• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sehubungan dengan kehadiran UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat UUPPTPPU) telah membawa perubahan khususnya dalam hal pembuktian di sidang pengadilan. Oleh karena salah satu prinsip yang diterapkan dalam UUPPTPPU memberi peluang dalam penegakan hukum yakni menekankan penyelidikan pada aliran uang yang dihasilkan agar terhadap aktor intelektual dari aliran uang tersebut dapat lebih mudah dideteksi, sebab muara aliran uang sudah tentu akan berakhir pada aktor intelektualnya.1

Seiring dengan perkembangan pada saat ini, Indonesia telah berada dalam teknologi elektronik yang berbasis pada lingkungan serba digital.

2

1 Bismar Nasution, “Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang

Kehutanan”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004, hal. 2.

2

Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta: Rajagrafindo Perkasa, 2005), hal. 31.

Dengan perkembangan teknologi yang serba canggih tersebut, berdampak meningkatnya

(2)

kuantitas kejahatan konvensional yang mengarah pada penggunaan alat-alat canggih dan dilakukan dengan modus operandi yang serba canggih pula. Edmon Makarim mengatakan sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.3

Salah satu perubahan secara khusus dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dalam UUPPTPPU dalam hal pembuktian dengan menggunakan prinsip pembuktian terbalik sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 77 UUPPTPPU. Kalau dalam pembuktian secara umum menurut hukum acara pidana pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang mengajukan tuntutan (JPU),

4

Tegasnya dalam Pasal 77 UUPPTPPU menegaskan: ”Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.

maka dalam hal pembuktian terbalik, pihak yang membuktikan adalah pihak terdakwa bukan JPU yang membuktikan kesalahan terdakwa seperti dalam hukum acara pidana umum.

5

3

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hal. 3.

4

Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 291.

5

Sebelum diundangkan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat UUPPTPPU), Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang yang lama yakni UU No.15 Tahun 2002 junto UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPTPPU) telah menganut ketentuan pembuktian terbalik pada Pasal 35 UUPTPPU dan setelah digantikan melalui UUPPTPPU, ketentuannya diatur dalam Pasal 77.

Pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian menurut ketentuan ini mewajibkan bagi terdakwa

(3)

untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana pencucian uang dan pembuktian tersebut dilakukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya yang dapat diulangi lagi pada saat memori banding dan memori kasasi.6

Dalam hukum acara pidana selama ini dikenal asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self

incrimination).

Pembuktian merupakan bagian paling penting dalam sidang pengadilan. Pembuktian merupakan masalah yang rentan diperdebatkan dalam setiap perkara pemeriksaan. Melalui pembuktian dapat ditentukan nasib terdakwa apakah ia menjadi bersalah atau tidak. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU), tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dapat dibebaskan dari hukuman. Demikian sebaliknya, jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan JPU, maka terdakwa dinyatakan bersalah dan kepadanya dapat dijatuhkan hukuman atau sanksi.

7

6 Adrian Sutedi, Op. Cit, hal. 290. Lihat juga: Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban

Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 12. Menurut Lilik Mulyadi, istilah pembuktian terbalik disebut juga dengan istilah pembalikan beban pembuktian.

7

Adrian Sutedi, Loc. cit.

Asas praduga tidak bersalah yang apabila dikaitkan dengan asas pembuktian terbalik (omkering van het bewijslast atau shifting of burde of proof/onus

(4)

tidak bertentangan. Yunus Husein mengatakan pembuktian terbalik di dalam tindak pidana pencucian uang, bukan untuk memberikan hukum badan kepada pelaku tindak pidana melainkan untuk merampas aset pelaku secara perdata.8

Pembuktian dalam hukum acara pidana secara umum menghendaki JPU untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam persidangan, namun dalam pembuktian terbalik menghendaki terdakwalah yang berperan aktif untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Apabila tidak dapat dibuktikannya, maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, namun jika terdakwa dapat membuktikan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana, maka terdakwa tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum.9

Pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan perkara perdata. Pembuktian dalam perkara pidana lebih ketat dibandingkan dengan pembuktian dalam perkara perdata. Pembuktian dalam perkara pidana (dalam KUHAP) mencari kebenaran materiil sehingga hukum pidana secara umum menganut pembuktian dengan stelsel negative, artinya untuk menjatuhkan putusan dalam perkara pidana tidak cukup berdasarkan alat bukti saja, melainkan juga diperlukan adanya keyakinan

8

Yunus Husein, ”Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam ceramah Program Pascasarjana (S-2) Bidang Kajian Utama Huku m Pidana Universitas Padjadjaran, Jakarta, tanggal 8 Mei 2004, hal. 4.

9

Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 102.

(5)

hakim. Pihak yang harus membuktikan adalah pihak yang mengajukan tuntutan yaitu JPU.10

Dalam hal acara pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap kasus-kasus tindak pidana pencucian uang, digunakan pembuktian terbalik seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 77 UUPPTPPU, oleh karenanya peranan hakim sangat menentukan untuk tujuan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Hakim harus mempunyai sifat visioner yang didasarkan kepada pemahaman bahwa pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang sangat sulit karena harus membuktikan tindak pidananya sekaligus membuktikan asetnya. Tentu profesionalitas hakim sangat diperlukan dalam praktik acara pembuktian terbalik.

11

10

Adrian Sutedi, Op. cit, hal. 288. Beban pembuktian seperti ini, berlaku di negara-negara yang menganut sistem civil law (Eropa Kontinental).

11

Adrian Sutedi, ibid, hal. 215.

Padahal dalam UUPPTPPU belum diatur sepenuhnya secara rinci tentang acara persidangan yang menggunakan pembuktian terbalik. Selain itu, sistem ini bertentangan dengan asas parduga tidak bersalah. Unsur yang dibuktikan oleh terdakwa adalah harta kekayaannya bukan berasal dari kejahatan. Apabila unsur ini tidak dapat dibuktikan oleh terdakwa, JPU tetap berkesempatan membuktikan unsur lainnya, baik itu unsur objektifnya maupun unsur subjektifnya sepanjang masih ada kaitannya dengan delik pencucian uang. Sementara pembuktian terbalik menekankan terbatas pada tahap persidangan dan hanya untuk satu unsur saja yakni asal-usul aset.

(6)

Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakter dalam pembuktian di sidang pengadilannya ialah praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self

incrimination) yang diwujudkan dengan sistem pembuktian negatif. Sementara

pasal-pasal yang berkaitan dengan pembuktian terbalik tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang menganut sistem Eropa Kontinental.12

Dalam KUHAP dianut asas beban pembuktian yang paralel dengan asas praduga tidak bersalah dimana JPU yang wajib membuktikan kesalahan terdakwa dengan berbagai macam alat-alat bukti yang diajukannya di sidang pengadilan. Sebagaimana dengan itu, Pasal 66 KUHAP menegaskan: ”Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Kemudian pasal ini paralel dengan Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional yang disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.

Hal ini, dapat dirujuk ketentuan dalam KUHAP, sampai sekarang belum pernah diatur pemberlakuan pembuktian terbalik, kecuali pada tindak pidana tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang misalnya Pasal 77 UUPPTPPU.

13

12 Indriyanto Seno Adji, Newsletter, Jurnal, Komisi Hukum Nasional, Vol. 7, No. 2, Maret-April

2007, hal. 21.

13

Lilik Mulyadi, Loc. cit.

(7)

Ditegaskan dalam Pasal 66 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tentang asas Praduga Tak Bersalah sebagai berikut:14

1. Setiap orang harus dianggap tak bersalah sampai terbukti bersalah di depan Mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku.

2. Tanggung jawab terletak pada Penuntut Umum untuk membuktikan kesalahan tertuduh.

3. Untuk menghukum tertuduh, Mahkamah harus merasa yakin mengenai kesalahan dari tertuduh tanpa ada keraguan yang masuk akal.

Kemudian ditegaskan dalam Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tentang Hak-Hak Tertuduh, yaitu:15

1. Dalam menentukan setiap tuduhan, tertuduh berhak untuk diperiksa di depan umum, dengan mengingat ketentuan-ketentuan Statuta ini, terhadap suatu pemeriksaan yang dilakukan secara tidak memihak, dan terhadap jaminan-jaminan minimum berikut ini, dalam persamaan sepenuhnya:

a. Untuk mendapat informasi segera dan secara terperinci mengenai sifat, sebab dan isi tuduhan, dalam bahasa yang dimengerti dan digunakan sepenuhnya oleh tertuduh;

b. Untuk mendapat waktu dan fasilitas yang cukup guna mempersiapkan pembelaan dan untuk berkomunikasi secara bebas dengan penasihat hukum yang dipilih sendiri oleh tertuduh berdasarkan kepercayaan;

c. Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak sepantasnya;

d. Tunduk pada pasal 63, ayat 2, untuk hadir pada persidangan, guna melakukan pembelaan secara pribadi atau lewat bantuan hukum yang dipilih sendiri oleh tertuduh, untuk mendapat informasi, kalau tertuduh tidak mempunyai bantuan hukum, mengenai hal ini dan untuk mendapat bantuan hukum yang ditugaskan oleh Mahkamah dalam hal di mana kepentingan keadilan mengharuskan demikian, dan tanpa pembayaran kalau tertuduh kekurangan sarana yang mencukupi untuk membayarnya;

e. Untuk memeriksa, atau telah memeriksa, saksi-saksi terhadapnya dan untuk memperoleh kehadiran dan pemeriksaan saksi-saksi atas namanya berdasarkan kondisi yang sama sebagai saksi-saksi terhadapnya. Tertuduh

14

http://www.lbh-makassar.org/2011/06/14/statuta-roma/, diakses tanggal 28 Agustus 212

15

(8)

juga harus diberi hak untuk membuat pembelaan dan mengajukan bukti lain yang dapat diterima berdasarkan Statuta ini;

f. Untuk mendapat, bebas dari segala biaya, bantuan dari seorang penerjemah yang kompeten dan terjemahan yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat keadilan, kalau ada di antara proses pengadilan atau dokumen yang diajukan kepada Mahkamah tidak dalam bahasa yang dimengerti dan digunakan sepenuhnya oleh tertuduh;

g. Tidak dipaksa untuk bersaksi atau untuk mengaku bersalah dan untuk tetap diam, dan kebungkaman atau sikap diam tersebut tidak boleh dimasukkan sebagai suatu pertimbangan dalam penentuan kesalahan atau tidak bersalah; h. Untuk membuat pernyataan lisan atau tertulis yang tidak di bawah sumpah

dalam pembelaannya; dan

i. Tidak memaksakan kepadanya setiap beban pembuktian atau setiap tanggung jawab bantahan.

2. Di samping setiap pengungkapan lain yang ditetapkan dalam Statuta ini, Penuntut Umum, segera setelah bisa dilaksanakan, mengungkapkan pembuktian pembela yang dimiliki atau di bawah penguasaan Penuntut Umum yang dipercaya memperlihatkan atau cenderung memperlihatkan tidak bersalahnya tertuduh, atau mengurangi kesalahan tertuduh, atau yang dapat mempengaruhi kredibilitas pembuktian tuduhan. Dalam hal ada keraguan mengenai penerapan ayat ini, Mahkamah harus mengambil keputusan.

Model pembuktian dalam Pasal 66 ayat (1), (2) dan Pasal 67 ayat (1) huruf i Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional tersebut di atas menganut asas beban pembuktian biasa (konvensional) telah disahkan oleh Konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional pada tanggal 17 Juli 1998.

Prinsip beban pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 66 KUHAP berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik yang pengaturannya tidak ditemukan dalam KUHAP melainkan dianut dalam beberapa undang-undang

(9)

khusus.16

Pengaturan dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak ditegaskan jenis pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, apakah pembuktian terbalik yang dimaksud itu murni atau terbatas atau berimbang. Berbeda dengan pengaturan dalam undang-undang korupsi dijelaskan dalam penjelasannya digunakan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas atau berimbang. Oleh karena JPU masih tetap wajib

Jika JPU dibebankan untuk membuktikan kesalahan tersangka atau terdakwa maka prinsip ini dikenal dengan beban pembuktian biasa, sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka atau terdakwa maka prinsip demikian dikenal dengan pembuktian terbalik.

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 77 UUPPTPPU merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP yang menentukan bahwa JPU yang wajib membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Namun, menurut ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana pencucian uang. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab JPU masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang terbatas, karena JPU masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.

16

Undang-undang yang menganut sistem pembuktian terbalik misalnya: Pasal 77 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU) dan Pasal 37 UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(10)

membuktikan dakwaannya itulah yang mengisyaratkan pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang.

Masalah pembuktian terbalik secara historis sebenarnya sejak tahun 1971 hingga kini menjadi polemik yang terus diperdebatkan. Salah satu lembaga internasional yang menentang pembuktian terbalik misalnya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) tetap menghendaki berlakunya asas praduga

tidak bersalah sebagai bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence).17 Hingga saat ini pemberlakuan pembuktian terbalik melalui pengaturan secara normatif dalam bentuk undang-undang dinilai berbagai kalangan mengandung banyak kelemahan. Misalnya seperti yang dalam pendangan Luhut M.P. Pangaribuan (praktisi), melihat dalam praktiknya cenderung tidak digunakan oleh aparat penegak hukum, justru beliau mempertanyakan kesiapan mental aparat penegak hukum jika diterapkan asas pembuktian terbalik, untuk apa ada undang-undangnya.18

17

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2599/korupsi-merupakan-pelanggaran-ham-berat-, dan lihat juga di http://www.rimanews.com/read/20100824/2284/mengimplementasikan-azas-pembuktian-terbalik,

diakses tanggal 31 April 2012. ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Amanah dari ICCPR menekankan berlakunya praduga tidak bersalah (non self incrimination), yang merupakan bagian dari perlindungan HAM. Praduga tidak bersalah merupakan salah satu karakter di negara demokrasi yang menjunjung tinggi rule of law. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang disebut dengan istilah pembuktian negatif.

18 Luhut M.P. Pangaribuan, ”Sistem Pembuktian Terbalik”, Kompas, tanggal 2 April 2001, hal.

1.

(11)

Apabila sistem pembuktian terbalik dinormatifkan dan kemudian diterapkan maka akan membawa implikasi negatif yang luar biasa. Implikasi pertama, secara umum dapat mengembalikan hukum acara yang berlaku pada zaman yang disebut dengan ancient regime dimana pada zaman ini hukum acara pidana dengan sistem inkuisitoir dengan menjadikan tersangka atau terdakwa menjadi obyek. Sebab pada masa itu, pengakuan merupakan alat bukti yang penting. Kedua, dalam situasi rendahnya kapabilitas dan integritas aparat penegak hukum dewasa ini maka sistem pembuktian terbalikbisa menjadi alat untuk memperkaya diri dan bentuk penyalahgunaan penegakan hukum yang lain. Ketiga, usaha untuk meningkatkan profesionalitas dan integritas penegak hukum akan menjadi tidak perlu apabila sistem pembuktian terbalik diterima. Sebab dalam sistem pembuktian terbalik cukup hanya mengandalkan perasaan hakim, maka apabila tersangka atau terdakwa itu gagal membuktikannya maka ia akan menjadi narapidana. Luhut juga mengandaikan aparat penegak hukum itu setingkat debt collector dalam pemberlakuan sistem pembuktian terbalik.19

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Romli Atmasasmita (akademisi) yang memandang pada satu sisi penggunaan pembuktian terbalik memiliki tujuan untuk memudahkan proses pembuktian asal-usul harta kekayaan dari tindak pidana pencucian uang, namun di sisi lain, tidak prinsip ini tidak dapat bertentangan dengan hak asasi tersangka/terdakwa. Beliau juga menganalisia penggunaan pembuktian

19

(12)

terbalik tidak mendukung tujuan yang bersifat represif melalui proses kepidanaan, melainkan bersifat rehabilitatif dan semata-mata untuk memulihkan aset dari hasil tindak pidana pencucian uang melalui jalur keperdataan.20

Pembuktian terbalik khususnya dalam tindak pidana pencucian uang perlu dikaji terlebih lebih dalam. Menurut Topo Santoso, dalam hal ini terdapat beberapa masalah yang harus dipertanyakan yaitu: pertama, bagaimana pihak kejaksaan membiasakan diri dari pola yang sebelumnya. Kedua, apakah perangkat penegak hukum sudah siap dengan pembuktan terbalik. Ketiga, pembuktian terbalik berpeluang sebagai alat pemerasan berdimensi baru, dimana semua orang dapat saja disudutkan melakukan delik pencucian uang. Sementara pihak kejaksaan tidak merasa bersalah dengan tuntutannya menuduh seseorang sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang. Orang yang dituduh melakukan tindak pidana pencucian uang disuruh membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana pencucian uang, sehingga dalam benak banyak sekali orang yang akan berpeluang bisa diperas karena tuduhan.

21

Selain itu, Todung Mulia Lubis juga mengatakan hal senada jika diterapkan asas pembuktian terbalik tidak mudah, karena baik laporan kekayaan pejabat maupun pengusaha tidak dibuat, sehingga terasa sulit dipisahkan antara kekayaan pribadi

20

http://news.okezone.com/read/2007/04/09/1/12689/kontroversi-sistem-pembuktian-terbalik, diakses tanggal 29 April 2012.

21

http://aryaajus.blogspot.com/2009/12/penyelamatan-kekayaan-negara-melalui.html, diakses tanggal 30 April 2012. Topo Santoso adalah Direktur Pusat Studi Peradilan Pidana Indonesia (PSPPI) saat ini.

(13)

dengan kekayaan-kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang yang diperolehnya. Dalam hal seorang pejabat negara, seharusnya disyaratkan laporan kekayaannya sebelum menjabat dan diumumkan kekayaannya setiap tahun, sehingga bisa diinvestigasi. Sedangkan jika ia pengusaha menjadi persoalan karena tidak mungkin membuat laporannya untuk negara berhubungan bahwa harta yang dimilikinya menyangkut urusan perdata.22

Bersamaan dengan persoalan-persoalan tersebut, ketentuan pembuktian terbalik yang ditegaskan dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak didukung dengan peraturan pelaksana sehingga pada satu sisi terdapat pihak yang berpendapat pembuktian terbalik sudah wajib dilakukan oleh terdakwa sejak dimulainya penyelidikan dan penuntutan, sementara di sisi lain ada juga pihakl yang berpendapat wajib dilakukan oleh terdakwa hanya pada tingkat persidangan di pengadilan.23

Walapun demikian terdapat berbagai persoalan mengenai pengaturan pembuktian terbalik, tetapi di antara kelemahan tersebut bukan berarti pembuktian terbalik tidak dapat diterapkan. Penerapan sistem sudah dianut di Hongkong, Malaysia, Cina dan Singapura. Misalnya saja di Hongkong, penerapan pembuktian terbalik menurut keterangan pejabat Independent Comission Against Corruption Hongkong cukup efektif untuk memberantas tindak pidana karena seseorang akan takut melakukan pencucian uang sehubungan dengan sulitnya untuk memberikan

22

Ibid.

23

T.B. Irman S., Hukum Pembuktian Pencucian Uang (Bandung: MQS Publishing & Ayyccs Group, 2006), hal. 31.

(14)

penjelasan yang memuaskan tentang sumber kekayaannya. Begitu pula di Cina ketentuan pembuktian terbalik membuat Cina berhasil memberantas tindak pidana korupsi melalui UU Pencucian Uang.24

Dalam kebijakan hukum nasional telah terjadi pergeseran yang menormatifkan pembuktian terbaik dari tidak diatur menjadi diatur dalam UUPPTPPU pada prinsipnya ditekankan untuk dapat merampas harta kekayaan (aset) dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan berdasarkan UUPPTPPU dan kepadanya diwajibkan pula untuk membuktikan bahwa harta yang diperoleh bukan dari tindak pidana pencucian uang.25

Pandangan-pandangan tersebut di atas sekaligus menjadi persoalan dalam hal pengaturan dan pemberlakuan pembuktian terbalik khususnya untuk tindak pidana pencucian uang termasuk penulis melihat dan menganalisa bahwa pengaturan dan penerapan pembuktian terbalik masih bermasalah saat ini. Oleh karena pemikiran tersebut menarik untuk dibuat penelitian tentang: ”Pengaturan Sistem Pembuktian Terbalik Dalam Perspektif Rezim Anti Money Laundering” sebagai judul dalam penelitian ini.

Sebenarnya sejatinya pembuktian terbalik bukan terletak pada alat buktinya tetapi untuk membuktikan pada siapa melekatnya unsur subjektif (pelaku) tindak pidana pencucian uang dan unsur objektif (harta kekayaan atau aset) berdasarkan keyakinan hakim belaka.

24

Romli Atmasasmita, Seputar Indonesia, tanggal 15 Maret 2012.

25

http://miftakhulhuda.wordpress.com/2010/02/16/pembuktian-terbalik-tidak-dikenal-di-negara-kontinental/, diakses tanggal 29 April 2012.

(15)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, tersimpul 3 (tiga) permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimanakah asas pembuktian terbalik menurut hukum acara pidana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang?

2. Bagaimanakah pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang?

3. Apakah hambatan-hambatan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan Penelitian

Sedangkan tujuan untuk melakukan penelitian terhadap permasalahan dimaksud adalah untuk:

1. Mengetahui dan mendalami asas pembuktian terbalik menurut hukum acara pidana dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.

2. Mengetahui, menganalisis, dan memahami pengaturan sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.

3. Mengetahui hambatan-hambatan penerapan sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang.

(16)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat kepada para pembaca, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:

1. Manfaat secara teoritis berkontribusi terhadap paradigma berfikir dan wawasan dalam memahami dan mendalami permasalahan hukum khususnya permasalahan pengaturan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutannya serta berkontribusi bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang.

2. Manfaat secara praktis dikhususkan bagi kalangan praktisi hukum atau aparat penegak hukum khususnya aparat di Kepolisian, aparat di Kejaksaan, aparat di Kehakiman, Advokat/Pengacara, dan aparat hukum di Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta praktisi lainnya yang ada kaitan profesinya dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Manfaat bagi praktisi tersebut untuk mengetahui dan memahami persoalan-persoalan dan solusi menyangkut pengaturan serta penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.

(17)

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap masalah yang sama, maka sebelumnya, peneliti terlebih dahulu melakukan penelusuran di berbagai perpustakaan termasuk di pusat perpustakaan USU dan di perpustakaan Magister Ilmu Hukum USU. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan tersebut diperoleh judul Tesis atas nama, pertama: tesis atas nama Irdanul Achyar dengan nomor induk 067005071 dan judul “Analisis Pengimplementasian Rezim Civil Forfeiture Dalam Pemberantasan Money Laundering” tahun 2010 yang fokus pembahasannya mengenai penggunaan instrumen civil forfeiture dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Kedua: tesis atas nama Ediy Siong dengan nomor induk 087005003 dan judul “Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang” tahun 2010. Fokus pembahasannya menyangkut kedudukan rekaman elektronik sebagai alat bukti dalam tindak pidana pencucian uang.

Namun setelah dibedakan antara pembahasan pada judul penelitian di atas dengan permasalahan pada penelitian ini, jelas sekali perbedaannya. Pembahasan terhadap permasalahan dalam penelitian ini memfokuskan pada pengaturan pembuktian terbalik pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Sehingga dengan perbedaan ini, dapat dikatakan bahwa judul dan permasalahan di dalam penelitian ini, dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya ilmiah orang lain.

(18)

F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori

Radbruch mengatakan bahwa suatu pemikiran harus didukung oleh suatu teori-teori hukum.26 Teori hukum digunakan sebagai kerangka teori sebagai pisau analisis terhadap persoalan hukum. Kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis sehingga diperoleh suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian yang dijelaskan untuk mendapatkan verifikasi dan data dalam mengungkapkan kebenaran.27

Dalam sistem peradilan pidana, pembuktian tentang benar tidaknya tersangka atau terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, memegang peranan yang sangat penting karena pembuktian merupakan bagian yang paling menentukan dalam penjatuhan sanksi pidana atau pernyataan bersalah atau tidaknya

26 Radbruch dalam W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

1993), hal. 2. Menurut Radbruch, teori hukum akan membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulat hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.

27 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27.

Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori adalah pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis.

(19)

terhadap seorang terdakwa. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan beberapa teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa.

Teori yang berhubungan dengan sistem pembuktian menurut perkembangan hukum acara pidana meliputi: teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime), teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

stelsel), hingga munculnya teori pembuktian terbalik.

Dalam teori pembuktian conviction intime yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian dari keyakinan hakim. Tidak dipersoalkan dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya dalam memutus suatu perkara pidana. Keyakinan itu boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya di sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dengan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime sudah barang tentu mengandung kelemahan misalnya hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinannya belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup, hakim juga dapat dengan leluasa membebaskan

(20)

terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap.28

Sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, namun pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh karena keyakinannya. Sebaliknya walaupun kesalahan terdakwa tidak terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah yang semata-mata didasarkan pada keyakinannya. Sehingga dapat dikatakan keyakinan hakim yang mendominasi atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Dengan keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa sehingga seolah-olah menurut sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.

29

Sedangkan menurut teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis (conviction raisonee), keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan tetapi keyakinannya itu dibatasi. Jika dalam teori pembuktian conviction intime peran dari keyakinan hakim secara leluasa tanpa batas, maka pada teori pembuktian

conviction raisonee, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang

28

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 278.

29

(21)

jelas dan logis. Diwajibkan kepada hakim untuk menguraikan dan menjelaskan argumentasi-argumentasi yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem conviction raisonee, harus dilandasi alasan (reasoning) sementara reasoning itu harus jelas dan masuk akal sehat (reasonable) serta benar-benar dapat diterima akal dan tidak semata-mata diputuskannya atas dasar keyakinan yang tertutup tanpa uraian alasan yang logis.30

Pandangan dalam teori pembuktian menurut undang-undang secara positif bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan (conviction intime) dan pembuktian menurut undang-undang secara positif. Menurut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif tidak diperlukan peran dari keyakinan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa tetapi hal yang berperan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa berpedoman pada alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang dan untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Ukurannya adalah asalkan sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang, sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, tidak menjadi masalah yang penting jika sudah terpenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat

30 Ibid.

(22)

bukti yang sah menurut undang-undang, maka hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa tersebut. 31

Apabila menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif dibandingkan dengan teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime) tampaknya teori pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih menilai kebenaran yuridis dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim semata. Sebab teori pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih dekat dan relevan dengan prinsip penghukuman berdasar hukum. Keyakinan rentan dengan penyalahgunaan sehingga apabila menggunakan kewenangan undang-undang lebih dekat dengan kebenaran.

Dalam teori pembuktian menurut undang-undang secara positif, hakim seolah-olah bertindak sebagai robot undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Sebab hati nuraninya tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Pada satu sisi teori ini mempunyai kebaikan yakni benar-benar menuntut hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam undang-undang. Hakim harus mengesampingkan faktor keyakinannya dan berdiri tegak pada nilai alat-alat bukti (objektif) tanpa mencampuradukkan dengan keyakinannya (subjektif).

31 Ibid.

(23)

Pembuktian menurut teori undang-undang secara negatif (negatief wettelijk

stelsel) tetap menggunakan keyakinan hakim yang timbul dari penilaiannya terhadap

alat-alat bukti yang ada dalam undang. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif berada di antara teori pembuktian menurut undang-undang-undang-undang secara positif dan teori pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime). Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif nampaknya mencari jalan tengah atau sebagai keseimbangan antara kedua teori yang saling bertolak belakang secara ekstrem. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif menggabungkan teori pembuktian menurut keyakinan hakim dengan teori pembuktian menurut undang-undang secara positif. Hasil penggabungannya mewujudkan suatu teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif.32

Secara umum berlaku untuk semua tindak pidana kecuali ditentukan secara khusus dalam undang-undang, hukum acara pidana di Indonesia menggunakan teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini. Penegasan penggunaan teori ini ditegaskan dalam Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) yaitu: ”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

(24)

melakukannya”. Dengan merujuk ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut harus ada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang telah dicantumkan dalam Pasal 184 (yakni: keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa). Dua saja di antara lima alat bukti tersebut sudah terpenuhi dan ditambah dengan keyakinan hakim, maka perkara pidana tersebut dapat diputuskan oleh hakim.

Dalam asas pembuktian terbalik, ketentuan tersebut secara terang-terangan disimpangi, karena hakim dapat saja menjatuhkan putusan pidana tanpa adanya alat bukti jika terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Hanya dengan adanya keyakinan hakim saja sudah cukup untuk menyatakan atau memutuskan kesalahan terdakwa, tanpa perlu adanya alat bukti. Hal ini sama dengan sistem dalam teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction

intime) yang telah diuraikan di atas. Penerapan ketentuan ini pada satu sisi sangat

merugikan terdakwa, namun mengingat bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), maka untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam kasus tindak pidana pencucian uang, diperlukan hukum acara yang luar biasa dalam hal ditetapkannya ketentuan hukum acara pembuktian terbalik.

Dinormatifkannya ketentuan hukum acara pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU karena pada prinsipnya yang dikejar adalah hasil-hasil tindak pidana berupa aset atau harta kekayaan dari tindak pidana pencucian uang dengan

(25)

memperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan aset secara perdata atau pidana dengan hukum acara khusus atau luar biasa. Model seperti ini menggunakan sarana hukum perdata untuk merampas aset yang menjadi kerugian keuangan negara melalui instrumen civil forfeiture dengan menggunakan hukum perdata.33

Rejim civil forfeiture bisa lebih evektif dalam mengembalikan aset yang dicuri para pelaku dibandingkan melalui rejim pidana. Sebab rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses pembuktian di persidangan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian lebih rendah dari pada standar yang dipakai dalam hukum pidana, dimana jika pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan dirampas adalah hasil yang berhubungan dengan tindak pidana, maka pelaku harus membuktikannya bahwa harta itu adalah miliknya dan bukan berasal dari suatu tindak pidana.

34

33 Tambok Nainggolan, Kerugian Keuangan Negara Pada Yayasan Beasiswa Supersemar,

Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2010), hal. 90. Lihat juga: Indri Wirdia Effendy, Perampasan Asset Milik Pelaku Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Rezim Civil Forfeiture”, Tesis, (Medan: Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 9. Model Civil forfeiture adalah suatu model yang menggunakan pembuktian terbalik dan memfokuskan pada gugatan terhadap aset bukan mengejar pelaku sehingga aset negara dapat diselamatkan sekalipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia.

34 Bismar Nasution, “Stolen Asset Recovery Initiative dari Perspektif Hukum Ekonomi di

Indonesia”, Makalah disampaikan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional 2007, Pengembalian Aset (Asset Recovery) Melalui Instrumen Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative dan Perundang-Undangan Indonesia, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) di Hotel Millenium Jakarta

(26)

Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang di samping teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief

wettelijk stelsel) yang merupakan teori antara sistem pembuktian menurut

undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime), juga digunakan teori pembuktian terbalik yang semata-mata bertujuan untuk merampas aset atau harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang secara perdata.35

Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Untuk menyatakan salah atau tidak seorang terdakwa, tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya semata-mata didasarkan atas keterbuktian menurut ketentuan dan cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah apabila kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang

28-29 November 2007, hal. 6. Bismar mencontohkan misalnya dalam hal pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan jumlah aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptorlah untuk membuktikan bahwa aset tersebut dia dapat melalui jalur yang sah.

35

(27)

sah menurut undang-undang serta sekaligus keterbuktian kesalahan terdakwa dibarengi dengan keyakinan hakim.36

Sebelum dianutnya pembuktian terbalik dalam UUPPTPPU, pembuktian yang hanya mendasarkan pada keyakinan hakim pernah dianut di Indonesia yakni pada pengadilan distrik dan kabupaten. Hakim pada masa itu menerapkan keyakinan melulu.

Tampaknya tidak ada teori yang paling dominan di antara kedua teori tersebut. Jika salah satu di antaranya tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, kesalahan terdakwa cukup terbukti, tetapi sekalipun sudah cukup terbukti, tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa tersebut, maka dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, jika hakim telah benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya, tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut cara dan alat-alat bukti yang sah dalam undang-undang, terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, secara umum dalam hukum acara pidana (KUHAP) kedua komponen tersebut harus saling mendukung.

37

36

M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 279.

37

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Artha Jaya, 1996), hal. 260.

Memang pada prinsipnya pembuktian adalah suatu proses meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam

(28)

suatu perkara,38 sementara dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif, yaitu hakim berkewajiban untuk memperoleh alat bukti yang cukup mampu membuktikan tentang apa yang dituduhkan kepada terdakwa.39

Namun jika dipandang secara luas, pembuktian harus dipandang dari dua sisi yaitu dalam arti yang luas dan terbatas. Dalam arti yang luas pembuktian dapat membenarkan hubungan hukum, misalnya apabila hakim mengabulkan tuntutan, maka pengabulan ini mengandung arti bahwa hakim menarik kesimpulan mengenai apa yang didakwakan adalah benar. Berarti dalam hal ini memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat yang sah. Sedangkan dalam arti yang terbatas terdapat pembuktian yang hanya diperlukan apabila apa yang dikemukakan JPU dalam dakwaannya dibantah oleh terdakwa dan apa yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Dalam arti yang terbatas inilah orang mempersoalkan hal pembagian beban pembuktian.40

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan harus dipandang secara logis, konvensional, dan yiridis.

41

38

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 7.

39

Teguh Samudera, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, (Bandung: Alumni, 1992), hal. 32-33.

40

R. Supomo, Hukum Acara Pidana Pengadilan Negeri, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), hal. 62-63.

Pembuktian dalam ilmu hukum diatur secara

41

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal. 103-104, membuktikan dalam dalam arti logis ialah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Contohnya berdasarkan aksioma bahwa dua garis yang sejajar tidak mengkin bersilang. Pembuktian dalam arti konvensional adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif dengan tingkatan: pertama, keastian yang didasarkan atas atas perasaan belaka, karena didasarkan atas perasaan maka, kepastian ini bersifat intuitif (conviction intime); dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee. Membuktikan dalam arti yuridis ialah memberikan dasar yang cukup

(29)

komprehensif dan lugas. Meskipun demikian, namun nilai pembuktiannya tidak dapat secara mutlak dan lebih bersifat subyektif. Kebenarannya merupakan kebenaran yang relatif. Hal ini disebabkan karena pembuktian dalam ilmu hukum hanyalah sebagai upaya memberikan keyakinan terhadap fakta-fakta yang dikemukakan agar masuk akal, apa yang dikemukakan dengan fakta-fakta itu harus selaras dengan kebenaran. Sehingga, keyakinan tentang sesuatu hal memang benar-benar telah terjadi harus dapat diciptakan dan dapat diterima oleh pihak lainnya. Apabila hanya dapat diciptakan tanpa diikuti atau diterima oleh pihak lain, maka akan tidak memunyai arti sebab keterbuktiannya hanya menetapkan kebenaran terhadap pihak-pihak yang berperkara saja. Jadi, tidak seperti bukti dalam KUHAP yang berlaku secara umum dalam menetapkan kebenaran untuk setiap orang.42

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu (communis opinio). Secara tidak langsung bagi hakim karena hakim yang harus mengkonstatir peristiwa mengkualifisirnya dan kemudian

kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan. Membuktikan secara yuridis dalam hukum acara pidana tidak sama dengan hukum acara perdata, terdapat ciri-ciri khusus sebagai yakni: pertama; dalam hukum acara perdata, yang dicari adalah kebenaran formal, yaitu kebenaran berdasarkan anggapan dari pada pihak yang berperkara. Sedangkan dalam hukum acara pidana yang dicari adalah kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati, yang harus diusakahan tercapai. Kedua; dalam hukum acara perdata, hakim bersifat passif yaitu hakim memutuskan perkara semata-mata berdasrkan hal-hal yang dianggap benar oleh pihak-pihak yang berperkara dan berdasarkan bukti-bukti yang dibawa mereka itu dalam sidang pengadilan. Jadi, hakim tidak mencampuri hak-hak induividu yang dilanggar, selama orang yang dirugikan tidak melakukan penuntutan di pengadilan

42

(30)

mengkonstituir maka konsekuensi pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut.43 Tujuannya untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa fakta atau peristiwa yang diajukan itu benar terjadi, yakni dibuktikan kebenarannya sehingga nampak adanya hubungan antara para pihak.44

Sekalipun kebenaran pembuktian dalam ilmu hukum bersifat relatif, akan tetapi mempunyai nilai yang cukup signifikan bagi para hakim. Karena fungsi pembuktian berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok perkara bagi hakim.45

43

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001), hal. 105.

44

A. Mukti Arto, Praktek-Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 140.

45

Bachtiar Effendi, dkk., Surat Gugatan dan Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal. 50.

Karena itu, hakim akan selalu berpedoman dalam menjatuhkan putusannya dari hasil pembuktian.

Dalam hal pembuktian tindak pidana pencucian uang, pihak yang harus membuktikan adalah pihak tersangka atau terdakwa. Beban pembuktian seperti ini, pada mulanya tidak dianut di negara-negara yang menganut sistem civil law, seperti di Indonesia baru diterapkan pada Pasal 77 UUPPTPPU telah diatur pembuktian terbalik dimana terdakwa lah yang wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana.

(31)

Walaupun demikian, pembuktian terbalik tidak sepenuhnya diwajibkan kepada tersangka atau terdakwa untuk membuktikan hartanya bukan berasal dari tindak pidana pencucian uang. Sebab, pengaturan pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU tidak disertai dengan penjelasan yang menjelaskan apakah murni pembuktian terbalik atau pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang. Bersifat terbatas dan berimbang dimaksud apabila terdakwa secara yakin dapat membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti atau tidak benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh JPU, sebab JPU masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.46

2. Landasan Konsepsional

Landasan konsepsional berusaha mengintegrasikan dan mengkonstruksikan secara internal pada pembaca yang mendapat stimulasi dan dorongan secara konseptual dari bacaan dan tinjauan kepustakaan dibuat untuk menghindari duplikasi atau multi pemahaman/penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Tindak pidana pencucian uang adalah tindakan yang dilarang oleh hukum dan dapat dikenakan sanksi bagi setiap orang, badan hukum, dan atau korporasi yang melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menyamarkan asal-usul

46

(32)

harta kekayaan yang diperolehnya dari tindak pidana asal (predicate crime) sehingga seolah-olah sumber harta tersebut menjadi legal.47

b. Pembuktian adalah suatu proses beracara secara pidana maupun perdata dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, suatu proses untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil dan alat-alat bukti yang dikemukakan dalam suatu perkara.

48

c. Alat bukti adalah alat yang menjadi acuan bagi hakim sebagai dasar untuk memutus suatu perkara sehingga dengan mengacu atau berpegang kepada alat bukti tersebut, hakim dapat menjatuhkan putusannya.49

d. Pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian adalah pembebanan pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa dan wajib dibuktikan oleh terdakwa bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana pencucian uang.50

G. Metode Penelitian

Metode penelitian digunakan sebagai upaya ilmiah untuk memahami, mendalami, dan memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu dengan cara

47

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrance dan Library, 2005), hal. 18-19.

48

R. Subekti, Op. cit, hal. 7. Lihat juga: Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hal. 1-2.

49

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Suarabaya: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 55.

(33)

mempelajari sesuatu atau beberapa gejala persoalan hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.51

Sumber data diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Sifat penelitian yuridis normatif dalam penelitian ini mengacu kepada norma-norma, kaidah-kaidah, asas-asas, dan ketentuan yuridis yang dikhususkan dalam peraturan perundang-undangan. Alasan penggunaan yuridis normatif ini didasarkan pada paradigma hubungan dinamis antara teori, konsep-konsep, dan data yang berhubungan dengan prinsip pembuktian terbalik yang dikaitkan dengan ketentuannya di dalam UUPPTPPU. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yaitu mengungkapkan bahan-bahan menyangkut pembuktian terbalik baik yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan terkait, dan bahan hukum sekunder secara analisis dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data.

2. Sumber Data

51

(34)

untuk mendapatkan konsepsi teori, konsep-konsep, doktrin, kaidah-kaidah, asas-asas, dan pendapat atau pemikiran dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan ketentuan pembuktian terbalik sebagai objek yang ditelaah dalam penelitian ini khususnya pembuktian terbalik dalam perkara tindak pidana pencucian uang. Oleh sebab itu, maka data pokok yang digunakan hanya data sekunder yang meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum paling pokok meliputi: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UUPPTPPU).

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan berupa pendapat atau pemikiran dari para pakar hukum terhadap bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, majalah, jurnal ilmiah, artikel, artikel bebas dari internet, surat kabar, dan bahkan dokumen pribadi yang relevan dengan objek telaahan.

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum hanya sebagai penunjang untuk memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus bahasa Indonesia (Ensiklopedia), kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda, kamus bahasan hukum Indonesia, dan kamus umum yang relevan dengan penelitian ini.

(35)

Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library

research) dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi

dokumen-dokumen yang relevan dengan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Perolehan data diperoleh dari pusat perpustakaan USU, di Perpustakaan Pascasarjana Ilmu Hukum USU, di perpustakaan daerah, di toko-toko buku, bahkan dokumen-dokumen pribadi yang berkenaan dengan objek penelitian. Data yang sudah dikumpulkan melalui studi pustaka tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh pasal-pasal dalam undang-undang dan ketentuan lainnya yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma serta prinsip-prinsip pembuktian terbalik yang kemudian dihubungkan dengan permasalahan yang diteliti hingga disistematisasikan untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan.

4. Analisis Data

Analisis terhadap data yang telah dikumpulkan dilakukan secara kualitatif. Maksud dari kualitatif dalam konteks penelitian ini yaitu pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam peraturan perundang-undangan yang menyangkut pembuktian terbalik khususnya untuk delik tindak pidana pencucian uang dan peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Data yang diperoleh melalui studi pustaka tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna memperoleh relevansi terhadap permasalahan dengan data yang ada tentang pembuktian terbalik, kemudian disistematisasikan untuk mendapatkan

(36)

klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan menyangkut masalah pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang. Data yang telah dianalisis tersebut dipaparkan dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan disimpulkan sehingga permasalahan akan dapat dijawab.

Referensi

Dokumen terkait

Pemilahan data dilakukan berdasarkan (a) bentuk struktur predikatif, fungsional, dan konstituen modalitas bA; (b) makna internal modalitas bA: modalitas epistemik,

Peran tersebut antara lain : (a) usahatani padi menghidupi sekitar 20 juta keluarga petani dan buruh tani, serta menjadi urat nadi perekonomian pedesaan, (b)

Dilaksanakan oleh semua pihak dalam organisasi berarti pekerjaan kantor dapat dilakukan oleh siapa saja, mulai dari pimpinan yang paling tinggi sampai karyawan yang

Direktur Utama PT Krakatau Medika yang baru bapak Togi Sianturi pada acara ini memberikan sambutan mengucapkan terima- kasih kepada jajaran Direksi dan Komisaris

Organisasi Lini dan Fungsional adalah organisasi yang masing-masing anggota mempunyai wewenang yang sama dan pimpinannya kolektif. Organisasi Komite lebih mengutamakan

antara lain: (1) memberikan tanggung jawab secara penuh kepada guru yang diimbangi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok sebagai

Dalam inversi Magnetotelurik satu dimensi, AG kode real digunakan untuk menentukan parameter model (resistivitas dan ketebalan lapisan) dengan cara meminimumkan fungsi objektif

Berdasarkan Kompetensi Profesional Guru Biologi (Sumber: Data Penelitian) Gambar 2., persentase hasil belajar siswa berdasarkan kompetensi profesional guru biologi menunjukkan