• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KANDUNGAN β-KAROTEN Dunaliella salina AKIBAT PEMBERIAN INTENSITAS CAHAYA YANG BERBEDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENINGKATAN KANDUNGAN β-KAROTEN Dunaliella salina AKIBAT PEMBERIAN INTENSITAS CAHAYA YANG BERBEDA"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PENINGKATANKANDUNGAN β-KAROTENDunaliella salinaAKIBAT PEMBERIAN INTENSITAS CAHAYA YANG BERBEDA

Oleh: NOVI SUGIATI

JOMBANG–JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

(2)
(3)
(4)

SKRIPSI

PENINGKATAN KANDUNGAN β-KAROTENDunaliella salinaAKIBAT PEMBERIAN INTENSITAS CAHAYA YANG BERBEDA

Oleh :

NOVI SUGIATI NIM. 141111090

Telah diujikan pada Tanggal : 9 Juni 2016

KOMISI PENGUJI SKRIPSI

Ketua : Dr. Woro Hastuti Satyantini, Ir., M.Si. Anggota : Sapto Andriyono, S.Pi., M.T.

Sudarno, Ir. M.kes.

Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., M.P. Wahju Tjahjaningsih, Ir., M.Kes.

Surabaya, 18 Agustus 2016 Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Dekan,

(5)

RINGKASAN

NOVI SUGIATI. Peningkatan Kandungan β-Karoten Dunaliella salina Akibat Pemberian Intensitas Cahaya yang Berbeda. Dosen Pembimbing : Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., M.P. dan Wahju Tjahjaningsih, Ir., M.Si.

Dunaliella salina merupakan alga hijau uniseluler dari kelas Chlorophyta yang dapat tumbuh pada berbagai kondisi lingkungan seperti suhu rendah, salinitas, pH, dan cahaya yang tinggi. Dunaliella salina merupakan salah satu contoh sumber alami β-karoten dan memiliki sel yang lebih besar dibandingkan dengan genus Dunaliella lain, sehingga mampu menghasilkan β-karoten lebih banyak. Dunaliella salina mampu mengakumulasi kandungan β-karoten lebih banyak saat dikultur dalam kondisi stres lingkungan seperti salinitas tinggi, nutrisi rendah dan cahaya yang tinggi. β-karoten banyak digunakan dalam industri makanan, sebagai pewarna aditif dalam budidaya perikanan dan sebagai antioksidan dalam bidang kesehatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan kandungan

β-karoten pada D. salina akibat intensitas cahaya yang berbeda dan untuk

mengetahui intensitas cahaya terbaik yang dapat menghasilkan kandungan

β-karoten tertinggi pada D. salina. Metode penelitian yang digunakan adalah

metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan hasil penelitian dianalisis secara deskriptif.Perlakuan yang digunakan adalah intensitas cahaya yang berbeda, yaitu A (700 lux), B (2.200 lux), C (3.700 lux) dan

D (5.200 lux) dengan lima ulangan pada setiap perlakuan. Parameter utama yang

diamati adalah kandungan β-karoten D. salina. Parameter pendukung yang diamati adalah pertumbuhan kepadatan sel D. salinadan kualitas air seperti suhu, pH, dan salinitas.

(6)
(7)

SUMMARY

NOVI SUGIATI. TheIncrease β-Carotene Content on Dunaliella salina with Different Light Intensity Treatment. Academic Advisor : Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., M.P. and Wahju Tjahjaningsih, Ir., M.Si.

Dunaliella salina has unicellular’s green alga from class of Chlorophyta’s which grow on a variety of environmental conditions such as low temperature, salinity, pH, and high light. Dunaliella salina is one of example from natural source of β-carotene and a larger cell than the other of genus Dunaliella, so it be able to produce high β-carotene. Dunaliella salina able to accumulate more β-carotene content when cultured in environmental stress conditions such as high salinity, low nutrients and high light. β-carotene many used in the food industry, as a colorant additives in aquaculture and as an antioxidant in health.

This study aim to know the increaseβ-carotene content onD. salinaeffect from aplication difference light intensities and to know the maximal light intensity to obtain the highest β-carotene content in D. salina. The research method was experimental with completely randomized design (CRD) with deskriptive analysis. The treatments used different light intensities, namely A (700 lux), B (2.200 lux), C (3.700 lux) and D (5.200 lux) with five repetitions in each treatment. The primary parameter be measured, was β-carotene content of

D. salina. Supported parameter in this research was the growth of D. salina and water quality such as temperature, pH, and salinity.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia serta izin-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan Skripsi tentang Pengaruh Intensitas Cahaya yang Berbeda Terhadap Kandungan β-Karoten Dunaliella salina. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi S-1 Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini tidak luput dari kesalahan, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami dapat memperbaiki kesalahan pada karya tulis selanjutnya. Penulis berharap semoga Skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi kepada semua pihak, khususnya bagi Mahasiswa Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan, terutama budidaya perairan.

Surabaya, 18 Agustus 2016

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Dr. Mirni Lamid, drh., M.P., Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga, Surabaya;

2. Ibu Dr. Endang Dewi Masithah, Ir., M.P. dan Ibu Wahju Tjahjaningsih, Ir., M.Si. Dosen Pembimbing yang telah memberi bimbingan, nasehat dan ilmu mulai dari penyusunan proposal hingga Skripsi ini selesai;

3. Ibu Dr. Woro Hastuti Satyantini, Ir. M.Si., Bapak Sapto Andriyono, S.Pi., M.T. dan Bapak Sudarno, Ir. M.Kes., Dosen Penguji yang memberikan evaluasi dan arahan hingga Skripsi ini selesai;

4. Bapak Agustono, Ir., M.Kes., Koordinator Skripsi, dan Staf Kemahasiswaan yang membantu dalam alur penyelesaian Skripsi;

5. Bapak Kustiawan Tri Pursetyo, S.Pi., M.Vet., Dosen Wali yang telah memberikan bimbingan dan dukungan dalam hal akademik;

6. Bapak Annur Ahadi Abdillah, S.Pi., M.Si., Dosen yang banyak membantu hingga Skripsi ini selesai;

7. Kedua orang tua Bapak Sugiyan, Ibu Warti, Randa Wipiyanto, A.Md. Pi. serta kakak-kakakku yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan moril dalam pelaksanaan hingga Skripsi ini selesai;

8. Teman-teman kos dan teman-teman angkatan 2011 Fakultas Perikanan dan Kelautan. Terima kasih atas bantuan dan semangat dalam menyelesaikan Skripsi ini;

(10)

DAFTAR ISI

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi ... 5

2.1.2 Habitat... 6

2.1.3 Reproduksi Sel ………... 6

2.1.4 Pertumbuhan ………... 8

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan... 9

2.2 β-Karoten ... 11

2.2.1 Pengertianβ-Karoten………... 11

2.2.2 Proses Pembentukan ………... 12

(11)

3.2 Hipotesis ... 16

IV METODOLOGI ... 18

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 18

4.2 Materi Penelitian ... 18

4.2.1 Alat Penelitian ... 18

4.2.2 Bahan Penelitian ... 18

4.3 Metode Penelitian ... 19

4.3.1 Rancangan Penelitian ... 19

4.3.2 Prosedur Kerja ... ... 21

4.4 Parameter ... 26

4.4.1 Parameter Utama... 26

4.4.2 Parameter Penunjang ... 27

4.5 Analisis Data ... 27

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

5.1 Hasil ... 28

5.1.1 Kandungan β-KarotenD. salina ... 28

5.1.2 PertumbuhanD. salina... 29

5.1.3 Kualitas Air ... 31

5.2 Pembahasan ... 33

VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

6.1 Kesimpulan ... 42

6.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Struktur SelD. salina... 6

2. Reproduksi SelD. salinadengan Pembentukan Zigot Baru... 7

3. Pola Pertumbuhan Fitoplankton... 9

4. Strukturβ-karoten ... 12

5. Proses Pembentukan β-karoten ... 13

6. Mekanisme SelDunalielladalam Merespon Cahaya dan Nutrisi ... 14

7. Kerangka Konseptual Penelitian ... 16

8. Diagram Alir Penelitian ... 20

9. Grafik Kandungan β-karotenD. salinaselama Penelitian... 29

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Kandungan β-KarotenD. salina... ... 48

2. Data Pertumbuhan Kepadatan Sel D. salina... 50

3. Data Rata-rata Kualitas Air ... 52

(15)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Organisme fotosintetik memiliki pigmen organik yang berperan dalam

proses fotosintesis. Klorofil, karotenoid dan fikobilin merupakan tiga kelas utama

dari pigmen yang dimiliki oleh organisme fotosintetik. Klorofil dan karotenoid

memiliki sifat lipofilik sedangkan fikobilin memiliki sifat hidrofilik (Masojideket

al., 2004). Karotenoid berasal dari kelas terpenoid, berupa rantai poliena dengan

40 karbon yang diakhiri oleh kelompok cincin siklik sehingga menunjukkan

struktur khas molekul karotenoid (Del Campo et al., 2007). Karotenoid secara

umum ditemukan pada tumbuhan, alga, bakteri fotosintetik, bakteri non

fotosintetik, jamur dan kapang (Karnjanawipagul et al., 2010). Lebih dari 400

karotenoid ditemukan di alam dan β-karoten merupakan karoten yang paling

banyak dikomersialkan (PisalandLele, 2005).

Gupta et al. (2007) mengatakan bahwa terdapat dua macam karotenoid

yang digunakan dalam budidaya perairan yaitu sintetik dan alami. Karotenoid

sintetik jika digunakan secara berlebihan dapat menyebabkan kerusakan

lingkungan. Harga karotenoid sintetik yang mahal juga menyebabkan penggunaan

dalam formula pakan ikan dibatasi. Menurut Abu-Rezq et al. (2010), harga

β-karoten sintetik yang mahal menyebabkan beralihnya penggunaan β-karoten

secara alami.

β-karoten merupakan senyawa hidrokarbon (C40H56) dengan ikatan rantai jenuh yang menghasilkan warna orange dan memiliki dua isomer yaitu trans dan

(16)

penangkal radikal bebas (Marchal et al., 2013). Menurut Jeffrey and Egeland

(2009), β-karoten secara komersial dapat disintesis dari ekstraksi sumber alami.

Dunaliella salina merupakan contoh sumber alamiβ-karoten. Menurut Pisal and

Lele (2005) β-karoten banyak digunakan sebagai anti kanker, pencegah penuaan dini dan imunomodulator. Jeffrey and Egeland (2009), menambahkan bahwa

β-karoten digunakan dalam industri makanan, sebagai pewarna aditif dalam

budidaya perikanan dan sebagai antioksidan dalam bidang kesehatan.

Menurut Pisal and Lele (2005) D. salina memiliki beberapa keuntungan

dibandingkan dengan sumber β-karoten alami lain. Keuntungan tersebut antara lain D. salina lebih mudah dibudidayakan secara kontinyu karena waktu kultur

lebih singkat dan tingkat pertumbuhan sel lebih cepat. Sel D. salina juga mudah

dibudidayakan karena lebih tahan terhadap perubahan kondisi lingkungan,

sehingga ketersediaan sumber β-karoten secara kontinyu dapat terpenuhi. Rizky

dkk. (2012) menambahkan bahwa fitoplankton kaya nutrien antara lain asam

lemak omega 3 dan 6, asam amino esensial dan karoten. Keunggulan lain dari

fitoplankton adalah tidak tergantung pada iklim dan cuaca, waktu tumbuh cepat

sehingga dapat dipanen dalam waktu yang tidak terlalu lama, dapat diproduksi

terus-menerus, tidak menyebabkan dampak buruk bagi lingkungan, serta produksi

dapat dikendalikan sesuai dengan kebutuhan.

Menurut Zainuri dkk. (2006), sebuah isolat lokal spesies alga dari Balai

Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara yaitu D. salina, memiliki potensi sumber

(17)

kondisi lingkungan seperti suhu rendah, salinitas, pH, dan cahaya yang tinggi

(Polle and Qin, 2009). Dunaliella salina mampu mengakumulasi konsentrasi

β-karoten lebih banyak saat dikultur dalam kondisi stres lingkungan (De-Fretes et

al., 2012).

Menurut Hu (2004), intensitas cahaya akan mempengaruhi respon seluler

selD. salinayaitu klorofil dan pigmen lain akan meningkat seperti fikobiliprotein

serta β-karoten sebagai bentuk pertahanan diri. Hasil penelitian El-Baky et al.

(2007), menunjukkan bahwa saat dikultur dalam kondisi stres salinitas dan

dikombinasikan dengan tingkat nitrogen rendah D. salina mampu menghasilkan

60,4%β-karoten dari total karotenoid.

Berdasarkan hal diatas, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui

peningkatan kandungan β-karoten akibat intensitas cahaya yang berbeda serta mengetahui intensitas cahaya yang optimal untuk pembentukan β-karoten

D. salina.

1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah perbedaan intensitas cahaya dapat meningkatkan kandungan

β-karoten padaD. salina?

2. Berapakah intensitas cahaya terbaik untuk menghasilkan kandungan

β-karoten tertinggi padaD. salina?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui peningkatan kandungan β-karoten pada D. salina akibat

(18)

2. Untuk mengetahui intensitas cahaya terbaik yang dapat menghasilkan

kandungan β-karoten tertinggi padaD. salina.

1.4 Manfaat

1. Untuk memberikan informasi ilmiah mengenai peningkatan kandungan

β-karotenD. salinaakibat intensitas cahaya yang berbeda.

2. Untuk memberikan informasi ilmiah mengenai nilai intensitas cahaya terbaik

(19)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dunaliella salina

2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi

Klasifikasi D. salina menurut Shaktivel et al. (2011) adalah sebagai

berikut:

Kingdom : Plantae Phylum : Chlorophyta Class : Chlorophyceae Order : Volvocales Family : Dunaliellaceae Genus :Dunaliella

Species :Dunaliella salina

Dunaliella salina merupakan alga hijau uniseluler dari kelas Chlorophyta

(Oren, 2005). Sel D. salina memiliki panjang 5-29 µm dan lebar 4-20 µm

(Posudin et al., 2010). SelD. salina memiliki bentuk bervariasi yaitu elips, bulat

telur dan silinder tergantung kondisi lingkungan tertentu. Dunaliella salina

mempunyai dua flagela sama panjang yang terletak pada bagian anterior (Polle

and Ben-Amotz, 2009). Dunaliella salina mempunyai struktur sel yang terdiri

dari kloropas, pyrenoid, vakuola, nukleus, nukleolus dan badan golgi serta

memiliki bintik mata pada bagian anterior (Polle and Ben-Amotz, 2009).

Dunaliella salina memiliki sel yang lebih besar dibandingkan dengan genus

Dunaliella lain, sehingga mampu memproduksi β-karoten lebih banyak (Oren, 2005). Dunaliella salina bersifat halofilik, mempunyai sebuah central pyrenoid

dan memiliki kloropas berbentuk melengkung, mengandung banyak β-karoten

(20)

Borowitzka, 1989 ; Borowitzka and Siva, 2007). Gambar struktur sel D. salina

dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur SelDunaliella salina(Richmond, 2004)

2.1.2 HabitatDunaliella salina

Dunaliella salina merupakan fitoplankton halofilik yang memiliki habitat

perairan laut dan mampu bertahan hidup dalam lingkungan yang memiliki kadar

garam tinggi (Polle and Qin, 2004). Chen (1994) menyatakan bahwa salinitas

optimal bagi pertumbuhan D. salina adalah 20-35 ppt. Juneja et al. (2013)

menyatakan bahwa D. salina dapat tumbuh pada suhu 25-40oC. Borowitzka and

Borowitzka (1989) menyatakan bahwa pertumbuhan normalD. salinaadalah pada

intensitas cahaya 1.200-2.200 lux. Menurut Boyd (2011), pH 6-9 merupakan

(21)

2.1.3 Reproduksi SelDunaliella salina

Dunaliella salina dapat bereproduksi dengan dua cara yaitu seksual dan

aseksual (Zainuri et al., 2006). Reproduksi seksual dapat terjadi sebagai respon

dari perubahan lingkungan ekstrim seperti nutrisi yang rendah melalui proses

gametogenesis dengan memproduksi isogamet yang terlihat seperti zoospora

(Polle and Qin, 2009). Reproduksi seksual D. salina terjadi dengan cara

melakukan isogami, selama pekembangan zigot akan terjadi pembelahan secara

meiosis. Zigot berwarna merah atau hijau memiliki endomembran yang halus dan

sangat tipis (Shariati and Hadi, 2011). Zigot akan membelah secara meiosis

setelah tahap istirahat dan akan membentuk lebih dari 16 sel yang dibebaskan

melalui celah pada dinding sel induk (Polle and Qin, 2009). Zigot kemudian

membelah hingga 32 sel anak haploid melalui celah pada dinding sel induk (Oren,

2005). ReproduksiD. salinasecara seksual dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Reproduksi SelD. salinadengan Pembentukan Zigot Baru (Oren, 2005).

Sel D. salina mengalami pembelahan sel secara longitudinal pada

reproduksi aseksual. Reproduksi aseksual terjadi hingga dua jam. Proses

(22)

memiliki pyrenoid dan sepasang flagela. Inti sel yang telah meiliki pyrenoid dan

flagela kemudian mengalami pembelahan. Sel hasil pembelahan tersebut masih

melekat pada bagian anterior dan posterior yang dihubungkan oleh membran

plasma. Membran plasma akan lepas dan kedua sel anak baru akan terpisah

menjadi dua sel anakan (PolleandQin, 2009).

2.1.4 PertumbuhanDunaliella salina

Menurut Lavens and Sorgeloos (1996), pertumbuhan fitoplankton dibagi

menjadi beberapa fase yaitu fase lag, fase eksponensial, fase berkurangnya

pertumbuhan relatif, fase stasioner, dan fase kematian.

1. FaseLag

Pertumbuhan fitoplankton pada fase ini dikaitkan dengan adaptasi

fisiologis metabolisme sel pertumbuhan fitoplankton, seperti peningkatan kadar

enzim dan metabolit yang terlibat dalam pembelahan sel dan fiksasi karbon.

2. Fase Eksponensial

Fase eksponensial ditandai dengan sel fitoplankton telah mengalami

pembelahan dan laju pertumbuhan relatif tetap. Pertumbuhan fitoplankton dapat

maksimal tergantung pada spesies alga, nutrien, intensitas cahaya, dan temperatur.

3. Fase Berkurangnya Pertumbuhan Relatif

Pertumbuhan sel mulai melambat karena faktor kimia dan fisika seperti

(23)

4. Fase Stasioner

Fase stasioner ditandai dengan kematian fitoplankton hampir sama

dengan laju pertumbuhan sehingga kepadatan fitoplankton pada fase ini relatif

konstan.

5. Fase Kematian

Fase kematian ditandai dengan kualitas air menurun dan nutrien habis

sehingga tidak mampu menyokong kehidupan fitoplankton. Kepadatan sel

menurun dengan cepat karena laju kematian fitoplankton lebih tinggi daripada laju

pertumbuhan hingga kultur berakhir.

Grafik pola pertumbuhan fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Pola Pertumbuhan Fitoplankton (LavensandSorgeloos, 1996).

2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Dunaliella salina A. Suhu

Dunaliella salina dapat bertahan pada suhu rendah hingga di bawah titik

beku dan bersifat mematikan pada suhu di atas 40oC (Isnansetyo dan

Kuarniastuty, 1998). Juneja et al. (2013) menyatakan bahwa D. salina dapat

tumbuh pada suhu 25-40oC.

Keterangan: 1. Faselag

2. Fase logaritmik/eksponensial 3. Fase berkurangnya pertumbuhan

relatif

(24)

B. Cahaya

Ben-Amotz (2004) menyatakan bahwa Dunaliella memiliki respon yang

berbeda terhadap cahaya dan mengalami pertumbuhan yang lambat pada

intensitas cahaya yang terlalu tinggi. Borowitzka and Borowitzka (1989)

menyatakan bahwa pertumbuhan normal D. salina adalah pada intensitas cahaya

1.200-2.200 lux.

C. Salinitas

Dunaliella salina merupakan fitoplankton halofilik yang mampu bertahan

hidup dalam lingkungan yang memiliki kadar garam tinggi (Polle and

Ben-Amotz, 2004). Konsentrasi salinitas yang tinggi di lingkungan kultur dapat

menjadikan sel D. salina bersifat hipotonik sehingga terjadi penyusutan sel,

sedangkan pada konsentrasi salinitas yang rendah maka akan bersifat hipertonik

atau sel D. salina mengalami pengembangan (Pisal and Lele, 2004). Chen and

Durbin (1994) menyatakan bahwa salinitas optimal bagi pertumbuhan D. salina

adalah 20-35 ppt.

D. Derajat Keasaman (pH)

pH didefinisikan sebagai negatif logaritma konsentrasi ion hidrogrn dalam

air atau tingkat keasaman dan kebasaan dalam air (Edhy dkk., 2010). Menurut

Boyd (2011), pH 6-9 merupakan kisaran pH terbaik untuk pertumbuhan

fitoplankton.

E. Kebutuhan Nutrien

(25)

makro yang dibutuhkan oleh fitoplankton yaitu karbon (C), nitrogen (N), fosfor

(P), sulfur (S), kalium (K), natrium (Na), besi (Fe), magnesium (Mg), kalsium

(Ca). Unsur hara mikro yang dibutuhkan yaitu boron (B), tembaga (Cu), mangan

(Mn), zink (Zn), molibdenum (Mo), kobalt (Co), vanadium (V), selenium (Se) dan

lain-lain (Grobbelaar, 2004).

2.2 β-Karoten

2.2.1 Pengertianβ-Karoten

Karotenoid berasal dari kelas terpenoid, berupa rantai poliena dengan 40

karbon yang dibentuk dari delapan unit isoprena C5 yang menunjukkan struktur

khas molekul karotenoid (Del-Campo et al., 2007). Karotenoid dikelompokkan

menjadi dua yaitu karoten yang merupakan kelompok hidrokarbon (C40H56) dan

xantofil yang merupakan turunan karoten teroksigenasi (Gross, 1991 dalam de

Fretes et al., 2012). Lebih dari 400 karotenoid ditemukan di alam dan β-karoten

merupakan karoten yang paling banyak dikomersialkan (Pisal and Lele, 2005).

β-karoten ditemukan terakumulasi dalamoil globulepada tilakoid yang ada dalam kloroplas dan terdiri dari dua isomer yaitu all-trans dan 9-cis β-karoten (Kleinegriset al., 2010).

β-karoten memiliki rumus C40H56 dengan berat molekul 536,9 (Shariati and Hadi, 2011) memiliki ikatan rantai jenuh yang menghasilkan warna orange

dan memiliki isomer yang berbeda yaitu trans dan cis. Molekul ini berperan

secara fisiologis sebagai provitamin A dan penangkal radikal bebas (Leon et al.,

2003). Cincin β dari β-karoten dapat diubah menjadi vitamin A di dalam tubuh

(26)

molekul retinal akan direduksi menjadi retinol yang merupakan vitamin A

(Lindqvist and Andersson, 2002). β-karoten pada D. salina memiliki dua fungsi

yang berbeda. Fungsi yang pertama berperan dalam transfer energi ke klorofil

dalam proses fotosintesis dan fungsi kedua sebagai perlindungan sel terhadap

oksidasi akibat kondisi lingkungan yang ekstrim (Hejazi and Wijffel, 2003).

Gambar strukturβ-karoten dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Strukturβ-karoten (Haekalet al., 2013)

2.2.2 Proses Pembentukanβ-karoten

β-karoten ditemukan terakumulasi dalam oil globule pada tilakoid yang ada dalam kloroplas dan terdiri dari dua isomer yaituall-transdan9-cisβ-karoten

(Kleinegris et al., 2011). Semua organisme hidup yang mengandung senyawa

isoprenoid akan mensintesis isopentenil difosfat (IPP) dan difosfat dimethylallyl

(DMAPP) melalui jalur plastidial 2-c-metil-d-erythritol-4-fosfat (MEP). Jalur

MEP yang terjadi di plastida akan mensintesis isopentenil difosfat (IPP),

kemudian akan terjadi tiga reaksi yang dikatalisasi oleh prenyltransferase dan

mengarah pada pembentukan geranylgeranyl difosfat (GGPP) yang merupakan

(27)

Gambar 5. Proses Pembentukanβ-karoten (StangeandFlores, 2012) Biosintesis karotenoid terdiri dari kondensasi dua molekul GGPP (C20)

menjadi phytoene dengan bantuan enzim sintase phytoene (PSY). Phytoene

kemudian akan mengalami reaksi desaturasi oleh enzim phytoene desaturase

(PDS) yang mengkatalis terbentuknya 9,15,9’-tri-cis-ζ-karoten. Desaturase pertama akan menghasilkan 9,9’-di-cis- ζ-karoten dengan bantuan enzim karoten

isomerase (Z-ISO). Desaturase kedua akan menghasilkan 7,9,9’-cis-neurosporene

dan 7',9'-cis-likopen dengan bantuan enzim desaturase (ZDS). Carotene somerase

(CRTISO) akan mengkatalis terbentuknya all-trans likopen. Likopen akan

mengalami dua reaksi siklase yaitu oleh enzim β-siklase (βLCY) yang dapat

menghasilkan β-karoten dan enzim ε-siklase (εLCY) dapat menghasilkan

α-karoten (StangeandFlores, 2012).

2.3 ResponDunaliella salinaTerhadap Cahaya

Menurut Hu (2004), cahaya akan mempengaruhi respon seluler sel

(28)

serta karotenoid. Intensitas cahaya tinggi akan menyebabkan peningkatan pigmen

lain seperti zeaxanthin,β-karoten dan astaxanthin sebagai bentuk pertahanan diri.

Cahaya akan melakukan aktivasi jalur transduksi pada membran plasma

selDunaliella, sehingga akan mengubah susunan ekspresi gen dalam nukleus dan

sitoplasma. Produk dari gen ini akan dikirim ke kloroplas sehingga dapat

menyebabkan peningkatan lipid dan produksi karotenoid (Ramoset al., 2011). Sel

Dunalielladalam merespon cahaya dan nutrisi dapat dilihat pada Gambar 6.

(29)

III KONSEPTUAL PENELITIAN DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konseptual

Karotenoid merupakan kelompok isoprenoid dengan 40 atom karbon yang

terdiri dari karoten dan turunan oksigen yaitu xantofil. Karotenoid merupakan

pigmen sekunder dari organisme fotosintetik yang memiliki peran penting sebagai

antioksidan dan sebagai provitamin A (Leon et al., 2003). Lebih dari 400

karotenoid ditemukan di alam dan β-karoten merupakan karoten yang paling

banyak dikomersialkan (Pisal and Lele, 2005). β-karoten merupakan bagian dari karotenoid yang merupakan senyawa hidrokarbon (C40H56) dengan berat molekul

536,9 (Shariati and Hadi, 2011). Menurut Polle and Qin (2004),β-karoten dapat disintesis dari ekstraksi sumber alami. Dunaliella salina dan D. bardawil

merupakan contoh sumber alami β-karoten terbesar. β-karoten digunakan dalam

industri makanan, sebagai pewarna aditif dalam budidaya perikanan dan sebagai

antioksidan dalam bidang kesehatan.

Menurut Zainuri dkk. (2006), sebuah isolat lokal spesies alga dari Balai

Budidaya Air Payau (BBAP) Jepara yaitu D. salina, memiliki potensi sumber

karotenoid sebagai feed additive atau feed suplemen dalam budidaya ikan.

Menurut Kusumaningrum dan Zainuri (2014), β-karoten pada D. salina akan meningkat selama fase stasioner karenaβ-karoten yang dihasilkan akan digunakan

untuk bertahan hidup bagi fitoplankton ini. Dunaliella salina memiliki dua jenis

β-karoten yaitu all-trans β-karoten dan 9-cis- β-karoten. All-trans β-karoten disintesis secara bersamaan dengan pembentukan klorofil sedangkan 9- cis

(30)

kloroplas. 9-cis-β-karoten yang tersimpan dalam lapisan lipid akan digunakan

sebagai pertahanan diri ketika terjadi perubahan lingkungan terutama perubahan

salinitas dan cahaya. Menurut De-Fretes et al. (2012) Dunaliella salina mampu

mengakumulasi konsentrasi β-karoten sangat tinggi saat dikultur dalam kondisi

stres. Cahaya memegang peranan penting pada jalur biosintesis karotenoid

(Kusumaningrum dan Zainuri, 2014). Cahaya akan melakukan aktivasi jalur

transduksi pada membran plasma selD. salina, sehingga akan mengubah susunan

ekspresi gen dalam nukleus dan sitoplasma. Hasil susunan gen ini akan dikirim ke

kloroplas sehingga dapat menyebabkan peningkatan produksi karotenoid (Ramos

et al., 2011). Stres lingkungan seperti nutrisi rendah, cahaya tinggi dan salinitas

berpengaruh terhadap ekspresi enzim phytoene synthase (PSY), phytoene

desaturase (PDS) dan lycopene β-cyclase (LCY-b) yang akan meningkatkan

akumulasi β-karoten pada mikroalga ini (Ramoset al., 2009).

3.2 Hipotesis

H1 : Perbedaan intensitas cahaya dapat meningkatkan kandunganβ-karoten pada

D. salina.

(31)
(32)

IV METODOLOGI

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pendidikan Fakultas

Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga, Surabaya pada bulan September

2015.

4.2 Materi Penelitian 4.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tabung kaca, selang

aerator, aerator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, gelas ukur, pipet tetes, mikro

pipet, mikroskop binokuler, haemocytometer, hand counter, spektrofotometer,

lampu flourescent 40 Watt, rak kultur, refraktometer, pH meter, lux meter,

autoclave, cover glass, kertas label, vortex, centrifuge, gunting, cuvet, plastik

gelap,sterofoam, dan alumunium foil.

4.2.2 Bahan Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah bibit D. salina

dan medium Walne yang berasal dari Balai Budidaya Air Payau (BBAP)

Situbondo, air laut, kertas perkamen (pembungkus alat saat proses autoclave),

(33)

4.3 Metode Penelitian 4.3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang

dapat dilakukan dengan pengumpulan data melalui pengamatan, survei, ataupun

melalui percobaan (Kusriningrum, 2012). Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode eksperimental (true eksperimental) dengan

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan pada penelitian ini terdiri dari empat

perlakuan dengan lima kali ulangan sehingga terdapat 20 satuan percobaan.

Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah perbedaan intensitas

cahaya pada kultur D. salina. Intensitas cahaya yang diberikan adalah 700 lux

(A), 2.200 lux (B), 3.700 lux (C) dan 5.200 lux (D), masing-masing perlakuan

terdiri dari lima ulangan. Perbedaan perlakuan intensitas cahaya diperoleh

berdasarkan Borowitzka and Borowitzka (1989) yang menyatakan bahwa

pertumbuhan normal D. salinaadalah pada intensitas cahaya 1.200-2.200 lux.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga variabel

yaitu variabel bebas, variabel terikat dan variabel kontrol. Variabel bebas pada

penelitian ini adalah perbedaan intensitas cahaya, sedangkan variabel terikat

(34)

Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 8.

(35)

4.3.2 Prosedur Kerja

A. Persiapan dan Pengaturan Intesitas Cahaya

Medium kultur yang digunakan adalah medium Walne yang diperoleh dari

Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo. Terdapat 20 satuan percobaan

sehingga dibutuhkan 20 tabung kaca. Ruang kultur dipersiapkan dengan

memasang rak kultur dan setiap bagian sisi ditutup dengan plastik gelap.

Perlakuan pencahayaan diperoleh dari lampu flourescent 40 Watt yang

ditempatkan pada rak kultur. Nilai intensitas cahaya pada perlakuan diperoleh dari

jarak antara lampu dengan botol media kultur. Menurut Kawaroe dkk. (2009),

pengukuran intensitas cahaya dapat dilakukan dengan menggunakan lux meter.

Pengukuran intensitas cahaya dilakukan dengan cara menghadapkan lensa sensor

lux meter pada lampu hingga jarum skala pada lux meter menunjukkan angka

yang dikehendaki.

B. Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan untuk membunuh kontaminan yang dapat

mengganggu pertumbuhan D. salina. Sterilisasi yang dilakukan pada penelitian

ini meliputi sterilisasi peralatan, bahan dan rak kultur.

Menurut Masithah dkk. (2011), sterilisasi alat dan air laut dimaksudkan

untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme lain. Peralatan yang akan

digunakan dicuci sampai bersih dan dibilas dengan air tawar kemudian peralatan

dikeringkan di bawah sinar matahari. Peralatan yang akan digunakan untuk kultur

(36)

Sterilisasi dengan autoclave dilakukan untuk peralatan yang terbuat dari kaca

tahan panas.

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), sterilisasi media dapat

menggunakan autoclave. Sterilisasi media dilakukan dengan cara memasukkan

media air laut ke dalam botol kaca kemudian ditutup menggunakan kapas yang

dilapisi kain kasa dan alumunium foil. Botol kaca yang berisi media disterilisasi

menggunakanautoclave pada suhu 121ºC selama 15 menit. Menurut Hendaryono

dan Wijayanti (1994), sterilisasi rak kultur D. salina dilakukan dengan

membersihkan ruang kultur kemudian dilakukan penyemprotan alkohol 90%

menggunakanhand-sprayer.

C. Persiapan Pupuk untuk KulturDunaliella salina

Pupuk yang digunakan sebagai media kultur skala laboratorium adalah

pupuk Walne yang diperoleh dari Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo.

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1998), komposisi pupuk Walne adalah

Na2EDTA 45 gr, NaH2PO4.H2O 20 gr, FeCl3.6H2O 1,5 gr, H3BO333,6 gr, MnCl2

0,36 gr, NaNO3 100 gr, trace metal solution 1 ml, vitamin 1 ml dan 100 ml

akuades. Larutan pupuk disterilkan menggunakan autoclave kemudian disimpan

dalam lemari es.

D. Lingkungan dan Media KulturDunaliella salina

Menurut Masithah dkk. (2011), lingkungan kultur dapat mempengaruhi

(37)

merupakan campuran dari media air laut steril 464 ml, bibit D. Salina 35 ml

dengan kepadatan awal stok murni 719,825 x 104 sel/ml dan kepadatan yang

dikehendaki 5x105 sel/ml, pupuk Walne 0,5 ml serta vitamin B120,5 ml. Menurut

Sari dan Manan (2012), media air laut yang telah dicampur dengan pupuk Walne

dan vitamin diaerasi beberapa saat, kemudian dilakukan penebaran bibitD. salina.

Tujuan pemberian aerasi untuk melarutkan pupuk Walne dan vitamin serta untuk

meningkatkan kelarutan CO2pada media kultur.

E. Penebaran BibitDunaliella salina

Bibit D. salinayang akan digunakan untuk penelitian diperoleh dari Balai

Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo. Pengiriman bibit D. salina dilakukan

pada suhu rendah. Bibit D. salinadikemas dalam botol kemudian dimasukkan ke

dalam kotak sterofoam yang sudah diberi es, kemudian bibit D. salina disimpan

dalam lemari pendingin. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1998) stok murni

bibit D. salina saat disimpan pada lemari pendingin pada suhu 5-15ºC dapat

bertahan hingga satu bulan. Bibit D. salina dari stok murni dicek dan dihitung

menggunakan haemocytometer dengan bantuan mikroskop sebelum dimasukkan

ke dalam botol kultur. Menurut Sari dan Manan (2012), pengecekan dan

penghitungan bibit fitoplankton sebelum dikultur bertujuan untuk mengetahui

kepadatan awal dan adanya kontaminasi, baik dari protozoa maupun dari spesies

plankton lain. Menurut Masithah dkk. (2011), bibit D. salina dimasukkan ke

dalam botol kultur dengan kepadatan 5x105 sel/ml. Menurut Kwangdinata dkk.

(2013), jumlah bibit D. salina yang diperlukan untuk kultur dihitung

(38)

V1=

N2 x V2 N1

Keterangan :

V1 = VolumeDunaliella salinayang dibutuhkan (ml) V2 = Volume media kultur yang dikehendaki (ml)

N1 = Kepadatan bibit atau stok murniDunaliella salina(sel/ml) N2 = Kepadatan bibitDunaliella salinayang dikehendaki (sel/ml)

F. Pengukuran PertumbuhanDunaliella salina

Pengukuran pertumbuhan dilakukan dengan menghitung kepadatan sel

setiap hari sampai pemanenan. Pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan pipet tetes. Kepadatan sel dihitung dengan penghitungan langsung

menggunakan haemocytometer kemudian dilakukan penghitungan sel di bawah

mikroskop cahaya binokuler dengan perbesaran 400 kali (Prieto et al., 2011).

Menurut Kwangdinata dkk. (2013), data yang diperoleh dihitung menggunakan

rumus sebagai berikut:

Kepadatan Fitoplankton (sel/ml) = x 104

Keterangan :

nA, nB, nC, nD = Jumlah sel fitoplankton pada block A, B, C, D

G. PemanenanDunaliella salina

Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) pemanenan fitoplankton harus

dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada puncak populasi. Pemanenan

fitoplankton dapat dilakukan secara total atau parsial tergantung dari tujuan

(39)

pertumbuhan pada setiap perlakuan dan untuk mengetahui perkembangan

pembentukan β-karotenD. salina.

Pemanenan D. salina secara parsial dilakukan dengan cara mengambil 10

ml sampel dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian disimpan dalam

lemari pendingin (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995), kemudian dilakukan

ekstraksi untuk mengetahui kandungan β-karotenD. salina.

H. Ekstraksi

Menurut Pisal and Lele (2006), analisis kandungan β-karoten dapat dilakukan dengan cara mengambil 5 ml sampel hasil panen D. salina

menggunakan pipet, kemudian disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm selama

lima menit. Hasil sentrifus diambil bagian pelet kemudian ditambahkan dengan 5

ml akuades, kemudian disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm selama lima menit.

Hasil sentrifus diambil bagian pelet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi,

kemudian ditambahkan 5 ml metanol dan disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm

selama lima menit. Hasil sentrifus diambil bagian pelet dan ditambahkan 5 ml

pelarut aseton:akuades dengan perbandingan (80:20 v/v) atau 4 ml aseton dan

1 ml akuades. Hasil campuran dihomogenkan menggunakan vortex selama dua

menit dan disentrifus dengan kecepatan 5.000 rpm selama lima menit. Hasil

campuran terdiri dari dua warna cairan yaitu lapisan cairan bening dan lapisan

cairan berwarna kekuningan. Lapisan cairan bening dibuang dan lapisan cairan

berwarna kekuningan diambil untuk dibaca pada spektrofotometer dengan

(40)

I. Perhitungan Kandunganβ-karoten

Menurut Hejazi and Wijffels (2003), analisis kandungan β-karoten dapat

ditentukan dengan metode spektrofotometer. Menurut PisalandLele (2006), hasil

ekstraksi berupa lapisan cairan yang berwarna kekuningan, kemudian

dimasukkan ke dalam cuvet dan dibaca menggunakan spektrofotometer dengan

panjang gelombang 480 nm. Rumus perhitungan β-karoten menurut Hurst (2002)

adalah sebagai berikut:

Keterangan :

: koefisien absorbansiβ-karoten 2273 V : volume sampel

A : absorbansi pada panjang gelombang 480 nm

J. Pengukuran Kualitas Air

Pengukuran parameter kualitas air pada kultur D. salina dilakukan setiap

hari yaitu pada pagi dan sore hari. Parameter kualitas air yang diamati meliputi

suhu, pH dan salinitas air. Pengukuran suhu dengan termometer, pH dengan pH

meter dan salinitas dengan refraktometer.

4.4 Parameter

4.4.1 Parameter Utama

Parameter utama yang diamati dalam penelitian ini adalah jumlah

kandungan β-karoten D. salina yang dianalisa setelah dilakukan pemanenan dan ekstraksi.

(41)

4.4.2 Parameter Penunjang

Parameter penunjang penelitian ini adalah pertumbuhan harian sel

D. salinadan kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, dan pH diukur setiap hari

selama perlakuan.

4.5 Analisa Data

Hasil perhitungan kandungan β-karoten dan pertumbuhan sel D. salina

dilakukan analisa menggunakan metode deskriptif. Menurut Nazir (2011), tujuan

dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau

lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan

(42)

V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1Kandungan β-KarotenDunaliella salina

Kandungan β-karoten D. salina diukur setiap dua hari sekali mulai hari

ke-2 sampai hari ke-14 untuk mengetahui perkembangan pembentukan β-karoten

D. salina. Data lengkap kandungan β-karoten D. salina disajikan dalam Lampiran 1. Data rata-rata kandungan β-karoten D. salina pada semua perlakuan

disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Rata-rata Kandungan β-karotenD. salina

Hari

ke-Kandunganβ-karotenD. salina(ml/L) pada Perlakuan ± SD

A B C D

2 0,0012 ± 0,0002 0,0014 ± 0,0003 0,0032 ± 0,0010 0,0054 ± 0,0013 4 0,0024 ± 0,0010 0,0043 ± 0,0009 0,0054 ± 0,0021 0,0058 ± 0,0027 6 0,0031 ± 0,0008 0,0049 ± 0,0012 0,0059 ± 0,0015 0,0074 ± 0,0012 8 0,0035 ± 0,0015 0,0052 ± 0,0052 0,0068 ± 0,0011 0,0087± 0,0014 10 0,0052 ± 0,0011 0,0053 ± 0,0008 0,0051 ± 0,0007 0,0057 ±0,0010 12 0,0042 ± 0,0019 0,0043 ± 0,0013 0,0043 ± 0,0005 0,0054 ± 0,0008 14 0,0037 ± 0,0012 0,0039 ± 0,0021 0,0036 ± 0,0016 0,0041 ± 0,0022 Keterangan : (A) intensitas cahaya 700 lux, (B) intensitas cahaya 2.200 lux, (C)

intensitas cahaya 3.700 lux, (D) intensitas cahaya 5.200 lux

Grafik rata-rata kandungan β-karoten D. salina selama penelitian dapat

(43)

Gambar 9. Grafik Rata-rata Kandunganβ-karotenD. salinaselama Penelitian Berdasarkan Tabel 1 dan Gambar 9, menunjukkan bahwa semakin tinggi

intensitas cahaya, hasil pengukuran kandungan β-karoten juga semakin tinggi. Kandungan β-karoten tertinggi perlakuan A (intensitas cahaya 700 lux) dan B

(intensitas cahaya 2.200 lux) terjadi pada hari ke-10 yaitu 0,0052 ml/L dan

0,0053 ml/L, pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas

cahaya 5.200 lux) kandungan β-karoten tertinggi terjadi pada hari ke-8 yaitu

0,0068 ml/L dan 0,0087 ml/L.

5.1.2 PertumbuhanDunaliella salina

Pertumbuhan D. salina digambarkan dengan kepadatan sel yang dihitung

setiap hari selama 14 hari pemeliharaan dengan menggunakan alat

haemocytometer. Data dan grafik pertumbuhan kepadatan D. salinadapat dilihat

pada Tabel 2 dan Gambar 10.

(44)

Tabel 2. Kepadatan Rata-rata SelD. salina

Hari

ke-Kepadatan SelD. salina(104sel/ml) pada Perlakuan ± SD

A B C D

1 129,45 ± 27,23 215,45 ± 30,16 239,50 ± 46,82 348,15 ± 38,87 2 187,30 ± 51,33 377,00 ± 91,13 771,20 ± 180,19 1484,10 ± 255,20 3 421,55 ± 89,14 1136,85 ± 36,62 1370,85 ± 103,53 2299,85 ± 422,56 4 695,40 ± 199,10 1487,10 ± 189,73 1660,85 ± 62,01 2703,65 ± 140,59 5 872,00 ± 77,84 2043,00 ± 471,63 2399,05 ± 274,40 2931,55 ± 251,88 6 1056,9 ± 135,38 2587,80 ± 399,09 3111,30 ± 290,09 3548,75 ± 278,77 7 1553,75 ± 152,79 2682,10 ± 354,72 3445,20 ± 273,02 3868,15 ± 274,01 8 1702,35 ± 247,68 2960,15 ± 393,86 3752,15 ± 138,54 4391,35 ± 273,88 9 1953,70 ± 298,41 3063,35 ± 256,68 3660,00 ± 636,87 4014,35 ± 272,09 10 2216,35 ± 445,99 3129,00 ± 649,03 3239,95 ± 353,70 3979,10 ± 284,48 11 2112,35 ± 517,26 2665,15 ± 465,51 2652,30 ± 480,28 3463,65 ± 369,34 12 2190,05 ± 439,35 2556,50 ± 257,99 2559,10 ± 297,48 3393,60 ± 231,01 13 2151,55 ± 502,14 2470,55 ± 694,31 2357,35 ± 374,06 3181,15 ± 289,43 14 1891,05 ± 402,03 2053,60 ± 378,45 1978,05 ± 427,75 2686,90 ± 240,58 Keterangan: (A) intensitas cahaya 700 lux, (B) intensitas cahaya 2.200 lux, (C)

intensitas cahaya 3.700 lux, (D) intensitas cahaya 5.200 lux

Grafik pertumbuhan rata-rata kepadatanD. salina selama penelitian dapat

(45)

Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 10, dapat diketahui bahwa kepadatan

D. salina mengikuti pola pertumbuhan kultur fitoplankton secara umum, yaitu

fase adaptasi, eksponensial, stasioner dan kematian. Pada perlakuan A dan B

(intensitas cahaya 700 lux dan 2.200 lux), hari ke-1 sampai ke-2 merupakan fase

adaptasi, fase eksponensial terjadi pada hari ke-3 hingga ke-10, fase kematian

terjadi mulai hari ke-11 hingga akhir kultur yaitu hari ke-14. Kepadatan D. salina

pada perlakuan C dan D (intensitas cahaya 3.700 lux dan 5.200 lux), hari ke-1

hingga ke-2 merupakan fase adaptasi, fase eksponensial terjadi pada hari ke-3

hingga hari ke-8 dan mulai terjadi penurunan kepadatan (fase kematian) pada hari

ke-9 hingga akhir kultur hari ke-14.

5.1.3 Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari.

Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian ditunjukkan pada Lampiran 3.

Grafik rata-rata suhu air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Grafik Rata-rata Suhu Air Selama Penelitian

Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa semakin tinggi intensitas

(46)

(700 lux) berkisar antara 28-30ºC, perlakuan B (2.200 lux) berkisar antara

30-31ºC, perlakuan C (3.700 lux) berkisar antara 30-32ºC, dan perlakuan D

(5.200 lux) berkisar antara 32-34ºC).

Grafik rata-rata pH air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik Rata-rata pH Air Selama Penelitian

Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat bahwa terjadi nilai fluktuasi pH

pada semua perlakuan. Derajat Keasaman (pH) perlakuan A (700 lux) berkisar

antara 7,6-8,4, pH perlakuan B (2.200 lux) berkisar antara 7,8-8,9, pH perlakuan

C (3.700 lux) berskisar antara 8,0-9,0 dan pH perlakuan D (5.200 lux) berkisar

antara 8,1-9,1.

Grafik rata-rata suhu air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.

(47)

Berdasarkan Gambar 13, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata salinitas

pada semua perlakuan mengalami kenaikan dari hari pertama kultur hingga hari

terakhir kultur (hari ke-14). Salinitas awal pada semua perlakuan dibuat sama

yaitu 20 ppt, namun pada akhir kultur salinitas tiap perlakuan mengalami

kenaikan. Salinitas pada akhir kultur (hari ke-14) perlakuan A (700 lux) yaitu

23 ppt, perlakuan B (2.200 lux) yaitu 23 ppt, perlakuan C (3.700 lux) yaitu 24 ppt,

dan perlakuan D (5.200 lux) yaitu 25 ppt.

5.2 Pembahasan

Dunaliella salina merupakan mikroalga hijau yang memiliki kemampuan

untuk mengakumulasi jumlah β-karoten alami dalam jumlah yang tinggi pada kondisi stres lingkungan (El-Baky et al., 2007). Sel D. salina berwarna

kemerahan dan lebih besar dibandingkan spesies Dunaliella yang lain, sehingga

β-karoten yang dihasilkan lebih banyak (Oren, 2005).

Hasil perhitungan kandungan β-karoten D. salina pada hari ke-2 hingga

ke-14 menunjukkan bahwa kandungan β-karotenD. salinatertinggi terdapat pada perlakuan D (intensitas cahaya 5.200 lux). Hal ini diduga karena cahaya tinggi

menyebabkan enzim pada sel D. salina bekerja secara optimal untuk

pembentukan β-karoten. Steinbrenner and Linden (2001), menyatakan bahwa intensitas cahaya tinggi mampu meningkatkan enzim carotenoid hydroxylase

(CH) dan phytoene syntase (PSY) yang merupakan prekursor pembentukan

phytoene. Peningkatan enzim carotenoid hydroxylase (CH) dan phytoene sintase

(48)

komponen penyusun β-karoten, sehingga peningkatan phytoene menyebabkan sintesisβ-karoten juga meningkat.

Menurut Kusumaningrum dan Zainuri (2013), β-karoten dapat dibentuk pada awal pertumbuhan bersamaan dengan klorofil-a yang berfungsi sebagai

fotoprotektor dan pigmen aksesoris pengumpul cahaya. Fotoprotektor memiliki

fungsi mencegah kerusakan akibat fotooksidasi, dalam proses ini klorofil mudah

mengalami kerusakan karena klorofil akan membentuk triplet yang apabila

berikatan dengan oksigen akan membentuk oksigen tunggal (singlet oxygen).

Oksigen tunggal merupakan oksidan kuat yang akan mengoksidasi klorofil, asam

lemak, protein dan asam nukleat sehingga menyebabkan kematian organisme. β-karoten akan segera menetralkan oksigen tunggal melalui proses detoksifikasi

sehingga kematian sel tidak terjadi.

Pisaland Lele (2005) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang kurang

sesuai seperti intensitas cahaya dan salinitas yang tinggi serta nutrien rendah akan

menyebabkan kondisi fisiologis sel D. salinatidak seimbang, sehingga sintesis β-karoten meningkat sebagai bentuk pertahanan diri. Produksi β-β-karoten pada selD.

salina berfungsi sebagai penangkal radikal bebas dan racun berbahaya yang

masuk ke dalam sel. Hal ini menyebabkan D. salina lebih mampu bertahan

terhadap kondisi lingkungan ekstrim dibandingkan dengan mikroalga lain.

Semakin tinggi intensitas cahaya yang diberikan,maka kandungan β-karoten yang dihasilkan juga semakin tinggi, namun pada hari ke-10 dan ke-14 perlakuan B

(49)

cahaya 3.700 lux) (Gambar 9). Hal ini diduga karena perlakuan C (intensitas

cahaya 3.700 lux) telah mengalami fase kematian lebih awal (hari ke-9), sehingga

kandungan β-karoten yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan B (intensitas cahaya 2.200 lux) dan A (intensitas cahaya 700 lux) yang

mengalami fase kematian mulai hari ke-11.

Hari ke-10, ke-12 dan ke-14 nilai rata-rata kandungan β-karotenD. salina

menunjukkan hasil yang hampir sama antar perlakuan. Hal ini diduga karena pada

hari ke-10 perlakuan A (intensitas cahaya 700 lux) dan B (intensitas cahaya

2.200 lux) mengalami puncak kandungan β-karoten, sedangkan perlakuan C

(intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) mulai

mengalami penurunan kandungan β-karoten. Nilai rata-rata kandungan β-karoten yang hampir sama pada hari ke-12 dan ke-14 diduga disebabkan oleh selD. salina

pada semua perlakuan mengalami fase kematian (Tabel 2). Hal ini menyebabkan

kandungan β-karoten yang dihasilkan juga menurun. Hal ini sesuai dengan

pendapat Kusumaningrum dan Zainuri (2013) yang menyatakan bahwa produksi

pigmen karotenoid D. salina semakin meningkat sejalan dengan semakin

bertambah usia sel dan akan terus menurun sampai menuju fase kematian sel.

Produksi β-karoten yang dihasilkan pada fase ini digunakan untuk pertahanan hidup sel saat nutrisi dalam medium mulai menipis.

Cahaya memegang peranan sangat penting dalam pembentukan β-karoten pada sel D. salina. Hu (2004) menjelaskan bahwa cahaya akan mempengaruhi

respon seluler sel D. salina yaitu peningkatan klorofil dan pigmen lain seperti

(50)

peningkatan pigmen lain seperti zeaxanthin, β-karoten dan astaxanthin sebagai bentuk pertahanan diri. Jin and Polle (2009) menjelaskan bahwa sel D. salina

akan merespon cahaya, kemudian sel akan melakukan aktivasi sinyal transduksi

dari plastid ke inti sel. Aktivasi sinyal transduksi akan menyebabkan perubahan

susunan ekspresi gen dalam nukleus dan sitoplasma. Produk dari gen ini akan

dikirim ke kloroplas, kemudian akan terjadi pembentukan β-karoten dengan bantuan enzim karotenogenesis.

StangeandFlores (2012) menjelaskan bahwa proses biosintesis karotenoid

diawali dengan dua molekul GGPP (C20) mengalami kondensasi menjadi

phytoene dengan bantuan enzim phytoene sintase (PSY). Biosintesis dilanjutkan

dengan reaksi desaturasi phytoene oleh enzim phytoene desaturase (PDS) untuk

menghasilkan trans likopen yang berwarna merah muda dan 9,15,9’-tri-cis

-ζ-karoten, reaksi ini dikatalisis oleh dua desaturase dan dua isomerase. Desaturase

pertama akan menghasilkan 9,9’-di-cis- ζ-karoten dengan bantuan enzim karoten

isomerase (Z-ISO). Desaturase kedua akan menghasilkan 7,9,9’-cis-neurosporene

dan 7',9'-cis-likopen dengan bantuan enzim desaturase (ZDS). Enzim carotene

isomerase (CRTISO) akan mengkatalis pembentukan all-trans likopen. Likopen

akan mengalami dua reaksi siklase yaitu oleh enzim β-siklase (βLCY) yang dapat

menghasilkan β-karoten dan enzim ε-siklase (εLCY) dapat menghasilkan

α-karoten.

Hasil perhitungan kepadatan selD. salinapada hari ke-1 hingga hari ke-14

(51)

secara maksimal untuk proses fotosintesis yang menghasilkan energi, kemudian

energi yang dihasilkan digunakan untuk pembelahan sel. Menurut Al-Qasmyet al.

(2012), cahaya dapat memicu produksi Adenosine triphosphate (ATP) dan

Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase(NADPH) yang digunakan

fitoplankton sebagai energi untuk pembelahan sel, sehingga kepadatan populasi

sel meningkat.

Cahaya tinggi dapat menyebabkan pembelahan sel terjadi secara seksual.

Zainuriet al., (2006) mengatakan bahwaD. salinadapat bereproduksi dengan dua

cara yaitu seksual dan aseksual. Menurut Polle and Qin (2009), reproduksi

seksual dapat terjadi sebagai respon dari perubahan lingkungan yang kurang

sesuai, melalui proses gametogenesis dengan memproduksi isogamet yang terlihat

seperti zoospora. Shariati and Hadi (2011) menambahkan, reproduksi seksual D.

salina terjadi dengan cara melakukan isogami, selama pekembangan zigot akan

terjadi pembelahan secara meiosis. Zigot berwarna merah atau hijau memiliki

endomembran yang halus dan sangat tipis. Menurut Polle and Qin (2009), zigot

akan membelah secara meiosis setelah tahap istirahat dan akan membentuk lebih

dari 16 sel yang dibebaskan melalui celah pada dinding sel induk. Oren (2005)

menambahkan zigot kemudian membelah hingga 32 sel anak haploid melalui

celah pada dinding sel induk.

Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur ditandai dengan kepadatan sel

fitoplankton yang semakin bertambah. Pertumbuhan fitoplankton terdiri atas

empat fase yaitu fase adaptasi, eksponensial, stasioner dan kematian (Isnansetyo

(52)

hingga ke-2 yaitu pertumbuhan sel belum terjadi secara signifikan karena sel

D. salina masih beradaptasi dengan lingkungan. Fase eksponensial perlakuan A

dan B (intensitas cahaya 700 lux dan 2.200 lux) terjadi pada hari ke-3 sampai hari

ke-10, pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya

5.200 lux) terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-8. Menurut Agustini (2014), fase

eksponensial merupakan fase yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan sel

yang signifikan. Fase stasioner pada semua perlakuan tidak tampak, hal ini diduga

karena fase stasioner kurang dari 24 jam sedangkan pengamatan kepadatan sel

D. salinadilakukan setiap 24 jam sekali.

Fase kematian pada perlakuan A (intensitas cahaya 3.700 lux) dan B

(intensitas cahaya 2.200 lux) terjadi mulai hari ke-11, sedangkan pada perlakuan

C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) terjadi mulai

hari ke-9. Hal ini terjadi karena pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux)

dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) lebih cepat mengalami pembelahan sel

sehingga jumlah sel D. salina lebih banyak. Semakin banyak jumlah sel dalam

media kultur, maka nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan juga semakin

banyak. Hal ini mengakibatkan nutrien dalam media kultur semakin berkurang,

sehingga pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya

5.200 lux) fase kematian lebih cepat terjadi. Lavens and Sorgeloos (1996)

menyatakan bahwa kualitas air dan nutrien dalam media yang semakin menurun

dapat menyebabkan sel fitoplankton tidak dapat berkembang sehingga terjadi

(53)

Menurut Agustini (2014), pada kultur fitoplankton skala laboratorium,

ketika nutrisi dalam media kultur berkurang dan tidak ada penambahan dari luar

maka fitoplankton akan mengalami beberapa fase. Fase awal yang terjadi adalah

fase lag (adaptasi) yaitu fitoplankton beradaptasi terhadap lingkungan, pada fase

ini belum terjadi peningkatan pertumbuhan sel secara signifikan. Fase setelah fase

lagakan terjadi fase eksponensial yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan

sel yang signifikan. Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial, yaitu akan

terjadi keseimbangan antara laju pertumbuhan dan laju kematian. Fase akhir yang

terjadi adalah fase kematian yang ditandai dengan kepadatan sel fitoplankton yang

terus berkurang. Menurut Rizky dkk. (2012), fitoplankton akan memanfaatkan

kandungan nutrien pada media kultur untuk melakukan proses pertumbuhan.

Peningkatan jumlah sel akan terhenti pada satu titik puncak kepadatan. Puncak

kepadatan sel fitoplankton membutuhkan nutrien yang lebih banyak, sedangkan

kandungan nutrien dalam media akan semakin menurun karena tidak dilakukan

penambahan nutrien. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel fitoplankton.

Pertumbuhan D. salina yang baik dapat dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan di dalam media kultur. Faktor lingkungan yang dapat mendukung

pertumbuhanD. salinaadalah suhu, pH dan salinitas. Hasil pengukuran suhu pada

perlakuan A (700 lux) berkisar antara 28-30ºC, perlakuan B (2.200 lux) berkisar

antara 30-31ºC, perlakuan C (3.700 lux) berkisar antara 30-32ºC, dan perlakuan D

(5.200 lux) berkisar antara 32-34ºC. Hal ini diduga karena intensitas cahaya tinggi

yang diberikan akan melepaskan energi panas yang lebih banyak, sehingga suhu

(54)

memiliki pengaruh pada pembentukan karotenoid fitoplankton. Suhu yang lebih

tinggi dapat menyebabkan fotooksidasi yaitu kerusakan klorofil, asam lemak, dan

protein akibat ikatan oksigen tunggal. Fitoplankton akan memproduksi karotenoid

untuk menetralkan oksigen tunggal sehingga fotooksidasi tidak terjadi. Kisaran

suhu selama penelitian dapat dikatakan masih dapat ditoleransi oleh D. salina,

karena fitoplankton tersebut mampu bertahan hidup pada rentang suhu hingga

40ºC. Hal ini sesuai dengan pendapat Junejaet al. (2013) yang menyatakan bahwa

D. salinadapat tumbuh pada suhu 25-40oC.

Pengukuran pH pada penelitian berkisar antara 7,6-9,1. Kisaran pH

tersebut juga diduga dapat menyebabkan stres tambahan selain perlakuan

intensitas cahaya, namun kisaran pH tersebut masih dapat ditoleransi untuk

pertumbuhan D salina. Menurut Boyd (2011), pH 6-9 merupakan kisaran pH

terbaik untuk pertumbuhan fitoplankton. Menurut Septina (2011), fitoplankton

secara umum hidup dengan baik pada pH netral (pH 7). Nilai pH lebih rendah dari

4,0 merupakan perairan asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air,

sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan basa dan dapat mengurangi

produktivitas fitoplankton.

Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total ion-ion terlarut dalam air

dan dinyatakan dalam satuan part per thousand (ppt) (Edhy dkk., 2010). Pada

media kultur D. salina, salinitas merupakan faktor yang sangat penting untuk

mengatur keseimbangan tekanan osmotik sel D. salina dalam media kultur

(55)

fitoplankton halofilik yang memiliki habitat perairan laut dan mampu bertahan

hidup dalam lingkungan yang memiliki kadar garam tinggi. Kisaran salinitas yang

lebih tinggi dari kondisi awal kultur (salinitas 20 ppt) diduga akibat penguapan

yang terjadi karena pengaruh suhu yang tinggi, sehingga salinitas air akan

meningkat. Perubahan salinitas tersebut diduga menjadi penyebab stres sel D.

salinaselain perlakuan intensitas cahaya. Menurut Ramoset al(2011), perubahan

salinitas dapat merusak membran plasma sel D. salina sehingga memicu aktivasi

enzim protein kinase dan dapat memicu konversi zat pati menjadi gliserol di

dalam kloroplas. Perubahan salinitas yang berlangsung dalam jangka waktu lama

akan menyebabkan enzim protein kinase bekerja untuk merubah ekspresi gen

(56)

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbedaan intensitas cahaya dapat meningkatkan kandungan β-karoten pada

D. salina.

2. Intensitas cahaya maksimal untuk memperoleh kandungan β-karoten D.

salina tertinggi adalah pada intensitas cahaya 5.200 lux dengan kandungan

sebanyak 0,0087 ml/L.

6.2 Saran

Saran pada penelitian ini adalah perlu dilakukan penelitian mengenai

intensitas cahaya yang lebih tinggi, yang masih mampu ditolerir untuk

(57)

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, A. A., M. A. Alamsjah., H. Pramono., N. Sugianti and J. Hermawan. 2014. Antioxidant Production from Dunaliella salina Under Salinity Stress and Light Stress. The Proceeding of the Fourth International Fisheries Symposium. Surabaya. pp. 156-164.

Abu-Rezq, T., S. Al-Hooti, S. Jacob, M. Al-Shamali, A. Ahmed and N. Ahmed. 2010. Optimum Culture Conditions Required for the Locally Isolated

Dunaliella salina.Journal of Algal Biomass. 1(4) : 58-83.

Agustini, N. W. S. 2014. Kandungan Pigmen Astaxanthin dari Mikroalga

Botryococcus braunii pada Berbagai Penambahan Nitrogen dan Phospor. Seminar Nasional Pusat Penelitian Bioteknologi. LIPI. 11: 3-25.

Al-Qasmy, M., Member, N. R., Talebi, S., Al-Rajhi, S., and Al-Barwani, T. 2012. A Review of Effect of Light on Microalgae Growth. Proceedings of the World Congress on Engineering. London. 1 : 1-4.

Ben-Amotz, A. 2004. Industrial Production of Microalga Cell-mass and Secondary Product Major Industrial. In : A. Richmond ed. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science. pp. 83-84.

Borowitzka, M. A and L. J. Borowitzka. 1989. Micro-Algal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. New York. pp. 27-58.

Borowitzka, M. A and C. J. Siva. 2007. The Taxonomy of the Genus Dunaliella

(Chlorophyta, Dunaliellales) with Emphasis on the Marine and Halophilic Species. Journal Applied Phycology. 19 : 567-590.

Boyd, C. E. 2001. Water Quality Standards: pH. Global Aquaculture Alliance. USA. pp. 42-44.

De-Fretes, H., A. B. Susanto., B. Prasetyo dan L. Limantara. 2012. Karotenoid dari Mikroalga dan Makroalga: Potensi Kesehatan Aplikasi dan Bioteknologi. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. 23 (2) : 221-228.

Del-Campo, J. A., M. Garcia-Gonzales, and M. G. Guerrero. 2006. Outdoor Cultivation of Microalgae for Carotenoid production: Current State and Perspectives. Appl Microbiol Biotechnol. 74 : 1163-1174.

(58)

El-Baky, A. H., F. K. El Baz and G. S. El-Baroty. 2007. Production of Carotenoid from Marine Microalgae and its Evaluation as Safe Food Colorant and Lowering Cholesterol Agents. Journal Agriculture and Environment. 2 (6): 792-800.

Gupta, S. K., A. K. Jha. A.K. Pal and V. Venkateshwarlu. 2007. Use of Natural Carotenoids for Pigmentation in Fishes. Natural Product Radiance. 6 (1) : 46-49.

Grobbelaar. 2004. Alga Nutrition Mineral Nutrition. In : A. Richmond ed.

Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science. pp. 97-105.

Haekal, F. E., M. M. Hefny and A. M., Abd El-Tawab. 2013. Electrochemical Behavior of Titanium in Saline Media Containing Alga Dunaliella salina

and Its Secretion. International Journal of Electrochemical Science. 8 : 4610-4630.

Hejazi, M. A. and R. H. Wijffels. 2003. Effect of Light Intensity on β-carotene Production and Extraction byDunaliella salina in Two-Phase Bioreactors. Biomolecular Engineering. Elsevier. 20 : 171-175.

Hendaryono, D. P. S dan Wijayani. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta. hal. 57-58.

Hu, Q. 2004. Environmental Effects on Cell Composition. In : A. Richmond ed.

Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science. p. 83-84.

Hurts, W. J. 2002. Method of Analysis for Functional Foods and Nutraceuticals. CRC Press. London. p. 236-246

Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Kanisius. Yogyakarta. hal 34-85.

Jeffrey, S. W. and E. S. Egeland. 2009. Pigments of Green and Red Forms of Dunaliella and Related Chlorophytes. In : A. Ben-Amotz, ed. The Alga Dunaliella Biodiversity, Physiology, Genomics and Biotechnology. USA: Science Publisher. p. 111-113.

(59)

Juneja A., R. M. Ceballos and G. S. Murthy. 2013. Effects of Environmental Factors and Nutrient Availability on the Biochemical Composition of Algae for Biofuels Production. Journal of Energies. 6 : 4607-4638.

Karnjanawipagul, P., W. Nittayanuntawech, P. Rojsanga and L. Suntornsuk. 2010. Analysis of β-Carotene in Carrot by Spectrophotometry. Mahidol

University Journal of Pharmaceutical Sience. 37 (1-2) : 8-16.

Kawaroe, M., T. Pratono, A. Sunuddin, D. W. Sari dan D. Augustine. 2009. Laju Pertumbuhan Spesifik Chlorella dan Dunaliella sp. Berdasarkan Perbedaan Nutrien dan Fotoperiode. Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 16 (1) : 73-77.

Kleinegris, D. M. M, M. Jannsen, W. A. Brandenburg and R. H. Wijffels. 2011. Continuous Production of Carotenoids from Dunaliella salina. Journal of Enzyme and Microbial Technology Elsevies. 48 : 253-259.

Kusriningrum. 2012. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. hal 43-69.

Kusumaningrum H. P. and M. Zainuri. 2014. Optimization and Stability of Total Pigments Production of Fusan from Protoplasma Fusion of Microalga

Dunaliella and Chlorella in vivo: Attempts on Production of Sustainable Aquaqulture Natural Food. International Journal of Marine and Aquatic Resource Conservation and Co-existence Reasearch Article. 1(1):1-5.

Kusumaningrum H. P. dan M. Zainuri. 2013. Aplikasi Pakan Alami Kaya Karotenoid untuk Post Larvae Penaeus monodon. Jurnal Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro. 18 (3) : 143-149.

Kwangdinata, R., I. Raya dan M. Zakir. 2013. Produksi Biodiesel dari Lipid Fitoplankton Nannochloropsis sp. Melalui Metode Ultrasonik. Marina Chimica Acta. 4 (2) : 28-36.

Lavens, P and Sorgeloos, P. 1996. Manual on the Production and Use of Live Food for Aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper. Italy. p. 14-15.

Leon, R., M. Martin, J. Vigara, C., Vilchez and J. M. Vega. 2003. Algae Mediated Photoproduction of β-Carotene in Aqueous Organic Two Phase Systems. Molecular Engineering. 20 : 177-182.

Lindqvis, L and Andersson. 2002. Biochemical Properties of Purified Recombinant Human β-carotene 15,15’ Monooxygenase. Journal of Biology Chemistry. p. 2-4.

Gambar

Grafik Kandungan β-karoten D. salina selama Penelitian........................
Gambar 1. Struktur Sel Dunaliella salina (Richmond, 2004)
Gambar 2. Reproduksi Sel D. salina dengan Pembentukan Zigot Baru (Oren, 2005).
Grafik pola pertumbuhan fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 3.
+7

Referensi

Dokumen terkait