• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Terdakwa a. Pengertian Terdakwa

Tersangka dan terdakwa merupakan sebutan atau status bagi pelaku tindak pidana sesuai tingkat atau tahap pemeriksaan. Dinyatakan dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP bahwa tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya Pasal 1 butir 15 KUHAP menyatakan, terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan (Bambang Waluyo, 2000:35-36).

Menyimak perumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa tersangka adalah seorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana dalam tahap penyidikan. Terdakwa berada dalam tahap penuntutan atau pemeriksaan di pengadilan. Apabila nantinya ada vonis penjatuhan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebut terpidana dan narapidana. Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sedangkan narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di lapas (Pasal 1 butir 6 dan 7 Undang – undang Nomor 12 Tahun 1995).

Berdasarkan penjelasan di atas, baik tersangka maupun terdakwa adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti atau keadaan yang nyata atau fakta, oleh karena itu orang tersebut (Yahya Harahap, 2012:331) :

1) Harus diselidiki, disidik, dan diperiksa oleh penyidik;

2) Harus dituntut dan diperiksa dimuka sidang pengadilan oleh penuntut umum dan hakim;

(2)

3) Jika perlu terhadap tersangka atau terdakwa dapat dilakukan tindakan upaya paksa, berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan benda sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang.

J.C.T Simorangkir memberikan definisi mengenai terdakwa yaitu seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan ada cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan dimuka persidangan. Sedangkan tersangka adalah seorang yang disangka telah melakukan suatu tindak pidana dan ini masih dalam tahap pemeriksaan pendahuluan untuk dipertimbangkan apakah tersangka ini mempunyai cukup dasar untuk diperiksa di persidangan (J.C.T Simorangkir, 2009:166-167).

Menurut Darwan Prinst (1998:14-15), dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur terdakwa adalah:

a) Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana;

b) Cukup lasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya didepan sidang

pengadilan;

c) Orang yang sedang dituntut;

d) Sedang diadili di sidang pengadilan.

b. Hak-Hak Terdakwa

Tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Hak-hak itu meliputi sebagai berikut (Andi Hamzah, 2010: 69-71) :

1) Hak untuk segera diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat (1), (2), (3)).

2) Hak untuk mengetahui dengan bahasa yang jelas dan yang

dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b).

3) Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut dimuka (Pasal 52).

(3)

4) Hak untuk mendapat Juru Bahasa (Pasal 53 ayat (1)).

5) Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat

pemeriksaan (Pasal 54).

6) Hak untuk mendapat nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya cuma-cuma.

7) Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat (2)).

8) Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka yang ditahan (Pasal 58).

9) Hak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa yang ditahan untuk mendapat bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama diatas (Pasal 59 dan 60).

10)Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka atau terdakwa. Untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).

11)Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62).

12)Hak tersangka atau terdakwa untuk mengunjungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63).

13)Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65).

14)Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68).

15)Hak terdakwa (pihak yang diadili) untuk menuntut terhadap hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 27 ayat (1)).

(4)

16)Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).

2. Tinjauan Tentang Sistem Pembuktian dan Alat Bukti a. Pengertian Pembuktian

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (Yahya Harahap, 1988: 793).

Hari Sasangka dan Lily Rosita memberikan definisi hukum pembuktian adalah merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan alat-alat bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:10).

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2009:249).

Penuntut Umum, hakim, terdakwa maupun penasehat hukumnya tidak boleh sekehendak hati dengan kemauannya sendiri dalam menggunakan dan menilai alat bukti di luar apa yang telah digariskan

(5)

undang-undang. Dalam hal ini Penuntut Umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan segala kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pada prinsipnya, terdakwa atau penasehat hukumnya mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan Penuntut Umum, sesuai dengan cara yang dibenarkan Undang-Undang. Cara tersebut dapat berupa sangkalan atau bantahan yang beralasan dengan saksi yang meringankan atau saksi de charge. Hakim sendiri harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ada.

KUHAP juga sudah mengatur tentang penentuan minimum pembuktian dimana ketentuan tersebut tetap harus berpegang pada rumusan Pasal 183 yaitu :

a) Sekurang kurangnya dengan dua alat bukti yang sah ,atau paling minimum kesalahan terdakwa harus dibuktikan dengan dua alat bukti yang sah ;

b) Dengan demikian tidak dibenarkan dan dianggap tidak cukup kesalahan terdakwa jika hanya dengan satu alat bukti saja. Pasal 183 KUHAP tidak membenarkan pembuktian kesalahan terdakwa hanya dengan satu alat bukti yang berdiri sendiri.

b. Teori atau Sistem Pembuktian

Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian terpenting dalam acara pidana. Dalam hal ini hak asasi manusia dipetaruhkan. Untuk inilah maka hukum acara pidan bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (Andi Hamzah, 2009:249). Terdapat beberapa sistem atau teori pembuktian dalam hukum acara pidana menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, antara lain sebagai berikut:

1) Sistem atau Teori pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara

(6)

Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif, “keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang (M. Yahya Harahap, 2003: 278).

Menurut D. Simons seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah (2008:251): “Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang-Undang secara positif (Positief wettelijk) ini berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subyektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Dianut di Eropa pada waktu berlakuknya asas inkisitor (inquisitoir) dalam acara pidana”.

Sistem ini berdasarkan Undang-Undang mengatur jenis alat-alat bukti dan cara mempergunakan atau menentukan kekuatan pembuktian. Dengan demikan walaupun hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut Undang-Undang maka sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa.

Dari satu segi sistem ini memiliki kebaikan karena bersifat obyektif dimana Hakim dituntut untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian yang telah ditentukan Undang-Undang. Dengan pembuktian yang obyektif maka hakim tidak perlu menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati nuraninya. Artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang tidak diletakkan di bawah kewenangan Hakim tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas: seseorang baru dapat dihukum dan dipidana jika apa yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

(7)

2) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-Undang secara Negatif (Negatief wettelijk)

Sistem Negatief wettelijk memadukan unsur “obyektif dan subyektif’ dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada, tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa ( M. Yahya Harahap, 2003: 279).

Pembuktian menurut sistem ini seorang hakim ditentukan/ dibatasi mempergunakan alat-alat bukti. Alat-alat bukti tertentu telah ditentukan Undang-Undang. Hakim tidak diperkenankan mempergunakan alat bukti lain. Cara menilai/ menggunakan alat bukti tersebut pun telah diatur oleh Undang-Undang. Hakim harus mempunyai keyakinan atas adanya “kebenaran”.

Menurut Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction intime. Untuk menentukan salah tidaknya seorang terdakwa menurut sistem ini, terdapat 2 (dua) komponen, yaitu ( M. Yahya Harahap, 2003: 279):

a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

b) Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara

dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.

Sistem pembuktian negatif ini dianut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yang dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

(8)

pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”.

Kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut (Andi Hamzah, 2009: 254).

3) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Berdasarkan

Alasan Yang Logis (Conviction Rasionee)

Keyakinan Hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi, dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan Hakim dibatasi. Dalam sistem ini, keyakinan Hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu

(Andi Hamzah,2008:253). Sistem pembuktian berdasarkan

keyakinan Hakim tetap memiliki batas dimana setiap keyakinan Hakim dalam memutus suatu perkara pidana harus berdasarkan alasan-alasan yang logis dalam menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa sehingga bisa mengambil suatu putusan.

4) Sistem atau Teori Pembuktian Keyakinan Hakim Melulu

(Conviction- In time)

Sistem pembuktian convention-in time menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keterbuktiannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan hakim yang menentukan keterbuktian

(9)

kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dapat diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan dan bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan Hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2001: 277). Sistem pembuktian convention-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan.

Dalam Teori pembuktian convention-in time suatu

pengakuan terdakwa tidak menjamin bahwa terdakwa benar-benar melakukan perbuatan yang didakwakan. Menurut Andi Hamzah Teori Conviction-In Time atau disebut juga teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu merupakan teori yang berlawanan dengan teori pembuktian menurut Undang-Undang. Teori berdasar keyakinan Hakim melulu didasarkan kepada keyakinan hati nurani Hakim sehingga pemidanaan dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti dalam Undang-Undang (Andi Hamzah, 2008: 252).

c. Sistem Pembuktian Menurut KUHAP

Di dalam KUHAP tidak secara eksplisit dirumuskan bahwa KUHAP menganut suatu sistem pembuktian tertentu. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan ““Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya”, atas dasar tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu sistem pembuktian berdasarkan Undang-Undang Negatif. Pembuktian harus didasarkan kepada Undang-Undang KUHAP, yaitu dengan alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti. Ketentuan ini dianut untuk menjamin tegaknya

(10)

kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang (Penjelasan Pasal 183 KUHAP).

Menurut Pasal 183 tersebut, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedia minim dua alat bukti saja, belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun hakim sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum dua alat bukti, Hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa. Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan Hakim.

Dinyatakan dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP bahwa Pembentuk Undang-Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. Sistem pembuktian ini merupakan kesatuan penggabungan antara sistem convection-in time (sistem pembuktian yang hanya bersandar atas keyakinan hakim) dengan sistem pembuktian menurut sistem Undang-Undang secara positif (Positive Wetteljk Bewijs Theorie).

Ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP tersebut hampir identik dengan ketentuan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu: “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.

Oleh karena itu, konsep keyakinan hakim tersebut baru dapat terbentuk dengan didasarkan pada adanya alat bukti yang sah menurut KUHAP. Keyakinan hakim yang akan terbentuk tersebut pada akhirnya nanti hanya terdiri dari dua macam, yaitu keyakinan bahwa terdakwa tidak

(11)

terbukti bersalah atau sebaliknya keyakinan bahwa terdakwa terbukti bersalah.

d. Asas-Asas Pembuktian

Pembuktian pidana memiliki beberapa prinsip yang harus diketahui, yaitu :

1) Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan

Prinsip ini terdapat dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan”. Notoire feiten adalah suatu kesimpulan umum yang

didasarkan pada pengalaman umum bahwa suatu keadaan atau peristiwa akan senantiasa menimbulkan kejadian atau akibat yang selalu demikian. Hanya dengan notoire feiten tanpa dikuatkan dengan alat bukti lain yang sah menurut Undang-Undang. Hakim tidak boleh yakin akan kesalahan terdakwa.

2) Menjadi Saksi adalah Kewajiban

Pasal 1 butir 26 KUHAP yang berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Menurut Undang-Undang, menjadi saksi adalah wajib dan berdasarkan pengalaman praktik, keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling banyak atau dominan dalam mengadili perkara pidana di pengadilan. Hampir tidak ada perkara pidana dalam acara pemeriksaan biasa yang pembuktiannya tidak dikuatkan dengan alat bukti keterangan saksi yang diberikan oleh satu orang saksi tanpa dikuatkan atau didukung saksi lain atau alat bukti lain yang sah.

Syarat seseorang wajib menjadi saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

(12)

Prinsip ini terkait dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Prinsip ini disebut dengan istilah unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi.

4) Keterangan terdakwa hanya mengikat dirinya

Asas ini terdapat dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang menyatakan bahwa Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Keterangan terdakwa tidak boleh digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa lainya.

5) Pengakuan Terdakwa tidak Menghapus Kewajiban Penuntut Umum

Membuktikan Kesalahan Terdakwa

Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan “pembuktian terbalik” yang tidak dikenal hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Pasal 184 ayat (4) KUHAP menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain.

e. Macam-Macam Alat Bukti

Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu terdiri dari:

1)Keterangan saksi; 2)Keterangan ahli; 3)Surat;

4)Petunjuk;

5)Keterangan terdakwa

Pasal 184 ayat (1) telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut Undang-Undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas pada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar

(13)

jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1) tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat (M.Yahya Harahap, 2002:252).

Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP tersebut, yaitu :

1) Keterangan Saksi

Pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP, yakni sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu Pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP, yang berbunyi :

1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.

2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.

4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

5. Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus

bersungguh-sungguh memperhatikan :

a. Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya b. Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.

c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk

memberi keterangan yang tertentu.

d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

(14)

7. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi, namun demikian ada pengecualian khusus yang menjadikan mereka tidak dapat bersaksi. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 168 KUHAP yang berbunyi:

“Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar katerangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

1) keluarga sedarah atau semanda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

2) saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai

terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena parkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

3) suami atau isteri terdakwa maupun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”.

Orang-orang yang tersebut dalam Pasal 168 KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika jaksa dan terdakwa serta orang-orang tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat didengar sebagai saksi (Pasal 169 ayat (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu Jaksa, Terdakwa, dan orang-orang tersebut di atas, Hakim masih bisa memutuskan untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja.

Dalam Pasal 171 KUHAP, juga menambahkan pengecualian untuk memberikan kesaksian dibawah sumpah, yakni:

a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b) Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.

Mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun

(15)

hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Menurut perspektif HIR, Pasal 265 ayat (3) HIR dan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, para saksi sebelum didengar keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang mengandung kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran.

Penyumpahan semacam ini dinamakan, dilakukan secara “Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara ialah yang dinamakan, secara“Assertoris” (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi didengar terkebih dadulu keterangannya kemudian baru disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar.

Menurut perspektif HIR kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji, KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR), dimana ditentukan bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian sebagai alat bukti (Andi Hamzah, 2008: 262-263).

2) Keterangan ahli

Keterangan Ahli diatur dalam Pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pengertian keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah sebagai berikut “Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.

Berdasarkan pengertian yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 28 (M.Yahya Harahap, 2002:298) membuat pengertian:

(16)

a) Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan seorang ahli yang memiliki “keahlian khusus” tentang masalah yang diperlukan penjelasannya dalam suatu perkara pidana yang diperiksa.

b) Maksud keterangan khusus dari ahli, agar perkara pidana yang sedang diperiksa menjadi terang demi untuk penyelesaian pemeriksaan perkara yang bersangkutan.

Pasal 179 memberi penegasan tentang adanya dua kelompok ahli seperti yang dituliskan (M. Yahya Harahap, 2002:300), ada dua kelompok ahli yaitu:

a) Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam kedokteran kehakiman sehubungan dengan pemeriksaan korban penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.

b) Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu.

Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu (M.Yahya Harahap, 2002:303):

a) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijkskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keteragan dari ahli tersebut atau akan menolaknya.

b) Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memeadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.

3) Surat

Surat sebagai alat bukti yang sah merupakan urutan ke-3 diatur dalam Pasal 187 KUHAP yaitu:

a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang

(17)

didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat

berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;

d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan bahwa surat dalam Pasal 187 KUHAP adalah surat-surat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang terbentuk berita acara, akta, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili.

Surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut Undang-Undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah (Andi Hamzah, 2008:276). Surat dapat digunakan sebagai alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabilah surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh Undang-Undang.

4) Petunjuk

Di dalam KUHAP alat bukti petunjuk ini dapat di lihat dalam Pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut :

1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat

diperoleh dari :

a. Keterangan saksi; b. Surat;

(18)

3. Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Berdasarkan bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim

dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah

menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lanya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.

Syarat-syarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah :

a) Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi.

b) Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain

dengan kejahatan yang terjadi.

c) Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.

5) Keterangan Terdakwa

Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam Pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut :

1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang

tentang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat

digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri.

4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan

bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pegakuan, ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan

(19)

terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 KUHAP, yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 ayat (4) KUHAP juga menjelaskan, “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.”

Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya.

3. Tinjauan Tentang Pertimbangan Hakim 1) Pengertian Hakim

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang. Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut (Fence M. Wantu, 2011: 20).

(20)

Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia( Bambang Poernomo,1988:30).

2) Pengertian Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung (Mukti Arto, 2004 : 140).

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :

a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak disangkal;

b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek

menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan;

c) Adanya semua bagian dari petitum Penuntut harus dipertimbangkan /diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan (Mukti Arto, 2004 : 142).

3) Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam

(21)

melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa : kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Andi Hamzah, 1996 : 94).

Seorang hakim dianggap tahu hukum sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No. 48 Tahun 2009 yang berbunyi : ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2009 yang berbunyi:“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Putusan yang dijatuhkan hakim terhadap suatu perkara, harus benar-benar memahami dan menghayati arti amanah dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya sesuai dengan fungsi dan kewenangannya masing-masing. Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana yang dapat menunjukkan perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum sehingga pertimbangan tersebut relevan terhadap amar atau diktum putusan hakim (Lilik Mulyadi ,2007:193).

(22)

4. Tinjauan tentang Pemalsuan Keterangan Pernikahan 1) Pengertian Pernikahan

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Soetoyo Prawirohamidjojo menyatakan, bahwa perkawinan

merupakan persekutuan hidup antara seorang pria dan wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-Undang (yuridis) dan kebanyaan religius. Pendapat lain disampaikan Subekti yang mengatakan, bahwa perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Begitupun dengan Kaelany H.D. yang mengatakan, bahwa perkawinan adalah akad antara calon suami-istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariah. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami-isteri.

2) Syarat Sah Perkawinan

Dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Selanjutnya ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia sebagai berikut :

a) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam. b) Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad

yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6-Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo, syarat-syarat perkawinan terbagi menjadi syarat-syarat

(23)

intern (materiil) dan syarat-syarat ekstern (formal) (R.Soetojo Prawirohamidjojo, 1998:39).

Syarat-syarat materiil dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut :

a) Persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1)).

Persetujuan itu haruslah murni, yang betul-betul tercetus dari para calon suami isteri sendiri, dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup dan bukan secara paksaan. Orang tua atau wali atau keluarga dekat tidak boleh memaksa mereka untuk melakukan perkawinan apabila mereka tidak setuju terhadap pasangannya.

b) Usia calon mempelai pria sudah 19 tahun, dan wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)).

Jika belum mencapai unsur minimal tersebut untuk

melangsungkan perkawinan diperlukan suatu dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.

c) Tidak terikat tali perkawinan dengan pihak lain (Pasal 9), kecuali poligami yang diijinkan oleh Pasal 3 dan Pasal 4.

d) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu (Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975).

e) Tidak melanggar larangan kawin serta sebagai yang diatur dalam Pasal 8, 9, 10, yaitu mengenai larangan perkawinan antara dua orang karena hubungan darah, semenda, sesusuan, perkawinan dan larangan agama.

f) Tidak sedang bercerai untuk kedua kalinya dengan isteri yang akan dikawin, sesuai bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

(24)

g) Ijin kedua orang tuanya bagi mereka yang belum mempunyai umur 21

tahun,sepanjang hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu tidak menentukan lain.

Adapun syarat-syarat formal menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam perkawinan sebagai berikut :

a) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan.

b) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan

c) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya masing-masing.

d) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Dalam perkawinan di Indonesia terdapat beberapa syarat-syarat sah yang harus dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan sebuah perkawinan (Anonim, http://proposalhukum.blogspot.co.id/2010/05/pemalsuan-surat-nikah.html, diakses tanggal 22 Februari 2016 pukul 21.10 WIB):

1) Surat keterangan Belum/Pernah Kawin dari Lurah/Kepala Kampung yang dilegalisir oleh Camat setempat.

2) Foto Copy KTP Masing-masing pihak yang dilegalisir oleh Camat setempat.

3) Foto Copy Kartu Keluarga Orang Tiap Masing-masing pihak yang dilegalisir oleh Camat setempat.

4) Foto Copy Akte Kelahiran yang dilegalisir dan menunjukkan aslinya. 5) Foto Copy Surat Baptis/Permandian, Surat Keterangan dari Wihara

dilegalisir oleh Pimpinan Agama (bagi non muslim).

6) Surat Ijin Orang Tua bagi yang belum mencapai usia 21 Tahun. 7) Surat Ijin Pengadilan Negeri bagi :

a) Pria dibawah umum 19 tahun;

b) Wanita di bawah umum 16 tahun.

8) Foto Copy Akte Perceraian/Akta Kematian bagi Suami/Istri yang sudah pernah menikah menunjukkan aslinya.

(25)

9) Surat Dispensasi dari Camat apabila dikenhendaki Pencatatan

perkawinan dilaksanakan kurang dari 10 (sepuluh) hari

pengumuman.

10) Surat Perjanjian Perkawinan dari Instansi yang berwenang bagi yang menginginkan Pisah Harta.

11) Surat Ijin dari Komandan/Atasan Langsung bagi Anggota

TNI/POLRI dan Pegawai Negeri Sipil (PNS).

12) Pas Photo Gandeng (Foto Bersama) Ukuran 6 x 4 cm Hitam Putih atau Warna sebanyak 3 lembar.

13) Akta Kelahiran Anak Luar Nikah yang akan diakui dan disahkan dalam perkawinan.

14) Surat Pengakuan Bersama.

15) Immunisasi TT (Toksoid) dari dokter Puskesmas atau Rumah Sakit untuk calon istri.

16) Surat Bukti Kewarganegaraan:

a) Warga Negara Indonesia Keturunan

(a)SKBRI

(b)Surat Keterangan ganti nama dari Instansi berwenang

(c)Foto Copy Akta Perkawinan Orang Tua (Asli dibawah serta)

b) Warga Negara Asing

(a)Foto Copy STMD ( Surat Tanda Melapor Diri) Asli dibawah serta.

(b)Foto Copy SKK (Surat Kterangan Kependudukan) Asli

dibawah serta.

(c)STP (Surat Tanda Pendaftaran).

(d)KIMS (Kartu Ijin Menetap Sementara). (e)Pajak Bangsa Asing.

(f)Surat Keterangan dari Kedutaan / Konsul.

(g)PASPOR.

(h)Foto Copy Surat Ijin dari Depnaker bagi tenaga kerja asing. (i)Surat Keterangan dari perusahaan tempat kerja.

(26)

Akibat rumitnya mempersiapkan persyaratan yang semestinya, hal itu menyebabkan terjadinya praktek pemalsuan syarat-syarat perkawinan yang seringkali terjadi di dalam masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan individu memalsukan syarat-syarat perkawinan antara lain karena:

a) Surat-surat tidak lengkap

Pendaftaran pernikahan sesuai ketentuan yang berlaku adalah setiap pasangan mempelai yang akan melangsungkan pernikahannya harus mendaftarkan dirinya kepada kantor Desa setempat. Langkah ini harus ditempuh setiap pasangan untuk memperolah surat pengantar. Jika tidak ada surat pengantar dari Desa atau Kelurahan, setiap pasangan tidak dapat melakukan pernikahan. Penghulu tidak dapat menikahkan pasangan yang tidak memiliki surat pengantar dari desa. Surat pengantar ini disebut sebagi lembaran N1. Selain lembar N1 ini, langkah selanjutnya yang harus ditempuh setiap pasangan yang akan melangsungkan pernikahan yaitu harus mengisi lembaran N2 dan N4. Lembaran N2 adalah surat keterangan asal-usul. Pada lembaran ini mempelai laki-laki dan perempuan harus mengisi biodata masing-masing. Lembaran N2 ini nantinya akan diketahui asal-usul dan status kedua mempelai sehingga akan diketahui apakah si calon suami berstatus duda atau perjaka dan sebaliknya. Selanjutnya kedua mempelai juga harus mengisi lembaran N4. Lembaran N4 ini berisi tentang biodata orang tua kedua mempelai. Mempelai yang tidak memiliki ketiga lembaran ini, menurut KUA tidak dapat dinikahkan. Misalnya : Tidak ada wali nikah, tidak memiliki KTP dan tidak memiliki Kartu Keluarga.

b) Calon mempelai masih dibawah umur

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 membatasi yang sekaligus sebagai syarat dari suatu perkawinan yang dicantumkan dalam Bab II Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkepentingan yaitu adanya pembatasan usia kawin yakni calon mempelai pria 19 tahun dan calon mempelai wanita 16 tahun.

(27)

Akan tetapi jika para calon mempelai melangsungkan perkawinan dalam usia di bawah 21 tahun, maka calon mempelai harus memperoleh ijin dari orang tua. Apabila calon mempelai masih di bawah 19 tahun bagi Pria dan di bawah usia 16 tahun bagi Wanita, maka harus memperoleh Dispensasi dari Pengadilan Negeri. Kemungkinan terjadinya pemaksanaan perkawinan dibawah usia minimal calon mempelai adalah karena calon istri tengah hamil sehingga usia perkawinan terpaksa dipercepat. Untuk mempermudah proses, tidak jarang ditempuh dengan menambah usia calon istri pada KTP.

c) Salah satu calon masih terikat perkawinan dengan pihak lain.

Pengisian Lembaran N2 sangat rentan dengan pemalsuan. Misalnya: pada Lembaran N2, status salah satu calon pengantin sebenarnya adalah seseorang yang masih memiliki status sah sebagai suami atau istri dalam perkawinan pertama, akan tetapi pada saat pengajuan perkawinan kedua calon suami atau istri tersebut mampu menunjukkan bukti KTP dan KK yang menunjukkan dirinya masih berstatus perjaka atau perawan dan belum terikat perkawinan. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena praktek-praktek pembuatan KTP maupun KK asli tapi palsu (aspal) masih marak dan berani secara terbuka menawarkan jasanya.

d) Mengubah identitas

Pemalsuan syarat-syarat perkawinan kemungkinan juga dapat digunakan sebagai upaya alternatif untuk mengubah identitas seseorang. Misalnya memalsukan identitas pribadi seperti nama, status, usia dan lain sebagainya.

3) Bentuk Sanksi Pidana

Tindakan-tindakan melanggar hukum tentunya akan dikenakan sanksi bagi para pelanggarnya. Tindakan yang diberlakukan terhadap pelaku tindak pidana pemalsuan syarat-syarat perkawinan adalah:

(28)

Surat-surat yang tidak lengkap tentunya akan memunculkan pemikiran bagi individu yang hendak melangsungkan perkawinan. Petugas tentu mengetahui apakah syarat-syarat yang dibutuhkan sudah lengkap atau tidak. Apabila surat-surat tidak lengkap yang berarti syarat-syarat perkawinan tidak terpenuhi, akan tetapi oleh petugas pasangan calon pengantin dapat dinikahkan maka pelaku yang menerbitkan surat nikah atau mengaku menjadi seorang penghulu "aspal", dapat dikenakan ancaman atau dijerat tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP) dan tindak pidana penipuan (Pasal 378 KUHP) dengan ancaman hukuman masing-masing 6 (enam) tahun dan 4 (empat) tahun penjara. Tidak saja bagi pelaku, terhadap korban yang apabila ternyata beriktikad jahat dapat dikenakan Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penyertaan dalam Melakukan Tindak Pidana.

b) Calon mempelai masih dibawah umur

Pasal 16 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan, atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pada Pasal 15 KHI menyebutkan bahwa batas usia perkawinan sama seperti pasal 7 UU No. 1 Tahun1974, namun dengan tambahan alasan : untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga maka secara eksplisit tidak tercantum secara jelas larangan untuk menikah dibawah umur. Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari Pengadilan atau Pejabat yang berkompeten. Namun demikian perkawinan dibawah umur dapat dicegah dan dibatalkan. Pasal 60 KHI menyebutkan pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau istri tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut Hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.

Perkawinan dapat dicegah oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali

(29)

pengampu dari salah seorang calon mempelai, suami, istri yang masih terikat dalam perkawinan dengan salah seorang calon istri atau salon suami, serta pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan (vide Pasal 62, 63 dan 64 KHI). Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan perkawinan dapat dibatalkan antara lain bila melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Nomor 1 Tahun1974 (vide Pasal 71).

Pasal 288 KUHP telah menyebutkan bahwa barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Jika mengakibatkan luka-luka berat diancam pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan jika mengakibatkan mati diancam pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

c) Salah satu calon masih terikat perkawinan dengan pihak lain.

Di dalam kehidupan bermasyarakat, sering terdengar pihak-pihak yang berkeinginan untuk melakukan perceraian untuk menikah lagi, tetapi banyak pula yang melakukan perkawinan kedua (poligami) dimana seorang suami ingin memiliki dua istri atau lebih tanpa melakukan perceraian dengan istri sebelumnya. Pasal 279 KUHP Pidana menyatakan:

Ayat (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Ke – 1 : Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal diketahuinya, bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;

Ke – 2 : Barang siapa mengadakan perkawinan padahal diketahuinya bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan dengan pihak lain menjadi penghalang untuk itu;

Ayat (2) : Jika yang melakukan pembuatan yang diterangkan dalam ke-1 menyembunyikan kepada pihak lainnya bahwa perkawinannya yang

(30)

telah ada menjadi penghalang yang sah itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Apabila seseorang memalsukan segala sesuatu untuk

menyembunyikan atau perkawinan-perkawinan terdahulu untuk menikah lagi, padahal sebetulnya ia tahu bahwa perkawinannya yang terdahulu itu merupakan penghalang yang sah baginya untuk menikah lagi dan tetap saja ia lakukan, maka ancaman pidananya cukup berat, yaitu paling lama berkisar 5 (lima) hingga 7 (tujuh) tahun.

B. Kerangka Pemikiran

Penulis mencoba menggambarkan kerangka pemikiran penulis ke dalam sebuah bagan kerangka pemikiran guna memperjelas bagaimana pola pemikiran penulis dalam penelitian ini. Bagan alur kerangka pemikiran penulis adalah sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perkara Pemalsuan Keterangan

Pernikahan Hak Terdakwa Membantah Keterangan Saksi Alat Bukti Pasal 184 KUHAP Pembuktian

Putusan PN. Nganjuk Nomor: 43/Pid.B/2015/Pn.Njk Pertimbangan Hakim

(31)

Keterangan kerangka pemikiran :

Kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan, serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yaitu mengenai implementasi hak terdakwa untuk menyangkal keterangan saksi di persidangan dan implikasinya terhadap Putusan Pengadilan Negeri Nganjuk dalam perkara pemalsuan keterangan Pernikahan (Studi Putusan Nomor : 43/Pid.B/2015/Pn.Njk).

Kejahatan terhadap asal-usul pernikahan diatur didalam Bab XIII KUHP. Dapat dikatakan sebagai perkara pemalsuan keterangan pernikahan apabila seseorang memalsukan segala sesuatu untuk menyembunyikan atau perkawinan-perkawinan terdahulu untuk menikah lagi, padahal sebetulnya ia tahu bahwa perkawinannya yang terdahulu itu merupakan penghalang yang sah baginya untuk menikah lagi dan tetap saja ia lakukan, maka ancaman pidananya cukup berat, yaitu paling lama berkisar 5 (lima) hingga 7 (tujuh) tahun seperti yang diatur didalam Bab XIII Pasal 279 KUHP.

Dalam hal terjadi tindak pidana kejahatan, maka para pihak baik korban, terdakwa, maupun saksi dihadirkan di dalam persidangan guna dilakukan pemeriksaan perkara. Dalam pemeriksaan persidangan tersebut, terdakwa mempunyai hak untuk menyangkal keterangan saksi di dalam persidangan. Penyangkalan terdakwa dan keterangan saksi ini menjadi pertimbangan hakim

dalam menjatuhkan putusan, sehingga dijatuhkan Putusan Nomor:

Gambar

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perkara Pemalsuan Keterangan

Referensi

Dokumen terkait

Pengendalian Pemanfaatan Flora dan Fauna Yang Tidak Dilindungi yang selanjutnya disingkat izin adalah penerbitan dokumen Surat Izin Pengumpul, Pengedar dan Pedagang

Berdasarkan kebiasaan minum kopi dalam sehari pada responden menujukkan bahwa sebanyak 3 gelas seluruhnya memiliki kadar LDL normal 12 sedangkan yang melebihi 3

Hasil proses elektrokoagulasi terhadap penurunan kadar logam Cr pada parameter lama waktu kontak optimum yaitu pada 30 menit didapatkan konsentrasi akhir

Laporan perubahan ekuitas menyajikan laba atau rugi entitas untuk suatu periode, pos pendapatan dan beban yang diakui secara langsung dalam ekuitas untuk periode tersebut,

Sebagai kesimpulan dalam penelitian ini didapatkan bahwa pada proses pemboran dengan berbagai macam lapisan mata bor, lapisan mata bor TiN baik sebagai lapisan tunggal ataupun

Menurut wawancara dengan Bapak Purwanto, seorang budayawan yang tinggal di Desa Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi, dijelaskan bahwa perkawinan endogami pada

Orang berdosa itu harus datang dan percaya pada karya Kristus yang sudah genap dan percaya bahwa hanya di dalam Kristus urusan dosa bisa diampuni dan orang

asuh yang baik diharapkan dapat menurunkan kecemasan dental pada anak sehingga anak tidak takut untuk datang ke dokter gigi dan dapat meningkatkan kesehatan