• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum

Struktur bangunan merupakan sarana untuk menyalurkan beban yang diakibatkan penggunaan atau kehadiran bangunan di atas tanah. Struktur terdiri dari unsur-unsur atau elemen-elemen yang terintegrasi dan berfungsi sebagai satu kesatuan utuh untuk menyalurkan semua jenis beban yang diantisipasi ke tanah.

Gedung yang direncanakan merupakan gedung bertingkat lima lantai yang difungsikan sebagai rumah retret. Perencanaan struktur bangunan gedung harus memenuhi syarat keandalan bangunan gedung seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum, yaitu :

1. Struktur Bangunan Gedung

Setiap bangunan gedung, strukturnya harus direncanakan dan dilaksanakan agar kuat, kokoh, dan stabil dalam memikul beban/kombinasi beban dan memenuhi persyaratan keselamatan (safety), serta memenuhi persyaratan kelayanan (serviceability) selama umur layanan yang direncanakan dengan mempertimbangkan fungsi bangunan gedung, lokasi, keawetan dan kemungkinan pelaksanaan konstruksinya.

2. Pembebanan pada bangunan gedung

Analisis struktur harus dilakukan untuk memeriksa respon struktur terhadap beban-beban yang mungkin bekerja selama umur kelayanan struktur, termasuk beban tetap, beban sementara dan beban khusus.

3. Struktur atas bangunan gedung

Perencanaan konstruksi beton dan baja harus mengikuti peraturan-peraturan yang berlaku, salah satunya yaitu SNI 03-2847-2002 dan SNI 03-1729-2002, masing-masing merupakan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung dan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung.

(2)

4. Struktur bawah bangunan gedung

Perhitungan daya dukung dan penurunan pondasi dilakukan sesuai teori mekanika tanah yang baku dan lazim dalam praktek, berdasarkan parameter tanah yang ditemukan dari penyelidikan tanah dengan memperhatikan nilai tipikal dan korelasi tipikal dengan parameter tanah yang lain.

2.2. Landasan Dalam Perencanaan

Perencanaan struktur gedung bertingkat harus berpedoman pada syarat-syarat dan ketentuan yang berlaku di Negara tempat proyek tersebut dilaksanakan. Dalam kasus ini proyek dilaksanakan di Indonesia maka harus berpedoman pada Standar Nasional Indonesia mengenai perencanaan gedung dan buku pedoman lain yang dirasa sesuai.

Adapun syarat-syarat dan ketentuan tersebut terdapat pada buku pedoman, antara lain :

1. Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SNI03-2847-2002.

2. Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk Bangunan Gedung SNI 03-1729-2002.

3. Pedoman Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Rumah dan Gedung SNI 03-1726-2012.

4. Pedoman Perencanaan Pembangunan untuk Rumah dan Gedung (PPPURG 1987). 5. Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD, (Agus Setiawan, 2013).

6. Buku Struktur Beton Bertulang Standar Baru SNI T-15-1991-03 (Laurentius Wahyudi, 1997).

7. Dasar-dasar Perencanaan Struktur Beton Bertulang (Gedeon Kusuma, 1993). 2.3. Mutu Bahan

Gedung direncanakan dengan mutu bahan beton f’c = 30 MPa untuk struktur balok dan pelat lantai dan kolom. Dengan bahan pendukung baja tulangan menggunakan mutu baja fy = 400 MPa untuk tulangan lentur (tulangan pokok dan tulangan ekstra) dan fy = 240 Mpa untuk tulangan geser (tulangan sengakang dan tulangan sepihak) sedangkan untuk perencanaan kuda-kuda baja menggunakan bahan dengan mutu baja (fy) = 240 MPa.

(3)

2.4. Konsep Perencanaan Gedung

Selain didesain dapat memikul beban vertical atau beban gravitasi struktur bangunan tinggi juga harus direncanakan tahan terhadap gempa. Untuk itu perencanaan harus mempertimbangkan beban lateral (gempa). Tingkat keberaturan bentuk banguanan yang akan direncanakan dapat mempengaruhi metode analisis struktur apa yang digunakan. Konsep ini merupakan dasar teori perencanaan dan perhitungan struktur, yang meliputi desain terhadap beban lateral (gempa) dan metode analisis struktur yang digunakan.

2.4.1. Desain Terhadap Beban

Dalam perencanaan struktur, kestabilan lateral adalah hal terpenting karena gaya lateral mempengaruhi desain elemen – elemen vertikal dan horisontal struktur. Mekanisme dasar untuk menjamin kestabilan lateral diperoleh dengan menggunakan hubungan kaku untuk memperoleh bidang geser kaku yang dapat memikul beban lateral.

Beban lateral yang paling berpengaruh terhadap struktur adalah beban gempa dimana efek dinamisnya menjadikan analisisnya lebih kompleks. Tinjauan ini dilakukan untuk mendesain elemen – elemen struktur agar elemen – elemen tersebut kuat menahan gaya gempa.

2.4.2. Analisis Struktur Terhadap Gempa

Struktur bangunan gedung terdiri dari struktur atas dan bawah. Struktur atas adalah bagian struktur gedung yang berada di atas permukaan tanah dan struktur bawah adalah bagian dari struktur bangunan yang terletak di bawah permukaan tanah yang dapat terdiri dari struktur basemen, dan atau struktur pondasi lainya (SNI 03-1726-2012).

1. Persyaratan Dasar

Prosedur analisis dan desain seismik yang digunakan dalam perencanaan struktur bangunan gedung dan komponennya seperti yang ditetapkan dalam pasal ini. Struktur bangunan gedung harus memiliki sistem penahan gaya lateral dan vertikal yang lengkap, yang mampu memberikan kekuatan, kekuatan dan kapasitas disipasi energi yang cukup untuk menahan gerak tanah desain dalam batasan-batasan kebutuhan deformasi dan kekuatan yang di isyaratkan. Gerak tanah desain harus diasumsikan terjadi di sepanjang setiap arah horizontal struktur bangunan gedung.

(4)

2. Desain Elemen Struktur,Desain Sambungan dan Batasan Deformasi

Komponen struktur individu termasuk yang bukan merupakan bagian sistem penahan gaya gempa harus disediakan dengan kekuatan yang cukup untuk menahan geser, gaya aksial dan momen yang ditentukan sesuai dengan tata cara ini dan sambungan-sambungan harus mampu mengembangkan kekuatan komponen/elemen struktur yang disambung. Deformasi struktur tidak boleh melebihi batasan yang ditetapkan pada saat struktur dikenakan beban gempa.

3. Lintasan Beban yang Menerus dan Keterhubungan

Lintasan-lintasan beban yang menerus dengan kekakuan dan kekuatan yang memadai harus disediakan untuk mentransfer semua gaya dan titik pembebanan hingga titik akhir penumpuan. Semua bagian struktur antara join pemisah harus terhubung untuk membentuk lintasan menerus ke sistem penahan gaya gempa, dan sambungan harus mampu menyalurkan gaya gempa yang ditimbulkan oleh bagian-bagian yang terhubung.

4. Sambungan ke Tumpuan

Sambungan pengaman untuk menahan gaya horisontal yang berkerja pararel terhadap elemen struktur harus disediakan untuk setiap balok, girder langsung keelemen tumpuannya atau ke pelat yang di desain bekerja sebagai diafragma maka elemen tumpuan elemen struktur harus juga dihubungkan pada diafragma itu. Sambungan harus juga dihubungkan pada diafragma itu. Sambungan harus mempunyai kuat desain minimum sebesar 5% dari reaksi beban mati ditambah beban hidup.

5. Desain Pondasi

Pondasi harus didesain untuk menahan gaya yang dihasilkan dan mengakomodasi pergerakan yang disalurkan ke struktur oleh gerak tanah desain. Sifat dinamis gaya, gerak tanah yang diharapkan, dasar desain untuk kekuatan dan kapasitas disipasi energi struktur dan properti dinamis tanah harus disertakan dalam penentuan kriteria pondasi.

Struktur bangunan gedung harus diklasifikasikan sebagai beraturan atau tidak beraturan. Struktur yang tidak memenuhi ketentuan diatas ditetapkan sebagai gedung tidak beraturan berdasarkan konfigurasi horizontal dan vertikal bangunan gedung.

(5)

2.4.2.1. Ketidakberaturan Horisontal

Struktur bangunan gedung yang mempunyai satu atau lebih tipe ketidakberaturan seperti yang terdaftar dalam Tabel 2.1. harus dianggap mempunyai ketidakberaturan struktur horisontal. Struktur-struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik sebagaimana yang terdaftar dalam tabel 2.1. harus memenuhi persyaratan dalam pasal-pasal yang dirujuk dalam tabel itu.

Tabel 2.1. Ketidakberaturan Horisontal Pada Struktur

Tipe dan penjelasan ketidakberaturan Pasal referensi

Penerapan kategori desain sismik 1a. Ketidakberaturan torsi didefinisikan ada jika

simpangan antar lantai tingkat maksimum, torsi yang dihitung termasuk tak terduga, di sebuah ujung struktur melintang terhadap sumbu lebih dari 1,2 kali simpangan antar lantai tingkat rata-rata di kedua ujung struktur. Persyarata-ratan ketidakberaturan torsi dalam pasal-pasal referensi berlaku hanya untuk struktur di mana diafragmanya kaku atau setengah kaku.

7.3.3.4 7.7.3 7.8.4.3 7.12.1 Tabel 13 12.2.2 D, E, dan F B, C, D, E, dan F C, D, E, dan F C, D, E, dan F D, E, dan F B, C, D, E, dan F

1b. Ketidakberaturan torsi berlebihan didefinisikan ada jika simpangan antar lantai tingkat maksimum, torsi yang dihitung termasuk tak terduga, di sebuah ujung struktur melintang terhadap sumbu lebih dari 1,4 kali simpangan antar lantai tingkat rata-rata di kedua ujung struktur. Persyaratan ketidakberaturan torsi berlebihan dalam pasal-pasal referensi berlaku hanya untuk struktur di mana diafragmanya kaku atau setengah kaku.

7.3.3.1 7.3.3.4 7.7.3 7.8.4.3 7.12.1 Tabel 13 12.2.2 E dan F D B, C, dan D C dan D C dan D D B, C, dan D

(6)

2. Ketidakberaturan sudut dalam didefinisikan ada jika kedua proyeksi denah struktur dari sudut dalam lebih besar dari 15 persen dimensi denah struktur dalam arah yang di tentukan.

7.3.3.4 Tabel 13

D, E, dan F D, E, dan F

3. Ketidakberaturan diskontinuitas diafragma didefinisikan ada jika terdapat diafragma dengan diskontinuitas atau variasi kekakuan mendadak, termasuk yang mempunyai daerah terpotong atau terbuka lebih besar dari 50 persen daerah diafragma bruto yang melingkupinya, atau perubahan kekakuan diafragma efektif lebih dari 50 persen dari suatu tingkat ke tingkat selanjutnya.

7.3.3.4 Tabel 13

D, E, dan F D, E, dan F

4. Ketidakberaturan pergeseran melintang terhadap bidang didefinisikan ada jika terdapat diskontinuitas dalam lintasan tahanan gaya lateral, seperti pergeseran melintang terhadap bidang elemen vertikal. 7.3.3.3 7.3.3.4 7.7.3 Tabel 13 12.2.2 B, C, D, E dan F D, E, dan F B, C, D, E, dan F D, E, dan F B, C, D, E, dan F

5. Ketidakberaturan sistem nonparalel didefinisikan ada jika elemen penahan gaya lateral vertikal tidak paralel atau simetris terhadap sumbu-sumbu ortogonal utama sistem penahan gaya gempa. 7.5.3 7.7.3 Tabel 13 12.2.2 C, D, E, dan F B, C, D, E, dan F D, E, dan F B, C, D, E, dan F

Sumber : SNI 03-1726-2012Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

2.4.2.2. Ketidakberaturan Vertikal

Struktur bangunan gedung yang mempunyai satu atau lebih tipe ketidakberaturan seperti dalam Tabel 2.2. harus dianggap mempunyai ketidakberaturan vertikal. Struktur dirancang untuk kategori desain

(7)

seismik sebagaimana terdaftar Tabel 2.2. harus memenuhi persyaratan dalam pasal-pasal yang dirujuk dalam tabel itu.

Tabel 2.2. Ketidakberaturan Vertikal Pada Struktur

Tipe dan penjelasan ketidakberaturan Pasal referensi Penerapan kategori desain seismik 1a.

Ketidakberaturan Kekakuan Tingkat Lunak didefinisikan ada jika terdapat suatu tingkat di mana kekakuan lateralnya kurang dari 70 persen kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 80 persen kekakuan rata-rata tiga tingkat di atasnya.

Tabel 13 D, E, dan F

1b.

Ketidakberaturan Kekakuan Tingkat Lunak Berlebihan didefinisikan ada jika terdapat suatu tingkat di mana kekakuan lateralnya kurang dari 60 persen kekakuan lateral tingkat di atasnya atau kurang dari 70 persen kekakuan rata-rata tiga tingkat di atasnya. 7.3.3.1 Tabel 13 E dan F D, E, dan F 2.

Ketidakberaturan Berat (Massa) didefinisikan ada jika massa efektif semua tingkat lebih dari 150 persen massa efektif tingkat di dekatnya. Atap yang lebih ringan dari lantai di bawahnya tidak perlu di tinjau.

Tabel 13 D, E, dan F

3.

Ketidakberaturan Geometri Vertikal didefinisikan ada jika dimensi horisontal sistem penahan gempa di semua tingkat lebih dari 130 persen dimensi horisontal sistem penahan gaya gempa tingkat di dekatnya.

(8)

4.

Diskontinuitas Arah Bidang dalam Ketidakberaturan Elemen Penahan Gaya Lateral Vertikal didefinisikan ada jika pergeseran arah bidang elemen penahan gaya lateral lebih besar dari panjang elemen itu atau terdapat reduksi kekakuan elemen penahan di tingkat bawahnya.

7.3.3.3 7.3.3.4 Tabel 13 B, C, D, E, dan F D, E, dan F D, E, dan F 5a.

Diskontinuitas dalam Ketidakberaturan Kuat Lateral Tingkat yang Berlebihan didefinisikan ada jika kuat lateral tingkat kurang dari 80 persen kuat lateral tingkat di atasnya. Kuat lateral tingkat adalah kuat lateral total semua elemen penahan seismik yang berbagi geser tingkat untuk arah yang ditinjau. 7.3.3.1 Tabel 13 E dan F D, E, dan F 5b.

Diskontinuitas dalam Ketidakberaturan Kuat Lateral Tingkat yang Berlebihan didefinisikan ada jika kuat lateral tingkat kurang dari 65 persen kuat lateral tingkat diatasnya. Kuat tingkat adalah kuat total semua elemen penahan seismik yang berbagi geser tingkat untuk arah yang ditinjau.

7.3.3.1 7.3.3.2 Tabel 13 D, E, dan F B dan C D, E, dan F

Sumber : SNI 03-1726-2012Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

2.5. Perencanaan Struktur Bangunan 2.5.1. Pembebanan

Pemisahan antara beban statis dan dinamis merupakan hal yang mendasar dalam tahap analisa pembebanan untuk perencanaan bangunan tinggi. Konsep pemisahan ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengelompokan hubungannya dengan kombinasi pembebanan (load combination) untuk analisa tahap selanjutnya.

1. Beban Statis

Beban statis adalah beban yang bersifat tetap sepanjang masa selama bangunan masih tetap ada, bekerja secara terus-menerus pada struktur. Beban statis pada umumya dapat dibagi menjadi beban mati, beban hidup

(9)

dan beban khusus. Beban Khusus adalah beban yang terjadi akibat penurunan pondasi atau efek temperatur. Beban statis juga diasosiasikan dengan beban-beban yang secara perlahan-lahan timbul serta mempunyai variabel besaran yang bersifat tetap (steady states). Dengan demikian, jika suatu beban mempunyai perubahan intensitas yang berjalan cukup perlahan sedemikian rupa sehingga pengaruh waktu tidak dominan, maka beban tersebut dapat dikelompokkan sebagai beban statis (static load). Deformasi dari struktur akibat beban statik akan mencapai puncaknya jika beban ini mencapai nilainya yang maksimum.

a. Beban Mati

Beban mati (dead load) adalah beban yang intensitasnya tetap dan posisinya tidak berubah selama usia penggunaan bangunan. Biasanya beban mati merupakan berat sendiri dari suatu bangunan, sehingga besarnya dapat dihitung secara akurat berdasarkan ukuran, bentuk, dan berat jenis materialnya. Jadi, berat dinding, lantai, balok-balok, langit-langit, dan sebagainya dianggap sebagai beban mati bangunan (Wahyudi, 1997).

Menurut Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung tahun 1987 beban mati pada struktur terbagi menjadi 2, yaitu beban mati akibat material konstruksi misalnya : balok, plat, kolom, kuda-kuda dan lainnya serta beban mati akibat komponen gedung misalnya : bata ringan, penggantung plafon, plafon, keramik, kaca, kusen dan lainnya.

Tabel 2.3. Berat Sendiri Material Konstruksi

Bahan Bangunan Berat

Baja Batu Alam

Batu Belah,batu bulat,batu gunung (berat tumpuk) Batu Pecah 7850 kg/m3 2600 kg/m3 1500 kg/m3 700 kg/m3 Bahan Bangunan Besi tuang 7250 kg/m3

(10)

Beton

Beton bertulang Kayu kelas 1

Kerikil,koral (kerng udara sampai lembap,tanpa diayak) Pasangan bata merah

Pasangan batu belah,batu bulat,batu gunung Pasangan batu cetak

Pasangan batu karang

Pasir (kering udara sampai lembap) Pasir (jenuh air)

Pasir kerikil,koral (kering udara sampai lembap)

Tanah,lempung dan lanau (kering udara sampai lembap) Tanah,lempung dan lanau (basah)

Tanah hitam 2200 kg/m3 2400 kg/m3 1000 kg/m3 1650 kg/m3 1700 kg/m3 2200 kg/m3 2200 kg/m3 1450 kg/m3 1600 kg/m3 1800 kg/m3 1850 kg/m3 1700 kg/m3 2000 kg/m3 11400 kg/m3

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

Tabel 2.4. Berat Sendiri Komponen Gedung

Komponen Gedung Berat

Adukan ,per cm tebal : a. Dari semen

b. Dari kapur ,semen merah atau tras

Aspal ,termasuk bahan – bahan mineral tambahan ,per cm tebal Dinding pasangan Bata merah :

a. Satu batu b. Setengah batu Dinding pasangan batako : Berlubang : a. Tebal dinding 20 cm (HB20) b. Tebal dinding 10 cm (HB10) Tanpa lubang : a. Tebal dinding 15 cm 21 kg/m2 17 kg/m2 14 kg/m2 450 kg/m2 250 kg/m2 200 kg/m2 120 kg/m2 300 kg/m2

(11)

b. Tebal dinding 20 cm

Langit-langit dan dindin (termasuk rusuk-rusuknya,tanpa penggantung langit-langit atau paku),terdiri dari :

a. Semen asbes,dengan tebal maksimum 4 mm Komponen Gedung

200 kg/m2

11 kg/m2

a. Kaca,dengan tebal 3-4 mm

b. Lantai kayu sederhana dengan balok kayu, tanpa langit-langit dengan bentang maksimum 5 m dan untuk beban maksimum 200 kg/m2

c. Penggantung langit-langit (dari kayu),dengan bentang maksimum 5 m dan jarak s.k.s minimum

d. Penutup atap genting dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidan atap

e. Penutup atap sirap dengan reng dan usuk/kaso per m2 bidang atap

f. Penutup atap seng gelombang (BWG 24) tanpa gordeng g. Penutup lantai dari ubin semen Portland,eraso dan

beton,tanpa aduan per cm tebal h. Semen asbes glombang (tebal 5 mm )

10 kg/m2 40 kg/m2 7 kg/m2 50 kg/m2 40 kg/m2 10 kg/m2 24 kg/m2 11 kg/m2

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

b. Beban Hidup

Beban hidup (live load) adalah beban yang dapat berpindah tempat, dapat bekerja penuh atau tidak ada sama sekali. Contoh dari beban ini misalnya beban hunian, lalu lintas orang, serta lali lintas kendaraan (pada jembatan). Beban hidup minimum yang harus diterapkan pada bangunan biasanya telah ditetapkan dalam peraturan setempat yang berlaku. Beban hidup dapat pula direduksi bila tidak semua daerah pembebanan dibebani penuh secara bersamaan, atau untuk elemen yang mempunyai daerah pembebanan yang luas (Wahyudi, 1997).

(12)

Tabel 2.5. Beban Hidup Pada Lantai Gedung

No. Penggunaan Berat Keterangan

1 Lantai dan tangga rumah tinggal

200 kg/m2 kecuali yang disebut no.2

2 a. Lantai & tangga rumah tinggal sederhana b. Gudang-gudang selain

untuk toko, pabrik, bengkel

125 kg/m2

3 a. Sekolah, ruang kuliah b. Kantor c. toko, toserba d. Restoran e. Hotel, asrama f. Rumah Sakit 250 kg/m2 4 Ruang olahraga 400 kg/m2 5 Ruang dansa 500 kg/m2

6 Lantai dan balkon dalam dari ruang pertemuan

400 kg/m2 masjid, gereja, ruang pagelaran/rapat, bioskop dengan tempat duduk tetap

7 Panggung penonton 500 kg/m2 tempat duduk tidak tetap /

penonton yang berdiri

8 Tangga, bordes tangga dan gang

300 kg/m2 no.3

9 Tangga, bordes tangga dan gang

500 kg/m2 no. 4, 5, 6, 7

(13)

11 a. Pabrik, bengkel, gudang b. Perpustakaan,r.arsip, toko

buku

c. Ruang alat dan mesin

400 kg/m2 Minimum

12 Gedung parkir bertingkat : a. Lantai bawah

b. Lantai tingkat lainnya

800 kg/m2 400 kg/m2

13 Balkon menjorok bebas keluar 300 kg/m2 Minimum

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

Untuk Reduksi beban dapat dilakukan dengan mengalikan beban hidup dengan suatu koefisien reduksi yang nilainya tergantung pada penggunaan bangunan. Besarnya koefisien reduksi beban hidup untuk perencanaan portal, ditentukan sebagai berikut :

Tabel 2.6. Koefisien Reduksi No.

Penggunaan Gedung

Koef. Reduksi Beban Hidup Untuk perencanaan

balok induk dan portal Untuk peninjauan gempa 1. Perumahan / Penghunian a. Rumah tinggal b. Asrama c. Hotel d. Rumah sakit 0,75 0,30 2. Pendidikan a. Sekolah b. Ruang kuliah 0,90 0,50 3. Pertemuan Umum : a. Masjid b. Gereja c. Bioskop d. Restoran e. Ruang dansa 0,90 0,50

(14)

f. Ruang pagelaran 4. Kantor / Bank 0,60 0,30 5. Perdagangan : a. Toko b. Toserba c. Pasar 0,80 0,80 6. Penyimpanan : a. Gudang b. Perpustakaan c. Ruang Arsip 0,80 0,80

7. Industri : Pabrik / bengkel 1,00 0,90

8. Tempat Kendaraan : Garasi / Gedung Parkir

0,90 0,50

9. Gang dan Tangga :

 Perumahan/penghunian  Pendidikan / kantor  Pertemuan umum, perdagangan penyimpanan, industri, tempat kendaraan 0,75 0,75 0,90 0,30 0,50 0,50

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

Tabel 2.7. Koefisien Reduksi Beban Hidup Kumulatif No. Jumlah Lantai yang

di Pikul

Koefisien Reduksi yang dikalikan kepada beban hidup kumulatif

1. 1 1,0

2. 2 1,0

3. 3 0,9

4. 4 0,8

(15)

6. 6 0,6

7. 7 0,5

8. 8 dan lebih 0,4

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

Tabel 2.8. Beban Hidup Pada Atap Gedung

No Bagian Atap Berat Keterangan

1 Atap / bagiannya dapat dicapai orang, termasuk kanopi

100 kg/m2 atap dak

2 a. Atap / bagiannya tidak dapat dicapai orang (diambil min.) : beban hujan b. beban terpusat (40-0,8.α) kg/m2 100 kg

α = sudut atap, min. 20 kg/m2, tak perlu ditinjau bila α > 50o

3 Balok/gording tepi kantilever 200 kg

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

c. Beban Angin

Pergerakan udara ada dua macam, yaitu pergerakan vertikal ke atas dan pergerakan horizontal. Pergerakan horizontal inilah yang penting bagi perencanaan bangunan (Wahyudi, 1997). Menurut Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung tahun 1987 beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif (angin tekan) dan tekanan negatif (angin hisap), yang bekerja tegak lurus pada bidang-bidang yang ditinjau. Besarnya tekanan positif dan negatif ini dinyatakan dalam kg/m2 dan ditentukan dengan mengalikan tekanan tiup dengan koefisien angin.

(16)

1) Tekanan Tiup

 Harus di ambil minimal 25 kg/m2

 Tekanan tiup di laut dan tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil minimum 40 kg/cm2.

 Pada cerobong tekanan tiup dalam kg/m2 harus di tentukan dengan rumus (42,5 + 0,6 h), dimana h adalah tinggi cerobong seluruhnya dalam meter, di ukur dari lapangan yang berbatasan.  Apabila dapat di jamin suatu gedung terlindung efektif terhadap

angin dari suatu jurusan tertentu oleh gedung – gedung lain maka tekanan tiup dapat dikalikan dengan koefisien reduksi sebesar 0,5.

2) Koefisien Angin  Gedung Tertutup

Untuk bidang–bidang luar, koefisien angin (+ berarti tekanan dan - berarti isapan) adalah sebagai berikut :

a) Dinding vertikal

 Di pihak angin + 0,9

 Di belakang angin - 0,4

 Sejajar dengan angin - 0,4

b) Atap segitiga dengan sudut kemiringan α :  Di pihak angin α < 65o (0,02 α)

- 0,4 65o < α < 90o + 0,9  Di belakang angin, untuk semua α - 0,4 c) Atap Lengkung dengan sudut pangkal β :

 β < 22o

1. Untuk bidang lengkung di pihak angin

 Pada seperempat busur pertama - 0,6  Pada seperempat busur kedua untuk bidang

Lengkung di belakang angin - 0,7  Pada seperempat busur pertama - 0,5  Pada seperempat busur kedua - 0,2

(17)

 β > 22o

2. Untuk bidang lengkung di pihak angin

 Pada seperempat busur pertama - 0,5  Pada seperempat busur kedua untuk bidang

Lengkung di belakang angin - 0,6  Pada seperempat busur pertama - 0,4  Pada seperempat busur terahkir - 0,2 d) Atap segitiga majemuk

 Untuk bidang – bidang atap di pihak angin : α < 65o

(0,02 α – 0,4)

65o < α < 90o + 0,9

 Untuk semua bidang atap dibelakang angin,

Kecuali yang vertikal menghadap untuk semua α - 0,4  Untuk semua bidang atap vertikal di belakang angin

Yang menghadap angin + 0,4

 Gedung terbuka sebelah

Untuk bidang luar, koefisien angin yang di tentukan tekanan tiup tetap berlaku, sedangkan pada waktu yang bersamaan di dalam gedung di anggap bekerja pada suatu tekanan positif dengan koefisien angin + 0,6 apabila bidang terbuka terletak di pihak angin dan suatu tekanan negatif dengan koefisien angin – 0,3, apabila bidang yang terbuka terletak di belakang angin.

 Atap tanpa dinding

Untuk beban angin dari suatu jurusan, atap pelana biasa tanpa dinding harus direncanakan menurut keadaan yang paling berbahaya di antara 2 cara, dengan koefisien angin untuk bidang atap seperti berikut :

(18)

Tabel 2.9. Koefisien Angin untuk Bidang Pelana Biasa Tanpa Dinding No

Kemiringan atap Bidang atap di pihak angina

Bidang atap lain

1. - 1,2 -0,4 1. -0,8 -0,8 +1,2 +4,0 2. +0,8 0,0 +0,8 -0,4 + 0,5

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987

Untuk atap–atap miring sepihak tanpa dinding, untuk bidang atas berlaku koefisien angin (- atau + bergantung pada arah angin).

Tabel 2.10. Koefisien Angin untuk Bidang Atap Miring Sepihak Tanpa dinding No. Kemiringan

Atap

Bidang Atap di Pihak Angin

Bidang Atap lain

1. 0o < α < 10o + atau – 1,2 + atau – 0,4

2. α < 40o + atau – 1,8 + atau – 1,0

Sumber : Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan gedung 1987

 Dinding yang berdiri bebas

Untuk dinding–dinding yang berdiri bebas, koefisien angin untuk bidang di pihak angin adalah + 0,9 dan untuk bidang di belakang angin adalah – 0,4 ( Jumlahnya 1,3 ).

 Cerobong dengan penampang lingkaran

Untuk cerobong dengan penampang lingkaran, koefisien angin untuk tekanan positif dan tekanan negatif bersama-sama adalah 0,7. Koefisien angin ini berlaku untuk bidang cerobong

(19)

yang diproyeksikan pada bidang vertikal yang melalui sumbu cerobong.

 Struktur rangka (Lattice Structures)

Koefisien angin untuk struktur – struktur rangka. Bidang rangka adalah bidang–bidang batang rangka yang di proyeksikan pada bidang melalui sumbu – sumbu batang.

 Gedung dan Bangunan Lain

Koefisien angin untuk gedung dan bangunan dengan bentuk penampang yang lain daripada yang di tentukan dalam pasal ini dapat di ambil harga-harga untuk bentuk–bentuk yang hampir serupa, kecuali apabila koefisien angin itu di tentukan dengan percobaan terowongan angin.

2 Beban Dinamis

Beban dinamis adalah beban yang bekerja secara tiba-tiba pada struktur. Pada umumya, beban ini tidak bersifat tetap (unsteady-state) serta mempunyai karakterisitik besaran dan arah yang berubah dengan cepat. Deformasi pada struktur akibat beban dinamik ini juga akan berubah-ubah secara cepat. Beban dinamis ini terdiri dari beban gempa dan beban angin. a. Beban Gempa

Beban Gempa adalah fenomena getaran yang diakibatkan oleh benturan atau pergesekan lempeng tektonik (plate tectonic) bumi yang terjadi di daerah patahan (fault zone). Gempa yang terjadi di daerah patahan ini pada umumnya merupakan gempa dangkal karena patahan umumnya terjadi pada lapisan bumi dengan kedalaman antara 15 sampai 50 km. Gerak tanah gempa rencana harus digunakan untuk menghitung perpindahan rencana total sistem isolasi dan gaya gaya lateral serta perpindahan pada struktur dengan isolasi. Gempa maksimum yang dipertimbangkan harus digunakan untuk menghitung perpindahan maksimum total dari sistem isolasi.

(20)

1. Menentukan Kategori Resiko Struktur Bangunan (I-IV) dan Faktor Keutamaan (Ie)

Untuk berbagai kategori risiko struktur bangunan gedung dan non gedung sesuai Tabel 2.11 pengaruh gempa rencana terhadapnya harus dikalikan dengan suatu faktor keutamaan Ie menurut Tabel 2.12.

Tabel 2.11. Kategori Risiko Bangunan Gedung dan Non Gedung Untuk Beban Gempa

No Jenis Pemanfaatan Kategori

Risiko 1. Gedung dan non gedung yang memiliki risiko rendah

terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan termasuk tapi di batasi untuk antara lain:

a. Fasilitas pertanian, perkebunan, peternakan, dan perikanan

b. Fasilitas sementara c. Gudang penyimpanan

d. Rumah jaga dan struktur kecil lainnya

I

2. Semua gedung dan struktur lain, kecuali yang termasuk dalam ketegori I, II, IV, termasuk, tapi tidak di batasi untuk:

a. Perumahan

b. Rumah toko dan rumah kantor c. Pasar

d. Gedung perkantoran

e. Gedung apartemen / rumah susun f. Pusat perbelanjaan / mall

g. Bangunan industri h. Fasilitas manufaktur i. Pabrik

II

3. Gedung dan non gedung yang memiliki risiko tinggi terhadap jiwa manusia pada saat terjadi kegagalan termasuk tapi tidak di batasi untuk:

a. Bioskop

b. Gedung pertemuan c. Stadion

d. Fasilitas kesehatan yang tidak memiliki unit bedah dan unit gawat darurat

e. Fasilitas penitipan anak f. Penjara

g. Bangunan untuk orang jompo

(21)

kategori risiko IV, yang memiliki potensi untuk menyebabkan dampak ekonomi yang besar dan atau gangguan massal terhadap kehidupan masyarakat sehari – hari bila terjadi kegagalan, termasuk tapi tidak di batasi untuk:

a. Pusat pembangkit listrik biasa b. Fasilitas penanganan air c. Fasilitas penangan limbah d. Pusat telekomunikasi

Gedung dan non gedung yang tidak termasuk dalam kategori risiko IV, ( termasuk tetapi di batasi untuk fasilitas manufaktur, proses, penanganan, penyimpanan, penggunaan atau tempat pembuangan bahan bakar berbahaya, bahan kimia berbahaya, limbah berbahaya atau bahan yang mudah meledak) yang mengandung bahan beracun atau peledak dimana jumlah kandungan bahannya melebihi nilai batas yang diisyaratkan oleh instansi yang berwenang dan cukup menimbulkan bahaya bagi masyarakat jika terjadi kebocoran.

III

4. Gedung dan non gedung yang di tunjukan sebagai fasilitas yang penting termasuk tetapi tidak dibatasi untuk:

a. Bangunan – bangunan monumental b. Gedung sekolah dan fasilitas pendidikan

c. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang memiliki fasilitas bedah dan unit gawat darurat

d. Fasilitas pemadam kebakaran, ambulans, dan kantor polisi, serta garansi kendaraan darurat

e. Tempat perlindungan terhadap gempa bumi, angin badai dan tempat perlindungan darurat lainnya

f. Fasilitas kesiapan darurat, komunikasi, pusat operasi dan fasilitas lainnya untuk tanggap darurat.

g. Pusat pembangkit energi dan fasilitas publik lainnya yang dibutuhkan pada saat keadaan darurat

h. Struktur tambahan (termasuk menara telekomunikasi, tangki penyimpanan bahan bakar, menara pendingin, struktur stasiun listrik, tangki air pemadam kebakaran atau struktur rumah atau struktur pendukung air atau material atau peralatan pemadam kebakaran ) yang di isyaratkan untuk beroperasi pada saat keadaan darurat Gedung dan non gedung yang dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi struktur bangunan lain yang masuk ke dalam kategori risiko IV

IV

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

(22)

Tabel 2.12. Faktor Keutamaan Gempa

Kategori Risiko Faktor Keutamaan Gempa (Ie)

I atau II 1,0

III 1,25

IV 1,50

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

2. Menentukan Parameter Percepatan Gempa (SS, S1)

Parameter Ss (percepatan batuan dasar pada perioda pendek) dan

Si (percepatan batuan dasar pada perioda 1 detik) harus ditetapkan masing-masing dari respons spektral percepatan 0,2 detik dan 1 detik dalam peta gerak tanah seismik dengan kemungkinan 2 persen terlampaui dalam 50 tahun (MCER, 2 persen dalam 50 tahun), dan dinyatakan dalam bilangan desimal terhadap percepatan gravitasi. Bila

Si ≤ 0,04 g dan Ss ≤ 0,15 g, maka struktur bangunan boleh dimasukkan kedalam kategori seismik A.

3. Menentukan Kelas Situs

Berdasarkan sifat-sifat tanah pada situs, maka situs harus diklasifikasi sebagai kelas situs SA, SB, SC, SD, SE, atau SF. Bila sifat-sifat tanah tidak teridentifikasi secara jelas sehingga tidak bisa ditentukan kelas situs-nya, maka kelas situs SE dapat digunakan kecuali jika pemerintah/dinas yang berwenang memiliki data geoteknik yang dapat menentukan kelas situs SF.

(23)

Tabel 2.13. Klasifikasi Situs No Kelas situs Kecepatan

gelombang geser rerata ῡs

( m/detik)

Nilai hasil test penetrasi standar rerata (N atau Nch) Kuat Geser niralir rerata Su (kPa) 1. SA (batuan keras) >1500 N/A N/A

2. SB (batuan) 750 sampai 1500 N/A N/A 3. SC (tanah keras,

sangat padat dan batuan lunak)

350 sampai 750 >50 ≥100

4. SD (tanah sedang)

175 sampai 350 15 sampai 50 50 sampai 100

5. SE (tanah lunak) <175 <15 <50

Atap setiap profil tanah yang mengandung lebih dari 3 m tanah dengan karakteristik sebagai berikut :

1) Indeks plastisitas, PI > 20 2) Kadar Air w ≥ 40 %

3) Kuat geser niralir SU < 25 kPa 6. SF (tanah khusus yang membutuhkan investigasi geoteknik spesifik dan analisis respons spesifik-situs yang mengikuti

Setiap profil lapisan tanah yang memiliki salah satu atau lebih karakterisitik berikut :

1) Rawan dan berpotensi gagal atau runtuh akibat beban gempa seperti mudah likuifaksi, lempung sangat sensitif, tanah tersementasi lemah

2) Lempung sangat organik dan atau gambut (ketebalan H > 3m)

3) Lempung plasitisitas sangat tinggi (ketebalan H>7,5 indekks plasitisitas PI > 75)

Lapisan lempung lunak/setengah teguh dengan ketebalan Su < 50 kPa

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Penetapan Kelas Situs dapat dilakukan melalui penyelidikan tanah dengan menguji nilai penetrasi standar rata-rata. N Profil tanah yang mengandung beberapa lapisan tanah atau batuan yang nyata berbeda, harus dibagi menjadi lapisan-lapisan yang diberi nomor ke-1 sampai ke- n dari atas ke bawah, sehingga ada total N-lapisan tanah yang berada pada lapisan 30 m paling atas tersebut. Nilai N untuk

(24)

lapisan tanah 30 m paling atas ditentukan sesuai dengan perumusan berikut :

Keterangan :

Ti = tebal setiap lapisan antara kedalaman 0 sampai 30 meter Ni = tahanan penetrasi standar 60 persen energi (N60) yang

terukur langsung di lapangan tanpa koreksi.

4. Menentukan Koefisien-Koefisien Situs dan Paramater-Parameter Respons Spektral Percepatan Gempa Maksimum Yang Dipertimbangkan Risiko-Tertarget (MCER)

Dalam penentuan respons spektral percepatan gempa MCER di

permukaan tanah, diperlukan suatu faktor amplifikasi seismik pada perioda 0,2 detik dan perioda 1 detik. Faktor amplifikasi meliputi faktor amplifikasi getaran terkait percepatan pada getaran perioda pendek (Fa) dan faktor amplifikasi terkait percepatan yang mewakili

getaran perioda 1 detik (Fv). Parameter spektrum respons percepatan

pada perioda pendek (SMS) dan perioda satu detik (SM1) yang disesuaikan dengan pengaruh klasifikasi situs.

Menghitung nilai SMS dan SM1 meggunakan rumus empiris:

SMS = Fa SS

SM1 = Fv S1

Didapat nilai SMS dan SM1, langkah selanjutnya mencari harga SDS,

SD1 menggunakan rumus empiris:

SDS = 2/3 SMS

(25)

Tabel 2.14. Koefisien Situs (Fa)

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Tabel 2.15. Koefisien Situs (Fv)

Kelas Situs

Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER)

terpetakan pada periode pendek, T=0,2 detik, Ss Ss ≤ 0,1 Ss = 0,2 Ss = 0,3 Ss = 0,4 Ss ≥ 0,5 SA 0,8 0, 8 0, 8 0,8 0,8 SB 1,0 1, 0 1, 0 1,0 1,0 S Cc cc ch as C 1,7 1,6 1,5 1,4 1,3 SD 2,4 2, 0 1, 8 1,6 1,5 SE 3,5 3, 2 2, 8 2,4 2,4 SF S S b

a) Untuk nilai-nilai antara Ss dapat dilakukan interpolasi linier b) SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan

analisis respons situs-spesifik, lihat pasal 6.10.1

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

5. Menentukan Spektrum Respons Desain

Bila spektrum respons desain diperlukan oleh tata cara ini dan prosedur gerak tanah dari spesifik-situs tidak digunakan, maka kurva spektrum respons desain harus dikembangkan dengan mengacu dan mengikuti ketentuan di bawah ini :

Kelas Situs

Parameter respons spektral percepatan gempa (MCER)

terpetakan pada periode pendek, T=0,2 detik, Ss Ss ≤ 0,25 Ss = 0,5 Ss = 0,75 Ss = 1,0 Ss ≥ 1,25 SA 0,8 0,8 0,8 0,8 0,8 SB 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 SC 1,2 1,2 1,1 1,0 1,0 SD 1,6 1,4 1,2 1,1 1,0 SE 2,5 1,7 1,2 0,9 0,9 SF SSb

a) Untuk nilai-nilai antara Ss dapat dilakukan interpolasi linier b) SS = Situs yang memerlukan investigasi geoteknik spesifik dan

(26)

1) Untuk perioda yang lebih kecil dari T0, spektrum respons percepatan desain, Sa harus diambil dari persamaan:

( )

2) Untuk perioda lebih besar dari atau sama dengan T0 dan lebih kecil dari atau sama dengan Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa, sama dengan SDS.

3) Untuk perioda lebih besar dari Ts, spektrum respons percepatan desain, Sa, diambil berdasarkan persamaan:

Keterangan :

SDS = parameter respons spektral percepatan desain pada perioda pendek

SD1 = parameter respons spektral percepatan desain pada perioda 1 detik

T = perioda getar fundamental struktur T0 = 0,2

TS =

Gambar 2.1. Spektrum Respons Desain

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung.

(27)

Dalam menentukan periode fundamental struktur T dapat diperoleh dari hasil analisis struktur yang akan ditinjau. Namun SNI Gempa 2012 memberi persyaratan bahwa periode fundamental yang akan dipakai sebagai perhitungan tidak boleh melebihi dari batas atas periode fundamental pendekatan yang mana nilainya adalah perkalian dari koefisien periode batas atas (Cu) dengan periode pendekatan (Ta). Untuk memudahkan pelaksanaan, periode alami fundamental T ini boleh langsung digunakan periode pendekatan Ta.

Periode pendekatan ditentukan berdasarkan persamaan berikut ini : Ta = Ct . hnx

Tabel 2.16. Koefisien Batas Atas Periode

SD1 Koefisien Cu > 0.4 1.4 0.3 1.4 0.2 1.5 0.15 1.6 < 0.1 1.7

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Tabel 2.17. Nilai Parameter Periode Pendekatan Ct dan x

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Tipe Struktur Ct x

Sistem rangka pemikul momen di mana rangka memikul 100 persen gaya gempa yang disyaratkan dan tidak dilingkupi atau dihubungkan dengan komponen yang lebih kaku dan akan mencegah rangka dari defleksi jika dikenai gaya gempa:

Rangka baja pemikul momen 0.0724 0.8

Rangka beton pemikul momen 0.0466 0.9 Rangka baja dengan bresing eksentris 0.0731 0.75 Rangka baja dengan bresing

terkekang terhadap tekuk 0.0731 0.75

(28)

6. Menentukan Kategori Desain Seismik (A-D)

Dalam menentukan Ketegori desain seismik apabila digunakan alternatif prosedur penyederhanaan desain pada pasal 8 (SNI 1726-2012) kategori disain seismik diperkenankan untuk ditentukan dari Tabel 2.18 dengan menggunakan nilai SDS yang ditentukan dalam pasal 8.8.1 (SNI 1726-2012).

Tabel 2.18. Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan Pada Perioda Pendek

Nilai SDS Kategori Resiko I atau II atau III IV SDS< 0,167 A A 0,167< SDS< 0,33 B C 0,33 < SDS< 0,5 C D SDS> 0,5 D D

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

Tabel 2.19. Kategori Desain Seismik Berdasarkan Parameter Respons Percepatan Pada Perioda 1 detik

Nilai SDS

Kategori Resiko I atau II atau III IV

SD1< 0,067 A A

0,067< SD1< 0,133 B C

0,133 < SD1< 0,2 C D

SD1> 0,2 D D

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

(29)

Harga,

SDS = 0.46 (SDS> 0,5) => Kategori Resiko Tipe D

SD1 = 0.36 (0,133 < SD1 < 0,2) => Kategori Resiko Tipe D

7. Pemilihan Sistem Struktur dan Parameter Sistem (R, Cd, Ωo,) Sistem penahan gaya gempa lateral dan vertikal dasar harus memenuhi salah satu tipe yang ditunjukkan dalam Tabel 2.20

Tabel 2.20. Faktor R, Cd dan Ωo untuk Sistem penahan Gaya Gempa Sistem struktur beton

bertulang penahan gaya gempa

R Ω0 Cd

Batasan sistem struktur dan batasan tinggi

struktur ( m

)

B C D E F

A Sistem dinding penumpu

1

Dinding geser beton

bertulang khusus 5 2.5 5 TB TB 48 48 30

2

Dinding geser beton

bertulang biasa 4 2.5 4 TB TB TI TI TI

3

Dinding geser beton

polos didetail 2 2.5 2 TB TI TI TI TI

4

Dinding geser beton

polos biasa 1.5 2.5 1.5 TB TI TI TI TI 5 Dinding geser pracetak Menengah 4 2.5 4 TB TB 12 12 12 6 Dinding geser pracetak Biasa 3 2.5 3 TB TI TI TI TI B Sistem Rangka 1

Dinding geser beton

bertulang khusus 6 2.5 5 TB TB 48 48 30

2

Dinding geser beton

bertulang biasa 5 2.5 4.5 TB TB TI TI TI

3

Dinding geser beton

polos detail 2 2.5 2 TB TI TI TI TI

4

Dinding geser beton

(30)

5 Dinding geser pracetak Menengah 5 2.5 4.5 TB TB 12 12 12 6 Dinding geser pracetak Biasa 4 2.5 4 TB TI TI TI TI C Sistem rangka pemikul momen

1 Rangka beton Bertulang pemikul momen khusus 8 3 5.5 TB TB TB TB TB 2 Rangka beton bertulang pemikul momen menengah 5 3 4.5 TB TB TI TI TI 3 Rangka beton bertulang pemikul momen biasa 3 3 2.5 TB TI TI TI TI

D Sistem ganda dengan rangka pemikul momen khusus

1

Dinding geser beton

bertulang khusus 7 2.5 5.5 TB TB TB TB TB

2

Dinding geser beton

bertulang biasa 6 2.5 5 TB TB TI TI TI E Sistem ganda dengan rangka pemikul momen menengah

1

Dinding geser beton

bertulang khusus 6.5 2.5 5 TB TB 48 30 30

2

Dinding geser beton

bertulang biasa 5.5 2.5 4.5 TB TB TI TI TI

F

Sistem interaktif dinding geser rangka dengan rangka pemikul

momen beton bertulang biasa dan dinding geser beton bertulang biasa 4.5 2.5 4 TB TI TI TI TI G Sistem kolom kantilever didetail untuk memenuhi persyaratan :

1 Rangka beton Bertulang pemikul momen khusus 2.5 1.25 1.5 10 10 10 10 10 2 Rangka beton Bertulang pemikul momen menengah 1.5 1.25 1.5 10 10 TI TI TI

(31)

3 Rangka beton Bertulang pemikul momen biasa 1 1.25 1 10 TI TI TI TI

Sumber : SNI 03-1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non Gedung

2.5.2. Perencanaan Beban

Struktur perlu diperhitungkan terhadap adanya kombinasi pembebanan dari beberapa kasus pembebanan yang mungkin terjadi selama umur rencana. Menurut Pedoman Perencanaan Pembebanan Indonesia untuk Rumah dan Gedung 1987, ada dua kombinasi pembebanan yang perlu ditinjau pada struktur yaitu : Kombinasi pembebanan tetap dan kombinasi pembebanan sementara. Kombinasi pembebanan tetap dianggap beban bekerja secara terus-menerus pada struktur selama umur rencana. Kombinasi pembebanan tetap disebabkan oleh bekerjanya beban mati dan beban hidup. Sedangkan kombinasi pembebanan sementara tidak bekerja secara terus-menerus pada stuktur, tetapi pengaruhnya tetap diperhitungkan dalam analisis struktur.

Kombinasi pembebanan ini disebabkan oleh bekerjanya beban mati, beban hidup, dan beban gempa. Nilai-nilai tersebut dikalikan dengan suatu faktor beban, tujuannya agar struktur dan komponennya memenuhi syarat kekuatan dan layak pakai terhadap berbagai kombinasi pembebanan.

Pada buku “Tata Cara Perencanaan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung” SKSNI T-15-1991-03, disebutkan bahwa kombinasi pembebanan (U) yang harus diperhitungkan pada perancangan struktur bangunan gedung yang sesuai dengan perencanaan gedung antara lain :

1. Kombinasi Pembebanan (U) untuk menahan beban mati (D) paling tidak harus sama dengan :

U = 1,4 D

2. Kombinasi Pembebanan U untuk menahan beban mati D, beban hidup L, dan juga beban atap atau beban hujan, paling tidak harus sama dengan:

(32)

3. Ketahanan struktur terhadap beban gempa E harus diperhitungkan dalam perencanaan, maka nilai kombinasi pembebanan U harus diambil sebagai :

U = 1,2 D + 1,6 L ± 1,0 E (I/R) atau

U = 0,9 D ± 1,0 E (I/R) dimana:

D = Beban Mati L = Beban Hidup

R = Faktor Reduksi Gempa W = Beban Angin I = Faktor Keutamaan Struktur E = Beban Gempa

Koefisien 1,0; 1,2; 1,6; 1,4 merupakan faktor pengali dari beban-beban tersebut yang disebut faktor beban (load factor), sedangkan factor 0,5 dan 0,9 merupakan faktor reduksi beban.

Untuk keperluan analisis dan desain dari suatu struktur bangunan gedung perlu dilakukan analisis struktur dari portal dengan meninjau dua kombinasi pembebanan yaitu pembebanan tetap dan pembebanan sementara.

Pada umumnya, sebagai gaya horisontal yang ditinjau bekerja pada sistem struktur portal adalah beban gempa, karena di Indonesia beban gempa lebih besar dibandingkan beban angin. Beban gempa yang bekerja pada sistem struktur dapat berarah bolak-balik.

2.5.2.1.Faktor Reduksi Kekuatan Bahan (Strength Reduction Factors) Faktor reduksi kekuatan bahan merupakan suatu bilangan yang bersifat mereduksi kekuatan bahan, dengan tujuan untuk mendapatkan kondisi paling buruk jika pada saat pelaksanaan nanti terdapat perbedaan mutu bahan yang ditetapkan sesuai standar bahan yang ditetapkan dalam perencanaan sebelumnya. Besarnya faktor reduksi kekuatan bahan yang digunakan tergantung dari pengaruh atau gaya yang bekerja pada suatu elemen struktur sesuai SKSNI T-15-1991-03.

2.6. Rencana Struktur

2.6.1. Struktur Atas (Upper Structure) 2.6.1.1. Perencanaan Struktur Atap

Konstruksi atap berbentuk limasan digunakan profil ganda dengan alat sambung las dan baut BJ 37 (σ = 1600 kg/m2

(33)

Analisis beban atap diperhitungkan terhadap beban mati, beban hidup, dan beban angin. Beban mati meliputi berat sendiri, rangka dan penutup atap, sedangkan beban hidup terdiri dari orang yang bekerja dan alat kerja. Beban angin ditinjau dari kanan-kiri, yakni tegak lurus terhadap bidang atap. Analisis pembebanan berdasarkan Pedoman Perencanaan Pembebanan untuk Rencana dan Gedung 1987. Sedangkan analisis gaya batang kuda-kuda dengan analisis tak tentu menggunakan program SAP2000.

1. Gording

Gording dianggap sebagai gelagar yang menumpu bebas di atas dua tumpuan. Desain gording berdasarkan teori elastisitas (Wira.MSCE, 1997. Struktur Baja I dan II. Erlangga. Jakarta), sebagai berikut : kontrol tegangan a. Mendimensi Gording Gambar 2.2. Gording Pembebanan : Beban mati (D)

D = q = berat sendiri profil (qs) + berat atap / genteng (qa) Beban hidup (L) = p

(34)

b. Momen yang Terjadi Akibat Pembebanan Akibat Muatan Mati

Akibat Muatan Hidup

Akibat Muatan Angin Hidup

 Angin Tekan

 Angin Hisap

c. Kontrol Kuat Tekan Lentur yang Terjadi (SNI 2002) Mu ≤  . Mn

Keterangan :

Mu : Kombinasi Beban Momen Terfaktor.

 : Faktor Reduksi kekuatan. Mn : Kekuatan Momen Nominal. d. Kontrol Lendutan (f) yang Terjadi

Keterangan notasi rumus kontrol tegangan dan lendutan Mx : momen terhadap sumbu x-x

My : momen terhadap sumbu y-y σx : tegangan arah sumbu x-x σy : tegangan arah sumbu y-y

(35)

fy : lendutan arah sumbu y-y

q : beban merata

l : bentang gording

E : modulus elastisitas baja (E = 2,0.106 kg/cm2) I : momen Inersia profil

Wx : momen tahanan arah sumbu x-x

Wy : momen tahanan arah sumbu y-y

2. Batang kuda-kuda

Desain kuda-kuda didesain dengan memperhatikan batasan-batasan sebagai berikut

a. Untuk menghindari tekuk pada tahap pelaksanaan maupun akibat gaya yang bekerja, kelangsingan maksimum batang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1. Konstruksi utama tidak boleh lebih dari 150. 2. Konstruksi sekunder tidak lebih dari 200. 3. Angka kelangsingan

(λ) = dimana :

Lk : panjang tekuk (m)

i min : jari-jari kelembaman minimum batang (m)

b. Tegangan yang terjadi (σ) tidak melebihi tegangan yang diijinkan (σ ijin) Batang Tekan σ = Batang Tarik σ = Dimana : P = gaya batang F = luas penampang F netto = F – Ø baut, (Ø 12,7 mm (1/2”)) = faktor tekuk

(36)

Sambungan masing-masing joint pada kuda – kuda menggunakan baut. Sambungan yang digunakan dalam perencanaan baut adalah baut Ø 12,7 mm (1/2”) dan tebal pelat buhul 10 mm.

Syarat :

Pengaruh geser, bila = > 0,628 Pengaruh desak, bila = > 0,628 n1 =

Jarak baut : 2,5 d ≤ a ≥ 7d e > 1,5 d

e ≥ 2d

2.6.1.2. Perencanaan Pelat Lantai

Pelat lantai merupakan suatu konstruksi yang menumpu langsung pada balok dan atau dinding geser. Pelat lantai dirancang dapat menahan beban mati dan beban hidup secara bersamaan sesuai kombinasi pembebanan yang bekerja diatasnya.

Gambar 2.3. Prinsip Desain Pelat

Komponen struktur beton bertulang yang mengalami lentur harus direncanakan agar mempunyai kekakuan yang cukup untuk membatasi lendutan/deformasi apapun yang dapat memperlemah

(37)

kekuatan ataupun mengurangi kemampuan layan struktur pada beban kerja (Pasal 11.5.1 SNI 03-2847-2002).

Berdasarkan Pasal 15.3.6, perhitungan rata-rata rasio kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur pelat (α) diperhitungkan dengan rumus:

Sehingga harus dicari terlebih dahulu momen inersia balok (Ib) dan momen inersia pelat (Ip).

Gambar 2.4. Bagian Pelat yang Diperhitungkan untuk Balok T Sesuai Pasal 15.2.4 SNI 03-2847-2002 bahwa suatu balok meliputi juga bagian dari pelat pada setiap sisi balok sebesar proyeksi balok yang berada di atas atau di bawah pelat, sebagaimana ditunjukkan Gambar 2.4.

Merujuk pada Pasal 10.10.2 SNI 03-2847-2002 bahwa lebar efektif sayap (Be) dari masing-masing sisi badan balok tidak boleh melebihi delapan kali tebal pelat, maka:

Mencari titik berat balok T terhadap tepi atas:

( ) ( ( )) ( )

(38)

Momen inersia balok T (Ib):

( ) ( ) (

( ) ) ( ( ) )

Momen inersia pelat (Ip):

Pasal 15.3.6:

Di mana:

α = rata-rata perbandingan kekakuan lentur penampang balok terhadap kekakuan lentur pelat dengan lebar yang dibatasi dalam arah lateral oleh sumbu dari panel yang bersebelahan pada tiap sisi dari balok Ecb = modulus elastisitas balok beton

Ecp = modulus elastisitas pelat beton Ib = momen inersia balok

Ip = momen inersia pelat 1. Rasio Bentang Pelat

Rasio > 2 (desain pelat 1 arah)

Rasio = 1 ⁄ 2 (desain pelat 2 arah) 2. Menentukan Tebal Pelat

a. Desain 1 arah (one way slab) adalah tulangan utama atau tulangan pokok hanya bekerja pada satu arah saja. Desain ini di gunakan ketika momen yang bekerja pada pelat tidak seimbang antara arah x dan arah y, jadi tulangan pokok itu bekerja pada arah x saja dan arah y di gunakan untuk tulangan pembagi.

(39)

 2 tumpuan sederhana

 Tumpuan jepit dengan satu ujung menerus

 Tumpuan jepit 2 ujung menerus

 Tumpuan kantilever Keterangan :

Ln = bentang bersih (tepi balok – tepi balok) L = bentang bersih (as balok – as balok)

b. Desain 2 arah (two way slab) adalah desain penulangan ketika momen pelat pada arah x dan arah y sama atau hampir sama besar maka di gunakan tulangan pokok yang sama, sehingga tidak ada

(40)

tulangan pembagi, umumnya berbentuk persegi dan di jepit keempat sisinya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 11.5.3.3.c SNI 03-2847-2002 bahwa untuk:

- yang sama atau lebih kecil dari 0,2, harus menggunakan pasal 11.5(3(2)).

- lebih besar dari 0,2, tapi tidak lebih dari 2,0, ketebalan pelat minimum harus memenuhi:

( )

dan tidak boleh kurang dari 120 mm

- lebih besar dari 2,0, ketebalan pelat minimum tidak boleh kurang dari:

( )

dan tidak boleh kurang dari 90 mm.

3. Menentukan Pembebanan Pelat Wu = 1,2 DL + 1,6 LL Keterangan :

LL = beban hidup diambil sesuai fungsi pelat DL = beban mati

4. Menghitung Momen

Mu = 0,001 .Wu .Lx2. x Keterangan :

Mu = Momen pada pelat

Wu = Beban terbagi rata yang bekerja pada pelat Lx = Bentang pelat arah x

(41)

5. Menentukan Momen Nominal (Mn) dan Momen Batas (Mu) (

)

6. Persentase Rasio Tulangan

( ( ) ( )) → Tulangan seimbang (balance)

→ Tulangan maksimal/over → Tulangan

Perlu diperhatikan pelat tipis tulangan banyak defleksi atau lentur besar-besar maka tebal pelat diambil maksimal.

7. Menentukan Rasio Tulangan

√ (runtuh tekan/geser/mendadak) Sehingga rasio diarahkan ke 1 dan 2

8. Menentukan Luas Tulangan (As)

( ⁄ )

(42)

Untuk pelat satu arah maka selanjutnya dicari tulangan susut: Assst = 0,002.b.h (fy = 300 MPa)

Assst = 0,0018.b.h (fy = 400 MPa)

9. Menentukan Jarak Tulangan Sengkang (s) Sperlu = π / 4 * Ø2 * b / As

Smax = 2 h Smax = 250 mm

2.6.1.3. Perencanaan Balok

Untuk struktur balok direncanakan dengan mengacu pada SNI 03-6814-2002.

1. Perhitungan Balok

Balok berfungsi sebagai penyangga bangunan yang ada di atasnya, adalah sebagai pelimpah beban kombinasi pada pelat dan atau atap. Beban pelat dalam pelimpahannya dapat berupa sistem amplop yaitu berbentuk segitiga atau trapesium.

⁄ ⁄

Gambar 2.5. Beban Pelat dengan Sistem Amplop a. Syarat Kelangsingan Balok

(43)

b. Penulangan Pada Balok

Gambar 2.6. Penulangan Pada Balok Keterangan :

As : tulangan tarik (As =  . b . d) As’ : tulangan tekan

d : tinggi efektif penampang d’ : jarak sengkang

dimana :

c : selimut beton

(c = 20 mm, untuk balok yang tidak langsung berhubungan dengan cuaca/tanah).

(untuk balok yang berhubungan langsung dengan cuaca dan kondisi tanah  c = 40 mm, untuk tulangan < 16, sedangkan c = 50 mm, untuk tulangan > 16).

s : diameter tulangan sengkang

p : diameter tulangan pokok

c. Perhitungan Tinggi Efektif Pada Balok

d = h – ( p + Øsengkang + 1/2 Ø tulangan utama) d’ = p + Øsengkang + 1/2 Ø tulangan utama dimana:

b = lebar balok (mm) h = tinggi balok (mm)

(44)

d = tinggi efektif balok (mm) p = tebal selimut beton (mm) Ø = diameter tulangan (mm) d. Rasio Penulangan

(tabel 5.1.h mutu beton f’c301) SNI 03-6814-2002.)

e. Syarat Pembatasan Penulangan Syarat rasio tulangan : ρmin ≤ ρ ≤ ρmax Perhitungan ρ max dan ρ min :

f. Perhitungan Momen : = * fy * (d – d’) = Mn -

g. Perhitungan ρ1 (rasio pembesian) :

As1 = ρ * b * d

Perhitungan Tulangan Utama : As = As1 + As2

Dalam pelaksanaan dipasang tulangan tekan dimana ρ’ tidak boleh melebihi dari 0,5 ρb (SNI 03-1728-2002).

As’max = ρ’ . b . d

h. Mencari Tulangan Tumpuan

- Mencari jumlah tulangan yang dipasang

(45)

i. Mencari Tulangan Lapangan

- Mencari jumlah tulangan Pada balok dipasang tulangan rangkap, dengan perbandingan luas tulangan tekan (As’) dan luas tulangan tarik (As)

- Jumlah tulangan yang dipasang

⁄ Potongan 1-1 Penulangan pokok Balok Tumpuan Potongan 2-2 Penulangan pokok Balok Tumpuan Gambar 2.7. Pemasangan Tulangan Pokok Balok j. Perhitungan Tulangan Geser (sengkang)

(46)

- Gaya geser

⁄ - Tegangan geser

- Tegangan geser beton yang diijinkan sesuai mutu beton (fc’)

Jika tegangan geser yang terjadi akibat beban (vu) lebih kecil dari tegangan geser yang diijinkan (vc) vu <vc, maka

perlu dipasang tulangan geser/sengkang pada balok.

Jika tegangan geser yang terjadi akibat beban (vu) lebih besar dari tegangan geser yang diijinkan (vc) vu >vc, maka

tidak perlu dipasang tulangan geser/sengkang pada balok.

- Tegangan geser yang dapat dipikul oleh beton dengan tulangan geser.

- Tegangan geser yang harus dipikul tulangan geser.

- Pendimensian balok.

- jika

vs<

vs

maksdimensi balok rencana tidak perlu

diperbesar jika

vs>

vs

maksdimensi balok rencana perlu

diperbesar

- Gaya geser yang dapat dipikul oleh beton.

(47)

Keterangan :

Gaya geser pada balok, sebagian dipikul oleh kuat geser beton (Vc) dan sisanya dipikul dipikul oleh tulangan geser (sengkang).

- Penentuan Tulangan Geser Pada Balok

Tulangan geser pada balok perlu dipasang sepanjang “y” dari tumpuan.

⁄ ⁄

( ⁄ ) ⁄ Resultante gaya yang bekerja di sepanjang “y”

Rv = (Vu – Vc) . y  KN Tulangan geser:

Dimana :  adalah faktor reduksi kekuatan untuk perhitungan geser (= 0,6)

tulangan geser dipasang pada 2 sisi penampang balok tulangan geser minimum :

jika Av > Avmin pada balok dipasang tulangan geser (Av).

- Jumlah Tulangan Geser

Tulangan geser per meter pada balok =

Tulangan geser per meter pada balok = ( ) Jarak tulangan geser/sengkang= s =

Jumlah tulangan geser per meter n=(

)

(48)

- Perhitungan Tulangan Torsi

Cek kemampuan beton menahan torsi

Jika,Tu < Tc, tidak perlu tulangan puntir Tu ≥ Tc, perlu tulangan puntir

- Cek Pengaruh Momen Puntir (Tu)

Kategori komponen struktur non-prategang:

(pengaruh puntir dapat diabaikan)

Acp = luas yang dibatasi oleh keliling luar penampang beton mm2

Pcp = keliling luar penampang beton mm - Menghitung Properti Penampang

Keterangan: ( ) ( ) Aoh= x1x y1 Ao= 0,85 x Aoh Ph= 2 x ( x1 + x1 )

x1 = jarak antar pusat tulangan sengkang dalam arah sumbu x (mm)

y1 = jarak antar pusat tulangan sengkang dalam arah sumbu y (mm)

Aoh = luas daerah yang dibatasi oleh garis pusat tulangan sengkang terluar (mm2)

(49)

d = jarak dari serat tekan terluar beton ke pusat tulangan tarik (mm)

Ph = keliling dari garis pusat tulangan sengkang torsi terluar (mm)

- Cek Penampang Balok Kategori penampang solid:

√( ) ( ) ( √ ) (Penampang Memenuhi) Dimana : √

- Menentukan Torsi Transversal

Dimana Ø : 0,85

Ө : (Berdasarkan SNI Beton Bertulang (13.6.3.6)) (dalam satuan ⁄mm untuk 1 kaki dari sengkang) - Menghitung Tulangan Torsi Longitudinal

Syarat :

( √ ) (

)

Dengan ketentuan Tulangan Longitudinal tambahan untuk menahan puntir harus di distribusikan disekeliling parameter sengkang tertutup dengan spasi tidak melebihi 300mm, dengan posisi berada di dalam sengkang (SNI Beton Bertulang 2002-13.6.6.2)

(50)

2.6.1.4. Perencanaan Kolom

Kolom adalah suatu elemen tekan dan merupakan struktur utama dari bangunan yang berfungsi untuk memikul beban vertikal yang diterimanya. Pada umumnya kolom tidak mengalami lentur secara langsung.

Gambar 2.10. Jenis Kolom Beton Bertulang

Kolom beton bertulang secara garis besar dibagi dalam tiga kategori, yaitu :

1. Blok tekan pendek 2. Kolom pendek

3. Kolom panjang atau langsing

Berdasarkan Tata cara perhitungan struktur beton untuk bangunan gedung, kuat tekan rencana dari komponen struktur tekan tidak boleh diambil lebih besar dari ketentuan berikut:

Untuk komponen struktur non-prategang dengan tulangan spiral atau komponen struktural tekan komposit.

ФPn (max) = 0,85 Ф [0,85 x f’c (Ag - As) + fy x As]

Untuk komponen struktur non-prategang dengan tulanganpengikat. ФPn (max) = 0,80 Ф [0,85 x f’c (Ag - As) + fy x As]

Kolom panjang atau langsing merupakan salah satu elemen yang perlu diperhatikan. Proses perhitungannya didasari oleh konsep perbesaran momen. Momen dihitung dengan analisis rangka biasa dan dikalikan oleh faktor perbesaran momen yang berfungsi sebagai beban tekuk kritis pada kolom. Parameter yang berpengaruh dalam perencanaan kolom beton bertulang panjang adalah :

a. Panjang bebas (Lu) dari sebuah elemen tekan harus diambil sama dengan jarak bersih antara pelat lantai, balok, atau komponen lain

(51)

yang mampu memberikan tahanan lateral dalam arah yang ditinjau. Bila terdapat kepala kolom atau perbesaran balok, maka panjang beban harus diukur terhadap posisi terbawah dari kepala kolom atau perbesaran balok dalam bidang yang ditinjau.

b. Panjang efektif (Le) adalah jarak antara momen-momen nol dalam kolom. Prosedur perhitungan yang digunakan untuk menentukan panjang efektif dapat menggunakan kurva alinyemen.Untuk menggunakan kurva alinyemen dalam kolom, faktor Ψ dihitung pada setiap ujung kolom.

Ujung atas berotasi dan bertranslasi, ujung bawah jepit

Ujung atas berotasi dan bertranslasi ujung bawah bebas berotasi

Gambar 2.11. Panjang Efektif Kolom Tumpuan Jepit dan Sendi Selain itu, nilai k untuk portal bergoyang juga dapat dihitung melalui persamaan: Jika √ Jika √

Dengan ѱ m merupakan rata-rata ѱ A dan ѱ B

Untuk pembahasan kolom ini, perlu dibedakan antara portal tidak bergoyang dan portal bergoyang. Suatu struktur dapat dianggap rangka portal bergoyang jika nilai indeks stabilitas (Q) > 0,05.

(52)

∑ dimana :

Pu = Beban Vertikal

Vu = Gaya geser lantai total pada tingkat yang ditinjau Δo = Simpangan relatif antar tingkat orde pertama Lc = Panjang efektif elemen kolom yang tertekan

Properti yang digunakan untuk menghitung pembesaran momenyang nantinya akan dikalikan dengan momen kolom, diantaranya adalah :

a. Modulus elastisitas ditentukan dari rumus berikut: Ec = 0,043 √ (MPa)

Untuk wc antara 1500 dan 2500 kg/m3 atau 4700√ untuk beban normal.

b. Momen inersia dengan Ig = momen inersia penampang bruto terhadap sumbu pusat dengan mengabaikan penulangan :

Tabel 2.21. Momen Inersia Elemen Struktur Modulus elastisitas (dari 10,5(1)) Momen Inersia

Balok Kolom

Dinding : tidak retak : retak Pelat datar dan lantai datar Luas 0,35 0,70 0,70 0,35 0,25 1,0

Sumber : Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-2847-2002)

Dalam portal bergoyang untuk setiap kombinasi pembebanan perlu menentukan beban mana yang menyebabkan goyangan cukup berarti (kemungkinan beban lateral) dan mana yang tidak. Momen ujung terfaktor yang menyebabkan goyangan dinamakan M1s dan

Gambar

Tabel 2.1. Ketidakberaturan Horisontal Pada Struktur
Tabel 2.2. Ketidakberaturan Vertikal Pada Struktur
Tabel 2.3. Berat Sendiri Material Konstruksi
Tabel 2.4. Berat Sendiri Komponen Gedung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan maka saran yang dapat peneliti ajukan adalah sebagai berikut: Pertama, bagi investor institusional, meskipun menguasai

Sebagaimana hal ini dilaksanakan agar persamaan hak dan keadilan bagi seluruh warga Negara Indonesia di hadapan hukum dapat terwujud agar tidak ada lagi terjadi diskriminasi

beberapa teori yang tidak terbukti dalam penelitian ini, yaitu tingkat keterlibatan yang tidak memberikan pengaruh pada evaluasi alternatif dan kelompok acuan yang tidak

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia

Azhari (2004) mengatakan motivasi adalah sesuatu daya yang menjadi pendorong seseorang bertindak dimana rumusan motivasi menjadi sebuah kebutuhan nyata dan

Berdasarkan dari data hasil percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa, kurkuminoid ekstrak temu mangga hasil ekstraksi dengan pelarut air dan etanol

BRINE SHRIMP LETHALITY TEST

Ruangan yang terdapat dalam halaman naskah harus terisi penuh, artinya pengetikan harus dari tepi kiri sampai batas tepi kanan dan jangan sampai ada ruangan