• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) MELALUI KEGIATAN OUTBOUND

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERJASAMA DI TK KASIH IBU KOTO BANGUN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana (S-1)

Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini

WELA OKTA PUTRI NIM.14 109 084

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BATUSANGKAR

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

WELA OKTA PUTRI, NIM: 14 109 084, judul skripsi: PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) MELALUI KEGIATAN OUTBOUND UNTUK MENINGKATKAN KERJASAMA DI TK KASIH IBU KOTO BANGUN, jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD), Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar 2019.

Penelitian ini dilatarbelakangi belum berkembangnya kemampuan kerjasama anak secara optimal. Oleh karena itu, kemampuan kerjasama anak masih perlu ditingkatkan lagi, salah satu cara meningkatkan kemampuan kerjasama anak adalah dengan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound dapat meningkatkan kemampuan kerjasama TK Kasih Ibu Koto Bangun.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen, desain penelitian pre-eksperimental dengan tipe one group pretest-postest design. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak di TK Kasih Ibu Koto Bangun. Terdiri dari 1 kelas dengan jumlah anak 10 orang anak. Teknik pengambilan sampelnya yaitu sampling jenuh, yaitu anak-anak kelompok B yang berjumlah 10 orang anak. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi dan dokumentasi. Berdasarkan hasil analisis data, maka diperoleh pretest rata-rata adalah 32,6 dan hasil posttest rata-ratanya yaitu 43,3. Dari hasil penelitian menunjukkan hipotesis diterima dengan taraf signifikan adalah 5%. Dengan demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara pretest dan posttest setelah dilakukan treatment. Maka hipotesis alternative (Ha) diterima dan

hipotesis nihil (H0) ditolak, artinya Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound dapat Meningkatkan Kemampuan Kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound dapat Meningkatkan Kemampuan Kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

Kata Kunci: Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT), Kegiatan Outbound, Kemampuan Kerjasama

(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI PERSETUJUAN PEMBIMBING PENGESEHAN TIM PENGUJI BIODATA HALAMAN PERSEMBAHAN ABSTRAK i KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL ix DAFTAR BAGAN x DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR DIAGRAM xii

DAFTAR GRAFIK xiii

DAFTAR KURVA xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 7

C. Batasan Masalah 7

D. Perumusan Masalah 7

E. Tujuan Penelitian 8

F. Manfaat dan Luaran Penelitian 8

G. Defenisi Operasional 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori 11

(7)

vii

a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif

(Cooperatif Learning) 11

b. Langkah-Langkah Pembelajaran Koopertif

(Cooperatif Learning) 13

c. Tipologi Pembelajaran Kooperatif 14

d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif 15

e. Unsur Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) 16 f. Manfaat Pembelajaran Kooperatif

(Cooperatif Learning) 17

g. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif

(Cooperatif Learning) 18

2. Teams Games Tournament (TGT) 19

a. Pengertian Team Games Tournament (TGT) 19 b. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Teams Games

Tournament (TGT) 21

c. Kelebihan Dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif

Tipe Teams Games Tournament (TGT) 22

3. Outbound 23

a. Pengertian Outbound 23

b. Manfaat Outbound 25

c. Tujuan dan Karakteristik Outbound 25

1) Tujuan Outbound 25

2) Karakteristik Outbound 28

c. Prosedur Kerja Outbound 31

d. Kegiatan Outbound untuk Menanamkan Kerjasama 32

4. Kemampuan Kerjasama 36

a. Pengertian Kemampuan Kerjasama 36

b. Tujuan Kerjasama 37

c. Indikator kerjasama 38

(8)

viii

5. Kaitan antara Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament Melalui Kegiatan Outbound terhadap Kemampuan Kerjasama Unsur Kerjasama 40

B. Kajian Penelitian yang Relevan 42

C. Kerangka Berfikir 44

D. Hipotesis Penelitian 45

BAB III METODELOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian 46

B. Tempat dan Waktu Penelitian 48

C. Populasi dan Sampel 48

D. Pengembangan Instrumen 50

E. Validitas 58

F. Teknik Pengumpulan Data 58

G. Teknik Analisis Data 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Penelitian 65

1. Deskripsi Data Pretest 65

2. Pelaksananaan Kegiatan 68

a. Deskripsi Pelaksanaan Treatment I 68 b. Deskripsi Pelaksanaan Treatment II 74 c. Deskripsi Pelaksanaan Treatment III 79 d. Deskripsi Pelaksanaan Treatment IV 85

e. Deskripsi Data Posttest 90

B. Pengujian Persyarat Analisis Data 92

1. Data Berdistribusi Normal 92

2. Data Berdistribusi Homogen 93

3. Data Menggunakan Interval Dan Rasio 94

C. Pengujian Hipotesis 96

(9)

ix BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 102 B. Implikasi 102 C. Saran 102 DAFTAR PUSTAKA 104

(10)

x DAFTAR TABEL

II.1 Langkah-Langkah Pembelalajaran Kooperatif 13

III.1 Model Pra-Eksperimen 47

III.2 Populasi Penelitian 49

III.3 Sampel Penelitian 50

III.4 Kisi-Kisi Intrument Kemampuan Kerjasama 52

III.5 Penilaian Kemampuan Kerjasama 55

III.6 Lembar Observasi Kemampuan Kerjasama 56

III.7 Alternatif Jawaban dan Skor 60

III.8 Klasifikasi Skor Peningkatan Kemampuan Kerjasama 62 IV.1 Jadwal Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe

Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound Untuk Meningkat kemampuan Kerjasama

di TK Kasih Ibu Koto Bangun 66

IV.2 Klasifikasi Skor Pretest Kemampuan Kerjasama Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 67

IV.3 Aktivitas Guru dan Anak dalam Pembelajaran (TGT)

Melalui Kegiatan Outbound (Jalan Kepiting) 69 IV.4 Aktivitas Guru dan Anak dalam Pembelajaran (TGT)

Melalui Kegiatan Outbound (Estafet Tongkat) 75 IV.5 Aktivitas Guru dan Anak dalam Pembelajaran (TGT)

Melalui Kegiatan Outbound (Moving Water) 81 IV.6 Aktivitas Guru dan Anak dalam Pembelajaran (TGT)

Melalui Kegiatan Outbound (Kereta Balon) 86 IV.7 Klasifikasi Skor Posttest Kemampuan Kerjasama Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 91

IV.8 Uji Normalitas 92

(11)

xi DAFTAR BAGAN

Bagan I.1 Kerangka Berfikir Penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui

(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

IV.1 Gambar PelaksanaanTreatment I Kegiatan Outbound

(Jalan Kepiting) 73

IV.2 Gambar Pelaksanaan Treatment II Kegiatan Outbound

(Estafet Tongkat) 78

IV.3 Gambar Pelaksanaan Treatment III Kegiatan Outbound

(Moving Water) 84

IV.4 Gambar Pelaksanaan Treatment IV Kegiatan Outbound

(13)

xiii

DAFTAR DIAGRAM

(14)

xiv

DAFTAR GRAFIK

IV.1 Grafik Perbandingan Data Kemampuan Kerjasama

(15)

xv DAFTAR KURVA

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambaran Kemampuan Kerjasama (Pretest) Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 107

Lampiran 2 Gambaran Kemampuan Kerjasama (Treatment I) Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 108

Lampiran 3 Gambaran Kemampuan Kerjasama (Treatment II) Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 109

Lampiran 4 Gambaran Kemampuan Kerjasama (Treatment III) Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 110

Lampiran 5 Gambaran Kemampuan Kerjasama (Treatment IV) Di

TK Kasih Ibu Koto Bangun 111

Lampiran 6 Gambaran Kemampuan Kerjasama Di TK Kasih Ibu Koto Bangun

Sesudah Diberikan Perlakuan (Posttest) 112 Lampiran 7 Hasil Perolehan Nilai Pretest, Treatment I, Treatment II,

Treatment III, Treatment IV, dan posttest

Di TK Kasih Ibu Koto Bangun 113 Lampiran 8 Perbandingan Data Kemampuan Kerjasama antara

Pretest dan posttest 114

Lampiran 9 Perbandingan Skor Kemampuan Kerjasama antara

Pretest dan posttest 115

Lampiran 10 Perhitungan untuk Memperoleh “T” dalam rangka

Menguji Kebenaran Hipotesis Alternatif (ha) 116

Lampiran 11 Lembar Observasi 119

Lampiran 12 Lembar Obervasi Hasil Pretest 122 Lampiran 13 Lembar Obervasi Hasil Treatment I 143 Lampiran 14 Lembar Obervasi Hasil Treatment II 164 Lampiran 15 Lembar Obervasi Hasil Treatment III 185 Lampiran 16 Lembar Obervasi Hasil Treatment IV 206 Lampiran 17 Lembar Obervasi Hasil Posttest 227

(17)

xvii

Lampiran 18 Kisi-Kisi Intrument 248

Lampiran 19 RPPH 252

Lampiran 20 Surat Keterangan Validasi Instrumen 269

Lampiran 21 Surat Izin Penelitian 280

(18)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan anak usia dini (PAUD) berperan penting dalam perkembangan kepribadian anak dan berpengaruh terhadap kesiapan anak dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Salah satu bentuk pendidikan anak usia dini pada jalur formal adalah Taman Kanak-Kanak (TK).

Menurut Mursid (2015:2-3) Pendidikan anak usia dini adalah:

Salah satu penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya fikiran, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan prilaku, serta beragama), bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan potensi anak sejak dini sebagai persiapan untuk hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta membentuk anak Indonesia yang berkualitas, dimana anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan optimal dalam memasuki pendidikan dasar.

Keberhasilan menjalankan proses pembelajaran di sekolah sebagai pendidikan formal, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor guru, siswa, metode, sarana dan prasarana serta model pembelajaran yang digunakan. Apabila semua kegiatan dan omponen tersebut dapat terpenuhi, maka proses belajar mengajar di sekolah akan menjasi lancar (Yassir dan Nurmailah, 2014, p. 24).

Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan yang diselenggarakan dengan tujuan untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan anak secara menyeluruh atau menekankan pada pengembangan seluruh aspek kepribadian anak. Seperti yang diatur dalam

(19)

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa:

Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Upaya pembinaan pendidikan anak usia dini juga meliputi penyiapan perumusan kebijakan dibidang kurikulum, peserta didik, saran adan prasarana, pendanaan, dan tata kelola pendidikan anak usia dini. Pada umumnya pendidikan anak usia dini dilakukan dengan tujuan pemberian rangsangan pendidikan dan rangsangan pendidikan atau stimulasi yang identik dengan permainan agar dalam pembelajaran anak merasa senang, tidak terlalu tegang saat diberikan pengetahuan oleh guru. Kegiatan pembelajaran akan lebih menyenangkan bila dikemas melalui bermain karena yang dilakukannya seperti itu anak akan tetap menerima pembelajaran tetapi ia tidak sadar bahwa ia sedang belajar dan metode pembelajaran yang diterapkan hendaknya harus lebih inovatif untuk menarik minat belajar anak.

Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan (Permendikbud) Nomor 137 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Anak Usia Dini menyatakan bahwa: “Terdapat enam aspek perkembangan yang harus dikembangkan pada anak usia dini meliputi lingkup perkembangan nilai agama dan moral, fisik motorik (motorik kasar dan motorik halus), kognitif, bahasa dan sosial emosional, dan seni”.

“Aspek perkembangan sosial meliputi sikap tenggang rasa, peduli, saling menghargai, saling menghormati, bekerjasama, empati, dan lain sebagainya” (Isbayani dan Ni Made, 2015, p. 2). Berdasarkan pendapat diatas dapat dipahami bahwa kerjasama merupakan bagian dari aspek perkembang sosial. Ada berbagai kemampuan anak yang harus distimulasi sejak usia dini, salah satunya adalah kemampuan bekerja sama. Menurut Dewi kerjasama (dalam Alfiana dan Anik, 2015, p. 8) adalah “keterlibatan mental dan emosional orang didalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk

(20)

memberikan konstribusi dan tanggung jawab dalam mencapai tujuan kelompok”. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa kerjasama adalah aktivitas dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama dalam jangka waktu tertentu.

Menurut Standar Kompetensi Pendidikan Anak usia Dini (dalam Alfiana dan Anik, 2015, p. 9) indikator kerjasama sebagai berikut: “Senang bermain dengan teman (tidak bermain sendiri), dapat melaksanakan tugas kelompok, dapat memuji teman”. Sementara menurut Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (dalam Devi dan Ratna, 2017, p. 9) sebagai berikut:

1) Anak dapat bergabung dalam permainan kelompok 2) Anak dapat terlibat aktif dalam permainan kelompok 3) Anak bersedia berbagi dengan teman-temannya

4) Anak dapat mendorong anak lain untuk membantu orang lain 5) Anak merespon dengan baik bila ada yang menawarkan bantuan 6) Anak bergabung bermain dengan teman saat istirahat

7) Anak mengucapkan terimakasih apabila di bantu teman.

Menurut Yudha (dalam Alfiana dan Anik, 2015, p. 9) tujuan kerjasama adalah:

Tujuan kerjasama untuk anak usia dini yaitu untuk lebih menyiapkan anak didik dengan berbagai keterampilan baru dapat ikut berpartisipasi dalam dunia yang selalu berubah dan terus berkembang, membentuk kepribadian anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain dalam berbagai situasi sosial, mengajak anak untuk membangun pengetahuan secara aktif karena dalam pembelajaran kerjasama (kooperatif).

Pada proses perkembangan anak, tentunya terdapat banyak kendala yang dihadapi, tetapi hendaknya guru dapat mengatasi serta memahami perkembangan dan perilaku setiap anak didiknya. Salah satu perkembangan anak usia dini yang harus ditanamkan sejak dini, yaitu perkembangan sosial anak yaitu kemampuan kerjasama anak. Kerjasama pada hakikatnya mengindikasikan adanya dua pihak atau lebih yang berinteraksi atau menjalin hubungan-hubungan yang bersifat dinamis untuk mencapai suatu tujuan

(21)

bersama. Anak usia dini juga perlu adanya kerjasama dengan orang lain untuk mengoptimalkan potensi yang anak miliki.

Memahami tentang pentingnya kerjasama sejak dini, perlu penggunaan cara dan model pembelajaran yang tepat dalam pemilihan model pembelajaran kerjasama pada anak usia dini. “Model bermain kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat anak berperan aktif dan melakukan kerjasama”. Menurut Isjoni dan Ismail (2008:134) pembelajaran kooperatif artinya “mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Anak-anak akan melakukan komunikasi dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompok yang diberikan oleh guru”.

Risaldy (2014:45) mengemukakan bahwa :

Pembelajaran anak usia dini pada hakikatnya adalah pembelajaran yang berorientasi bermain (belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar), pembelajaran yang berorientasi pekembangan yang lebih banyak memberi kesempatan kepada anak untuk dapat belajar dengan cara-cara yang tepat. Pendekatan yang paling tepat adalah pembelajaran yang berpusat pada anak.

Selanjutnya menurut Sarinah dan Supriatin (2015, p. 53) “pada proses pembelajaran tersebut, guru mempunyai tugas untuk memilih model dan media pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan kepada siswa. Melalui pemilihan model yang tepat dan sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai oleh guru, diharapkan diperoleh hasil yang baik dan maksimal dalam proses pembelajaran. Model bermain kooperatif ada banyak tipe bermain salah satu tipe tersebut adalah tipe Teams Games Tournament atau TGT (untuk selanjutnya disebut TGT) atau metode kompetisi permainan kelompok. TGT dapat diterapkan, mengandung permainan dan melibatkan keaktifan siswa dan yang terpenting dilakukan secara kelompok sehingga diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

(22)

TGT merupakan model pembelajaran yang mengajak anak didik untuk belajar dalam kelompok dan guru memberikan sebuah materi yang sudah dirancang atau dipersiapkan terlebih dulu kemudian diadakan kompetisi antar kelompok melalui suatu permainan. Kegiatan pembelajaran yang dibangun melalui model ini memberikan suasana yang menyenangkan dan menuntut adanya kerjasama antar anggota tim untuk mengerjakan kegiatan yang dikompetisikan. Bentuk permainan dapat mempengaruhi kemampuan anak termasuk kemampuan untuk bekerjasama. Bermain secara kelompok yang dilakukan secara terus-menerus dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

Menurut Slavin (2009:163-164) TGT dalam pembelajaran “menggunakan turnamen akademik, menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka”. Berdasar pendapat di atas, dapat dipahami TGT metode pemelajaran yang mengandung pertandingan permainan tim, dimana siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memainkan game akademik dengan tim lain untuk menyumbangkan skor bagi tim, dan memberikan pengharagaan terhadap tim yang memperoleh skor sesuai dengan kriteria.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru kelas kelompok B yaitu ibuk Riri Anggraini, A.Md di TK Kasih Ibu Koto Bangun diperoleh informasi bahwa untuk pengembangan kemampuan kerjasama dilakukan setiap harinya melalui kegiatan membereskan mainan bersama-sama. Pada saat membereskan mainan hanya beberapa anak saja yang mau melakukannya, sehingga kemampuan kerjasama anak masih belum optimal, perlu adanya kegiatan yang berguna untuk mengembangkan kerjasama pada anak.

Berdasarkan hasil observasi yang telah peneliti lakukan pada 2 Agustus 2018 di TK Kasih Ibu Koto Bangun, diperoleh fakta bahwa terdapat 7 dari 10 anak yang kemampuan kerjasamanya masih rendah. Hal tersebut terlihat saat proses pembelajaran berlangsung pada tema tumbuhan yaitu kegiatan

(23)

montase tumbuhan dengan serbuk kelapa anak dibagi menjadi 3 kelompok, tetapi masih ada anak yang kurang bekerjasama dalam menyelesaikan kegiatan. Dari 3 kelompok masing-masing kelompok terdiri dari 3 sampai 4 orang anak dengan jumlah 10 anak, terdapat 2 kelompok yang dapat bekerjasama dan satu kelompok lainnya belum dapat berkerjasama. Seperti saat kegiatan berlangsung masih ada anak yang asyik bermain sendiri tanpa menghiraukan lingkungan sekitar, ada anak yang tidak mau bergabung dengan kelompoknya, ada yang mau bergabung tetapi tidak mau mengerjakan, ada juga yang mau mengerjakan tetapi tidak berbicara dengan anak lain. Pada saat main bersama, ada beberapa anak kurang berinteraksi dengan semua teman dalam kelompok bermainnya, hanya berinteraksi dengan teman yang disukainya saja. Metode dan alat serta media yang digunakan kurang bervariasi. Metode yang digunakan pada saat kegiatan di atas yaitu tanya jawab, diskusi, demonstrasi. Guru belum mengunakan Model pembelajaran kooperatif tipe TGT melalui kegiatan Outbound pada kegiatan pembelajaran, misalnya dalam kegiatan belajar hanya menggunakan Lembar Kerja Anak kurang menarik sebagai media pembelajaran karena hanya berupa kertas putih yang berisi gambar dan tulisan. Penggunaan Lembar Kerja Anak yang dilakukan secara berulang-ulang mengakibatkan anak kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran.

Sebagai upaya meningkatkan kemampuan kerjasama anak maka model pembelajaran TGT dikombinasikan dengan kegiatan outbound. Outbound menurut Asti (dalam Isbayani dan Ni Made 2015, p. 8) adalah “kegiatan yang menyenangkan dan penuh tantangan”. Bentuk kegiatannya berupa simulasi kehidupan melalui permainan-permainan (games) yang kreatif, rekreatif, dan edukatif, baik secara individual maupun kelompok dengan tujuan untuk pengembangan diri (personal development) maupun kelompok (team development). Menurut Dirman dan Cicih (2014:27) “Outbound melatih keterampilan kerjasama dalam tim dan melatih psikomotorik peserta didik. Kesulitan yang ada dalam setiap permainan yang ada pada outbound menuntut para peserta didik untuk bekerja sama dan

(24)

menguras kreativitasnya dalam bertindak”. Berdasarkan hal di atas, peneliti merasa bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT cocok dikombinasikan dengan kegiatan outbound dalam usaha meningkatkan kemampuan kerjasama anak.

Berdasarkan uraian di atas dan hasil observasi yang peneliti dapatkan di TK Kasih Ibu Koto Bangun, maka peneliti tertarik untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yang dikombinasikan dengan kegiatan outbound, dengan harapan dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian yang berjudul: “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Melalui Kegiatan Outbound dalam Meningkatkan Kemampuan Kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Tingkat perkembangan sosial anak usia dini masih rendah. 2. Model pembelajaran TGT.

3. Penggunaan kegiatan outbound dapat meningkatkan kerjasama.

4. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis membatasi masalah pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound dapat meningkatkan kemampuan kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah penerapan model pembelajaran

(25)

kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound dapat meningkatkan kemampuan kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun?”. E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound dapat meningkatkan kemampuan kerjasama di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

F. Manfaat dan Luaran Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan di bidang Pendidikan Anak Usia Dini usia 5-6 tahun, khususnya dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

b. Manfaat Praktis 1) Bagi Anak Didik

Penelitian ini dapat meningkatkan kemampuan kerjasama anak dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

2) Bagi Guru

Penelitian ini dapat memberikan alternatif pembelajaran yang tepat efektif dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

(26)

3) Bagi Kepala Sekolah

Sebagai masukan bagi kepala sekolah untuk memperbaiki model pembelajaran agar menjadi lebih inovatif dan menyenangkan.

4) Bagi Peneliti

Diharapkan dengan adanya penelitian ini peneliti bisa memberikan banyak pemahaman yang lebih banyak tentang perkembangan anak usia dini dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) melalui kegiatan outbound untuk meningkatkan kemampuan kerjasama anak di TK Kasih Ibu Koto Bangun.

2. Luaran Penelitian

Sebagai artikel untuk diterbitkan di jurnal atau diseminarkan dalam forum seminar.

G. Defenisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami judul ini, maka peneliti mencoba menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini sebagai berikut:

1. Pembelajaran Kooperatif Teams Games Tournament (TGT) Model pembelajaran yang dikembangkan oleh Robert Slavin dalam pembelajaran ini, siswa dibagi dalam kelompok kecil, teknik belajar ini menggabungkan kelompok belajar dengan kompetensi tim dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerja sama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebaya. Pembelajaran dengan model ini akan merangsang keaktifan siswa, sebab siswa dituntut berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2. Outbound merupakan sebuah cara untuk menggali dan mengembangkan potensi anak dalam suasana menyenangkan dan kegiatan di luar ruangan yang bersifat petualangan dan penuh tantangan sebagai proses

(27)

pembelajaran untuk menemukan potensi-potensi anak sehingga anak dapat mengenali dirinya sendiri dan melatih keterampilan kerjasama. Pada penelitian ini, outbound dikombinasikan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) yang dimasukkan dalam fase game tournament. Adapun bentuk kegiatan outbound yang dilaksanakan yaitu jalan kepiting, estafet tongkat, moving water, dan kereta balon.

3. Kemampuan Kerjasama adalah aktivitas dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama dalam jangka waktu tertentu. Pada penelitian ini kerjasama yang akan diamati akan dibuat dalam bentuk indikator-indikator kerjasama. Indikator kerjasama menurut Pusat Studi Pendidikan Anak Usia Dini Lembaga Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (dalam Devi dan Ratna 2017, p. 9) adalah sebagai berikut, anak dapat bergabung dalam permainan kelompok, anak dapat terlibat aktif dalam permainan kelompok, anak bersedia berbagi dengan teman-temannya, anak dapat mendorong anak lain untuk membantu orang lain, anak merespon dengan baik bila ada yang menawarkan bantuan, anak bergabung bermain dengan teman saat istirahat, anak mengucapkan terimakasih apabila dibantu teman.

(28)

11 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Menurut Slavin (2009:10) metode pembelajaran kooperatif menyumbang ide bahwa siswa yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggungjawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka bealajar sama baiknya. Menurut Sumantri (2015:50) pembelajaran kooperatif adalah “rangkaian kegiatan aktivitas dalam belajar yang dilakukan oleh siswa dalam bentuk kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dan diinginkan”. Selanjutnya Fadhillah menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif adalah “model pembelajaran yang bersifat kerjasama antara satu siswa dengan siswa lain” (2012:189). Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran kooperatif kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok dengan cara kerjasama untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan.

Model pembelajaran kooperatif adalah bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari empat sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen Rusman dalam (Yudiasmini dan A. Gede, 2014, p. 11). Selanjutnya Menurut Rohman dalam (Yudiasmini dan A. Gede, 2014, p. 12) bahwa pembelajaran kooperatif adalah “model pembelajaran yang menekankan pada saling ketergantungan positif antar individu siswa, adanya tanggung jawab perseorangan, tatap muka, komunikasi intensif antarsiswa, dan evaluasi proses kelompok”. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa pembelajaran kooperatif menekankan pada

(29)

perilaku yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik. Selain itu, pembelajaran kooperatif juga menekankan peserta didik untuk bekerja sama yang bertujuan untuk saling membantu satu sama lain, menghormati pendapat orang lain, dan selalu bekerja sama untuk menambah pengetahuannya.

Model pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri: (Suyanto dan Jihad, 2013:142) sebagai berikut:

1) Bertujuan untuk menuntaskan materi yang dipelajari, dengan cara siswa belajar dalam kelompok secara bersama.

2) Kelompok yang dibentuk terdiri dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan heterogen dibidang akademik seperti adanya kemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

3) Jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda, maka diupayakan agar dalam tiap kelompok terdiri dari ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda pula.

4) Mengutamakan penghargaan atas keberhasilan belajar kelompok dari pada perorangan.

Menurut Slavin (2009:10) tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu:

1) Penghargaan Untuk Tim

Pembelajaran kooperatif menggunakan tujuan-tujuan kelompok untuk memperoleh penghargaan kelompok. Penghargaan kelompok diperoleh jika kelompok mencapai skor di atas kriteria yang ditentukan. Keberhasilan kelompok didasarkan pada penampilan individu sebagai anggota kelompok dalam menciptakan hubungan antar personal yang saling mendukung, saling membantu, dan saling peduli. 2) Pertanggungjawaban Individu

Keberhasilan kelompok tergantung dari pembelajaran individu dari semua anggota kelompok. Pertanggungjawaban tersebut menitikberatkan pada aktivitas anggota kelompok yang saling membantu dalam belajar. Adanya pertanggungjawaban secara individu juga menjadikan setiap anggota siap untuk menghadapi tes dan tugas-tugas lainnya secara mandiri tanpa bantuan teman sekelompoknya.

3) Kesempatan Yang Sama Untuk Mencapai Kesuksesan

Pembelajaran kooperatif menggunakan metode skoring yang mencakup nilai perkembangan berdasarkan peningkatan prestasi yang diperoleh siswa dari yang terdahulu. Dengan menggunakan metode scoring ini setiap siswa baik yang

(30)

berprestasi rendah, sedang, atau tinggi sama-sama memperoleh kesempatan untuk berhasil dan melakukan yang terbaik bagi kelompoknya.

b. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Menurut Suyanto dan Jihad (2013:144) langkah-langkah dari pembelajaran kooperatif adalah sebagai berikut:

Tabel II.1

Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Fase

Ke-

Indikator Aktivitas/Kegiatan Guru

1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

Guru mengomunikasikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa untuk belajar dengan baik

2 Menyajikan informasi Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan

3 Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan tugas belajar secara efisien

4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas

5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya 6 Memberikan

penghargaan

Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok secara proporsional

Berdasar pendapat di atas, dapat dipahami ada 6 langkah-langkah pembelajaran kooperatif yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan informasi, mengorganisasikan siswa ke

(31)

dalam kelompok-kelompok belajar, membimbing kelompok bekerja dan belajar, evaluasi, memberikan penghargaan.

c. Tipologi Pembelajaran Kooperatif

Menurut Slavin (2009:26-28) ada enam tipologi pembelajaran kooperatif, yaitu:

1) Tujuan kelompok, bahwa kebanyakan metode pembelajaran kooperatif menggunakan beberapa bentuk tujuan kelompok. Dalam metode pembelajaran Tim Siswa, ini bisa berupa sertifikat atau rekognisi lainnya yang diberikan kepada tim yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. 2) Tanggung jawab individu, yang dilaksanakan dengan dua

cara. Pertama dengan menjumlah skor kelompok atau nilai rata-rata individu atau penilaian lainnya, seperti dalam model pembelajaran siswa. Kedua, merupakan spesialisasi tugas. Cara kedua ini siswa diberi tanggung jawab khusus untuk sebagian tugas kelompok.

3) Kesempatan sukses yang sama, yang merupakan karakteristik unik metode pembelajaran tim siswa, yakni penggunaan skor yang memastikan semua siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam timnya.

4) Kompetisi tim, sebagai sarana untuk memotivasi siswa untuk bekerja sama dengan anggota timnya.

5) Spesialisasi tugas, tugas untuk melaksanakan sub tugas terhadap masing-masing anggota kelompok.

6) Adaptasi terhadap kebutuhan kelompok, metode ini akan mempercepat langkah kelompok.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa ada 6 tipologi pembelajaran kooperatif , tujuan kelompok adalah sesuatu yang ingin diacapai oleh kelompok, tanggung jawab individu adalah tanggung jawab yang dimiliki oleh individu tersebut dalam pembelajaran kooperatif ada tanggung jawab individu memiliki dua cara, kesempatan sukses yang sama adalah semua siswa yang ikut dalam kompetisi tim mempunyai kesempatan yang sama dalam timnya, kompetisi tim adalah ada kerjasama tim dalam kompitisi tim, spesialisasi tugas adalah setiap anggota mempunyai tugasnya masing-masing, dan yang terakhir adaptasi terhadap kebutuhan kelompok

(32)

adalah di mana memahami kebutuhan kelompok sehingga mempercepat langkah kelompok.

d. Tujuan Pembelajaran Kooperatif

Menurut Slavin (2013:103) pembelajaran kooperatif adalah solusi ideal terhadap masalah menyedikan kesempatan berinterksi secarakooperatif dan tidak dangkal keapada para siswa dari latang bealakang etnik yang berbeda. Metode-metode pembelajaran kooperatif secara khusus menggunakan kekuatan dari sekolah yang mengahapuskan perbedaan kehadiran para siswa dari latar belakang ras atau etnik berbeda untuk meningkatkan hubungan antarkelompok. Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya.

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting. Menurut Depdiknas tujuan pertama pembelajaran kooperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik, dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi narasumber bagi siswa yang kurang mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan tujuan kedua, pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai berbagia perbedaan latar belajar. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku, agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran kooperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing teman untuk bertanya, mau menjelaskan idea tau pendapat, bekerja dalam kelompok dan sebagainya Taniredja (2013:60).

(33)

e. Unsur Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Roger dan Davidson dalam Sumantri (2015:52-53) mengemukakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap Cooperative Learning. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima unsur dalam model pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:

1) Saling Ketergantungan Positif

Unsur ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok. Pertama, mempelajari bahan yang ditugaskan kepada kelompok. Kedua, menjamin semua anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang ditugaskan tersebut.

2) Tanggung Jawab Perseorangan (personal responsibility) Pertanggungjawaban ini muncul jika dilakukan pengukuran terhadap keberhasilan kelompok. Tujuan pembelajaran kooperatif adalah membentuk semua kelompok menjadi pribadi yang kuat. Tanggung jawab perseorangan adalah kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar bersama, anggota kelompok harus dapat menyelesaikan tugas yang sama.

3) Interaksi Promotif (face to face promotive interaction)

Unsur ini penting karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif. Ciri-ciri interaksi promotif adalah saling membantu secara efektif dan efisien, saling memberikan informasi dan sarana yang diperlukan, memproses informasi bersama secara lebih efektif dan efisien, saling mengingatkan, saling membantu dalam merumuskan dan mengembangkan argumentasi serta meningkatkan kemampuan wawasan terhadap masalah yang dihadapi, saling percaya, dan saling memotivasi untuk memperoleh keberhasilan bersama.

4) Keterampilan Berkomunikasi Antar Anggota (interpersonal skill)

Untuk mengoordinasikan kegiatan siswa dalam pencapaian tujuan siswa harus adalah saling mengenal dan mempercayai, mampu berkomunikasi secara akurat dan tidak ambisius, saling menerima dan saling mendukung, serta mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif.

5) Pemprosesan Kelompok (group processing)

Pemprosesan mengandung arti menilai. Melalui pemrosesan kelompok dapat diidentifikasi dari urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok. Siapa di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan

(34)

siapa yang tidak membantu. Tujuan pemprosesan kelompok adalah meningkatkan efektivitas anggota dalam memberikan kontribusi terhadap kegiatan kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami ada 5 unsur pembelajaran kooperatif (cooperative learning) yang harus diterapakan. Saling ketergantungan positif yaitu adanya saling ketergantungan antara anggota kelompok, tanggung jawab perseorangan (personal responsibility) yaitu tanggung jawab perseorangan menentukan keberhasilan terhadap kelompok, interaksi promitif (face to face promitive interaction) yaitu mampu berkomukasi atau mengajukan pendapat untuk keberhasilan kelompok, keterampilan berkomunikasi antar anggota (interpersonal skill) yaitu mampu mengoordinasikan kegiatan, dan pemprosesan kelompok (group processing) yaitu menilai siapa di antara anggota kelompok yang sangat membantu dan siapa yang tidak membantu. Oleh karena itu perlu adanya 5 unsur itu dalam pembelajaran kooperatif, di mana unsur tersebut sangat penting dalam pembealajran kooperatif.

f. Manfaat Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Sadker dalam Sumantri (2015:55) menjabarkan beberapa manfaat pembelajaran kooperatif. Selain itu, meningkatkan keterampilan kognitif dan afektif siswa, pembelajaran kooperatif juga memberikan manfaat-manfaat besar lain seperti berikut ini:

1) Siswa yang diajari dengan dan dalam struktur-struktur kooperatif akan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih tinggi.

2) Siswa yang berpartisipasi dalam pembelajaran kooperatif akan memiliki sikap harga diri yang lebih tinggi dan motivasi yang lebih besar untuk belajar.

3) Dengan pembelajaran kooperatif, siswa menjadi lebih peduli pada teman-temannya, dan di antara mereka akan terbangun rasa ketergantungan yang positif (interdependensi positif) untuk proses belajar mereka nanti.

(35)

4) Pembelajaran kooperatif meningkatkan rasa penerimaan siswa terhadap teman-temannya yang berasal dari latar belakang ras dan etnik yang berbeda-beda.

Selain itu Killen dalam Suyanto dan Jihad (2013:144-145) mengemukakan beberapa manfaat penggunaan model cooperative learning, di antaranya:

1) Mengajarkan siswa untuk mengurangi ketergantungannya pada guru dan lebih percaya pada kemampuan diri mereka. 2) Mendorong siswa untuk mengungkapkan ide-ide secara

verbal.

3) Membantu siswa untuk belajar bertanggung jawab dan belajar menerima perbedaan.

4) Membantu siswa memperoleh hasil belajar yang baik, meningkatkan hubungan sosial, hubungan positif antar individu, memperbaiki keterampilan dalam mengatur waktu. 5) Memetik banyak pelajaran dari kerjasama yang di bangun. 6) Siswa akan lebih banyak belajar, menyukai sekolah,

menyukai antar sesamanya.

7) Mempertinggi kemampuan siswa untuk menggunakan informasi dan keterangan pelajaran abstrak yang kemudian dapat diubah siswa menjadi suatu keputusan yang rill.

8) Menyediakan beberapa kesempatan siswa untuk membandingkan jawaban dan mencocokkannya dengan jawaban yang benar.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami ada beberapa manfaat dari pembelajaran koopertif yaitu menghasilkan peningkatan kemampuan akademik, meningkatkan kemampuan berfikir kritis, membentuk persahabatan, menerima berbagi informasi, belajar menggunakan sopan santun, meningkatkan motivasi siswa dan belajar mengurangi tingkah laku yang kurang baik, serta membantu siswa dalam menghargai pokok pikiran orang lain.

g. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Menurut Sumantri (2015:55) kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut:

(36)

1) Di samping memerlukan banyak tenaga, pemikiran dan waktu, guru juga harus mempersiapkan pembelajaran secara matang.

2) Di butuhkan dukungan fasilitas, alat dan biaya yang memadai agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar. 3) Kecendrungan meluasnya topik permasalahan yang sedang

dibahas selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dan

4) Mengakibatkan siswa yang lain menjadi pasif karena saat diskusi kelas, terkadang di dominasi oleh seseorang saja. Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). Dari beberapa kelemahan di atas, peranan guru sangat menentukan aktivitas siswa dalam belajar kooperatif. Guru harus merancang pembelajaran menurut model atau strukur pembelajaran kooperatif untuk mengaktivitaskan semua dalam kelompok. Berkaitan dengan itu, aktivitas siswa dalam bekerjasama dapat berjalan sebagaimana mestinya apabila mempunyai prosedur yang jelas untuk dilakukan oleh anggota-anggota dalam kelompok.

2. Teams Games Tournament (TGT)

a. Pengertian Teams Games Tournament (TGT)

Model pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT), atau Pertandingan Permainan Tim dikembangkan secara asli oleh David DeVries dan Keith Edward ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Metode ini menggunakan pelajaran yang sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam STAD, tetapi menggantikan kuis dengan turnamen mingguan, dimana siswa memainkan game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi skor tim Slavin (2009:13). Menurut Slavin (2009:163-164) TGT dalam pembelajaran “menggunakan turnamen akademik, menggunakan kuis-kuis dan

(37)

sistem skor kemajuan individu, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka.

Berdasar pendapat di atas, dapat dipahami TGT metode pembelajaran yang mengandung pertandingan permainan tim, dimana siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memainkan game akademik dengan tim lain untuk menyumbangkan skor bagi tim, dan memberikan pengharagaan terhadap tim yang memperoleh skor sesuai dengan kriteria.

“Pada model ini, siswa memainkan sebuah permainan dengan anggota-anggota tim lain untuk memperoleh tambahan poin untuk skor tim mereka” (Trianto, 2009:83). Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) merupakan “salah satu pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok yang heterogen dengan melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement “(Yudiasmini dan A. Gede, 2014, p. 14). Pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) adalah proses pembelajaran yang bermakna, berdaya guna, mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan memberi penghargaan yang telah dicapai. “Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Tahun 2006 diberikan beberapa kriteria suatu pembelajaran itu akan menyenangkan jika mampu membangkitkan aktivitas, berpusat pada siswa, memanfaatkan multimedia, membangkitkan kerjasama.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami TGT merupakan model pembelajaran kooperatif yang mengajak anak didik untuk belajar dalam kelompok dan guru memberikan materi yang sudah dirancang atau dipersiapkan terlebih dahulu kemudian diadakan kompetisi antar kelompok melalui suatu permainan.

(38)

b. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Teams Games Tournament (TGT)

Menurut Sutirman (2013:34) secara lebih jelas langkah-langkah pelaksanaan TGT adalah:

1) Penyampaian Materi

Sebagaimana pada pembelajaran lainnya, pada awal pembelajaran guru hendaknya memberikan motivasi, apersepsi, dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Kemudian guru menyampaikan materi pelajaran yang sesuai dengan indikator kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa. Penyampaian materi dapat secara langsung melalui ceramah oleh guru, dapat pula dengan paket media pembelajaran audiovisual yang berisi materi yang sesuai. 2) Pembentukkan Kelompok

Setelah materi disampaikan oleh guru didepan kelas, selanjutnya dibentuk kelompok-kelompok siswa. Kelompok terdiri dari empat sampai lima orang yang bersifat heterogen dalam hal prestasi belajar, jenis kelamin, suku maupun lainnya. Setiap kelompok diberi lembar kerja atau materi dan tugas lainnya untuk didiskusikan dan dikerjakan oleh kelompok.

3) Game Turnamen

Setelah siswa belajar dan berdiskusi dalam kelompok, selanjutnya dilakukan permainan lomba (turnamen) yang bersifat akademik untuk mengukur penguasaan materi oleh siswa. Permainan yang dilakukan adalah semacam lomba cerdas cermat, dengan peserta dari setiap kelompok.

4) Penghargaan kelompok

Kelompok yang memperoleh skor tertinggi pada akhir permainan memperoleh penghargaan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami langkah-langkah model pembelajaran teams games tournament menurut Sutirman ada 5 yaitu penyampaian materi adalah dilakukan oleh guru sesuai indikator kompetensi yang harus dikuasai siswa, dan materi yang dirancang oleh guru. Pembentukan kelompok yaitu guru membagi anak menjadi kelompok-kelompok siswa. Game Turnamen siswa belajar dan berdikusi dalam kelompok, selanjutnya permainan lomba (turnamen) yang bersifat akedemik. Penghargaan kelompok yaitu guru

(39)

memberikan skor sesuai dengan kriteria terhadap kontribusinya dalam kelompok.

c. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT)

1) Kelebihan

Menurut Taniredja (2013:72-73) kelebihan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) adalah:

a) Siswa memiliki kebebasan dalam berinteraksi serta menggunakan pendapatnya dalam kelompok belajar yang telah dibentuk.

b) Rasa percaya diri siswa menjadi lebih tinggi.

c) Meminimalisir perilaku mengganggu terhadap siswa lain. d) Motivasi belajar siswa bertambah.

e) Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, toleransi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.

f) Terbentuknya interaksi belajar yang hidup dan tidak membosankan karena terbentuknya kerjasama antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.

2) Kekurangan

Adapun Kekurangan pembelajaran kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) menurut Taniredja (2013:73) adalah:

a) Tidak semua siswa ikut serta dalam menyumbangkan pendapatnya.

b) Kurangnya waktu pembelajaran, dan

c) Kemungkinan besar terjadinya kegaduhan di dalam kelas kalau guru tidak dapat mengelola kelas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa setiap model pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan kelebihan yang terdapat pada model TGT ini dapat tercapai, namun kekurangannya masih belum dapat diatasi dari penggunaan waktu selama proses pembelajaran.

(40)

3. Outbound

a. Pengertian Outbound

Pendidikan melalui kegiatan alam terbuka mulai dilakukan tahun 1821 disaat didirikannya Round Hill School. Secara sistematik pendidikan melalui kegiatan outbound dimulai tahun 1941 di Inggris. Lembaga pendidikan Outbound pertama dibangun oleh seorang pendidik berkebangsaan Jerman bernama Kurt Hahn dan bekerja sama dengan pedagang Inggris, Lawrence Holt. Pendidikan berdasarkan petualangan (adventure based education) tersebut dilakukan dengan menggunakan kapal layar kecil dengan tim penyelamat untuk mendidik para pemuda di zaman perang. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan kaum muda bahwa tindakan mereka membawa konsekuensi dan menumbuhkan rasa kebersamaan dan kasih sayang diantara mereka dalam (Rocmah, 2012, p. 27).

Outbound menurut Asti (dalam Isbayani dan Ni Made, 2015, p. 8) adalah “kegiatan yang menyenangkan dan penuh tantangan”. Bentuk kegiatannya berupa simulasi kehidupan melalui permainan-permainan (games) yang kreatif, rekreatif, dan edukatif, baik secara individual maupun kelompok dengan tujuan untuk pengembangan diri (personal development) maupun kelompok (team development). Menurut Dirman dan Cicih (2014:27) “Outbond melatih keterampilan kerjasama dalam tim dan melatih psikomotorik peserta didik. Kesulitan yang ada dalam setiap permainan yang ada pada outbond menuntut para peserta didik untuk bekerja sama dan menguras kreativitasnya dalam bertindak”.

Hahn (dalam Rocmah, 2012, p. 28) mengembangkan “ide-ide progresifnya, pertama sebagai pendiri Sekolah Salem di Jerman dan kemudian di Gordonston, sekolah yang menumpang di Skotlandia, tetapi kemudian menjadi sekolah pertama yang berbeda dan paling inovatif. Hahn percaya bahwa pendidikan seharusnya menjadi “kompas” untuk mengarahkan intelektualitas dan karakter seseorang.

(41)

Dalam pengembangannya di sekolah Outwardbound, ia menggunakan konsep experential learning agar pengalaman yang dialami lebih nyata dan kuat untuk menggali harga diri (self esteem), menemukan potensi-potensi dan rasa tanggung jawab”.

Konsep pendidikan di alam terbuka kemudian berkembang sejak tahun 1970-an diseluruh dunia termasuk Indonesia. Banyak lembaga pendidikan yang menerapkan outbound dalam proses pengajarannya. Penggunaannya mulai memberikan kontribusi positif terhadap kesuksesan belajar. Berdasarkan sejarah yang telah dikemukakan, outbound adalah sebuah cara untuk menggali diri sendiri, dalam suasana menyenangkan dan tempat penuh tantangan yang dapat menggali dan mengembangkan potensi, meninggalkan masa lalu, berada di masa sekarang dan siap menghadapi masa depan, menyelesaikan tantangan, tugas-tugas yang tidak umum, menantang batas pengamatan seseorang, membuat pemahaman terhadap diri sendiri tentang kemampuan yang dimiliki melebihi dari yang dikira. Kegiatan outbound memberikan tantangan dalam kegiatannya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan seorang anak untuk masa depannya.

Outbound adalah sebuah petualangan yang berisi tantangan, bertemu dengan sesuatu yang tidak diketahui tetapi penting untuk dipelajari, belajar tentang diri sendiri, tentang lainnya dan semua tentang potensi diri sendiri. Anak dapat belajar mengenali kemampuannya serta kelemahannya sendiri melalui kegiatan outbound (Rocmah, 2012, p. 30).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa outbound adalah kegiatan di luar ruangan yang bersifat petualangan dan penuh tantangan sebagai proses pembelajaran untuk menemukan potensi-potensi anak sehingga anak dapat mengenali dirinya sendiri maupun kelompok.

(42)

b. Manfaat Outbound

Menurut Susanta (dalam Isbayani dan Ni Made, 2015, p. 13) manfaat outbound yaitu:

1) Melatih ketahanan mental dan pengendalian diri. 2) Menumbuhkan empati.

3) Melahirkan semangat kompetisi yang sehat. 4) Meningkatkan jiwa kepemimpinan.

5) Melihat kelemahan orang lain bukan sebagai kendala.

6) Meningkatkan kemampuan mengambil keputusan dalam situasi sulit secara cepat dan akurat.

7) Membangun rasa percaya diri.

8) Meningkatkan rasa kebutuhan akan pentingnya kerja tim untuk mencapai sasaran secara optimal.

9) Dapat menghilangkan jarak antara teman baru dan teman lama dan mempererat kekompakan antara teman.

10) Sikap pantang menyerah dan menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri peserta.

11) Mengasah kemampuan bersosialisasi.

12) Meningkatkan kemampuan mengenal diri dan orang lain. Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami manfaat outbound dapat meningkatkan kemampuan kerjasama, karena dalam manfaat outbound adanya kerjasama tim. Sehingga terjalin hubungan kelompok individu dengan individu yang lain.

c. Tujuan dan Karakteristik Outbound 1) Tujuan Outbound

Kegiatan outbound sangat berguna bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia dari segi mental maupun fisik baik bagi karyawan perusahaan, professional, maupun pelajar. “Tujuan outbound adalah menggali dan meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh anak melalui berbagai permainan yang ada yang dibuat menantang melalui media alam” (Rocmah, 2012, p. 33).

Pada outbound, anak dituntut untuk belajar mandiri dalam arti luas mulai dari mengatasi rasa takut, ketergantungan pada orang lain, belajar memimpin, mau mendengarkan orang lain, mau dipimpin dan belajar percaya diri. Menurut Steven Habit (dalam

(43)

Rocmah, 2012, p. 34) mengatakan “ada tujuh keterampilan untuk hidup, yakni leadership life skill, learn to how, self confident, self awareness, skill communication, management skill and team work. Kegiatan kreativitas itu dilakukan melalui proses pengamatan, interprestasi, rekayasa dan eksperimen yang dilakukan berdasarkan learning by doing yang berarti anak akan lebih banyak memiliki kesempatan untuk menggali kemampuan dirinya sendiri dengan mengalami sendiri/discovery learning sehingga anak mendapatkan pengalaman untuk pembelajaran dirinya sendiri.

Outbound adalah suatu program pembelajaran di alam terbuka yang berdasarkan pada prinsip experiential learning (belajar melalui pengalaman langsung) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi. Artinya dalam program outbound tersebut siswa secara aktif dilibatkan dalam seluruh kegiatan yang dilakukan. Dengan langsung terlibat pada aktivitas (learning by doing) siswa akan segera mendapat umpan balik tentang dampak dari kegiatan yang dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengembangan diri setiap siswa dimasa mendatang (Rocmah, 2012, p. 35).

Outbound juga dikenal dengan sebutan media outbondactivities. Outbound merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru di sekolah. Dengan konsep interaksi antar siswa dan alam melalui kegiatan simulasi di alam terbuka. Hal tersebut diyakini dapat memberikan suasana yang kondusif untuk membentuk sikap, cara berfikir serta persepsi yang kreatif dan positif dari setiap siswa guna membentuk jiwa kepemimpinan, kebersamaan/teamwork, keterbukaan, toleransi dan kepekaan yang mendalam, yang pada harapannya akan mampu memberikan semangat, inisiatif, dan pola pemberdayaan baru dalam suatu sekolah.

Melalui simulasi outdoor activities ini, siswa juga akan mampu mengembangkan potensi diri, baik secara individu

(44)

(personal development) maupun dalam kelompok (team development) dengan melakukan interaksi dalam bentuk komunikasi yang efektif, manajemen konflik, kompetisi, kepemimpinan, manajemen resiko, dan pengambilan keputusan serta inisiatif.

Tujuan outbound menurut Adrianus dan Yufiartiantara (dalam Rocmah, 2012, p. 39) sebagai berikut :

a) Mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan siswa. b) Berekspresi sesuai dengan caranya sendiri yang masih

dapat diterima lingkungan.

c) Mengetahui dan memahami perasaan, pendapat orang lain dan memahami perbedaan.

d) Membangkitkan semangat dan motivasi untuk terus terlibat dalam kegiatan- kegiatan.

e) Lebih mandiri dan bertindak sesuai keinginan

f) Lebih empati dan sensitive dengan perasaan orang lain g) Mampu berkomunikasi dengan baik.

h) Mengetahui cara belajar yang efektif dan kreatif. i) Memberikan pemahaman terhadap sesuatu tentang

pentingnya karakter yang baik.

j) Menanamkan nilai- nilai positif sehingga terbentuk karakter siswa melalui berbagai contoh nyata dalam pengalaman hidup.

k) Membangun kualitas hidup siswa yang berkarakter. l) Menerapkan dan memberi contoh karakter yang baik

kepada lingkungan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami tujuan outbound dapat memberikan suasana yang kondusif untuk membentuk sikap, cara berfikir serta persepsi yang kreatif dan positif dari setiap siswa guna membentuk jiwa kepemimpinan, kebersamaan/teamwork, keterbukaan, toleransi dan kepekaan yang mendalam, yang pada harapannya akan mampu memberikan semangat, inisiatif, dan pola pemberdayaan baru dalam suatu sekolah.

(45)

2) Karakteristik Outbound

Kegiatan outbound merupakan kegiatan belajar sambil bermain atau sebaliknya. Menurut Vygotsky (dalam Rocmah, 2012, p. 40) “bermain mempunyai peran langsung terhadap perkembangan kongnisi seorang anak dan berperan penting dalam perkembangan sosial dan emosi anak”. Menurut Heterington & Parke mengatakan bahwa bermain juga berfungsi untuk mempermudah perkembangan kognitif anak. Belajar sambil bermain akan memungkinkan anak meneliti lingkungan, mempelajari segala sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. “Bermain juga meningkatkan perkembangan sosial anak serta untuk memahami peran orang lain dan menghayati peran yang akan diambilnya setelah ia dewasa kelak” Moeslichatoen (2004:34). Sejalan dengan Heterington & Parke di atas, Dworetzky (dalam Moeslichatoen, 2004:34) mengemukakan “bahwa fungsi bermain dan interaksi dalam permainan mempunyai peran penting bagi perkembangan kognitif dan sosial anak”.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dipahami bahwa manfaat bermain tidak saja dapat meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial, tetapi juga perkembangan bahasa, disiplin, perkembangan moral, kreativitas, dan perkembangan fisik siswa. David Kolb (dalam Rocmah 2012, p. 42 ) menggambarkan proses pembelajaran experential learning dalam outbound dengan siklus sebagai berikut:

(46)

Sumber: Uwes A. Chaeruman,http://fakultasluarkampus.net Mengacu pada gambar di atas, pada dasarnya pembelajaran eksperiensial ini sederhana dimulai dengan melakukan (do), refleksikan (refelct) dan kemudian terapkan (apply). Jika dielaborasi lagi maka akan terdiri dari lima langkah, yaitu mulai dari proses mengalami (experience), bagi (share), “dirasa-rasa” atau analisis pengalaman tersebut (proccess), ambil hikmah atau simpulkan (generalize), dan terapkan (apply). Begitu seterusnya kembali ke fase pertama, alami. Siklus ini sebenarnya never ending. Uwes menjabarkan deskripsi siklus dalam (Rocmah, 2012, p. 43) sebagai berikut:

a) Langkah 1: Experience

Apa yang dimaksud dengan experience? Biarkan peserta didik kita mengalami dengan melakukan hal tertentu (perform and do it!). Dalam kasus ini adalah melakukan trik service yg mengecoh lawan tersebut. Sebagai langkah awal, peserta didik diberikan serve yg mengecoh tersebut oleh kita. Biar dia merasakan/mengalami kesulitan dalam menerima serve tersebut. Kemudian, ia diminta untuk melakukan hal yang sama, memberikan serve dan teman yang lain menjadi penerima serve. Proses ini, dilakukan selama jangka waktu tertentu.

(47)

b) Langkah 2: Share (berbagi rasa/pengalaman)

Setelah semua peserta didik mencoba melakukan trik serve tersebut secara bergantian. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan proses sharing alias berbagi rasa. Semua peserta didik diminta untuk mengemukakan apa yang dia rasakan baik dari sisi “timing” serve, teknik melempar bola, memukul bola, posisi bola, posisi tangan, posisi berdiri dan lain-lain. Semua hal tersebut diungkapkan secara terbuka, rileks, dengan gaya masing-masing.

c) Langkah 3: Process (analisis pengalaman)

Tahap ini adalah tindak lanjut dari tahap kedua yaitu proses menganalisis berbagai hal terkait dengan apa, mengapa, bagaimana trik serve tersebut dilakukan termasuk bagaimana mengatasinya. Hal ini dilakukan dengan cara diskusi terbuka dan demonstrasi. Bila perlu rekan yang satu dengan yang lain saling mengoreksi dan memberikan masukan, termasuk mendemonstrasikan cara yang menurutnya lebih baik. Instruktur/guru bisa ikut serta meluruskan cara yang lebih tepat.

d) Langkah 4: Generalize (menghubungkan pengalaman dengan situasi senyatanya)

Langkah selanjutnya adalah menyimpulkan hasil analisis tersebut. Kesimpulan bersama, mungkin telah dihasilkan secara teoretis dari hasil analisis diatas. Namun, belum tentu hal tersebut dapat menyatu atau terintegrasi secara utuh dalam praktek senyatanya. Oleh karena itu, untuk pembuktian generalisasi dari hasil tersebut perlu dilakukan dengan pengulangan penerapan dalam situasi yang nyata. Maka, triks tersebut dicobakan kembali, sebelum beranjak ke triks yang sama tapi levelnya lebih tinggi lagi (lihat langkah 5)

e) Langkah 5: Apply (penerapan terhadap situasi yang serupa atau level lebih tinggi)

Langkah terakhir, adalah sama dengan langkah 4, namun dalam hal ini level penguasaan ditingkatkan ke hal baru yang lebih tinggi. Hal baru ini, akan menjadi bahan menuju langkah experiential learning ini mulai dari tahap experience-share-process-generalize-apply dan kembali lagi ke siklus awal. Begitu seterusnya.

Sementara Oemar Hamalik (dalam Rocmah, 2012, p. 44) mengungkapkan karakteristik tahapan model pembelajaran outbound adalah sebagai berikut :

(48)

a) Guru merumuskan dengan teliti pengalaman belajar yang direncanakan untuk memperoleh hasil yang potensial atau memiliki alternative hasil.

b) Guru berusaha menyajikan pengalaman yang bersifat lebih menantang dan memotivasi.

c) Siswa dapat bekerja individual tetapi lebih sering bekerja dalam kelompok kecil.

d) Para siswa ditempatkan dalam situasi-situasi pemecahan masalah nyata.

e) Para siswa berperan aktif dalam pembentukan pengalaman membuat keputusan sendiri dan memikul konsekuensi atas keputusan tersebut.

“Outbound memiliki beberapa jenis kegiatan antara lain melalui tutorial, high impact (kegiatan yang membutuhkan sarana pada ketinggian, misal flying fox, elvis brigde dll), low impact (kegiatan yang dilakukan tanpa sarana di ketinggian), training dan berbagai jenis games/permainan yang didesain khusus untuk pencapaian tujuan yang diharapkan. Outbound untuk anak usia dini sebatas pada jenis kegiatan high impact sederhana (ketinggian disesuai usia dan tinggi anak), low impact, dan games dimana ketiganya dapat dimodifikasi menjadi sebuah permainan yang menarik bagi anak” (Rocmah, 2012, p. 45).

d. Prosedur Kerja Outbound 1) Tahap persiapan:

a) Guru menentukan bentuk kegiatan/materi yang akan dilaksanakan

b) Guru menentukan waktu pelaksanaan (di jam pelajaran/di luar jam pelajaran) dan tempat (tempat-tempat mana saja yang akan digunakan dalam pelaksanaan)

c) Guru mempersiapkan peralatan yang akan digunakan 2) Tahap pelaksanaan:

a) Guru membagi anak dalam kelompok

b) Guru menjelaskan tentang tugas dan aturan main 3) Tahap pengakhiran:

a) Laporan dari masing-masing kelompok

b) Refleksi, mereview seluruh kegiatan dari setiap siswa (Rocmah, 2012, p. 46)

Gambar

Tabel II.1
Tabel III.2  Populasi Penelitian
Tabel III.3  Sampel Peneltian   NO  Kode Anak  1.  AA  2.  FA  3.  HJ  4.  HF  5.  IF  6
Tabel III.4
+7

Referensi

Dokumen terkait

though the crime occurred when they were in a dreamlike state... • Once the initial shock of the crime has worn off, victims may experience other emotions such as anger,

(1) Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka penyelenggara

[r]

4.1.4 Hasil Pengujian Pengaruh Inputan Jenis Batik yang Salah terhadap Klasifikasi Motif Batik Pada pengujian sebelumnya di dapatkan parameter terbaik pada saat level

Abstrak – Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh PBL, RQA, PBLRQA, dan pembelajaran konvensional terhadap retensi mahasiswa berkemampuan akademik berbeda

Satpam Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) masih menggunakan absensi dengan sistem tanda tangan yang dibuat manual dan data yang berkaitan juga menggunakan

[r]

Eksperimen Metode Asistensi Untuk Meningkatkan Kualitas Gambar Mata Diklat Mengatur Tata Letak Gambar Manual Dan Layout Di Smk Negeri 6 Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia