• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Anak Sekolah Dasar"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Sekolah Dasar

Pada golongan anak sekolah, gigi geligi susu tanggal secara berangsur dan diganti secara permanen. Anak sudah lebih aktif memilih makanan yang disukai. Kebutuhan energi lebih besar karena mereka lebih banyak melakukan aktifitas fisik, misalnya berolah raga, bermain, dan sekolah. Kebutuhan energi golongan umur 10-12 tahun relatif lebih besar daripada golongan umur 7-9 tahun, karena pertumbuhan lebih cepat terutama penambahan tinggi badan. Golongan anak sekolah biasanya mempunyai banyak perhatian dan aktivitas di luar rumah, sehingga sering melupakan waktu makan. Makan pagi (sarapan) perlu diperhatikan, untuk mencegah hipoglikemia dan supaya anak lebih mudah menerima pelajaran (Almatsier 1994).

Pada usia sekolah dasar diharapkan memperoleh dasar pengetahuan sebagai bekal penyesuaian pada kehidupan selanjutnya. Sebutan lain untuk

anak sekolah dasar yaitu periode kritis karena masa ini merupakan motivasI untuk berprestasi sehingga membentuk kebiasaan untuk berusaha mencapai

sukses atau bersikap santai. Sekali terbentuk kebiasaan, kebiasaan tersebut akan terus dibawa sampai dewasa (Nasoetion 1991).

Anak-anak mempunyai pemikiran yang terbuka dibandingkan orang dewasa dan pengetahuan yang diterima merupakan dasar bagi pembinaan kebiasaan makannya. Anak-anak umumnya mempunyai hasrat besar untuk ingin tahu dan mempelajarinya lebih jauh. Anak-anak sebagaimana orang dewasa juga memerlukan dorongan yang kuat agar anak itu mau belajar. Misalnya diberi gambaran bahwa anak yang gizinya baik itu dapat tumbuh dengan baik, badannya menjadi besar, kuat, sehat, kulitnya bagus, pintar mudah masuk sekolah lanjutan, dan lain sebagainya (Suhardjo 2003).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan anak yang makan pagi mempunyai sikap dan prestasi sekolah yang lebih baik daripada anak yang tidak sempat sarapan. Penelitian oleh Pollitt, Leibel, dan Greenfield menunjukkan pada anak usia 9-11 tahun dengan gizi baik, makan pagi mempengaruhi kemampuan pemecahan masalah. Penelitian lain menunjukkan konsentrasi berpikir anak yang tidak makan pagi lebih rendah secara bermakna. Hal ini dapat dijelaskan bahwa agar otak dan sel darah merah dapat bekerja diperlukan energi dari glukosa (karbohidrat). Tanpa sarapan, pada siang hari persediaan glukosa

(2)

menurun sehingga anak kekurangan energi yang dibutuhkan otak untuk dapat berkonsentrasi (Muhilal dan Damayanti 2006).

Anak yang tidak sempat makan pagi di rumah, anak biasanya membawa bekal makanan ke sekolah. Makanan bekal juga dapat menjadi tambahan makan pagi anak. Makanan tambahan atau makan pagi dibutuhkan sebab kebutuhan gizi anak semakin meningkat sedangkan kemampuan saluran cerna untuk mengonsumsi masih terbatas, sehingga diperlukan makanan bekal (Muhilal dan Damayanti 2006).

Peranan Pangan Jajanan

Pangan jajanan adalah makanan atau minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel (Kepmenkes RI No 942/Menkes/SK/VII/2003).

Menurut Winarno (1997) menyebutkan bahwa pangan jajanan adalah jenis makanan yang dijual di kaki lima, pinggiran jalan, di stasiun, di pasar, tempat pemukiman serta lokasi yang sejenis. Umumnya pangan jajanan ini dibagi empat kelompok yaitu makanan utama (main dish), panganan (snacks), golongan minuman, dan buah-buahan segar. Pangan jajanan memiliki jenis yang sangat banyak dan sangat bervariasi dalam bentuk, rasa, dan harga.

Menurut Fardiaz & Fardiaz (1994), pangan jajanan adalah makanan siap makan atau diolah di lokasi jualan seperti di daerah pemukiman, pertokoan, terminal, pasar, atau dijajakan dengan cara berkeliling. Selain berkontribusi positif di bidang ekonomi, pangan jajanan juga mengandung risiko terhadap kesehatan akibat kontaminasi mikroba, bahan kimia dan pemakaian bahan tambahan non pangan. Persoalan ini timbul mulai dari proses persiapan, pengolahan, dan saat penyajian makanan di lokasi jualan.

Berdasarkan cara kerjanya, pangan jajanan dibagi menjadi dua golongan. Pertama, pangan jajanan stationer yaitu yang bekerja pada lokasi tetap atau pada saat-saat tertentu. Sedangkan yang kedua pangan jajanan ambulatory yaitu yang bekerja dengan menjajakan kemana-mana, misal para pedagang yang menjajakan dagangannya dengan cara berjalan sambil memikul, menyunggi diatas kepala, menggendong di punggungnya, atau dengan menggunakan gerobak dorong, atau sepeda roda tiga (Winarno 1991).

Salah satu tujuan makan adalah agar tubuh sehat. Di sisi lain makanan dapat menjadi salah satu sumber penyakit. Oleh karena itu, hindari makan

(3)

makanan dan jajanan yang sudah busuk, tercemar oleh mikroorganisme atau yang mengandung bahan kimia yang berbahaya bagi tubuh. Pangan jajanan yang sehat selain keadaannya segar juga harus bersih, tidak dicemari oleh debu, bahan-bahan pengotor lainnya, dan tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.

Pangan jajanan (street food) sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi pangan jajanan di masyarakat diperkirakan terus meningkat mengingat makin terbatasnya waktu anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan pangan jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya yang enak dan cocok dengan selera kebanyakan masyarakat (Mudjajanto 2005)

Berdasarkan hasil penelitian Husaini (1993), pangan jajanan rata-rata menyumbang 14% protein, 22% karbohidrat, 29% lemak, 16% kalsium, 17% zat besi, 8% vitamin A, 43% vitamin B1 dan 12% vitamin C dari total konsumsi setiap hari. Namun, sebanyak 88% dari macam makanan dan minuman jajanan yang dijual di sekitar sekolah mempergunakan satu macam atau lebih zat pewarna.

Jenis makanan jajanan dapat dibagi menjadi tiga kelompok meliputi, minuman (es cendol, es teler, teh, kopi, es sirup, es susu, es kolang-kaling), panganan/snack (combro, pisang goreng, rempeyek, kacang dan lain sebagainya), makanan (meals) contohnya nasi rames, nasi goreng, nasi pecel, lotek, ketoprak dan lain sebagainya (Winarno 1991). Namun menurut Nuraida et al (2009) pangan jajanan dapat dibagi menjadi empat kelompok meliputi, (1) makanan sepinggan (gado-gado, nasi uduk, siomay, bakso, mie ayam, lontong sayur dan lain-lain); (2) makanan camilan dibagi menjadi dua kelompok yaitu camilan basah (goreng pisang, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain) dan camilan kering (produk ekstrusi, keripik, biskuit, kue kering, dan lain-lain); (3) minuman (air putih, minuman ringan dalam kemasan, minuman campur seperti es campur, es cendol, es doger); (4) buah yang dijual dalam bentuk utuh (pisang, jambu, jeruk) maupun kupas dan potong (pepaya, nenas, melon, mangga, dan lain-lain).

Kantin dan Penjaja PJAS

Kantin merupakan salah satu tempat jajan anak sekolah selain penjaja makanan jajanan di luar sekolah. Kantin mempunyai peranan yang penting dalam mewujudkan pesan-pesan kesehatan dan dapat menentukan perilaku makan jajanan di sekolah. Kantin sekolah dapat menyediakan makanan sebagai

(4)

pengganti makan pagi dan makan siang di rumah serta camilan dan minuman yang sehat dan bergizi (Nuraida et al 2009).

Penjaja PJAS mempunyai potensi yang menentukan perilaku makan siswa sehari-hari melalui penyediaan makanan jajanan di sekolah. Kantin sekolah mempunyai peranan penting dalam mendorong pesan-pesan kesehatan dari kelas dan rumah. Ada kantin yang menyediakan makanan yang sehat dan bergizi. Namun banyak juga yang belum, kepala sekolah dan guru sepertinya belum maksimal dalam mengarahkan kantin sekolah yang menyediakan makanan sesuai dengan PUGS. Selain itu pihak sekolah, kelompok orang tua murid dapat merangsang perubahan agar kantin menyediakan makanan yang sehat, bergizi, dan aman bagi kesehatan (Muhilal dan Damayanti 2006).

Menurut Depkes RI 2001 penjaja makanan jajanan dalam melakukan kegiatan pelayanan penanganan pangan jajanan harus memenuhi persyaratan antara lain :

a. Tidak menderita penyakit yang mudah menular misalnya batuk, pilek, influenza, diare dan penyakit perut serta penyakit sejenisnya;

b. Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya); c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian; d. Memakai celemek dan tutup kepala;

e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan.

Disamping itu penjaja makanan jajanan dalam memberikan pelayanan dilarang antara lain :

a. Menjamah makanan tanpa alat perlengkapan atau tanpa alas tangan;

b. Sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya;

c. Batuk atau bersin dihadapan pangan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.

Pengetahuan Gizi dan Keamanan Pangan

Pengetahuan adalah kesan di dalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca inderanya. Menurut Madrie (1981) dalam Fatima (2002), pengetahuan dan pengalaman akan membentuk sikap seseorang. Pengetahuan merupakan fase awal dari keputusan dimana akhirnya seseorang akan bertindak seperti pengetahuan yang diperolehnya.

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan adalah aspek kognitif yang menunjukkan pemahaman responden tentang gizi dan keamanan pangan.

(5)

Pengetahuan gizi dan keamanan pangan merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh penjaja PJAS. Tingkat pengetahuan gizi dan keamanan pangan seseorang berpengaruh terhadap sikap dan praktek dalam pemilihan pangan, pengolahan pangan, dan penyajian pangan. Dengan pengetahuan gizi dan keamanan pangan yang baik diharapkan para penjaja PJAS akan menerapkan cara pengolahan pangan dan penyajian pangan yang benar (Andarwulan et al 2009).

Latar belakang pendidikan seseorang merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizinya karena dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan pengetahuan atau informasi tentang gizi yang dimiliki menjadi lebih baik. Sering masalah gizi timbul karena ketidaktahuan atau kurang informasi tentang gizi yang memadai. Seseorang dengan pendidikan rendah belum tentu kurang mampu menyusun makanan yang memenuhi persyaratan gizi dibandingkan dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi. Walaupun seseorang berpendidikan rendah, jika orang tersebut rajin mendengarkan atau melihat informasi mengenai gizi, bukan mustahil pengetahuan gizinya akan lebih baik (Syafiq et al 2007).

Penjaja PJAS harus memiliki pengetahuan mengenai gizi seimbang, cara pengolahan pangan yang baik, keamanan pangan yang baik, keamanan pangan dan praktek sanitasi dan higiene. Pengetahuan tentang gizi seimbang dan beragam diperlukan dalam menyusun menu sehari-hari yang diperlukan oleh masing-masing kelompok umur anak sekolah, sehingga anak-anak tercukupi kebutuhan gizinya dan tidak bosan mengkonsumsinya. Pengetahuan cara pengolahan pangan yang baik diperlukan dalam memilih cara-cara pengolahan yang tepat, pemilihan bahan baku dan bahan tambahan untuk menghasilkan makanan yang bergizi dan aman.

Pengetahuan tentang keamanan pangan diperlukan untuk mengenali bahaya-bahaya dalam pangan dan menentukan cara pencegahannya. Pengetahuan tentang sanitasi dan higiene diperlukan untuk mencegah masuknya bakteri dan bahan kimia berbahaya ke dalam pangan. Sedangkan pengetahuan mengenai sarana dan prasarana minimum yang harus dipenuhi oleh penjaja PJAS adalah mewujudkan sarana makanan jajanan yang sehat.

Berdasarkan Semiloka makanan jajanan 1991, terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku nyata. Produsen dan penjaja makanan jajanan umumnya mengetahui tentang pentingnya higiene dalam penanganan makanan

(6)

walaupun alasannya tidak terlalu jelas. Para penjaja mengetahui masalah yang berhubungan dengan nilai gizi makanan dan penggunaan bahan tambahan tertentu yang membahayakan.

Peraturan Makanan Jajanan

Peraturan makanan jajanan adalah suatu standar atau persyaratan kesehatan yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijaksanaan hendaknya tidak hanya restriktif tetapi juga stimulatif, konstruktif dan fasilitatif yang berbeda-beda menurut kategori usaha makanan jajanan. Keragaman produk yang tinggi mengharuskan agar pendekatan kebijaksanaan hendaknya berorientasi makro dan nasional, artinya program pembinaan terkait dengan berbagai sektor dalam kerangka pembangunan daerah, dan dapat dilaksanakan oleh pimpinan-pimpinan Daerah di Indonesia (Sanim 1991).

Untuk peraturan makanan jajanan di sekolah pada umumnya diatur dalam kebijakan yang dibuat oleh pihak sekolah. Kepala sekolah adalah pejabat berwenang tertinggi dalam penentuan kebijakan di setiap sekolah. Keamanan pangan di sekolah termasuk keamanan pangan jajanan anak sekolah (PJAS), juga menjadi lingkup yang seharusnya juga menjadi tanggung jawab pihak sekolah dengan kepala sekolah sebagai pimpinan pengawasan PJAS di lingkungan sekolah (Andarwulan et al 2009).

Di Amerika Serikat diberlakukan aturan makanan yang di jual di kantin sekolah atau mesin penjual makanan harus mengandung sedikitnya 5% dari angka kecukupan gizi anak sekolah yaitu untuk satu atau lebih zat gizi yaitu

protein, vitamin A, vitamin C, niasin, vitamin B1, vitamin B12, kalsium, dan zat

besi. Aturan ini membatasi penjualan air minum bersoda atau soft drink, permen karet, es, dan beberapa permen lainnya. Selain PUGS di Indonesia belum ada aturannya, kebijakan di negeri adidaya dapat diadopsi sebagai pedoman dalam mengatur penjualan makanan di kantin maupun penjaja di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Berdasarkan penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2008 dalam skala nasional, pada umumnya setiap sekolah memiliki peraturan tentang pangan jajanan anak sekolah (PJAS). Sebanyak 55% sekolah yang di survei telah memiliki peraturan tentang PJAS dan terdapat 37% sekolah yang tidak memiliki peraturan tentang PJAS. Peraturan tersebut sebagian besar (95%) dikeluarkan oleh sekolah meskipun ada juga yang dikeluarkan oleh suku dinas kecamatan

(7)

maupun Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota/Pusat. Peraturan tersebut sebagian besar (68,4%) mengatur tentang siswa kemudian mengatur tentang penjaja PJAS (65,7%) dan mengatur tentang kantin sekolah (57,0%).

Untuk mengatasi masalah keamanan PJAS, peran pemerintah untuk mengawasi penjualan makanan jajanan di sekolah sangat diperlukan misalnya dengan memberikan penyuluhan kepada penjaja PJAS, melatih penjaja agar membuat pangan jajanan yang aman, melarang penjualan pangan jajanan yang mengandung bahan tambahan pangan yang berbahaya dan lain sebagainya. Peran sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru juga dapat membantu mengatasi masalah ini dengan cara mengatur makanan yang diperbolehkan untuk dijual di sekitar lingkungan sekolah (Muhilal dan Damayanti 2006).

Pengawasan pangan merupakan faktor penting untuk meningkatkan keamanan dan mutu pangan. Program pengawasan pangan di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimum dengan adanya berbagai hambatan diantaranya belum mantapnya kelembagaan dan koordinasi pengawasan pangan, peraturan dan pedoman yang masih belum lengkap, jumlah dan kualitas SDM yang terbatas. Keterbatasan dalam jumlah tenaga pengawas pangan dan dana pengawasan mengakibatkan rendahnya jumlah sarana produksi pangan yang memdapat pengawasan (Yusuf 2004).

Pembinaan dan pengawasan makanan jajanan dilakukan oleh Dinas Kesehatan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dll. Pembinaan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap serta keterampilan penjaja makanan dari informal menjadi formal (Anonimous 1990).

Ketiadaan kontrol dan pengarahan terhadap kualitas makanan yang dijual dan pengelolaan makanan yang higienis menyebabkan penjual makanan jajanan menangani pengolahan makanan menurut pengetahuan yang mereka miliki (Fardiaz dan Fardiaz 1994). Pihak pengelola sekolah juga diharapkan terlibat aktif memperbaiki keamanan pangan melalui unit kesehatan sekolah. Salah satunya dengan menginventarisasi siapa saja pedagang jajanan yang berjualan di sekitar sekolah dan menanyakan proses pengolahannya (Rachmawati 2005).

Praktek Keamanan Pangan Jajanan

Keamanan pangan didefenisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang- undang RI no.7 tentang Pangan Tahun1996).

(8)

Pangan aman adalah pangan yang tidak mengandung bahaya keamanan pangan yang terdiri atas bahaya biologis/ mikrobiologis, kimia dan fisik. Bahaya keamanan pangan terdiri dari (Depdiknas 2009):

1. Bahaya mikrobiologis, adalah bahaya mikroba yang dapat menyebabkan penyakit seperti Salmonella, E. Coli, virus, parasit dan kapang penghasil mikotoksin.

2. Bahaya Kimia, adalah bahan kimia yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan, misalnya logam dan polutan lingkungan, bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak digunakan semestinya, peptisida, bahan kimia pembersih, racun/ toksin asal tumbuhan/hewan, dan sejenisnya.

3. Bahaya fisik, adalah bahaya benda-benda yang dapat tertelan dan dapat menyebabkan luka misalnya pecahan gelas, kawat stepler, potongan tulang, potongan kayu, kerikil, rambut, kuku, sisik dan sebagainya.

Keamanan pangan merupakan suatu faktor yang penting disamping mutu fisik, gizi dan cita rasa. Menurut Fardiaz (1994), makanan siap santap dianggap mempunyai mutu yang baik jika dapat memuaskan konsumen dalam hal rasa, penampakan dan keamanannya. Kandungan dan komposisi gizi seringkali tidak menjadi faktor penentu pemilihan jenis makanan kecuali bagi konsumen yang sangat memperhatikan segi kesehatan dan berat badan.

Higiene dan Sanitasi

Higiene adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya seperti mencuci tangan dengan air bersih dengan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci piring dan melindungi kebersihan piring, membuang bagian makanan yang rusak untuk melindungi kebutuhan makanan secara keseluruhan dan sebagainya.Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya. Misalnya menyediakan air yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk mewaspadai sampah agar tidak dibuang sembarangan (Depkes RI 2001) .

Pengertian dari prinsip higiene dan sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap empat faktor penyehatan makanan, yaitu faktor tempat/bangunan, peralatan, orang dan bahan makanan. Penyehatan makanan adalah upaya untuk mengendalikan faktor tempat, peralatan, orang, dan makanan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau keracunan

(9)

makanan. Untuk mengetahui apakah faktor tersebut perlu dilakukan analisis terhadap rangkaian kegiatan dari faktor-faktor tersebut secara rinci.

Pedoman persyaratan higiene dan sanitasi makanan jajanan terdapat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003 yang terdiri dari 12 BAB dan 22 pasal yang menjelaskan peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh penjaja makanan, yaitu mengenai ketentuan umum, penjamah makanan, peralatan, air, bahan makanan, bahan tambahan pangan, penyajian, sarana penjaja, sentra pedagang, pembinaan dan pengawasan.

Penggunaan peralatan juga belum memenuhi syarat kesehatan. Kebanyakan penjual makanan jajanan mempunyai peralatan terbatas untuk berbagai pemakaian dan belum menggunakan sabun untuk mencuci peralatan yang kotor. Karena peralatan yang digunakan umumnya terbuat dari bambu dan kayu, maka cenderung menjadi sarang pertumbuhan mikroba. Piring, gelas, sendok sering dilap dengan kain yang basah dan kotor karena keterbatasan jumlahnya. Lalat dan debu yang berasal dari sampah yang dibiarkan berceceran di lantai waktu persiapan, pengolahan, maupun di lokasi berjualan semakin memperparah keadaan (Fardiaz dan Fardiaz 1994).

Salah satu masalah keamanan pangan yang sering dijumpai adalah praktek higiene dan sanitasi yang masih kurang sehingga bahaya mikrobiologi sangat mungkin berada di produk pangan. Bahaya biologi (mikroba) pada pangan perlu mendapat perhatian karena jenis bahaya ini yang sering menjadi agen penyebab kasus keracunan pangan. E.coli merupakan bakteri patogen yang sering menyebabkan keracunan pangan dan juga menjadi salah satu mikroba indikator sanitasi. Sedangkan S.aureus merupakan bakteri yang biasa menghuni hidung, mulut, tenggorokan, maupun kulit. Keberadaan E.coli pada pangan dapat menunjukkan praktek sanitasi lingkungan yang buruk sedangkan adanya S.aureus mengidentifikasi praktek higiene yang kurang (Andarwulan et al 2009).

Berdasarkan hasil penelitian dasar Fardiaz dan Fardiaz (1994), menunjukkan bahwa banyak penjual makanan jajanan yang menjadikan tempat pengolahan makanan sekaligus sebagai ruang tamu, tempat bermain anak, atau bahkan ruang tidur. Ventilasi dan cahaya yang kurang menyebabkan ruangan menjadi pengap. Celah-celah, lubang-lubang dan langit-langit penuh dengan jelaga, dinding serta lantai kotor tak bersemen menyebabkan bersarangnya binatang-binatang kecil dan mikroba : sebanyak 60% penjual makanan jajanan

(10)

bekerja di lantai dengan kondisi ini dan hanya 20% yang memakai meja. Sebanyak 12,5% penjual makanan menggunakan air sungai untuk mencuci bahan mentah dan peralatan masak. Mereka yang menggunakan air sumur juga tidak lebih bersih karena letaknya acapkali berdekatan dengan WC karena keterbatasan tempat.

Penanganan dan Penyimpanan Pangan

Bahan pangan memerlukan tempat penyimpanan khusus yang dibedakan menjadi dua yaitu tempat penyimpanan bahan makanan kering dan bahan makanan segar. Tempat penyimpanan bahan makanan kering harus selalu bersih, tertata dengan baik, tidak dijangkau oleh serangga dan tikus, sirkulasi udara harus baik, diberi penerangan yang cukup, jarak rak terbawah dengan lantai ± 10 cm. Sedangkan untuk tempat penyimpanan bahan makanan segar disimpan di dalam ruang pendingin, refrigerator ataupun freezer dengan suhu tertentu dan suhu harus selalu diawasi (Subandriyo 1994).

Penanganan bahan makanan memiliki dua tahapan pengerjaan, yaitu persiapan dan pemasakan (pematangan). Persiapan meliputi pengerjaan bahan makanan sejak diterima sampai siap untuk dimasak (menyiangi, membersihkan, mencuci, memotong, merendam, mengiris, menggiling, menumbuk, merajang, mengaduk, mengayak dan membentuk). Tujuan dari persiapan adalah menyiapkan bahan makanan serta bumbu-bumbu untuk mempermudah proses pengolahan. Sedangkan pemasakan bahan makanan merupakan salah satu kegiatan untuk mengubah bahan makanan mentah menjadi makanan siap dimakan, berkualitas, dan aman untuk dikonsumsi. Tujuan dari proses pemasakan adalah meningkatkan daya cerna makanan, mempertahankan kandungan gizi, bahkan menambah rasa dan membuat makanan tersebut aman untuk dimakan (Mukrie et al 1990).

Menggunakan air yang tidak berwarna dan tidak berbau. Air harus bebas mikroba dan bahan kimia yang dapat membahayakan kesehatan seseorang. Memilih bahan baku yang aman yaitu pangan harus segar dan utuh, jangan menggunakan bahan pangan setelah tanggal kadaluarsanya. Mencuci sayuran dan buah-buahan sebelum disajikan atau digunakan serta membuang bagian yang busuk atau memar (Nuraida et al 2009).

(11)

Sarana dan Fasilitas

Praktek keamanan PJAS salah satu diantaranya adalah sarana dan fasilitas. Berdasarkan Kepmenkes No. 942/Menkes/SK/VII/2003 pada pasal 12 menyatakan bahwa pangan jajanan yang dijajakan harus memiliki konstruksi sarana yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi pangan dari pencemaran. Konstruksi sarana penjaja harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain : mudah dibersihkan dan tersedia tempat air bersih, penyimpanan bahan makanan, penyimpanan makanan jadi/siap disajikan, penyimpanan peralatan, tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan), serta tempat sampah.

Air bersih yang digunakan harus memenuhi syarat baik kualitas maupun kuantitas yang sesuai dengan peraturan Menteri Kesehatan No. 01/ Birhukmas/I/1975. Hal ini harus dipenuhi karena melalui air dapat ditularkan berbagai penyakit, seperti : penyakit perut, kulit, mata, dan kelumpuhan. Penyakit yang ditularkan melalui air disebut water borne disease. Sedangkan saluran pembuangan air limbah harus dibuat kedap air, dan sebaiknya tertutup dengan kemiringan yang cukup. Saluran pembuangan air kotor /air limbah ini jika memungkinkan dihubungkan dengan saluran umum (Subandriyo 1994).

Fasilitas sanitasi dalam kantin maupun penjaja PJAS mempunyai persyaratan yaitu : (1) Tersedia bak cuci piring dan peralatan dengan air mengalir serta rak pengering; (2) Tersedia wastafel dengan sabun/detergen dan lap bersih atau tisue di tempat makan dan tempat pengolahan/persiapan makan; (3) Tersedia suplai air bersih yang cukup, baik untuk kebutuhan pengolahan maupun untuk kebutuhan pencucian dan pembersihan; (4) Tersedia alat cuci/pembersih yang terawat bai seperti sapu lidi, sapu ijuk, selang air, kain lap, sikat, kain pel, dan bahan pembersih seperti sabun/detergen dan bahan sanitasi. Perlengkapan kerja karyawan kantin/ penjaja PJAS harus disediakan antara lain baju kerja, tutup kepala, dan celemek berwarna terang, serta lap bersih. Jika tidak memungkinkan menggunakan tutup kepala, rambut harus tertata rapi dengan dipotong pendek dan diikat (Nuraida et al 2009).

Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan dengan maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyimpanan atau pengangkutan makanan yang

(12)

bertujuan untuk menghasilkan suatu komponen makanan atau mempengaruhi sifat khas makanan (Depkes.RI 2001).

Penggunaan BTP dilakukan bila betul-betul diperlukan dalam pengolahan makanan dan tidak dibenarkan untuk tujuan menyembunyikan dari cara pengolahan yang tidak baik atau mengelabui konsumen, misalnya menutupi mutu bahan baku yang kurang baik. Pengaturan dan pengawasan BTP dimaksudkan agar hanya bahan yang diizinkan saja yang digunakan pada pengolahan makanan, dimana bahan tersebut betul-betul diperlukan untuk pengolahan makanan yang bersangkutan, mutunya harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan jumlahnya sesuai dengan cara produksi yang baik dan tidak melebihi batas maksimum yang diizinkan (Depkes.RI 2001).

Bahan tambahan pangan yang sering digunakan dalam makanan jajanan: 1. Pewarna

Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan pewarna pada makanan dimaksud untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau memberi warna pada makanan yang tidak bewarna agar kelihatan lebih menarik.

2. Pemanis

Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi (winarno, 1994). Biasanya digunakan pada makanan yang ditujukan pada penderita diabetes melitus atau makanan diit agar badan langsing. Pemanis buatan yang paling umum digunakan dalam penolahan makanan jajanan umumnya adalah siklamat dan sakarin yang mempunyai tingkat kemanisan 300 kali gula alami.

3. Pengawet

Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah dan menghambat fermentasi, pengasam atau pengurai lain terhadap makanan yang disebabkan oleh organisme (Winarno, 1994). Umumnya dikenal dipasaran dengan sebutan anti basi.

4. Penyedap rasa

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang Bahan Tambahan Pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan yang dapat memberikan, menambah atau

(13)

mempertegas rasa dan aroma. Jenis bahan penyedap yaitu penyedap alami terdiri dari bumbu alami, herba, dan daun, minyak esensial dan turunannya, oleoresin, isolat penyedap, penyedap dari sari buah, ekstra tanaman atau hewan. Sedangkan penyedap sintesis merupakan komponen atau zat yang dibuat menyerupai penyedap alami (Cahyadi 2008).

Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan adalah salah satu masalah keamanan pangan yang masih sering dijumpai di lapangan. Bahan berbahaya pada pangan yaitu formalin, boraks, dan pewarna terlarang (Rhodamin B, Methanil Yellow, dan Amaranth). Formalin dan boraks merupakan bahan berbahaya yang tidak boleh digunakan pada pangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1168/Menkes/Per/1999 tentang bahan tambahan makanan. Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 239/Menkes/Per/V/85 mengatur tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dimana didalamnya termasuk Methanil Yellow dan Rhodamin B. Implementasi teknis peraturan ini diperbaharui dengan Keputusan Direktur Jenderal Obat dan Makanan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor 00386/C/SK/II/90 tentang Perubahan Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 239/Menkes/Per/V/85 tentang zat warna tertentu yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya. Penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan akan sangat merugikan konsumen karena pada umumnya bahan berbahaya tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan bahkan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kematian (Andarwulan et al 2009).

Menurut Judarwanto 2008, makanan jajanan menyumbang asupan energi bagi anak sekolah 36%, protein 29%, dan zat besi 52%, namun masalah keamanan pangan jajanan baik dari segi mikrobiologi maupun penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) masih sangat penting untuk diperhatikan, yaitu dengan menjamin konsumen memperoleh pangan yang aman untuk kesehatan. Dampak dari kurangnya perhatian terhadap keamanan pangan antara lain keracunan pangan karena proses penyiapan dan penyajian yang tidak higiene, risiko berbagai penyakit karena penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

Dampak penggunaan BTP selami ini kurang dipahami oleh para produsen maupun konsumen. Dampak dari kesalahan dosis maupun kesalahan pemilihan jenis bahan tambahan memang tidak langsung dirasakan. Dampak ini baru terasa beberapa waktu kemudian, setelah terjadi akumulasi dalam tubuh. Oleh

(14)

karena itu, memberi pengertian kepada masyarakat tentang risiko dan manfaat BTP merupakan hal yang sangat penting dan harus dilakukan (Saparinto dan Hidayati 2006).

Hasil pengawasan PJAS oleh Badan POM pada tahun 2006 menunjukkan bahwa dari 2903 sampel yang diambil dari 478 SD di 26 ibukota propinsi di Indonesia, 50.57% sampel memenuhi syarat (MS) dan 49.43% tidak memenuhi syarat (TMS). Pada umumnya, TMS mengandung cemaran mikroba, kadar pemanis dan pengawet berlebih, atau penyalahgunaan bahan berbahaya yang tidak boleh ada dalam pangan.

Berdasarkan hasil penelitian BPOM dan SUCOFINDO 2009, dari 4500 penjaja PJAS ysng disurvei hanya sebagian kecil (<35%) penjaja PJAS yang mengaku menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Sebagian besar dari mereka (57,5%) membeli BTP di pasar. Sejumlah faktor maupun alasan yang menjadi penyebab penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan oleh produsen, seperti ketidaktahuan, ketidakpedulian, motif ekonomi untuk meraih untung karena pangan menjadi lebih awet, dan kurangnya akses ke tempat yang menjual BTP legal.

(15)

KERANGKA PEMIKIRAN

Umumnya anak sekolah mengkonsumsi makanan jajanan yang dijajakan di lingkungan sekolahnya. Karakteristik lingkungan sekolah yang meliputi kantin, penjaja PJAS, dan sarana fasilitas yang terdapat di sekitar sekolah akan menggambarkan praktek keamanan PJAS. Karakteristik penjaja yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan merupakan variabel yang dapat membedakan antara masing-masing penjaja .

Peraturan yang dibuat oleh pihak sekolah mengenai kantin sekolah maupun penjaja PJAS di sekitar sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan kualitas dan keamanan makanan jajanan anak sekolah. Peraturan ini dapat mempengaruhi pengelola kantin sekolah maupun penjaja PJAS melakukan pembenahan diri. Makanan yang dijual hendaknya diseleksi dengan ketat sehingga dapat mengurangi risiko bahaya terhadap anak sekolah akibat makanan jajanan yang tidak sehat dan aman.

Praktek keamanan PJAS yang meliputi higiene penjaja, penanganan dan penyimpanan PJAS, sarana dan fasilitas yang dimilki oleh penjaja sendiri, pengendalian hama, sanitasi tempat dan peralatan, serta penggunaan BTP (penggunaan pewarna, pemanis, dan pengawet), sehingga dapat memenuhi standar kantin sehat dan terjaminnya keamanan makanan jajanan yang dijajakan oleh PJAS.

Pengetahuan mengenai gizi dan kemanan pangan dapat mempengaruhi praktek yang dilakukan oleh penjaja, dengan pengetahuan maka penjaja lebih mengetahui bagaimana praktek yang sebaiknya dilakukan dalam keamanan PJAS. Dengan adanya praktek keamanan PJAS yang telah memenuhi standar kesehatan, maka mempermudah anak sekolah dalam memilih makanan jajanan yang sehat.

(16)

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis Karakteristik Lingkungan Sekolah :

• Sarana dan Fasilitas

• Kondisi Kantin • Penjaja PJAS Karakteristik Penjaja : • Umur • Jenis kelamin • Pendidikan • Pendapatan • Sarana Penjualan Peraturan Sekolah mengenai PJAS Pengetahuan penjaja mengenai gizi dan keamanan

PJAS

Praktek Keamanan PJAS

• Higiene dan sanitasi

• Penanganan dan

penyimpanan pangan

• Sarana dan Fasilitas

(penyediaan air bersih)

• Penggunaan BTP

Gambar

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi praktek keamanan PJAS

Referensi

Dokumen terkait

dengan menggunakan data satelit TRMM 3B42 V7 dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dengan menggunakan data dari Pengelola Sumber Daya Air (PSDA) kota Makassar

Lumut epifit juga dijumpai pada tanaman teh dengan rata-rata jumlah jenis yang lebih banyak (rata-rata 10 jenis per tanaman) (Akmal 2012) dibandingkan dengan

CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING AND GENRE BASED APPROACHES TO TEACHING PROCEDURE TEXTS IN THE JUNIOR HIGH SCHOOL. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Auditor menerima penugasan audit dalam jangka waktu yang lama atau terus menerus terhadap satu klien.. Kecocokan auditor dan kliennya membuat penugasan audit

Bank sangat kompleksitas dalam melakukan kegiatan perbankan,salah satunya transaksi dalam kegiatan tabungan yang meliputi yaitu buka rekening,setoran,penarikan,informasi

Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan,. hanyalah Tuhan yang mencipta, dan manusia hanya dapat

[r]

Jadi dapat disimpulkan bahwa variabel Non Performing Loan, Capital Adequacy Ratio dan Loan to Deposit Ratio secara bersama-sama terdapat pengaruh yang signifikan terhadap