• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prosiding Seminar Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Prosiding Seminar Nasional"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional

TEKNOLOGI PEMUPUKAN DAN PEMULIHAN

LAHAN TERDEGRADASI

Bogor, 29-30 Juni 2012

Penyunting:

I G. Putu Wigena, Neneng L. Nurida, Diah Setyorini, Husnain, Edi Husen, Erna Suryani

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Kementerian Pertanian

(2)

Lahan Sawah

1

Sukarman,

2

Diah Setyorini dan

1

Sofyan Ritung

1Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Tentara

Pelajar No. 12, Bogor 16114

2Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar No. 12, Bogor

16114

Abstrak. Peta status hara P dan K lahan sawah sangat bermanfaat untuk arahan penyusunan rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Peta status hara P dan K lahan sawah skala 1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten. Peta status hara P dan K lahan sawah skala 1:250.000 digunakan untuk arahan alokasi kebutuhan pupuk nasional. Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah dan sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan pemetaan status hara tanahnya. Sementara pemetaan status hara 1: 50.000, baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat, sehingga masih banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang belum dipetakan status hara tanahnya. Metode pemetaan status hara lahan sawah yang dilaksanakan sampai saat ini adalah metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan waktu lama dan mahal, karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah contoh tanah yang dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah seluruh Indonesia dapat segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan, diantaranya menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta akurat. Salah satu alternatif metode percepatan pemetaan status hara yang dapat digunakan adalah memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital berbasis GIS (Geographic Information System). Unsur yang dijadikan dasar delineasi satuan peta adalah: bentuk wilayah/lereng, bentuk sawah (diteras atau tidak diteras), bahan induk/litologi, sumber air irigasi dan tingkat manajemen pemupukan yang digunakan di suatu wilayah. Unsur bentuk wilayah/lereng diturunkan dari DEM (SRTM atau peta topografi digital), bentuk sawah diperoleh dari citra satelit, bahan induk/litologi diperolah dari peta geologi, sumber air irigasi diperoleh dari peta Rupabumi Indonesia (RBI) dan tingkat manajemen diperoleh Dinas Pertanian setempat. Dengan cara ini, maka (1). delineasi satuan peta dapat dilakukan secara cepat dan mencakup wilayah yang luas, (2). penjelajahan lapangan dilakukan seminimal mungkin dan (3). jumlah contoh tanah yang dianalisis dapat diminimalisir. Tujuan dari tulisan ini adalah membahas salah satu metode pemetaan status hara (P, K dan C-organik) lahan sawah dalam upaya untuk percepatan pemetaan status hara lahan sawah di Indonesia pada skala semi detail (1:50.000).

Kata Kunci: Percepatan pemetaan, status hara, lahan sawah

Abstract. Map of P and K status of wetland is very useful for making recommendations landing site-specific fertilization of rice paddies and the direction of the need for fertilizers in the district, provincial and national levels. Map of P and K status of wetland

(3)

Sukarman et al.

1:50,000 scale useful for preparing rice fertilizer recommendation and referral site-specific fertilizer needs of the district. Map of P and K status of wetland 1:250.000 scale for the allocation of landing a national fertilizer requirement. Making maps of wetland nutrient status has been initiated in 1970 by the Research Institute of Soil and till now only 22 provinces are mapped mapping soil nutrient status. While mapping the nutrient status of 1: 50,000, has just been implemented in several districts in the northern coast, West Java, so it is still a lot of paddy fields in Indonesia is not yet mapped the soil nutrient status. Methods of nutrient status of wetland mapping undertaken to date is the grid method. The use of these methods require long and expensive, because they have to explore all areas of mapping and the number of soil samples are analyzed very much. In order for the mapping of wetland nutrient status throughout Indonesia can be resolved, there needs to accelerate efforts, including using a mapping method that quickly and efficiently and accurately. One alternative method of mapping the acceleration of nutrient status that can be used to delineate the unit is utilizing the analyzed digital maps based on GIS (Geographic Information System). Elements that form the basis delineation map unit are: the shape/slope, form fields (or not diteras diteras), parent material/lithology, source of irrigation water and fertilizer management levels are used in a region. Elements of the shape/slope derived from DEM (SRTM or digital topographic maps), form fields derived from satellite imagery, the parent material/lithology obtained from geological maps, the source of irrigation water obtained from Topographic maps of Indonesia (RBI) and the Agriculture Department acquired the management of local . In this way, then (1). Delineation map unit can be performed quickly and covers a wide area, (2). Field explorations conducted a minimum and (3). The number of soil samples that were analyzed can be minimized. The purpose of this paper is to discuss one method of mapping the nutrient status (P, K and C-organic) paddy field in an effort to accelerate the mapping of wetland nutrient status in Indonesia in the semi detail scale (1:50,000). Keywords: Acceleration mapping, nutrient status, wetland

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian tanaman pangan terutama beras, merupakan salah subsektor yang masih merupakan prioritas pembangunan pertanian di Indonesia. Peningkatan produksi padi nasional tidak terlepas dari digunakannya varietas padi unggul baru (VUB) yang umumnya responsif terhadap pemberian pupuk makro N, P dan K. Untuk memenuhi kebutuhan hara varietas padi VUB dapat dilakukan melalui pemupukan. Apabila tidak dilakukan pemupukan yang cukup, maka tanaman akan menguras unsur hara tersebut dari dalam tanah. Jika tanahnya subur, tanaman padi tidak akan memperlihatkan penurunan produksi dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang akan terjadi penurunan produktivitas tanah dan tanaman. Jika tanah tidak subur maka tanaman padi akan memperlihatkan produktivitas jauh lebih rendah daripada potensi produktivitas yang sebenarnya.

(4)

Status hara tanah sangat dipengaruhi oleh tingkat pengelolaan tanah yang dilakukan petani. Lahan sawah yang dikelola secara intensif dan dipupuk terus menerus diduga mengalami peningkatan kadar hara tanah, terutama kadar P dan K, serta mengalami ketidakseimbangan hara. Sebaliknya pada lahan sawah yang dikelola tidak intensif atau jarang dipupuk, akan terjadi penurunan kadar hara terutama hara K yang mudah tercuci. Untuk itu diperlukan upaya penyusunan peta status hara tanah terutama P dan K untuk mendukung akurasi rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, ketepatan alokasi pupuk, efisiensi pemupukan dan peningkatan mutu intensifikasi.

Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah dan sampai saat ini baru 22 provinsi yang dipetakan status hara tanahnya pada skala 1:250.000. Sementara pemetaan status hara 1:50.000, baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat, sehingga masih banyak lahan sawah di seluruh Indonesia yang belum dipetakan status hara tanahnya. Peta status hara P dan K tanah sawah skala 1:50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten. Untuk itu, perlu dilakukan pemetaan skala 1:50.000 di sentra produksi padi sawah seperti di jalur pantura Jawa, Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Sumatera Barat.

Metode pemetaan status hara lahan sawah yang dilaksanakan sampai saat ini adalah menggunakan metode grid. Penggunaan metode ini memerlukan waktu lama dan mahal karena harus menjelajahi seluruh areal pemetaan dan jumlah contoh tanah yang dianalisis sangat banyak. Agar pemetaan status hara lahan sawah seluruh Indonesia dapat segera diselesaikan, maka perlu adanya upaya untuk melakukan percepatan, diantaranya menggunakan metode pemetaan yang cepat dan efisien serta akurat.

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk membahas kemungkinan memanfaatkan cara delineasi satuan peta yang dianalisis secara digital berbasis GIS

(Geographic Information System), menggunakan unsur-unsur penyebab perbedaan

kandungan unsur hara yang dapat dianalisis dari peta geologi/litologi, DEM (digital elevation model), citra satelit serta data pendukung lainnya.

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN STATUS HARA TANAH

Perbedaan status hara atau keragaman sifat tanah secara ruang dikelompokkan kedalam dua golongan, yaitu keragaman sistematik dan keragaman acak (Wilding dan Drees, 1983 dan Trangmar (1984)). Keragaman sistematik berubah secara berangsur atau secara jelas atau menurut kecenderungan tertentu. Penyebab keragaman sistematis, yaitu perbedaan topografi, litologi, iklim, aktivitas biologi dan umur suatu wilayah.

(5)

Sukarman et al.

Untuk wilayah yang tidak luas, keragaman mungkin berkaitan dengan posisi geomorfik dan litologi/bahan induk, vegetasi dan iklim. Hasil penelitian Ovalles dan Collins (1986) menunjukkan bahwa perbedaan bahan induk tanah dalam suatu landskap dapat menjadi penyebab terjadinya perbedaan sifat-sifat tanah dan terdapat suatu hubungan yang jelas antara perbedaan sifat-sifat tanah dengan posisinya di dalam landskap.

Jenis keragaman spasial lainnya adalah keragaman yang bersifat acak. Keragaman ini tidak dapat dihubungkan dengan penyebabnya yang jelas. Keragaman acak sebenarnya dapat juga dinyatakan sebagai keragaman sistematis jika ditelaah secara lebih detail. Wilding dan Drees (1983) telah meneliti keragaman sifat tanah secara secara lateral maupun vertikal yang menyimpulkan bahwa keragaman sifat tanah disebabkan oleh : 1. Perbedaan litologi: fungsi dari susunan fisik, kimia, dan mineralogi dari bahan induk

yang mencerminkan asal muasal bahan induk, mekanisme transport dan sejarah perkembangannya.

2. Perbedaan intensitas hancuran: fungsi dari jenis dan mekanisme hancuran, pembentukan dan pengangkutan hasil hancuran dan evolusi landskap.

3. Perbedaan erosi dan deposisi: fungsi dari stabilitas landskap dan proses-proses geomorfik.

4. Faktor-faktor biologi: fungsi dari flora dan fauna termasuk pengaruh manusia. 5. Perbedaan hidrologi: fungsi dari iklim, relief, vegetasi dan posisi geomorfik pada

suatu wilayah.

Faktor-faktor tersebut di atas pengaruhnya dapat diidentifikasi secara visual dan terukur. Namun apabila faktor-faktor tersebut berinteraksi seringkali pengaruhnya sulit atau tidak dapat diidentifikasi dengan jelas.

JENIS DAN METODE PEMETAAN STATUS HARA

Pembuatan peta status hara lahan sawah telah dimulai pada tahun 1970 oleh Lembaga Penelitian Tanah yang dipetakan pada skala 1: 250.000, dilanjutkan dengan pemetaan status hara 1: 50.000, dan baru dilaksanakan pada beberapa kabupaten di wilayah Pantura, Jawa Barat.

Pada dasarnya tingkat pemetaan status hara tanah mengikuti tingkat pemetaan untuk pemetaan tanah, yaitu ultra detail (skala 1:> 5.000), detail (skala 1:5.000-10.000), semi detail (skala 1:25.000-50.000), tinjau mendalam (skala 1:50.000-100.000), tinjau (skala 1:100.000-500.000), eksplorasi (skala 1:1.000.000-2.500.000) dan bagan (skala <

(6)

1:2.500.000). Namun demikian di Indonesia pemetaan tanah yang pernah dilakukan umumnya berskala 1: 250.000 atau yang lebih besar.

Peta status hara skala 1: 250.000 sangat bermanfaat sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan, menghitung kebutuhan pupuk nasional serta perencanaan dan arahan distribusi penyaluran pupuk secara nasional di setiap propinsi. Sedangkan peta status hara skala 1: 50.000 bermanfaat untuk menyusun rekomendasi pemupukan padi sawah spesifik lokasi serta arahan kebutuhan pupuk tingkat kabupaten.

Metode pemetaan status hara tanah sawah umumnya menggunakan grid sistematis. Untuk pemetaan skala 1: 250.000, contoh tanah diambil secara komposit pada setiap jarak 2.500 meter, sedangkan untuk pemetaan skala 1: 50.000 contoh tanah komposit diambil pada setiap jarak 500 meter. Semua contoh kemudian dianalisis di laboratorium. Delineasi dilakukan secara manual berdasarkan tiga status unsur hara yang telah ditetapkan sebelumnnya, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dengan berkembangnya teknologi komputer, delineasi peta dilakukan dengan komputerisasi menggunakan teknik GIS. Dalam melakukan deliniasi peta untuk membatasi antara lahan sawah berstatus rendah, sedang dan tinggi berdasarkan kepada hasil analisis tanah dengan memperhatikan bahan induk, jenis tanah, topografi/bentuk wilayah, dan batas alam (sungai/jalan).

Beberapa pemetaan status hara yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian pada skala 1: 50.000 juga dilakukan dengan metode grid. Salah satu contohnya adalah Pemetaan Status hara Sawah di Jawa Tengah.

Dalam pemetaan dengan metode grid seluruh wilayah yang dipetakan harus dijelajahi dan diambil contohnya untuk dianalisis di laboratorium. Dengan harus menjelajahinya seluruh wilayah yang akan dipetakan maka diperlukan waktu yang cukup lama, demikian juga halnya jumlah contoh yang dianalisis akan banyak yang pada gilirannya menyebabkan jumlah biaya yang dikeluarkan menjadi tinggi.

Pengambilan contoh yang dilakukan secara grid juga kurang sesuai jika status hara tanah sebenarnya menyebar secara sistematis. Oleh karena itu pengambilan contoh akan lebih menemui sasarannya jika dilakukan berdasarkan pola sistematis sesuai dengan kemungkinan perbedaan status hara tanahnya. Dengan perkataan lain pengambilan contoh perlu dilakukan secara taktis mengikuti kemungkinan pola penyebarannya. Hal ini menyebabkan jumlah contoh yang perlu diambil tidak terlalu banyak, karena dapat dipilih tempat-tempat mana saja contoh tanahnya dapat diambil untuk dianalisis di laboratorium. Pemetaan status hara tanah tingkat semi detail oleh Pusat Penelitian Tanah untuk pembukaan lahan transmigrasi di luar Pulau Jawa, penilaian status hara didasarkan kepada satuan peta tanah yang telah disusun. Pengambilan contoh tanah komposit dilakukan dari setiap satuan peta tanah yang telah terbentuk dengan memperhatikan penyebaran jenis

(7)

Sukarman et al.

tanahnya pada suatu landskap. Sebagai contoh dalam Pemetaan Tanah Semi Detail di Lokasi Transmigrasi Taluk Kuantan Riau (Tim Pusat Penelitian Tanah, 1981) contoh komposit untuk penilaian status hara tanah diambil di setiap satuan peta tanah dengan jumlah 2 sampai 5 contoh tergantung dari luasan satuan peta tanah tersebut. Hal yang serupa juga dilakukan pada pemetaan tanah di Pabrik Gula Jati Tujuh, Jatibarang Jawa Barat (Lembaga Penelitian Tanah, 1980); Pemetaan Tanah Semi Detail Daerah Mbay dan Magepanda (Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1996a, 1996b).

KONSEP PENYUSUNAN SATUAN PETA STATUS HARA TANAH

Penilaian status hara khususnya tanah sawah didasarkan kepada status hara yang ada di lapisan atas (top soils). Para peneliti sudah lama mendapatkan bahwa sifat kimia tanah di permukaan tanah mempunyai variabilitas yang tinggi dibandingkan sifat kimia di dalam sub soil atau sifat penciri untuk klasifikasi tanah. Penelitian keragaman sifat tanah sudah dimulai sejak tahun 1915 (Wilding dan Drees, 1983). Hasil penelitian Rachim (1989) di Bogor, mendapatkan bahwa sifat-sifat kimia tanah mempunyai variabilitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan sifat fisika tanah, kecuali pH dan kapasitas tukar kation.

Menurut Wilding dan Drees (1983) keragaman maupun keseragaman sifat tanah dipengaruhi oleh: perbedaan litologi/bahan induk, intensitas hancuran iklim, perbedaan tingkat erosi dan deposisi, faktor biologi (termasuk pengaruh manusia), perbedaan hidrologi dan akibat kesalahan sampling. Untuk tujuan pemetaan status hara tanah, faktor-faktor tersebut harus diperhatikan secara seksama agar hasil delineasi menghasilkan nilai-nilai yang relatif seragam.

Masalahmendasar yang selalu diperdebatkan dalam pemetaan tanah atau pemetaan status hara adalah penarikan batas (delineasi) satuan peta. Diperlukan adanya suatu konsep bahwa unsur-unsur yang dijadikan dasar dalam delinesasi menghasilkan satus hara tanah yang seragam atau berada pada kisaran yang relatif sempit dan batasnya dapat ditentukan secara mudah dan nyata di lapangan. Perlu dibangun suatu konsep, bagaimana cara melakukan delineasi dari tanda-tanda yang tampak jelas secara visual dan terukur, sehingga dapat dianalisis melalui citra, DEM, data litologi dan data lain yang berpengaruh terhadap status hara suatu wilayah.

Dalam pemetaan tanah, konsep yang dibangun adalah melalui pendekatan landform. Landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu dan melalui suatu evolusi tertentu pula (Marsoedi et al. 1997). Pemahamanyang mendorong digunakannya pendekatan landform ini adalah bahwa pada pemetaan tanah berskala kecil, batas-batas penyebaran tanah sulit ditentukan, sebaliknya batas-batas landform tampak lebih jelas. Yang menjadi pertanyaan

(8)

adalah apakah pendekatan landform yang digunakan dalam pemetaan tanah, dapat juga digunakan untuk delineasi pemetaan status hara tanah ? Nampaknya konsep ini dapat digunakan dengan tambahan data lainnya diantaranya adalah data sumber air irigasi, kondisi sawah (diteras atau tidak) dan penggunaan pupuk (pengaruh manusia).

METODE PERCEPATAN PEMETAAN YANG DAPAT DITERAPKAN

Uraian di atas menunjukkan bahwa selama ini, metode pemetaan status hara tanah masih menggunakan sistem grid yang kurang memperhatikan pola penyebaran perbedaan status hara tanah yang sebenarnya di lapangan. Dengan memperhatikan pola penyebarannya, sebenarnya jumlah pengamatan maupun jumlah contoh tanah dapat dikurangi semininal mungkin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya efisiensi dalam waktu dan biaya.

Agar jumlah pengamatan lapang dan jumlah contoh dapat dikurangi secara signifikan, maka perlu ada metode terobosan yang dapat mendukung keinginan tersebut.

Metode terobosan tersebut meliputi memperhatikan beberapa aspek: 1. Metode tersebut dikembangkan harus berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

2. Metode diarahkan kepada penggunaan teknik-teknik pemetaan mutakhir yang dapat meningkatkan efisiensi waktu dan dana tanpa mengurangi keakuratan peta status hara yang dihasilkan.

3. Delineasi satuan peta status hara didasarkan kepada kemungkinan penyebaran perbedaan status hara yang diyakini disebabkan oleh faktor penyebab keragaman tanah secara spasial.

4. Faktor penyebab perbedaan status hara harus dapat diidentifikasi di lapangan dan terekam dalam alat bantu yang digunakan (Citra satelit, DEM, Peta geologi dll). 5. Delineasi satuan peta status hara menggunakan teknik komputer berbasis GIS. 6. Hasil delineasi harus diverifikasi di lapangan.

7. Penetapan status hara tanah harus berdasarkan data contoh tanah komposit yang diambil di lapangan, pada setiap satuan peta status hasil delineasi.

8. Jumlah sample yang diambil secara komposit pada setiap satuan peta status hasil delineasi didasarkan kepada kemunginan variabilitas tanahnya yang bersifat acak. 9. Karena itu, untuk pemetaan status hara skala 1: 50.000 perlu disusun suatu konsep

satuan peta status hara yang dapat didelineasi mempergunakan alat bantu, yang memperhatikan penyebaran keragaman/kehomogeman secara lateral unsur hara tanah (terutama P, K dan C-organik) di lapangan.

(9)

Sukarman et al.

Metode yang dapat diterapkan dalam upaya percepatan pemetaan adalah meliputi perbaikan metode delineasi satuan peta dan perbaikan jumlah pengambilan contoh tanah yang akan dianalisis. Agar pelaksanaan delineasi dapat dilakukan secara cepat, maka pelaksanaannya harus terkomputerisasi berbasis GIS. Delineasi satuan peta memanfaatkan DEM resolusi 30 meter yang bersumber dari peta kontur/Peta Rupabumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000 - 1: 50.000 atau DEM dari Suttle Radar Topographic Mission resolusi 30 meter. Berbegai atribut landform dan faktor penentu variabilitas unsur hara dapat dianalisis dari DEM dan citra satelit. Arc GIS, dan Arcview merupakan salah satu perangkat lunak yang dapat digunakan untuk analisis atribut landform dari DEM. Sedangkan program ER Mapper dapat digunakan untuk analisis citra satelit. Dengan memadukan hasil analisis dari kedua sumber data tersebut, berbagai kelemahan dari DEM dan kelemahan dari Citra satelit dapat diminimalisir.

Contoh tanah yang diambil secara komposit untuk analisis kimia tanah tidak perlu dilakukan secara sistem grid berjarak 500 meter, tetapi cukup diwakili oleh beberapa pewakil dari setiap satuan tanah yang sebelumnya dibuat. Setiap satuan tanah yang terbentuk diwakili oleh tiga contoh tanah komposit yang diambil secara acak. Dengan cara ini, diharapkan pengambilan contoh tanah dapat mewakili penyebaran tanah sebenarnya di lapangan, selain itu jumlah contoh tanah yang diambil untuk dianalsis dapat diminimalisir.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Untuk mendukung program ketahanan pangan yang lebih operasional, penyediaan data status hara skala 1: 50.000 harus dipercepat.

2. Percepatan penyediaan data status hara tidak bisa mengandalkan metode konvensional yang kurang efisien dalam hal waktu, tenaga dan biaya.

3. Diperlukan terobosan baru penggunaan metode pemetaan status hara memanfaatkan kemajuan IPTEK, pendekatan metode fisiografi dari DEM yang dipadukan dengan peta geologi/litologi, Data Hidrologi (DAS), citra satelit berbasis GIS merupakan salah satu alternatif untuk menanggulangi masalah ini.

4. Penggunaan metode delineasi secara digital dapat menghasilkan peta status hara dengan lebih cepat, efisien dan murah.

Saran

1. Untuk kelancaran percepatan pemetaan status hara diperlukan pengembangan infrastruktur jaringan komputer intern di BBSDLP maupun untuk akses data ke sumber data, dan pengembangan sumberdaya manusia.

(10)

2. Data base satus hara tanah sawah maupun lahan kering perlu terus dikembangkan untuk mendukung kegiatan ini.

3. Perlu ditindak lanjuti dengan penyusunan Petunjuk Teknis yang lebih operasional

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah. 2011. Pemetaan Status Hara P dan K Sebagai Dasar Penyusunan Rekomendasi Pemupukan Padi Sawah . Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Ungaran.

Lembaga Penelitian Tanah. 1980. Survai dan Pemetaan Tanah, Areal Proyek Gula Jatitujuh-Jatibarang, Jawa Barat. Kerjasama Proyek Industri Gula Pusat, Direktorat Jenderal Perkebunan dengan Lembaga Penelitian Tanah. Lembaga Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Marsoedi, D. S., Widagdo, J. Dai, N. Suharta, Darul S.W.P., S. Hardjowigeno dan E.R.

Jordens. 1997. Pedoman klasifikasi Landform. Technical Report No.5, Versi 3. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Ovalles, F.A. and M. E. Collins. 1986. Soil-landscape relationships and soil variability in North Central Florida. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 22:157-160.

Rachim, D.A. 1989. Evaluasi ketelitian pemetaan tanah detil dan keragaman spasial tanah pada dua satuan peta di daerah Bogor. Thesis Magister Sains. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996a. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail (skala 1: 50.000) daerah Mbay, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Tim Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1996b. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail (skala 1: 50.000) daerah Magepanda, Flores, Nusa Tenggara Timur. Bagian Proyek Penelitian Sumberdaya Lahan dan Agroklimat, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Tim Pusat Penelitian Tanah. 1981. Pemetaan Tanah Tingkat Semi Detail (skala 1: 50.000) daerah Taluk Kuanatan, Raiau. Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi, Pusat Penelitian Tanah, Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Trangmar, B.B. 1984. Spatial Variability of Soil Properties in Sitiung, West Sumatra, Indonesia. PhD Dissertation, University of Hawaii.

Wilding, L.P. and L.R. Drees. 1983. Spasial variability and pedology. In Wilding, L.P., N.E. Semeck and G.F. Hall (Ed). Pedogenesis and Soil Taxonomy I. Concepts and Interactions. Elsevier.

Referensi

Dokumen terkait

dari dari kendala tersebut adalah tidak adanya buku pegangan guru dan siswa, sehingga dalam pembelajaran akuntansi sendiri guru masih mencari materi dari internet,

Perubahan sosial yang pengaruhnya kecil adalah perubahan sosial yang terjadi pada struktur sosial tetapi tidak membawa pengaruh langsung bagi masyarakat. Contohnya perubahan

HUBUNGAN ANTARA KEKUATAN OTOT LENGAN, KEKUATAN OTOT PUNGGUNG DAN KEKUATAN OTOT TUNGKAI TERHADAP KEMAMPUAN TOLAK PELURU GAYA O’BRIEN PADA SISWA PUTRA.. SMK MUHAMMADIYAH 1,

• Programmer Programmer tidak tahu tidak tahu di bagian memori yang di bagian memori yang mana program akan ditaruh pada saat dieksekusi • Pada saat program dieksekusi dimungkinkan..

Luaran yang diharapkan dari kegiatan ini, yaitu melalui usaha gelas lukis dengan kreasi pengunjung dapat menarik pengunjung baik pengunjung dari dalam (UNNES) maupun dari

penghasilan, dan utang selain utang dagang. Kewajiban berbunga jangka panjang yang digunakan untuk membiayai modal kerja dan tidak jatuh tempo dalam jangka waktu dua

upaya yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan partisipasi siswa dalam pembelajaran adalah dengan menggunakan

Tässä tutkimuksessa pyritään löytämään keinoja peruskoulun seksuaalikasvatuksen ke- hittämiseen määrittelemällä, mitä seksuaalikasvatuksen tulisi olla, miten sen opetus