• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERUSAKAN BANGUNAN PENGENDALI SEDIMEN (SABODAM) PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KERUSAKAN BANGUNAN PENGENDALI SEDIMEN (SABODAM) PASCA ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

128

KERUSAKAN BANGUNAN PENGENDALI SEDIMEN (SABODAM) PASCA

ERUPSI GUNUNGAPI MERAPI 2010

Moh. Dedi Munir*, Djudi

Balai Sabo, Kementerian PU, Sopalan, Maguwoharjo, Depok, Sleman Yogyakarta, 55282 *corresponding author: dedi_munir@yahoo.com

ABSTRAK

Sabodam merupakan bangunan pengendali aliran debris atau lahar yang dibangun melintang pada alur sungai. Prinsip kerja Bangunan Sabo adalah mengendalikan sedimen dengan cara menahan, menampung dan mengalirkan material / pasir yang terbawa oleh aliran dan meloloskan air ke hilir. Selama masa kejadian banjir lahar pasca erupsi Merapi tahun 2010, sebanyak 77 unit sabodam yang ada di sungai – sungai lahar Merapi mengalami kerusakan atau bahkan hanyut terbawa aliran lahar (Balai Besar Wilayah Sungai Serayu – Opak, 2011). Sebagian besar dugaan penyebab keruntuhan sabodam mengarah pada pondasinya yang memiliki konsep pondasi mengambang yaitu dibangun di dasar sungai tanpa pondasi yang mengikat ke dalam lapisan tanah keras dengan asumsi bahwa material dasar sungai daerah vulkanik yang didominasi pasir memiliki stabilitas dan daya dukung yang cukup baik sehingga cukup mampu mengikat bangunan untuk tetap pada posisi semula (tidak mengguling ataupun bergeser).

Oleh sebab itu, perlu dilakukan kajian (berupa struktur bangunan dan geologi) lebih lanjut terkait konsep pondasi mengambang untuk memahami kelemahan dalam implementasinya, mekanisme kegagalan serta penyesuaian lebih lanjut untuk perbaikan pengelolaan, dengan mengambil daerah Gunungapi Merapi sebagai lokasi studi kasus.

Hasil kajian menunjukkan kerusakan sabodam pondasi mengambang dominan disebabkan oleh local scouring, maka untuk mengurangi kedalaman lokal scouring yang mengakibatkan terjadinya kegagalan bangunan sabodam dalam implementasinya sabodam dibangun secara seri dengan jarak efisien antar sabodam dan pondasi yang lebih dalam. Berdasarkan investigasi lapangan, diketahui bahwa proses geologi daerah penelitian menunjukkan kondisi yang mengindikasikan terjadinya rembesan dan gerusan lokal yang mengurangi kekuatan struktur bangunan.

I.

PENDAHULUAN

Letusan Gunung Merapi pada tahun 2010 dengan indeks vulkanik 4 (VEI 4), merupakan letusan vulkanik terbesar sejak 1872, hal ini berbeda dengan letusan yang terjadi sebelumnya tahun 2006 dengan indeks yang hanya (VEI 1) (Preece, 2014). Besarnya letusan yang terjadi juga menghasilkan material volkanik dengan jumlah yang sangat besar. Banyaknya produk vulkanik yang terendapkan pada daerah di sekitar puncak serta lereng-lereng Gunung Merapi menimbulkan besarnya potensi banjir lahar yang mungkin terjadi pada tahun-tahun berikutnya (Gambar 1).

Permasalahan yang diakibatkan dari banjir lahar tidak hanya berupa kerusakan sabodam di aliran sungai, tetapi juga dapat

menghancurkan infrastruktur seperti jalan nasional, jembatan, desa, pertanian serta mengancam kehidupan manusia. Pada sungai-sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi, banjir lahar pasca letusan 2010 telah mengakibatkan banyak kerusakan pada bangunan Sabodam baik berupa rusaknya bagian dari bangunan maupun sampai hancur atau terbawa hanyutnya bangunan sabo ( Gambar 2). Dari bangunan sabo yang mengalami banjir lahar, apabila dilihat dari jumlah bangunan sabodam yang mengalami kerusakan dalam satu sistem sungai, maka kerusakan terbesar (jumlah rusaknya sabodam) berada pada Kali Putih dengan 21 unit mengalami kerusakan dari 22 unit jumlah total (Gambar 3).

(2)

129 Prosentase total kerusakan bangunan sabodam pada sistem sungai yang berhulu di Gunung Merapi pasca letusan Gunung Merapi 2010 adalah sebesar 34,8 % dengan 8% sendiri berada di aliran Kali Putih atau merupakan bagian yang terbesar (Tabel 1).

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui faktor-faktor penyebab kerusakan yang terjadi pada bangunan sabo di Kawasan aliran sungai Kali Putih Gunung Merapi. Kegiatan penelitian berlokasi di daerah Gunungapi Merapi di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Klaten dan Magelang Propinsi Jawa Tengah. Kali Putih merupakan sungai yang terletak di sebelah Barat Daya yang memiliki DAS seluas 26 km2, dengan panjang sungai 14,70 km mulai dari ketinggian ± 1.800 m dpl sampai dengan ketinggian ± 200 m dpl hingga bertemu dengan Kali Blongkeng.

II. GEOLOGI REGIONAL

Gunungapi strato Merapi berada pada 25-30 km arah utara dari Kota Yogyakarta Indonesia. Gunungapi Merapi berada di atas zona subduksi Jawa dengan komposisi sebagian besar berupa basalt-andesite, pyroclastic flow, lava, dan endapan lahar (Surono, dkk, 2011). Berdasarkan peta geologi lembar Yogyakarta pada Gambar 4. (Rahardjo dkk, 1977, Surono dkk, 1994, dan JICA, 1990) geologi daerah penelitian tersusun atas Formasi Endapan Gunung Merapi Muda berupa lava dan piroklastik dengan lapisan abu vulkanik. Daerah di sekitar Kali Putih juga tersusun atas lapisan abu yang berukuran halus dengan warna yang bervariasi dari abu-abu terang sampai coklat terang (Preece, 2014).

Gunungapi Merapi termasuk dalam jenis gunungapi tipe strato. Selain dari bencana primer letusan gunungapi juga memiliki potensi bencana sekunder yang disebut banjir lahar. Banjir lahar terdiri dari dua macam yaitu banjir debris dan aliran dengan konsentrasi yang tinggi (hyperconcentrayed flow). Aliran ini mengandung sekitar 40-60% material

berupa aliran massa yang non-kohesif dan bersifat lepas-lepas, memiliki gradasi yang terbalik, dengan densitas yang rendah pada bagian dasar). Selain itu, debris flows memiliki sekitar 60-80% berupa konsentrasi material vulkanik (Scott, 1988 dalam Surjono dan Yufianto, 2011).

III. BANGUNAN SABODAM

Sabodam dibangun dengan fungsi untuk mengendalikan sedimen dengan cara menahan, menampung dan mengalirkan sedimen. Tata letak pembangunan sabodam di daerah gunungapi dilakukan pada daerah produksi sedimen sampai dengan daerah pengendapan sedimen. Di daerah tersebut batuan dasar alur sungai sudah tertimbun endapan hasil letusan gunungapi, sehingga letaknya cukup dalam. Untuk itu pondasi sabodam dibuat mengambang dengan anggapan bahwa batuan pada pondasi tersebut memiliki karakteristik yang cukup keras. Sabodam ini dibangun secara seri artinya bangunan yang satu mendukung bangunan lainnya, dengan jarak tertentu yang disyaratkan agar sabodam stabil dan aman dari gerusan lokal (VSTC, 1985).

Pola pengendalian aliran lahar (sabodam) memiliki perbedaan fungsi pada daerah yang berbeda-beda. Daerah Gunungapi berdasarkan pengendalian lahar di bedakan menjadi tiga macam yaitu, daerah pengendapan lahar, daerah transportasi lahar, daerah sumber material lahar, dan daerah puncak gunung. Jenis-jenis bangunan Sabodam yang ada di Gunungapi Merapi berjumlah 264 buah dengan tipe yang berbeda-beda. Tipe yang berada untuk daerah sumber material lahar adalah Sabodam, dam konsolidasi, dan tanggul pengarah. Daerah transportasi lahar memiliki tipe bangunan Sabodam, dam konsolidasi, normalisasi sungai, dan tanggul banjir. Kantong lahar, dam konsolidasi, tanggul banjir, gronsil, dan normalisasi sungai berada pada daerah pengendapan lahar. Lokasi Bangunan Sabo di Kali Putih ditunjukkan pada gambar 2. Jumlah

(3)

130 bangunan sabodam yang ada pada sungai Kali Putih adalah sebanyak 22 unit yang terbangun pada ketinggian antara 850 m sampai dengan ketinggian 270 m.

IV. METODOLOGI

Metode yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah desk study, pengumpulan dan pengujian data primer, uji model hidraulik, analisa dan penyusunan laporan. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara survai dan kunjungan lapangan seperti identifikasi kerusakan bangunan sabo dan pengujian geofisika. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa instansi yang terkait antara lain.

Uji model hidraulik dilakukan untuk mengetahui prilaku bangunan sabo berdasarkan kondisi tertentu dari banjir lahar yang terjadi dalam skala laboratorium. Uji model hidraulika dilakukan di Laboratorium Hidraulika Balai Sabo dengan menggunakan saluran kaca (flume) berukuran lebar 0,20 m x panjang 6 m, dengan mengambil kasus ruas sungai Kali Putih antara D1 Mranggen, PU-C11/12 Gemeng sampai dengan PU-C10 Ngepos, dengan rentang sepanjang ± 2 km. Analisis dilakukan terhadap hasil pengambilan data di lapangan dan hasil pengujian uji model laboratorium. Identifikasi kerusakan Sabodam di lapangan dilakukan berdasarkan orientasi foto kerusakan sabodam pasca letusan 2010 dan interpretasi hasil kunjungan lapangan.

V. DATA DAN ANALISIS

A. Identifikasi Kerusakan Sabodam dan Penyebab

Karakteristik letusan Gunungapi Merapi umumnya disertai dengan luncuran awan panas yang akibatnya menimbulkan kerusakan hutan, ekosistemnya serta perubahan morfologinya (Gambar 7). Tercatat kurang lebih seluas 2.400 ha hutan Taman Nasional Gunung Merapi mengalami kerusakan dari total 6.410 ha luas hutan Taman Nasional

Gunung Merapi yang berada dalam wilayah Kabupaten Magelang, Boyolali, Klaten dan Sleman. Dampak dari kerusakan hutan dilihat secara hidrologis akan berpengaruh terhadap peningkatan aliran permukaan (surface runoff) dan bertambahnya debit sungai karena menurunnya jumlah hutan penutup lahan. Peristiwa banjir lahar akan terjadi jika terpenuhi tiga ketentuan yaitu tersedia material endapan, curah hujan yang tinggi, dan kelerengan yang cukup curam. Pada musim hujan pasca erupsi 2010 sering terjadi banjir lahar di daerah Kali Putih. Hal ini dikarenakan kondisi di lokasi yakni terendapkannya material hasil erupsi yang ada dengan jumlah yang sangat besar dan masih baru sehingga cukup mudah untuk terangkut aliran. Kejadian banjir lahar pasca erupsi Gunung Merapi 2010 mengakibatkan kerugian yang cukup besar yaitu hancur dan hanyutnya bangunan Sabodam di aliran Kali Putih. Besarnya debit banjir lahar yang diperoleh berdasarkan pengamatan tanda-tanda bekas banjir pada Jembatan Ngepos Kali Putih Januari 2011 sebesar 963 m3/det juga turut

mendukung kerusakan yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan debit banjir lahar puncak untuk perencanaan bangunan sabodam, nilai tersebut memiliki besaran nilai yang sudah mendekati debit puncak yaitu sebesar 946 m3/det (Data ini didapat dari wawancara dengan Yachiyo Engineering Consultant, 2014).

Identifikasi kerusakan di Daerah Kali Putih dilakukan berdasarkan analisa foto dan kunjungan lapangan dengan melakukan pemeriksaan lebih detail mengenai kondisi di lokasi. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagian mana pada Sabodam yang mengalami kerusakan dan untuk melaksanakan studi berikutnya menganalisa kejadian yang telah terjadi.

Salah satu bangunan sabo yang diidentifikasi kerusakannya adalah Sabo PU-D3. Jenis kehancuran yang ditemui yaitu bangunan pelindung yang terdiri dari sub dam, tembok

(4)

131 tepi kanan, Sub Subdam, tembok tepi kiri-kanan termasuk apron runtuh dan hanyut. Selain itu, pondasi bangunan utama yaitu maindam tergerus sedalam 21 m dari peluap (Gambar 5).

Sabodam PU-D3 Salamsari dibangun tahun 1983 dengan material pasangan batu kali dan beton. Data dimensi dan kerusakan sabodam PU-D3 Salamsari disajikan dalam bentuk Tabel 2 sebagai berikut: Sabodam PU-D3 Salamsari runtuh pada sub dam dan sub subdam, apron dan tembok tepi kiri-kanan akibat banjir lahar. Foto dan sketsa kerusakan sabodam PU-D3 Salamsari disajikan dalam Gambar 5. Dilihat dari letaknya maka sabodam PU-D3 Salamsari berada pada urutan bangunan No. 3 dari hulu dari total 22 unit bangunan sabodam yang ada di sistem sungai Kali Putih. Jarak antara sabodam PU-D3 Salamsari dengan sabodam di hilirnya yaitu PU-C14 Gejugan I sepanjang 1.033 m (Tabel 4).

Jumlah kerusakan sabodam Kali Putih pasca erupsi Gunungapi Merapi 2010 adalah sebanyak 21 unit, dan 3 unit diantaranya merupakan kerusakan sabodam paling parah karena tubuh sabodamnya sampai patah dan hanyut yaitu sabodam PU-D1 Mranggen (Tabel 3), sabodam PU-C11/12 Gremeng, dan sabodam PU-C10 Ngepos yang berturut-turut merupakan sabodam No. 7, No. 8, dan No. 9 dari hulu (Gambar 6). Dampak dari keruntuhan sabodam tersebut adalah hilangnya fungsi penahanan material sedimen, sehingga terjadi degradasi dasar sungai. Keseluruhan data kerusakan yang diidentifikasi pada bangunan Sabodam ditunjukkan pada

Tabel 5.

Berdasarkan keseluruhan data kerusakan yang diidentifikasi, dapat diketahui bahwa gerusan lokal menjadi faktor yang signifikan dalam menyebabkan rusaknya bangunan Sabo. Hal ini dikarenakan terjadinya perlemahan pondasi bangunan Sabodam. Dari data spesifikasi dan dimensi bangunan sabodam dengan kedalaman gerusan lokal yang terjadi pada banjir lahar 2010, maka dibuat grafik hubungan antara tinggi terjun dengan kedalaman gerusan lokal di hilir sabodam. Semakin tinggi terjunan maka semakin dalam gerusan lokal yang terjadi, dengan persamaan Y = 0,3281 X + 4,0329 (Gambar 8).

Jumlah material hasil erupsi Gunungapi Merapi tahun 2010 yang terendapkan di puncak gunung, lereng dan alur sungai-sungai yang berhulu di Gunungapi Merapi adalah sebanyak 140 juta m3 (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2011). Dari 140 juta m3 material hasil erupsi tersebut sebanyak 18 juta m3 terkonsentrasi di daerah hulu Kali Putih (UGM, 2011).

Jumlah bangunan Sabodam yang ada di Kali Putih adalah 22 unit dengan kapasitas tampung hanya sebesar 2,58 juta m3, sehingga perbandingan antara jumlah persediaan material yang harus dikendalikan sabodam dengan kapasitas tampung sabodam tidak berimbang. Sabodam yang ada hanya mampu menampung material berkisar 1/7 (14,33%) dari jumlah material yang terkonsentrasi di hulu Kali Putih. Material tersebut masih bersifat lepas karena letusan 2010 terjadi pada 26 Oktober 2010 saat memasuki musim penghujan, sehingga sangat mudah terangkut oleh aliran banjir.

Peristiwa degradasi dasar sungai akibat keruntuhan salah satu sabodam mengakibatkan efek terganggunya kestabilan sabodam yang lain, yang sering disebut dengan efek domino. Hal ini, karena sistem kerja sabodam adalah saling mendukung dan melengkapi antara sabodam yang satu dengan

(5)

132 yang lainnya dalam satu sistem seri / deret sabodam. Disamping itu perlemahan stabilitas sabodam juga diperbesar dengan adanya aktifitas penambangan galian golongan C yang melebihi batas ketersediaan sedimen suplai dari hulu, serta terkadang penambangan dilakukan pada tempat-tempat yang dilarang. Hal ini terjadi karena terbatasnya ruang yang bisa ditambang kalau jarak antar sabodam cukup dekat. Untuk mengantisipasi penurunan stabilitas yang membahayakan keamanan sabodam maka pemerintah kabupaten Magelang melarang penambangan galian golongan C yang menggunakan alat berat. Aktivitas penambangan material galian golongan C sesungguhnya diperlukan untuk menyediakan ruang tampungan untuk menampung sedimen pada letusan berikutnya, dengan catatan apabila dilakukan pada tempat yang dianjurkan yaitu pada lokasi hulu sabodam di area tampungan mati (dead storage) atau volume yang terkendali dengan batas tentu tidak terlalu dekat dengan bangunan baik Sabodam maupun tanggul serta tidak melebihi volume suplai (Gambar 9). Penambangan yang melebihi volume suplai sedimen dari hulu akan berpengaruh terhadap perubahan morfologi sungai dan menurunnya kualitas lingkungan. Gangguan terhadap lingkungan dapat berupa adanya suara bising, debu, asap truk, dan lain-lain. Di sisi lain aktivitas penambangan juga akan menambah penghasilan masyarakat, sehingga adanya suplai sedimen dari aktivitas Gunungapi Merapi juga merupakan berkah, karena memiliki kualitas yang cukup baik untuk bahan bangunan.

material dasar sungai pembentuk alur sungai merupakan bentukan endapan material hasil erupsi yang tersusun secara acak mengikuti besaran debit pengangkutnya. Material dengan ukuran besar akan terangkut ketika debit banjir besar dan material ukuran kecil akan terangkut meskipun debit yang mengalir hanya kecil. Susunan material dasar sungai terdiri dari abu vulkanik, lanau, pasir, kerikil

dan batu. Abu vulakanik dan lanau apabila bercampur dengan air akan meningkatkan kekentalan aliran dan material jenis pasir dan kerikil apabila terangkut aliran akan menggelinding mirip roda yang memperingan penggeseran, hal ini yang menyebabkan batu-batu besar dapat terangkut dan bahkan mengapung dipermukaan aliran.

Dominasi material dengan diameter kecil yang diperlihatkan pada uji laboratorium menunjukkan bahwa endapan hasil erupsi Gunungapi Merapi yang terakumulasi di hulu Kali Putih lebih banyak berupa abu vulkanik, sedang batu ukuran besar sedikit terangkut yang diperkirakan merupakan hasil longsoran ataupun erosi dari endapan lama. Diameter rata-rata butiran di lokasi penelitian yaitu 10,40 mm atau berukuran halus.

Aktivitas penambangan bahan galian golongan C di Kali Putih wilayah Desa Argosoka Mranggen setiap hari terdiri dari jumlah truk yang beroperasi sebanyak 50 unit dan rata-rata setiap hari dapat mengangkut 1 sampai dengan 2 kali dengan volume sekali angkut 7 m3. Maka volume material bahan galian golongan C yang ditambang = 50 unit truk x 2 kali per hari x 7 m3 = 700 m3/hari. Dan dalam setahun = 700 m3 x 365 hari = 255.500 m3/tahun.

B. Pengujian Geolistrik

Pengujian ini dilakukan di lokasi PU-D1 Mranggen, Kabupaten Magelang dengan tujuan untuk mengetahui besaran Ohm atau nilai tahanan listrik pada bagian bawah bangunan sabo. Besaran Ohm yang terdapat pada bagian bawah bangunan sabo dapat diinterpretasikan sebagai perkiraan kondisi litologi dan kondisi air di bawah permukaan. Pengujian dilakukan dengan dua (line) survey yaitu pada bagian hulu dan hilir bangunan sabo (Gambar 10). Panjang lintasan dan spasi elektroda yang diaplikasi pada survey geolistrik disesuaikan dengan kondisi dan lebar dari sungai (Kali Putih). Panjang lintasan akan menentukan kedalaman survey,

(6)

133 sedangkan resolusi hasil dari survey ditentukan oleh spasi elektroda yang ada. Pada line di bagian hulu, lintasan memiliki panjang 30 meter dengan kedalaman maksimum yaitu ±6 meter. Lintasan ini dilakukan dengan spasi antar elektroda 2 meter sehingga resolusi yang diharapkan sebesar 1 meter. Survey dilakukan dengan lintasan melintang sungai (Kali Putih) atau sejajar dengan bangunan sabo yang ada. Daerah dengan litologi berupa hasil produksi gunung api umumnya relatif memiliki nilai resistivitas yang tinggi. Sedangkan adanya pengaruh air dapat mengakibatkan nilai resistivitas relatif rendah.

Litologi yang terdapat pada permukaan dasar kali adalah berupa soil lepas hasil transportasi yang bercampur dengan gravel-gravel hasil transport. Hasil yang diperoleh dari geolistrik di hilir bangunan sabo menunjukkan kisaran nilai tahanan jenis antara 90-500 Ohm meter (Gambar). Daerah dengan bentuk relatif sirkular dengan resistivitas yang tinggi, 400 – 450 Ohm meter (warna merah) diinterpretasikan sebagai bongkah yang berada di bawah permukaan. Variasi nilai ditemukan pada hasil resistivitas di line pengukuran di hilir bangunan sabo. Nilai resistivitas yang relatif rendah 100 – 130 Ohm meter pada bagian sebelah kiri lintasan menunjukkan adanya kemungkinan pengaruh aliran air Kali Putih.

Kajian Hidraulik

Kajian hidraulika dilakukan untuk mengetahui perilaku aliran lahar dan mengetahui kedalaman gerusan lokal yang terjadi di Sabodam. Pelaksanaan uji model hidraulika dilakukan di laboratorium dengan menggunakan saluran kaca (flume) dengan ukuran lebar 20 cm, tinggi 40 cm dan panjang 600 cm. Hal yang mendasari pengujian hidraulik tersebut adalah karena parameter yang diamati adalah besarnya gerusan lokal di hilir Sabodam yang sifat perubahannya hanya kearah vertikal saja.

Variasi besar debit diambil sebesar 550 m3/detik, 500 m3/detik, dan 450 m3/det.

Besarnya variasi debit ditentukan berdasarkan debit desain sabodam Kali Putih PU-D1 yaitu sebesar 530 m3/det. Dari survai lapangan besarnya kemiringan dasar sungai Kali Putih pada ruas antara PU-C10 Ngepos sampai dengan PU-D5 Salamsari berkisar antara 3,4 % ~ 5,4 %, sehingga pada uji model hidraulika gerusan lokal ini diambil variasi kemiringan dasar sungai (I) sebesar 7 %, 6 %, dan 5 %. Sedangkan besarnya konsentrasi sedimen (Cd)

diambil sebesar 5 % dan 2,5 %. Serta untuk mengetahui besarnya pengaruh kedalaman gerusan lokal yang merupakan fungsi dari ketinggian sabodam, maka tinggi bangunan sabodam dibuat variasi yaitu 11 m, 9 m, dan 7 m. Pelaksanaan uji model hidraulika dibuat skenario sebagai berikut: Uji model hidraulika dibuat dalam 2 kelompok, kelompok 1 memiliki jarak antar bangunan sabodam 200 m dan kelompok 2 dengan jarak antar bangunan sabodam 300 m. Tiap kelompok terdiri dari 3 sub kelompok yaitu sub kelompok tinggi bangunan sabodam 11 m, 9 m, dan 7 m. Tiap sub kelompok dibagi dalam 3 bagian ruas kemiringan yaitu 7 %, 6 %, dan 5 %. Pada masing-masing ruas kemiringan diberikan besaran debit 550 m3/det, 500 m3/det, dan 450 m3/det dan konsentrasi sedimen 2,5 % dan 5 % dengan pengaliran dalam sekali running selama 10 menit. Perubahan penurunan dan kenaikkan dasar sungai yang terjadi diukur setelah berakhir waktu running untuk mengetahui perilaku dan dampak dari setiap skenario perlakuan. Hasil uji model hidraulika gerusan lokal dari hasil pelaksanaan uji model hidraulika sebanyak 54 seri, maka diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Untuk jarak antar bangunan sabodam 200 m, tinggi sabodam 11 m dengan konsentrasi sedimen 5 %, dan kemiringan dasar mulai dari 7 % berangsur mengecil sampai dengan 5 % terjadi gerusan kecil dan lambat laun berubah terjadi

(7)

134 sedimentasi apabila debit semakin berkurang.

2. Untuk jarak antar bangunan sabodam 200 m, tinggi sabodam 9 m sampai dengan 7 m dengan konsentrasi sedimen 2,5 %, dan kemiringan dasar sungai mulai 7 % berangsur mengecil sampai dengan 5 % dominan terjadi gerusan besar sampai mencapai kedalaman 11,2 m panjang 31 m. 3. Untuk jarak antar bangunan sabodam

300 m, tinggi sabodam 11 m sampai dengan 7 m dan konsentrasi sedimen 2,5 % secara konsisten terjadi gerusan yang cukup dalam untuk kemiringan 7 % dan kedalaman gerusan berkurang untuk kemiringan dasar yang agar landai.

C. Mekanisme Kejadian Banjir Lahar Berdasarkan kegiatan di lapangan dan laboratorium dapat diketahui mekanisme kejadian banjir lahar yang menyebabkan rusak dan hancurnya bangunan sabo. Banjir lahar yang membawa material debris dengan konsentrasi yang tinggi dengan cepat akan memenuhi tampungan sedimen yang ada. Indikasi rembesan yang terjadi pada bagian bawah bangunan sabo yang terjadi sebelumnya akan mengurangi kekuatan struktur bangunan (Balai Sabo, 2014). Hal ini terutama terjadi apabila rembesan tersebut membawa material-material. Banjir lahar yang terjadi yang disebabkan oleh cepatnya aliran akan menyebabkan tergerusnya bagian di hilir bangunan sabo sehingga menyebabkan lemahnya konstruksi bangunan tersebut. Gerusan lokal yang terjadi akan membuat bangunan sabo mengalami penurunan kekuatan structural (Balai Sabo, 2014). Pelemahan kondisi struktural dan besarnya banjir lahar menyebabkan bangunan sabo akan runtuh dan hanyut terbawa (Gambar 11).

VI. KESIMPULAN

- Kedalaman pondasi sabodam sebelum erupsi Gunungapi Merapi 2010 berkisar 4

s/d 7 m. Berdasarkan analisis, setelah erupsi Gunungapi Merapi 2010 kedalaman gerusan lokal yang terjadi berkisar 1,4 s/d 9 m. Hal ini menunjukkan bahwa Bangunan Sabo sebaiknya dibangun secara seri dan memerlukan pondasi yang lebih dalam dibandingkan dengan kondisi yang ada sekarang. - Kerusakan Sabodam terparah cenderung

terjadi pada Sabodam di daerah hulu, mengingat gradasi material yang terangkut oleh banjir lahar di daerah hulu berupa batu-batu besar. Disamping itu kemiringan sungai daerah hulu juga curam, sehingga kecepatan dan energi aliran lahar besar.

- Uji model hidraulik dilakukan dengan menghasilkan kedalaman gerusan lokal yaitu 11,2 meter sedangkan gerusan lokal yang ada dilapangan yaitu sedalam 21 meter. Ketidaksesuaian terjadi kemungkinan dikarenakan terjadinya perbedaan kondisi yang diterapkan dalam model (baik berupa komposisi aliran, bangunan Sabo dan kondisi di lapangan). - Hasil pengujian geolistrik menunjukkan

kondisi bawah permukaan yang memiliki karakteristik yaitu memiliki kandungan air memungkinkan terjadinya rembesan. - Hal yang menyebabkan terjadinya

kerusakan atau hancurnya bangunan Sabodam di Kali Putih adalah besarnya banjir lahar, produk vulkanik letusan yang melimpah, gerusan lokal, dan indikasi rembesan pada daerah Bangunan Sabo.

VII.

ACKNOWLEDGEMENT

Terima kasih disampaikan kepada seluruh tim peneliti Balai Sabo yaitu Ir. Chandra Hassan, Dipl, HE, M.Sc, Ir. Sadwandharu, Sp, F. Tata Yunita, ST, MT , M.Sc dengan bimbingan Drs. Suwarno, Ir. Chandra Hassan, Dip. HE, M.Sc, Drs. Sutikno, Dip. H, C. Bambang Sukatja, ST, M.Sc. serta didukung oleh semua anggota dan

(8)

135 pihak yang terkait. Kepada semua pihak yang telah mendukung tersusunnya penelitian ini

disampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Sabo, 2014, Kajian Konsep Pondasi Mengambang Pada Bangunan Sabo, Badan Litbang, Kementerian Pekerjaan Umum

Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak. 2011. Dokumen Program Pengendalian Lahar Gunung Merapi Tahun Anggaran 2011. Yogyakarta.

Gertisser, R., Charbonnier, S.J., Troll, V.R., Keller, J., Preece, K., Chadwick, J.P., Barclay, J., Herd, R.A., 2011. Merapi (Java, Indonesia): anatomy of a killer volcano. Geology Today 27, 57-62.

Preece, K., J., 2014, Transitions between effusive and explosive activity at Merapi volcano, Indonesia: a volcanological and petrological study of the 2006 and 2010 eruptions,

Surono, Jousset, P., Pallister, J., Boichu, M., Buongiorno, M.F., Budisantoso, A., Costa, F., Andreastuti, S., Prata, F., Schneider, D., Clarisse, L., Humaida, H., Sumarti, S., Bignami, C., Griswold, J., Carn, S., Oppenheimer, C., Lavigne, F., 2012. The 2010 explosive eruption of Java’s Merapi volcano – A ‘100-year’ event. Journal of Volcanology and Geothermal Research 241-242, 121-135.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H. M. D., 1977, Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Direktorat Geologi

Scott, K. M. (1988) Origin Behaviour and Sedimentology of Lahars and Lahars Runout Flows in Toutle-Cowlitz River System: USGS Professional Papers.

Surjono, S., S., Yufianto, A., 2011, Geo- disaster Laharic Flow along Putih River, Central Java, Indonesia, Journal of South East Asian Applied Geology (pp) 103-110

UGM. 2011. Prosiding Simposium Bencana Merapi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

VSTC. 1985. Perencanaan Bangunan Pengendali Sedimen. Volcanic Sabo Technical Centre. Yogyakarta.

TABEL

Tabel 1. Kerusakan Sabodam di beberapa aliran sungai

No Sistem sungai Jumlah Sabodam Jumlah Kerusakan Sabodam

1. Kali Apu 5 unit 5 unit (100%)

2. Kali Putih 22 unit 21 unit (95,5%)

3. Kali Kuning 15 unit 14 unit (93,3%)

Tabel 2.Data dan Kerusakan Sabodam di Kali Putih PU-D3

Dam Utama Sub Dam Sub Sub Dam

Tinggi 10,5 m Tinggi 3,5 m Tinggi -- m

Lebar Crest 3,00 m Lebar Crest 2,0 m Lebar Crest -- m

Panjang 84,6 m Panjang 30,0 m Panjang -- m

Jenis kerusakan Bangunan pelindung yang terdiri dari sub dam, tembok tepi kiri-kanan, Sub Subdam, tembok tepi kiri-kanan termasuk apron runtuh dan hanyut, serta pondasi bangunan utama yaitu maindam tergerus sedalam 21 m dari peluap.

Tabel 3. Data dan Kerusakan Sabodam di Kali Putih PU-D1

Dam Utama Sub Dam Sub Sub Dam

Tinggi 7,5 m Tinggi 4,0 m Tinggi 4,0 m

Lebar Crest 3,0 m Lebar Crest 2,0 m Lebar Crest 2,0 m

Panjang 53,0 m Panjang 30,0 m Panjang 30,0 m

(9)

136

Tabel 4. Jarak antar sabodam pada Kali Putih dan kedalaman gerusan lokal

Tabel 5. Data Kerusakan di Sabodam Kali Putih

No Nama Sabodam Jenis Kerusakan

1 PU-D1 Mranggen Maindam, subdam, apron, tembok samping kiri dan kanan runtuh total dan hanyut. 2 PU-D2 Mranggen Pondasi Sub Sub Dam runtuh akibat tergerus sedalam 9 m panjang 25 m.

3 PU-D3 Salamsari Bangunan pelindung yang terdiri dari sub dam, tembok tepi kiri-kanan, Sub Subdam, tembok tepi kiri-kanan termasuk apron runtuh dan hanyut, serta pondasi bangunan utama yaitu maindam tergerus sedalam 21 m dari peluap.

4 PU-D4 Salamsari Pondasi Sub Sub Dam tergerus sedalam 8 m.

5 PU-D5 Salamsari Peluap maindam terabrasi, lantai apron, tembok tepi dan subdam runtuh dan hanyut. 6 PU-C14 Gejugan Bangunan pelindung tebing kiri di hulu maindam rusak sebagian, mercu peluap maindam

terabrasi tidak terlalu dalam, dan tembok tepi kanan pelindung tebing runtuh akibat pembelokan arah aliran. Namun bangunan Utama Sabodam cukup baik.

7 PU-C13 Gejugan II Bangunan pelindung tebing kiri di hulu maindam rusak sebagian, mercu peluap maindam terabrasi tidak terlalu dalam, dan tembok tepi kanan pelindung tebing runtuh akibat pembelokan arah aliran. Namun bangunan Utama Sabodam cukup baik.

8 PU-C11/12 Gremeng Maindam, subdam, apron, tembok samping kiri dan kanan runtuh total dan hanyut.

9 PU-C10 Ngepos Maindam runtuh, kemudian terjadi degradasi dasar sungai. 10 PU-C9 Cabe Lor Lantai apron dan subdam rusak.

GAMBAR

Gambar 1 Sejarah Endapan Letusan Gunung Merapi (Gertisser et al., 2011 dalam Preece, 2014)

No Dari Ke Jarak (km) Tinggi Terjun

(m) Kedalaman Gerusan Lokal (m) 1 PU-D5 PU-D4 0,675 - 2 PU-D4 PU-D3 1,197 16,5 8 3 PU-D3 PU-C14 1,033 10 21 4 PU-C14 PU-C13 0,772 8,5 8,5 5 PU-C13 PU-D2 1,471 4,7 6 PU-D2 PU-D1 1,227 12,6 9 7 PU-D1 PU-C11/12 0,791 16,4 7,2 8 PU-C11/12 PU-C10 0,890 9,5 6,4 9 PU-C10 PU-C9 0,696 - 10 PU-C9 PU-RD1 0,843 8 5.5 11 PU-RD1 PU-RD2 0,400 5,8 - 12 PU-RD2 PU-RD3 0,648 5,8 - 13 PU-RD3 PU-RD4 0,434 5 - 14 PU-RD4 PU-RD5 0,375 3,5 - 15 PU-RD5 PU-C8A 1,593 3,5 5,25 16 PU-C8A PU-RD6 0,304 3,75 1,4 17 PU-RD6 PU-RD7 0,299 - 18 PU-RD7 PU-C8 1,518 5 - 19 PU-C8 PU-C2 3,970 2 - 20 PU-C2 PU-C0 5,701 -

(10)

137

Gambar 2 Foto Kerusakan Sabodam PU-D3 Salam-sari

Gambar 3. Peta Sebaran Kerusakan Bangunan Sabo

Sumber : PPK Penanggulangan Lahar Gunung Merapi Yogyakarta, 2011. 21 m

(11)

138

Gambar 4 Peta Geologi Regional Yogyakarta (Raharjo dkk, 1995, Surono dkk, 1994, JICA, 1990)

R u n t u h A b r a s i View M ai n Da m Long Section Abrasi Abrasi Sisa runtuhan. S c o u r i n g Runtuh 2 1 , 0 0 m Runtuh A b r a s i

(12)

139 y = 0,3473x + 4,6027 R² = 0,0928 0 5 10 15 20 25 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 Ke d ala m an Ge ru san lok al, D (m ) Tinggi terjun, Δh (m)

Grafik Hubungan Tinggi Terjun VS Gerusan Lokal

Gambar 7 Perubahan morfologi puncak Gunungapi Merapi sebelum dan sesudah letusan 2010 dengan kedalaman kawah baru sedalam 200 m (Surono, dkk, 2012)

A = 9.50 m

B = 3.00 m

C = 2.20 m Gambar 6 Foto Kerusakan Sabodam PU-D1 Mranggen

(13)

140

Gambar 10. Hasil pengujian geolistrik di daerah PU-D1

(14)

141

Gambar

Tabel 5. Data Kerusakan di Sabodam Kali Putih
Gambar 3. Peta Sebaran Kerusakan Bangunan Sabo
Gambar 5 Sketsa kerusakan Sabodam PU-D3 Salamsari
Grafik Hubungan Tinggi Terjun VS Gerusan Lokal
+3

Referensi

Dokumen terkait

Form verifikasi rule merupakan form yang digunakan oleh admin untuk melakukan analisa suatu penyakit dengan memberikan premis dari tiap rule set yang telah dibuat pada

The frame of this level is developing different experiments how different three dimensional building structures can be generated in a preconceived road grid to light up attributes

Dengan latar belakang permasalahan sesuai gambaran tersebut, penulis ingin mengetahui pengaruh implementasi pendekatan Penganggaran Berbasis Kinerja dan Kerangka Pengeluaran

Hal ini kontradiktif dengan beberapa orangtua muslim yang lebih cenderung menyekolahkan anaknya di sekolah non muslim, padahal di sekolah tersebut, anak tidak akan

Semakin banyak anak yang tidak diimunisasi maka semakin banyak anak yang tidak terlindungi dan rentan tertular penyakit berbahaya, seperti wabah polio tahun 2005 - 2006 di sukabumi,

Pemprov Sumut dan India sepakat meningkatkan kerja sama yang lebih baik lagi dalam berbagai bidang, “kata Gubernur Sumut, H Gatot Pujo Nugroho di Medan, Sabtu (3/5) usai

Penelitian dilakukan dengan menggunakan sistem wawancara terstruktur dengan kisi-kisi pertanyaan sebanyak 10 soal yang meliputi implementasi SIAK di Kantor