapat membantu mengindentifikasi penderita trauma kapitis yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami kematian saat masuk rumah sakit.

Masalah kognitif hampir selalu muncul setelah trauma kapitis berat dan seringkali diikuti oleh penyebab lain dari kerusakan otak. Pada penderita trauma kapitis yang survival biasanya (namun tidak selalu) memperlihatkan penyembuhan fungsi motorik yang sesuai, dapat timbul masalah tingkah laku, dan hampir selalu ditemukan masalah kognitif terutama dengan perhatian (atensi), proses informasi, memori dan fungsi eksekutif. (Wilson, 1999)

Soertidewi (2004) menyebutkan bahwa kecacatan pasca trauma kapitis yang sering ditemukan adalah gangguan kortikal luhur. Pemeriksaan kortikal luhur sering tidak dilakukan karena belum disadari adanya gangguan fungsi kortikal luhur ini. Padahal banyak gejala sisa berupa gangguan kortikal luhur ini yang dapat menurunkan kualitas hidup pasca trauma kapitis.

Borgaro dan Prigatano (2002) melakukan studi untuk menilai gangguan kognitif dan afektif selama stadium akut setelah trauma kapitis dengan menggunakan Barrow Neurological Institute Screen for Higher Cerebral Function

(BNIS) pada 42 individu dengan trauma kapitis derajat sedang-berat dan 21 kontrol. Didapati bahwa skore BNIS total maupun semua subtestnya secara signifikan lebih baik pada kontrol dibanding pada penderita dengan trauma kapitis.

Penderita yang memenuhi kriteria untuk suatu delirium akan memperlihatkan gangguan kognitif yang lebih besar dibanding dengan individu yang tidak mengalami delirium. (Kennedy dkk, 2003)

Jackson dkk (2004) meninjau kembali literatur-literatur yang berkenaan dengan hubungan antara delirium dan gangguan kognitif. Sembilan makalah melaporkan adanya gangguan kognitif pada penderita dengan delirium. Empat makalah melaporkan dijumpainya gangguan kognitif yang hebat diantara penderita delirium dibanding dengan kontrol. Empat makalah melaporkan insidens demensia yang cukup tinggi pada penderita dengan riwayat delirium sebelumnya. Satu studi menemukan 1 dari 3 penderita penyakit kritis dengan delirium yang survival selanjutnya dijumpai gangguan kognitif.

McCusker dkk (2001) melakukan studi untuk menentukan prognostik delirium yang signifikan, dengan atau tanpa demensia, terhadap fungsi kognitif dan status fungsional setelah masuk rumah sakit pada penderita berusia 65 tahun atau lebih yang dilakukan skrining delirium selama minggu pertama rawatan. Disimpulkan bahwa pada penderita yang berusia lebih tua dengan atau tanpa demensia, delirium merupakan suatu prediktor independen untuk terjadinya

perburukan kognitif dan status fungsional selama setahun setelah masuk rumah sakit.

Kennedy dkk (2003) melakukan studi untuk menyelidiki kegunaan dari

Cognitive Test for Delirium (CTD) pada suatu populasi penderita dengan trauma kapitis yang masuk ke unit neurorehabilitasi. Cognitive Test for Delirium (CTD) berkembang sebagai metode alternatif untuk diagnosis delirium yang hanya semata-mata berdasarkan gambaran kognitif. Dengan menilai fungsi eksekutif dan fungsi kognitif non-verbal, maka CTD dapat mengukur fungsi hemisfer kanan yang ikut memainkan peranan penting dalam patofisiologi terjadinya delirium. Dari hasil analisa status kognitif saat pemulihan awal setelah cedera, didapati bahwa cutoff score optimal yang kurang dari 22 dengan menggunakan CTD dapat mengidentifikasi delirium, dengan sensitivitas sebesar 72% dan spesifisitas 71% dibanding dengan diagnosis DSM-IV. Hasil ini menyimpulkan bahwa CTD dapat menentukan perbedaan antara delirious dan non-delirious penderita trauma kapitis.

Hart dkk (1996) sebelumnya telah melakukan studi validasi terhadap penggunaan Cognitive Test for Delirium (CTD) untuk mengidentifikasi delirium pada penderita dengan delirium, demensia, depresi dan schizofrenia yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU). Dari analisa menunjukkan bahwa cutoff score optimal dari CTD dalam membedakan delirium dari gangguan lainnya yaitu sebesar ≤ 18 (atau < 19). Nilai cutoff ini berhubungan dengan sensitivitas sebesar 100% dan spesifisitas 95,1%.

Delirium pada penderita yang berusia tua telah dihubungkan dengan pertambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan telah dianalisa

terhadap kontrol berdasarkan keparahan penyakit yang diderita. Delirium juga berkaitan dengan peningkatan ongkos biaya perawatan rumah sakit dan kemungkinan besar membutuhkan perawatan di rumah saat penderita pulang. Gangguan kognitif, yang muncul di awal rawatan rumah sakit, dapat memprediksi perpanjangan lamanya rawat inap dan telah dianalisa terhadap kontrol berdasarkan keparahan penyakit yang diderita, gangguan fungsional dan variabel-variabel penggangu potensial lainnya. (Saravay dkk, 2004)

Delirium pada trauma kapitis dapat menimbulkan peristiwa yang secara signifikan merugikan, yang independen terhadap komplikasi lain akibat cedera. Studi pada populasi lain telah memperlihatkan bahwa delirium berhubungan dengan peningkatan mortalitas, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit (lengths of hospital stay), peningkatan penggunaan fasilitas rumah sakit, dan semakin memperburuk outcome fungsional dan kognitif. (Kennedy dkk, 2003)

Fulop dkk (1998) melakukan studi untuk menentukan perbedaan lamanya masa rawat inap di rumah sakit pada 467 penderita medikal-surgikal geriatrik dengan dan tanpa komorbiditas psikiatrik. Didapatkan bahwa penderita dengan gangguan kognitif secara signifikan dijumpai penambahan lamanya rawat inap di rumah sakit dibanding dengan yang tanpa gangguan kognitif (14,6 vs 10,6 hari) yaitu sekitar 4,0 hari atau 30% masa rawat inap yang lebih lama.

Bourgeois dkk (2006) melakukan studi untuk mencari hubungan antara lamanya masa rawat inap di rumah sakit dengan diagnosa gangguan kognitif dan usia pada 155 penderita dengan gangguan kognitif dari pelayanan medis psikosomatik. Usia penderita dikelompokkan menjadi 18-64 tahun dan di atas 65 tahun, didapati bahwa rerata lamanya masa rawat inap pada kelompok geriatrik

(11,0 hari) lebih singkat dibanding kelompok lebih muda (14,4 hari), meskipun secara statistik tidak signifikan. Didapati bahwa gangguan kognitif berkaitan dengan penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit penderita dewasa dengan segala usia.

Saravay dan Lavin (1994) sebelumnya telah meninjau ulang 26 studi

Internasional dan American outcome yang menilai pengaruh komorbiditas

psikiatrik dan lamanya masa rawat inap pada penderita rawatan medis dan operasi. Delapan puluh sembilan persen dari seluruh studi dengan jumlah sampel yang lebih dari 110 dan 75% bersifat prospektif, dengan kontrol, studi American menemukan hubungan yang signifikan antara komorbiditas psikiatrik dan pertambahan lamanya masa rawat inap. Disimpulkan bahwa gangguan kognisi yang berkaitan dengan delirium dan demensia, mood depresi dan variabel kepribadian lainnya dapat memperlama masa rawat inap di rumah sakit dan meningkatkan pemakaian jasa kesehatan saat di rumah sakit maupun setelah keluar.

O’Keeffe dan Lavan (1999) melakukan studi untuk meneliti frekuensi dan

outcome dari subtipe klinis delirium pada penderita geriatri. Dijumpai adanya perbedaan yang signifikan antara subtipe klinis delirium dengan keparahan penyakit, lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan frekuensi terjatuh. Angka mortalitas tidak berbeda diantara subtipe. Penderita dengan delirium subtipe hipoaktif mengalami penyakit yang lebih berat, rawat inap lebih lama di rumah sakit dan lebih sering mengalami dekubitus dibanding subtipe hiperaktif yang lebih sering mengalami terjatuh.

Saravay dkk (2004) selanjutnya melakukan studi untuk meng-identifikasi penyebab pada demensia dan delirium yang dapat memperpanjang lamanya rawat inap di rumah sakit pada 93 penderita berusia ≥ 65 tahun yang masuk ke rumah sakit umum rujukan melalui unit emergensi. Didapati hasil bahwa penderita berusia tua dengan demensia dan / atau delirium yang bersifat simptomatik setelah dirawat di rumah sakit akan memperlihatkan tanda-tanda dan gejala mental, yang diikuti dengan gangguan tingkah laku, dan selanjutnya manifestasi mental dan tingkah laku ini dapat menjadi penyebab bertambah lamanya masa rawat inap di rumah sakit.

Siddiqi dkk (2006) yang meninjau kembali literatur dari 19 studi cohort mengenai outcome delirium penderita di rumah sakit mendapatkan bahwa delirium berkaitan dengan peningkatan mortalitas saat keluar rumah sakit dan pada saat 12 bulan, penambahan lamanya masa rawat inap di rumah sakit, dan institusionalisasi.

Turkel dan Tavare (2003) melakukan studi untuk memperlihatkan presentasi klinis, gejala dan outcome delirium pada 84 kanak-kanak dan remaja (berusia 6 bulan sampai 18 tahun) yang mengalami delirium dengan berbagai etiologi. Didapati mortalitias delirium yang cukup tinggi yaitu 20% dengan lama masa rawat inap yang panjang, bergantung pada keparahan penyakit yang mendasarinya. Pada penderita delirium oleh karena trauma kapitis tidak dijumpai adanya kematian, dan dijumpai rerata lamanya masa rawat inap di rumah sakit sekitar 42,3 hari (SD ± 35,9).

Dokumen terkait