• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh: Riko Amir 1 , Hadi Setiawan 2 , Hendro Ratnanto Joni 3 , Ivan Yulianto 4 , Hani Widyastuti 5

1. Kepala Subdirektorat Mitigasi Risiko APBN-Dit. PRKN-DJPPR. Email: rickamir@gmail.com

2. Peneliti pada Badan Kebijakan Fiskal. Email: hadi.setia@gmail.com

3. Kepala Seksi Persetujuan Proyek Sektor I-Dit. PDPPI-DJPPR. Email: hendro.ratnanto@gmail.com

4. Kepala Seksi Risiko Lembaga Keuangan I-Dit. PRKN-DJPPR. Email: iphan7770@gmail.com

w

a

w

a

n

c

a

r

a

karena kalau tidak memakai anggar-an Pemerintah berarti harus didukung yang lain. Jadi internal Kementerian Keuangan harus terintegrasi dan eks-ternal harus terkoordinasi dengan baik, sehingga nanti paling tidak kita bisa menambah investasi yang baru.

Ada pendapat dari pengamat bahwa FDI adalah extend artinya dampak ekonominya tidak bisa lang-sung dirasakan tahun ini, sementara kita punya beban di tahun 2016 harus segera ada eksplorasi sumber peneri-maan baru. Menurut Bapak, paduan antara kita mendukung infrastruktur yaitu lebih mempercepat proses per-gerakan pertumbuhan dengan FDI yang mungkin membutuhkan waktu dua sampai dengan tiga tahun seperti apa Pak?

Kita tidak bisa melihat itu. Misal-nya, mau investasi ke suatu tempat menunggu sampai pabrik itu jadi, baru ada impact ekonominya, kan salah. Sekarang lihat, ini kenyataan yang sudah saya dalami berkali-kali, ada suatu perusahaan yang akan me-lakukan investasi di suatu tempat, pada saat investasi apa dampaknya terhadap ekonomi kita? Konstruk-si, sektor informal bergerak. Paling tidak efek segeranya ada. Misalnya kawasan industri berarti membutuh-kan jalan menuju ke kawasan itu, perlu listrik, dan lain-lain sehingga ekonomi bisa tumbuh. Ini dukung-annya bisa dari kita dan harus sangat terintegrasi karena saya pikir impact segeranya juga ada. Namun dengan FDI bisa membuat kota baru, new

community.

Selain menimbulkan sumber pertumbuhan baru, apakah ada arah yang difokuskan untuk investasi itu sendiri dalam jangka pendek dan jangka panjang?

Tergantung, saya terus terang melihat ini dua-duanya multi touch. Dalam artian namanya industri kan bisa macam-macam, ada industri yang ngan corporate income tax. Income

itu sebetulnya ujung-ujungnya adalah pada orang pribadi. Jika perusahaan laba, ujungnya ke pemegang saham, ke direksi, belum lagi entrepreneur sebagai supporting-nya. Jadi seha-rusnya strategi yang mau kita arah-kan itu yang harus diperkuat. Strategi yang pertama, sebagaimana praktik internasional, namanya based

erosi-on and profit shifting. Jadi transfer

pricing dan lain-lain nanti akan coba kita tutup. Nanti akan ada regulasi-regulasi dan sudah dimulai dari tahun 2014 dan 2015 yang namanya general

avoidance rule. Yang kedua, secara administratif juga harus ada pengu-atan peningkpengu-atan compliance. Jadi bagaimana cara mengawasi Wajib Pajak, kita harus sistemik dan itu yang diminta Pak Menteri untuk dilakukan oleh DJP. DJP sudah mulai, misalnya untuk PPN ada yang namanya e-fak-tur dan e-invoice yang sudah dilaku-kan, progress-nya cukup bagus. Hanya ini masih perlu integrasi dengan yang lain. Jadi ini tidak bisa parsial-parsial, tetapi harus diintegrasikan.

Dalam konteks mencapai target tadi Pak, apa kira-kira strategi di bi-dang perpajakan dan non perpajakan untuk mencapai target di tahun 2016?

Harus terintegrasi dan harus komprehensif. Sekarang sumber per-tumbuhan di Indonesia kelihatannya paling banyak dari FDI. Jadi jangan sampai cancel out karena sumber pertumbuhan Indonesia yang bisa kita dorong sekarang adalah investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Maka, Pemerintah membuat paket-paket kebijakan dengan tuju-an supaya investasi di dalam negeri meningkat. Kalau seperti ini harusnya ada support juga dari yang lainnya, misalnya dari segi financing. Investasi tidak bisa kalau tidak ada uang. Selan-jutnya, kemudahan usaha juga harus didukung. Dari Kementerian Keuang-an sendiri kita punya tools ydidukung. Dari Kementerian Keuang-ang lain, belum bergerak banyak. Walaupun

harga minyak sekarang sudah perla-han-lahan meningkat dibandingkan bulan-bulan kemarin, namun secara umum perubahannya masih belum terlalu signifikan.

Jika dilihat dari target penerima-an negara 2016 dengpenerima-an perkembpenerima-ang- perkembang-an ekonomi yperkembang-ang Bapak sampaikperkembang-an tadi pergerakannya tidak terlalu sig-nifikan, bagaimana optimisme Bapak terhadap target penerimaan kita?

Dibutuhkan effort untuk menca-pai target tersebut dan sekarang

is-sue yang banyak disampaikan orang

adalah terkait tax amnesty. Sebenar-nya ada atau tidakSebenar-nya kebijakan tax

amnesty seharusnya lebih kepada

ef-fort yang dilakukan oleh kita untuk

mencapai target tersebut, baik dari segi policy di Kementerian Keuangan maupun dari segi implementasi di Di- rektorat Jenderal Pajak. Dengan meli-hat gap tax to GDP ratio, Pemerintah mempunyai ruang untuk mencapai target tersebut, namun bagaimana caranya ruang itu bisa dimanfaatkan. Sebenarnya tantangannya di situ.

Berdasarkan evaluasi tahun 2015, menurut Bapak kebijakan apa yang perlu diperkuat?

Kalau kita lihat dari tahun 2015 dan sebenarnya juga pada tahun-tahun sebelumnya, kita masih tetap bertumpu kepada penerimaan pa-jak dari Wajib Papa-jak tertentu. Wajib Pajak yang dikelola oleh dua Kanwil yaitu Kanwil LTO dan Kanwil Khusus sudah menghasilkan penerimaan le-bih dari 70%. Kanwil LTO untuk WP yang besar, Kanwil Khusus untuk FDI (penanaman modal asing). Itu saja sudah 70% lebih. Jadi sebenar-nya risiko dari segi ini yang harus

di-manage. Orang Pribadi potensinya masih sangat tinggi, kemarin juga penerimaannya masih sangat kecil. Dan jika dilihat dari proporsi di luar negeri, harusnya individual income

de-w

a

w

a

n

c

a

r

a

nature-nya padat karya, tetapi ada juga yang memang high tech yang ti-dak bisa digantikan oleh tenaga ma-nusia karena ada risiko yang tinggi. Jadi dua-duanya harus sinkron, kalau tidak industrinya hanya itu-itu saja. Tinggal bagaimana proporsinya, pa-dat modal pun bisa diciptakan mela-lui supporting-nya. Misalnya, industri mobil yang high tech pasti ada yang membuat skrup, jok, dan sebagainya. Kalau saya melihatnya dua hal itu akan tetap saling berkaitan. High tech merupakan core, tetapi supporting-nya padat karya sehingga orang bisa bekerja di situ.

Strategi di luar perpajakan untuk mengejar target di tahun 2016 kurang lebih seperti apa, Pak?

Kalau terkait PNBP, saya pikir dengan harga minyak dan tambang turun harusnya kita mulai penga-wasan yang lebih baik. Kita tidak tahu apakah ini low compliance atau

high compliance. Kemudian masalah sistemnya, cara collectingnya, bagai-mana kita mengawasi mereka. Kare-na DJA sudah punya SIMPONI untuk mengawasi, tetapi itu baru angka. Strategi dan sebagainya perlu diin-tegerasikan. Kalau kita bisa punya

tools untuk ikut masuk sampai de-ngan ke strategi, saya rasa itu lebih baik, walaupun itu bukan tanggung jawab kita tetapi paling tidak kita bisa memberi feeding dan itu harus ada monitoring dari kita. Kalau saya lihat sekarang strateginya lebih diarahkan ke sistem.

Bagaimana optimisme Bapak ter-kait peningkatan penerimaan dari tax amnesty?

Karena ini Undang-undang, saya berharap pendapatannya besar, ka-lau kecil jadi tidak worth it. Ini harus kita upayakan supaya dapatnya besar dan yang paling penting sebenarnya bukan penerimaannya, tetapi ini

akan meningkatkan database.Kalau

angkanya kecil jadi tidak bisa

menu-tupi dan akhirnya perlu action yang lain. Mungkin ada beberapa hal yang akhirnya kita tidak bisa lakukan, ka-rena orang sudah diampuni. Kalau undang-undang ada, bagaimana cara kita mengawasi baik income yang

short term maupun long term. Stra-tegi yang pertama, aturannya harus ada dulu. Yang kedua, bagaimana kita bisa punya semacam “gula-gula” agar wajib pajak mau menggunakan kesempatan atas aturan tax amnesty ini. Selain itu, kita harapkan repat-riasi yang memadai untuk pembia-yaan pembangunan indfrastruktur. Jadi, kita bisa mendapatkan double

impact yaitu untuk short term dan

long term.

Apakah revaluasi asset di tahun 2016 bisa mempunyai peminat seperti di tahun 2015?

Sasaran revaluasi asset adalah untuk semua perusahaan, bukan ha-nya BUMN. Untuk tahun 2015 revalu-asi asset dilaksanakan baru sebentar, sehingga untuk tahun 2016 ini masih banyak perusahaan yang akan me-manfaatkan revaluasi asset ini.

Apa yang perlu dimitigasi supaya target penerimaan kita tidak seperti tahun kemarin, dengan hasil dua bu-lan terakhir ini apakah penerimaan bisa lebih tinggi dari tahun kemarin?

Too early, karena ini baru bulan Maret (pada saat wawancara dilaku-kan-red) dan SPT yang banyak masuk biasanya ada di bulan April, itu pun kita bicara mengenai tahun 2015. Normalnya untuk tahun 2016 di bulan Mei-Juni, kita hanya bisa mengawasi agar tidak terlalu jatuh dan memas-tikan penerimaan dengan memper-kuat pengawasan dengan melihat sektor mana yang sedang booming dan sektor mana yang lagi turun dan itu semua sudah dilakukan. Sekarang yang harus kita cari adalah terobosan- terobosan, misalnya sekarang sektor-sektor yang tumbuh adalah konstruk-si dan telekomunikakonstruk-si. Kita lihat dari

situ, dari segi compliance, segi kewa-jaran pembayaran pajak sudah benar atau belum. Kita sudah mempunyai beberapa plan dari segi policy dan im-plementasi. Misalnya policy-nya perlu diubah akan kita ubah untuk menge-jar penerimaan.

Atas rencana pemisahan DJP dari Kementerian Keuangan, Bagaimana dampaknya terhadap penerimaan?

Sebenarnya yang dibutuhkan bukan pemisahan tetapi fleksibilitas di bidang SDM dan keuangan. Mak-sudnya mengenai fleksibiltas SDM begini, kalau ada orang yang baik harusnya bisa dikasih reward. De-ngan adanya fleksibilitas itu DJP bisa lebih responsif terhadap perubahan. Yang namanya bisnis saja model bis- nisnya berubah, kita juga harus me-nyesuaikan jadi kita tidak kaku. Kita menambah orang susahnya setengah mati. Jadi kalo kita bicara responsive harapannya ketika ada action kita bisa memberi respon dan harapannya penerimaannya bisa naik. Bukan ter-kait dengan kekuasaan yang mutlak, dengan adanya rencana fleksibilitas, DJP diberi kewenangan sehingga dia mudah untuk merespon.

Apa harapan Bapak terhadap peran pengelolaan risko fiskal ke de-pannya?

Kalau bisa lebih realistis dalam artian jangan hanya wacana, jangan membuat suatu instrumen yang ti-dak bisa dijalankan. Jangan sampai sudah pindah dua tempat hasilnya minimum. Ini kebutuhannya banyak, banyak proyek-proyek yang sebenar-nya bisa kita dukung dengan itu (du-kungan/jaminan Pemerintah). Dengan menggunakan instrumen itu pemerin-tah lebih safe, kita lebih secure, kita bisa dorong karena kita punya tools untuk itu sehingga balance. Organi-sasi ini sangat penting tetapi tolong benar-benar dijalankan, tidak harus

perfect tetapi dijalani dengan benar sehingga ada improvement. 

m

i

t

i

g

a

s

i

r

i

s

i

k

o

e

d

u

k

a

s

i

f

i

s

k

a

l

B

onus demografi

merupa-kan kondisi yang dialami suatu Negara yang memi-liki penduduk dengan usia produktif lebih besar daripada usia non produktif. Kondisi ini dapat me-nyumbang kenaikan pertumbuhan ekonomi secara siginifikan jika Nega-ra tersebut berhasil dalam mengelo-lanya. Menurut beberapa pendapat para ahli, Indonesia sendiri diperkira-kan dapat menikmati puncak bonus demografi pada tahun 2020 sampai dengan tahun 2030 sebagaimana da-pat dijelaskan pada piramida pendu-duk Indonesia di bawah ini.

Dalam menyambut bonus de-mografi bagi Indonesia, Pemerintah harus mempersiapkan berbagai hal agar bonus demografi tidak menjadi penghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Salah satu kuncinya ada-lah melakukan pengelolaan terhadap penduduk berusia produktif menjadi berkualitas dengan perbaikan di sega-la bidang diantaranya kesehatan dan ketenagakerjaan.

Indonesia telah membuktikan kesiapannya menghadapi bonus

de- mografi dengan terbitnya Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 ten-tang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengatur tentang an sosial ketenagakerjaan dan jamin-an kesehatjamin-an nasional. Melalui SJSN yang dijalankan berdasarkan konsep asuransi sosial ini, Indonesia dapat menggunakan peluang atas kondisi bonus demografi dengan memanfa-atkan sumber daya penduduk menja-di lebih produktif. Dengan demikian meningkatnya jumlah penduduk In-donesia tidak hanya menjadi ancam-an melainkancam-an juga tancam-antancam-angancam-an untuk meningkatkan jumlah penerimaan iuran yang dapat dikelola badan pe-ngelola jaminan sosial.

Untuk pengaturan badan pe-ngelola atas jaminan sosial ini, telah diterbitkan UU BPJS yang mengatur tentang jaminan sosial ketenagaker-jaan yang dikelola oleh BPJS Kete-nagakerjaan dan jaminan kesehatan nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan.

Dibandingkan dengan jaminan sosial ketenagakerjaan, jaminan ke-sehatan nasional memiliki

permasa-lahan yang lebih kompleks. Kepeser-taan JKN bersifat wajib bagi seluruh penduduk Indonesia dan ditargetkan mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada awal tahun 2019. Sampai dengan tahun 2015 cakupan kepeser-taan JKN telah mencapai 62,71% atau 160 juta jiwa dari total penduduk 255 juta jiwa. Jumlah peserta tersebut ter-diri dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non PBI. Peserta Non PBI terdi-ri daterdi-ri Pekerja Peneterdi-rima Upah (PPU) yang dipekerjakan oleh penyelengga-ra Negapenyelengga-ra maupun bukan penyeleng-gara Negara, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri dan Bukan Pekerja (BP). Lihat Tabel 1.

Selama 2 tahun pelaksanaan JKN, terjadi permasalahan atas kepeserta-an JKN sehingga menyebabkan Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan meng-alami defisit. Pada tahun 2014 saja, DJS mengalami defisit sebesar Rp3,31 T (audited) dan tahun 2015 sebesar Rp3,06 T (unaudited). Defisit terse-but diantaranya disebabkan karena

adverse selection, ketidaksesuaian besaran iuran dan manfaat, moral

hazard, sistem rujukan belum

Dokumen terkait