• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMALISASI PERAN KESENIAN TRADISIONAL NTB SEBAGAI MEDIA KOMUNIKASI DAN PENDIDIKAN SOSIAL

Oleh:

Dr. Kadri, M.Si

(Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mataram dan Akademisi BPPNFI Reg.VII Mataram)

ABSTRAK: Eksistensi seni tradisional sering kali tereduksi oleh kehadiran

beragam jenis seni modern yang akhir-akhir ini “membius” selera generasi muda. Fenomena inilah yang antaralain terjadi dengan beberapa jenis seni tradisional di provinsi Nusa Tenggara Barat. Padahal banyak nilai-nilai bermakna yang bisa dimanfaatkan dari seni tradisional tersebut bagi media komunikasi dan pendidikan sosial. Diperlukan upaya pembinaan dan sosialisasi maksimal agar seni tradisional menjadi hiburan pilihan publik sehingga keberadaanya dapat dimanfaatkan sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial, dengan cara memasukkan pesan pendidikan di dalamnya. Hal ini dapat dijadikan oleh instansi pemerintah dan lembaga pendidikan nonformal dan informal untuk menyebarluaskan informasi dan menyampaikan materi pelajarannya. Dengan demikian, publik tidak hanya disuguhi aspek hiburan semata, tetapi juga ditanamkan nilai-nilai yang informatif dan edukatif. Lebih dari itu, upaya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial juga dapat dijadikan sebagai upaya pelestaraian seni tradisional dari “cengkraman” seni kontemporer.

Kata Kunci: Seni Tradisional NTB, Media Komunikasi, Pendidikan Sosial

Latar Belakang

Keragaman seni dan budaya merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia yang membedakannya dengan negara lain. Keragaman ini sekaligus menjadi kekayaan bangsa yang tak ternilai, untuk dilestarikan dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Sungguh banyak nilai dan pelajaran yang dapat diambil dari setiap seni dan budaya tradisional untuk dijadikan sebagai referensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Namun ekspektasi ideal tersebut di atas harus berhadapan dengan kecenderungan memudarnya seni dan budaya tradisional di setiap daerah. Seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi kebanggaan, kini tidak banyak lagi dikenal oleh generasi muda. Pada saat bersamaan mereka (generasi muda) tidak bisa melepaskan diri dari „serangan‟ budaya global yang terus menerpa. Sehingga tidak heran bila anak-anak lebih banyak mengenal nilai dan budaya asing ketimbang seni dan budaya sendiri. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pewarisan seni-budaya tradisional menjadi tugas yang tidak mudah di tengah semakin terbukannya akses

masyarakat untuk mempelajari seni dan budaya asing lewat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi.

Memang, upaya pelestarian dan penanaman kencintaan public (terutama generasi muda) terhadap seni dan budaya tradisional menjadi tugas awal yang mesti direalisasikan, sebelum berbicara tentang pemanfaatan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial. Selama ini seni dan budaya tradisional masih dimaknai sebatas karya seni pemuas naluri estetika setiap orang, sehingga belum banyak yang berpikir pemanfaatan hal tersebut sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan social baik oleh pemerintah kepada publik secara vertical maupun secara horizontal di antara masyarakat.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didiami oleh tiga etnik mayoritas (Sasak, Samawa, dan Mbojo) serta etnik-etnik lainnya, memiliki seni dan budaya tradisional yang beragam. Di sisi lain, karakter geografis NTB yang kepulauan dan terdiri dari wilayah yang masih jauh dari pusat ibu kota provinsi dan kabupaten, mengharuskan pemerintah daerah untuk menggunakan media komunikasi yang beragam, di antaranya menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial.

Eksistensi Seni Tradisional di tengah Media Modern

Tidak mudah untuk mempertahankan eksistensi seni tradisional di tengah membanjirnya seni dan budaya global. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya perhatian pemerintah untuk melestarikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, meskipun belakangan mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah, bersamaan dengan giatnya kampanye pariwisata di provinsi dan kabupaten yang ada di NTB.

Namun harus diakui bahwa eksistensi seni dan budaya tradisional di NTB mengalami „reduksi‟. Beberapa seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi produk dan pernah dihidupkan oleh rakyat Bumi Gora, saat ini sangat susah ditemukan. Budaya Gantao (sejenis permainan bela diri pencak silat yang melibatkan dua orang lelaki Bima dengan memperagakan adegan saling serang menggunakan kaki dan tangan untuk saling banting. Permainan ini diiringi dengan alunan musik tradisional Mbojo) yang pernah semarak di Bima (suku Mbojo) misalnya kini sangat jarang lagi dipentaskan dalam setiap pesta budaya di Bima. Generasi muda pun tidak lagi menjadikan seni tradisional ini sebagai karya dan seni yang disenangi.

Prosesi pernikahan dengan adat Mbojo pun sudah mulai disederhanakan dan mengikuti prosesi budaya modern. Satu-satunya yang masih tertinggal adalah gaung penganten yang menggunakan adat Mbojo. Belum lagi kita berbicara tentang cagar dan bangunan budaya, yang baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir. Rumah-rumah tradisional Bima seperti rumah panggung bukan lagi menjadi

kebanggaan. Pada puluhan tahun silam, rumah panggung masih menjadi kebanggaan, dan bahkan menjadi mahar favorit yang disediakan oleh penganten pria. Kini keluarga baru sudah senang dengan rumah-rumah berarsitek modern. Bahkan orang tua pun tengah melakukan upaya ‟pemudaran‟ rumah panggung untuk diganti dengan rumah modern.

Kecenderungan yang tidak terlalu beda juga terjadi di Sumbawa (suku Samawa), dan juga di komunitas Sasak. Rumah adat yang berjenis rumah panggung dan kayu bukan lagi menjadi rumah favorit. Dalam konteks seni tradisional juga mengalami reduksi peminat. Seni tradisional Sasak seperti Teater Cepung dan Teater Cupak Gerantang misalnya saat ini tidak lagi menjadi seni teater yang masif digandrungi.

Banyak faktor yang menyebabkan fenomena pereduksian seni budaya tradisional terjadi. Salah satunya adalah pengaruh kehidupan global yang dimotori oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh ini terutama melanda generasi muda. Kemudahan mengakses informasi berkontribusi bagi entengnya mereka (generasi muda) untuk mengkonsumsi seni budaya apa saja dengan dukungan visualisasi dan audio mutakhir.

Belum lagi kita berbicara tentang wajah televisi dan media massa kita (Indonesia). Sebagian besar acara dan isi tayangan media massa kita cenderung hedonis, dengan mempraktekkan dan mengajarkan gaya hidup bergelimang kemewahan dengan asesoris modern yang jauh dari identitas tradisional. Sangat susah ditemukan acara atau tayangan media massa tentang seni tradisional daerah tertentu.

Pemanfaatan seni dan budaya tradisional yang minim tidak hanya dilakukan oleh rakyat atau media massa, tetapi juga oleh pemerintah. Dalam beberapa kebijakannya, pemerintah belum optimal mengupayakan pelestarian dan pengembangan seni tradisional. Sebagai contoh, belum banyak setiap pemerintah daerah yang ada di NTB mengadakan atraksi dan kompetisi seni dan budaya tradisional di tingkat pelajar. Kota Mataram mungkin dapat dikecualikan dalam generalisasi ini, meskipun apa yang dilakukan pemerintah kota Mataram belum maksimal.

Di samping itu, pemerintah juga belum bisa mengoptimalkan eksistensi seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial. Pemerintah daerah lebih senang menggunakan media modern seperti televisi, radio, surat kabar, dan baliho sebagai sarana kampanye program atau kampanye publik (public campaign). Selama ini sangat susat terlihat (untuk mengatakan tidak pernah) seni tradisional

dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan penyampai informasi pembangunan dan sosial lainnya dari pemerintah.

Ketika pemerintah menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial tentu akan memberikan keuntungan ganda, yakni melestarikan seni budaya tradisional sekaligus membantu kesuksesan program yang dilaksanakan. Di samping itu, pemerintah juga harus memanfaatkan amanah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang antara lain menganjurkan untuk mengakomodir sepuluh porsen (10% porsen) siaran berkonten lokal bagi televisi berjaringan nasional, dengan cara mendorong pegiat media dan penyiaran yang ada di NTB untuk menyiapkan paket seni buya tradisional untuk ditayangkan di media nasional. Momentum ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah yang baik untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, sekaligus untuk mengimbangi serangan budaya global yang kian mengancam.

Kita masih memiliki harapan karena proses reduksi seni budaya tradisional tidak berlangsung secara radikal (tidak menjadi gerakkan anti budaya tradisional secara massal). Ini berarti kita masih memiliki sisa-sisa ruang dan waktu untuk merevitalisasi seni tradisional di benak publik. Secara pelan tapi pasti setiap kalangan (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya) harus membangun tekad yang sama untuk menjadikan seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial sekaligus sebagai perekat ikatan sosial di antara warga se-etnik dan se-bangsa. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka sedahsat apapun serangan informasi dan media global, tidak akan mampu menggoyahkan kecintaan anak bangsa terhadap seni dan budayanya sendiri.

Efektifitas Komunikasi dan Pendidikan Melalui Seni Tradisional

Salah satu ukuran efektif dan tidaknya komunikasi adalah ketika apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan, sama dengan apa yang dipahami oleh penerima pesan. Di samping itu, faktor media yang digunakan juga turut berkontribusi menciptakan komunikasi yang efektif. Ketepatan memilih media komunikasi dan kelihaian mengemas tampilan media yang telah dipilih merupakan kunci keefektifan komunikasi yang dilakukan.

Komunikasi dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, yang tidak hanya sebatas komunikasi verbal tetapi juga yang nonverbal. Dengan pemaknaan yang luas seperti ini, maka dalam konteks seni dan budaya tradisional, komunikasi tidak hanya dimaknai dalam konteks seni pertujukan dan nyayian serta musik yang berbasis verbal, tetapi juga menyangkut seni dan budaya yang berdimensi nonverbal. Oleh karena itu, segala produk dan wujud seni mesti dimaknai sebagai bentuk pesan yang memiliki makna tersendiri.

Suatu pesan akan diterima dengan baik antara lain ketika pesan tersebut memenuhi empat unsur, yakni; (1) pesan tersebut mendapat perhatian (Attention) sasaran pesan; (2) menarik perhatian (interest) yang menerimanya; (3) berkeinginan (desire) untuk menerimannya; (4) diambil keputusan (decide) untuk menerimannya; dan (5) dilaksanakan (action) sesuai dengan isi pesan.

Apabila mengikuti alur komunikasi atau proses transfer pesan seperti di atas, maka prasyarat awal yang harus dilakukan dalam rangka menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi yang efektif (komunikatif) adalah bagaimana menjadikan atau mengemas seni tradisional sebagai suatu karya seni yang diperhatikan atau diminati oleh masyarakat agar mereka tertarik. Upaya ini penting ketika hendak menyelipkan pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial dan pembangunan yang akan melibatkan partisipasi publik untuk mensukseskannya.

Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan seni tradisional sebagai suatu kebutuhan setiap individu. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka proses transfer pesan sosial lewat seni tradisional menjadi relatif mudah. Dalam asumsi dasar teori uses and gratifications (Lihat, Effendy, 2000) dikatakan bahwa penggunaan media yang dilakukan oleh seseorang bergantung kebutuhan dan ketertarikannya terhadap suatu pesan yang ditawarkan. Ketika seni tradisional telah diminati masyarakat dan dikemas secara menarik, tentu saja hal tersebut akan membuat seni tradisional dapat dengan mudah berperan sebagai media komunikasi sosial yang menjadi pilihan publik.

Oleh beberapa pakar komunikasi, pada umumnya tradisi komunikasi orang Indonesia menggunakan jenis komunikasi konteks tinggi, yakni cara berkomunikasi yang berbelit-belit, berputar-putar atau gaya komunikasi yang tidak simpel dan tidak langsung pada point dan sasaran utama. Kebanyakan orang Indonesia senang dengan gaya bertutur melalui proses panjang menuju sasaran. Tradisi komunikasi seperti ini lebih relevan dengan karakter seni tradisional yang ada (khususnya di NTB). Teater-teater tradisional seperti Teater-teater Cepung, Teater Cupak Gerantang (yang berasal dari suku Sasak), atau Teater Sakeco dan musik berpantun ”Bakelong” (yang berasal dari suku Samawa) merupakan bentuk seni tradisional yang berkarakter dialogis dengan durasi waktu yang relatif lama. Esensi pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak bisa diperoleh secara instan.

Seni tradisional merupakan ikatan emosional yang dapat dijadikan sebagai perekat komunikasi sosial di antara masyarakat. Ikatan emosional atas persamaan sosial dan budaya menjadi faktor penting dalam kesuksesan komunikasi manusia. Salah satu prinsip komunikasi disebutkan bahwa ”semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiflah komunikasi” (Mulyana, 2002). Prinsip komunikasi ini semakin mempertegas bahwa komunikasi yang efektif tidak terlepas dari adanya

kesamaan nilai sosial dan budaya. Seni tradisional merupakan salah satu ikon kesamaan yang bisa menyatukan setiap perbedaan personal. Ketika ikon ini dapat dikemas dengan sebaik-baiknya menjadi media komunikasi sosial, maka proses transfer pesan lewat seni tradisional menjadi lebih efektif.

Kesamaan sosial dan budaya bukan hanya dalam konteks kesamaan nilai dan seni yang dimiliki tetapi juga kesamaan latarbelakang etnik dan suku dari setiap peserta (orang yang terlibat dalam) komunikasi. Artinya, ketika orang yang ber-etnik sama membicarakan persoalan yang sama lewat media komunikasi yang sama, maka ada jaminan bahwa komunikasi tersebut akan berlangsung secara efektif, dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih kontributif. Upaya yang sama juga bisa dilakukan untuk menjadikan media seni tradisonal sebagai media pendidikan sosial. Artinya saat mengkomunikasi media tradisional, dapat diselipi dengan pesan-pesan pendidikan. Bhkan menurut penulis, cara ini lebih efektif untuk memberikan pelajaran sosial kepada masyarakat.

Menjadikan Seni Tradisional NTB sebagai Media Komunikasi dan Pendidikan Sosial

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa langkah awal yang harus dilakukan untuk menjadian seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial yang efektif adalah dengan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan atau karya seni yang digandrungi publik. Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk merevitalisasi eksistensi seni tradisional di tengah tantangan global yang multi bentuk.

Dibutuhkan kemasan yang serius dengan dukungan maksimal dari semua kalangan untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni tradisional agar mendapat tempat di hati rakyat. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana menanamkan kencintaan terhadap seni dan budaya tradisional sejak usia dini. Usia dini merupakan waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan tradisi tertentu dengan harapan akan membekas dan turut mewarnai aktivitasnya di masa yang akan datang.

Penanaman nilai dan kecintaan terhadap seni tradisional dapat dilakukan lewat berbagai cara. Dua di antaranya adalah lewat pendidikan nonformal dan formal. Setiap momen apapun harus dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seni tradisional. Hal yang sama dapat dilakukan di pendidikan formal dengan cara mereformasi kebijakan dan kurikulum Pendidikan SD sampai SMA.

Kurikulum tentang seni dan budaya tradisional harus mendapat perhatian maksimal sebagai langkah akademik untuk menanamkan nilai dan kearifan lokal pada diri setiap anak. Permainan-permainan anak di PAUD dan TK harus direkonstruksi. Selama ini, anak kita banyak disuguhi dengan permainan modern yang tidak jelas asal usulnya, nyanyian-nyanyian yang tidak terlalu mendidik dan

minim muatan lokal. Saatnya alat permainan edukatif (APE) lebih banyak menyuguhkan permainan dari bahan lokal dan bermuatan nilai lokal. Event-event seni budaya tradisional harus terus digalakkan di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah, agar anak cinta produk lokal, karya sendiri, dan seni serta budaya tradisional.

Komitmen yang tinggi untuk menjadikan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial tidak cukup sampai penanaman kesadaran mencintainya. Proses penanaman kecintaan ini harus terus berjalan (tanpa terikat dengan waktu dan ruang), sambil mengambil upaya serius untuk mengemas seni tradisional yang ada agar menjadi produk atau karya yang diminati. Untuk kebutuhan optimalisasi performance seperti inilah, diperlukan identifikasi menyeluruh terhadap karya dan jenis seni tradisional yang ada.

Proses identifikasi ini penting terutama untuk menentukan strategi pemanfaatan seni tradisional yang ada secara tepat dan efesien sehingga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan. Bendasarkan identifikasi sederhana terhadap seni tradisional di NTB, maka dapat dibagi dua jenis seni tradisional dalam konteks penggunaannya sebagai media komunikasi sosial, yakni:

Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media penghimpun

massa. Yang dimaksud dengan kategori seni tradisional yang pertama ini adalah semua seni tradisional yang yang tidak berkarakter penyampai pesan secara langsung. Pada umumnya yang termasuk dalam kategori ini adalah karya seni non drama/teater, seperti musik tradisional, pergelaran pertunjukan tradisional, dan berbagai tari tradisional di provinsi NTB.

Seni tradisional berkarakter seperti ini sangat berpotensi untuk mengumpulkan massa yang lebih banyak, apalagi bila dikemas dan dimodifikasi semenarik mungkin. Momen berkumpulnya massa itulah yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk menyelipkan agenda-agenda tambahan terutama dalam menyampaikan pesan tertentu sesuai kebutuhan.

Di samping itu, dalam pergelaran seni tari juga dapat dimodifikasi sehingga dapat lebih komunikatif, dalam artian tidak hanya pesan nonverbal lewat gerakan anggota badan tetapi juga bisa dengan membuat improvisasi musik pengiring dengan lagu-lagu sarat pesan tertentu. Dalam seni tradisional Bima seperti ”Biola” misalnya dapat diselipkan irama lagu perpantun yang mengandung pesan-pesan sosial tertentu. Selama ini dalam penghamatan saya, lirik lagu biola di Bima lebih banyak didominasi oleh lirik asmara dan percintaan. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini membutuhkan sentuhan ide dan tangan kreatif seniman di setiap daerah, tanpa menghilangkan nilai historis dari setiap karya seni yang ada.

Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai

media komunikasi sosial. Seni tradisional dalam kategori kedua ini adalah semua seni tradisional yang berbasis drama dan teater, seperti:

a. Teater Cepung. Teater ini merupakan teater klasik yang berasal dari etnik Sasak, yang muncul tidak lama setelah penulisan lontar ”Tutur Monyeh oleh Jero Mihran, yakni sekitar tahun 1850-an. Peran teater cepung di tengah masyarakat Sasak menyangkut berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan agama, karena lontar Tutur Monyeh sebagai sumber teater Cepung yang berisi tentang nilai, yaitu pendidikan moral, kritik sosial, ritual, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Sasak (Alfarisi, 2010).

b. Teater Sakeco. Teater ini adalah karya seni tradisional yang berasal dari suku Samawa, berisi tentang dialog komedi berpantun yang diiringi dengan alat musik tradisional seperti gendang dan rebana

Kedua jenis teater di atas merupaka dua karya seni berbasis drama/teater yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Alur cerita yang ada dalam teater tersebut sangat mungkin untuk dimodifikasi dan diselipi dengan pesan-pesan tertentu yang penuh makna. Namun lagi-lagi, eksistensi kedua teater tersebut akan lebih bermakna sebagai media yang komunikatif ketika keduanya telah digandrungi oleh masyarakat. Sayang hingga saat ini, keberadaan keduanya tidak seperti saat awal keberadaannya.

Karakter wilayah NTB dengan tingkat konflik sosial yang relatif masih tinggi, sangat tepat untuk menjadikan seni tradisional seperti teater dan drama sebagai media komunikasinya. Sebagai bentuk apresiasi seni, teater dan drama memiliki posisi strategis dan dapat berperan sebagai forum penghilang ketegangan dan pencair perbedaan, apalagi aktor yang terlibat dalam teater itu adalah seluruh representasi masyarakat yang ada.

Saya sangat tertarik dengan upaya yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Eropa yang merekrut beberapa pelajar di wilayah konflik di NTB untuk diajarkan atau dilatih drama bertema perdamaian/persamaan yang akan dipentaskan di depan saudara dan orang tua mereka. LSM ternama tersebut sadar benar bahwa karya seni seperti drama dan teater menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan pesan bermakna.

Simpulan

Gambaran panjang lebar di atas semakin mempertegas betapa pentingnya seni tradisional daerah NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial. Atas dasar kesadaran itulah dibutuhkan upaya serius semua kalangan untuk mengidentifikasi dan memodifikasi kemasan seni tradisional agar dapat dimanfaatkan sebagai media yang komunikatif dalam menyampaikan pesan sosial tertentu dalam kerangka

pendidikan masyarakat. Sosialisasi dan penanaman kesadaran berbudaya dan mencintai seni tradisional sendiri merupakan langkah awal yang baik menuju efektifitasnya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi dan pendidikan sosial. Lebih dari itu, pemerintah daerah harus memberi apresiasi (dukungan) yang serius untuk menyediakan fasilitas seni dan budaya sebagai wadah dan ruang ekspresi publik sekaligus sebagai benteng pelestarian budaya lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Alfarisi, Salman, 2010, Teater Cepung Lombok (Kajian Tekstual Seni Pertunjukan). Tesis. Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Effendy, Onong Uchjana, 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bhakti

PELATIHAN PENDIDIK PAUD DENGAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL

Dokumen terkait