V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1.3 Kualitas Air
Pengukuran kualitas air dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari.
Hasil pengukuran kualitas air selama penelitian ditunjukkan pada Lampiran 3.
Grafik rata-rata suhu air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Grafik Rata-rata Suhu Air Selama Penelitian
Berdasarkan Gambar 11, dapat diketahui bahwa semakin tinggi intensitas
cahaya yang diberikan suhu air juga semakin tinggi. Suhu pada perlakuan A
0 5 10 15 20 25 30 35 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 S u h u a ir ( ºC)
Waktu kultur (hari)
A (700 Lux) B (2.200 Lux) C (3.700 Lux) D (5.200 Lux)
(700 lux) berkisar antara 28-30ºC, perlakuan B (2.200 lux) berkisar antara
30-31ºC, perlakuan C (3.700 lux) berkisar antara 30-32ºC, dan perlakuan D
(5.200 lux) berkisar antara 32-34ºC).
Grafik rata-rata pH air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Grafik Rata-rata pH Air Selama Penelitian
Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat bahwa terjadi nilai fluktuasi pH
pada semua perlakuan. Derajat Keasaman (pH) perlakuan A (700 lux) berkisar
antara 7,6-8,4, pH perlakuan B (2.200 lux) berkisar antara 7,8-8,9, pH perlakuan
C (3.700 lux) berskisar antara 8,0-9,0 dan pH perlakuan D (5.200 lux) berkisar
antara 8,1-9,1.
Grafik rata-rata suhu air selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 13.
0 0,51 1,52 2,53 3,54 4,55 5,56 6,57 7,58 8,59 9,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 p H a ir
Waktu kultur (hari)
A (700 Lux) B (2.200 Lux) C (3.700 Lux) D (5.200 Lux) 0 5 10 15 20 25 30 S a lin it a s a ir ( p p t) A (700 Lux) B (2.200 Lux) C (3.700 Lux) D (5.200 Lux)
Berdasarkan Gambar 13, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata salinitas
pada semua perlakuan mengalami kenaikan dari hari pertama kultur hingga hari
terakhir kultur (hari ke-14). Salinitas awal pada semua perlakuan dibuat sama
yaitu 20 ppt, namun pada akhir kultur salinitas tiap perlakuan mengalami
kenaikan. Salinitas pada akhir kultur (hari ke-14) perlakuan A (700 lux) yaitu
23 ppt, perlakuan B (2.200 lux) yaitu 23 ppt, perlakuan C (3.700 lux) yaitu 24 ppt,
dan perlakuan D (5.200 lux) yaitu 25 ppt.
5.2 Pembahasan
Dunaliella salina merupakan mikroalga hijau yang memiliki kemampuan
untuk mengakumulasi jumlah β-karoten alami dalam jumlah yang tinggi pada kondisi stres lingkungan (El-Baky et al., 2007). Sel D. salina berwarna
kemerahan dan lebih besar dibandingkan spesies Dunaliella yang lain, sehingga
β-karoten yang dihasilkan lebih banyak (Oren, 2005).
Hasil perhitungan kandungan β-karoten D. salina pada hari ke-2 hingga ke-14 menunjukkan bahwa kandungan β-karotenD. salinatertinggi terdapat pada perlakuan D (intensitas cahaya 5.200 lux). Hal ini diduga karena cahaya tinggi
menyebabkan enzim pada sel D. salina bekerja secara optimal untuk
pembentukan β-karoten. Steinbrenner and Linden (2001), menyatakan bahwa intensitas cahaya tinggi mampu meningkatkan enzim carotenoid hydroxylase
(CH) dan phytoene syntase (PSY) yang merupakan prekursor pembentukan
phytoene. Peningkatan enzim carotenoid hydroxylase (CH) dan phytoene sintase
komponen penyusun β-karoten, sehingga peningkatan phytoene menyebabkan sintesisβ-karoten juga meningkat.
Menurut Kusumaningrum dan Zainuri (2013), β-karoten dapat dibentuk pada awal pertumbuhan bersamaan dengan klorofil-a yang berfungsi sebagai
fotoprotektor dan pigmen aksesoris pengumpul cahaya. Fotoprotektor memiliki
fungsi mencegah kerusakan akibat fotooksidasi, dalam proses ini klorofil mudah
mengalami kerusakan karena klorofil akan membentuk triplet yang apabila
berikatan dengan oksigen akan membentuk oksigen tunggal (singlet oxygen).
Oksigen tunggal merupakan oksidan kuat yang akan mengoksidasi klorofil, asam
lemak, protein dan asam nukleat sehingga menyebabkan kematian organisme. β-karoten akan segera menetralkan oksigen tunggal melalui proses detoksifikasi
sehingga kematian sel tidak terjadi.
Pisaland Lele (2005) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang kurang
sesuai seperti intensitas cahaya dan salinitas yang tinggi serta nutrien rendah akan
menyebabkan kondisi fisiologis sel D. salinatidak seimbang, sehingga sintesis β-karoten meningkat sebagai bentuk pertahanan diri. Produksi β-β-karoten pada selD.
salina berfungsi sebagai penangkal radikal bebas dan racun berbahaya yang
masuk ke dalam sel. Hal ini menyebabkan D. salina lebih mampu bertahan
terhadap kondisi lingkungan ekstrim dibandingkan dengan mikroalga lain.
Semakin tinggi intensitas cahaya yang diberikan,maka kandungan β-karoten yang dihasilkan juga semakin tinggi, namun pada hari ke-10 dan ke-14 perlakuan B
cahaya 3.700 lux) (Gambar 9). Hal ini diduga karena perlakuan C (intensitas
cahaya 3.700 lux) telah mengalami fase kematian lebih awal (hari ke-9), sehingga
kandungan β-karoten yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan B (intensitas cahaya 2.200 lux) dan A (intensitas cahaya 700 lux) yang
mengalami fase kematian mulai hari ke-11.
Hari ke-10, ke-12 dan ke-14 nilai rata-rata kandungan β-karotenD. salina
menunjukkan hasil yang hampir sama antar perlakuan. Hal ini diduga karena pada
hari ke-10 perlakuan A (intensitas cahaya 700 lux) dan B (intensitas cahaya
2.200 lux) mengalami puncak kandungan β-karoten, sedangkan perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) mulai
mengalami penurunan kandungan β-karoten. Nilai rata-rata kandungan β-karoten yang hampir sama pada hari ke-12 dan ke-14 diduga disebabkan oleh selD. salina
pada semua perlakuan mengalami fase kematian (Tabel 2). Hal ini menyebabkan
kandungan β-karoten yang dihasilkan juga menurun. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumaningrum dan Zainuri (2013) yang menyatakan bahwa produksi
pigmen karotenoid D. salina semakin meningkat sejalan dengan semakin
bertambah usia sel dan akan terus menurun sampai menuju fase kematian sel.
Produksi β-karoten yang dihasilkan pada fase ini digunakan untuk pertahanan hidup sel saat nutrisi dalam medium mulai menipis.
Cahaya memegang peranan sangat penting dalam pembentukan β-karoten pada sel D. salina. Hu (2004) menjelaskan bahwa cahaya akan mempengaruhi
respon seluler sel D. salina yaitu peningkatan klorofil dan pigmen lain seperti
peningkatan pigmen lain seperti zeaxanthin, β-karoten dan astaxanthin sebagai bentuk pertahanan diri. Jin and Polle (2009) menjelaskan bahwa sel D. salina
akan merespon cahaya, kemudian sel akan melakukan aktivasi sinyal transduksi
dari plastid ke inti sel. Aktivasi sinyal transduksi akan menyebabkan perubahan
susunan ekspresi gen dalam nukleus dan sitoplasma. Produk dari gen ini akan
dikirim ke kloroplas, kemudian akan terjadi pembentukan β-karoten dengan bantuan enzim karotenogenesis.
StangeandFlores (2012) menjelaskan bahwa proses biosintesis karotenoid
diawali dengan dua molekul GGPP (C20) mengalami kondensasi menjadi
phytoene dengan bantuan enzim phytoene sintase (PSY). Biosintesis dilanjutkan
dengan reaksi desaturasi phytoene oleh enzim phytoene desaturase (PDS) untuk
menghasilkan trans likopen yang berwarna merah muda dan 9,15,9’-tri-cis -ζ-karoten, reaksi ini dikatalisis oleh dua desaturase dan dua isomerase. Desaturase
pertama akan menghasilkan 9,9’-di-cis- ζ-karoten dengan bantuan enzim karoten
isomerase (Z-ISO). Desaturase kedua akan menghasilkan 7,9,9’-cis-neurosporene
dan 7',9'-cis-likopen dengan bantuan enzim desaturase (ZDS). Enzim carotene
isomerase (CRTISO) akan mengkatalis pembentukan all-trans likopen. Likopen
akan mengalami dua reaksi siklase yaitu oleh enzim β-siklase (βLCY) yang dapat menghasilkan β-karoten dan enzim ε-siklase (εLCY) dapat menghasilkan
α-karoten.
Hasil perhitungan kepadatan selD. salinapada hari ke-1 hingga hari ke-14
secara maksimal untuk proses fotosintesis yang menghasilkan energi, kemudian
energi yang dihasilkan digunakan untuk pembelahan sel. Menurut Al-Qasmyet al.
(2012), cahaya dapat memicu produksi Adenosine triphosphate (ATP) dan
Nicotinamide adenine dinucleotide phosphate-oxidase(NADPH) yang digunakan
fitoplankton sebagai energi untuk pembelahan sel, sehingga kepadatan populasi
sel meningkat.
Cahaya tinggi dapat menyebabkan pembelahan sel terjadi secara seksual.
Zainuriet al., (2006) mengatakan bahwaD. salinadapat bereproduksi dengan dua
cara yaitu seksual dan aseksual. Menurut Polle and Qin (2009), reproduksi
seksual dapat terjadi sebagai respon dari perubahan lingkungan yang kurang
sesuai, melalui proses gametogenesis dengan memproduksi isogamet yang terlihat
seperti zoospora. Shariati and Hadi (2011) menambahkan, reproduksi seksual D.
salina terjadi dengan cara melakukan isogami, selama pekembangan zigot akan
terjadi pembelahan secara meiosis. Zigot berwarna merah atau hijau memiliki
endomembran yang halus dan sangat tipis. Menurut Polle and Qin (2009), zigot
akan membelah secara meiosis setelah tahap istirahat dan akan membentuk lebih
dari 16 sel yang dibebaskan melalui celah pada dinding sel induk. Oren (2005)
menambahkan zigot kemudian membelah hingga 32 sel anak haploid melalui
celah pada dinding sel induk.
Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur ditandai dengan kepadatan sel
fitoplankton yang semakin bertambah. Pertumbuhan fitoplankton terdiri atas
empat fase yaitu fase adaptasi, eksponensial, stasioner dan kematian (Isnansetyo
hingga ke-2 yaitu pertumbuhan sel belum terjadi secara signifikan karena sel
D. salina masih beradaptasi dengan lingkungan. Fase eksponensial perlakuan A
dan B (intensitas cahaya 700 lux dan 2.200 lux) terjadi pada hari ke-3 sampai hari
ke-10, pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya
5.200 lux) terjadi pada hari ke-3 sampai hari ke-8. Menurut Agustini (2014), fase
eksponensial merupakan fase yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan sel
yang signifikan. Fase stasioner pada semua perlakuan tidak tampak, hal ini diduga
karena fase stasioner kurang dari 24 jam sedangkan pengamatan kepadatan sel
D. salinadilakukan setiap 24 jam sekali.
Fase kematian pada perlakuan A (intensitas cahaya 3.700 lux) dan B
(intensitas cahaya 2.200 lux) terjadi mulai hari ke-11, sedangkan pada perlakuan
C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) terjadi mulai
hari ke-9. Hal ini terjadi karena pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux)
dan D (intensitas cahaya 5.200 lux) lebih cepat mengalami pembelahan sel
sehingga jumlah sel D. salina lebih banyak. Semakin banyak jumlah sel dalam
media kultur, maka nutrien yang dibutuhkan untuk pertumbuhan juga semakin
banyak. Hal ini mengakibatkan nutrien dalam media kultur semakin berkurang,
sehingga pada perlakuan C (intensitas cahaya 3.700 lux) dan D (intensitas cahaya
5.200 lux) fase kematian lebih cepat terjadi. Lavens and Sorgeloos (1996)
menyatakan bahwa kualitas air dan nutrien dalam media yang semakin menurun
dapat menyebabkan sel fitoplankton tidak dapat berkembang sehingga terjadi
Menurut Agustini (2014), pada kultur fitoplankton skala laboratorium,
ketika nutrisi dalam media kultur berkurang dan tidak ada penambahan dari luar
maka fitoplankton akan mengalami beberapa fase. Fase awal yang terjadi adalah
fase lag (adaptasi) yaitu fitoplankton beradaptasi terhadap lingkungan, pada fase
ini belum terjadi peningkatan pertumbuhan sel secara signifikan. Fase setelah fase
lagakan terjadi fase eksponensial yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan
sel yang signifikan. Fase stasioner terjadi setelah fase eksponensial, yaitu akan
terjadi keseimbangan antara laju pertumbuhan dan laju kematian. Fase akhir yang
terjadi adalah fase kematian yang ditandai dengan kepadatan sel fitoplankton yang
terus berkurang. Menurut Rizky dkk. (2012), fitoplankton akan memanfaatkan
kandungan nutrien pada media kultur untuk melakukan proses pertumbuhan.
Peningkatan jumlah sel akan terhenti pada satu titik puncak kepadatan. Puncak
kepadatan sel fitoplankton membutuhkan nutrien yang lebih banyak, sedangkan
kandungan nutrien dalam media akan semakin menurun karena tidak dilakukan
penambahan nutrien. Hal ini dapat menyebabkan kematian sel fitoplankton.
Pertumbuhan D. salina yang baik dapat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan di dalam media kultur. Faktor lingkungan yang dapat mendukung
pertumbuhanD. salinaadalah suhu, pH dan salinitas. Hasil pengukuran suhu pada
perlakuan A (700 lux) berkisar antara 28-30ºC, perlakuan B (2.200 lux) berkisar
antara 30-31ºC, perlakuan C (3.700 lux) berkisar antara 30-32ºC, dan perlakuan D
(5.200 lux) berkisar antara 32-34ºC. Hal ini diduga karena intensitas cahaya tinggi
yang diberikan akan melepaskan energi panas yang lebih banyak, sehingga suhu
memiliki pengaruh pada pembentukan karotenoid fitoplankton. Suhu yang lebih
tinggi dapat menyebabkan fotooksidasi yaitu kerusakan klorofil, asam lemak, dan
protein akibat ikatan oksigen tunggal. Fitoplankton akan memproduksi karotenoid
untuk menetralkan oksigen tunggal sehingga fotooksidasi tidak terjadi. Kisaran
suhu selama penelitian dapat dikatakan masih dapat ditoleransi oleh D. salina,
karena fitoplankton tersebut mampu bertahan hidup pada rentang suhu hingga
40ºC. Hal ini sesuai dengan pendapat Junejaet al. (2013) yang menyatakan bahwa
D. salinadapat tumbuh pada suhu 25-40oC.
Pengukuran pH pada penelitian berkisar antara 7,6-9,1. Kisaran pH
tersebut juga diduga dapat menyebabkan stres tambahan selain perlakuan
intensitas cahaya, namun kisaran pH tersebut masih dapat ditoleransi untuk
pertumbuhan D salina. Menurut Boyd (2011), pH 6-9 merupakan kisaran pH
terbaik untuk pertumbuhan fitoplankton. Menurut Septina (2011), fitoplankton
secara umum hidup dengan baik pada pH netral (pH 7). Nilai pH lebih rendah dari
4,0 merupakan perairan asam dan dapat menyebabkan kematian organisme air,
sedangkan pH lebih dari 9,5 merupakan perairan basa dan dapat mengurangi
produktivitas fitoplankton.
Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total ion-ion terlarut dalam air
dan dinyatakan dalam satuan part per thousand (ppt) (Edhy dkk., 2010). Pada
media kultur D. salina, salinitas merupakan faktor yang sangat penting untuk
mengatur keseimbangan tekanan osmotik sel D. salina dalam media kultur
fitoplankton halofilik yang memiliki habitat perairan laut dan mampu bertahan
hidup dalam lingkungan yang memiliki kadar garam tinggi. Kisaran salinitas yang
lebih tinggi dari kondisi awal kultur (salinitas 20 ppt) diduga akibat penguapan
yang terjadi karena pengaruh suhu yang tinggi, sehingga salinitas air akan
meningkat. Perubahan salinitas tersebut diduga menjadi penyebab stres sel D.
salinaselain perlakuan intensitas cahaya. Menurut Ramoset al(2011), perubahan
salinitas dapat merusak membran plasma sel D. salina sehingga memicu aktivasi
enzim protein kinase dan dapat memicu konversi zat pati menjadi gliserol di
dalam kloroplas. Perubahan salinitas yang berlangsung dalam jangka waktu lama
akan menyebabkan enzim protein kinase bekerja untuk merubah ekspresi gen