• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daftar Isi. Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir. Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Daftar Isi. Penanggung jawab: Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir. Redaktur: Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

UTAMA:

l Penguatan Beberapa Sumber Penerimaan Pajak Sebagai Upaya

Mitigasi Risiko APBN ... 4 Oleh: Hadi Setiawan dan Sofia Arie Damayanty

l Mengurai Mitigasi Risiko untuk Penerimaan Negara...10 Oleh: Novijan Janis

l Eksplorasi Sumber-Sumber Penerimaan Pajak dan Mengatasi Usaha

Penghindaran Pajak dalam Agenda Perpajakan Internasional ... 17 Oleh: Rahadian Zulfadin

MiTigAsi risiko:

l Mengkaji Isu Lintas Generasi dalam Pengelolaan Risiko Keuangan Negara .. 20 Oleh: Farid Arif Wibowo

l Permasalahan Dan Tantangan BUMN sebagai Salah Satu Instrumen

Penerimaan Negara ...25 Oleh: Indria Wardhani

wAwAncArA:

l Wawancara Redaksi Buletin Info Risiko Fiskal (IRF) dengan ... 30 Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax

(Staff Ahli Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan)

Oleh: Riko Amir, Hadi Setiawan, Hendro Ratnanto Joni, Ivan Yulianto, Hani Widyastuti

edUkAsi fiskAl:

l Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional dengan Terbitnya Perpres

Perubahan Kedua tentang Jaminan Kesehatan ...33 Oleh: Cheva Arifyani

l Penjaminan Pemerintah atas Pembiayaan Proyek Tol Trans Sumatera

oleh PT Hutama Karya (Persero) ... 38 Oleh: Hilman Qomarsono

opini:

l Mengatur Layar Haluan Kapal Ekonomi Indonesia Untuk Mengarungi Samudra Ekonomi Global ... 42 Oleh: Eko Nur Surachman

info UTAng peMerinTAh ...47 sekilAs info risiko ... 49 exposUre ... 50

Daftar Isi

www.actualidadecommerce.com

Penanggung jawab:

Freddy R. Saragih Brahmantio Isdijoso Riko Amir

RedaktuR:

Heri Setiawan, Fajar Hasri Ramadhana, Tony Prianto

Penyunting/editoR:

Syahrir Ika, Farid Arif Wibowo, Ivan Yulianto, Novijan Janis, Riza Azmi, Hendro Ratnanto Joni, Eko Nur Surachman, Hadi Setiawan, Muhamad Nasir

desain gRafis dan Layout:

Tim Grafis PNM

sekRetaRiat:

Hani Widyastuti, Hapsari Widowati, Rahmat Mulyono, Moh. Kharis Syukron

PeneRbit:

Direktorat Pengelolaan Risiko Keuangan Negara – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko

PeRcetakan:

PT Prima Najah Mandiri

aLamat:

Gedung Frans Seda lantai 1, Jl. Dr. Wahidin No. 1 Jakarta Pusat 10710. Telp. 021-3505052 ext. 2112 Fax. 021-3846786

Email: buletin.irf@kemenkeu.go.id Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Tulisan dan artikel ditulis dalam huruf arial 11, spasi 1,5, maksimal 10 halaman A4. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi.

2

Pandangan, gagasan, atau ide yang termuat dalam buku ini bukanlah representasi dari pikiran atau kebijakan yang keluar dari Dit. PRKN, DJPPR, Kementerian Keuangan, melainkan sepenuhnya menjadi

(3)

Editorial

P

otensi penerimaan pajak sebenarnya cukup besar, akan tetapi pemerintah memiliki kesulitan untuk mengailnya. Ada enam indikator yang bisa men-jelaskan hipotesis ini.

Pertama, ekonomi Indonesia tumbuh di atas 4%. Itu berarti ada peningkatan penghasilan dan nilai tambah ekonomi yang merupakan basis pajak. Kedua, tax ratio masih rendah, angkanya tidak mampu melewati 12%. Ketiga, jumlah pembayar pajak masih sangat sedikit. BPS melaporkan bahwa jumlah wajib pajak (WP) Orang Pri-badi (OP) yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) hanya 19.9 juta, padahal jumlah rumah tangga di Indonesia mencapai 61 juta (Sensus Penduduk 2010). Begitu juga WP Badan hanya sebanyak 1,9 juta NPWP Badan dari sekitar 23 badan usaha yang ada di Indone-sia. Dari jumlah tersebut, yang aktif menjadi pembayar pajak dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajaknya hanya sekitar separuh jumlah yang memiliki NPWP. Angka-angka tersebut memberikan indikasi bah-wa basis pajak di Indonesia masih sangat sempit. Keem-pat, tax ratio PPh Orang Pribadi baru mencapai 0,94%, padahal Direktorat Jenderal Pajak pernah menyebutkan penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saat ini mencapai sekitar 60 juta WP. Dari jumlah ter -sebut, sebanyak 26 juta WP telah terdaftar, sementara sisanya 34 juta WP belum terdaftar. Sedangkan potensi penerimaan pajak dari OP setidaknya mencapai Rp300 triliun (Fuad Rahmany, Bisnis.com, 29 Juni 2014). Kelima, tax coverage ratio hanya 56% untuk PPh OB dan 55% un -tuk PPN. Keenam, tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah, yang tergambar dari sedikit sekali wajib pajak yang menyampaikan SPT ke Direktorat Jenderal pajak Kementerian Keuangan. Banyak orang kaya Indonesia yang menempatkan dananya di luar negeri mengkon-firmasi bahwa para WP tersebut tidak patuh membayar pajak.

Potensi penerimaan pajak yang cukup besar ini se-benarnya bisa dikail asalkan pemerintah benar-benar

serius dan konsisten membenahi beberapa aspek yang masih lemah seperti data base, single identity number, kualitas pelayanan, dan law enforcement. Data base harus diperkuat, single identity number harus segera di-bangun, kualitas pelayanan harus ditingkatkan, begitu juga law enforcement harus diterapkan secara konsisten tanpa pandang bulu. Bila kita tanyakan kepada rekan-rekan di DJP, mereka mungkin saja mengatakan semua upaya itu sudah kami kerjakan. Namun, fakta menun -jukan potensi pajak yang begitu besar masih sulit dikail. Pasti ada sesuatu yang mengganjal yang perlu mendapat tindakan koreksi. Mungkin cara kita dalam memandang sesuatu persoalan (mindset) yang perlu kita koreksi.

Selama ini, bisa jadi kita terbiasa menyalahkan faktor yang berada di luar kita yang menyebabkan penerima-an negara menurun atau tidak mencapai target. Mung-kin kita sudah terbiasa menunggu WP datang sehingga ekspektasi penerimaan kita ditentukan oleh sebesar-besar probabilitas kedatangan WP. Mungkin kita cukup puas dengan hanya mengail di wilayah-wilayah tertentu yang merupakan “wilayah kakap” dan kurang tertarik untuk mendatangi “wilayah teri” yang sebenarnya tidak kalah potensinya. Intensifikasi pemungutan pajak menjadi ku -rang berdaya hasil karena hambatannya ada di dapur kita sendiri, tetapi luput dari perhatian kita. Kelemahan adiministrasi perpajakan, kelembagaan dan kompeten -si SDM, serta kualitas pelayanan, semua itu merupakan urusan kita, bukan urusan orang lain. Lemahnya pene -rapan reward and punishment kepada WP, itu juga urus -an kita. Siapa-siapa y-ang mestinya diberi am-anah untuk memimpin Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari Dirjen hingga Kepala KPP, itu juga urusan kita. Kalau kita fokus menyelesaikan semua hal yang menjadi “urusan kita” ter-sebut, paling tidak 70% dari persoalan penerimaan pajak bisa kita selesaikan. Kunci keberhasilan dalam mengail pajak terletak pada daya effort kita sendiri.

Demikian editorial, selamat membaca.

 Syahrir Ika

Mengail

(4)

U

T

A

M

A

1. Pendahuluan

Pemerintah telah melakukan tiga reformasi utama dalam kebijak-an APBN, yaitu (i) mengubah struktur pendapatan negara dari yang sebe-lumnya mengandalkan sumber daya alam, menjadi mengandalkan pajak; (ii) mengubah belanja yang sifatnya kurang produktif seperti subsidi BBM, menjadi kebijakan belanja yang pro-duktif, misalnya pembangunan in -frastruktur, perlindungan sosial dan penganggulangan kemiskinan; dan (iii) mengubah kebijakan financing yang sebelumnya hanya

mengandal-kan pada pasar keuangan menjadi kebijakan financing yang mengkom-binasikan financing dari dari sumber-sumber lain seperti bilateral maupun non-bilateral (Nazara, 2015).

Dalam hal pendapatan negara, pajak telah menjadi andalan peneri-maan sejak beberapa tahun yang lalu dan semakin menjadi andalan pada tahun 2015 (mencapai 71% dari total penerimaan dalam negeri). Tabel 1 menunjukkan perincian proporsi pe-nerimaan pajak, perpajakan diban -dingkan dengan total penerimaan dalam negeri di APBN.

Tetapi jika melihat dari sisi ca -pain target, tax ratio maupun tax bouyancy, hasil yang didapat dari kinerja pajak memang tidak begitu menggembirakan. Realisasi peneri-maan pajak tidak pernah mencapai target dalam 10 tahun terakhir kecuali pada tahun 2008 dimana Indonesia menerapkan sunset policy. Terlebih di tahun 2015, dimana penerimaan pajak hanya sekitar 81,5% dari target yang ditetapkan.

Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam 2 tahun terakhir, nilai tax buoyancy1 Indonesia berada dibawah 1.

Penguatan Beberapa

Sumber Penerimaan Pajak

Sebagai Upaya Mitigasi

Risiko APBN

Oleh: Hadi Setiawan

1

dan Sofia Arie Damayanty

2

1. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email: hadi.setia@gmail.com

2. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email: momizzan@gmail.com

Tabel 1. Proporsi Penerimaan Pajak, Perpajakan Terhadap Penerimaan Dalam Negeri

(Dalam triliun rupiah)

Tahun Penerimaan Pajak

Tanpa PPh Migas dengan PPh MigasPenerimaan Pajak Penerimaan Perpajakan Penerimaan Dalam Negeri B : E(%) C : E(%) D : E(%)

A B C D E F G H 2005 263,39 298,54 347,00 493,92 53,33 60,44 70,3 2006 315,01 358,20 409,20 636,15 49,52 56,31 64,3 2007 381,37 425,37 491,00 706,11 54,01 60,24 69,5 2008 494,09 571,11 658,70 979,30 50,45 58,32 67,3 2009 494,49 544,53 619,90 847,10 58,37 64,28 73,2 2010 569,35 628,23 723,30 992,25 57,38 63,31 72,9 2011 669,65 742,74 873,90 1.205,35 55,56 61,62 72,5 2012 752,37 835,83 980,50 1.332,32 56,47 62,73 73,6 2013 832,65 921,40 1.077,31 1.432,06 58,14 64,34 75,2 2014 897,68 985,13 1.146,87 1.545,46 58,09 63,74 74,2 2015 1.011,16 1.060,00 1.235,80 1.491,50 67,79 71,07 82,9

(5)

U

T

A

M

A

Hal ini menunjukkan bahwa secara rasio pertumbuhan penerimaan pa-jak masih kalah cepat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi (Amir, 2014). Jika kondisi ini terus berlang-sung, maka risiko terbesar APBN akan beralih ke penerimaan pajak. Artinya, jika penerimaan pajak selalu jauh dari target, maka Pemerintah harus ber -pikir untuk mencari cara lain agar dapat menutupi belanja yang harus dikeluarkan, apalagi Pemerintahan Jokowi saat ini sedang gencar-gen-carnya menggenjot pembangunan in-frastruktur yang membutuhkan dana sangat besar. Salah satu caranya ada-lah dengan memperbesar pembiaya-an, tetapi besarnya pembiayaan harus selalu dijaga di bawah 3% PDB, agar tidak melanggar UU dan khususnya juga agar tidak membahayakan bagi perekonomian Indonesia.

Melihat kondisi tersebut, di ta -hun-tahun mendatang, Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus bekerja lebih keras dan lebih cerdas agar dapat meningkat-kan kinerja penerimaan pajak. Inten-sifikasi dan ekstenInten-sifikasi harus terus dilakukan oleh DJP. Potensi sumber-sumber penerimaan pajak yang sela-ma ini belum tersentuh harus mulai dicermati dan digali. Tulisan ini akan mengulas beberapa strategi dari

se-kian banyak strategi yang bisa dila-kukan oleh DJP untuk dapat mening -katkan penerimaan pajak khususnya terhadap sumber-sumber penerimaan yang selama ini belum banyak disen-tuh agar efek buruk sebagaimana di-sebutkan diatas yaitu Indonesia “terli-lit” utang untuk membiayai APBNnya dapat dihindari.

2. Penguatan BeBeraPa

suMBer PeneriMaan

PerPajakan

a. Potensi Pajak dari Kegiatan e-Commerce

Perdagangan dalam jaringan on-line (e-commerce) sangat marak seka-rang ini seiring dengan semakin besar dan pesatnya pengguna internet di Indonesia. Menurut Menteri Kominfo Rudiantara, perdagangan elektronik Indonesia meningkat sangat pesat. Pada tahun 2013, nilainya ditaksir se -kitar US$8 miliar. Pada tahun 2014, ditaksir meningkat menjadi US$ 13 miliar dan pada tahun 2015 diperkira-kan menjadi US$ 20 miliar bahdiperkira-kan di tahun 2020 diharapkan menjadi US$ 135 miliar (Sinar Harapan, 2015). Suatu angka yang sangat fantastis, yang ber -arti potensi pajak disitu juga sangat besar, baik dari PPN maupun dari PPh.

E-commerce sendiri berarti pe-nyebaran, pembelian, penjualan,

pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan kompu -ter lainnya (wikipedia, 2016). Sedang -kan menurut Etemad (2004) mengata-kan bahwa e-commerce adalah suatu transaksi yang terjadi melalui jaringan elektronik, sebagian besar melalui in -ternet yang mencakup proses penye-diaan, membeli dan menjual barang, jasa dan informasi secara elektronik. Selain itu sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE No. 62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013, e-commerce diar-tikan sebagai perdagangan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha dan konsumen melalui sistem elektronik (Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan, 2013). Secara umum terdapat lima bentuk e-commerce di Indonesia (maxmonroe.com, 2015), yaitu: (i) Daftar iklan baris, yaitu penyedia

jasa e-commerce tidak terlibat se-cara langsung dalam proses jual beli yang terjadi. Dalam bentuk bisnis ini, pihak perusahaan e-commerce hanya menjadi me-dia yang mempertemukan an-tara penjual dan pembeli dalam satu tempat. Pihak perusahaan e-commerce mengambil keun-tungan dari iklan premium yang terpasang pada website tersebut. Contoh bisnis ini adalah berniaga. com, olx.com, termasuk Kaskus FJB.

(ii) Marketplace C2C (customer to customer), model bisnis e-com-merce ini sedikit lebih kompleks dibandingkan dengan model bis-nis yang pertama. Disini, penye -dia jasa e-commerce selain me-nyediakan tempat bagi pembeli dan penjual juga memberikan la-yanan metode pembayaran dari transaksi online yang dilakukan melalui layanan escrow atau re-kening pihak ketiga. Perusahaan e-commerce mendapatkan peng-Sumber: LKPP, BPS, dan Laporan Tahunan DJP

Gambar 1. Perbandingan Realisasi Penerimaan Pajak, Pertumbuhan

Penerimaan Pajak, PDB, Tax Ratio, dan Tax Buoyancy

(6)

U

T

A

M

A

hasilan dari sistem iklan premium dan juga adanya komisi dari jasa escrow. Contoh bisnis ini adalah tokopedia, traveloka, bukalapak dan lamido.

(iii) Shopping Mall, merupakan bentuk bisnis e-commerce yang mirip dengan bentuk bisnis Marketplace C2C. Perbedaannya hanya pada penjual yang ada pada e-commerce tersebut. Pada bisnis e-commerce model ini ha-nya brand-brand besar yang telah mempunyai nama di pasar lokal atau pun internasional yang bisa masuk di website bentuk bisnis ini. Kemudian untuk masuk pun biasanya dilakukan proses

veri-fikasi yang tidak mudah. Pen-dapatan e-commerce ini adalah dari komisi penjual yang nota-benenya brand besar tersebut. Contoh bentuk bisnis ini adalah blibli.com.

(iv) Toko online B2C (Business to Consumer), bentuk bisnis e-com-merce ini adalah seperti toko konvensional pada umumnya, yaitu mereka menjual produk milik perusahaan e-commerce tersebut sendiri. Sehingga se-mua keuntungan dari penjualan murni dimiliki oleh perusahaan e-commerce. Contoh bentuk bis-nis ini adalah Lazada, Bhinneka, Berry Benka, dan lain-lain.

(v) Sosial Media Shop, bentuk bisnis e-commerce ini memanfaatkan sosial media untuk berjualan. Saat ini sosial media yang banyak digunakan adalah facebook. Berdasarkan lima bentuk e-commerce di Indonesia yang dijelas-kan sebelumnya, dapat dirinci potensi pajak yang bisa diperoleh oleh negara sebagaimana terlihat dalam Tabel. 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa dari kelima bentuk bisnis e-commerce sebut sebagian besarnya belum ter-sentuh oleh pajak khususnya untuk jenis bisnis nomor 1 sampai dengan tiga. Karena pada umumnya data penjualnya sangat banyak dan susah terdeteksi. Dilihat dari sisi aturan, se

-Tabel 1. Potensi Pajak dari Lima Bentuk e-commerce

Bentuk e-commerce Transaksi Yang Terutang Pajak Jenis Pajak Terutang

Daftar Iklan Baris • Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan

penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas Objek PPh Pasal 23

laba

• Objek PPN

• penjualan barang dan jasa oleh penjual • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas

laba

• Objek PPN Marketplace C2C • Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan

penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas Objek PPh Pasal 23

laba

• Objek PPN

• Penyediaan layanan jasa escrow atau jasa rekening

pihak ketiga oleh penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT TahunanObjek PPh Pasal 23 • Objek PPN

• penjualan barang dan jasa oleh penjual • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas

laba

• Objek PPN Shopping Mall • Penyediaan laman untuk iklan oleh perusahaan

penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas Objek PPh Pasal 23

laba

• Objek PPN

• komisi penjualan yang diterima oleh perusahaan

penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas Objek PPh Pasal 23

laba

• Objek PPN

• Penyediaan layanan jasa escrow atau jasa rekening

pihak ketiga oleh penyedia jasa e-commerce • • Objek PPh dalam SPT TahunanObjek PPh Pasal 23 • Objek PPN

penjualan barang dan jasa oleh penjual • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas

laba

• Objek PPN

Toko Online B2C • penjualan barang dan jasa oleh penjual • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas

laba

• Objek PPN

Sosial Media Shop • penjualan barang dan jasa oleh penjual • Objek PPh dalam SPT Tahunan atas

laba

(7)

U

T

A

M

A

harusnya aturan pajak yang ada saat ini juga berlaku untuk bisnis online se-bagaimana ditegaskan dalam SE No. 62/PJ/2013 tanggal 27 Desember 2013 tetapi harus diakui bahwa aturan-aturan tersebut sedikit sulit untuk ditegakkan. Hal ini terjadi karena si-fat bisnis online yang sangat berbeda dengan bisnis konvensional. Dalam bisnis online lokasi jual beli sulit di-tentukan, pembeli dan penjualnya agak susah untuk dideteksi karena tidak perlu ketemu, pembayarannya sangat mungkin dilakukan secara tu-nai/kas, dan sebagainya. Oleh karena itu, hal ini menjadi PR besar bagi pe -merintah untuk bisa menggali potensi pajak dari bisnis online ini khususnya untuk mempersiapkan infrastruktur dan SDM yang mumpuni untuk dapat menggali dan “menangkap” potensi pajak dari bisnis ini.

Selain perusahaan-perusahaan lokal yang menjalankan bisnis online tersebut, banyak juga pemain asing yang berusaha di Indonesia dan sama sekali tidak tersentuh pajak di Indonesia karena tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) sehingga susah untuk dipajaki dan umumnya transaksinya juga sulit untuk didetek-si. Perusahaan asing tersebut seperti amazon, agoda, booking.com, airbnb, dan lain-lain. Potensi penerimaan pa-jak dari perusahaan asing ini juga sa-ngat besar.

Hal lain yang juga masih sangat hangat adalah bisnis online berben-tuk jasa seperti unberben-tuk sektor trans-portasi (Uber, Grab, Lyft, Go-Jek, dll), asuransi (Malacca EZ), Perbankan (investree, modalku, koinworks, len -dingclub), jasa rumah tangga (sejasa, homejoy, Go-Clean, dan HapyFresh).

Semua bisnis ini juga berpotensi me-nambah penerimaan PPh maupun PPN.

B. alternative MiniMuM

taxation (aMt)

Sampai dengan tahun 2015 lebih dari 4000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mengalami kerugian sehingga mereka tidak perlu membayar pajak (Kristiaji, 2015). Apa -kah PMA tersebut benar-benar rugi atau melakukan praktek transfer pri-cing dan memindahkan keuntungan ke luar negeri? Hal ini yang masih menjadi pertanyaan, karena sebagian dari PMA tersebut sudah beroperasi cukup lama di Indonesia. Direktur Pe -meriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak, Edi Slamet Irianto juga mengatakan bahwa jumlah PMA yang mengalami kerugian adalah sebesar

Tabel 2. Beberapa Praktek AMT di Negara Lain

No. Negara Dasar Perhitungan

Based on Assets

1. Argentina 1% dari jumlah aset pada akhir tahun pajak

2. El Savador 1% dari jumlah net aset

3. Rep. Dominika 1% total nilai aset (jika lebih besar dari nilai utang perusahaan)

Based on Turnover

4. Phillipina if corporate tax is less than 2% on gross income

5. Nicaragua 1% on the annual gross income

6. Niger 1% of the gross margin for industrial companies, and 1.5% of the gross margin for other companies

7. Mozambiq for turnover less than USD 85,000

8. Burundi minimum lump-sum tax: 1% of annual turnover

9. Canada only province of Ontario: 2.7% where total revenue equals or exceeds CAD 100 million and total assets equal or exceed CAD 50 million

10. Afrika Tengah 0.3% of annual turnover for agricultural activities; 1.85% of annual turnover for other activities

11. Kamerun 2.2% of turnover

12. Djibouti 1% of the turnover exclusive of VAT, with a minimum of DJF 120,000

13. Gambia AMT: 1.5% and 2.5% of gross revenues for audited and unaudited accounts, respectively; 3% final presumptive tax on turnover below GMD 500,000

14. Guinea Bissau 1% of annual turnover

15. Hungaria The general corporate tax rates apply on a taxable base of 2% of the annual revenue if a taxpayer fails to provide the tax authorities with a cost structure of his deductible expenses

16. Kamboja minimum 1% of annual business turnover

17. Tajikistan 1% on gross income if no corporate income tax is due

18. Taiwan 10% AMT applies to the companies that earn exempt income (exempt income is added back to the taxable profits, and taxed at 10% - 12%).

19. Tanzania 0.3% payable by organizations with perpetual unrelieved losses for 5 consecutive years

20. US 20% of alternative minimum taxable income (AMTI) in excess of USD 40,000 if AMT exceeds regular tax

(8)

U

T

A

M

A

28%, sekitar 3.918 PMA rugi selama 1-2 tahun dan 1.150 PMA rugi selama 3-5 tahun (Farman, 2015). Hal ini men -jadi pertanyaan tersendiri bagi Direk -torat Jenderal Pajak dan Pemerintah. Bagaimana bisa sebuah perusahaan yang sudah rugi bertahun-tahun te-tapi masih bisa bertahan dan tetap berusaha di Indonesia.

Salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi praktek yang diduga sebagai “kecurangan” yang dilakukan oleh Wajib Pajak adalah dengan Alternative Minimum Payment. Pengertian Alternative Mi-nimum Payment sendiri adalah se-buah jenis pemajakan yang didisain untuk menghindari perusahaan dari tidak membayar pajak atau memba-yar terlalu kecil dibandingkan dengan penghasilan mereka (Lyon & Silvers-tein, 1995). Dengan mengenakan AMT, potensi penghindaran pemba -yaran pajak bagi WP yang mengaku selalu rugi dapat diminimalisir. Kare-na dengan AMT, WP dipaksa untuk membayar pajak walaupun dia rugi, tentunya ketika ruginya dianggap ti-dak wajar lagi. Pembayaran pajaknya

misalnya sebesar persentase tertentu dari omzetnya, persentase tertentu dari laba kotornya, persentase terten -tu dari nilai aset, atau perhi-tungannya lainnya. Tetapi jika seandainya jumlah pajak yang harus dibayar lebih besar dengan menggunakan perhitungan normal maka umumnya jumlah yang dibayar adalah sebesar perhitungan normal.

Beberapa negara yang telah me-nerapkan AMT adalah sebagai dalam tabel 2.

Pengenaan AMT dalam sistem perpajakan di Indonesia dapat dija-dikan salah satu alternatif untuk me-ngurangi praktek-praktek kecurangan yang dilakukan oleh Wajib Pajak khu-susnya WP PMA yang diduga banyak melakukan praktek-praktek transfer pricing. Hal ini sekaligus dapat me-nambah potensi penerimaan pajak.

C. Potensi Pajak dari WP

orang PriBadi

Tahun 2016 merupakan tahun bagi DJP untuk fokus pada Wajib Pajak Orang Pribadi sebagaimana dikatakan oleh Menteri Keuangan

Bambang P.S. Brodjonegoro dalam konferensi pers terkait penerimaan pajak tahun 2015 (Kementerian Ke-uangan, 2016). Hal ini dilakukan ka -rena potensi penerimaan pajak dari WP OP masih sangat kecil. Pada ta-hun 2014, ternyata penerimaan dari PPh OP hanya sebesar 11,20% dari total penerimaan Pajak diluar cukai dan pajak perdagangan internasional (Setiawan, 2015). Jika dilihat dari tax ratio nya, ternyata tax ratio PPh OP Indonesia juga tergolong kecil untuk kawasan ASEAN, yaitu hanya sebe -sar sebe-sar 0,94%. Jauh lebih kecil bandingkan dengan Thailand yang sudah mencapai 8,10%, Vietnam 8,80%, Laos 3,20%, Malaysia 2,29%, Singapura 2,06%, Filipina 1,99%, dan Kamboja 1,80% (Hidayat, 2014).

Menteri Keuangan mengatakan bahwa jumlah penerimaan PPh OP yang kecil ini terutama disebabkan oleh masih sangat rendahnya tingkat kepatuhan pajak dan kecilnya basis WP yang ada saat ini. Setiawan (2015) mengatakan bahwa untuk tahun 2015 saja sebetulnya terdapat potensi pe-nerimaan PPh OP yang masih dapat

digali oleh DJP yaitu sebesar Rp 26,4 trili -un (pesimis) sampai dengan Rp61,6 triliun (optimis).

Oleh karena itu peran WP OP sangat diperlukan untuk me-nunjang penerimaan pajak, khususnya dari WP OP non karyawan yang bergerak di sek-tor usaha mikro, kecil, dan menengah yang sangat banyak di In-donesia. Hal ini akan berdampak baik bagi perekonomian Indo-nesia, karena pene -rimaan dari WP OP cenderung lebih tahan

(9)

U

T

A

M

A

referensi

1. Amir, H. (2014). Tax Buoyancy (Kinerja Pemungutan Pajak): Mengapa Menurun? Retrieved March 28, 2016, from http://kangamir.blogspot. co.id/2014/09/tax-buoyancy.html

2. Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. (2013). Surat Edar -an Direktur Henderal Pajak Nomoe SE-62/PJ/2013 tent-ang Penegas-an Ketentuan Perpajakan Ats Transaksi E-Commerce.

3. Etemad, H. (2004). E-commerce: the emergence of a field and its know -ledge network. International Journal of Technology Management. http://doi.org/10.1504/IJTM.2004.005783

4. Farman, G. (2015). Kupas Tuntas Masalah PMA Rugi. Inside Tax, (Edisi 34), 41–42.

5. Hidayat, A. (2014). Analisis Dampak Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Di Indonesia. Jurnal BPPK, 7(1), 1–90.

6. Kementerian Keuangan. (2016). Pemerintah Fokus Pada Wajib Pajak Orang Pribadi Untuk Capai Target Penerimaan 2016. Retrieved April 18, 2016, from http://www.kemenkeu.go.id/Berita/pemerintah-fokus-pada-wajib-pajak-orang-pribadi-untuk-capai-target-penerimaan-2016 7. Kristiaji, B. B. (2015). Multinational Firms’ Losses and Profit Shifting

Behavior in Indonesia: Some Comments (No. 1215). Jakarta.

8. Lyon, A. B., & Silverstein, G. (1995). Alternative Minimum Tax Rules and Multinational Corporations, (January), 39–50.

9. maxmonroe.com. (2015). Mengenal 5 Bentuk Bisnis E-commerce Yang Ada Di Indonesia. Retrieved March 28, 2016, from https://www. maxmanroe.com/mengenal-5-bentuk-bisnis-ecommerce-yang-ada-di-indonesia.html

10. Nazara, S. (2015). Wawancara IRF dengan Kepala BKF. Info Risiko Fiskal Edisi 2.

11. Setiawan, H. (2015). Meningkatkan Penerimaan Pajak Melalui Refor -masi PPh Orang Pribadi. Warta Fiskal Edisi 6.

12. Sinar Harapan. (2015). Potensi Pajak “e-Commerce” Bisa Tembus Rp 15 Triliun. Retrieved March 28, 2015, from http://www.sinarharapan. co/news/read/151029108/potensi-pajak-e-commerce-bisa-tembus-rp-

15-triliun-Catatan kaki

1 Tax Buoyancy dapat dihitung dengan cara membagi pertumbuhan penerimaan perpajakan (secara riil) dengan pertumbuhan ekonomi. Tetapi angka penerimaan perpajakan yang dihitung secara nominal harus disesuaikan dulu untuk menjadi angka riil dengan tahun dasar yang sama dengan perhitungan PDB-nya (Amir, 2014)

terhadap kondisi perekomian global dibandingkan dengan WP Badan (Ke-menterian Keuangan, 2016).

Beberapa hal yang dapat dilaku-kan oleh Pemerintah untuk mening-katkan penerimaan dari WP Orang Pribadi antara lain (i) menambah basis WP yang saat ini masih sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk/pengusaha di Indonesia, (ii) membuat single identity number menjadi kenyataan, (iii) memperkuat database terkait wajib pajak khusus-nya yang terkait dengan harta dan penghasilan yang diperoleh dengan cara bekerjasama sebanyak-banyak nya dengan pihak-pihak yang mem-punyai data, (iv) memperbaiki pela -yanan dan memperbanyak sosialisasi khususnya di mal-mal dan pasar-pasar yang selama ini jarang tersentuh pa-jak sekaligus membuat sistem yang mudah dipahami oleh Wajib Pajak, dan (v) melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu yang di dukung penuh dari pimpinan tertinggi negara ini (Setiawan, 2015).

PenutuP

Kebutuhan penerimaan pajak yang semakin lama semakin besar dan menjadi andalan dalam APBN meng-haruskan Pemerintah untuk memikir-kan cara-cara baru dalam meningkat-kan penerimaan pajak. Intensifikasi dan ekstensifikasi harus dilaksanakan dengan cara yang lebih cerdas dan le-bih tepat sasaran. Hal ini untuk men-jaga jangan sampai penggenjotan penerimaan pajak berakibat pada ter-ganggunya kegiatan ekonomi yang tentunya pasti akan mempengaruhi besaran pertumbuhan ekonomi. Te -tapi apabila pemerintah juga terlalu “longgar” maka efeknya penerima-an pajak menjadi tidak tercapai ypenerima-ang akan berakibat pada tidak sehatnya APBN Indonesia karena untuk menu-tupi defisit yang besar dibutuhkan sumber lain yaitu utang.

Beberapa strategi yang disampai-kan oleh penulis diatas merupadisampai-kan strategi yang patut dicoba oleh Peme-rintah. Pada akhirnya semua membu-tuhkan kemauan dan dukungan dari semua pihak baik dari Pemerintah,

DPR, maupun Wajib Pajak. Semoga besaran penerimaan pajak yang sudah ditargetkan dalam APBN dapat terca-pai dan Indonesia tidak perlu terjebak dalam lilitan “utang” yang melewati batas yang sudah ditetapkan UU. 

(10)

U

T

A

M

A

daMPak PerekonoMian

gloBal

Secara umum kondisi perekono-mian nasional di tahun 2016 diawali dengan ketidakpastian perekonomian global yang berdampak pada pere-konomian dalam negeri. Diantara indikator ketidakpastian perekono-mian global adalah berlanjutnya pe-lemahan perekonomian global dan terakhir melemahnya perekonomian Republik Rakyat Tiongkok yang se -belumnya diharapkan dapat menjadi lokomotif perekonomian global, ke -bijakan rebalancing ekonomi (peng-alihan dari investment-driven menja-di consumption-driven) tidak dapat berjalan dengan lancar, berlanjutnya kejatuhan harga barang komoditas akibat perlambatan ekonomi global, dan ketidakpastian kebijakan ekono-mi di negara-negara maju.

Lemahnya pertumbuhan ekono-mi global dimaksud ternyata membe-rikan dampak negatif pada perekono-mian domestik. Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015 dari Bank Indonesia, sebenarnya pada triwulan IV tahun 2015 perekonomian nasional menunjukkan kinerja positif yang dapat dilihat dari tingkat inflasi yang masih terkendali (sekitar 4%),

defisit transaksi berjalan mulai menu -run (sekitar 2% dari PDB), nilai tukar rupiah yang mulai menguat. Namun demikian tidak dapat di pung kiri bah-wa ekspor masih mengalami kontrak-si, investasi pada pihak swasta masih mengalami penurunan dan lain se-bagainya sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi umum perekonomian domestik masih belum membaik se-cara utuh.

Dalam kondisi perekonomian global dimaksud, banyak negara ter -masuk negara-negara maju menga-lami penurunan dalam hal penerima-an negara. Hal sama juga dialami oleh Republik Indonesia dimana perekono-mian baik dalam skala global maupun dalam skala domestik menyebabkan target penerimaan negara khususnya dari sisi perpajakan tidak dapat ter-capai. Hal dimaksud pada akhirnya memberikan tekanan pada fiskal. Bila mengacu kepada Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (NK-APBN) Tahun Anggaran 2016, maka kondisi tidak tercapainya target penerimaan negara dimaksud dapat dikategorikan sebagai risiko fis -kal. Dalam NK-APBN dimaksud, risiko fiskal diartikan sebagai segala sesu -atu yang di masa mendatang dapat

menimbulkan tekanan fiskal terhadap APBN.

risiko fiskal

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Keuangan sudah me-lakukan pengelolaan risiko fiskal sejak tahun 2005 tepatnya pada saat pem-bentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur (KPRPI) yang dibentuk berdasarkan Keputus-an Menteri KeuKeputus-angKeputus-an nomor 518/ KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Pe-nyediaan Infrastruktur. Namun seca-ra resmi, Pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan pengelolaan risiko fiskal sejak tahun 2008 tepatnya pada saat Pemerintah mengungkapkan Ri-siko Fiskal pada salah satu bab dalam Nota Keuangan dan Anggaran Pen-dapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008. Secara umum, risiko fiskal dalam pelaksanaan APBN dapat muncul dari sisi Pendapatan atau dari sisi Belanja, namun pengungkapan ri -siko fiskal dimaksud pada saat ini le -bih cenderung dari sisi Belanja.

Pada awal pengungkapan risiko fiskal, tekanan fiskal pada APBN me -mang banyak yang berasal dari sisi belanja khususnya dari akun subsidi.

Mengurai Mitigasi

Risiko untuk

Penerimaan Negara

Oleh: Novijan Janis

(11)

U

T

A

M

A

Tekanan fiskal dimaksud muncul kare -na belanja subsidi sering kali melebihi target yang telah ditetapkan. Hal ini dapat terjadi sebagai konsekuensi lo-gis dari komitmen Pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat dalam hal terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat dengan harga yang ter-jangkau. Subsidi dimaksud mencakup subsidi untuk energi, listrik, pangan (tertentu), pupuk, benih, PSO dan bu -nga kredit program. Namun demikian seiring dengan berkelanjutannya per-lambatan ekonomi global sejak tahun 2008 sampai dengan saat ini maka tekanan fiskal pada APBN mulai te -rasa signifikan pada sisi penerimaan (pendapatan) negara.

Dampak akhir yang muncul dari tekanan fiskal pada APBN baik yang berasal dari sisi belanja maupun yang berasal dari penerimaan negara ada-lah terjadinya pelebaran defisit ang -garan. Dalam penjelasan dari Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah diatur ten-tang pembatasan defisit anggaran. Dengan demikian pelebaran defisit anggaran tidak hanya akan berdam-pak pada risiko terhambatnya tujuan dari pembangunan nasional namun juga dapat berdampak kepada risiko kepatuhan (compliance risk). Pada da-sarnya risiko kepatuhan ini diperke-nalkan oleh The Bank for International Settlement (BIS) dalam pengelolaan perbankan untuk memastikan kea-manan dan kenyakea-manan bagi masya-rakat pengguna jasa perbankan. Na-mun jenis risiko ini pun dapat berlaku bagi pelaksana pemerintahan dalam segala segi termasuk dalam pengelo-laan Keuangan Negara.

kinerja PeneriMaan

negara

Menimbang peran strategis dari penerimaan negara terhadap pem-bangunan nasional maka Pemerintah sangat memperhatikan

pencapai-an target penerimapencapai-an negara. Pada dasarnya suatu Pemerintahan akan memutuskan jenis atau tipe Ang-garan yang akan digunakan apakah Anggaran Defisit atau Anggaran Sur -plus. Setelah itu baru akan ditetapkan jumlah kebutuhan dari Penerimaan Negara yang dapat membiayai pem-bangunan sampai pada tingkat yang diharapkan. Mengingat Pembangun-an Nasional menjadi salah satu tolok ukur dari kinerja suatu Pemerintahan maka kinerja Penerimaan Negara pun menjadi salah satu dari tolok ukur ke-berhasilan suatu Pemerintahan.

Secara umum, penerimaan ne -gara dapat dibedakan menjadi

pe-nerimaan negara yang berasal dari perpajakan, penerimaan negara yang berasal dari non perpajakan dan hi-bah (baik yang berasal dari dalam ma-upun dari luar negeri). Dalam Anggar -an Pendapat-an d-an Bel-anja Negara (APBN) penerimaan negara non per-pajakan disebut sebagai penerima-an negara bukpenerima-an pajak (PNBP) ypenerima-ang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang no. 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Pada dasarnya kinerja peneri-maan negara dapat dinilai dengan dua cara. Cara pertama adalah cara yang sangat sederhana yaitu dengan membuat perbandingan realisasi ni-lai nominal penerimaan antara tahun dinilai dengan penerimaan tahun se-belumnya. Adapun cara berikutnya adalah dengan menilai realisasi pen-capaian target dari penerimaan yang telah ditetapkan baik secara nominal maupun secara prosentase.

Dalam cara pertama dari peni -laian kinerja penerimaan dimaksud, kinerja penerimaan akan dikatakan baik apabila secara nominal peneri-maan negara, baik yang berasal dari penerimaan perpajakan maupun yang berasal dari non perpajakan, dari ta -hun ke ta-hun mengalami pertum-buhan yang positif. Dengan meng -gunakan cara atau metode pertama dimaksud maka kinerja penerimaan negara dari Pemerintahan Republik Indonesia untuk periode Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2014 masuk dalam kategori baik. Hal ini dapat dilihat dalam data penerimaan nega-ra untuk periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 yang tercantum

Tabel 1. Realisasi Penerimaan Negara

(Dalam Rp. Triliun)

AKUN 2010 2011 2012 2013 2014

Penerimaan Negara 992.2 1,205.3 1,332.3 1,432.1 1,545.5

I. Penerimaan Perpajakan 723.3 873.9 980.5 1,077.3 1,146.9

II. Penerimaan Bukan Pajak 268.9 331.5 351.8 354.8 398.6

Sumber: Kementerian Keuangan

dalam anggaran

Pendapatan

dan Belanja

negara (aPBn)

penerimaan negara

non perpajakan

disebut sebagai

penerimaan negara

bukan pajak

(PnBP) yang

diatur lebih lanjut

dalam

undang-undang no. 20

tahun 1997 tentang

Penerimaan

negara Bukan

Pajak.

(12)

U

T

A

M

A

dalam Nota Keuangan dan Anggar-an PendapatAnggar-an dAnggar-an BelAnggar-anja Negara Tahun Anggaran 2016. Dalam tabel berikut dapat dilihat bahwa nominal penerimaan negara pada Tahun Ang -garan 2014 secara umum mengalami peningkatan sebesar 55,8% diban -dingkan dengan nominal penerimaan negara pada Tahun Anggaran 2010.

Adapun dalam cara kedua di-maksud, kinerja penerimaan suatu Pemerintahan diukur dengan meni-lai realisasi dari target penerimaan. Dalam hal ini, kinerja penerimaan dikatakan baik apabila pencapaian target penerimaan berada pada ang-ka 100% atau lebih. Bila penilaian kinerja penerimaan negara dari Pe-merintah Republik Indonesia untuk periode Tahun 2010 sampai dengan Tahun 2014 menggunakan cara reali -sasi pencapaian target sebagai tolok ukur penilaian maka akan diperoleh kesimpulan yang berbeda dari penilai-an kinerja dengpenilai-an menggunakpenilai-an cara pertama, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan tabel di-bawah ini dapat dilihat bahwa sejak Tahun Anggaran 2012 target Peneri -maan Negara tidak tercapai.

Bila kinerja dari penerimaan ne-gara dimaksud dalam tabel 2 dinilai secara individu maka dapat disimpul-kan bahwa kinerja Pemerintah ada-lah tidak baik. Namun demikian bila dielaborasi lebih lanjut, khususnya terhadap realisasi pencapaian target penerimaan negara di negara lain maka hal yang sama juga dialami. Da

-lam ilmu manajemen risiko, peristiwa tidak tercapainya apa yang telah dite-tapkan sebelumnya merupakan risiko.

faktor risiko dari

PeneriMaan negara

Dalam ilmu ekonomi disebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara memiliki hubungan yang sa-ling terkait dengan jumlah pajak yang akan diterima oleh Pemerintah. Bah-kan dalam beberapa literatur yang diantaranya ditulis oleh Bradley M. Braun dan Yasuji Otsuka dalam The Effects of Economic Conditions and Tax Structures on State Revenue Flows disebutkan bahwa kondisi perekono-mian dapat mempengaruhi struktur perpajakan suatu daerah. Secara umum faktor risiko dari penerimaan

negara bila dilihat dari keberadaan faktor risikonya dapat dibedakan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Secara umum faktor inter-nal adalah faktor risiko yang berasal dari dalam negeri sedangkan faktor risiko eksternal adalah faktor risiko yang berasal dari luar negeri. Ber-kenaan dengan risiko penerimaan negara yang terjadi akhir-akhir ini di Republik Indonesia maka dapat dii-dentifikasi jenis faktor risiko internal dan faktor risiko eksternal.

Dalam Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015 yang disusun oleh Bank Indonesia, disebutkan bahwa tantangan atau risiko terha-dap perekonomian nasional berasal dari eksternal (perekonomian global) dan internal (perekonomian domes-tik). Faktor eksternal yang memberi-kan dampak negatif terhadap pene-rimaan negara diantaranya adalah pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat dan tidak merata sehing-ga mengurangi daya serap barang-barang ekspor dari Indonesia. Selain itu ketidak-pastian di pasar keuangan global yang tinggi menimbulkan ke-tidak-pastian pada pasar keuangan domestik sehingga mengurangi laba yang diperoleh para pelaku di pasar keuangan domestik. Terakhir ada -lah turunnya harga komoditas yang menjadi ekspor unggulan Indonesia seperti perkebunan, perhutanan dan pertambangan sehingga mengurangi jumlah penerimaan negara dari ba-rang ekspor.

Tabel 2. Realisasi Pencapaian Target Penerimaan Negara (Dalam Rp. Triliun)

AKUN 2010 2011 2012 2013 2014

Nominal % Nominal % Nominal % Nominal % Nominal %

Penerimaan Negara 992,2 100,3% 1.205,3 105,9% 1.332,3 98,5% 1.432,1 95,8% 1.545,5 94,8%

I. Penerimaan

Perpajakan 723,3 97,3% 873,9 103,3% 980,5 96,5% 1.077,3 93,8% 1.146,9 92,0%

II. Penerimaan

Bukan Pajak 268,9 108,8% 331,5 114,2% 351,8 103,1% 354,8 101,6% 398,6 103,0%

Sumber: Kementerian Keuangan

dalam ilmu

ekonomi

disebutkan bahwa

pertumbuhan

ekonomi suatu

negara memiliki

hubungan yang

saling terkait

dengan jumlah

pajak yang akan

diterima oleh

Pemerintah.

(13)

U

T

A

M

A

Dalam Laporan Perekonomian Indonesia dimaksud juga disebutkan faktor internal yang pada akhirnya dapat menyebabkan turunnya peneri-maan negara diantaranya adalah me-lemahnya nilai tukar rupiah sehingga menurunkan kinerja keuangan korpo-rasi secara umum dan pada akhirnya berdampak pada penurunan laba kor-porasi. Selain itu lemahnya tingkat ke-patuhan wajib pajak juga merupakan faktor risiko internal dari penerimaan negara. Berdasarkan data yang ada pada Direktorat Jenderal Pajak khu -susnya untuk tahun pelaporan 2015, ternyata dari Wajib Pajak (WP) yang wajib menyampaikan SPT (sejumlah 17,37 juta WP) hanya sekitar 10,52 juta WP yang menyampaikan SPT Tahun -annya (yaitu sejumlah 60,60%). Faktor internal yang sering mendapat sorot-an adalah mengenai inefisiensi da -lam pelaksanaan pemungutan pajak. Dalam Lampiran Peraturan Presiden (Perpres) nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Mene-ngah Nasional (RPJMN) 2015-2019 khu-susnya dalam sub-sub judul Reformasi Keuangan Negara disebutkan bahwa rasio penerimaan pajak terhadap PDB untuk Indonesia merupakan ra -sio terendah diantara negara-negara G20 dan merupakan salah satu yang terendah diantara negara-negara berpenghasilan menengah. Hal yang diangkat dalam RPJMN dimaksud diantaranya adalah masih lemahnya aspek administrasi perpajakan yang mencakup kelembagaan, sistem dan prosedur, termasuk dari aspek sumber daya manusia (baik dari segi jumlah maupun kemampuan), komputerisasi, serta pengadilan pajak.

Mitigasi risiko PeneriMaan

negara

Secara umum, dalam beberapa tahun terakhir ini, risiko fiskal dari sisi penerimaan negara tidak hanya dialami oleh Republik Indonesia. Hal

ini terjadi karena negara-negara maju yang menjadi tumpuan bagi perkem-bangan perekonomian global sedang mengalami permasalahan ekonomi dan keuangan. Sejak terjadinya kri-sis ekonomi di Amerika Serikat pada tahun 2008 dan berlanjut dengan krisis ekonomi di kawasan Eropa maka perlambatan ekonomi terjadi secara global. Perlambatan ekonomi terjadi karena konsumsi masyarakat dan pemerintah di negara-negara maju dikurangi. Dengan demikian negara-negara yang biasa mengeks-por komoditinya ke negara-negara maju dimaksud semakin mengurangi volume ekspor mereka. Hal ini ber-dampak pada turunnya penerimaan negara baik di Indonesia maupun ne-gara-negara lainnya, khususnya pada sektor perpajakan.

Beberapa negara melakukan te-robosan untuk menjaga penerimaan negara pada tingkat yang memung-kinkan bagi negara dimaksud untuk tetap bertumbuh. Diantaranya seperti Pemerintah India yang meminta Ba-dan Usaha Milik Negara (BUMN) un-tuk melakukan pembelian kembali (buy back) atas saham BUMN yang dimiliki Pemerintah. Besaran saham yang akan dibeli kembali oleh ma-sing-masing BUMN berbeda-beda sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah India dan Direksi BUMN terkait. Selain itu Pemerintah India juga meminta agar masing-masing BUMN meningkatkan jumlah pemba-yaran dividen dibanding dengan pem-bayaran dividen di tahun sebelumnya.

Negara lain yang melakukan te-robosan dibidang penerimaan negara adalah Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang melakukan Revenue Reforms sejak akhir tahun 2013. Diantara strategi reformasi pe -nerimaan yang dilakukan Pemerin-tah RRT adalah sebagaimana yang tersebut dalam sebuah Kertas Kerja dari IMF dengan judul “China: How

Can Revenue Reforms Contribute to Inclusive and Sustainable Growth?” yang ditulis oleh W. Raphael Lam and Philippe Wingender pada tahun 2015. Reformasi dimaksud mencakup reformasi sistem keuangan nasional dan reformasi perpajakan. Beberapa strategi reformasi yang telah dilaku-kan adalah penguatan pajak progresif atas penghasilan individu, peralihan dari pajak bisnis (penjualan) menjadi pajak pertambahan nilai (PPN), per -luasan pajak properti dan penerapan pajak lingkungan.

Menghadapi risiko penerimaan negara, Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa terobosan di bidang perpajakan, diantaranya ada -lah reformasi di bidang perpajakan, keringanan perpajakan bagi perusa-haan yang melakukan revaluasi aset, menghapus pajak berganda, dan lain sebagainya.

reforMasi PerPajakan

Dalam RPJMN periode 2015-2019 khususnya pada Buku 2 dalam sub-sub judul Reformasi Keuangan Negara, di -sebutkan bahwa mitigasi risiko yang diharapkan dapat menanggulangi ri-siko penerimaan pajak adalah dengan melakukan reformasi perpajakan. Dalam PMK nomor 234 /PMK.01/ 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan disebutkan secara implisit bahwa aparatur per-pajakan di Republik Indonesia terdiri dari dua (2) yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Dengan de -mikian reformasi perpajakan akan mencakup reformasi yang dilakukan pada kedua institusi Pemerintah di-maksud. Secara umum reformasi per-pajakan mencakup tiga (3) hal yaitu Organisasi, Proses Bisnis dan Sumber Daya Manusia (SDM). Reformasi pada organisasi dapat dilakukan dengan adanya pembentukan unit baru atau perampingan organisasi. Adapun

(14)

re-U

T

A

M

A

formasi pada proses bisnis dapat be-rupa penyempurnaan produk layanan kepada masyarakat, otomatisasi pe -layanan, penambahan produk pela -yanan dan lain sebagainya. Terkait dengan implementasi dari reformasi SDM dapat berupa penyempurnaan evaluasi kinerja, penyempurnaan me -kanisme pendidikan - pelatihan dan lain sebagainya.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku Wakil Pemerintah dalam hal pemungutan pajak senantiasa mela-kukan penyempurnaan pada institusi dan bisnis proses terkait pemungutan pajak. Diantara upaya penyempurna -an dimaksud adalah pembentuk-an dua Unit Eselon 2 (Direktorat Intelijen Perpajakan dan Direktorat Perpajakan Internasional); melakukan koordinasi secara berkelanjutan dengan Direk -torat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) dalam hal pertukaran data perpa-jakan; melakukan kerjasama dengan berbagai instansi Pemerintah ter-masuk dengan pihak swasta (seperti lembaga penyelenggara kartu kredit) khususnya dalam hal pengumpulan informasi perpajakan; penyempurna -an SPT Elektronik (penambah-an fung -si “Upload CSV ha-sil aplika-si e-SPT”). Selain itu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) pun telah melakukan be -berapa langkah reformasi yang dian-taranya adalah dengan pembentukan Direktorat Kepatuhan Internal, mela -kukan koordinasi secara berkelanjut-an dalam hal pengawasberkelanjut-an laut dberkelanjut-an pengurangan dwelling time, penyem -purnaan dan penerapan aplikasi oto-masi pelayanan dan pengawasan di kawasan berikat, penerapan Pusat Lo -gistik Berikat (PLB) dan lain sebagai-nya. Dalam rangka mengefisiensikan aktifitas perdagangan Internasional Indonesia Pemerintah, dhi. Kemente -rian Keuangan telah mengeluarkan PMK nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat sebagai peratur-an teknis dari Peraturperatur-an Pemerintah

(PP) nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat sebagai -mana telah diubah dengan PP nomor 85 Tahun 2015. Sampai dengan saat ini sudah ada sebelas (11) Perusahaan Penerima Fasiltas PLB yaitu:

1. PT Cipta Krida Bahari (Cakung) 2. PT Petrosea Tbk (Balikpapan) 3. PT Pelabuhan Panajam

(Eastkal-Astra Group) (Balikpapan) 4. PT Kamadjaja Logistics (Cibitung) 5. PT Toyota Manufacturing Indone

-sia (Karawang) 6. PT Agility International

7. PT Gerbang Teknologi Cikarang (Cikarang Dry Port)

8. PT Dunia Express (Sunter dan Ka -rawang)

9. PT Khrisna Cargo (Benoa dan Denpasar)

10. PT Vopak Terminal Merak (Me -rak)

11. 11. PT Dahana (Persero) (Subang)‎

revaluasi aset

Sejak tahun 2015, Pemerintah secara intensif telah mengeluarkan

beberapa Paket Kebijakan Ekonomi, diantaranya adalah Paket Kebijakan Ekonomi V. Pada bulan Oktober 2015, Pemerintah mengeluarkan Paket Ke-bijakan Ekonomi V yang mencakup dua kebijakan di bidang perpajakan dan satu kebijakan di bidang per-bankan dengan rincian tiga (3) ke-bijakan deregulasi yaitu: 1) Revaluasi Aset; 2) Menghilangkan pajak bergan -da -dana investasi Real Estate, Properti dan Infrastruktur; dan 3) Deregulasi di bidang perbankan syariah. Dari ketiga kebijakan dimaksud, kebijakan ten -tang revaluasi aset diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Yang menjadi pertanyaan adalah sia -pa yang diuntungkan dalam kegiatan revaluasi aset ini apakah pemerintah atau pihak swasta.

Secara konsep, revaluasi aset da -pat diartikan sebagai penilaian kem-bali sebuah aset dengan mengguna-kan data harga pasar yang berlaku pada saat revaluasi. Pertimbangan utama dari dilakukannya revaluasi aset adalah karena nilai aset (aktiva) dianggap tidak lagi mencerminkan nilai pasar yang sesungguhnya yang disebabkan oleh terjadinya infla-si atau perubahan nilai tukar mata uang setempat yang signifikan dan akan berjalan dalam waktu yang lama. Dengan demikian revaluasi aset dapat menyebabkan kenaikan atau penurunan nilai aset (aktiva) yang su-dah ada. Secara akuntansi khususnya dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 16, selisih nilai aset antara sebelum dan sesudah revalu-asi aset akan diakui sebagai ekuitas. Dengan demikian, secara akuntansi revaluasi aset akan menambah nilai aset pada sisi aktiva dan menambah ekuitas pada sisi pasiva.

Dampak dari peningkatan nilai aset dimaksud adalah bertambah-nya kemampuan perusahaan untuk mencari pembiayaan dari lembaga keuangan komersial. Dalam praktek

-direktorat

jenderal

Pajak (djP)

selaku Wakil

Pemerintah

dalam hal

pemungutan

pajak senantiasa

melakukan

penyempurnaan

pada institusi

dan bisnis

proses terkait

pemungutan

pajak.

(15)

U

T

A

M

A

nya revaluasi aset dilakukan pada saat perusahaan akan masuk dalam pasar modal (penerbitan saham atau pener-bitan surat utang), restrukturisasi per -usahaan (khususnya yang berdampak pada pelepasan atau penambahan unit tertentu), akuisisi dan lain seba -gainya. Dalam hal ini, tujuan revalua -si aset adalah agar perusahaan dapat menjual saham atau surat utang atau unit tertentu dengan harga yang se-suai harga pasar.

Berkenaan dengan selisih nilai aset dimaksud, Pemerintah (dhi. Di -rektorat Jenderal Pajak-Kementerian Keuangan) mengkategorikan pertam-bahan nilai aset sebagai penghasilan yang merupakan obyek pajak. Hal ini sudah diatur dalam Undang Undang (UU) nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU nomor 17 Tahun 2000 dimana per -aturan teknis yang terakhir mengatur hal tentang revaluasi aset adalah Per-aturan Menteri Keuangan (PMK) no-mor 79/PMK.03/2008 Tentang Penilai -an Kembali Aktiva Tetap Perusaha-an Untuk Tujuan Perpajakan. Ketentuan perpajakan dimaksud juga menjadi pertimbangan bagi perusahaan pada saat akan melakukan revaluasi aset mengingat pengenaan PPh Final se-besar 10% atas revaluasi aset. Dalam beberapa kasus, ada perusahaan yang membatalkan keinginan untuk mela-kukan revaluasi aset yang diantaranya setelah mempertimbangkan konseku-ensi perpajakan dimaksud.

Pada tahun 2015, Pemerintah me -lihat adanya kebutuhan revaluasi aset pada beberapa perusahaan nasional dalam rangka melakukan ekspansi. Dengan demikian, Pemerintah, da -lam hal ini Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan yang mem-berikan insentif perpajakan bagi per-usahaan yang akan melakukan reva-luasi aset dalam periode tahun 2015 dan tahun 2016. Kebijakan dimaksud

dinyatakan dalam PMK nomor 191/ PMK.10/2015 tentang Penilaian Kem-bali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Per -pajakan Bagi Permohonan Yang Di -ajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016. Yang dimaksud dengan insentif perpajakan adalah pengenaan PPh Fi-nal atas revaluasi aset yang lebih ren-dah bila dilakukan pada tahun 2015 dan tahun 2016 dibandingkan bila dilakukan pada tahun sebelum atau sesudahnya.

Dengan adanya insentif perpa -jakan pada revaluasi aset dimaksud, maka pada tahun 2015 sejumlah 43 BUMN dan 19 anak perusahaan BUMN telah melakukan revaluasi aset di ta-hun 2015. Adapun dampak dari reva-luasi aset dimaksud adalah :

- Aset BUMN mengalami kenaikan nilai sebesar Rp. 308 Triliun - Penerimaan Pajak Rp. 10,61 Triliun - Realisasi penyaluran KUR menga-lami peningkatan sebesar Rp. 100 Triliun dengan jumlah debitur se -banyak 5 juta

- Realisasi Program Kemitraan mengalami peningkatan menjadi Rp. 2,32 Triliun untuk 92.372 mitra binaan

- Penyaluran BL meningkat menja-di Rp. 1,59 Triliun.

Dengan demikian revaluasi aset dapat dianggap menguntungkan bagi perusahaan dan dapat diguna-kan sebagai sarana bagi Pemerintah atau Direktorat Jenderal Pajak untuk meningkatkan penerimaan negara yang berasal dari Pajak Penghasilan Badan.

Menghilangkan

Pajak Berganda Pada

dana investasi real

estate, ProPerti dan

infrastruktur

Sebagaimana dengan kebijakan perpajakan tentang revaluasi aset yang lebih mengakomodir kepen-tingan pelaku usaha, maka kebijakan terkait penghapusan pajak bergan-da pabergan-da bergan-dana investasi, real estate, properti dan infrastruktur pun juga lebih memperhatikan kepentingan para pelaku usaha. Kebijakan dimak-sud muncul berdasarkan hasil pem-bahasan bersama antara Pemerintah (dhi. Kementerian Keuangan) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Imple-mentasi dari kebijakan dimaksud ada-lah diterbitkannya PMK nomor 200/ PMK.03/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Ske -ma Kontrak Investasi Kolektif Terten -tu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan. Insentif perpajakan yang diberikan kepada para pelaku usaha oleh Pemerintah melalui kebijakan di-maksud adalah sebagaimana tersebut pada tabel berikut.

Dana Investasi Real Estate, Properti dan Infrastruktur atau se-ring disebut dengan DIRE adalah sua -tu produk dalam pasar modal dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dimana portofolio asetnya be-rupa properti dan perumahan. Seca-ra umum DIRE mempunyai struktur yang sama dengan reksadana hanya

Tabel 3. Insentif Perpajakan Pada Kontrak Investasi Kolektif

Jenis Pajak Sebelum PMK 200/PMK.03/2015 Sesudah PMK 200/PMK.03/2015

PPN 10% 0%

PPh Final 5% 0%

BPHTB 5% 5%

Pajak Dividen (SPC) 15% 0%

(16)

U

T

A

M

A

aset portofolio dari reksadana berupa surat berharga (seperti saham, surat utang, deposito dan lain sebagainya). Berdasarkan data OJK per Juni 2015, produk DIRE yang sudah diperda -gangkan di pasar modal di Indonesia hanya satu (1) yaitu DIRE Ciptadana Properti Ritel Indonesia yang diterbit-kan pada 28 November 2012 oleh PT Ciptadana Asset Management. Aset dasar (underlying asset) dari DIRE di -maksud adalah pusat perbelanjaan Solo Grand Mall, di Solo Jawa Te -ngah dengan dana kelolaan sebesar Rp 529,33 miliar per Juni 2015.

Namun demikian, berdasarkan pengamatan OJK sebenarnya banyak aset di Indonesia yang menjadi unde-rlying asset bagi produk DIRE yang dijual di Singapura. Keseluruhan aset dimaksud senilai dengan Rp 30 trili-un. Selain itu, BNI Asset Management yang merupakan anak usaha dari BNI Securities pernah melakukan kajian untuk menerbitkan produk DIRE di Indonesia namun terkendala dengan aspek perpajakan. Hal-hal dimaksud menjadi pendorong bagi Pemerintah dan OJK untuk mengeluarkan kebi-jakan yang dapat mengembangkan produk DIRE di Indonesia namun un -tuk memperluas pengembangan maksud maka ruang lingkup yang di-beri insentif perpajakan pun diperluas pada jenis KIK sehingga kebijakan perpajakan yang diberikan mencakup KIK untuk DIRE, KIK untuk Efek Be -ragun Aset (EBA) dan KIK sejenisnya. Secara sepintas, kebijakan ten -tang penghapusan pajak berganda dimaksud akan mengurangi peneri-maan negara. Namun demikian bila kebijakan dimaksud dapat mendo-rong pertumbuhan investasi di bidang infrastruktur dan real estate dan mem-perbanyak jumlah dan volume perda-gangan atas produk-produk dimaksud maka pada akhirnya kebijakan dimak-sud akan meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Namun

referensi:

1. Bank Indonesia. 2015. Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2015, Bersinergi Mengawal Stabilitas Mewujudkan Reformasi Struktural. Jakarta.

2. Braun, Bradley M., Otsuka, Yasuji. 1998. The Effects of Economic Con -ditions and Tax Structures on State Revenue Flows. International Ad -vances in Economic Research 4(3) : 259-269.

3. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2005. Keputusan Menteri Keuangan nomor 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur.

4. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2008. Peraturan Menteri Ke-uangan nomor 79/PMK.03/2008 Tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan.

5. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Ke-uangan nomor 191/PMK.10/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Untuk Tujuan Perpajakan Bagi Permohonan Yang Diajukan Pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.

6. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Ke-uangan nomor 200/PMK.03/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak Dan Pengusaha Kena Pajak Yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan.

7. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri Keu-angan nomor 272/PMK.04/2015 tentang Pusat Logistik Berikat. 8. Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2015. Peraturan Menteri

Ke-uangan nomor 234/PMK.01/ 2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan.

9. Presiden Republik Indonesia. 2015. Peraturan Presiden (Perpres) no-mor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019.

10. Republik Indonesia. 1997. Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 ten-tang Penerimaan Negara Bukan Pajak.

11. Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 ten-tang Keuangan Negara.

terjadi penurunan penerimaan ne-gara. Namun demikian hal dimaksud tidak menyurutkan niat dari Pemerin-tah di masing-masing negara untuk senantiasa meningkatkan penerimaan negaranya. Demikian juga dengan Pe -merintah Indonesia yang terus beru-paya untuk menyusun strategi dalam meningkatkan penerimaan negara agar dapat meminimalisir risiko yang terjadi dari unsur Penerimaan Negara sebagaimana sebagiannya telah terse-but pada tulisan diatas. 

demikian, dampak dari kebijakan di -maksud sangat bergantung dengan peraturan teknis yang akan disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak. Meng -ingat sampai saat ini masih belum ada peraturan teknis dimaksud maka be-lum bisa dievaluasi secara umum hasil dari kebijakan tersebut.

kesiMPulan

Dalam kondisi perlambatan eko -nomi yang terjadi secara global di banyak negara, dapat dipahami bila

(17)

U

T

A

M

A

P

ada saat melantik Direk -tur Jenderal Pajak yang baru di awal Maret 2016, Menteri Keuangan RI me-ngatakan bahwa penerimaan pajak adalah risiko terbesar yang dihadapi APBN saat ini. Pernyataan tersebut menggambarkan kondisi eksternal dan internal saat ini yang dapat ber-dampak negatif pada penerimaan pa-jak. Di sisi eksternal, pemulihan eko -nomi global masih berjalan lambat dan tidak sesuai harapan sehingga mengganggu ekspor Indonesia. Bagi negara berkembang seperti Indone-sia, hal tersebut diperparah dengan harga komoditas yang menurun dan volatilitas aliran modal global yang tinggi yang membuat nilai tukar tidak stabil. Di sisi internal, kondisi ekonomi ekonomi global yang belum stabil me-ningkatkan kerentanan ekonomi per-ekonomian terbuka seperti Indonesia dari sisi ekspor impor, yang menga -kibatkan melemahnya pertumbuhan ekonomi dan sulitnya meningkatkan kapasitas ekonomi dalam jangka me-nengah. Faktor-faktor eksternal dan internal tersebut secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi po-tensi penerimaan pajak dalam APBN

mengingat potensi penerimaan pa-jak terutama tergantung dari besar-an ekonomi ybesar-ang dapat dikenakbesar-an pajak, yang pada saat ini mengalami tekanan seperti terlihat pada pertum-buhan ekonomi yang melemah.

Menghadapi kondisi yang tidak ramah terhadap potensi penerimaan pajak, diperlukan langkah-langkah inovatif dan strategis terutama un-tuk mengatasi penghindaran-peng-hindaran pajak serta menggali sum-ber-sumber baru penerimaan pajak. Penggalian sumber-sumber baru pe-nerimaan pajak menjadi relevan ter-utama karena fenomena teknologi informasi yang memunculkan bentuk-bentuk bisnis baru yang secara ekono-mi dapat dikenakan pajak serta prak-tek-praktek perpajakan internasional yang semakin kompleks. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana me -mulai langkah-langkah strategis dan inovatif tersebut?

Selain inisiatif dalam negeri, salah satu cara yang dapat ditempuh ada-lah dengan mengikatkan diri pada suatu komitmen yang akan memak-sa kita membuat pilihan-pilihan sulit agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Dalam literatur ekonomi,

hal tersebut sering disebut commit-ment device atau commitcommit-ment con-tract. Rogers, Milkman dan Volpp (2014) menjelaskan dua ciri utama commitment device. Pertama, pilih -an untuk menggunak-annya bersifat sukarela. Kedua, kegagalan meme -nuhi komitmen akan memiliki kon-sekuensi langsung tidak tercapainya tujuan. Dalam agenda kerjasama internasional terkait isu perpajak-an internasional di Forum G20, G20/ OECD Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Project dapat dikatakan seba-gai sebuah commitment device terkait upaya mengatasi penghindaran pajak dalam rangka meningkatkan peneri-maan pajak di suatu negara. Dilihat dari argumen Rogers, Milkman dan Volpp (2014) BEPS Project bersifat sukarela mengingat sifat Forum G20 yang non-binding, namun kegagalan mengatasi BEPS akan memiliki konse-kuensi hilangnya potensi penerimaan pajak yang cukup besar.

Dukungan atas BEPS Project termuat dalam dokumen Leaders’ Communique yang dikeluarkan di Antalya, Turki dalam KTT Presidensi G20 Turki di bulan November 2015. BEPS Project memiliki 15 rencana aksi

Eksplorasi Sumber-Sumber

Penerimaan Pajak dan

Mengatasi Usaha Penghindaran

Pajak dalam Agenda

Perpajakan Internasional

Oleh: Rahadian Zulfadin

(18)

U

T

A

M

A

yang diharapkan dapat menjadi cross border solution untuk mengatasi praktek-praktek perpajakan interna-sional yang seringkali menimbulkan distorsi alokasi modal dan keuangan global. Ke 15 rencana aksi tersebut se-cara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut. Aksi ke-1 adalah kajian dari OECD mengenai tantangan perpa -jakan dalam digital economy dan pi-lihan kebijakan untuk mengatasinya. Digital economy yang terus membesar belum diimbangi dengan kapasitas perpajakan yang mampu mengidenti-fikasi dimana dan bagaimana menge -nakan pajak atas tambahan manfaat ekonomi yang muncul dalam dalam digital economy. Di dalam negeri, langkah awal yang telah dilakukan adalah mendirikan payment gateway dan mendorong terbentuknya Perma-nent Establishment atau bentuk usa-ha tetap. Aksi ke-2 digunakan untuk mengatasi hybrid mismatch arrange-ments baik dari sisi instrumen atau entities yang sering digunakan untuk mendapatkan manfaat pajak dengan

adanya perbedaan perlakuan pajak yang berbeda di antara dua negara. Di dalam negeri, penyempurnaan atas UU PPh saat ini sedang dilakukan sa-lah satunya untuk mengatasi dampak dari hybrid mismatch. Aksi ke-3 ditu-jukan untuk memperkuat Controlled Foregin Company (CFC) Rules untuk mengatasi ketidakpastian pengena-an pajak atas penghasilpengena-an dari wajib pajak dalam negeri yang bersumber dari anak perusahaan asing akibat pe-nundaan distribusi penghasilan anta-ra perusahaan induk dan perusahaan anak yang tidak segera dilakukan. De -ngan penguatan aturan ini, otoritas pajak dapat mengenakan pajak atas penghasilan tanpa harus menunggu distribusi penghasilan dimaksud.

Rencana aksi ke-4 digunakan un-tuk membatasi praktek pengurangan basis pengenaan pajak yang sering dilakukan dengan memanfaatkan pembiayaan utang dari perusahaan-perusahaan dalam grup yang sama. Di dalam negeri, telah terbit PMK Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan

Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keper-luan Perhitungan Pajak Penghasilan yang ditetapkan paling tinggi 4:1 (empat banding satu) dengan bebe-rapa pengecualian. Aksi ke-5 terkait dengan peningkatan transparansi, termasuk dalam tukar menukar in-formasi perpajakan, untuk mengatasi praktek-praktek perpajakan yang me-rugikan. Praktek yang biasa diguna-kan adalah dengan memanfaatdiguna-kan rezim-rezim perpajakan yang lebih menguntungkan. Aksi ke-6 ditujukan untuk mengatasi treaty abuse. Treaty abuse digunakan untuk mendapatkan manfaat pajak dari negara dengan aturan pajak yang lebih ringan wa-laupun aktivitas ekonomi berada di negara yang berbeda namun memi-liki tax treaty dengan negara dimana manfaat pengenaan pajak yang lebih ringan diperoleh. Aksi ke-7 ditujukan untuk mengatasi pemalsuan dengan berbagai cara atas status Permanent Establishment (PE) untuk menghindari pengenaan pajak. Cara-cara yang

(19)

U

T

A

M

A

gunakan termasuk perubahan alamat, penggantian distributor atau lokasi finalisasi kontrak yang kesemuanya ditujukan untuk mendapatkan pajak yang lebih rendah. Di dalam negeri, perubahan terkait PE akan dimasuk-kan dalam draft RUU PPh.

Rencana aksi ke-8 hingga ke-10 ditujukan untuk mengatasi dampak atas transfer pricing. Praktek transfer pricing sering berakibat pada manfaat pajak yang tidak sepenuhnya dipero-leh odipero-leh negara dimana aktifitas bisnis dan penciptaan nilai tambah berada. Dalam hal ini arm’s length principle of transfer pricing digunakan untuk me-mastikan bahwa besaran pajak yang dapat dikenakan atas transaksi antara dua pihak adalah sama dengan be-saran pajak yang dikenakan dengan asumsi transaksi tersebut terjadi an-tara dua pihak yang independen. Aksi ke-8 hingga ke-10 digunakan salah satunya untuk memperkuat imple-mentasi arm’s length principle teru-tama untuk transaksi intangibles. Aksi ke-11 terkait dengan pengembangan metodologi untuk mengumpulkan dan menganalisis data tentang BEPS. Metodologi dan data tersebut sangat penting sebab keberhasilan pengum-pulan pajak sangat tergantung pada tersedianya data dan metodologi untuk menghitung potensi pajak. Se-bagai gambaran, estimasi OECD atas global revenue losses akibat BEPS di tahun 2014 berada pada kisaran USD 100 miliar hingga USD 240 miliar, atau sekitar 4-10 persen dari penerimaan pajak korporasi global. Metodologi yang akan dibangun juga diharapkan dapat mengestimasi kerugian akibat aggresive tax planning yang dilaku-kan wajib pajak. Aggresive tax plan-ning ini menjadi fokus dari aksi ke-12 yang mewajibkan adanya keterbu-kaan dari wajib pajak atas aggresive tax planning yang mereka lakukan. Dengan melakukan aggresive tax planning wajib pajak memanfaatkan

semaksimal mungkin apa yang diper-bolehkan dalam peraturan perpajak-an sampai pada titik yperpajak-ang berpeluperpajak-ang menimbulkan dispute atas legalitas dari perencanaan pajak yang mereka lakukan.

Rencana aksi ke-13 ditujukan untuk memberikan panduan doku-mentasi transfer pricing bagi Multi-National Enterprises (MNEs) untuk memberikan gambaran umum atas aktivitas bisnis dan kebijakan trans-fer pricing mereka kepada otoritas pajak di negara-negara dimana mere-ka beroperasi. Aksi ini juga meminta MNEs untuk memberikan informasi yang lebih detail bagi negara-negara dimana kebijakan transfer pricing me-reka lakukan. Aksi ini juga menuntut adanya country-by-country reporting oleh MNEs, yang memungkinkan oto -ritas pajak suatu negara melakukan assessment atas kebijakan transfer pricing yang dilakukan oleh MNEs di negara tersebut berdasarkan in-formasi yang diberikan oleh MNEs. Rencana aksi ke-14 ditujukan untuk menciptakan mekanisme penyelesai-an sengketa pajak penyelesai-antar negara ypenyelesai-ang lebih efektif melalui penerapan stan-dar minimum dan pemahaman atas best practices dalam penyelesaian sengketa pajak. Sedangkan rencana aksi ke-15 mengkaji kemungkin pe-ngembangan instrumen multilateral yang dapat menggantikan atau me-modifikasi bilateral tax treaty untuk meningkatkan efektifitas rencana aksi mengatasi BEPS secara keseluruhan.

Dengan kebutuhan pembangun -an infrastruktur y-ang s-angat besar, In -donesia membutuhkan sumber-sum-ber penerimaan dalam negeri yang handal. Besaran tax ratio yang masih relatif rendah dibandingkan dengan tax ratio di negara-negara yang seta-ra dengan Indonesia baik di tingkat regional maupun global menunjuk-kan masih besarnya potensi peneri-maan pajak yang dapat digali. Dalam

kaitannya dengan BEPS Action Plan, Menteri Keuangan menekankan pen-tingnya rencana aksi terkait dengan transfer pricing dan perpajakan da-lam kaitannya dengan perkembang-an digital economy. Sebagai contoh, dalam berbagai pertemuan interna-sional posisi Indonesia dalam agenda mengatasi transfer pricing adalah untuk memastikan agar penerima-an pajak dapat sepenuhnya diterima oleh negara dimana aktivitas bisnis dan penciptaan nilai tambah berada. Demikian juga dengan aspek per -pajakan dari digital economy. Fakta yang baru-baru ini terungkap adalah bahwa beberapa perusahaan global yang memiliki aktivitas dalam digital economy tidak memenuhi kewajib-an perpajakkewajib-annya. Perlu diupayakkewajib-an win-win solution antara perusahaan global tersebut dengan negara di-mana mereka melakukan aktivitas usahanya agar pertumbuhan sektor terkait tidak terganggu dan pada saat yang bersamaan negara mendapat-kan penerimaan pajak yang seharus-nya, yang sangat dibutuhkan dalam pendanaan pembangunan, terutama pembangunan infrastruktur yang da-lam periode 2015-2019 diperkirakan memerlukan dana lebih dari Rp 5000 triliun.

Implementasi rencana aksi BEPS memerlukan konsensus di antara ne-gara-negara dalam lingkup regional maupun global, mengingat keberha -silan implementasi rencana aksi BEPS sangat tergantung pada kesamaan pandangan di level bilateral maupun regional. Di dalam negeri, implemen -tasi rencana aksi BEPS perlu didukung dengan institusi pajak yang kuat dan kredibel, regulasi pajak yang seder -hana dan konsisten serta dukungan politik yang kuat. Hal ini penting mengingat beratnya mencapai tar-get penerimaan pajak dalam kondisi ekonomi eksternal dan internal yang kurang mendukung. 

Referensi

Dokumen terkait