• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 SEJARAH DAN KONTEKS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 SEJARAH DAN KONTEKS"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

13

SEJARAH DAN KONTEKS

2.1 Gambaran umum invasi Irak tahun 2003

Irak merupakan negara merdeka setelah perang dunia I berakhir mempunyai daratan yang subur dan sumber daya minyak yang melimpah. Sebelum Amerika Serikat menginvasi Irak, perkembangan Irak dalam membangkitkan negaranya pasca perang teluk I dan II mengalami peningkatan dimulai dari perekonomian sampai infrastruktur, dimana tercatat Irak sebelum invasi Amerika Serikat berlangsung telah bermasalah dengan Iran tahun 1980-1988 dan juga dengan Kuwait pada tahun 1990-1991. Setelahnya Irak membangun perekonomian yang mulai berjalan dengan stabil (Kuncahyono, 2005 ). Cadangan minyak bumi Irak diperkirakan mencapai 112 miliar barel dimana Irak menduduki negara penghasil minyak kedua dari Arab Saudi yang mempunyai cadangan minyak sebesar 262 miliar barel. Sebagai negara yang kuat dalam bidang industri, Amerika Serikat tentu bergantung pada minyak bumi dan sangat membutuhkannya untuk dapat mempertahankan perekonomian negaranya.

Invasi Irak yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada tanggal 20 Maret 2003 lalu telah mendorong suatu permasalahan baru dan kecaman oleh seluruh negara di dunia. Dilatar belakangi keputusan George Walker Bush terkait penyerangan ke Irak yang mengabaikan larangan Dewan Keamanan PBB yang tidak menyetujui adanya penyerangan ke Irak. Menurut PBB, serangan suatu negara yang dapat dikatakan sah adalah serangan yang mencegah akan adanya kejahatan manusia yang meluas dan juga sebagai upaya mempertahankan diri dari serangan negara lain. Permasalahan ini bukan satu-satunya penyebab Amerika Serikat mendapat kecaman dari negara lain atau aliansinya sendiri tetapi ada beberapa faktor lain yang menjadi penyebabnya dan juga sekaligus menjadi suatu pemicu terjadinya invasi Amerika Serikat ke Irak. (Anwar, 2003).

Pasca serangan Al Qaeda terhadap World Trade Centre, Amerika Serikat membentuk suatu kebijakan yang dikenal sebagai War on terror dimana kebijakan tersebut menggunakan penekakan pada militer Amerika Serikat terhadap negara yang memiliki keterkaitan dengan Al Qaeda seperti misalnya Afghanistan yang dalam pandangan Amerika Serikat memiliki kedekatan dengan rezim Taliban. Setelah selesai dengan invasi Afghanistan yang dimulai Amerika Serikat pada tanggal 7 Oktober 2001 (Kusuma, 2015) pada tanggal 20 Maret 2003 invasi Amerika Serikat

(2)

ke Irak terjadi. Untuk menguatkan alasannya melakukan penyerangan ke Irak, Amerika Serikat menyatakan serangan ini di dasari dengan motifnya untuk mendorong Irak agar menghentikan pembangunan nuklir yang dinilai dapat mengancam keamanan internasional. Sayangnya, dugaan Amerika Serikat tentang Irak yang telah membangun senjata nuklir tidak terbukti. Selain itu, Bush juga memiliki dugaan bahwa Saddam Hussein juga memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme Al Qaeda namun hal itu juga tidak terbukti (Adjis, 2003) sehingga banyak penilaian yang melunturkan popularitas Bush tentang keputusannya yang ingin menginvasi Irak seperti Nelson Mandela (Mantan Presiden Afrika Selatan) mempunyai pemikiran bahwa Amerika Serikat berubah menjadi negara yang tidak mempunyai sopan santun dalam menghadapi suatu ancaman (Sihbudi, 2007).

Dalam invasi Irak 2003, Bush seakan belajar dari masalalunya bahwa lebih baik menjadi yang menyerang dari pada yang menjadi diserang oleh musuh seperti peristiwa hancurnya WTC dan Pearl Harbour (Damhuri, 2003 ) Preemptive Strike adalah suatu doktrin yang kerap kali disebut-sebut pada invasi Irak yakni adalah serangan terlebih dahulu sebelum diserang oleh musuh, dimana doktrin ini dicatat dalam National Security Strategy yang menjelaskan bahwa Amerika Serikat di izinkan menyerang negara manapun yang menurut mereka suatu negara yang berpotensi menghasilkan suatu ancaman dan mengganggu keamanan nasional Amerika Serikat (Daulay, 2009). Amerika Serikat terkait invasi Irak awalnya ingin menghancurkan program senjata pemusnah massal Irak karena menurut Bush hal itu akan menjadi suatu ancaman untuk keamanan internasional. Alasan Bush menggunakan cara militeristrik dalam pelucutan senjata pemusnah massal dikarenakan Saddam Hussein yang tidak koorperatif sehingga harus menggunakan cara agresi militer ke Irak. Walaupun sebelum atau sesudah invasi berlangsung tidak ada bukti bahwa Irak menyimpan senjata pemusnah massal secara rahaisa seperti yang dituduhkan oleh pemerintahan Bush. Banyak analisi yang beranggapan bahwa invasi Amerika Serikat terhadap Irak adalah ilegal dan menganut unsur-unsur penjajahan serta tidak diwajarkan jika negara dengan alasan apapun menyingkirkan pemimpin negara lain walaupun pemimpin tersebut otoriter atau seorang diktaktor terlebih menggunakan operasi militernya (Winarno, 2015).

Dalam hal ini, mulai membentuk suatu pemikiran bahwa Amerika Serikat atas kebijakannya untuk menginvasi Irak ada terkaitannya dengan permasalahan minyak yang dimiliki Irak, karena segala tuduhan Amerika Serikat yang

(3)

menyudutkan Irak tersebut tidak terbukti (Damhuri, 2003 ). Suatu kewajaran jika banyak penilaian yang menganggap Amerika Serikat menyerang Irak hanya motifnya dalam memenuhi kepentingan nasionalnya, karena satu alasan Amerika Serikat melakukan invasi terhadap Irak ingin mendemokrasikan Irak dan membebaskan Irak dari diktaktor Hussein. Jika Bush ingin mendamaikan Irak mengapa harus dengan cara yang tidak memperhatikan keselamatan rakyat sipil dalam artian dengan menggunakan agresi militer. Lalu, jika Irak sudah menjadi negara demokrasi, apakah Bush menjamin bahwa Irak akan menjadi negara yang sejahtera. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih lanjut akan faktor yang menyebabkan Amerika Serikat menginvasi Irak sebagai berikut:

2.2 Penjelasan dominan penyebab Invasi Irak tahun 2003

Terdapat dua faktor yang menyebabkan invasi Irak terjadi Pertama, faktor politik Bush memiliki obsesi menyebarkan paham demokrasi ke kawasan Timur Tengah termasuk Irak yang menurut Amerika Serikat akan memberi dampak yang positif bagi negara-negara lain (Kuncahyono, 2005 ). Alasan politik dapat menjadi dasar penyebab suatu invasi Irak terjadi, karena invasi terhadap Irak merupakan bagian dari langkah kebijakan Bush dalam berperang melawan terorisme. Dalam hal itu, tidak hanya terorisme yang menjadi fokus dalam operasi militer Amerika Serikat, namun termasuk juga untuk negara-negara yang berpotensi sebagai ancaman untuk keamanan nasional Amerika Serikat (Bush, 2007).

Dalam konteks, penyerangan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 karena adanya misi Bush yang ingin menghancurkan rezim kekuasaan Saddam Hussein yang dituduh memiliki keterkaitan dengan jaringan terorisme (Budianto, 2003). Saddam Hussein merupakan seorang tokoh yang berpengaruh di Irak dan telah menasionalisasikan banyak perusahaan minyak yang dikuasai oleh barat dimana hal itu bertujuan untuk menghentikan negara-negara barat dalam berupaya menguasai minyak di Irak. Selain itu Hussein dikenal sebagai pemegang kendali atas kasus kudeta syiah atau kurdi, dengan begitu Irak pada masa pemerintahan Hussein lebih menekankan pada pertahanan militernya (Sukarwo, 2009). Melihat kuatnya pengaruh rezim pemerintahan Saddam Hussein di Timur Tengah, hal tersebut dinilai sebagai ancaman bagi kepentingan Amerika Serikat di wilayah tersebut (solihat, 2003). Invasi tersebut juga disebabkan oleh alasan Bush yang ingin membebaskan rakyat Irak atas kediktaktoran Saddam Hussein yang menurut Bush telah membuat rakyat

(4)

Irak hidup dalam kesengsaraan dan ketertindasan. Hal lainnya ialah, keinginan Amerika Serikat untuk dapat memperluas basisnya di Timur Tengah, karena letaknya yang strategis dan kaya sumber daya minyaknya (Alterman, 2006).

Invasi Amerika Serikat terhadap Irak merupakan bentuk yang bertentangan dengan unsur-unsur demokrasi yang ditunjukan dengan agresi untuk pembebasan rakyat Irak dari rezim Saddam Hussein yang otoriter, namun justru agresi militer yang dilakukan Amerika Serikat tidak berbeda dengan cara pemimpin otoriter yang ingin mencapai kelanggengan rezim kekuasaannya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yaitu menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dalam invasinya, sudah dapat dipastikan bahwa alasan Amerika Serikat dalam invasi terhadap irak hanya demi kepentingannya di Timur Tengah, hal tersebut seperti pengalaman pasca invasi Amerika Serikat di Afghanistan, rezim Hamid Kharsai kenyataannya tidak memberikan kemajuan di Afghanistan. Fakta tersebut seakan menunjukkan bahwa dibalik sikap Amerika Serikat yang berambisi ingin menyebarkan paham demokrasi di Irak tidak menutup kemungkinan bahwa terdapat kepentingan Amerika Serikat yang mengatasnamakan demokrasi (Winarno, 2014).

Selain itu apabila ditelusuri, penyebab berlangsungnya invasi Amerika Serikat terjadi juga adanya pengaruh dari para pendukung Bush di gedung putih yang menganut neokonservatif. Mereka terdiri dari Dick Cheney selaku wakil Presiden, Donald Rumsfeld sebagai penguasa pentagon atau kementrian pertahanan Amerika Serikat, Deputi Kementrian pertahanan yaitu Paul Wolfowitz, serta Condoleeza Rice selaku penasehat Keamanan Nasional. Mereka dikenal sebagai kaum neocon dimana selalu menekankan pendekatan pragmatis dan militeristik yang suka berperang sedangkan permasalahan demokrasi dan hak asasi manusia justru tidak terlalu ditekankan (Sihbudi, 2003). Neo-konservatif mempunyai tujuan yang merupakan menjaga kekuatan Amerika Serikat serta menghalangi kekuatan besar lain yang menjadi pesaing Amerika Serikat yang akan mengancam kepentingan Amerika. Tujuan tersebut sesuai dengan kasus invasi Amerika Serikat ke Irak karena Amerika Serikat ingin menjadi satu-satunya negara besar tanpa ditandingi siapapun, dengan rezim-rezim yang menghalangi kepentingannya dengan alasan untuk penyebaran nilai-nilai demokrasi dan kebebasan. (McGlinchey, 2010).

Kedua, faktor ekonomi. melihat salah satu alasan Bush untuk menyerang Irak ialah kepemilikan terhadap nuklir Irak yang belum secara pasti. Pada kenyataannya, Bush tidak menghentikan invasi Irak sehingga muncul pernyataan bahwa banyak

(5)

Amerika Serikat melakukan invasi ke Irak berkaitan dengan potensi sumber daya minyak yang dimiliki Irak. Disamping itu, Irak merupakan negara yang mempunyai cadangan minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Dengan memiliki cadangan minyak sebanyak 112 miliyar barrel, Irak merupakan pemilik 11 persen cadangan minyak dunia dan Irak juga memiliki 2.000 ladang minyak yang akan menghasilkan 2,5 juta barrel minyak per harinya. Pabrik penyulingan minyak dengan kapasitas 677.000 barrel per hari. Sebelum perang teluk terjadi pada tahun 1991, Irak mengekspor minyak melalui pipa yang berjalan ke Turki, Suriah, Arab Saudi yang menghasilkan 1,3 barrel perharinya. Dengan keadaan ini Irak dapat memenuhi kepentingan minyak Amerika Serikat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dapat terganggu jika harga minyak tidak stabil dimana bagi Amerika Serikat pertumbuhan ekonomi sangat penting untuk negaranya. Jika harga minyak turun sebesar US$10 maka Amerika Serikat akan kehilangan pemasukan pajak sebesar US$100 milyar (Sihbudi, 2003 ).

Dalam keinginan Amerika Serikat yang ingin menurunkan Saddam Hussein dari kekuasaannya berkaitan dengan ketakutan Amerika Serikat jika Saddam Hussein terus menjadi penguasa Irak dimana Hussein merupakan tangan anti-Barat yang dapat saja menghalangi upaya Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingannya (Sihbudi, 2003 ). Sebagian besar faktor pemicu invasi Irak oleh Amerika Serikat juga kekwatiran mereka terhadap negara-negara yang mengembangkan ekonomi serta perindustriannya dalam bidang militer sehingga dapat mengancam kepentingan Amerika Serikat seperti keinginan mereka yang ingin menjadi satu-satunya negara adidaya dan tidak ingin memiliki pesaing. Hal inilah yang membuat Amerika Serikat membenci Korea Utara dan Iran yang giat dalam mengembangkan kekuatan militernya selain itu berkaca pada pengalaman Irak, saat itu Saddam Hussein yang mempunyai pengaruh kuat di kawasan Timur Tengah (Budi Winarno, 2014).

2.3 Dampak invasi Irak tahun 2003

Penyerangan Amerika Serikat ke Irak tahun 2003, memberikan dampak bagi kedua negara. Dalam hal ini secara politik, sosial, ekonomi, infrastruktur serta keamanan. Dampak terbesar bagi Amerika Serikat itu sendiri karena akibat invasi tersebut Amerika Serikat kehilangan citra sebagai negara adidaya yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan beralih menjadi negara yang dikenal sebagai negara yang suka berperang tanpa ada alasan yang benar (Daulay, 2009).

(6)

2.3.1 Dampak bagi Irak

Pertama bagi Irak, secara politik pasca invasi politik domestic Irak berada dibawah dibawah kendali Amerika Serikat. Hal tersebut memicu banyaknya konflik yang terjadi karena rakyat Irak banyak yang menentang pemerintahan yang dibuat Amerika Serikat dan memicu pemberontakan terhadap pemerintahan baru di Irak yang mengikuti perintah Amerika Serikat. Seperti pecahnya perang antar rakyat Irak sendiri yang mendukung Saddam Hussein dan yang kontra terhadap Saddam Hussein yang dinilai tidak adil dengan rakyat Irak yang mengikuti aliran Syiah. Invasi Amerika Serikat ke Irak memang berhasil menjatuhkan rezim Saddam Hussein namun hal tersebut tidak membuat Irak lebih baik tanpa Saddam Hussein. Sebab sebelum Invasi berlangsung, Saddam Hussein telah menjadikan Irak sebagai negara yang Irak kuat dari penguasa Barat seperti keterkaitannya dalam menasionalisasikan perusahaan minyak yang dikelola oleh pihak asing dan tentunya hal itu mengembalikan kekayaan nasional untuk rezim yang sedang memerintah Irak. Saddam Hussein juga dapat membentuk suatu sistem pertahanan yang dapat mencegah adanya permasalahan atau konflik dalam negeri antara golongan Syiah dan Kurdi (Sukarwo, 2009).

Pasca invasi Amerika Serikat, Irak pun mengikuti sistem pemerintahan yang dibuat Amerika Serikat, perubahan asas-asas Islam menjadi demokrasi, berupaya untuk menjadikan Irak sebagai sumber inspirasi bagi negara-negara Timur Tengah agar dapat menganut demokrasi dan kebebasan yang menurut kemauan Amerika Serikat, ironisnya demokrasi di Irak justru menciptakan kekacauan politik bagi Irak itu sendiri (Kuncahyono, 2005 ). Kedua, terdapat perubahan yang ditandai dengan adanya konflik etnis di Irak. Perlakuan Amerika Serikat yang tidak diterima di Irak yang menjadi pemicu hal tersebut. Kaum atau etnis yang ada di Irak harus tunduk pada kekuasaan Amerika Serikat pasca invasi. Apapun yang rakyat Irak lakukan harus dibawah izin dan ketentuan Amerika Serikat, Hal ini juga menimbulkan adanya perang antara rakyat yang memberontak atas jajahan Amerika Serikat dengan tentara Amerika Serikat. Kaum Sunni Syiah juga mendapati konflik perpecahan mereka pasca invasi Amerika Serikat di tanah Irak terjadi.

Perkembangan Sunni di Irak yang paling pesat tidak dapat dibedakan juga dengan Syiah yang berkembang di Irak. Permasalahan timbul ketika

(7)

adanya faktor yang memecahkan kesatuan umat Islam di Irak karena adanya permasalahan kebenaran aliran yang satu-satunya berdiri di Irak (Shalah, 2003) dimana pelaku pemecahan kaum Sunni Syiah adalah kaum Salibis yang memprovokasi kedua kaum tersebut. Terlebih lagi, adanya permusuhan dari suku Kurdi dari Irak Utara yang pro dalam melemahkan rezim Saddam Hussein dimana dengan adanya keadaan seperti itu akan menjadi kemenangan bagi Amerika Serikat (Mustafa, 2003).

Ketiga, dampak terhadap aspek ekonomi, hal tersebut didasari pada Irak merupakan salah satu negara penghasil minyak terbesar setelah Arab Saudi. Irak juga menduduki tanah yang subur dan juga kaya akan sumber daya alamnya, tidak heran banyak negara asing yang ingin masuk untuk menguasai tanah Irak. Namun setelah serangan Amerika Serikat terhadap Irak, Amerika Serikat seperti memanfaatkan situasi yaitu dengan memasukan perusahaan swasta miliknya ke Irak dengan tujuan untuk program perbaikan usaha minyak Irak dan mengambil alih minyak Irak untuk cadangan minyak negaranya. Tidak hanya itu, angka pengangguran di Irak juga mengalami peningkatan sehingga kemiskinan dan kelaparan terjadi dimana-mana serta susahnya listrik dan air bersih (Sukarwo, 2009).

Selain itu pada tahun 2006, Irak memproduksi kira-kira 3.700 watt perhari, untuk hitungan normal sebelum invasi Irak membutuhkan 9.000 watt. Dengan selisih angka yang sangat jauh, rakyat Irak kekurangan listrik untuk menghidupi kehidupan mereka sehari-hari. Selain itu, 40 lebih fasilitas yang dibutuhkan rakyat Irak tidak satupun dapat beroperasi dengan baik. Irak juga mengalami kelangkaan air bersih sehingga kehidupan rakyat Irak berubah menjadi sangat memprihatinkan pasca invasi (Christian, 2007). Karena kurangnya air bersih dan listrik yang tidak cukup, rakyat Irak juga kekurangan gizi dan rawan terkena penyakit pasca invasi Irak juga tidak mempunyai dokter yang mencukupi kebutuhan kesehatan rakyat Irak (Stiglitz, 2009). Ke empat, infrastruktur di Irak pun mengalami kehancuran akibat invasi Amerika Serikat antara lain menghancurkan bangunan penting seperti sekolah, rumah sakit, dan rumah penduduk hancur dan banyak rakyat yang kehilangan harta benda yang mereka miliki untuk bertahan hidup serta pusat-pusat peradaban Islam di Irak pun habis dihancurkan oleh serangan

(8)

Amerika Serikat yang memakan korban dari rakyat Irak sejumlah antara 100.000 sampai lebih dari 150.000 jiwa tersebut (Daulay, 2009).

Kelima keamanan, hal tersebut ditunjukan dengan Irak sebagai negara yang secara keamanan dalam negerinya sendiri dimana dinilai tidak aman dan tidak dapat menjamin kehidupan rakyatnya damai seperti biasa. Meski invasi sudah berakhir, namun Amerika Serikat tetap seperti menguasai Irak dengan mengirim tentara bayarannya untuk menjaga perusahaan Amerika Serikat sebagai tujuan untuk proyek perbaikan Irak tapi yang terjadi bukan keadaan yang lebih baik melainkan keadaan yang semakin tidak aman.

Tentara-tentara Amerika Serikat itu yang menjadi bagian dari kekacauan di Irak pasca invasi dan mengambil keuntungan dari program perbaikan di Irak yang sedang dibangun. Bukan hanya itu penderitaan yang harus dirasakan rakyat Irak yang tidak aman hidup di negaranya sendiri karena serangan Amerika Serikat telah memicu berkembangnya jaringan terorisme baru, perang antar saudara di Irak yang setiap harinya memakan korban jiwa. Perempuan-perempuan Irak yang menjadi pekerja seksual untuk negara-negara perbatasan serta pengeboman masih terjadi dimana-mana dan jaminan keselamatan dari pihak keamanan Irak untuk rakyatnya sudah tidak dapat diandalkan sehingga membawa Irak didalam kondisi yang memprihatinkan (Sukarwo, 2009) sebanyak 4,6 juta penududuk Irak terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan menjadikan angka migrasi penduduk terbesar di Timur tengah sejak pembentukan Israel tahun 1948. Lebih dari 2,2 juta penduduk Irak terusir dari rumah mereka karena kekerasan sekretarian di lingkungan Irak. sebanyak 7.697 tentara Irak juga tewas akibat peperangan dan 15.394 tentara Irak yang luka-luka dan belum ditambahkan dengan angka pertahunnya yang diperkirakan akan menghadapi angka kematian yang meningkat. (Stiglitz, 2009).

2.3.2 Dampak terhadap Amerika Serikat

Pertama, sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa invasi Irak tersebut juga membawa dampak ke Irak namun juga menimbulkan pengaruh terhadap posisi Amerika Serikat sendiri sebagai negara adidaya khususnya dalam hubungan luar negeri. Pasca invasi, Amerika Serikat terhadap Irak hubungan luar negeri Amerika Serikat dengan negara lain tidak sebaik

(9)

sebelum adanya penyerangan ke Irak. Tidak terkecuali negara-negara Eropa yang merupakan sekutu Amerika Serikat yang menentang keputusan Bush seperti Jerman dan Perancis, sehingga hubungan Amerika Serikat dengan kedua negara tersebut merenggang, dan muncul pandangan bahwa Osama bin Laden lebih terpercaya dari pada Bush untuk memecahkan permasalahan internasional (Daalder, 2005).

Kedua, dampak paling menonjol setelah invasi terhadap Irak ialah citra bangsa Amerika Serikat sebagai negara yang dinilai menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia tercoreng akibat timbul kecaman dari masyarakat internasional tentang pelanggaran HAM di Irak yang dilakukan para tentara Amerika Serikat oleh para pelaku kejahatan di Irak di rumah tahanan Abu Gharib. Tidak hanya nama baik negara, reputasi Bush sebagai presiden Amerika Serikat juga sudah sangat jatuh, kemana Bush pergi dan melaksanakan kunjungan kenegaraan ke negara lain selalu timbul adanya protes dari masyarakat. Masyarakat di dunia sangat menyayangkan atas keputusan Bush tentang invasi Irak tersebut oleh negaranya dan juga sikapnya yang terkesan menunjukkan arogansinya untuk tidak memperdulikan beberapa pihak penting dan juga bangsa lain yang menentang keputusannya untuk menginvasi Irak. Beberapa pemimpin gereja juga telah mengirim surat untuk Bush sebagai peringatan tentang konsekuensi setelah perang Irak terjadi tetapi upaya tersebut tetap diabaikan oleh Bush yang berpengaruh akan jatuhnya popularitas Bush setelah perang Irak terjadi (Daulay, 2009).

Ketiga, ditinjau dari sisi perekonomian Amerika Serikat setelah invasi Irak keadaan tidak lagi seperti apa yang diperlihatkan Bush ketika sedang mengabaikan tentangan bangsa lain. Perang ke Irak yang menimbulkan kontroversi itu juga mempengaruhi arah perekonomian Amerika Serikat. dimana setelah invasi, Amerika Serikat kehilangan 4.000 tentara yang gugur saat invasi dan lebih dari 58.000 tentara kembali saat berperang mengalami trauma dan luka berat yang harus segera ditindak lanjuti. Faktor-faktor yang membuat Amerika Serikat mengalami defisit anggaran yang pertama peningkatan jumlah tentara yang tadinya meningkat 15% sampai 130% dan juga gaji dan bonus para tentara yang berperang sebesar 150.000 dolar dan

(10)

tentara yang aktif pada perang Irak Mei tahun 2004 sebanyak 82.800 sampai 142.000.

Invasi Irak juga telah membuka sumber daya uang perusahaan swasta kemiliteran yang pada tahun 2007 menghabiskan 4 miliar dolar untuk penjaga keamanan. Amerika Serikat juga membuat suatu kontrak dengan koalisi yang mengatur kependudukan Amerika Serikat selama di Irak dan itu memakan biaya 100 juta dolar setahun dan untuk biaya pembangunan kembali Irak sebesar 18,4 miliar dolar yang digunakan untuk membangun sekolah, rumah sakit, dan jaringan listrik. dimana selama pemerintahan Bush mencapai angka 4 triliun dolar yang belum ditambahkan dengan keseluruhan biaya invasi Afghanistan (Stiglitz, 2009). Selain itu, Bush dihadapkan dengan permasalahan ekonomi negara yang disebabkan oleh pengeluaran militer untuk perang terhadap Irak sehingga pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat melambat, dimana dalam pemerintahan Bush 2001-2008 mendapati biaya militer mencapai $3.786 triliun. Untuk anggaran kebijakan perang melawan terorisme mencapai $776.3 miliar. Selama invas Afghanistan dan Irak mengalamin peningkatan dimana pada tahun 2006 tumbuh sebanyak 161.500 pasukan lalu tahun 2007 mencapai 172.000 pasukan dan yang paling meningkat di tahun 2008 yaitu sebanyak 187.000 pasukan (Belasco, 2009).

Referensi

Dokumen terkait

Perancangan ini yaitu untuk menyediakan media pembantu untuk orang tua dapat mengasah perkembangan anak melalui hal yang menarik perhatian anak, yang dikemas

Pengelolaan Alokasi Dana Desa dalam Pemberdayaan Masyarakat Studi Pada Desa Blimbing Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung, Wike, S.Sos, M.Si DPA Penelitian ini dilakukan

Dalam analisis kualitas website infobdg penulis menggunakan metode webqual karena metode ini mengukur kualitas website berdasarkan presepsi pengguna, metode ini

dilakukan adalah melaksanakan tindakan sesuai dengan rencana yang telah disusun, terdiri dari: perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan yang terakhir

Merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan fungsi dan tugas pokok pemetaan skala besar, sehingga dukungan pemerintah sangat memadai.. Harapan masyarakat yang besar terhadap

Dari hasil evaluasi penilaian yang dilakukan terhadap website Bina Darma mendapatkan skor 85 yang berarti website Bina Darma dinyatakan acceptable termasuk dalam grade

Panitia Pelaksana Sertifikasi Guru Sub Rayon Universitas Muhamamdiyah Surakarta bersama surat ini mengumumkan hasil PLPG Tahap 2 Tahun 2016 sebagaimana

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi sekaligus tugas