• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - ANALISIS SUBORDINASI DALAM NOVEL TANAH TABU KARYA ANINDITA S. THAYF - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - ANALISIS SUBORDINASI DALAM NOVEL TANAH TABU KARYA ANINDITA S. THAYF - repository perpustakaan"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

26

Bab ini menjelaskan beberapa temuan yang terkandung di dalam novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf, yaitu berupa keunikan pada struktur intrinsik, juga ekstrinsik. Unsur-unsur intrinsik yang terkait dalam penelitian ini adalah tokoh, penokohan, alur dan latar. Ketiga unsur tersebut dalam pandangan ini mampu merepresentasikan kondisi dari sosiokultur, yang terkait dengan subordinasi perempuan. Selain itu, pengungkapan mengenai konsep gender dalam novel Tanah Tabu ini juga penting untuk meneliti hubungan sastra dengan unsur luarnya, yang pada nantinya mengarah pada subordinasi perempuan.

Adapun mengenai ekstrinsik, penjelasan mengenai konsep gender, hal ini dimaksudkan sebagai penjelasan deskriptif mengenai internalisasi subordinasi yang dikembangkan dalam rangka membebaskan perempuan dari ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Penjelasan ini tidak langsung menguraikan mengenai sisi subordinasi perempuan novelTanah Tabukarya Anindita S. Thayf, namun terlebih dahulu meneliti keterkaitan antarunsur di dalamnya agar terjalin sinkronisasi antara teks dan konteks. Hal ini mengacu pada pendekatan struktural yang penulis gunakan sebagai teori dalam penelitian ini.

A. Unsur Intrinsik NovelTanah Tabu

(2)

yang terkandung dalam setiap unsurnya. Dalam analisis struktural, yang lebih penting adalah menunjukan hubungan antarunsur, serta mencari sumbangan yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna (Nurgiyantoro, 2002: 37).

Dalam analisis unsur intrinsik terhadap novel Tanah Tabu, pembacaan antarunsur di dalamnya sangat penting. Unsur yang terkait, yaitu tokoh, penokohan, alur, dan latar. Ketiga unsur tersebut pada nantinya menjadi rujukan penting dalam menemukan referen mengenai subordinasi perempuan. Dengan demikian, pada nantinya dari ketiga unsur dalam juga akan dikaitkan dengan unsur luar.

1. Tokoh dalam NovelTanah Tabu

Tokoh-tokoh yang diceritakan secara deskriptif, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1. Penokohan NovelTanah Tabu

Nama Tokoh Penokohan

Utama Tambahan Tidak Langsung

Mabel  

Pum

Kwee

Mace

Leksi

Yosi

Mama Helda  

Tuan Piet  

Nyonya Hermine  

Pace Mauwe

Pace Johanis

Vic dan Ann

Pace Poro Boku

Mote

Pak Guru Wenas  

Pace Gerson  

Karel  

(3)

Dari tabel tersebut, hampir semua tokoh dalam novel Tanah Tabu dideskripsikan oleh pengarang melalui tiga narator yaitu Pum, Kwee, dan Aku yang ditampilkan sebagai pencerita dalam novel. Hanya tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting dalam novel Tanah Tabu yang diceritakan secara sepintas saja. Sebenarnya, tokoh Tuan Piet dan Nyonya Hermine termasuk tokoh penting yang berperan serta dalam pembebasan perempuan dalam tindak kekerasan dan ketertinggalan. Tokoh ini dalam novel Tanah Tabu perannya sedikit tenggelam dengan adanya peran tokoh Mabel yang dengan gigih memberikan perhatian kepada nasib perempuan di Tanah Tabu. Tokoh Mabel juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan oleh pengarang dengan teknik aku-an melalui tokoh Pum, Kwee, dan Aku. Tokoh Mabel selalu muncul di setiap peristiwa yang diceritakan pada seluruh episode atau bab dalam novel.

2. Penokohan dalam NovelTanah Tabu

Penokohan dalam novelTanah Tabudilukiskan melalui teknik dramatik. Teknik dramatik adalah pengungkapan tokoh di dalam cerita melalui penggambaran utuh dan konkrit secara tidak langsung pada tokoh-tokoh penting yang terkandung di dalam cerita.

(4)

kejelasan antartokoh dimaksudkan agar terjalin informasi yang utuh mengenai makna secara lengkap. Kejelasan-kejelasan dalam melukiskan tokoh diuraikan, seperti pada kutipan berikut ini.

“Aku memanggilnya Mabel sebagai nama kesayangan, dari singkatan Mama Anabel yang terasa cukup panjang saat diucapkan, apalagi tatkala diteriakan. Seperti para mama lainnya, Mabel tentu saja sudah tua. Dari rambutnya yang hampir serempak memutih kau juga dapat langsung mengetahuinya, pun dari kulitnya yang mengendur di sana-sini serupa lipatan seprai lupa disetrika. Meskipun begitu, jangan remehkan kekuatan Mabel-ku sayang. Dengan tangannya yang lebar, dia bisa mematahkan batang lehermu sekali genggam. Dengan tubuhnya yang besar, dia bisa menyembunyikan dua bocah sekaligus di belakang punggungnya tanpa terlihat (Thayf, 2009:13).

Dari kutipan di atas, mendeskripsikan bahwa tokoh benar-benar dianalisis oleh pengarang. Tokoh menjadi sentral cerita sekaligus sebagai ilustrasi mengenai “potret” kehidupan yang kejam pada suatu daerah tertentu. Dengan adanya potret tersebut, pembaca menjadi jelas dan lekas paham mengenai karakter orang-orang yang suka melindungi, menindas, dan ditindas ditampilkan dalam ciri bentuk fisisk yang melingkupi tokoh.

(5)

...

Ketika itu, Mabel berhadapan dengan seorang paitua pemabuk yang mencoba menyiksa kedua anaknya. Anak-anak malang yang wajahnya berlepotan air mata dan ingus itu berlari kearah Mabel yang kebetulan sedang menyapu halaman. Merekapun disembunyikan Mabel di balik punggungnya, sementara bapak mereka memburu dari belakang. Di hadapan Mabel yang sebesar gunung, aku melihat dengan mata kepalaku paitua pemabuk itu berusaha menggapai anak-anaknya tanpa menyentuh tubuh Mabel, tetapi gagal. Berkali-kali dicoba, berkali-kali pula gagal. Tubuh Mabel seolah selebar pintu gerbang sehingga tangan paitua itu tidak pernah sampai. Hingga pada titik tertentu, di tengah kegusarannya, paitua yang mulai marah itu mencoba menghadapi Mabel. Dengan penuh percaya diri bercampur nekat, setelah sebelumnya mengambil ancang-ancang, ditubrukkan badannya ke dada Mabel yang membusung luar biasa. Kau mungkin tidak akan percaya kalau kukatakan pada sisa pagi itu, anak-anak malang yang disembunyikan Mabel dibelakang punggungnya akhirnya bisa bernapas lega karena bapak mereka terkapar pingsan, tak berdaya, di atas tanah.

Jika marah, Mabel memang seperti raksasa ganas dengan sepasang lubang hidung sebesar sumur yang mampu mengisapmu sekali sedot (Thayf, 2009:13-14).

(6)

pengarang, baik mengenai lingkungan alam Papua, maupun dinamika masyarakat Papua itu sendiri.

Sehubungan dengan hal tersebut, Nurgiyantoro (2009: 196) mengatakan bahwa dengan adanya pendeskripsian tokoh, maka perhatiannya (baca:pengarang) bisa lebih difokuskan pada masalah ini, yakni pada pengembangan cerita dan penyampaian makna. Dalam kaitan ini novel sebagai representasi telah dengan inspirasinya mengembangkan antara fakta dengan imajinasi. Usaha dari pengarang untuk menceritakan mengenai kehidupan miskin di Papua telah terbantu dengan adanya deskripsi orang-orang miskin melalui tokoh. Dengan demikian, usaha pengarang untuk menyampaikan gagasan dan ide dalam struktur ceritanya menjadi lebih mudah.

(7)

Tokoh-tokoh di dalam novel Tanah Tabu yang terlibat dalam praktik subordinasi adalah Mabel, sebagai tokoh utama yang menjadi sentral cerita. Mace, Yosi dan Mama Helda, sebagai tokoh tambahan yang mengalami subordinasi. Adapun penokohan pada tokoh penting yang terlibat pada praktik subordinasi adalah sebagai berikut.

a. Tokoh Mabel

Tokoh Mabel dalam Tanah Tabu cukup sentral. Mabel lahir ketika Belanda datang ke Lembah Baliem pada tahun 1946. Pasangan keluarga Belanda yang bertindak sebagai pemimpin rombongan kemudian menjadikan Mabel sebagai anak angkat. Mulailah Mabel berkelana mengikuti tuan barunya. Ikut dengan keluarga Belanda menjadikan Mabel terpelajar. Ia mampu berbahasa Indonesia dan Belanda dengan baik. Ia banyak membaca buku. Walaupun begitu, karena ikut keluarga Belanda yang tidak ingin penduduk pribumi bisa mengenyam pendidikan yang baik di sekolah, Mabel pun dilarang sekolah. Namun, tetap saja, Mabel telah menjadi perempuan yang bisa membebaskan dirinya dari belenggu takdir perempuann Papua di usianya yang masih dini. Hal inilah yang menjadikan sosok Mabel menjadi sentral cerita dan dijadikan tokoh utama di Tanah Tabu. Untuk lebih jelasnya, ada dalam kutipan berikut.

(8)

...

Pada akhir masa tugas Tuan Piet, Mabel pun mengikuti jejak keluarga barunya yang berkulit putih meninggalkan Lembah Baliem, dan kedua orangtuanya yang tengah disaput kegembiraan karena mendapatkan “ganti rugi kehilangan” dari Tuan Piet derupa sejumlah keping ot, beberapa gulung tembakau, sekantong garam, pisau, juga sebuah benda kecil yang bisa memantulkan cahaya matahari untuk ibu Mabel dari Nyonya Hermine. Dan betapa beruntungnya aku, Mabel ternyata tak lupa mengajakku serta. Besama-sama, kami menuju ke tempat tinggal kami yang baru di balik gunung. Yang ternyata terus berpindah-pindah tak terduga.

Yang pentig untuk kau tahu, pada usianya yang kedelapan tahun, Mabel telah berhasil membebaskan dirinya sendiri dari belenggu takdir perempuan suku Dani yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun, dan babi (Thayf, 2009:106-107).

Dari kutipan tersebut Tokoh Mabel membuktikan sebagai sosok perempuan yang berjuang untuk melawan penindasan yang dialaminya dan perempuan komen lainnya. Posisinya sebagai perempuan yang harus patuh terhadap adat dan budaya membuat dirinya tertindas sehingga posisinya selalu dibawah dari yang lainnya. Hal tersebut menumbuhkan keinginan Mabel untuk tumbuh menjadi orang yang pintar tidak bodoh seperti perempuan-perempuan komen yang pasrah dengan keadaan tertindas karena tidak mendapatkan kebebasan.

b. Tokoh Mama Helda

(9)

perempuan yang tertindas dari praktik-praktik kekerasan yang di lakukan oleh laki-laki (suami). Kekerasan dalam novel ini bermacam-macam bentuknya, salah satunya yaitu subordinasi. Hal ini dikarenakan perempuan tidak mendapat perhatian dan perlindungan dari laki-laki ataupun pemerintah setempat sehingga tokoh Mama Helda harus menjadi korban dari superioritas laki-laki saat umurnya masih dini hingga ia menjadi seorang ibu dengan empat orang anak. Lebih jelasnya dapat dicermati dalam kutipan berikut.

Yang kutahu, dahulu Mama Helda suka sekali tertawa dan bercanda. Ia bersikap begitu jika suaminya tidak ada di rumah. Sudah berangkat kerja sejak pagi-pagi buta. Sebaliknya, jika suaminya telah pulang—laki-laki itu tiba di rumah sebelum malam merangkak terlalu jauh—Mama Helda menyimpan ceria kanak-kanaknya di dalam saku. Ia memaksa dirinya menjadi dewasa. Berusaha menjadi seorang istri yang dimaui sang suami. Penurut, penyabar, pendiam, pemaaf, dan sikap lain yang akan bertambah sesuai kebutuhan. Berbicara tentang ini, aku jadi teringat sebuah perkataan Mabel.

“Kalau kau seorang perempuan yang ingin senantiasa menyenangkan suamimu, lebih baik tanggalkan dulu perasaanmu dalam lemari dapur. Kecuali kau ingin hatimu terus-menerus menangis karena perlakuannya yang seolah-olah lupa bahwa kau juga manusia seperti dirinya.”

Aku tahu mungkin kau tidak setuju dengan perkataan itu, mungkin juga malu mengakui, tetapi cobalah untuk sesekali mangamini kebenaran seperti yang kulakukan sekarang ini. Kuakui kalau laki-laki kelahiran tanahku adalah para pemberani. Mereka tidak pernah gentar bertempur di medan perang dan beburu di hutan liar. Mereka adalah penakluk alam sejati. Namun yang sangat kusesali mengapa mereka membawa kebuasan itu sampai ke rumah? Menjadikan perempuan, istri sendiri, dan anak-anak sebagai korban. Sungguh tragis. Begitupun yang terjadi pada Mama Helda (Thayf, 2009: 65-66).

(10)

di hutan liar, tetapi juga di dalam rumah maupun lingkungan keluarga. Perlakuan-perlakuan yang mereka lakukan tidak hanya sebatas penakluk alam sejati yang tidak takut dalam medan perang, tetapi mereka juga menjadi penakluk istri dan anak-anaknya sendiri sehingga kaum laki-laki bebas memperlakukan istri dan keluarganya. Kondisi seperti ini yang menyebabkan kemunculan praktik-praktik subordinasi.

c. Tokoh Mace/ Mama Lisbeth

Tokoh Mace juga merupakan gambaran perempuan Papua yang lemah. Hal ini dipertegas dengan kondisi fisiknya yang kurus dan airmata yang kerap kali ia keluarkan secara sembunyi-sembunyi. Seperti yang tertulis pada bagian bawah cover novel Tanah Tabu “Di ujung sabar ada perlawanan. Di batas nafsu ada kehancuran. Air mata hanyalah untuk yang lemah”. Sehubungan dengan hal

tersebut Kwee yang berlaku sebagai narator dalam novel Tanah Tabu menyampaikan bahwa di balik kelemahan Mace ternyata tersimpan rasa kasih sayang yang begitu dalam. Kwee walaupun dia bukan anak kandung dari Mace tetapi dia mau mengurus dan membesarkannya. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

(11)

Dari deskripsi tersebut tokoh Mace memunculkan sisi lain dari perempuan Papua, walaupun dalam keadaan yang lemah dan tidak memungkinkan. Tokoh ini menyayangi dan membimbing Kwee yang bukan anak kandungnya sendiri tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga di luar rumah. Perhatian dan kasihsayang yang Mabel lakukan tidak hanya sebatas orang tua angkat, tetapi juga seperti orang tua kandung. Kwee selalu diperlakukan sama dengan Leksi anak kandung Mace.

d. Tokoh Yosi

Tokoh Yosi, gadis Papua yang sering diceritakan tokoh “Aku” dalam

novel. Yosi adalah tokoh yang dianggap kurang berpengetahuan dari berbagai banyak hal dibanding tokoh “Aku”. Hal ini dibuktikan dari sifatnya yang pendiam

dan pemurung. Di satu sisi, melalui tokoh ini, pengarang mengkritisi mengenai kekerasan terhadap anak yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah setempat sehingga tokoh Yosi harus terkurung di rumah dan menjaga sikap atau bicaranya supaya tidak kena pukul dan makian dari ibunya sendiri dan dilarang untuk bersekolah. Hal itu dapat diketahui dalam kutipan berikut ini.

(12)

Tokoh-tokoh dalam novel Tanah Tabu merupakan ilustrasi kekerasan yang dialami oleh tokoh di daerah pinggiran. Pernyataan Bagai batu, ia psrah disakiti. Sekiranya ia mati diujung satu pukulan misalnya, merupakan ironi yang mengungkapkan bahwa tokoh Yosi yang sangat penurut harus menerima pukulan.

Potret mengenai perempuan pinggiran dalam novel Tanah Tabu diungkapkan dalam keterpaduan antara struktur fisik dengan realita, yang menjadikan alur cerita berkembang dengan baik. Tokoh-tokoh dalam novelTanah Tabu hampir semuanya merupakan tokoh sentral, yang juga melatarkan suatu kejadian. Dalam novel ini, sesungguhnya yang terpenting adalah ide (gagasan) mengenai kekerasan yang dijalani oleh sejumlah tokoh di daerah Papua. Penyampaian cerita itu, di satu sisi, pengarang dapat memosisikan diri sebagai “pencerita” dalam keberadaannya di dalam karya sastra.

3. Alur dalam NovelTanah Tabu

Alur atau plot (jalan cerita) di dalam novel Tanah Tabu adalah menggunakan kaidah plausibilitas. Hal ini telah diketahui semenjak analisis terhadap unsur penokohan di atas: tokoh dijelaskan secara deskriptif. Artinya, “jalan cerita” novel Tanah Tabu menggunakan uraian yang dapat dipercaya oleh pembaca karena dalam cerita tersebut pengarang menyajikan “pengetahuan” secara deskriptif. Pengetahuan dalam novel ini pada akhirnya menjadi wacana yang dapat ditinjau secara komperhensif.

Tidak semua novel dalam penceritaannya mengunakan “Plausibilitas

(13)

Werren (1993:290), di bagian awal, bahwa cerita yang menggunakan deskripsi merupakan periode Romantik dan Realistik.

Secara isi, novel ini terbagi menjadi 13 bab. Inti dari kronologis mengenai novel Tanah Tabu karya Anindita S. Thayf dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 2. Urutan Cerita NovelTanah Tabu

Episode Isi Cerita atau Kisah Halaman

Cerita 1. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum

pengarang memaparkan kondisi alam Papua.

Melalui tokoh Kwee pengarang (Leksi) pengarang memaparkan bahwa Mabel memaksakan kepada Leksi untuk bersekolah, agar kelak dia menjadi gadis terpelajar dan bernasib baik, tidak seperti gadis-gadis Papua pada umumnya. Melalui tokoh Pum pengarang memaparkan bahwa tokoh Pum hampir nenebus nyawa demi Mabel, begitupun sebaliknya.

28-44

3. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku (Leksi) pengarang memaparkan bahwa Yosi membenci mamanya sendiri karena dia selalu dimarahi dan dipukuli tanpa alasan.Yosi juga merasa keberadaannya dikeluarganya tidak diharapkan karena dia perempuan. Selanjutnya Leksi bercerita tentang keinginan Yosi bersekolah dan memiliki Mabel dan Mace seperti Leksi yang selalu membela dan menyayangi bukan memukuli.

45-58

4. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, pengarang menceritakan bahwa Mabel rela banting tulang, bekerja apa saja untuk membiayai sekolah Leksi dan memenuhi semua kebutuhannya. Mabel berharap nantinya Leksi bisa menjadi penerusnya, sebagai perempuan yang cerdas dan peduli terhadap sesama dan

(14)

lingkungan.

5. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku (Leksi) pengarang menceritakan kebencian Mabel terhadap perusahaan emas dan Pace Gerson, laki-laki asli papua yang menjual gunung emas kepada pendatang demi kepentingan pribadi.

77-95

6. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, pengarang menceritakan masalalu Mabel. Si Anak Lembah adalah Mabel kecil. Lembah yang dimaksud di sini adalah Lembah Baliem tempat Mabel dilahirkan dan tumbuh sebagai perempuan Papua yang kental dengan tradisi dan budayanya. Dari sinilah Pum menceritakan tentang gambaran orang Papua asli yang masih sangat tradisional. Pada usia yang belum genap delapan tahun Tuan Piet Van de Wissel dan Nyonya Hermine Stappen yang datang dari Belanda membawa Mabel dan Pum untuk ikut hidup bersamanya meninggalkan lembah baliem.

96-124

7. Kwee Dengan teknik aku-an, melalui Kwee pengarang menceritakan tentang prasangka buruk Kwee terhadap Mabel yang sering pergi tanpa pamit dan terlihat mencurigakan. Kwee beranggapan perang yang terjadi ada sangkutpautnya dengan Mabel karena dulu Mabel pernah menjadi sebab terjadinya perang antar suku.

125-141

8. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku (Leksi) dan Pumm pengarang menyampaikan ceritanya secara bergantian. Berawal dari tokoh Aku (Leksi, kesedihan Leksi tidak berlangsung lama karena kedatangan Mama Kori sahabat Mabel.

Cerita dilanjutkan melalui tokoh Pum

dengan memperkenalkan Mama Kori sampai cerita Mama Kori tentang masa lalu Mabel yang mengerikan. Mabel ditangkap dengan paksa oleh orang-orang berseragam dan bersenjata tanpa sebab yang jelas. Selanjutnya Mabel dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah ia lakukan dan disiksa oleh para laki-laki yang menangkapnya kemudian Mabel dikurung dikamar yang mengerikan.

142-164

(15)

pengarang menceritakan bahwa di suatu malam Mabel, Mama Kori dan Mace saling diam dan bertukar pandang mendengarkan pertengkaran hebat yang terjadi di rumah Yosi, tetangga sebelahnya. melalui tokoh ini juga pengarang menceritakan bahwa Pum diajak oleh Mabel dan Leksi pada suatu pertemuan yang ribut dan kacau. Pertemuan Mabel dengan orang-orang yang tidak suka dengan keberadaan perusahaan mas para calon penguasa di Papua.

10. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, pengarang menceritakan bahwa Mabel tidak mengikuti pilkada akibatnya ia dimusuhi oleh banyak orang karena tidak memilih salah satu calonpun. Para penyogok yang mendatangi rumahnya dengan alih janji-janji tidak satupun yang dapat merayu Mabel. Karena omongan mereka dianggap omong kosong karena Mabel pernah kecewa dengan pemimpin yang ia idolakan dulu.

181-194

11. Aku Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Aku (Leksi) pengarang menceritakan bahwa tokoh Leksi selalu menyampaikan hal-hal yang baru ia ketahui kepada Mabel dan Macenya. Melalui tokoh Pum, pengarang juga menceritakan tentang pesanan noken dari Mote kepada Mabel. Adapun keluhan Mabel yang bermaksud ingin membuka hati para pejabat, justru membuatnya dimusuhi. Mabel menganggap para pejabat dan masyarakat yang terpengaruh bodoh dan tidak mau belajar.

195-218

12. Kwee Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Kwee, pengarang menceritakan tentang penangkapan Mabel oleh beberapa laki-laki bertubuh besar dan bersenjata. Mabel ditangkap dengan alasan membuat noken dengan warna bendera musuh. Ditengah-tengah keramaian orang-orang yang berdatangan juga tidak melakukan sesuatu hal untuk menolongnya. Pace Gerso hanya berdiri dan melihat Mabel ditangkap dengan paksa oleh sekelompok lelaki yang berkemungkinan suruhan dari Pace Gerson.

219-228

13. Pum Dengan teknik aku-an, melalui tokoh Pum, pengarang menceritakan tentang penyebab ditangkapnya Mabel, ternyata mama pembawa berita telah menjebaknya. Hal itu diminta oleh

(16)

Pace Gerson untuk menjatuhkan Mabel.

Pada akhir cerita pada episode ini yang juga menjadi akhir cerita pada novel, tokoh Pum berhasil menemukan tempat Mabel ditahan dan disiksa. Akan tetapi keberadaan Pum telah diketahui oleh petugas. Pum pingsan karena tubuhnya di lempar batu. Pum selamat karena tiba-tiba Kwee muncul dan menolongnya. Petugas tetap menemukan keberadaan Pum dan Kwe. Pum meminta Kwee lari untuk kembali menjaga Mace dan Leksi.

Isi dari novel Tanah Tabu telah penulis rincikan berdasarkan babnya. Urutan dari fragmen di atas merupakan serangkaian kejadian yang terdapat dalam novel. Urutan dari fragmen tersebut difungsikan untuk memudahkan analisis, yakni sebagai data untuk mengidentifikasi kerincian dan kejelasan unsur-unsur suatu novel. Dengan adanya rincian tersebut analisis akan mengarah pada bagian-bagian yang terkait dengan terjadinya subordinasi, alasan subordinasi terkandung dalam novel, serta hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya praktik subordinasi tersebut. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam analisis selanjutnya masih ada identifikasi berdasarkan kriteria tertentu.

Dalam urutan penceritaan tersebut, pengarang mengungkapkan mengenai realitas dengan jelas, detail, dan logis, seperti halnya kenyataan pada suatu masyarakat. Adapun yang membedakan antara fakta dan imajinasi novel adalah keterkaitan antara realita dengan ilusi untuk meyakinkan pembaca memasuki situasi di dalam novel.

(17)

“Kami rasa pengetahuanmu sekarang ini sudah lebih dari cukup, Anabel. Kau sudah sangat maju dari dirimu yang dulu. Bahkan kalau mau, kau bisa mendapat ilmu yang lebih banyak lagi dari membaca buku. Kau ini anak yang cerdas, Anabel. Cepat tanggap dan mudah menyerap setiap pelajaran dari mana pun asalnya, termasuk buku. Jadi untuk apa bersekolah? Apa lagi sekolah kampung seperti yang ada sini. Itu hanya untuk anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis,” jelas Tuan Piet.

“Betul kata tuanmu, Anabel sayang. Kau sudah lebih pintar sekarang. Dan yang penting, kau sudah merasa bahagia karenanya, bukan?”

Aku ada di situ selagi Nyonya Hermine bertanya begitu kepada Mabel, yang menjawabnya dengan anggukan pelan.

“Nah, kalau sudah seperti itu apa lagi yang kucari? Kau sudah bisa baca, tulis, dan berhitung. Menguasai bahasa Belanda dan Indonesia. Kau juga sangat pintar memasak, mengasuh anak, mengurus rumah, sampai berkebun. Apa lagi?” (Thayf, 2009:122).

(18)

dengan pembawaan dan lingkup sosialnya. Tanpa adanya deskripsi yang jelas, informasi yang ada di dalam novel dengan menggunakan bahasa yang membutuhkan kebenaran penampilan dari sebuah gagasan. Di sinilah bahasa sebagai representasi atas realitas dipahami sebagai bentuk komunikasi yang membutuhkan penandaan. Informasi-informasi yang terdapat dalam novel Tanah Tabu telah dibantu dengan kejelasan karakter tokoh dan situasi yang melingkupinya. Tokoh ibu Mabel sebagai penduduk asli suku Dani hanya menggunakan Sally, sejenis rok rumbai yang terbuat dari daun kering, tepat di bawah perutnya yang membuncit karena busung. Kedetailan deskripsi seperti itu yang menjadikan cerita berkutat lama untuk menjelaskan dengan sejelas-jelasnya permasalahan yang terkait.

Pada kaitan inilah, konsepsi realisme karya sastra mendekatkan struktur cerita pada ideologi. Ideologi merupakan pandangan hidup dan cara berpikir mengenai realitas. Tujuannya untuk menjadikan cita rasa (empati) terhadap pembaca mengenai ketertindasan yang ditempuh oleh masyarakat tertentu, yaitu di Papua pada masa itu: ketika perusahaan emas berkuasa di sana dan melakukan eksploitasi besar-besaran.

(19)

Model alur campuran dalam cerita novel Tanah Tabu secara lebih detail dapat digambarkan sebagai berikut ini.

Gambar 1. Jalannya cerita dalam novelTanah Tabu Keterangan:

a. Bagian awal penceritaan telah memunculkan konflik, kondisi alam Timika yang menyimpan banyak kekayaan menjadi daya tarik para pendatang untuk menguasai daerah Papua ini. Pada masa ini, di dalam novel dikisahkan bahwa sebagian orang cemas, jika orang-orang pendatang akan menguasai kekayaan alam Papua dan tidak mau berbagi. Disimpan untuk diri sendiri, padahal semua itu adalah warisan dari nenek moyang terdahulu untuk semua masyarakat Papua. Dengan kondisi seperti ini maka sudah jelas bahwa mayarakat Papua telah dijajah oleh pendatang maupun pribumi yang serakah. Kesan “tragik”

tersebut dimunculkan oleh pengarang sebagai gertakan peristiwa pertama. b. Konflik mengalami peredaan muncul secara perlahan. Pengarang

mendeskripsikan beberapa tokoh-tokoh penting, sambil menguraikan aliran cerita mengenai struktur masyarakat di Papua. Pada bagian ini, pengarang menguraikan ulasan-ulasan tokoh-tokoh di dalam novelTanah Tabu.

Muncul konflik

Penurunan konflik Penanjakan konflik

Oenanjakan Peristiwa

Penanjakan konflik Klimaks

konflik

(20)

c. Konflik mengalami penanjakan dengan munculnya beberapa permasalahan yang menjadikan perempuan dalam posisi tersubordinasi. Tokoh Yosi yang keberadaannya tidak diharapkan oleh orangtuanya karena dia hanya seorang perempuan. Tokoh Mama Helda yang selalu menjadi korban kekerasan akibat sikap tunduknya terhadap suami ataupun tokoh Mace yang menjadi korban pemerkosaan karena dianggap perempuan hanya sebuah barang yang dapat dikonsumsi dan diperlakukan dengan semena-mena. Penindasan terhadap perempuan juga telah terjadi pada tokoh Mabel dimasa lalu yang diceritakan kembali oleh tokoh Mama Kori. Pada bagian ini, nasib perempuan dirundung duka.

d. Penurunan peristiwa, sedangkan garis yang memisahkan dengan nama tempat lainnya adalah garis mengenai peristiwa yang terjadi dimasa lampau sebelum Papua dikuasai oleh orang-orang pendatang. Di Lembah Baliem tokoh Mabel dilahirkan sebagai perempuan yang berbeda dari perempuan Papua lainnya. Pada bagian ini Mabel dikucilkan oleh masyarakat suku Dani karena dia telah memukul seorang laki-laki. Hal ini dalam tradisi Papua, Mabel dianggap tidak patuh terhadap adat dan budaya. Perempuan diharuskan tunduk kepada laki-laki, dan laki-laki berkewajiban melindungi kaum yang lemah yaitu perempuan.

(21)

ketika Mabel dibawa Ny. Hermine meninggalkan Lembah Baliem. Mabel tidak sendirian tetapi disertai dengan sahabatnya Pum. Hal penting dari peristiwa ini adalah Mabel telah berhasil membebaskan dirinya sendiri dari belenggu takdir perempuaan suku Dani yang hidup hanya untuk keluarga, suami, kebun dan babi.

f. Kembali pada masa sekarang, konflik mengalami penanjakan dengan kemunculan tokoh Mama pembawa berita ditengah peperangan antar suku yang terjadi di Papua. Selain itu, ada pula pemunculan tokoh Pace Gerson yang mengunjungi pasar untuk berkampanye. Janji untuk mensejahterakan rakyat dan janji-janji lainnya yang disampaikan oleh Pace Gerson ditampik oleh ucapan Mabel yang menganggap semua janji yang disampaikannya itu hanya omong kosong. Hal inilah yang menyebabkan Pace Gerson memberikan ancaman terhadap Mabel.

(22)

orang tidak ada yang mau menolong Mabel. Akibatnya Mabel dibawa oleh orang-orang berseragam untuk melanjutkan siksaanya di tempat lain.

h. Tokoh Pum mencari Mabel untuk mengetahui kondisinya, apakah masih dalam keadaan hidup atau bahkan sudah mati. Tokoh Pum menemukan tempat dimana Mabel ditahan. Melihat Mabel disiksa Pum berontak ingin menerobos pagar kawat hingga keberadaannya diketahui oleh petugas. Batu besar dilemparkannya kepada tubuh Pum sehingga membuatnya pingsan. Pada saat kondisi seperti ini tokoh Kwee datang menyelamatkan Pum, tetapi tetap saja keberadaan mereka berdua diketahui oleh petugas. Tokoh Kwee dipaksa untuk lari meningglakan Pum. Tokoh Kwee harus menjaga Mace dan Leksi gadis kecil yang sanagt dibanggakan oleh Mabel karena kelak akan meneruskan perjuangannya yang ingin mengubah kehidupan dari ketertindasan dan kemiskinan menuju kesuksesan.

4. Settingdalam NovelTanah Tabu

Setting/latar tempat dari novel Tanah Tabu terdapat lima tempat, yang pertama di Timika atau kota Dollar sebagai pusat ceritanya. Adapun tempat yang kedua Lembah Baliem, ketiga Mandiptana, keempat Manolwari, dan yang kelima Wamena hanyalah sebagai tempat lain untuk memenuhi rentetan dari struktur cerita tokoh Mabel yang dianggap telah menuju pada tahap kemajuan hidup.

(23)

Bentuk-bentuk perubahan dari daerah tertindas adalah dengan adanya transformasi kebudayaan.

Keadaan mengenai kehidupan di Papua merepresentasikan keadaan lokasi yang memprihatinkan. Kondisi kemiskinan, keterpencilan, dan keterbatasan melukiskan masyarakat tradisional yang berada dalam penindasan. Kejadian ini dapat dipahami pada stereotype orang-orang miskin di Indonesia. Dalam novel ini, Timika adalah awal dari perubahan masyarakat Papua, karena disinilah terjadi peradaban baru. Budaya militerisme lahir dari para pendatang yang ingin menguasai Pepua. Tambang emas yang merupakan kekayaan masyarakat Papua kini telah dikuasai oleh para pendatang baru. Dunia politik juga sudah mulai masuk hal itu ditandai adanya partai-partai politik yang dibentuk oleh para pendatang dan orang papua yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Gambaran keadaan alam Papua diungkapkan di dalam novel Tanah Tabu dalam seting di bawah ini.

a. Setting Tempat

(24)

pengetahuan masyarakat Papua membuat mereka mudah dibohongi oleh para pendatang yang bermaksud mengambil kekayaan dari Papua. Lebih jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

Aku teringat suatu waktu pada masa lampau mana kala semua warna itu menjadi satu dalam latar hijau yang teduh dan biru yang cerah: cendrawasih kuning kecil, kakaktua jambul merah, bunga keris berbatang ungu, ikan arwana bersirip jingga, anggrek hutan berkelopak hitam, dan buah raksasa berkulit merah, bahkan sekelompok buaya berkulit zamrud yang sangat memesona. Semua bertumbuh bergerak dinamis di tengah alam yang masih liar. Begitu segar. Penuh pesona dan daya hidup. Masih cukup jelas dalam ingatan kanak-kanaku betapa saat itu aku merasa tengah hidup di taman surga sang alam yang tak terjamah. Tanah keramat yang tak terusik. Sungguh aku makhluk yang sangat beruntung. Sempat pula kuyakin keindahan itu bakal abadi. Terjaga rasa cinta dan syukur yang besar pada karya Sang Pencipta yang tiada banding. Terlindungi mimpi-mimpi sederhana dan tidak muluk tentang kehidupan. Namun ternyata aku salah. Salah besar! Hidup akhirnya mengajarkan kepadaku hal terindah itu ibarat gundukan daging mentah yang memikat hidung setiap pemangsa lapar. Selalu saja mampu membangkitkan gairah dan nafsu untuk memiliki dan menguasai. Mengambil sedikit demi sedikit demi kepuasan pribadi. Tidak mau berbagi dengan yang lain. Disimpan untuk diri sendiri (Thayf,2008:8-9)

Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa ada deskripsi mengenai keadaan alam Papua seperti keberadaan burung Cendrawasih dan Kakaktua jambul hitam yang memang dikenal seluruh masyarakat Indonesia bahwa binatang tersebut berasal dari papua, hutan yang ditumbuhi anggrek berkelopak hitam dalam kutipan di atas menyaran pada lokasi yang sesungguhnya.

b. SettingSosial

(25)

sekarang sudah menjadi wilayah yang cukup ramai dan sudah bisa disebut kota. Salah satu dari latar sosial ini juga ada yang menjelaskan salah satu daerah Papua yang sama sekali belum terjamah oleh orang luar. Keadaan asli dari kehidupan orang Papua di tanah yang tabu, yang kental dengan tradisi dan budayanya. Hal tersebut akan dijelaskan pada beberapa latar sosial di bawah ini.

1) Timika

Keadaan mengenai kota Dollar atau Timika mempresentasikan keadaan daerah yang sudah maju dan berkembang. Tanah yang kaya akan emas ini menjadi jarahan kaum pendatang. Keberadaan para pendatang di Timika menjadikan masyarakat Papua menjadi terpinggirkan. Kondisi semacam ini dapat diperjelas dalam kutipan berikut.

Oh, iya, sudahkah Pum bilang kepadamu bahwa kota tempat tinggal kami ini bernama Kota Dollar? Maksudku, Timika. Yang kusebut sebelumnya adalah nama lainnya. Nama yang kudengar sering keluar dari mulut para pendatang dan pencari emas. Mungkin Mace juga tertarik dengan nama itu sehingga datang ke sini. Entahlah. Yang pasti, kata ibuku, Mace ke sini mencari seorang perempuan tua yang diharapkan bisa menjadi penyelamatnya. Mabel.

“Kami mencarinya sampai keliling-keliling kota. Ternyata jalannya membingungkan. Tidak hanya ada satu, tapi banyak dan bercabang-cabang,” begitulah ibuku kerap berkisah tentang perjalanannya mencari Mabel. Katanya, ia lebih hafal jalan di hutan daripada di kota, yang dihuni banyak tanda dan bebauan menyesatkan. Juga banyak kerbau berasap, begitulah Ibu menyebut kendaraan yang berlari kencang dan siap menabrak siapa saja yang tidak berhati-hati... (Thayf, 2009:70-71)

(26)

berubah menjadi jalan-jalan besar yang ramai kendaraan. Hal ini juga menyaran pada keterpencilan dan kesederhanaan masyarakat penghuninya. Sebagai metaforiknya lokasi yang terpencil, terisolasi menjadikan masyarakat Timika sulit disadarkan dalam keterbelakangan dan kebodohannya. Mereka menjalani kehidupan apa adanya, tanpareserve, karena itu memang sudah digariskan alam.

2) Lembah Baliem

Keadaan mengenai Lembah Baliem di Papua mempresentasikan keadaan alam yang menakjubkan. Kondisi tanah, sungai, rawa-rawa, gunung-gunung yang menjulang, flora dan fauna sebagai penghuni hutan melukiskan alam yang masih asri, belum terjamah oleh tangan-tangan nakal manusia. Hal tersebut diungkapkan dalam kutipan berikut ini.

Lembah Baliem masih seperawan saat diciptakan. Hutannya masih lebat, kaya dan sehijau daun muda segar yang belum terjamah ulat dan serangga. Pun, tanahnya masih menyimpan banyak keajaiban yang belum terkuak—keajaiban yang kelak justru menodai alam dan orang-orangnya. Lembah ini dipotong sejumlah sungai berair kecoklatan yang meliuk dan merayap menuju selatan, kemudian tumpah di Laut Arafuru. Terpagar rawa-rawa lembap yang menyimpan dendan bangsa buaya dan serangan pasukan lintah. Terbentangi beberapa gunung gagah yang berdiri pongah. Siapa pun masih bisa mendengar alam bernapas dan bersenandung ketika ini, dan pada masa ini pula, di sebuah daratan terbuka yang menghampar di tengah-tengah lembah, Mabel terlahir dan dibesarkan sebagai salah satu anak suku Dani. Orang-orang di sana memanggilnya dengan nama Waya. Namun sebaiknya kita tetap menyebutnya Mabel saja (Thayf,2008:97-98).

(27)

dalam menceritakan karakteristik Papua dengan penggambaran situasi di Lembah Baliem adalah usaha untuk meyakinkan pembaca mengenai realisme novel ini. Dalam hal ini, Anindita sebagai pengarang seolah-olah telah paham mengenai situasi dan kondisi daerah Papua karena cerita yang disampaikan oleh ketiga narator yang ditampilkan sebagai tokoh oleh pengarang. Tidak heran jika lokalitas Papua dalan novelTanah Tabuini menjadi terangkat.

Di lembah ini juga, Anindita dengan mudah menyampaikan keadaan masyarakat Papua yang sesungguhnya melalui ciri-ciri fisik dari masyarakat suku Dani. Lebih jelasnya terdapat dalam kutipan berikut.

Ayah Mebel seorang laki-laki tinggi besar dengan otot-otot yang melingkar dikedua lengannya. Ia tampak begitu perkasa sehingga seakan mampu membelokan sungai seorang diri. Keperkasaan yang juga tampak melalui sorot matanya yang tajam dan pada seraut wajah kasar yang dirimbuni cambang disepanjang sisinya. Cambang itu seolah bersambung dengan bulu keririting hitam yang merambat di sekujur dada hingga perut, dan berhenti tepat di atas kotekanya. Wajah sang ayah juga dihiasi hidung yang besar dan lebar, serupa hidung Mabel (Thayf, 2009:98). Kutipan di atas memperjelas mengenai struktur fisik dari laki-laki yang berasal dari Papua. Adapun struktuk fisik dari perempuan Papua, seperti yang di gambarkan pada kutipan berikut.

Adapun ibu Mabel bertubuh lebih mungil daripada suaminya, meskipun bekulit sama kelamnya. Garis-garis wajah dan sinar matanya juga terkesan lebih ramah, yang diwariskannya ke Mabel (Thayf, 2009:99).

(28)

Papua yang sesungguhnya melalui pakaian adat yang dikenakan. Lebih jelasnya terdapat dalam kutipan berikut.

...

Seperti halnya kebanyakan perempuan suku Dani kala itu, ibu Mabel hanya menggunakan Sally, sejenis rok rumbai yang terbuat dari daun kering, tepat di bawah perutnya yang membuncit karena busung. Jika dada ayah Mabel jarang dibiarkan telanjang, karena diberi hiasan kalung yang terbuat dari untaian kulit kerang, sebaliknya dada ibunya hanya digantungi sepasang payudara yang layu. Tempat Mabel dan ketiga saudaranya dulu sering bergayut, mencari kehangatan dan makanan. Sementara di kepala sang ibu sering ditumbuhi rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas seorang perempuan sejak zaman nenek moyang (Thayf, 2009:99). Pelukisan yang menyaran pada pakaian adat yang dikenakan oleh suatu daerah diperjelas pada pakaian yang dikenakan oleh ayah dab ibu Mabel sebagai laki-laki dan perempuan asli papua. Pakaian yang hanya berupa rok dari daun kering untuk menutupi sebagian tubuhnya dan membiarkan sebagian tubuh lainnya telanjang juga menggambarkan keadaan masyarakat yang primitif dan tradisional. Adapun kalung yang dibuat dari untaian kerang sebagai hiasan yang dipakai laki-laki sudah menjadi adat dan tradisi. Tradisi yang juga sangat kental dengan masyarakat Papua yaitu berburu. Lebih jelasnya terdapat dalam kutipan berikut.

(29)

Dari kutipan di atas, terlihat jelas bahwa kemampuan berburu seorang ayah atau anggota keluarga lain yang berjenis kelamin laki-laki juga dapat menjadikan suatu kebanggaan tersendiri bagai keluarga.

Dari pelukisan-pelukisan yang dilakukan oleh pengarang mengenai keadaan masyarakat Papua melalui ciri fisik, pakaian adat yang dikenakan, tradisi berburu dan berperang, menjadikan pembaca seolah-olah berada di Papua yang sesungguhnya.

3) Mandiptana

Deskripsi latar di sini telah mencerminkan keadaan batin tokoh Pum. Di daerah yang lebih ramai dibanding dengan tempat asal, Pum justru merasa tidak betah padahal tempat barunya jauh lebih nyaman. Keadaan hati itu ditopang dan disarani secara meyakinkan oleh deskripsi latar. Bahkan, sebenarnya justru deskripsi latar itu sendiri yang “menggambarkan” kepada kita betapa suasana hati

Pum. Hal tersebut dapat diperjelas pada kutipan berikut.

(30)

lingkungan hidup dan Pum juga belum bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya. Oleh karena itu Pum tetap saja merindukan tempat tinggalnya dulu.

4) Manokwari

Keadaan batin tokoh dalam novel Tanah Tabu juga kembali tercermin pada deskripsi latar di Manokwari daerah yang tidak kalah ramainya dengan Mandiptana. Gambaran suasana hati tokoh Mabel yang terbengong-bengong dengan keadaan kota baru yang ia jumpai. Deskripsi latar di sini tidak hanya mencerminkan suasana internal tokoh, namun juga menunjukan suasana kehidupan masyarakat, kondisi spiritual masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini sering terdapat hubungan timbal balik, saling mencerminkan, antara latar fisik, alam, dengan latar spiritual, sistem nilai (yang berlaku) di masyarakat. Keadaan tersebut dapat diperjelas dalam kutipan berikut.

(31)

angin di bagian depan: satu berwarna jingga, satunya lagi merah, putih, dan biru (Thayf, 2009:113-114).

Lokasi geografis Mandiptana yang ramai meyaran pada betapa majunya dan berkembangnya kehidupan masyarakat penghuninya. Sebagai metaforiknya lokasi yang berkembang, masyarakat Mandiptana kebanyakan berasal dari negeri pendatang karena sudah muncul berbagai ras/suku dari yang berkulit hitam, coklat, kuning, putih yang berpakaian lengkap tidak seperti orang Papua asli. Mmereka adalah gambaran masyarakat yang sudah modern yang hidup di daerah yang sudah berkembang.

5) Wamena

Deskripsi latar di daerah Wamena masih menncerminkan keadaan batin tokoh yaitu pada tokoh Mabel dan Pum. Deskripsi latar berupa langit berwarna biru tak kenal luntur, sungai Baliem yang mengalir malas juga masih sejuk, melukiskan kebahagiaan dan rasa syukur tokoh Mabel dan Pum.

(32)

Lokasi geografis Wamena yang letaknya tak jauh dari Lembah Baliem yang terpencil sekaligus menyaran pada betapa keterpencilan dari kesederhanaan hidup yang nyaris mendekati keprimitifan penghuninya. Tokoh Mabel dan Kwee yang berjalan dengan telanjang kaki merupakan gambaran metaforik lokasi yang terpencil. Mereka hidup dari intuisi, intuisi yang sepenuhnya didasarkan dari sasmita alam.

B. Praktik-praktik Subordinasi dalam NovelTanah Tabu

Praktik Subordinasi dalam novel Tanah Tabu terjadi pada wilayah keluarga, masyarakat dan teknologi yang mengungkapkan mengenai hal-hal yang secara esensial memberikan empati kepada pembaca. Kehidupan perempuan Papua yang dijadikan korban keganasan kaum laki-laki menjadikan perempuan pada posisi yang selalu tertindas dalam berbagai hal. Fenomena subordinasi muncul dari istri yang selalu dipukuli oleh suaminya, perempuan yang tidak mendapati jaminan ekonomi dari suaminya, anak perempuan yang harus ikut mengurus pekerjaan rumah tangga ketimbang bersekolah dan barmain untuk mencari sekedar hiburan. Hal tersebut adalah sepenggal potret perempuan Papua yang keadannya miris sehingga menumbuhkan empati pada setiap pembaca. Selain kekerasan, praktik subordinasi juga kerap kali terjadi.

(33)

1. Subordinasi dalam Keluarga

Subordinasi dalam keluarga dilatarbelakangi adanya kondisi sosial yang membuat setiap keluarga hidup miskin. Adanya perusahaan emas yang berdiri di Papua telah menjadikan kehidupan masyarakat Papua berada dalam penindasan. Pemyebabnya karena mereka tidak memiliki pendidikan sehingga tidak bisa mengolah emas sendiri, dan pada saat perusahaan emas berdiri di pulau ini, maka mereka hanya bisa menjadi kuli maupun buruh kasar.

Kaum perempuan tidak mendapati jaminan ekonomi dari perubahan represif melalui industri pertambangan. Mereka justru menjadi korban mengenaskan dari ulah kaum lelaki dengan pola konsumtif kaum lelaki. Sikap konsumtif dan superioritas yang dimiliki oleh para laki-laki menyebabkan kaum perempuan berada dalam penindasan. Kaum laki-laki hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Urusan keluarga dinomorduakan, dianggap tidak penting karena posisi sebagai seorang istri apalagi seorang anak perempuan itu berada dibawah suami. Hal ini secara jelasnya dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

Lalu inilah cerita yang menghambur lirih dari mulut Yosi: ...

(34)

“laki-laki mempunyai posisi lebih unggul dibanding perempuan”. Posisi inilah

yang memaksa perempuan untuk selalu tunduk pada perlakuan laki-laki.

Sikap tunduk kepada laki-laki juga ditunjukan oleh tokoh Mama Helda yang menjadikan dirinya sebagai praktik subordinasi dalam keluarganya. Pada awalnya tokoh Mama Helda memilih diam dalam menghadapi perlakuan-perlakuan dari suaminya, hal ini dianggap sebagai sikap pertahanan dari perlakuan-perlakuan tersebut oeh Mama Helda. Secara jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

...

Mama Helda yang tampak lebih pucat dan sakit-sakitan menuturkan semuanya dengan suara yang penuh air mata. Ia berkisah begini:

“Mabel, sebelumnya aku minta maaf karena dulu tidak mendengar kata-katamu. Kau benar. Suamiku semakin kasar dari hari ke hari. Sikap diamku dianggap sebagai tanda tundukku. Aku pun semakin sering menjadi sasaran kemarahnnya. Setiap kali ia pulang malam dalam keadaan mabuk, siksaan itu pasti datang lagi. Kau tentunya sudah sering mendengar, bukan? Teriakan itu. jeritanku. Oh, Mabel. Aku malu sekali. Malu...

“Kau tahu... sebenarnya sudah sejak lama aku merasa tidak kuat lagi. Apalagi tidak tahan terus-menerus ditampar, dijambak, dipukul, dan ditendang. Rasanya hancur semua tulang ini, Mabel. Tapi aku mencoba tetap bertahan. Pikirku, mungkin suatu saat nanti dia akan berubah. Jadi lebih baik dan pengertian seperti diawal pernikahan dulu. Mungkin jika upahnya dinaikkan, anak-anak tidak rewel di depannya, dan semua kebutuhannya sudah kusiapkan sebelum ia meminta, ia bisa bersikap lebih manis. Tapi ternyata aku keliru. Harapanku hanya mimpi. Mimpi yang tidak mungkin terwujud.” (Thayf,2009:185)

(35)

terus menerus menjadi sasaran dari kemarahannya akibat kehidupan kaum lelaki yang konsumtif dan menindas kaum perempuan. Mama Helda sebagai salah satu korbannya. Dia selalu ditindas dan diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Seolah-olah, dia adalah seorang penjahat yang pantas untuk dipukul dan ditendang tanpa perikemanusiaan. Perilaku seperti ini berangkat pada realitas kebudayaan bahwa posisi laki-laki berada lebih tinggi secara strktural dibandingkan dengan perempuan. Pihak laki-laki merupakan pemenang, memiliki kekuasaan yang lebih besar dan peran yang lebih menentukan dibandingkan dengan perempuan. Oleh karena itu posisi perempuan selalu dianggap tidak penting dibandingkan laki-laki.

2. Subordinasi dalam Masyarakat

Subordinasi dalam masyarakat pada novel Tanah Tabu teridentifikasi melalui sikap tunduk kepada laki-laki ditunjukan oleh Yosi ketika dia ingin menjadi seorang pengantin, menjadi pengabdi suaminya, yang secara jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini.

(36)

Dari kutipan di atas, pengarang menggambarkan karakter laki-laki selalu ingin menjadi yang terhebat. Laki-laki identik dengan seorang jagoan yang tidak terkalahkan apalagi oleh seorang perempuan. Pada novel ini, praktik subordinasi yang memiliki arti suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain terungkap. Perempuan mendapatkan posisi yang lebih rendah dari laki-laki dibangun atas dasar keyakinan satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding yang lain (Junaidi,2011). Dengan demikian, pembedaan posisi, pekerjaan juga dapat menjadikan perempuan tersubordinasi.

Sesuai dengan yang telah disampaikan di atas, praktik subordinasi yang dialami oleh tokoh Yosi selanjutnya juga mempertegas bahwa perempuan tidak bertanggungjawab dalam urusan publik maupun produksi. Hal ini teridentifikasi melalui adanya nilai-nilai dalam masyarakat yang diketahui telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggungjawab, memiliki peran dan fungsi dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki bertanggungjawab dalam urusan publik atau produksi (Prodikesmas, FKK-UMJ, 2006).

(37)

Lalu inilah cerita yang menghambur lirih dari mulut Yosi:.. “Sejak itu, Leksi, kau percaya tidak, aku tiba-tiba saja membenci Mama. Kupikir ia tidak sayang kepadaku sehingga perlakuannya seperti itu. mungkin juga keberadaanku tidak diharapkannya karena aku ini anak perempuan. Apalagi kuingat ia pernah bilang jika saja anak pertamanya laki-laki, pasti sudah disuruhnya bekerja di luar. Jadi kuli di pasar atau bantu-bantu jadi tukang batu jika ada proyek bangun rumah” (Thayf,2009:51)

Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa keberadaan perempuan pada ranah publik sebagai seorang pekerja tidaklah diprioritaskan. Hanya laki-laki yang dianggpa dapat bekerja mencari uang sedangkan perempuan tugasnya hanya mengurus rumah dan kebun. Pembedaan inilah yang mengakibatkan adanya ketidakadilan dan deskriminasi terhadap kaum perempuan. Gender dipersoalkan karena secara sosial telah melahirkan perbedaan peran, tanggungjawab, hak dan fungsi serta ruang aktivitas laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi dan kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Contoh dari diskriminasi tersebut adalah subordinasi perempuan dalam keputusan ekonomi serta beban kerja yang tidak adil (Kadarusman,2005:22).

Subordinasi dalam masyarakat pada novel Tanah Tabu juga terwujud melalui tokoh perempuan sebagai subjek subordinasi yang disampaikan melalui dialog. Dialog tersebut disampaikan secara emosional oleh Mabel. Hal ini dapat dipahami dalam kutipan berikut ini.

(38)

Mabel meluluhkan sepi setelah sesaat sebelumnya pertengkaran diakhiri oleh teriakan ibu Yosi yang meminta-minta ampun.

“Ahh...,” menjawab helaan napas berat Mama Kori, “kau benar, Anabel. Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Yah, jadilah ia seperti itu. Tertidas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian datang membebaskan mereka”.

Lalu giliran Mace yang buka suara, “Apakah takdir perempuan memang begitu?” Yang dijawab Mabel:

“Tidak Lisbeth. Hanya orang-orang berakal pendek yang percaya kata-kata itu. mereka para perempuan bodoh yang tidak mau berusaha mencari jalan menuju kehidupan yang lebih baik, lahir dan batin. Juga laki-laki sombong yang merasa dirinya lebih berkuasa dan tinggi derajatnya dari perempuan. Dan termasuk pula sekelompok orang yang mengaku melindungi dan menghargai kaum perempuan, tapi sama sekali tidak pernah mau mendengar dan menghargai perbuatan, apalagi suara perempuan.” (Thayf, 2009:169-170)

Kutipan di atas memperlihatkan keadaan tokoh Mabel dalam merespon pertanyaan dari Mabel. Dalam kutipan tersebut, mengindikasikan mengenai peranan perempuan dalam menyikapi suami atau laki-laki yang merasa dirinya berkuasa dan tinggi derajatnya dari perempuan. Dari sinilah praktik subordinasi mewujud. Anggapan-anggapan pengarang yang disampaikan melalui tokoh Mabel tentang kondisi perempuan dan laki-laki sejalan dengan teori tentang subordinasi yang memiliki arti suatu penilaian atau anggapan bahwa satu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang dikonstruksi secara sosial.

(39)

yang diperkosa oleh sekelompok pemuda berseragam dan bersenjata, lebih jelasnya dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Entah roh jahat apa yang merasuki mereka saat itu, Kwee. Seketika ketiganya berubah dari sosok laki-laki gagah menjadi bajingan. Dengan gelap mata, mereka menyeret Lisbeth ke sebuah kebun dan memerkosanya bergiliran. Mereka seolah tak peduli walau perempuan malang itu memohon sambil mencium ujung sepatu hitam besar mereka, dan tangis Lukas yang terbangun karena terkejut terus melengking-lengking. Adapun aku, Kwee, tentu saja memberikan perlawanan semampuku untuk menghalangi niat jahat mereka. sayangnya, aku tak kuasa melakukan apa-apa, setelah sebelumnya sebuah senjata ditimpakan dengan keras ke atas kepalaku.”

Demikianlah ibu mengisahkan masa lalu Mace yang pahit. Pengalaman yang membuatnya trauma pada setiap orang bersepatu hitam besar dan bersenjata. Orang-orang biadab yang telah menghancurkan semua mimpi dan kehidupan Mace (Thayf, 2009:226).

Melalui tokoh Mace, pengarang memunculkan hubungan anatara subordinasi dengan kekerasan dari tindak perkosaan yang dialami Mace. Perempuan dianggap sebuah benda yang bebas dimiliki dan diperlakukan semaunya sendiri oleh kaum laki-laki. Perempuan juga dianggap tidak memiliki hak untuk hidupnya sendiri melainkan hidup sebagai kepemilikan laki-laki. Hal ini sejalan dengan pendapat Mosse (1996:76) bahwa perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya.

3. Subordinasi dalam Teknologi

(40)

perempuan dalam bekerja untuk menjalani hidup di tanah Papua yang kondisinya masih lekat dengan alam. Telah diketahui bahwa pekerjaan antara laki-laki dan perempuan itu dibedakan berdasarkan kondisi sosial dalam suatu daerah tertentu, oleh sebab itu peralatan yang digunakan antara laki-laki dan perempuan juga berbeda. Secara jelasnya dapat dilihat pada kutipan berikut.

Sementara di kepala sang ibu sering ditumbuhi rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas seorang perempuan sejak zaman nenek moyang. Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata sebab tugas mereka berburu dan melindungi Sedangkan perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri (Thayf, 2009:99-100).

Dari kutipan di atas, hal itulah yang mengarah perempuan kepada “kesadaran” tentang perbedaan teknologi atau peralatan yang digunakan oleh

laki-laki dan perempuan itu dibedakan berdasarkan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki. Perempuan dianggap lemah oleh masyarakat sehingga peralatan yang dimiliki hanya sebuah noken atau peralatan lainnya yang kegunaannya hanya untuk keperluan rumah tangga. Berbeda dengan laki-laki, sebagai sosok yang kuat berhak mendapatkan peralatan yang kualitasnya lebih unggul seperti kapak untuk berburu dan berperang ataupun melindungi kaum yang berada dibawahnya yaitu perempuan. pembedaan inilah yang menyebabkan perempuan pada posisi tersubordinasi.

(41)

Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irasional dan emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting.

Subordinasi muncul karena wacana gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Seperti halnya di Papua, di dalam novel Tanah Tabu perempuan Papua dicitrakan sebagai perempuan yang tersubordinasi akibat cara berfikir perempuan yang tidak bisa memahami kondisi dirinya sendiri. Hal ini dibuktikan oleh pengarang melalui percakapan antara tokoh Mabel dan Lisbet (Mace) dalam kutipan berikut.

“Sudah! Tak usah kausebut-sebut laki-laki itu lagi. Kalau benar dia kuat, kenapa malah dia lari dari masalah keluarganya dan membebankan semua dipunggungmu?”

“Dia tidak lari, Mabel” “Jangan terus membelanya.”

“Dia hanya butuh waktu untuk berpikir.”

“Ya, berpikir untuk meninggalkanmu dan anak-anak. Dia persisi bapaknya. Laki-laki yang bisa menaklukan alam, tapi tidak mampu memapah bebannya sendiri.”

“Kuyakin dia akan datang ke sini suatu hari nanti.”

“Kau jangan bermimpi! Bukankan dia telah menelantarkanmu jauh sebelum dia sendiri pergi?”

“Suatu saat dia pasti akan jatuh rindu dan mencari anak-anaknya.” “Katamu yang dia akui hanya Lukas.”

“... memang begitu katanya. Tapi sekarang Lukasnya telah mati. Aduh bagaimana ini? Aku mengaku bersalah, Mabel. Aku siap dipukulnya kalau perlu. Sungguh aku tidak pantas pula jadi istri Johanis.” (Thayf,2009:72).

(42)

mempresentasikan perempuan yang pasrah dan tunduk terhadap laki-laki. Perempuan sebagai seorang istri tetap saja membela suaminya walaupun dia telah menelantarkannya. Berbeda dengan Mabel yang dicitrakan sebagai tokoh perempuan yang paham dengan kelakuan laki-laki yang sudah meninggalkan keluarga dan membebankan semua masalah kepada istri, menganggap bahwa laki-laki itu tidak mampu menanggung bebannya sendiri. Pada dasarnya Mabel memang mengakui bahwa laki Papua bisa menaklukan alam, tapi ketika laki-laki mendapat masalah, dia lari tanpa rasa bersalah.

Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah karena sebagian besar masyarakat di dunia ini adalah patriarkal. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dan pada dasarnya perempuan tercabut dari akses terhadap kekuasaan tersebut. Melalui stuktur kekuasaan itu, posisi subordinat perempuan dijunjung tinggi dan dikekalkan oleh para gender tradisional (Suryanto:2009). Salah satu contoh yang menjunjung tinggi perbedaan gender adalah keluarga. Hal tersebut dapat dicermati pada kutipan berikut.

Sementara di kepala sang ibu sering ditumbuhi rambut keriting pendek-pendek, setia menggantung noken lusuh yang menunggu diisi. Entah hasil kebun, babi piaraan yang masih bayi, sagu, atau benda apa saja yang tidak ingin dibawa para laki-laki, karena memang begitulah tugas seorang perempuan sejak zaman nenek moyang. Mereka, para laki-laki, hanya boleh membawa senjata sebab tugas mereka berburu dan melindungi. Sedangkan perempuan dianggap sebagai makhluk lemah yang patut dilindungi dari serangan musuh, tetapi tidak dari penindasan keluarga sendiri (Thayf, 2009:99-100).

(43)

mengindikasikan mengenai peranan perempuan dan laki-laki sebagi suami, istri yang dihadapkan pada budaya patriarkal yang membedakan peran anatar laki-laki dan perempuan yang dipandang sebagai akibat perbedaan jenis kelamin. Laki-laki memiliki peran untuk melindungi kaum yang lemah (perempuan), sehingga laki-laki diposisikan sebagai seseorang yang berkuasa terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan pendapat Kadarusman (2005:23) bahwa secara sosiologis, masyarakat patriarkal terbentuk dari pergeseran relasi gender. Pada masyarakat seperti ini, laki-laki diposisikan berkuasa atau superior terhadap perempuan diberbagai sektor kehidupan, baik domestik maupun publik.

Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, dan pembuatan pornografi.

Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut, karena perempuan dilihat sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya (Mosse, 1996:76). Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Ngg... Pum, aku tidak suka dengan lelaki itu. dia memandangku seperti aku ini sebuah barang. Benda mati. Dia menaksir hargaku dengan sangat tidak pantas. Belum pernah aku diperlakukan semacam itu, tapi kau tahu... kata Ibu, itu tidak apa-apa. Hal itu sudah biasa. Dia dan semua perempuan di sini juga diperakukan begitu ketika ada seorang lelaki ingin menikahinya.”

Lalu dengan berbisik Mabel lanjut berkata:

(44)

pulang. Biar saja. Aku tidak ingin menjadi istrinya.” (Tanah Tabu,2009:189).

Dari kutipan di atas, sesungguhnya tokoh Mabel sebagai perempuan telah sadar akan posisinya yang disamakan dengan sebuah barang yang diperjualbelikan. Hal ini memang sudah menjadi tradisi Papua dan telah menjadi kodrat perempuan Papua. Pada saat laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, terlebih dahulu menafsir harga untuk dijadikan mahar ketika menikah nanti. Mahar dijadikan sebagai bayaran atas anak perempuan yang akan dinikahi oleh laki-laki kepada orang tua perempuan. Selain itu tokoh Mabel juga membuktikan bahwa ia tidak memiliki hak atas tubuh dan kehidupannya ketika sudah ditafsir harga oleh laki-laki. Posisi seperti inilah yang dijadikan pelemahan terhadap perempuan oleh laki-laki.

Anggapan bahwa perempuan lebih lemah atau ada di bawah kaum laki-laki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi “kodrat” (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung

kepada laki-l aki dalam banyak hal untuk hidupnya (Budiman, 1985: 6).

(45)

terhadap laki-laki, tidak dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.

Gambar

Tabel 1. Penokohan Novel Tanah Tabu
Tabel 2. Urutan Cerita Novel Tanah Tabu
Gambar 1. Jalannya cerita dalam novel Tanah Tabu

Referensi

Dokumen terkait

Arok sebagai seorang yang berstatus sosial rendah, sedangkan pada novelnya ia berperan sebagai seorang yang berstatus sosial tinggi. Berikut kutipan pada naskah drama

terdapat dalam novel tersebut yaitu melalui perilaku yang ditunjukkan oleh tokoh. utama, yaitu