KOMPOSISI JENIS HIJAUAN PAKAN KERBAU DI LUAR
DAN DI DALAM PERKEBUNAN KELAPA SAWIT,
KABUPATEN LEBAK, BANTEN
(Buffalos Forage Composition in and Outside of Oilpalm Estate in the
District of Lebak, Banten)
BAMBANG R.PRAWIRADIPUTRA
Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002
ABSTRACT
Observation on water buffalo forages composition in and otside of oil-palm estate in Kampung Solear, Desa Sindang Mulya, Kecamatan Maja, District of Lebak, Banten has been done in June and September 2011. The results showed that there was a great variation between forages taken from outside of oil-palm estate and from the undergrowth. The forages from outside were more varied consist of alang-alang (Imperata cylindrica), kirinyuh (Eupatorium palescens), rumput pahit (Paspalum conjugatum), rumput jariji (Digitaria sanguinalis), jampang munding (Eleusine indica) and some others rhoughages of non gramineae such as banana leaf (Musa spp.), sengon (Albizia falcata) babadotan (Ageratum conyzoides), kacapituheur (Mikania cordata), and harendong (Melastoma spp.). While under the oil-palm utrees mostly Paspalum conjugatum with SDR more than 90%. This is show that although the animal grazing in the oil-palm estate, they should fed with forages from outside (roadside, rice dike etc) so the feed rich of varieties and the quality is also better.
Key Words: Water Buffalo, In Outside, Oil-Palm, Forages
ABSTRAK
Pengamatan komposisi pakan ternak kerbau yang dipelihara di sekitar perkebunan kelapa sawit di Kampung Solear, Desa Sindang Mulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak, Banten telah dilakukan pada bulan Juni dan September 2011. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat variasi yang cukup besar antara hijauan yang diperoleh dari luar perkebunan kelapa sawit dibandingkan dengan yang diperoleh dari bawah tegakan kelapa sawit. Hijauan yang diarit dari luar perkebunan lebih bervariasi dengan komposisi jenisnya yang terdiri atas alang-alang (Imperata cylindrica), kirinyuh (Eupatorium palescens), rumput pahit (Paspalum conjugatum), rumput jariji (Digitaria sanguinalis), jampang munding (Eleusine indica) dan beberapa jenis pakan non gramineae seperti daun pisang (Musa spp.), sengon (Albizia falcata) bahkan ada juga gulma berdaun lebar seperti babadotan (Ageratum conyzoides), kacapituheur (Mikania cordata), dan harendong (Melastoma spp.). Sedangkan di bawah tegakan kelapa sawit pada umumnya didominasi oleh rumput pahit (Paspalum conjugatum) dengan angka SDR (summed dominance ratio) di atas 90%. Fakta ini menunjukkan bahwa walaupun peternak bisa menggembalakan ternaknya di bawah tegakan kelapa sawit, namun sebaiknya mereka juga mengarit dari tempat lain (pinggir jalan, pematang sawah dsb.) agar pakan ternaknya lebih bervariasi sehingga kualitasnya juga lebih baik.
Kata Kunci: Kerbau, Kelapa Sawit, Hijauan Pakan
PENDAHULUAN
Upaya untuk mewujudkan sistem integrasi tanaman perkebunan dengan ternak ruminansia besar sudah sejak 2003 dirintis, yaitu dengan diadakannya Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit dengan Sapi di
Bengkulu yang digagas oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (DIWYANTO et
al., 2004). Dalam kesempatan itu dibahas juga
kemungkinan pemanfaatan limbah kelapa sawit untuk ternak sapi (ELISABETH dan GINTING, 2004). Harapan untuk merealisasikan integrasi
antara tanaman, khususnya perkebunan, dengan ternak cukup besar dengan diselenggarakannya Seminar Nasional Sistem Integrasi Tanaman-Ternak di Bali pada tahun 2004 (MAKKA, 2004; SUBAGYONO, 2004; SURADISASTRA dan LUBIS, 2004). Namun sampai kini berbagai kendala masih menghadang antara lain belum optimalnya pemanfaatan limbah sawit sebagai pakan ternak karena adanya inefisiensi dalam penggunaannya.
Di lain pihak masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit secara tradisional tetap menggembalakan ternaknya di lahan perkebunan, seperti misalnya peternak kerbau di Kabupaten Lebak, Banten. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana dampak dari penggembalaan ternak di lahan perkebunan, baik bagi tanaman perkebunan maupun bagi ternaknya sendiri terutama di wilayah-wilayah dimana potensi hijauan di lahan perkebunan tidak seimbang dengan jumlah ternak yang digembalakan. Untuk menjawab pertanyaan itu perlu dilakukan analisis menyeluruh agar dapat diketahui daya dukung yang optimal sehingga tidak terjadi penggembalaan berlebih (overgrazing) yang akan merugikan kedua belah pihak, pekebun dan peternak.
Untuk mendapatkan data awal telah dilakukan analisis vegetasi yang terdapat di bawah tegakan kelapa sawit dengan tujuan untuk mengetahui daya dukung perkebunan kelapa sawit terhadap ternak kerbau, baik dengan perbaikan vegetasi maupun tanpa perbaikan vegetasi pakan ternak.
Populasi ternak kerbau di provinsi Banten, khususnya di Kabupaten Lebak termasuk yang tertinggi di Indonesia. Tercatat populasi kerbau di Provinsi Banten 123 ribu ekor dan di Kabupaten Lebak sekitar 56 ribu ekor (Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik, 2012). Namun dalam beberapa tahun ke depan dikhawatirkan populasinya akan menurun karena adanya alih fungsi lahan pengangonan sehingga hijauan pakan yang tersedia juga akan menyusut.
Untuk mengantisipasi hal itu perlu dilakukan pengkajian berupa pemanfaatan hijauan yang tersedia di Kabupaten Lebak. Salah satu sumber hijauan yang potensial adalah perkebunan kelapa sawit.
Kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan perkebunan kelapa sawit adalah
adanya keraguan dari pihak perkebunan untuk memanfaatkan lahan perkebunannya karena adanya praduga bahwa ternak kerbau yang masuk ke perkebunan kelapa sawit akan menyebabkan kerugian bagi tanaman kelapa sawit, antara lain adanya pemadatan tanah akibat injakan ternak dan kerusakan lain.
Untuk menjawab keragu-raguan itu perlu dilakukan pengkajian dalam bentuk penelitian sederhana, dengan tujuan utama menguji hipotesis yang mengatakan bahwa ternak kerbau akan mengakibatkan pemadatan tanah. Selain itu juga dalam kaitannya dengan pemanfaatan lahan perlu dilakukan pengujian jenis-jenis tanaman pakan ternak tahan naungan yang dapat ditanam di perkebunan kelapa sawit.
Kompleksnya masalah di dalam integrasi tanaman dengan ternak diakui oleh MACLEOD
et al. (2011) karena menyangkut tidak saja sistem usahatani melainkan juga sistem rumah tangga dan lingkungan hidup.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilakukan secara bertahap, pada bulan Juni 2011 dan September 2011. Ada tiga tahap kegiatan penelitian yang dilakukan, yaitu:
1. Pengamatan komposisi hijauan pakan di kandang.
2. Pengamatan komposisi hijauan pakan di sekitar kandang
3. Pengamatan komposisi hijauan di kebun kelapa sawit
Pengamatan di kandang dan di sekitar kandang dilakukan pada Juni 2011 (musim kemarau), sementara pengamatan di kebun kelapa sawit dilakukan pada September 2011 (awal akhir musim kemarau).
Komposisi jenis hijauan pakan di kandang dan di sekitar kandang
Pengamatan dilakukan di Kampung Solear, Desa Sindang Mulya, Kecamatan Maja, Kabupaten Lebak. Pengamatan dilakukan di kandang kerbau peternak anggota Kelompok Ternak Kerbau ”Solear Jaya” dengan metode
quick assessment, baik di dalam kandang
yang terdapat di dalam kandang diamati, khususnya dalam hal jenis yang diberikan.
Vegetasi yang terdapat di halaman kandang dan di lahan sekitarnya juga diamati yang dilanjutkan dengan analisis SDR (summed
dominance ratio) atau Perbandingan Nilai
Penting. Analisis SDR ini dikembangkan dari analisis vegetasi di lapangan (MUELLER -DOMBOIS dan ELLENBERG (1974)) yang dimodifikasi sehingga bisa menggambarkan komposisi vegetasi yang ditemukan di kandang (PRAWIRADIPUTRA, 1986). Selain itu dilihat juga indeks keragaman jenis hijauan di dalam kandang. Nilai dari indeks keragaman diperoleh dengan menggunakan rumus dari Simpson sebagaimana yang dimodifikasi oleh COX (1976), yaitu:
D = N (N-1) Sn (n-1) Keterangan:
D = Indeks keragaman
N = Jumlah total individu dari semua spesies n = Jumlah individu dari setiap spesies
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengidentifikasi kualitas hijauan pakan yang diberikan kepada kerbau dan kemungkinan meningkatkan kualitas dan hasilnya. Sedangkan tujuan dari mengukur indeks keragaman adalah untuk mengetahui keberagaman jenis hijauan pakan yang diberikan kepada kerbau. Dengan rumus itu dapat diketahui bahwa suatu komunitas yang terdiri dari satu spesies mempunyai indeks 1 dan semakin beragam jenis hijauan di kandang, indeksnya semakin besar sampai ke angka tak terhingga.
Komposisi jenis hijauan pakan di kebun kelapa sawit
Pengamatan dilakukan di perkebunan kelapa sawit Cisalak Baru, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten di bawah tanaman berumur >10 tahun. Jarak tanam kelapa sawit 6 m x 10 m. Metode yang digunakan adalah metode bujursangkar (quadrat method) sebagaimana yang diperkenalkan oleh MUELLER-DOMBOIS and ELLENBERG (1974) yang kemudian berkembang dan dimodifikasi oleh beberapa peneliti ekologi tanaman, diantaranya
PALLARDY (1995) dan DEUTSCHLANDER and BREDENKAMP (1999).
Alat yang digunakan adalah kuadrat berukuran 1 m x 1 m. Pengamatan dilakukan dengan menghitung liputan (coverage) setiap spesies dan menimbang bobot segarnya. Angka perbandingan dominansi ditentukan dengan formula SDR. Parameter yang digunakan adalah: (1) liputan mutlak, (2) liputan nisbi, (3) bobot segar mutlak, dan (4) bobot segar nisbi. Dari parameter tersebut dihitung Nilai Pentingnya (Impotant Value/IV) kemudian dirata-ratakan sehingga diperoleh nilai SDR.
Jumlah kuadrat yang diamati ditentukan dengan pengamatan homogenitas vegetasi di seluruh areal yang diteliti. Berdasarkan pengamatan homogenitas vegetasi diperoleh bahwa pada luas 6 m2 jumlah spesies tidak bertambah lagi. Dengan demikian dapat diputuskan bahwa dengan 6 kuadrat berukuran 1 m x 1 m pengamatan sudah dapat mewakili komunitas vegetasi di areal penelitian..
Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk mengetahui komposisi vegetasi dan daya dukung lokasi penggembalaan di bawah tanaman kelapa sawit untuk ternak kerbau.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi jenis hijauan pakan di kandang dan sekitarnya
Hijauan yang terdapat di kandang kerbau di Kelompok Ternak Kerbau ”Solear Jaya” pada umumnya berasal dari luar kebun kelapa sawit, yaitu dari pekarangan sendiri atau dari sekitar perkampungan (kebun, tegalan, sawah), sedangkan dari kebun kelapa sawit Cisalak Baru sangat sedikit atau bahkan tidak ada.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hijauan yang diarit dari luar perkebunan cukup bervariasi dengan komposisi jenisnya terdiri atas alang-alang (Imperata cylindrica),
kirinyuh (Eupatorium palescens), rumput pahit (Paspalum conjugatum), rumput jariji (Digitaria sanguinalis), jampang munding (Eleusine indica) dan beberapa jenis pakan non gramineae seperti kacapituheur (Mikania
cordata), daun pisang (Musa spp.), sengon
(Albizia falcata) bahkan ada juga daun tumbuhan berkayu seperti jarong (Stachytarpheta jamaicensis), boborongan
(Hyptis brevipes), sadagori (Sida acuta) dan harendong (Melastoma spp.).
Jenis-jenis hijauan yang dirangkum pada Tabel 1 ini diamati pada musim kemarau, sehingga ada kemungkinan berbeda dengan apabila diamati pada musim penghujan. Pengamatan HANAFIAH dan PRAWIRADIPUTRA (2009) menunjukkan bahwa pada umumnya spesies hijauan yang diamati pada musim penghujan lebih bervariasi dibandingkan dengan pada musim kemarau.
Lebih dari itu, data pada Tabel 1.menunjukkan bahwa pada dasarnya agroekosistem di sekitar Kampung Solear tidak mendukung peternakan kerbau apabila tidak didukung oleh perkebunan kelapa sawit, terutama pada musim kemarau. Tingginya komponen daun pohon yang kurang palatabel dan juga komponen rumput pahit yang diperoleh dari perkebunan kelapa sawit menunjukkan hal tersebut.
Hasil analisis indeks keragaman Simpson pada kandang no. 3 ternyata paling tinggi, artinya hijauan yang ada di kandang no. 3 adalah yang paling beragam, sedangkan
hijauan pada kandang no. 2 yang paling tidak beragam, walaupun dilihat dari ”kekayaannya” (richness) kandang no. 2 paling sedikit jenis hijauan pakannya.
Komposisi jenis hijauan pakan di kebun kelapa sawit
Komposisi vegetasi di dalam kebun kelapa sawit dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu di kebun yang sering digembalai ternak pada umumnya didominasi oleh rumput pahit yang merupakan huijaun pakan utama kerbau di lokasi penelitian ini, sedangkan di lokasi-lokasi yang tidak digembalai kerbau pada umumnya didominasi oleh gulma, dimana sebagian besar merupakan gulma berkayu yang tidak dimakan ternak kerbau.
Hasil pengamatan liputan nisbi (relative
coverage) spesimen yang dilakukan pada akhir
musim kemarau (September 2011) disajikan pada Tabel 2 sementara hasil pengukuran bobot segar dirangkum pada Tabel 3.
Tabel 1. Jenis-jenis hijauan yang ditemukan di kandang kerbau di Kelompok Ternak Kerbau ”Solear Jaya”
(Juni 2011).
Kandang I Kandang II Kandang III Jenis hijauan
n n (n–1) n n (n–1) n n (n–1)
Jampang munding (Eulesine indica) 20 380 10 90
Jukut pait (Paspalum conjugatum) 30 870 65 4160 10 90
Kacapituheur (Mikania cordata) 10 90 10 90
Bayem cucuk (Amaranthus spinosus) 10 90 5 20
Harendong (Melastoma malabatricum) 10 90 Babadotan (Ageratum conyzoides) 10 90
Kirinyuh (Chromolaena odorata) 5 20 10 90
Alang-alang (Imperata cylindrica) 5 20 15 210 20 380
Puero (Pueraria phaseoloides) 10 90 10 90
Sengon (Parasarianthes falcataria) 5 20
Daun pisang (Musa sp.) 25 600
Rumput jariji(Digitaria sangunialis) 5 20
Gewor(Commelina nudiflora) 5 20
Total (N) 1650 4550 1350
Indeks keragaman Simpson 0.83 0.54 0.86
Tabel 2. Komposisi botanis berdasarkan liputan (coverage) di kebun kelapa sawit akhir musim kemarau
(September 2011)
Liputan spesimen setiap kuadrat (%) Vegetasi
I II III IV V VI Total Rata-rata
P. conjugatum 98 64 95 96 100 96 549 91.50 D. sanguinalis 1 1 0.16 P. rerpens 1 1 0.16 C. mucunoides 1 1 1 1 4 0.16 Pakis 1 1 2 0.33 Urena lobata 2 2 0.33 Sida acuta 3 2 1 6 1 Melastoma 20 2 1 23 3.83 Mikania cordata 1 10 1 12 2
Tabel 3. Komposisi botanis berdasarkan bobot segar di Kebun Kelapa Sawit akhir musim kemarau
(September 2011)
Bobot segar setiap spesimen di setiap kuadrat (g) Vegetasi I II III IV V VI Total P. conjugatum 45 60 209 109 130 366 919 Digitaria 1 1 P. rerpens 1 1 C. mucunoides 1 1 1 1 4 Pakis 1 1 2 Urena lobata 1 1 Sida acuta 2 7 1 10 Melastoma 16 4 1 21 Mikania 1 10 1 12 47 90 221 113 130 370 991
Di areal penggembalaan gulma berkayu yang terdiri atas Melastoma malabatricum,
Sida acuta dan Urena lobata dijumpai namun
tidak begitu banyak, persentasenya hanya 6%, itupun terkonsentrasi di lokasi-lokasi tertentu yang tidak di didatangi kerbau. Demikian juga halnya dengan gulma merambat Mikania
cordata terdapat sekitar 2% saja.
Interaksi antara kerbau yang digembalakan di perkebunan kelapa sawit dengan rumput pahit juga bukan merupakan suatu hal yang kebetulan. Menurut ’TMANNETJE dan JONES (1992), rumput pahit atau Paspalum conjugatum di beberapa negara disebut sebagai
rumput kerbau (Malaysia), Carabao grass (Filipina), Buffalo grass (Inggris).
Data SDR pada Tabel 5 yang merupakan hasil analisis dari Tabel-tabel 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan bahwa jenis vegetasi di bawah tegakan kelapa sawit pada umumnya didominasi oleh rumput pahit (Paspalum
conjugatum) dengan angka SDR (summed dominance ratio) di atas 95%. Fakta ini
menunjukkan bahwa walaupun peternak bisa menggembalakan ternaknya di bawah tegakan kelapa sawit, namun sebaiknya mereka juga mengarit dari tempat lain (pinggir jalan, pematang sawah dsb.) agar pakan ternaknya lebih bervariasi sehingga kualitasnya juga lebih baik.
Tabel 4. Komposisi botanis nisbi berdasarkan bobot segar (%) di kebun kelapa sawit akhir musim kemarau
(September 2011)
Bobot segar setiap spesimen di setiap kuadrat (g) Vegetasi
I II III IV V VI Total Rata-rata
P. conjugatum 95,74 66,67 94,57 96,46 100 98,92 552.36 92.08 Digitaria 0,88 0.88 0.15 P. rerpens 0,88 0.88 0.15 C. mucunoides 2,13 0,45 0,88 0,27 3.73 0.62 Pakis 1,11 0,88 1.99 0.33 Urena lobata 1,11 1.11 0.19 Sida acuta 2,22 3,17 0,27 5.56 0.93 Melastoma 17,78 1,81 0,27 19.86 3.31 Mikania 2,13 11,11 0,27 13.51 2.25
Tabel 5. Nilai SDR vegetasi di kebun kelapa sawit Cisalak Baru
Bobot segar setiap spesimen di setiap kuadrat (g) Vegetasi
Nilai liputan nisbi Bobot segar nisbi Nilai Penting SDR
P. conjugatum 91.50 92.08 183.58 91.79 Digitaria 0.16 0.15 0.31 0.16 P. rerpens 0.16 0.15 0.31 0.16 C. mucunoides 0.16 0.62 0.78 0.39 Pakis 0.33 0.33 0.66 0.33 Urena lobata 0.33 0.19 0.52 0.26 Sida acuta 1 0.93 1.93 0.97 Melastoma 3.83 3.31 7.14 3.57 Mikania 2 2.25 4.25 2.13
Dari nilai SDR yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa Paspalum conjugatum merupakan vegetasi yang mendominasi lahan penggembalaan kerbau di kebun kelapa sawit Cisalak Baru, Kabupaten Lebak, Banten. Sedangkan rumput lain seperti Digitaria
sanguinalis, Panicum repens dan leguminosa Calopogonium mucunoides menjadi vegetasi
yang subordinat, jauh di bawah Paspalum
conjugatum.
Dengan demikian dominannya P. conjugatum di perkebunan kelapa sawit
merupakan konsekwensi logis dari adanya kerbau yang digembalakan di perkebunan tersebut. Menurut MCILROY (1976) penggembalaan ternak di padang rumput dalam jumlah yang cukup tidak akan merusak komposisi vegetasi yang palatabel, sedangkan
penggembalaan berlebih maupun penggembalaan ringan dapat menyebabkan komposisi vegetasi berubah menjadi didominasi oleh gulma yang tidak disukai ternak.
Dominannya rumput pahit di perkebunan kelapa sawit merupakan klimaks vegetasi yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun semenjak lahan di Cisalak Baru tersebut masih berupa perkebunan karet.
Dilihat dari segi manfaat dan kerugian adanya penggembalaan kerbau di perkebunan kelapa sawit dapat dijelaskan bahwa tanpa adanya kerbau, rumput pahit akan tumbuh tidak terkendali karena menurut ’TMANNETJE dan JONES (1992) dan beberapa ahli gulma, rumput pahit ini merupakan gulma perkebunan yang sangat merugikan. Dengan demikian
dalam hal ini keberadaan kerbau justru merupakan pengendali gulma secara biologis (biological control) yang sangat menguntungkan. Apabila menggunakan tenaga manual atau kimia (herbisida) pengendalian rumput pahit di perkebunan kelapa sawit akan sangat mahal.
Berbeda halnya dengan peternak di lahan kering dengan agroekosistem tegalan yang belum dapat memanfaatkan berbagai sumberdaya secara optimal (PRAWIRADIPUTRA, 2004), peternak kerbau di Desa Sindang Mulya pada umumnya justru sudah mampu mengambil manfaat dari sumberdaya alam yang terdapat di perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan pendapat SOEDJANA (2007), yang menyatakan bahwa sistem usahatani tanaman-ternak merupakan respons petani terhadap faktor risiko yang harus dihadapi.
Dikaitkan dengan pembangunan pertanian, sistem usahatani tanaman-ternak di sekitar perkebunan diharapkan akan berkelanjutan. Menurut SYAHYUTI (2006) suatu sistem usahatani dikatakan berkelanjutan apabila tercipta suatu kondisi dimana terdapat peluang bagi masyarakat perdesaan dari setiap lapisan ekonomi, sosial dan budaya untuk meningkatkan taraf hidupnya tanpa merusak lingkungan sekitarnya.
KESIMPULAN
Hijauan pakan yang terdapat di kandang kerbau pada umumnya berasal dari luar kebun kelapa sawit dengan spesies yang bervariasi sehingga nilai indeks keragamannya cukup rendah, berkisar antara 0,54 sampai 0,86.
Hijauan pakan yang dominan di areal kelapa sawit adalah rumput pahit (Paspalum
conjugatum) dengan nilai SDR 91,79.
Hasil analisis menunjukkan bahwa adanya kerbau yang digembalakan di perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan karena kerbau berfungsi sebagai agen pengendali gulma, mengingat rumput pahit ini merupakan gulma yang sangat merugikan kelapa sawit.
Kerjasama antara perkebunan dengan peternak kerbau dapat menciptakan sistem usahatani yang berkelanjutan tanpa merugikan salah satu pihak dan tanpa merusak lingkungan di sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA
COX, G.W. 1976. Laboratory Manual of General Ecology. Wm.C. Brown Company Publisher. Iowa. 102 p.
DEUTSCHLANDER,M.S.andB.J.BREDENKAMP.1999. Importance of vegetation analysis in the conservation management of the endangered butterfly Aloeides dentatis dentatis (Swierstra). Aosis Open Journals. African Protected Area Conservation and Science. 42(2): 1 – 4.
DIWYANTO, K., D. SITOMPUL, I. MANTI, I.W. MATHIUS dan SOENTORO. 2004. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit-sapi. Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional. Departemen Pertanian. hlm. 11 – 22.
ELISABETH,J.dan S.P.GINTING.2004.Pemanfaatan hasil samping industri kelapa sawit sebagai bahan dasar pakan ternak sapi potong. Pengkajian pengembangan usaha sistem integrasi kelapa sawit– sapi. Sistem Integrasi Kelapa Sawit–Sapi. Prosiding Lokakarya Nasional. Departemen Pertanian. hlm. 110 – 119.
HANAFIAH, A. danB. R. PRAWIRADIPUTRA. 2009. Forage composition at small–scale dairy farm in Lembang, Indonesia. In: LEE and BEJOSANO (eds). Sustainable management and Utilization of Forage-based Feed Resources for small-scale livestock Farmers in Asia. Proc. International seminar on sustainable management and Utilization of Forage-based Feed Resources for small–scale livestock Farmers in Asia. FFTC, IRIAP and LRICA, Taiwan. p. 107 – 115.
KEMENTERIAN PERTANIAN dan BADAN PUSAT STATISTIK. 2012. Rilis Hasil Akhir PSPK 2011. 6 p.
MACLEOD, N., P. DOYLE and B. WINTER. 2011. Successfully implementing crop–livestock research, development and extension projects. In Winter (ed) Beef production in crop-livestock systems: simple approaches for complex problems. ACIAR Monograph no 145. Canverra. 160 p.
MAKKA, D. 2004. Prospek pengembangan sistem integrasi peternakan yang berdaya saing. Pros. Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 18 – 31.
MCILROY. 1976. An Introduction to Tropical Grassland Husbandry. 2nd edition. Oxford University Press.
MUELLER–DOMBOIS, D and H. ELLENBERG. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. Wlley, New York.
‘TMANNETJE,L.andR.M.JONES (eds), 1992. Plant Resources of South–East Asia. No. 4. Forages. Prosea, Bogor, Indonesia. 300 p.
PALLARDY, S. G.1995. Vegetation analysis, environmental relationships, and potential successional trends in the Missouri forest ecosystem project. Proc. 10th Central Hardwood Forest Conference. Morgantown, W Virginia. Gen. tech. repport. No 197. USDA, Forest service. pp. 551 – 562. PRAWIRADIPUTRA, B.R. 1986. Pola Penggunaan
Hijauan Makanan Ternak di Daerah Aliran Sungai Jratunseluna dan Brantas. No. 1. Seri Makalah Penelitian P3HTA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
PRAWIRADIPUTRA, B.R, 2004. Sistem Usahatani Tanaman – Ternak di Lahan Kering DAS Jratunseluna. Disertasi. Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta. 185 hlm.
PRAWIRADIPUTRA, B.R., B. HARYANTO, N.D. PURWANTARI and B. SETIADI. 2009. Availability and utilization of forage resources for small scale farm in Indonesia. Proc. International seminar on sustainable management and Utilization of Forage–based Feed Resources for small–scale livestock Farmers in Asia. FFTC, IRIAP and LRICA, Taiwan. pp. 57 – 64.
SOEDJANA,T.D. 2007. Sistem usahatani terintegrasi tanaman–ternak sebagai respons petani terhadap faktor risiko. J. Litbang Pertanian 26(2): 82 – 87.
SUBAGYONO. 2004. Prospek pengembangan ternak pola integrasi di kawasan perkebunan. Pros. Sistem Integrasi Tanaman–Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 13 – 17.
SURADISASTRA dan LUBIS. 2004. Pertimbangan integrasi tanaman–ternak dalam kebijakan pengembangan peternakan di kawasan Timur Indonesia. Pros. Sistem Integrasi Tanaman– Ternak. Denpasar, 20 – 22 Juli 2004. Puslitbang Peternakan bekerjasama dengan BPTP Bali dan CASREN. hlm. 32 – 43. SYAHYUTI. 2006. 30 Konsep Penting dalam
Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT Bina Rena Pariwara, Jakarta.
T’MANNETJE, L. and R.M. JONES. 1992. Plant Resources of South–East Asia. No. 4. Forages. Prosea, Bogor, Indonesia. 300 p.