• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN IN FORMAL DAN NON FORMAL Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN IN FORMAL DAN NON FORMAL Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

ISSN : 2085-9368

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI

MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN (Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok)

Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN IN FORMAL DAN NON FORMAL

Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

MENGEMAS SENI TRADISIONAL NTB UNTUK MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL

Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG)

I Wayan Sudiadnyana, S.Pd (Pamong Belajar SKB Klungkung)

(2)

ISSN : 2085-9368

Pengarah

Rony Gunarso, M.M.Pd.

Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab

Khairuddin, SH. Redaktur Pelaksana Ahmad Bawazir, SH. Haryanto, M.Pd Dr. Kadri, M.Si Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam H. Abdul Muis

Desain Grafis dan Fotografi

Doni Erfan Rieza Bayu Putra, ST

Sekretariat

Dewi Amalia, ST, MM Ahmad Hari Tamrin Indah Septia Perdana, SE

Pengarah

Rony Gunarso, M.M.Pd.

Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab

Khairuddin, SH. Redaktur Pelaksana Ahmad Bawazir, SH. Haryanto, M.Pd Dr. Kadri, M.Si Penyunting/Editor H. Rusli Nursalam H. Abdul Muis

Desain Grafis dan Fotografi

Doni Erfan Rieza Bayu Putra, ST

Sekretariat

Dewi Amalia, ST, MM Ahmad Hari Tamrin Indah Septia Perdana, SE

Alamat Redaksi

Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871 Kode Pos 83116 Mataram,

Alamat Redaksi

Jln. Gajah Mada No.173 Telp./Fax. (0370) 620870/620871 Kode Pos 83116 Mataram,

Edisi 7

(3)

PENGANTAR

Suatu kebahagiaan tak ternilai bagi seluruh tim jurnal Aksa Sriti ketika telah merampungkan seluruh proses penerbitan jurnal ini, mulai dari upaya permintaan tulisan, pengeditan, penerbitan, hingga pendistribusian jurnal ini sehingga sampai di tangan pembaca. Kebahagian itu cukup beralasan di tengah kesibukan para kru jurnal menyelesaikan beragam tugas lainnya. Ternyata kami masih bisa mempertahankan eksistensi jurnal yang telah dirintis lebih dari tiga tahun silam ini.

Sebagai wujud konsistensi pengelola jurnal untuk mempertahankan karakter jurnal Aksa Sriti sebagai jurnal berhaluan Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal (PAUDNI), kami sedapat mungkin berikhtiar maksimal untuk memuat seluruh tulisan yang terkait dengan bidang PAUDNI dengan beragam variasi tema di dalamnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini antara lain merupakan hasil penelitian dan pengkajian yang dilakukan oleh pamong belajar yang ada di wilayah BPPNFI Regional VII, seperti tulisan I Wayan Sudiadayana dari SKB Klungkung tentang “Pelatihan Pendidikan PAUD dengan Pendekatan Kontekstual” dengan setting kasus di SKB nya sendiri.

Tulisan Dr. Safuri, M.Pd, tentang hasil pengamatannya tentang praktek pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan program pembelajaran, juga telah memberi warna pendidikan nonformal dan informal dari isi jurnal ini. Masih terkait dengan bidang PAUDNI, dua dari empat tulisan dalam jurnal ini mengupas eksistensi dan peran kesenian tradisional dalam pendidikan nonformal dan informal. Hal ini secara eksplisit diuraikan oleh Anak Agung Ngurah Sumatri dalam tulisannya berjudul “Wayang sebagai media pendidikan informal dan nonformal” dan dalam tulisan tentang “Optimalisasi peran kesenian tradisonal NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial” dari Dr. Kadri, M.Si.

Jurnal ini telah memadukan antara ulasan hasil studi atau pengembangan dengan pokok-pokok pikiran (artikel populer) terkait dengan pengembangan PAUDNI ke depan, baik dari pamong maupun dari kalangan akademisi, dengan harapan semoga menjadi catatan berharga bagi setiap pembaca sehingga komitmen untuk terus mengembangkan PAUDNI makin terus terjaga dan selalu ditingkatkan. Selamat membaca...

Mataram, Juni 2011

Pimpinan Redaksi/Penanggungjawab

(4)

J u r n a l A k s a S r i t i

Edisi 7

DAFTAR ISI

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI

MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN (Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok) hal 1 - 11 Dr. Safuri, M.Pd (Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN

IN FORMAL DAN NON FORMAL hal 12- 26

Anak Agung Ngurah Sumantri (Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN

PENDIDIKAN SOSIAL hal 27 - 35

Dr. Kadri, M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Regional VII Mataram)

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (STUDI DI UPT SKB KLUNGKUNG) hal 36 - 50

(5)

PEMBERDAYAAN PEREMPUAN TANI

MELALUI PEGUATAN JARINGAN PEMBELAJARAN (Studi Kasus pada KSU Annisa Lombok)

Oleh

Dr. Safuri, M.Pd

(Dosen STKIP Siliwangi Bandung)

Abstrak : Kondisi factual Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia pada umumnya adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong terbelakang dan rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara ekonomi pendidikan, politik, budaya maupun sosial.

Melalui Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan dukungan UNESCO sejak Oktober 1999 yang telah melakukan upaya pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat. Sebagai lokasi kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa Gegerung dan di dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung. Kriteria penempatan program perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat pendapatannya rendah, (3) belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan sosial budayanya dan (5) tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi kegiatan usaha ekonomi produktif.

Melalui program ini telah dirasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar, antara lain mulai berani mengunjungi sarana kesahatan, dapat memahami pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta lingkungan sekitarnya, memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga, walaupun demikian perempuan tani masih merasakan kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkannya.

Kata kunci : perempuan, pemberdayaan, jaringan, pembelajaran,

Pendahuluan

Perempuan tani di Nusa Tenggara Barat dan di Indonesia pada umumnya adalah suatu kelompok masyarakat yang selama ini masih tergolong terbelakang dan rentan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan, baik secara ekonomi, pendidikan, politik, budaya maupun sosial. Mencermati kondisi faktual tersebut salah satu lembaga swadaya masyarakat yaitu Koperasi Serba Usaha (KSU) Annisa dengan dukungan UNESCO sejak Oktober 1999 telah melakukan upaya pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran yang ada di masyarakat.

(6)

Sebagai lokasi kegiatan program ini dilaksanakan di dusun Ketapang Orong desa Gegerung dan di dusun Montong Tangar desa Batu Kumbung.

Tulisan ini merupakan hasil survey yang pernah dilakukan penulis untuk memperoleh informasi secara komprehensif mengenai perkembangan dan dampak program pemberdayaan perempuan tani melalui penguatan jaringan pembelajaran yang dilaksanakan KSU ANNISA.

Gambaran Umum Lokasi Survey

KSU adalah sebuah Koperasi perempuan yang beranggotakan perempuan golongan ekonomi menengah kebawah yang memiliki kegiatan usaha produktif maupun yang ingin melakukan usaha produktif yang berlandaskan kesetaraan dan kesejajaran gender untuk memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka memerangi kemiskinan di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

KSU Annisa dirintis tahun 1984, saat itu terdapat tiga kelompok swadaya masyarakat (KSM) yang terdiri dari 53 orang perempuan yang berada di kelurahan Karang Baru kec Mataran Kota Mataram. Kelompok ini keberadaannya cukup diminati, pada saat dilakukan survey anggotanya 325 orang yang tergabung kedalam 18 kelompok dan tersebar pada 3 kecamatan (Ampenan, Mataram, dan Cakranegara). KSU Annisa menjadi badan hukum sejak 18 Maret 1989 (Badan Hukum No.790a/BH/XXII).

Jumlah anggota KSU Annisa tidak kurang dari 1.500 orang, yang tergabung dalam 100 kelompok dan diantaranya termasuk 31 kelompok Pendidikan Fungsional yang tersebar di 15 Desa yang meliputi 9 Kecamatan. Selain itu KSU Annisa juga telah mendampingi 13 kelompok belajar pendidikan Fungsional dan 4 kelompok pra koperasi dan 1 koperasi binaan Plan International pada 4 desa di Lombok Timur, serta menghubungkan 242 kelompok lainnya dengan 7 BPR yang ada di Kota Mataram, Lombok Barat dan Lombok Tengah. Adapun jumlah asset yang dikelola berasal dari modal sendiri maupun dari simpanan anggota.

Visi yang diusung KSU Annisa adalah tercapainya kesetaraan dan kesejahteraan hidup bagi penduduk wanita miskin di NTB. Adapun misinya adalah: 1) Membentuk sebuah Koperasi Wanita yang kuat, mandiri dan berlandaskan pada

kesetaraan dan kesejajaran gender di Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat. 2) Menumbuhkan dan mengkritisi kesadaran masyarakat tentang manfaat dan

pentingnya keberadaan Koperasi sebagai wadah pengembangan ekonomi yang memperhatikan nilai-nilai keterbukaan, demokrasi dan rasa saling tolong menolong.

3) Memfasilitasi beberapa koperasi dan LSM yang ada di NTB agar pengembangan ekonomi yang dilakukan berperspektif gender dan pengembangan program yang terintegrasi.

(7)

Bidang kegiatan KSU Annisa mencakup: (a) usaha (simpan pinjam dan perdagangan), (b) pengembangan masyarakat (pendidikan, latihan pendampingan, konsultasi usaha, study banding, magang dan dialog terbuka), (c) mendampingi kelompok binaan LSM lainnya dalam pengembangan koperasi dan pendidikan fungsional dan (d) advokasi melalui kerjasama dengan LSM-LSM lain dan pihak lainnya yang terkait.

Kerjasama yang telah dilakukan KSU Annisa dalam mengembangkan programnya antara lain adalah dengan AWID Forum (1996), YASPPUK (1997), ALTRABAKU (1996), APIK (1996), KOALISI PEREMPUAN (1998), INKOWAN (1995), UNESCO (1999), Diknas, BPKB dan SKB. Aktivitas usaha anggota KSU Annisa tergolong pada kegiatan pertanian, perdagangan dan jasa. Misalnya agribisnis, peternakan, perikanan, warung makan, sayuran, bakso, kios, perbengkelan dan jasa jahit.

Program pemberdayaan perempuan tani yang dilaksanakan KSU ANNISA kerjasama dengan UNESCO dilaksanakan di desa Batu Kumbung dan Gegerung Kecamatan Lingsar. Berikut ini dipaparkan profil kedua desa lokasi program.

1) Desa Batu Kumbung

Desa Batu Kumbung memiliki tujuh dusun, sedangkan yang dijadikan lokasi program adalah dusun Montong Tangar, tepatnya di Sesaot dan Pekarangan. Jumlah penduduk Desa Batu Kumbung adalah 6036 orang, yang terdiri dari laki-laki 2904 orang dan perempuan 3132 orang. Tingkat pendidikan penduduk desa dapat digambarkan sebagai berikut. Pada saat dilakukan survey penduduk yang belum sekolah 785 orang, usia 7-45 tahun tidak pernah sekolah 1126 orang, tidak tamat SD 890 orang, tamat SD 2190 orang, tamat SLTP 97, tamat SLTA 421 orang dan PT 29 orang. Mata pencaharian pokok penduduk adalah sebagai petani 3226 orang, buruh tani 3478 orang, peternak 2716 orang, pengrajin 70 orang, pedagang 46 orang. Data ini masih perlu dilacak lebih lanjut karena data yang diperoleh tim diperoleh dari data sekunder.

Hasil pertanian dari desa Batu Kumbung yang berupa buah-buahan misalnya rambutan, manggis dan pisang. Perkebunan tembakau juga terdapat di desa ini dengan luas 3,5 ha yang memproduksi 10 ton/ha atau 35 ton dari luas lahan yang ada. Sedangkan peternakan yang ada terdiri dari: sapi 973 ekor, babi 90 ekor, ayam 3860 ekor, kuda 19 ekor, dan kambing 80 ekor. Lahan perikanan yang ada kurang lebih 75 ha dengan rata-rata produksi 1 ton/ha. Jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan mujair, lele dan karper.

Potensi alam lain yang terdapat di desa adalah pasir dan batu apung. Sementara itu potensi air diperoleh dari air irigasi 4,30 M2/detik, mata air 2,10

(8)

KK), sumur pompa 20 unit (136 KK), hidran umum17 unit (513 KK), pipa 2 unit (533 KK) dan sungai 5 unit (130 KK), dan sungai 5 aliran.

2) Desa Gegerung

Jumlah penduduk Gegerung adalah 4221 orang dengan 1159 kepala keluarga. Jumlah penduduk laki-laki adalah 2020 orang dan perempuan 2201 orang. Pada saat awal diluncurkan program pemberdayaan perempuan tani ini tidak ada satupun dari penduduk desa yang pernah mengenyam pendidikan pada tingkat perguruan tinggi. Sementara yang tamat SLTA berjumlah 1 (satu) orang dan SLTP 10 (sepuluh) orang dan tamat SD berjumlah 200 orang dan sisanya yang hampir mendekati 500 (lima ratus) jiwa perempuan dan laki-laki dewasa adalah tidak tamat SD dan tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Sebagian besar dari mereka adalah kaum perempuan . Fakta ini menunjukkan bahwa di dusun Ketapang Orong kaum laki-laki jauh mendapat prioritas dalam hal pendidikan dibandingkan perempuan. Pada sisi lain tergambar juga betapa rendahnya perhatian para orang tua terhadap masalah-masalah pendidikan putra-putri mereka.

Mata pencaharian sebagian besar penduduk di dusun ini adalah sebagai petani dimana ada 56 orang adalah petani yang memiliki lahan sendiri, 21 orang petani penggarap, 53 orang buruh tani, 15 orang peternak, 50 orang pengrajin, 19 orang pedagang dan 10 orang tukang dengan rata-rata pendapatan per hari berkisar antara Rp. 3.000,- hingga Rp. 5.000,-.

Kondisi masyarakat yang demikian terbelakang diperparah lagi dengan tidak adanya sumber air bersih. Masyarakat kebanyakan menggantungkan kebutuhan akan air untuk kebutuhan MCK (Mandi Cuci Kakus) mereka dari 3 (tiga) kali yang melintasi dusun ini, didusun ini hanya ada 11 buah WC atau jamban pribadi. Karena dusun Ketapang Orong ini berada pada daerah dataran tinggi maka masyarakat mendapat kesulitan untuk membangun sumur galian untuk mendapatkan air bersih. Dusun ini hanya memiliki 3 (tiga) buah sumur galian. Pada beberapa waktu yang lalu masyarakat dusun memiliki pipa air yang dialirkan dari sumber 3 (tiga) mata air yang berada di dalam hutan ditempat yang lebih tinggi namun karena musim hujan yang datang beberapa bulan terakhir membuat beberapa pipa yang dibangun masyarakat menjadi tersumbat dan ada beberapa saluran pipa yang putus.

Masyarakat di dusun Ketapang Orong masih terpola pada nilai-nilai patrilineal (patriakhat) yang kental dimana laki-laki lebih memainkan peran dalam hubungan antara keluarga dengan kelembagaan masyarakat yang ada ini menyebabkan rendahnya peran perempuan dalam hal keterlibatan mereka pada organisasi masyarakat yang ada. Perempuan lebih banyak terlibat dalam urusan domestik rumah tangga dan hanya keluar sesekali waktu pada kegiatan posyandu. Didusun ini hampir tidak ditemukan adanya kelompok-kelompok atau organisasi

(9)

perempan walaupun hanya untuk sekedar arisan. Hal yang sangat memperihatinkan di dusun ini adalah masih tingginya angka perceraian dan angka perkawinan pada usia muda. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap rendahnya perhatian para orang tua terhadap anak-anak mereka.

Dari beberapa sisi keterbelakangan di atas, ada beberapa catatan yang menggembirakan khususnya pada tatanan nilai sosial, ekonomi dan budaya yang masih kuat di pertahankan oleh masyarakat di dusun. Hal ini dapat dikatakan sebagai kearifan-kearifan lokal, diantaranya ngadas, besiru, banjar dan nyakapang.

Ngadas adalah sebuah sistem bagi hasil yang khususnya ditujukan pada usaha-usaha peternakan. Sistem bagi hasil dialamatkan kepada sang pemilik dan individu yang menawarkan diri untuk memelihara ternak seperti sapi dan kambing.

Besiru adalah suatu bentuk kerjasama yang memiliki lingkup yang lebih luas yaitu suatu upaya saling bantu antara satu individu dengan individu lainnya dengan menggunakan patokan waktu sebagai standar pembayaran atas bantuan tenaga yang sebelumnya diberikan oleh individu lainnya. Begae/bederep adalah suatu bentuk pengupahan atas suatu jasa atau tenaga yang diberikan oleh individu dengan memberikan sejumlah tertentu dari hasil panen yang telah dilakukan misalnya untuk panen kelapa para pemanjat kelapa mendapat porsi tertentu dari jumlah hasil kelapa panjatan yang mereka lakukan. Banjar adalah bentuk kekerabatan yang masih kuat di dusun ini khususnya pada saat masyarakat mengadakan acara-acara tertentu atau menghadapi kematian, perkawinan, dan acara-acara keagamaan lainnya. Nyakapang

adalah bentuk kerjasama antara petani pemilik lahan dengan petani penggarap lahan dengan kontribusi masing-masing dan adanya kesepakatan dimuka yang dibuat untuk sistem bagi hasil atas suatu usaha pengolahan lahan untuk jangka waktu tertentu.

Semua bentuk kearifan-kearifan lokal tidak selalu dilihat dari segi ekonomi walaupun sesungguhnya kental sebagai usaha ekonomi, tetapi lebih kental sebagai kegiatan usaha yang disemangati kekeluargaan. Pada kenyataannya ternyata sistem ini sangat kuat dalam membangun kekerabatan dan keakraban antara satu individu dengan individu yang lain. Pada sisi sosial budaya masyarakat di dusun ini memiliki khasanah cerita-cerita dan lagu-lagu rakyat yang sering di dendangkan manakala menemani anak-anak mereka tidur. Ini adalah suatu kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Potensi alam yang ada di desa adalah lahan yang diperuntukan untuk pekarangan seluas 166,180 ha, perkebunan 13,00 ha, persawahan seluas 82,06 ha, ladang atau tegalan seluas 8,00 ha, hutan seluas 18,00 ha dan lahan untuk keperluan yang lain-lainnya seluas 11,95 ha.

(10)

Program Pemberdayaan Perempuan Tani

Program pemberdayaan perempuan tani melalui penguataan jaringan pembelajaran di Desa Gegerung dan Batu Kumbung telah dirintis KSU Annisa sejak tahun 1999. Saat itu yang menjadi sasaran program adalah 30 orang di dusun Ketapang Orong Desa Gegerung dan 20 orang di dusun Pekarangan dan Sesaot Desa Batu Kumbung. Sebagai program rintisan pihak KSU meemukan sejumlah kendala, diantaranya pengkondisian warga belajar, masyarakat/keluarga dari warga belajar, tokoh-tokoh masyarakat, penyiapan motivator/fasilitator dan kader.

Kriteria penempatan program perempuan tani di dua desa tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain : (1) tingkat buta hurufnya tinggi, (2) tingkat pendapatannya rendah, (3) belum ada aliran listrik, (4) relatif terbelakang kehidupan sosial budayanya dan (5) tersedia sumber daya alam yang dapat dikembangkan bagi kegiatan usaha ekonomi produktif.

Proses partisipatif telah dilakukan KSU Annisa dalam kaitan menganalisis situasi dan kebutuhan belajar. Aspek-aspek kebutuhan belajar yang teridentifikasi antara lain yang berkenaan dengan: (1) baca tulis dan hitung, (2) pendidikan agama, (3) gender, (4) kesehatan, (5) lingkungan, (6) keterampilan produktif , dan (7) kehidupan keluarga.

Materi pembelajaran yang dibelajarkan bagi warga belajar di dusun Pekarangan dan Sesaot (Montong Tangar Batu Kumbung) antara lain yang berkenaan pendidikan agama misalnya rukun Islam, cara bersuci, nama-nama 25 nabi, syarat syah puasa, hadas besar dan kecil serta salawat Nabi. Yang berkenaan dengan gender antara lain kekerasan terhadap perempuan, hak anak terhadap orang tua, kewajiban orangtua terhadap anak dan tugas suami-istri. Yang berkenaan dengan calistung antara lain membaca koran, membaca buku cerita, cara membuat surat, cara mengirim surat, menghitung dagangan, perkalian, ekonomi rumah tangga, menghitung rugi laba, membuat buku kas, nama-nama bulan Masehi, hari besar nasional dan cara menggunakan telepon. Yang berkenaan dengan bidang kesehatan misalnya tentang kebersihan pribadi, kesehatan keluarga dan lingkungan, berobat ke Puskesmas dan Rumah Sakit. Sedangkan keterampilan ekonomi produktif yang diajarkan misalnya membuat roti kukus, membuat naga sari pepaya, cake singkong, kacang telur dan membuat telur asin.

Pada dusun Ketapang Orong desa Gegerung, materi yang dibelajarkan pada bidang agama misalnya doa bangun dan akan tidur, doa keluar masuk wc, cara berwudhu/ praktek, rukun Islam, syarat syah sembahyang dan shalawat nabi. Materi tentang gender misalnya tentang kekerasan terhadap istri dan kewajiban orangtua terhadap anak. Keterampilan produktif yang dibelajarkan misalnya cara menanam seledri, praktek membuat kripik talas, membuat dodol nangka, membuat telur asin

(11)

dan membuat putu ayu. Pengetahuan umum yang dibelajarnya misalnya hari besar nasional dan nama-nama bulan. Calistung yang dibelajarkan misalnya cara membuat cara membuat dan mengirim surat, membaca buku cerita, latihan membaca resep dokter, membaca koran, mengisi buku kas, menghitung belanja dan pendapatan, ekonomi rumah tangga (penghasilan dan pengeluaran), menghitung hutang, menghitung rugi laba. Bidang kesehatan yang dibelajarkan misalnya praktek meramu obat tradisional, berobat ke Puskesmas dan rumah sakit, merawat kehamilan, kebersihan pribadi/sehari-hari dan kebersihan lingkungan.

Secara umum penyelenggaraan program dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu: (1) tahap pertama disebut dengan tahap penumbuhan berlangsung antara 6 bulan s.d 1 tahun akan tetapi tergantung pada tingkat kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung, bahasa Indonesia dan perkembangan tingkat pengetahuan lainnya; (2) tahap pengembangan 6-1 tahun dan (3) tahap pemandirian (penyapihan), tahapan ini untuk mempersiapkan warga belajar menuju kemandirian baik dari sisi membaca, menulis, berhitung, pengetahuan bahasa Indonesia dan perkembangan tingkat kesadaran kesehatan peserta dan kewirausahaan.

Proses penyelenggaraan program dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) need assesment yaitu menggali kebutuhan belajar masyarakat, potensi pembelajaran yang ada (Calon Kader, tempat-tempat belajar, dll) need assesment ini dilakukan secara partisipatif oleh motivator KSU ANNISA bersama-sama masyarakat calon kelompok sasaran; (2) analisis kebutuhan; (3) penyiapan program pembelajaran; (4) pelatihan bagi para Kader selama satu minggu; (5) pelaksanaan program materi belajar dikelompokan terdiri dari kelompok materi keaksaraan (baca, tulis, hitung dan bahasa Indonesia), upaya peningkatan ekonomi dan praktek keterampilan, kesehatan (kesehatan diri, keluarga dan lingkungan), gender; agama (6) pemantauan dilakukan oleh motivator (KSU ANNISA) kepada Kader dan warga belajar pemantauan yang dilakukan oleh motivator KSU Annisa frekwensinya ditentukan oleh tahapan pembelajaran dengan kata lain setiap tahapan (penumbuhan, pengembangan dan penyapihan) frekwensinya tidak sama tetapi pemantauan minimal dilakukan satu bulan sekali, (7) tugas motivator (KSU ANNISA) dalam penyelenggaraan program adalah pengkoordinasian kader, menjadi fasilitator dalam pelatihan bagi kader, melakukan need assesment, analisis kebutuhan, penyiapan program dan bahan belajar, pelaksanaan program, pemantauan, evaluasi dan pelaporan; (8) tugas kader: mengajar, penyiapan bahan mengajar (membuat inventaris materi), pembinaan terhadap warga belajar, menyusun laporan bulanan baik yang terkait dengan pembelajaran maupun keuangan dilakukan setiap satu bulan sekali, dalam persiapan program terlibat dalam hal; melakukan need assesment, analisis kebutuhan, penyiapan program dan bahan belajar.

(12)

Evaluasi penyelenggaraan program yang dilakukan adalah: (1) proses

evaluasi dilakukan sebulan sekali baik untuk materi membaca, menulis, berhitung; (2) evaluasi tahunan, setiap kegiatan evaluasi selalu menggunakan instrumen berupa

soal, panduan wawancara dan observasi, hasilnya untuk memilah warga belajar sehingga pada setiap penyelenggaraan memiliki kelompok warga belajar dengan tingkatan/ kelas A, B dan C.

Proses Pemeberdayaan Perempuan Tani

Kelembagaan KSU Annisa telah melakukan upaya-upaya yang strategis dalam melakukan program perempuan tani. Tidak hanya karena mengemban visi dan misi bagi peningkatan keberdayaan perempuan tani, melainkan juga kebutuhan faktual di lapangan pada dua desa yang dijadikan pilot project .

Pengurus dan tenaga lapangan pada KSU Annisa telah dimobilisasi untuk melaksanakan program ini. Beberapa kader telah dilahirkan untuk mendukung operasional program. Bahkan patut dicontoh upaya KSU Annisa untuk membangun jaringan dan lembaga donor lain selain UNESCO untuk keberhasilan program Multi-channel Learning. Lembaga tersebut misalnya UNICEF, LIPI, Diknas dan Puskat.

Tidak dapat disangkal bahwa dengan jumlah sasaran program yang tadinya terbatas (10 orang) perkelompok, setelah masyarakat melihat langsung manfaat mengikuti kegiatan pembelajaran di kelompok, jumlah warga belajar terus bertambah. Dipihak lain kondisi ini merupakan parameter keberhasilan program, tetapi justru pihak KSU Annisa dan fasilitator/motivator menjadi agak kewalahan dalam memberikan pelayanan pembelajaran. Pelayanan pembelajaran menjadi lebih kearah kuantifikasi, jumlah peserta yang makin besar, sementara warga belajar yang lama menjadi agak jenuh belajar. Karena orientasi belajarnya lebih menekankan pada keaksaraan sedangkan pada upaya peningkatan keterampilan usaha maupun peningkatan pendapatan menjadi kurang dikembangkan.

KSU Annisa telah berupaya memberikan wawasan gender, kehidupan ekonomi, khsusnya melalui wadah koperasi, kesehatan, pendidikan dan kehidupan rumah tangga. Hal ini menjadi catatan positif dari kegiatan pemberdayaan perempuan tani. Penyadaran gender yang dilakukan kepada perempuan tani sebagi warga belajar antara lain berkenaan dengan akses dalam berorganisasi, keterlibatannya dalam kegiatan sosial, mendapatkan informasi, melakukan komunikasi dan lain-lain. Kasus kawin cerai relatif masih sangat tinggi khususnya di dusun Kerapang Orong sebagai akibat dari budaya patriarkhi dan penafsiran agama yang keliru, khususnya pada bagian yang membenarkan laki-laki untuk boleh mempunyai istri lebih dari satu. Disamping itu tingkat pendidikan perempuan relatif lebih rendah dibandingkan laki-laki.

(13)

Tingkat pendapatan masyarakat yang tergolong sangat rendah dengan rata-rata pendapatan perkapita Rp. 3.000,- s.d. Rp. 5.000,- membuat kehidupan warga berada dalam ketidakberdayaan. Terbatasnya akses kepemilikan lahan baik lahan ladang maupun sawah dan terbatasnya sarana prasarana ekonomi serta kondisi topografi daerah yang berbulit-bukit khususnya di dusun Ketapang Orong tidak menguntungkan bagi tanaman semusim seperti padi dan palawija sehingga masyarakat hanya bergantung pada tanaman menahun yang berakibat pada terbatasnya penghasilan masyarakat untuk jangka waktu yang panjang.

Masalah yang berkenaan dengan bidang kesehatan antara lain masih tingginya angka penderita penyakit menular seperti muntaber dan penyakit kulit. Sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas, seperti kurangnya sarana MCK (Mandi Cuci Kakus), tidak adanya petugas kesehatan atau dukun terlatih. Masalah lainya adalah Masyarakat masih mempercayai mitos tentang tehnik pengobatan dan penyembuhan penyakit yang dipraktekan para dukun serta keterampilan dalam hal perawatan kehamilan dan pemeliharaan bayi bagi masyarakat desa masih sangat kurang.

Perhatian para orang tua terhadap pendidikan putra-putri relatif kurang. Sebagian besar masyarakat terutama kaum perempuan hanya tamat SD, tidak tamat SD dan tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali. Dipihak lain masih kurangnya sarana dan prasarana pendidikan di kedua desa tersebut. Selain itu sarana prasarana pendidikan informal seperti tempat mengaji, mushola atau langgar juga masih terbatas.

Rata-rata masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mempunyai keterampilan yang masih sangat rendah khususnya keterampilan yang dibutuhkan untuk mengolah sumber daya alam yang ada. Di pihak lain tidak tersedianya wadah dan tempat belajar yang memungkinkan bagi terasahnya keterampilan masyarakat.Juga didukung oleh kemampuan tulis baca masyarakat yang masih terbatas.

Walaupun program pemberdayaan perempuan tani ini sudah dilaksanakan masih dijumpai usia perkawinan dibawah usia 18 tahun. Perangkat desa dan unsur yang terlibat dalam proses perkawinan juga belum menjalankan peraturan dan tata cara perkawinan secara optimal. Tingginya angka perceraian khususnya di Dusun Ketapang orong antara lain disebabkan oleh system sosial yang tidak memberikan sanksi khusus bagi mereka yang melakukan perceraian. Bagi para istri yang di ceraikan kurang mendapatkan pembagaian harta gonogeni. Para suami yang melakukan perceraian tidak di kenakan sangsi untuk membayar mut‟ah bagi pelaksanaan perceraian.

(14)

Dampak Program

Dampak program pemberdayaan perempuan tani jika dilihat dari peningkatan kecakapan keaksaraan terdapat perkembangan secara signifikan, baik dilihat dari kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar sehigga secara keseluruhan warga belajar yang tadinya berada pada kelas C (kategori warga belajar yang tidak bisa baca, tulis dan hitung) meningkat menjadi kelas B (kategori warga belajar yang sudah mulai bisa baca, tulis dan hitung) dan A (kategori warga belajar yang sudah cakap baca, tulis dan hitung). Pada saat dilakukan survey masih ditemukan warga belajar yang baru bergabung kurang dari 6 bulan sehingga masih berada pada kelas C.

Kecakapan warga belajar terhadap akses pelayanan kesehatan, mereka pada umumnya sudah berani meminta pelayanan yang memadai dari puskesmas, posyandu, ada penataan kesehatan lingkungan keluarga dan perawatan kebersihan diri dan anggota keluarga. Kesadaran agama nampak meningkat dengan indikator mulai menjalankan perintah agama. Demikian pula kesadaran tentang kesetaraan gender dan keterlibatannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan nampak dirasakan oleh warga desa.

Pada kegiatan produksi, warga belajar telah memiliki sejumlah keterampilan pembuatan makanan jajanan, berkebun, berdagang dan kerajinan. Demikian pula kesadaran gotong royong meningkat.

Simpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil survey antara lain adalah keberdayaan perempuan tani yang menjadi subyek pemberdayaan pada umumnya merasakan manfaatnya mengikuti kegiatan belajar, mulai berani mengunjungi sarana kesahatan, seperti Posyandu, Polindes dan Puskesmas, dapat memahami pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan diri dan anggota keluarga serta lingkungan sekitarnya, telah memiliki keterampilan dalam membuat beberapa obat-obatan tradisional, mengenal makanan yang memiliki kandungan gizi yang diperlukan bagi tubuh, suami perempuan tani sudah mulai membantu kegiatan rumah tangga, seperti mengambil air untuk keperluan masak dan minum serta merawat anak, sebagian dari warga belajar telah mulai memanfaatkan bantuan pinjaman modal dari KSU Annisa untuk belajar bisnis kecil-kecilan, misalnya membuka warung dan membuat kue/jajanan, dalam melakukan keiatan usaha, walaupun demikian perempuan tani masih merasakan kesulitan dalam memasarkan produk yang dihasilkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Arif., S. (1998). Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan. Jakarta : CIDES.

Borg, W.R. and Gall,M.D.(1983). Educational Research : An Introduction. New York : Longman.

(15)

Chamber, R.(1987). Pembangunan Desa : Mulai dari Belakang. Terjemahan Pepep Sudrajat . Jakarta : LP3ES.

Cross,K.P.(1984). Adult As Learner. San Francisco : Jossey-Bass Publishers. Davies , I.K. (1986). Pengelolaan Belajar (terjemahan). Jakarta : CV.Rajawali. Havelock,G.R.(1975). The Change Agent’s Guide to Innovation in Education. New Jersey : Educational Technology Publications.

Juliantara,D.ed. (2000). Menggeser Pembangunan, Memperkuat Rakyat. Yogyakarta Manuwoto,S. (1996). Pembangunan dan Fenomena Kemiskinan : Kasus Profil Propinsi Riau.Jakarta : PT. Grasindo

eville, B. et al. (1994). Qualitative Research in Adult Education. Underdale SA : University of South Australia.

Porter, D.B.and Hernacki.M. (1999). Quantum Learning. Bandung : Kaifa.

Russell,B.(1993). Pendidikan dan Tatanan Sosial (terjemahan) . Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Sarman,M.dan Sajogyo. (2000). Masalah Penanggulangan Kemiskinan : Refleksi Dari Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Puspa Swara.

Sumodiningrat,G. (1999). Pemberdayaan Masyarakat dan JPS. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.

Suwarsono dan So,A.Y.(1991). Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.

(16)

WAYANG SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN IN FORMAL DAN NON FORMAL

Oleh

Anak Agung Ngurah Sumantri

(Pamong Belajar SKB Kota Denpasar)

Abstraksi : Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media pendidikan tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar masa kini dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini. Tentunya media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang dalang yang secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Wayang salah satu puncak seni budaya bangsa Indonesia yang paling menonjol di antara banyak karya budaya lainnya. Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan kristalisasi sistem budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam, dan juga pada peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak oleh para dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan menggunakan bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan.

Kata kunci : Media, Wayang, Seni, Moral.

Latar belakang.

Era globalisasi pada masa kini disertai dengan kemajuan teknologi terutama teknologi informasi (IT) seperti internet sangatlah luar biasa. Setiap orang dengan mudah memperoleh segala informasi dalam hitungan detik dalam sekali klik pada suatu tempat dan suatu wujud benda canggih yang bernama komputer. Apapun yang merupakan keduniawian apalagi buatan manusia termasuk kemajuan teknologi selalu diiringi dampak positif di satu sisi dan juga dampak negatif disisi lainnya. Ibaratkan mata uang antara sisi satu dan lainnya tak dapat dipisahkan. Berbagai informasi tersebut untuk menambah wawasan juga merupakan proses pendidikan baik formal, informal maupun nonformal. Sayangnya pemanfaat teknologi saat ini terutama IT sebagai media belajar pengetahuan tidak disertai suatu teknologi apakah itu suatu bentuk aplikasi yang bersifat memproteksi materi-materi atau sumber belajar yang bersifat negatif dan mempengaruhi moral para user dalam konteks ini adalah sasaran didik tentunya.

Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan menawarkan suatu alternatif media pendidikan yang nampaknya sudah ditinggalkan oleh generasi kini sebagai media pendidikan. Padahal dalam sejarahnya, media ini pernah menjadi sebuah media pendidikan terutama sebelum dikenalnya pendidikan formal seperti sekarang ini yakni pada masa Hindu-Budha dan juga masa penyebaran agama Islam terutama di Pulau Jawa oleh para Walisongo.

(17)

Suatu media yang pernah pada masa lalu dipakai sebagai media pendidikan tentu bukanlah tabu kalau dimanfaatkan kembali sebagai media belajar masa kini dengan inovasi dan kreasi disesuaikan dengan kondisi pada masa kini. Tentunya media ini lebih dapat dikendalikan karena pengendalinya adalah seorang dalang yang secara fisik langsung berhadapan dengan sasaran didik. Sehingga ada timbal balik saling mengawasi dan mengingantkan agar tidak keluar dari rel materi yang sarat dengan pesan moral dan sopan santun tata krama. Beda halnya jika media informasi elektronik-digital yang online dimana si penyumbang materi dari identitas ada yang misterius bahkan sebagian besar tidak dikenal karena nickname sehingga mereka dapat sesuka hatinya menyebarkan informasi yang secara moral tidak bertanggungjawab.

Tulisan ini hanyalah sumbangan pemikiran dan ide dari penulis sebagai peneliti yang berharap banyak dapat menggugah para pendidik, institusi pendidik, serta mereka yang perduli dengan dunia pendidikan terutama tentunya produk pendidikan yang berkualitas dan yang lebih penting pendidikan moral yang akhir-akhir ini kian memprihatinkan.

Media Belajar dalam Pendidikan Informal dan Nonformal

Kata media berasal dari bahasa latin yaitu jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, 2002: 6) . Secara umum media pembelajaran dalam pendidikan disebut media, yaitu berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk berpikir, menurut Gagne (dalam Sadiman, 2002: 6). Sedangkan menurut Brigs (dalam Sadiman, 2002: 6) media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Jadi, media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim dan penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi (Sadiman, 2002: 6).

Menurut Latuheru (dalam Hamdani, 2005: menyatakan bahwa media pembelajaran adalah bahan, alat atau teknik yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar dengan maksud agar proses interaksi komunikasi edukasi antara guru dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna. Berdasarkan pengertian-pengertian yang telah diberikan, maka media pembelajaran merupakan segala sesuatu yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran agar dapat merangsang pikiran, perasaan, minat dan perhatian siswa sehingga proses interaksi komunikasi edukasi antara guru (atau pembuat media) dan siswa dapat berlangsung secara tepat guna dan berdayaguna.

Wayang Kulit dan Asal Usulnya

(18)

peran, seni suara, seni musik, seni tutur, seni sastra, seni lukis, seni pahat, dan juga seni perlambang. Budaya wayang, yang terus berkembang dari zaman ke zaman, juga merupakan media penerangan, dakwah, pendidikan, hiburan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

Menurut penelitian para ahli sejarah kebudayaan, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Keberadaan wayang sudah berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Pulau Jawa. Walaupun cerita wayang yang populer di masyarakat masa kini merupakan adaptasi dari karya sastra India, yaitu Ramayana dan Mahabarata. Kedua induk cerita itu dalam pewayangan banyak mengalami pengubahan dan penambahan untuk menyesuaikannya dengan falsafah asli Indonesia.

Penyesuaian konsep filsafat ini juga menyangkut pada pandangan filosofis masyarakat Jawa terhadap kedudukan para dewa dalam pewayangan. Para dewa dalam pewayangan bukan lagi merupakan sesuatu yang bebas dari salah, melainkan seperti juga makhluk Tuhan lainnya, kadang-kadang bertindak keliru, dan bisa jadi khilaf. Hadirnya tokoh panakawan dalam_ pewayangan sengaja diciptakan para budayawan Indonesia (tepatnya budayawan Jawa) untuk memperkuat konsep filsafat bahwa di dunia ini tidak ada makhluk yang benar-benar baik, dan yang benar-benar jahat. Setiap makhluk selalu menyandang unsur kebaikan dan kejahatan.

Dalam disertasinya berjudul Bijdrage tot de Kennis van het Javaansche Tooneel (1897), ahli sejarah kebudayaan Belanda Dr. GA.J. Hazeau menunjukkan keyakinannya bahwa wayang merupakan pertunjukan asli Jawa. Pengertian wayang dalam disertasi Dr. Hazeau itu adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat bayangannya pada kelir. Dengan demikian, wayang yang dimaksud tentunya adalah Wayang Kulit seperti yang kita kenal sekarang.

Mengenai asal-usul wayang ini, di dunia ada dua pendapat. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pendapat ini selain dianut dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli-ahli bangsa Indonesia, juga merupakan hasil penelitian sarjana-sarjana Barat. Di antara para sarjana Barat yang termasuk kelompok ini, adalah Hazeau, Brandes, Kats, Rentse, dan Kruyt.

Alasan mereka cukup kuat. Di antaranya, bahwa seni wayang masih amat erat kaitannya dengan keadaan sosiokultural dan religi bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa. Panakawan, tokoh terpenting dalam pewayangan, yakni Semar, Gareng, Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semuanya berasal dari bahasa Jawa (Kuna), dan bukan bahasa lain. Sementara itu, pendapat kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama dengan agama Hindu ke Indonesia. Mereka antara lain adalah Pischel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings, dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana Inggris, negeri Eropa yang pernah menjajah India.

(19)

Namun, sejak tahun 1950-an, buku-buku pewayangan seolah sudah sepakat bahwa wayang memang berasal dari Pulau Jawa, dan sama sekali tidak diimpor dari negara lain. Budaya wayang diperkirakan sudah lahir di Indonesia setidaknya pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga, raja Kahuripan (976 -1012), yakni ketika kerajaan di Jawa Timur itu sedang makmur-makmurnya. Karya sastra yang menjadi bahan cerita wayang sudah ditulis oleh para pujangga Indonesia, sejak abad X. Antara lain, naskah sastra Kitab Ramayana Kakawin berbahasa Jawa Kuna ditulis pada masa pemerintahan raja Dyah Balitung (989-910), yang merupakan gubahan dari Kitab Ramayana karangan pujangga India, Walmiki.

Selanjutnya, para pujangga Jawa tidak lagi hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabarata ke bahasa Jawa Kuna, tetapi menggubahnya dan menceritakan kembali dengan memasukkan falsafah Jawa kedalamnya. Contohnya, karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawin, yang merupakan gubahan yang berinduk pada Kitab Mahabarata. Gubahan lain yang lebih nyata bedanya derigan cerita asli versi India, adalah Baratayuda Kakawin karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Karya agung ini dikerjakan pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya, raja Kediri (1130 - 1160).

Wayang sebagai suatu pergelaran dan tontonan pun sudah dimulai ada sejak zaman pemerintahan raja Airlangga. Beberapa prasasti yang dibuat pada masa itu antara lain sudah menyebutkan kata-kata "mawayang" dan `aringgit' yang maksudnya adalah pertunjukan wayang. Mengenai saat kelahiran budaya wayang, Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang (1979), memperkirakan wayang sudah ada sejak zaman neolithikum, yakni kira-kira 1.500 tahun sebelum Masehi. Pendapatnya itu didasarkan atas tulisan Robert von Heine-Geldern Ph. D, Prehistoric Research in the Netherland Indie (1945) dan tulisan Prof. K.A.H. Hidding di Ensiklopedia Indonesia halaman 987.

Kata `wayang' diduga berasal dari kata `wewayangan', yang artinya bayangan. Dugaan ini sesuai dengan kenyataan pada pergelaran Wayang Kulit yang menggunakan kelir, secarik kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang, dan penonton di balik kelir itu. Penonton hanya menyaksikan gerakan-gerakan wayang melalui bayangan yang jatuh pada kelir. Pada masa itu pergelaran wayang hanya diiringi oleh seperangkat gamelan sederhana yang terdiri atas saron, todung (sejenis seruling), dan kemanak. Jenis gamelan lain dan pesinden pada masa itu diduga belum ada.

Untuk lebih menjawakan budaya wayang, sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak saat itulah ceritacerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan Wayang Beber. Tradisi menjawakan cerita wayang juga diteruskan oleh beberapa ulama Islam, di antaranya oleh para Wali Sanga. Mereka mulai mewayangkan kisah para raja Majapahit, di antaranya cerita Damarwulan.

(20)

Masuknya agama Islam ke Indonesia sejak abad ke-15 juga memberi pengaruh besar pada budaya wayang, terutama pada konsep religi dari falsafah wayang itu. Pada awal abad ke-15, yakni zaman Kerajaan Demak, mulai digunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong pada pergelaran Wayang Kulit.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk pada Ramayana dan mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang, termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Dan selanjutnya, mulai dikenal pula adanya cerita wayang pakem. yang sesuai standar cerita, dan cerita wayang carangan yang diluar garis standar. Selain itu masih ada lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari cerita pakem.

Memang, karena begitu kuatnya seni wayang berakar dalam budaya bangsa Indonesia, sehingga terjadilah beberapa kerancuan antara cerita wayang, legenda, dan sejarah. Jika orang India beranggapan bahwa kisah Mahabarata serta Ramayana benar-benar terjadi di negerinya, orang Jawa pun menganggap kisah pewayangan benar-benar pernah terjadi di pulau Jawa.

Dan di wilayah Kulonprogo sendiri wayang masih sangatlah diminati oleh semua kalangan. Bukan hanya oleh orang tua saja, tapi juga anak remaja bahkan anak kecil juga telah biasa melihat pertunjukan wayang. Disamping itu wayang juga biasa di gunakan dalam acara-acara tertentu di daerah kulonprogo ini, baik di wilayah kota Wates ataupun di daerah pelosok di Kulonprogo.

Wayang Sebagai Warisan Budaya

Apabila wayang akan difungsikan sebagai sarana pendidikan, baik informal maupun nonformal, kita perlu memahami dan menyadari benar bahwa wayang memang memiliki keunggulan tertentu. Wayang sarat dengan nilai-nilai moral yang dapat dijadikan acuan sikap dan perilaku serta sebagai tuntunan hidup dunia akhirat.

Wayang adalah karya seni yang diciptakan oleh para empu dengan landasan pengabdian jiwa secara total. Wayang mengandung berbagai cabang seni yang terpadu dalam bentuk seni pertunjukan, meliputi seni drama, seni sastra, seni gerak/tari, seni karawitan, seni kriya dll. Bagi para empu karya seni secara lahiriah merupakan tujuan berkarya, sedangkan secara rohaniah berkarya merupakan wahana untuk mendekatkan jiwanya dengan Sang Maha Pencipta, karena keindahan yang sempurna hanya ada pada-Nya. Dengan sikap demikian itulah dimungkinkan terciptanya berbagai bentuk karya seni yang adiluhung dan dikenal sebagai seni klasik.

Betapapun dewasa ini telah berkembang kreativitas di bidang seni pedalangan dikalangan para seniman muda, namun masih banyak unsur karya seni klasik yang tetap bertahan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata panggungnya, gending-gending karawitan sulukan. Antara lain perangkat wayang kulitnya, tata

(21)

panggungnya, gending-gending karawitan sulukan, dodogan dan keprakan, janturan, bahasa pedalangannya dll. Tetap dilestarikan dengan mengalami penggarapan baru menurut citarasa seniman yang mengolahnya. Sejauh para seniman generasi muda masih bersikap menghargai seni pedalangan klasik wayang akan tetap dapat mengemban fungsinya sebagai tontonan dan tuntunan. Sebaliknya kalau dalam pengembangan kreativitasnya semata-mata hanya bertujuan komersial untuk memenuhi selera penonton yang kurang apresiatif terhadap karya seni adiluhung maka fungsi utama wayang sebagai sarana penserahan jiwa akan terkikis. Dan pergelaran wayangpun lalu menjadi sarana hiburan murahan sebagai pelengkap acara hura-hura semata-mata.

Dewasa ini meskipun wayang sudah banyak mengalami perombakan yang justru mendatangkan mutu seninya, namun masih belum terlambat untuk dijadikan sarana pendidikan, dengan mengutamakan kandungan nilai-nilai moral dalam bentuk sanggit garapan yang bisa mempesona dan menyentuh rasa para penontonnya. Pada hakekatnya nilai moral itu bersifat universal dan abadi, hanya cara pengungkapannya dapat beranekaragam.

Wayang Sebagai Ajaran Moral

Ajaran moral yang terkandung dalam wayang merupakan kristalisasi sistem budaya yang pernah berlaku dalam perjalanan sejarah kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai moral menurut agama Hindu, Budha, Islam, dan juga pada peradaban Barat, semuanya diserap, kemudian diolah dan diromabak oleh para dalang dan diungkapkan berdasarkan kedewasaan jiwanya dengan menggunakan bahasa sastra yang menjadi kaidah seni pedalangan. Sedemikian seksama dan indahnya pengungkapan gubahan itu sampai tidak dapat dikenali lagi darimana sumbernya. Apabila pengungkapan ajaran moral dalam pergelaran wayang itu menggunakan bahasa Bali misalnya, maka bagi penonton masyarakat Bali tidak lagi jelas sumbernya, apakah dari ajaran Hindu, Budha, Islam atau dari sumber peradaban Barat karena semuanya sudah luluh menjadi satu sistem nilai budaya. Nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, kesetiakawanan, kesucian, keikhlasan berkorban, kepahlawanan dll, dalam pergelaran wayang diungkapkan sebagai nilai universal. Itulah sebabnya pergelaran wayang purwa yang paling populer di kalangan masyarakat Bali dapat dinikmati oleh semua golongan dan lapisan masyarakat tanpa membedakan agama, suku, kedudukan sosial dll.

Dalam pergelaran wayang banyak ajaran moral yang diungkapkan oleh para dalang yang bersumber dari karya sastra yang pada hakikatnya pada masa silam adalah implementasi dari ajaran Agama Hindu. Memang sejak jaman dahulu antara para dalang dengan para sastrawan atau pujangga telah terjalin pengaruh secara timbal balik. Banyak sastrawan yang mengembangkan karya sastranya dari sumber cerita wayang atau lakon yang dipergelarkan oleh dalang. Sebaliknya dalang juga banyak yang menyanggit cerita atau lakon yang dipergelarkan dengan memanfaatkan sumber dari karya para sastrawan atau pujangga.

(22)

Baik dalang maupun sastrawan tentu mendambakan agar karyanya dapat dinikmati oleh khalayak penonton atau pembacanya. Selain kedua karya seni itu dapat memberikan rasa kepuasan dalam menikmati keindahannya, juga dapat menjadi sarana pencerahan jiwa. Dalam kitab kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Raja Airlangga abad ke-11 sang pujangga pada bagian akhir gubahannya mengungkapkan harapannya agar setelah selesai membaca karyanya, si pembaca diharapkan menjadi jernih hatinya, bagaikan kesucian hati seorang pendeta. Demikian pula sehabis menonton pergelaran wayang semalam suntuk, si penonton diharapkan mengalami pencerahan jiwa bagi pengembangan kepribadiannya berkat ajaran moral yang dijalin rapi dan lembut dalam garapan sanggit sang dalang, sehingga penonton tidak merasa digurui sama sekali. Nilai moral yang terjalin dalam sanggit cerita, sehingga penonton tidak merasa digurui sama sekali. Nilai moral yang terjalin dalam sanggit cerita ki dalang akan menjadi bahan renungan bagi para penonton dan merupakan kenikmatan tersendiri.

Dengan demikian pergelaran wayang benar-benar bisa menjadi tuntunan hidup. Disinilah letaknya fungsi wayang sebagai sarana pendidikan moral yang universal sifatnya. Semakin teballah keyakinan kita bahwa wayang sebagai warisan budaya leluhur memang perlu dilestarikan dan dikembangkan sebagai karya seni adiluhung.

Peran Wayang Sebagai Media Pendidikan Informal dan Nonformal

Wayang telah tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat kita selama berabad-abad. Tradisi wayang diwariskan dari generasi kepada generasi penerusnya secara lisan, dalam format pendidikan informal dan nonformal. Lembaga pendidikan yang bersifat formal dalam bentuk pengajaran di sekolah dengan kurikulum dan sistem pengukuran kecakapan, baru ada pada jaman pemerintah kolonial Belanda yaitu dengan sekolah-sekolah mulai dari sekolah rakyat sampai pada lembaga perguruan tinggi, dan selanjutnya setelah kita merdeka pendidikan formal tetap dilestarikan dan dikembangkan sampai sekarang. Seni pedalanganpun juga diajarkan di lembaga pendidikan seni.

Di jaman kebudayaan etnis Bali masih homogen dan masyarakat. Tiap keluarga Bali hampir dapat dikatakan semua menjadi pendukung budaya wayang. Anak-anak sejak kecil gemar melihat pergelaran wayang, dan biasanya memilih duduk di samping kotak di sisi dalang sampai tidur-tidur. Dan sekali-sekali terbangun jika adegan yang ditampilkan merupakan tontonan yang menarik minatnya. Anak-anak, terutama yang laki-laki ada yang punya koleksi wayang mainan, terbuat dari kertas karton. Sesekali dia mencoba mendalang dengan wayang mainannya itu, menirukan dalang yang sering disaksikan pada pergelaran wayang sebenarnya. Begitulah anak-anak belajar mendalang dengan caranya sendiri sebagai bentuk pengajaran yang sifatnya informal.

(23)

Di dalam rumah sering dijumpai gambar tokoh-tokoh wayang tertentu yang menjadi favoritnya sebagai hiasan dinding. Bagi anak-anak situasi rumah yang terhias dengan tokoh-tokoh wayang itu lalu menjadikan mereka akrab dengan wayang. Mereka juga bisa memahami cerita dalang dalam bahasa Bali meskipun gaya bahasanya termasuk gaya klasik yang khusus untuk pergelaran wayang. Dalam hal tatakrama di lingkungan keluarga juga terpelihara dengan baik sehingga anak-anak dengan sendirinya mudah menentukan sikap, perilaku dan tutur bahasanya sebagai kaidah-kaidah yang berlaku dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Lingkungan keluarga sebagai lembaga sosiaslisasi pendidikan moral secara nonformal bagi anak-anak di masa lampau cukup kuat dan efektif.

Di lingkungan sekolah ada guru yang memanfaatkan cerita wayang sebagai pendidikan budi pekerti dengan pengantar bahasa daerah. Di lingkungan keluargapun orang tua yang menggemari wayang sering menuturkan cerita wayang kepada anak-anaknya dalam rangka pembentukan watak dengan contoh teladan yang baik-baik dari dunia pewayangan. Kesamaan pola pendidikan di sekolah dan di rumah itu memudahkan anak didik untuk mengikuti kaidah sosial dan nilai-nilai kehidupan yang berlaku di masyarakat yang menjadi lingkungannya. Bahkan dimanapun warga masyarakat itu berada, sejauh masih di lingkungan budaya etnis, akan dijumpai pola perilaku dan adat sopan santun yang homogen. Wayang sebagai sarana pendidikan nonformal sering tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat sendiri. Dalang disuatu daerah yang tergolong laris biasanya memiliki perangkat wayang dan gamelan. Para tetangga yang menaruh minat untuk belajar mendalang atau menabuh gamelan datang ke rumahnya pada waktu senggang di malam hari sebagai selingan setelah bekarja berat pada siang harinya. Bagi anak-anak biasanya hari latihan ditetapkan pada hari minggu atau hari libur, agar tidak terganggu pejalarannya. Bila sang dalang mempunyai anak laki-laki seorang atau lebih, biasanya sejak kecil sudah tertanam bakatnya untuk mengikuti jejak ayahnya menjadi dalang. Kesempatan belajar mendalang bagi para anak dalang cukup longgar dengan bantuan dan bimbingan para nayaga kelompok ayahnya yang memiliki pengetahuan mendalang yang cukup memadai. Proses belajar mendalang bagi nak-anak dalang biasanya berlangsung dengan lancar, karena didukung oleh sarana dan kondisi lingkungannya.

Wayang Sebagai Sarana Pendidikan Yang Efektif

Kita menyadari benar betapa berat tugas para dalang dewasa ini sebagai tokoh pendidik masyarakat (masayarakat Informal dan NonFormal). Banyak kendala yang dialami ketika mempergelarkan wayang. Berbagai reaksi yang bernada mencemoohkan dari penonton sering dirasakan mengganggu konsentrasi pergelarannya. Sewaktu mendalang dengan gaya klasik untuk menampilkan seni adiluhung sering dianggap oleh kalangan generasi muda kurang dinamis, kuno, dan kurang mengikuti perkembangan modern serta selera penonton remaja sebagai tuntunan jaman. Penonton wayang telah dimanjakan oleh kesenian pop dan hiburan

(24)

murahan, yang hanya mengutamakan kegembiraan sesaat dan kepuasan lahiriah, tanpa ada kedalaman nilai-nilai yang sebenarnya dapat meningkatkan kedewasaan kepribadiannya.

Pergelaran wayangpun lalu dijadikan ajang penampilan hiburan nyanyi dan lawak, bahkan tidak jarang dengan menampilkan penari yang bergoyang pinggul untuk merangsang birahi penonton. Sangat sulit bagi dalang untuk mempertahankan keadiluhungan seni pedalangan, bahkan sebaliknya banyak yang terpaksa “memenuhi pesan sponsor” dengan melayani selera yang menaggap dan masyarakat penonton setempat dan pergelaran wayang menjadi arena pesta hura-hura tanpa ada bobot seni dan ungkapan nilai-nilai luhur. Jika tidak dapat memenuhi selera yang menanggap maka akan tersumbat atau terkurangilah pendapatan atau matapencariannya yang pokok sebagai seorang dalang.

Untunglah bahwa pada dewasa ini masih ada sejumlah dalang yang berpendirian kuat untuk tetap memahami kaidah-kaidah seni pedalangan sebagai seni klasik. Di lain pihak juga banyak kelompok masyarakat yang lama-lama bosan dengan pergelaran wayang yang hanya merupakan pesta hura-hura tanpa bobot seni pewayangan. Mereka kembali mendambakan pergelaran klasik dan ingin mendengarkan ajaran-ajaran yang sarat dengan nilai-nilai moral yang tersanggit dalam cerita wayang yang dipergelarkan dalang.

Ternyata dambaan para pecinta wayang pada pergelaran klasik dapat terpenuhi oleh sejumlah dalang yang sependirian dengan para pecinta wayang tadi. Dalang dapat bersikap tegas untuk mempertahankan keadiluhungan wayang dan mencegah berbagai unsur negatif yang timbul dari selera murahan sebagian penonton. Kalau sikap tegas ini dipertahankan terus, masyarakat penontonpun akan terbina kembali untuk menikmati pergelaran wayang gaya klasik. Pergelaran wayang dapat memenuhi fungsinya sebagai tontonan dan sekaligus tuntunan hidup yang bermartabat bagi masyarakat. Selanjutnya wayang tetap diharapkan oleh penggemarnya sebagai karya seni adiluhung. Akan sangat disayangkan apabila seni klasik itu sampai rusak oleh unsur-unsur hiburan yang tidak bermutu dan yang sebenarnya berada di luar seni pedalangan.

Ada lagi jenis pergelaran wayang yang sudah memasyarakat sejak lama dan masih tetap marak sampai sekarang yaitu yang disebut “pakeliran padat”. Waktu pergelaran tidak perlu semalam suntuk, cukup membutuhkan waktu sekitar satu atau dua jam saja. Meskipun singkat waktunya tetapi dapat menampilkan satu lakon utuh yang menuntut penonton untuk mengikutinya dengan cermat. Terlewat sedikit saja bagian dari pakeliran padat penonton akan ketinggalan alur ceritanya. Bukan saja pertunjukan wayangnya yang digarap padat tetapi juga semua garapan yang mendukungnya, meliputi suluk, janturan, narasi, dialog dan juga gending-gending karawitan yang mengiringinya. Dengan demikian pakeliran padat tidak mungkin dipergelarkan tanpa persiapan yang matang dan memerlukan latihan berkali-kali untuk menjaga kekompakan semua komponen yang tercakup di dalam pakeliran padat tersebut.

(25)

Dengan kepadatan garapan yang dipusatkan pada cerita atau lakon secara ensensial itu tidak ada lagi waktu untuk diisi dengan materi lain yang berada di luar konteks pakeliran padat. Jadi benar-benar dituntut bentuk garapan seni yang bermutu dan muatan pesan yang benar-benar berbobot. Dalam pakeliran padat juga dimungkinkan garapan baru dengan menggunakan unsur-unsur teknologi modern, namun tetap perlu dijaga keserasiannya dengan unsur-unsur klasik. Kaidah-kaidah konvensional pergelaran gaya klasik dalam pakeliran padat dapat digarap agak bebas namun tidak menyimpang dari tuntutan mutu seni pedalangannya.

Pertunjukkan wayang Ceng Blong adalah salah satu contoh pakeliran padat yang unsur-unsurnya banyak yang tidak mengikuti kaidah-kaidah konvensional wayang klasik, namun ternyata dapat mempesona penonton dari kalangan generasi muda yang tidak akrab lagi dengan pergelaran wayang. Tatacahaya yang marak dan bervariasi menggunakan system penatacahaya modern dan serta sound system berbasis teknologi canggih menghidupkan suasana adegan yang sedang ditampilkan menjadi daya pesona bagi penonton. Sisipan kumpulan sinden dan tak jaran berkolaborasi dengan penari serta pelawak yang dijalin sebagai pengisi alur cerita, berseling dengan adegan wayang kulitnya, merupakan penyegaran baru bagi pentas wayang. Apalagi dalangnya menyisipkan hal-hal yang berhubungan dengan peristiwa yang actual sehingga dapat lebih komunikatif dengan penonton generasi muda yang tidak lagi memahami bahasa sansekerta. Juga bagi penonton yang non-Bali pakeliran wayang joblar dapat mejembatani minatnya dengan dunia pewayangan.

Ditinjau dari pihak penyelenggaraan pergelaran juga jauh lebih ringan dibandingkan dengan penyelenggaraan wayang semalam suntuk. Pesan moral yang disampaikan lebih terpusat dan efektif. Sayangnya gaya pakeliran padat ini masih sangat jarang dijumpai dalam kegiatan berkesenian di kalangan masyarakat. Selama ini penonton umum masih lebih senang menyaksikan pergelaran wayang semalam suntuk dengan selingan hiburan ringan bergaya hura-hura.

Sebenarnya bila dikaji lebih seksama banyak jenis pergelaran wayang klasik, baik wayang kulit, wayang beber, ataupun wayang orang, yang cukup berpotensi untuk diaktualisasikan dengan garapan baru yang sesuai dengan masyarakat masa kini yang sudah tergolong modern. Hanya untuk memperoleh hasil yang memadai kiranya diperlukan seniman-seniman kreatif yang berpandangan luas dan matang dalam berolah seni penuh jiwa inovatif. Itu semua sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan. Siapa menduga bahwa gending “Puspawarna” yang klasik Bali dapat digarap dalam proyek Megalitikum Quantum, bukan saja untuk konsumsi bangsa sendiri tetapi juga oleh pecinta musik di seluruh dunia, bahkan untuk konsumsi ruang angkasa luar.

Dalam memenuhi tugas dalang sebagai pendidik masyarakat dalang perlu memiliki kepekaan terhadap berbagai unsur yang menjadi kendalanya. Di samping itu dalang juga harus pandai memanfaatkan faktor-faktor yang dapat menunjang upayanya agar tugas pendidikan moral masyarakat dapat terpenuhi dengan baik.

(26)

Tugas yang mulia ini tentunya tidak hanya berlaku bagi dalang wayang kulit tradisional Bali saja, tetapi juga bagi semua dalang untuk semua jenis pertunjukan wayang yang ada di Indonesia.

Peran Dalang Sama Seperti Guru

Anak-anak lain yang bukan keluarga dalang ada juga yang berminat menjadi dalang. Maka yang ditempuh adalah sistem “nyantrik”. Ia tinggal di rumah dalang yang dipilih sebagai guru pembimbingnya. Ia diperlakukan sebagai anggota keluarga dan pembantu pekerjaan rumah tangga gurunya. Kemanapaun gurunya pergi bersama rombongan untuk memenuhi tanggapan, si cantrik selalu ikut dan membantu mengangkut wayang dan gamelan. Di tempat pergelaran ia juga membantu menata panggung lengkap dengan gamelannya. Pada setiap kesempatan seperti itu si cantrik sempat menekuni gaya pedalangan gurunya. Di rumah ia dengan tekun berlatih sendiri meningkatkan ketrampilan mendalang, dan biasanya dibantu oleh orang dewasa yang sudah bisa mendalang, sehingga proses pembelajaran mendalang berlangsung lebih lancar.

Setelah agak mahir biasanya si cantrik diberi kesempatan oleh gurunya untuk mempergelarkan wayang pada siang hari, atau jika pada waktu malam ketika sedang ada tanggapan bagi gurunya, ia biasa disuruh tampil di panggung, namun sebatas pada bagian awal, sampai seberapa jauh kemampuan yang dicapai. Dan bila sang guru selanjutnya menilai bahwa anak didiknya sudah cukup mahir maka lalu diijinkan untuk mandiri dan menerima tanggapan serta tampil sebagai dalang profesional.

Banyak warga masyarakat tergolong kaya dan menjadi penggemar berat pada seni pedalangan. Untuk menyalurkan kecintaannya pada seni pedalangan lalu memberi seperangkat wayang dan gamelan. Selanjutnya mendirikan sanggar dengan peserta didik yang terdiri dari warga lingkungan, pada usia anak-anak dan juga dewasa. Jika di lingkungannya ada yang ternyata sudah bisa mendalang walaupun belum mahir benar dilibatkan sebagai pengurus sanggar. Cukup banyak sanggar-sanggar yang dikelola dengan baik. Terbukti dari banyaknya peserta didik yang mengikuti latihan mendalang, dan biasanya ada beberapa di antaranya yang memiliki bakat sehingga proses pembelajarannya juga menjadi lebih cepat.

Ada sanggar yang memberikan kesempatan kepada anggotanya dengan Cuma-Cuma karena semua keperluan sudah dipenuhi oleh pemilik sanggar. Apabila kalau anak-anak yang menjadi peserta didik sanggar tidak mampu membayar iuran karena orang tuanya berpenghasilan rendah. Asalkan para peserta didik mau belajar dengan tekun dan bergairah untuk nantinya bisa berhasil memiliki ketrampilan mendalang meskipun tidak sampai menjadi dalang professional.

Bagaimanapun kondisi sanggar dalam hal pembeayaan, asal saja telah disiapkan perlengkapan latihan berupa wayang dan gamelan, berikut pelatihan pedalangan dan tenaga karawitan yang biasanya terdiri dari warga kampung di lingkungan tsb. proses pembelajaran akan bisa berlangsung dengan baik.

(27)

Pada umumnya sanggar mengutamakan ketrampilan dan kemahiran mendalang dengan cara menirukan segala gerak dan yang diucapkan gurunya sebisa-bisanya. Namun ada pula yang berlatih sendiri dengan menyimak pergelaran wayang yang sempat disaksikan. Untuk memperlancar proses belajarnya tidak jarang peserta didik yang menggunakan kaset rekaman pergelaran wayang kulit dari tokoh dalang kondang. Dengan cara inipun hasilnya cukup lumayan, namun masih harus mendapat bimbingan langsung dari sang guru, terutama dalam hal sabetan wayang “caking pakeliran” yang memerlukan contoh dari pelatihannya, kecuali jika ada alat audio visual berupa video yang sangat membantu melihat ketrampilam. Aspek-aspek lain seperti filsafat wayang, filsafat seni, bahasan nilai-nilai dan ajaran moral, dll biasanya, tidak menjadi perhatian sanggar walaupun aneka pengetahuan tsb sangat menunjang kemahiran seorang calon dalang.

Materi yang diajarkan pada tiap sanggar secara garis besarnya ada keseragaman, dan biasanya ada buku tuntunan pedalangan tertentu yang dipilih sebagai patokan pengajaran. Dalam berbagai hal tiap sanggar mempunyai kekhasan yang tidak dijumpai di sanggar lain. Sampai sekarang memang tiap sanggar bebas mengatur sistem pengajarannya sendiri.

Pelajaran Mendalang Sebagai Program Ekstrakurikuler

Beberapa sekolah menyelenggarakan pelajaran mendalang sebagai program ekstrakurikuler dan merupakan pendidikan dalam format informal. Di antara peserta didik ada yang berhasil mencapai taraf kemahiran tertentu, namun biasanya masih harus dibantu dengan kegiatan pembelajaran di luar sekolah di bawah bimbingan pelatihan pedalangan dalam format informal. Dengan kemahiran tertentu itu peserta didik dalang sudah bisa diberi kesempatan untuk menggelarkan wayang dalam durasi waktu yang pendek dan materi pergelaran yang dikemas ringkas, disesuaikan dengan tingkat usianya. Biasanya peserta didik-peserta didik lainnya juga ikut terpacu untuk lebih giat belajar sampai taraf seperti yang dicapai oleh temannya yang sudah berhasil tadi.

Kendala yang dialami oleh sanggar-sanggar biasanya masalah kurang disiplinnya para peserta didik berlatih, dan banyak yang tidak mencapai tahap kemahiran, lalu meninggalkan sanggar karena tidak memiliki waktu longgar untuk berlatih, atau mungkin sudah merasa jenuh sebelum mencapai taraf kemahiran tertentu. Mungkin karena lambannya pelaksanaan latihan, materi yang diajarkan kurang bervariasi. Atau peserta didiknya terlalu banyak, sehingga untuk mendapatkan giliran maju di depan kelir terlalu lama menunggu. Dalam hal ini pengurus sanggar perlu peka terhadap sikap dan perhatian tiap peserta didiknya sehingga rasa kejenuhan peserta didik dapat teratasi.

Gambar

Tabel  1: Penilaian Proses untuk Peserta ( n = 40 orang)

Referensi

Dokumen terkait