• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisik Daerah Aliran Sungai Bila

Penggunaan lahan

Penggunaan lahan DAS Bila terdiri atas sembilan jenis, dimana penggunaan lahan hutan berada di posisi terluas yakni menghampiri 40%. Di urutan kedua adalah penggunaan lahan sawah yang mencapai lebih dari 21%, seperti ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7. Luas dan persentase jenis penggunaan lahan DAS Bila Tahun 2003 Jenis Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)

Pemukiman Sawah Kebun campuran Ladang/tegalan Hutan Semak belukar Rumput Rawa Danau/dam 1.391 36.299 20.473 10.250 65.822 18.284 15.213 1.814 1.181 0,81 21,26 11,99 6,03 38,55 10,70 8,91 1,06 0,69 Total 170.727 100,00

Sumber : Balai Pengelolaan DAS Jeneberang-Walanae.

Selanjutnya di posisi ketiga dan keempat masing-masing adalah kebun campuran dan semak belukar. Areal penggunaan lahan kebun campuran tersebar secara terpisah mulai dari zona tengah hingga ke hilir DAS. Sebaran penggunaan lahan kebun campuran ini ada kesamaan dengan sebaran areal semak/belukar meskipun semak/belukar menyebar mulai dari bagian hulu DAS dan semakin ke hilir semakin berkurang seperti ditunjukkan pada peta Gambar 7.

(2)

57

(3)

58

Penggunaan lahan di posisi kelima dan keenam adalah padang rumput dan ladang/tegalan. Areal penggunaan lahan padang rumput tersebar mengelompok di zona tengah ke selatan hingga sekitar perbatasan dengan DAS Gilireng bagian selatan, sedangkan areal ladang/tegalan menyebar secara terpisah mulai dari zona hulu hingga ke hilir DAS Bila.

Penggunaan lahan lainnya merupakan jenis penggunaan lahan yang tidak luas, yaitu rawa lebih dari 1%, pemukiman dan danau/dam masing-masing kurang dari 1%.

Lahan kritis dan erosi

Seandainya tutupan vegetasi permanen di DAS Bila masih dalam kondisi utuh, maka penutupan lahan DAS Bila akan berada pada kondisi normal. Berdasarkan wilayah kawasan hutan DAS Bila yang terdiri atas: (1) areal di luar kawasan hutan 108.344 ha (59,46%), (2) hutan produksi 5.503 ha (7,22%), dan (3) areal kawasan hutan lindung 56.880 ha (33,32%), maka indeks penutupan lahan (IPL) mencapai 33,32%, termasuk kategori sedang. Namun keutuhan tutupan lahan ini sangat diragukan karena luasnya lahan kritis di dalam kawasan hutan yang mencapai 44 ribu ha lebih seperti tersaji pada Tabel 8. Hal ini berarti sampai Tahun 2004, 70,99% kawasan hutan DAS Bila sudah menjadi lahan kritis. Kawasan hutan yang tersisa secara utuh sebagai tutupan lahan permanen berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Kepmenhut No. 52/Kpts-II/2001 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, tinggal 18.197 ha

(4)

59

Tabel 8. Luas lahan kritis dan jumlah peladang menurut kabupaten di DAS Bila Tahun 2004

Luas Lahan Kritis (Ha) Jumlah Peladang (KK) Kabupaten Dalam kawasan Luar kawasan Jumlah (ha) Dalam kawasan Luar kawasan Jumlah (kk) Enrekang 23.151 18.868 42.019 2.233 2.244 4.477 Wajo 9.820 15.283 25.103 99 2.012 2.111 Sidrap 11.315 8.512 19.827 762 708 1.470 Jumlah 44.286 42.663 86.949 3.094 4.964 8.058

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2004.

Lahan kritis di DAS Bila terdistribusi di tiga kabupaten, dan terluas di Kabupaten Enrekang yaitu 42.000 ha lebih (Dinashut. Provinsi Sulawesi Selatan 2004). Peran peladang berpindah terhadap terbentuknya lahan kritis dapat ditunjukkan pada Tabel 8, dimana jumlah peladang/perambah yang beraktivitas di lahan kritis DAS Bila lebih dari 8.000 KK., dan dari jumlah itu ± 3.000 KK. di dalam kawasan hutan, sedangkan ± 5.000 KK. di luar kawasan hutan. Jika dilihat berdasarkan kabupaten, jumlah peladang terbesar berada di Kabupaten Enrekang yaitu hampir 5.000 KK., di Kabupaten Wajo lebih dari 2.000 KK., dan di Kabupaten Sidenreng Rappang mendekati angka 1.500 KK.

Erosi di DAS Bila sudah berlangsung sangat parah, dan menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur untuk pertumbuhan tanaman, serta menurunnya kemampuan lahan untuk menahan dan menyerap air. Menurut Arsyad (2000), kerusakan yang ditimbulkan oleh erosi terjadi di dua tempat, yaitu: (1) pada lahan tempat kejadian erosi, dan (2) pada tempat dimana hasil erosi tadi diendapkan. Material yang terangkut diendapkan di tempat-tempat yang lebih rendah, baik sungai, waduk, danau, maupun pada saluran irigasi.

(5)

60

Hasil pendugaan erosi DAS Bila seperti pada Tabel 9 menunjukkan bahwa erosi terbesar adalah di Sub DAS Bila rata-rata 83,80 ton/ha/tahun. Besaran erosi

Tabel 9. Tingkat erosi di DAS Bila Tahun 2003 Sub DAS Luas (ha) Tingkat Erosi

(ton/thn) (ton/ha/thn) Rata-rata Bungin Bila Bulu Cenrana 44.857 58.029 67.841 1.983.777,69 4.863.683,43 1.375.823,82 44,22 83,80 20,28 Jumlah 170.727 8.223.184,94 48,16

Sumber: BP-DAS Jeneberang-Walanae.

di urutan kedua adalah sub DAS Bungin yang mencapai rata-rata 44,22 ton/ha/tahun. Sub DAS ini merupakan wilayah tangkapan hujan (catchment area)

DAS Bila yang pada umumnya memiliki kemiringan lereng > 40%. Selanjutnya besaran erosi di urutan ketiga adalah sub DAS Bulu Cenrana rata-rata mencapai 20,28 ton/ha/tahun. Erosi di DAS Bila menurut hasil pendugaan BP-DAS Jeneberang-Walanae tahun 2003, mencapai rata-rata 48,16 ton/ha/tahun. Besaran erosi ini sangat jauh di atas erosi yang dapat ditoleransikan yaitu 12 ton/ha/tahun. Data ini merupakan indikator merosotnya kinerja DAS Bila, meskipun seperti dijelaskan sebelumnya bahwa program rehabilitasi lahan dan konservasi tanah sudah dimulai sejak Pelita II.

Kondisi Sosial Ekonomi Daerah Aliran Sungai Bila Jumlah dan kepadatan penduduk

Seperti dihampir setiap DAS, penduduk di DAS Bila terkonsentrasi di bagian hilir, seperti ditunjukkan Tabel 10, yang divisualisasikan pada peta Gambar

(6)

61

8. Jumlah penduduk DAS Bila Tahun 2003 mencapai 173.637 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan, dengan tingkat pertumbuhan 0,75%/tahun. Kepadatan penduduk absolut dan agraris masing-masing mencapai 102 dan 206 jiwa/km2, berarti setiap penduduk mengusahakan lahan pertanian kurang dari 0,5 ha atau 4.854 m2.

Tabel 10. Tingkat kepadatan penduduk DAS Bila menurut kecamatan Tahun 2003

Kabupaten Kecamatan Penduduk Jumlah (jiwa) Luas Wilayah (km2) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Luas La-han Perta-nian (km2) Kepadatan Penduduk Agraris (jiwa/km2) Enrekang*) - Baraka - Bungin - Enrekang - Maiwa 4.731 4.500 4.499 19.672 70,08 224,49 45,25 286,03 67 20 99 68 30,34 59,25 45,32 100,79 155 76 99 195 Sub Total 33.402 625,85 63 235,70 131

Sidrap**) - - Dua Pitue Pitu Riase

- Pitu Riawa - Maritenggae 24.130 12.541 22.946 11.546 67,10 290,33 226,70 62,23 359 43 101 185 98,70 75,67 78,09 88,34 244 165 293 130 Sub Total 71.163 646,36 110 340,80 208 Wajo***) . - Maniangpajo - Belawa - Tana Sitolo 17.809 30.119 21.144 171,76 178,00 85,30 175 202 212 85,67 74,35 68,70 207 405 307 Sub Total 69.072 435,06 330 228,72 306 Total 173.637 1.707,27 102 626,88 206

Sumber :*) Laporan: Kab. Enrekang dalam Angka Tahun 2003

**) Laporan: Kab. Sidenreng Rappang dalam Angka Tahun 2003 ***) Laporan: Kab. Wajo dalam Angka Tahun 2003.

Kepadatan penduduk absolut dan agraris tertinggi terdapat di zona hilir yaitu di tiga kecamatan dalam wilayah kabupaten Wajo, masing-masing 330 dan 306 jiwa/km2, menyusul empat kecamatan pada zona tengah dalam wilayah Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap). Tingkat kepadatan penduduk yang terendah adalah di zone hulu sebagai bagian wilayah Kabupaten Enrekang.

(7)

62

(8)

63

Mata pencaharian dan pendapatan

Lebih dari separuh penduduk DAS Bila adalah petani dengan tingkat pendapatan yang rendah. Menurut Sinukaban dan Sihite (1993, dalam Sinukaban et al. editor. 1996), permasalahan saling memiskinkan antara lahan dan petani banyak

dijumpai di DAS bagian hulu, sehingga pemilihan skala prioritas mana yang harus didahulukan apakah penanggulangan kemiskinan atau kerusakan lingkungan menghadapkan kita pada pilihan yang sulit.

Tabel 11 menunjukkan bahwa hampir 60% penduduk bermatapencaharian petani, sedangkan hasil analisis data yang diperoleh melalui BP-DAS Jeneberang-Walanae (2003), menunjukkan bahwa pendapatan perkapita penduduk DAS Bila yang hanya mencapai Rp. 600.000/tahun atau Rp. 50.000/bulan termasuk kategori miskin, berdasarkan batas garis kemiskinan penduduk desa menurut BPS Rp 80.382 perkapita perbulan (Kuncoro, 2004).

Jika disetarakan dengan harga besar Tahun 2003, pendapatan penduduk perkapita hanya mencapai 355,55 kg/tahun. Data ini menunjukkan bahwa penduduk di DAS Bila semakin miskin dibanding dengan keadaan Tahun 1996. Sehubungan dengan ini Haeruman (1993, dalam Sinukaban et.al. editor. 1996)

mengemukakan empat upaya penanggulangan kemiskinan di hulu DAS yaitu: (1) rehabilitasi lahan yang tidak produktif menjadi produktif, (2) pengembangan organisasi masyarakat ke arah pemeliharaan produktivitas lahan, (3) pengembangan modal melalui penggunaan bahan dan tenaga lokal guna penanggulangan erosi, dan (4) peningkatan SDM pedesaan melalui penyuluhan dan pelatihan.

(9)

64

Tabel 11. Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di DAS Bila Tahun 2003 Jenis Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%)

Petani Pegawai Negeri/Swasta Pengusaha Pedagang Tukang Buruh Lainnya 98.407 8.231 4.787 10.675 1.127 3.407 47.003 56,67 4,74 2,76 6,15 0,65 1,96 27,07 Jumlah 173.637 100,00

Sumber : Laporan: Kab. Enrekang dalam Angka Tahun 2003

Laporan: Kab. Sidenreng Rappang dalam Angka Tahun 2003 Laporan: Kab. Wajo dalam Angka Tahun 2003.

Pengusahaan lahan

Lahan yang diusahakan penduduk DAS Bila tidak merata antara zona hulu, tengah, dan hilir. Tabel 12 menunjukkan bahwa rata-rata luas lahan garapan penduduk di zona tengah (Kabupaten Sidrap) adalah terluas, menyusul zona hilir (Kabupaten Wajo) di urutan kedua, sedangkan di urutan ketiga adalah zona hulu DAS (Kabupaten Enrekang).

Tabel 12. Luas lahan garapan penduduk DAS Bila Tahun 2003

Kabupaten Lahan garapan (ha) Jumlah KK Rata-rata (ha/KK) Enrekang Sidrap Wajo 5.118 5.620 4.444 4.477 1.470 2.111 1,14 3,82 2,10 Jumlah 15.128 8.058 2,35

(10)

65

Kabupaten Enrekang sebagai bagian hulu DAS Bila dicirikan oleh lahan kering dengan rata-rata lahan garapan > 1 ha/KK. Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap) adalah bagian tengah DAS Bila pada umumnya merupakan lahan basah dengan rata-rata lahan garapan penduduk > 3 ha/KK. Demikian pula di bagian hilir meskipun lebih rendah dibandingkan dengan lahan garapan penduduk di zona tengah, namun masih melampaui lahan garapan penduduk di zona hulu DAS Bila.

Sistem pengolahan lahan kering di DAS Bila masih dilakukan dengan cara dan teknologi yang sangat sederhana, seperti cara tebas, bakar, dan tanam. Kegiatan usahatani di wilayah ini umumnya belum menerapkan teknik usahatani yang tepat. Pola tanam, jarak tanam, teknik penanaman, dan teknik konservasi belum memenuhi syarat konservasi tanah dan air. Para petani menanam dengan pola tanam searah lereng, sehingga kurang berfungsi dalam mengendalikan erosi.

Tekanan dan kebergantungan penduduk terhadap lahan

Merupakan fenomena sosial yang umum dihampir semua DAS, bahwa peningkatan jumlah penduduk mendorong petani untuk membuka dan mengusahakan lahan secara ekstensif ke arah hulu. Pengusahaan lahan secara ekstensif di lahan berlereng tanpa tindakan konservasi yang memadai, telah menyebabkan kerusakan lahan dan erosi semakin meningkat dan dalam kondisi selanjutnya lahan menjadi kritis (Hermawan et al. 1993, dalam Sinukaban et al.

editor. 1996). Kondisi kritis seperti ini menyebabkan produktivitas lahan semakin menurun, sehingga memicu semakin meningkatnya kebutuhan lahan sebagai wujud tekanan penduduk terhadap lahan sebagaimana ditunjukkan Gambar 9.

(11)

66

Gambar 9. Indeks tekanan penduduk terhadap lahan DAS Bila Tahun 2004.

Tekanan penduduk (TP) terhadap lahan di DAS Bila masih dalam kategori sedang (1,62), namun dari 11 kecamatan, lima di antaranya termasuk kategori berat, yaitu Kecamatan: Bungin (3,22), Pitu Riawa (2,48), Dua Pitue (2,05), Belawa (2,16), dan Kecamatan Tana Sitolo (2,19).

Kebergantungan penduduk terhadap lahan (LQ) merupakan salah satu indikator seberapa besar kontribusi pertanian terhadap total pendapatan rumah tangga. Gambar 10 menunjukkan bahwa kebergantungan penduduk DAS Bila pada lahan pertanian Tahun 2004 mencapai rata-rata 1,03. Kebergantungan ini cenderung meningkat dari tahun-tahun sebelumnya, dimana LQ Tahun 1987 mencapai 0,86 meningkat mencapai 0,94 Tahun 1994. Data ini menunjukkan bahwa tingkat kebergantungan penduduk terhadap lahan pertanian semakin meningkat sejak 20 tahun terakhir. Karena itu untuk meningkatkan taraf hidup petani, pertanian harus dibangun menjadi industri yang lestari.

Keterangan TP = Tekanan penduduk terhadap lahan < 1 = ringan 1 – 2 = sedang > 2 = berat Kecamatan/DAS Bila 1 = Baraka 2 = Bungin 3 = Enrekang 4 = Maiwa 5 = Dua Pitue 6 = Pitu Riase 7 = Pitu Riawa 8 = Maritengae 9 = Maniangpajo 10 = Belawa 11 = Tana Sitolo

12 = TP rata-rata DAS Bila 0,45 3,22 0,18 1,16 2,05 1,37 2,48 1,09 1,42 2,16 2,19 1,62 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 TP 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kecamatan/DAS Bila

(12)

67

Gambar 10. Indeks kebergantungan penduduk terhadap lahan DAS Bila Tahun 2004.

Kinerja Kelembagaan Pengelolaan Lahan Kritis DAS Bila

Peran kelembagaan pemerintah

Kelembagaan adalah sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sistem ini mengatur pelaku baik organisasi, kelompok masyarakat, maupun individu, sehingga semua komponen dapat memahami apa yang harus dilakukan dan dalam kondisi bagaimana ia melakukannya. Peran lembaga terhadap sumberdaya adalah membangun kerangka pemanfaatan, mengarahkan/mengatur pengguna, mengubah perilaku, kebijakan, dan teknologi pemanfaatan, serta menunjang keamanan sumberdaya tersebut. Karena itu lembaga (organisasi) pada

Keterangan

LQ = Kebergantungan pen-duduk terhadap lahan 1 = rendah > 2 = tinggi Kecamatan/DAS Bila 1 = Baraka 2 = Bungin 3 = Enrekang 4 = Maiwa 5 = Dua Pitue 6 = Pitu Riase 7 = Pitu Riawa 8 = Maritengae 9 = Maniangpajo 10 = Belawa 11 = Tana Sitolo

12 = TP rata-rata DAS Bila

1,05 1,2 0,79 1,16 1,09 0,93 0,94 1,15 1,03 1,02 0,97 1,03 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 LQ 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Kecamatan/DAS Bila

(13)

68

umumnya mengemban dua fungsi utama, yaitu: (1) sebagai perumus, dan (2) sebagai pelaksana kebijakan.

Sebagaimana halnya dengan DAS-DAS di Indonesia lainnya, DAS Bila-pun ditandai dengan stakeholders yang multisektor, multifungsi, multidisiplin,

beranekaragam kepentingan terhadap sumberdaya alam DAS. Karena itu muncul sekian banyak aturan dan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam DAS. Kadang-kadang kebijakan yang dibuat tumpang-tindih sehingga menimbulkan masalah baru dalam pelaksanaannya.

Instansi yang berkepentingan terhadap pengelolaan lahan kritis DAS Bila antara lain (Pemda Sulawesi Selatan, 2000):

1) Pemerintah daerah ketiga kabupaten yang berkepentingan terhadap pendapatan asli daerah (PAD) melalui perolehan pajak bumi dan bangunan serta pajak lainnya di wilayah masing-masing.

2) Dinas Kehutanan provinsi dan kabupaten, Balai Pengelolaan DAS Jeneberang-Walanae yang berkepentingan dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan DAS Bila.

3) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) di tiga kabupaten dan Bappeda provinsi yang berkepentingan mengkoordinasikan perencanaan pembangunan sesuai dengan kewenangan wilayah masing-masing.

4) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) kabupaten, Sub Dinas Lingkungan Hidup, dan Bapedalda provinsi, yang berkepentingan dalam hal pengendalian lingkungan hidup di wilayah masing-masing.

(14)

69

5) Badan Pertanahan Nasional (BPN) kabupaten dan BPN provinsi, yang berkepentingan mengelola hak dan status penguasaan tanah.

6) Dinas Pekerjaan Umum (PU) kabupaten (Pengairan), dan Dinas PU provinsi yang berkepentingan dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air untuk irigasi dan penggunaan untuk kepentingan umum lainnya.

7) Badan usaha milik daerah antara lain PDAM yang berkepentingan dalam pengelolaan dan penggunaan air baku.

8) Lembaga kemasyarakatan termasuk Tudang Sipulung, LSM, Kelompok Tani, yang memiliki kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya dan kepedulian terhadap lahan DAS Bila.

Dalam perumusan dan/atau implementasi kebijakan, lembaga-lembaga tersebut harus dalam satu ikatan koordinasi berdasarkan fungsi masing-masing. Namun pada saat kebijakan RTL-RLKT DAS Bila dirumuskan, lembaga terkait yang ada di daerah dilibatkan hanya pada tahap pembahasan dan sosialisasi dari program yang sudah tersusun (Salo D 27 Pebruari 2003, komunikasi pribadi).

Karena itu dapat dikemukakan bahwa perumusan Pola RLKT dan RTL-RLKT DAS Bila melalui pendekatan top-down, didominasi oleh peran lembaga

pusat dan provinsi tanpa melibatkan lembaga-lembaga yang ada di daerah. Hal inilah kemudian menjadi tantangan implementasi, dimana lembaga-lembaga di daerah tidak mengadopsi kebijakan RTL-RLKT ke dalam kebijakan instansi masing-masing.

Kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila seperti RTL-RLKT dirumuskan melalui formulasi program yang kebanyakan merupakan arahan dari

(15)

70

pusat, atas dasar kepentingan lembaga tertentu tanpa mengembangkan integrasi fungsional antar sektor dan/atau antar daerah sehingga melahirkan ego sektoral.

Meskipun demikian sistem kelembagaan di tiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila yang setidaknya berpengaruh terhadap ketidakberhasilan pengelolaan lahan kritis akhirnya disadari oleh pemerintah daerah di wilayah DAS Bila. Karena itu pengembangan fungsi kelembagaan, diagendakan sebagai kebijakan pembangunan daerah melalui Perda Kabupaten Sidenreng Rappang No. 13 Tahun 2002 Tentang Rencana Strategis Daerah (Renstrada) dan Perda No. 34 Tahun 2001 Tentang Program Pembangunan Daerah (Propeda).

Peran kelembagaan masyarakat

Efektifitas kelembagaan (institution) dan pelembagaan (intitutionalization)

masyarakat sama-sama tidak berkembang. Lembaga-lembaga masyarakat yang ada di DAS Bila seperti LKMD, LMD, BPD, kelompok tani, bahkan LSM sering keberadaannya bersifat formalistik. Lembaga-lembaga ini seharusnya menjadi wadah aspirasi warga masyarakat, namun kenyataannya hanya difungsikan untuk melegalisasi program/kebijakan yang sudah selesai. Hal ini berkaitan dengan kebijakan perencanaan pembangunan yang top-down. Karena itu masyarakat

cenderung menjadi obyek ketimbang sebagai subyek pembangunan.

Daerah aliran sungai Bila dihuni oleh dua kelompok masyarakat yaitu Bugis di zona tengah dan hilir, serta kelompok masyarakat Duri/Enrekang di bagian hulu. Perilaku sosial dan budaya kedua kelompok masyarakat ini seperti: (1) kerjasama dan gotong royong, (2) musyawarah dan kekeluargaan, serta (3)

(16)

71

kerukunan dan kesetiakawanan, sudah semakin jauh bergeser tergilas oleh sistem dan kebijakan pembangunan, yang sarat dengan perintah dan instruksi dari atas.

Kesenjangan antara luaran dan tujuan pengelolaan lahan kritis DAS Bila berkaitan dengan adanya perbedaan cara pandang antara pembuat kebijakan dan masyarakat di tiga kabupaten dalam wilayah tersebut. Pembuat kebijakan memandang pengelolaan lahan kritis sebagai pembangunan yang berorientasi pada produktivitas jangka panjang, sementara harapan masyarakat adalah pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam jangka pendek. Karena itu proses perumusan kebijakan RTL-RLKT melalui pendekatan top-down, sedangkan

harapan masyarakat DAS Bila adalah pendekatan bottom-up yang melibatkan

lapisan masyarakat mulai dari bawah seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11.

Gambar 11. Ilustrasi peran kelembagaan masyarakat lokal dalam perencanaan pengelolaan lahan kritis DAS Bila (Modifikasi, Kuncoro 2004).

RTL-RLKT

Rakor. Pengelolaan

Lahan Kritis Tk. Provinsi BKP-DAS BP-DAS BAPPEDA KAB

DINAS/BADAN PROVINSI

BKP-DAS

Rakor. Pengelolaan Lahan

Kritis Tk.Kabupaten BKP-DAS BADAN/DINAS

UDKP

Musyawarah Pengelolaan

Lahan Kritis Tk.Desa Tokoh Masy. Kelomp. Masy

Musyawarah Pengelolaan

Lahan Kritis Tk.Dusun Tokoh Masy. Kelomp.Masy.

(17)

72

Gambar 11 menunjukkan perlunya perumusan pengelolaan lahan kritis melalui pendekatan battom-up sebagai berikut:

1) Musyawarah Pengelolaan Lahan Kritis (Muspeng-LK) tingkat dusun dipimpin oleh Kepala Dusun, dan dibimbing oleh Kepala Desa untuk menginventarisi potensi dan permasalahan dusun serta merumuskan usulan program RLKT. 2) Musyawarah Pengelolaan Lahan Kritis tingkat desa/kelurahan dipimpin oleh

Kepala Desa/Lurah, dan dibimbing oleh Camat, membahas rencana program pengelolaan lahan kritis yang dihasilkan oleh Muspeng-LK tingkat dusun/lingkungan.

3) Temu Karya Pengelolaan Lahan Kritis tingkat kecamatan dipimpin oleh Camat dan dibimbing oleh Bappeda kabupaten dengan tujuan membahas kembali rencana program pengelolaan lahan kritis yang dihasilkan oleh Muspeng-LK tingkat desa/kelurahan.

4) Rapat Koordinasi Pengelolaan Lahan Kritis tingkat kabupaten dipimpin oleh Ketua Bappeda kabupaten dan diikuti oleh Badan dan Dinas terkait, LSM, lembaga penegak hukum, dan lembaga lainnya yang berkepentingan guna mengusulkan program dan proyek beserta sumber dananya dan disampaikan kepada Gubernur melalui Badan Koordinasi Pengelolaan DAS (BKP-DAS) Bila.

5) Rapat Koordinasi Pengelolaan Lahan Kritis (RAKOR-PLK) berbasis DAS, membahas hasil rumusan tingkat kabupaten bersama dengan Badan dan Dinas, terkait, serta Perguruan Tinggi, dipimpin oleh BKP-DAS Bila di bawah bimbingan Balai Pengelolaan DAS (BP-DAS) Jeneberang Walanae, untuk

(18)

73

dibahas dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Lahan Kritis berbasis DAS di tingkat provinsi yang dihadiri oleh lembaga vertikal dan Bappeda dari tiga kabupaten, sehingga dihasilkan acuan pengelolaan lahan kritis dalam bentuk Rencana Teknik Lapangan-Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTL-RLKT).

Prosedur perencanaan sebagai dikemukakan di atas merupakan perumusan kebijakan melalui pendekatan bottom-up, dimana lembaga masyarakat desa

diposisikan sebagai pemeran awal. Melalui pendekatan seperti ini diharapkan semoga kejadian masa lalu seperti kesenjangan antara kebijakan sektor dan kebijakan rehabilitasi lahan (RTL-RLKT) tidak terulang.

Lembaga Pemeran dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Lahan Kritis

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 29 lembaga yang diduga, 17 di

antaranya sebagai lembaga pemeran dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. Besarnya peran setiap lembaga dapat diidentifikasi melalui besarnya frekuensi daya penggerak (driver power) dan kebergantungan (dependence) seperti

ditunjukkan pada Gambar 12.

Untuk melihat posisi pentingnya peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis, dilakukan pemisahan ke-29 lembaga melalui matriks driver power – dependence (DP-D)) seperti tersaji pada Gambar 13,

sedangkan perbandingan besarnya bobot DP-D setiap lembaga dapat ditunjukkan

(19)

74 0 5 10 15 20 25 30 F rek ue ns i Keterangan DP 29 29 23 5 24 19 24 28 28 3 27 18 23 6 21 6 4 4 2 5 21 3 3 6 25 19 24 15 16 D 11 14 14 21 14 18 13 5 16 19 20 23 18 12 11 13 14 13 15 18 14 15 15 16 16 16 16 12 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Keterangan:

Gambar 12. Frekuensi driver power – dependence sebagai indikator besarnya

peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Lembaga pemeran di posisi independent dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa ada sembilan lembaga pemeran

yang pengaruhnya sangat besar dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dan kebergantungannya pada lembaga lain kecil, yaitu (1) Balai Pengelolaan (BP) DAS Jeneberang-Walanae, (2) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) provinsi, (3) Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) provinsi, (4) Dinas Pertanian (Dinastan) provinsi, (5) Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dinashutbun) provinsi, (6) Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)/Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL), (7) Perguruan Tinggi,

1 = BP-DAS Jeneberang 2 = Bappeda provinsi 3 = Bapedalda provinsi 4 = BPN provinsi 5 = Dinastan propvinsi 6 = Dinas PU provinsi 7 = Dinashutbun provinsi 8 = Bappeda kabupaten 9 = Bapedalda kabupaten 10 = BPN kabupaten 11 = Dinashutbun kabupaten 12 = Dinas PU kabupaten 13 = Dinastan kabupaten 14 = Dinas Tata Ruang 15 = PPL/PKL 16 = Dinas Kimpraswil 17 = Dinas Perindag 18 = Dinas Kependudukan 19 = Dispenda kabupaten 20 = Dinas Pariwisata 21 = Perguruan Tinggi 22 = PDAM 23 = Perbankan 24 = Unit Usaha/Koperasi 25 = LSM Lingkungan 26 = Tudang Sipulung 27 = Kelompok Tani 28 = Kepolisian 29 = Kejaksaan Negeri

(20)

75

(8) Kepolisian, dan (9) Kejaksaan. Kesembilan lembaga tersebut berdasarkan analisis ISM berada pada posisi independent dengan rata-rata bobot DP = 0,77 dan D = 0,44(Gambar 13 dan Tabel 13). Hal ini berarti kesembilan lembaga tersebut

berperan sangat penting terhadap implemnetasi kebijakan pengelolaan lahan kritis.

Gambar 13. Posisi peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

29 A 28 H I 27 K 26 25 Y 24 G E A1 23 Independent O C M Linkage 22 21 U 20 B 19 Z 18 L 17 16 C1 15 B1 14 13 12 11 10 F 9 Autonomous Dependent 8 7 P 6 N X 5 T 4 R Q D 3 V/W J 2 S 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 D Keterangan: A = BP-DAS Jeneberang B = Bappeda Provinsi C = Bapedalda Provinsi D = BPN Provinsi E = Dinastan Propvinsi F = Dinas PU Provinsi G = Dinashutbun Provinsi H = Bappeda Kabupaten I = Bapedalda Kabupaten J = BPN Kabupaten K = Dinashutbun Kabupaten L = Dinas PU Kabupaten M = Dinastan Kabupaten N = Dinas Tata Ruang O = PPL/PKL P = DinasKimpraswil Q = Dinas Perindag R = Dinas Kependudukan S = Dispenda Kabupaten T = Dinas Pariwisata U = Perguruan Tinggi V = PDAM W = Perbankan X = Unit Usaha/Koperasi Y = LSM Lingkungan Z = Tudang Sipulung A1 = Kelompok Tani B1 = Kepolisian C1 = Kejaksaan Negeri DP

(21)

76

Tabel 13. Posisi dan bobot lembaga-lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila

Bobot Posisi Lembaga DP D 1. BP-DAS Jeneberang-Walanae 2. Bappeda provinsi 3. Bapedalda provinsi 4. Dinastan propvinsi 5. Dinashutbun. provinsi 6. PPL/PKL 7. Perguruan Tinggi 8. Kepolisian 9. Kejaksaan 1,00*) 0,69 0,79 0,83 0,83 0,79 0,72 0,52 0,55 0,38 0,48 0,48 0,48 0,44 0,38 0,48 0,41 0,41 Independent

(Pengaruh terhadap program kuat, tetapi keterkaitannya dengan lembaga lainnya lemah).

Rata-rata 0,77 0,44

1. Bapedalda/Sub dinas LH. kabupaten 2. Dinashutbun kabupaten

3. Dinas PU kabupaten 4. Dinas pertanian kabupaten 5. LSM Lingkungan 6. Tudang Sipulung 7. Kelompok Tani 8. Bappeda kabupaten 0,96 0,93 0,62 0,79 0,86 0,65 0,83 0,96 0,55 0,69 0,79 0,62 0,55 0,55 0,55 0,50 Linkage

(Pengaruhnya terhadap program dan keterkaitannya dengan lembaga lainnya kuat).

Rata-rata 0,80 0,61

1. BPN provinsi 2. Dinas PU provinsi 3. BPN kabupaten

4. Dinas Pariwisata kabupaten 5. Unit Usaha/Koperasi 6.Dispenda kabupaten 7.Perbankan 8.PDAM 0,14 0,34 0,10 0,17 0,21 0,07 0,10 0,10 0,72 0,62 0,65 0,62 0,55 0,52 0,52 0,52 Dependent

(Pengaruhnya terhadap program lemah tetapi keterkaitannya dengan lembaga lainnya kuat).

Rata-rata 0,19 0,63

1.Dinas Tata Ruang kabupaten 2. Dinas Kimpraswil kabupaten 3. Dinas Perindag. kabupaten 4. Dinas Kependudukan kabupaten

0,21 0,24 0,14 0,17 0,41 0,45 0,48 0,45 Autonomous

(Pengaruhnya terhadap program dan keterkaitannya dengan lembaga lainnya lemah.

Rata-rata 0,14 0,47

Keterangan :

DP dan D ≤ 0,50 = kecil DP dan D > 0,50 = besar *) Lembaga pemeran kunci

Besarnya peran (driver power) mengindikasikan bahwa pengaruh

(22)

77

menunjukkan bahwa peluang dampak negatif akibat pengaruh lembaga lain sangat kecil. Kesembilan lembaga di posisi ini terdiri atas empat lembaga tingkat pusat (BP-DAS Jeneberang-Walanae, Perguruan Tinggi, Kepolisian, dan kejaksaan Negeri), empat lembaga tingkat provinsi (Bappeda provinsi, Bapedalda provinsi, Dinastan provinsi, Dinashutbun provinsi), dan satu lembaga kabupaten (PPL/PKL).

Peran lembaga-lembaga di posisi independent selama ini terutama dimotori

oleh lembaga-lembaga tingkat provinsi melalui koordinasi dengan BRLKT, Sub-BRLKT sekarang BP-DAS Jeneberang-Walanae dan Perguruan Tinggi tanpa melibatkan lembaga penegak hukum (Kejaksaan dan Kepolisian), PPL/PKL, dan lembaga lain di daerah dalam wilayah DAS Bila. Disinilah letak kelemahan penyusunan RTL-RLKT sebagaimana diuraikan sebelumnya.

Dalam pengelolaan lahan kritis berskala DAS, lembaga provinsi sebagai pemegang kewenangan tidak harus mendominasi peran, kecuali sebagai fasilitator dan berkoordinasi dengan BP-DAS Jeneberang-Walanae sambil merangkum sektor-sektor terkait ditiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila melalui koordinasi yang efektif.

BP-DAS Jeneberang-Walanae sebagai lembaga pusat yang beroperasi di

daerah adalah satu-satunya lembaga yang memperoleh bobot DP maksimum

(1,00), sehingga menyandang predikat lembaga pemeran kunci dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila. Pentingnya peran lembaga ini sangat relevan dengan tugas pokok yang diembannya yaitu (1) penyusunan rencana dan pengembangan model pengelolaan DAS, (2) penyusunan dan penyajian informasi

(23)

78

DAS, (3) pengembangan kelembagaan dan kemitraan pengelolaan DAS, serta (4) pemantauan dan evaluasi pengelolaan DAS (Kepmenhut. No. 665 Tahun 2002). Besarnya peran BP-DAS Jeneberang-Walanae menunjukkan bahwa lembaga ini merupakan variabel penyebab sukses dan/atau penyebab kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis.

Meskipun BP-DAS Jeneberang-Walanae merupakan lembaga pemeran kunci dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis, namun ia tidak memiliki kewenangan untuk mengatur hubungan hulu-hilir antar lembaga terkait ditiga kabupaten dalam wilayah DAS Bila (Enerekang, Sidenreng Rappang, dan Wajo).

Dinas Pertanian, serta Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi

adalah dua lembaga tingkat provinsi yang memiliki daya peran yang sama, masing-masing DP = 0,83. Angka ini menunjukkan bahwa kedua lembaga ini berperan

penting dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. Peran penting yang ditunjukkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi dalam penelitian ini sesuai dengan tugas pokoknya yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis meliputi (1) penyusunan perwilayahan, desain, pengendalian lahan lintas kabupaten/kota, (2) penyusunan rencana makro kehutanan/perkebunan lintas kabupaten/kota, (3) pedoman penyelenggaraan pengurusan erosi, sedimentasi, produktivitas lahan pada daerah aliran sungai lintas kabupaten/kota, (4) pedoman penyelenggaraan rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi dan hutan lindung, (5) perlindungan dan pengamanan hutan pada kawasan lintas kabupaten/kota, dan (6) penyediaan dukungan penyelenggaraan diklat teknis, litbang terapan bidang kehutanan (Pasal 3

(24)

79

ayat 5 butir 4, PP. No.25 Tahun 2000). Tugas pokok Dinas Pertanian yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis antara lain (1) penetapan standar pembibitan/pembenihan pertanian, (2) penetapan kawasan pertanian terpadu berdasarkan kesepakatan kabupaten/kota, (3) penyelenggaraan diklat sumberdaya manusia aparat pertanian teknis fungsional, keterampilan, dan diklat kejuruan tingkat menengah, (4) pengaturan penggunaan air irigasi, (5) penyediaan dukungan pengembangan rekayasa teknologi sumberdaya perairan dan perikanan, (6) penyediaan dukungan kerjasama antar kabupaten dalam bidang pertanian (Pasal 3 ayat 5 butir 1, PP. No.25 Tahun 2000).

Hal di atas menunjukkan bahwa tugas pokok Dinas Pertanian, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi Sulawesi Selatan sangat relevan guna mendukung pengelolaan lahan kritis di DAS Bila. Dinas Kehutanan dan Perkebunan provinsi Sulawesi Selatan seharusnya mampu membangun kemampuan petani dalam hal peningkatan produktivitas lahan dan upaya lainnya untuk mempertahankan kelestarian fungsi hutan dan lahan. Demikian pula kemampuan Dinas Pertanian dalam hal pengembangan agribisnis (petik-olah-jual),

seharusnya berjalan searah dengan upaya-upaya pelestarian dan peningkatan produktivitas lahan. Demikian pula kedua lembaga ini dituntut kemampuannya dalam hal peningkatan kelembagaan masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan, bimbingan teknis dan penyuluhan dalam rangka pelaksanaan program pengelolaan lahan kritis.

Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL)/Penyuluh Kehutanan Lapangan

(25)

80

sama yaitu masing-masing DP = 0,79. Sebagai lembaga di posisi independent,

peran kedua lembaga ini sangat penting. Tugas pokok dan fungsi PPL/PKL sebagai sarana transfer pengetahuan dan teknologi serta mendukung kebijakan pemerintah di bidang pertanian, antara lain: (1) memberikan pengetahuan pertanian baik cara pengolahan lahan, penanaman, perawatan, maupun pascapanen, (2) penyusunan program penyuluhan, (3) pemantauan dan evaluasi hasil penyuluhan, dan (4) pembentukan dan pembinaan kelompok tani. Tugas pokok ini sangat relevan dengan perannya di posisi independent dalam implementasi kebijakan pengelolaan

lahan kritis. Meskipun demikian, sejak otonomi daerah banyak PPL di wilayah DAS Bila dialihfungsikan guna menduduki jabatan struktural dibeberapa dinas dan badan. Demikian pula dalam pengambilan keputusan, peran penyuluh lebih dominan sebagai obyek program pengelolaan lahan kritis. Hal ini berdampak buruk terhadap pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PPL/PKL yang sangat dibutuhkan dalam upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani.

Peran penting Bapedalda provinsi sebagaimana yang ditunjukan hasil penelitian ini relevan dengan tugas pokok dan fungsi yang terkait dengan pengelolaan lahan kritis antara lain (1) pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten/kota, (2) pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten kota, (3) penilaian analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan lokasinya meliputi lebih dari satu kabupaten/kota, (4) pengawasan pelaksanaan konservasi tanah lintas kabupaten/kota, dan (5) penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional

(26)

81

(Pasal 3 ayat 5 PP. No.25 Tahun 2000). Tugas pokok yang diemban Bapedalda provinsi Sulawesi Selatan sangat relevan guna mendukung pengelolaan lahan kritis di DAS Bila. Meskipun demikian Bapedalda provinsi Sulawesi Selatan terkendala dalam hal implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis lintas daerah otonom karena lemahnya koordinasi lintas kabupaten (Enrekang, Sidenreng Rappang, dan Wajo).

Perguruan Tinggi sebagai lembaga pusat berperan dalam implemntasi

kebijakan pengelolaan lahan kritis dengan bobot DP = 0,72. Peran perguruan tinggi

sangat penting berdasarkan fungsinya sebagai pengemban Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu (1) pendidikan dan pengajaran, (2) penelitian, serta (3) pengabdian masyarakat.

Advokasi perguruan tingi dalam hal perumusan dan/atau implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dapat dioptimalkan melalui ketiga fungsi tersebut. Meskipun demikian peran aktif perguruan tinggi tidak lepas dari sejauhmana kesadaran dan kerjasama lembaga terkait di daerah dalam merespon peran Tridharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Peran perguruan tinggi dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila ditunjukkan dalam bentuk kerjasama dengan lembaga tingkat pusat (BRLKT, Sub BRLKT dan BP-DAS Jenberang-Walanae) melalui penyusunan Pola dan RTL-RLKT. Meskipun demikian kerjasama ini akhirnya menjadi tidak optimal sebab mereka tidak melibatkan lembaga yang ada di kabupaten dalam wilayah DAS Bila.

(27)

82

Bappeda provinsi sebagai lembaga perencana pembangunan secara umum

memegang peran penting dalam pengelolaan lahan kritis dengan bobot DP = 0,69

(Tabel 13). Tugas pokok Bappeda provinsi, antara lain adalah (1) pengkajian perencanaan pembangunan wilayah, (2) monitoring dan evaluasi pembangunan, (3) penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Manengah (RPJM) serta (4) koordinasi penyusunan rencana pembangunan (Renstrada Sul-Sel Tahun 2001-2005). Tugas pokok yang diemban Bappeda provinsi sangat relevan dengan perannya di posisi independent dalam

pengelolaan lahan kritis.

Meskipun demikian Bappeda provinsi tidak mentransfer program pengelolaan lahan kritis DAS Bila ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Hal inilah yang berdampak lanjut terhadap ketidakoptimalan fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis antara tiga kabupaten yang ada di DAS Bila.

Kepolisian dan kejaksaan merupakan lembaga tingkat pusat dengan bobot DP masing-masing 0,52 dan 0,55. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa

lembaga penegak hukum tidak berperan optimal dalam program pengelolaan lingkungan. Demikian pula masyarakat berkomitmen bahwa salah satu penyebab kegagalan program pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan adalah lemahnya penegakan hukum. Sehubungan dengan ini, Soemarwoto (2003) mengemukakan bahwa penegakan hukum yang sangat lemah merupakan insentif untuk melakukan pelanggaran.

(28)

83

Berbagai kasus di DAS Bila menunjukkan antara lain bahwa pengguna sumberdaya alam lebih memilih mengambil resiko melawan hukum karena kemungkinan biaya yang akan dikeluarkan lebih kecil dibandingkan dengan jika bertindak sesuai dengan hukum. Hal ini akibat lemahnya aparat penegak hukum dalam menegakan sanksi hukum. Disinilah pentingnya melibatkan lembaga penegakan hukum sebagai motor penggerak dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. Lembaga penegak hukum diharapkan mampu mengarahkan pengguna sumberdaya alam bertindak sesuai dengan hukum, disamping adanya kebijakan yang mempertegas penerapan sanksi hukum.

Kesembilan lembaga sebagaimana dikemukakan di atas berada pada posisi penting (independent) dalam pengelolaan lahan kritis (Gambar 13 dan Tabel 13).

Namun ia tidak melaksanakan fungsinya secara optimal, sehingga implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) tidak melibatkan lembaga-lembaga terkait dari tiga kabupaten yang ada dalam wilayah DAS Bila khususnya dalam hal perumusan kebijakan pengelolaan lahan kritis, dan (2) tidak berhasil membangun koordinasi baik koordinasi lintas daerah dalam wilayah DAS Bila, maupun koordinasi antar lembaga dalam satu kabupaten.

Lembaga pemeran di posisi linkage dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa ada delapan lembaga pemeran

sangat penting dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila, tetapi kebergantungannya pada lembaga lain besar. Kedelapan lembaga tersebut

(29)

84

umumnya adalah lembaga yang berada di kabupaten dan/atau lokal, yaitu (1) Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup (LH) kabupaten, (2) Dinashutbun kabupaten, (3) Dinas Pekerjaan Umum (PU) kabupaten, (4) Dinas Pertanian kabupaten, (5) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan, (6) Tudang sipulung, (7) Kelompok tani, dan (8) Bappeda kabupaten.

Kedelapan lembaga tersebut berdasarkan analisis ISM berada pada posisi linkage dengan rata-rata bobot DP = 0,80 dan D = 0,61 (Gambar 13 dan Tabel 13).

Pentingnya peran yang diemban dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dan besarnya kebergantungannya pada lembaga lain, maka perlu langkah antisipasi terhadap kedelapan lembaga tersebut dari kemungkinan timbulnya pengaruh yang tidak sejalan dengan tujuan program. Pengaruh-pengaruh seperti ini dapat memperbesar dan/atau menjadi penyebab timbulnya masalah baru dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Bappeda kabupaten dan Bapedalda/Sub Dinas Lingkungan Hidup

kabupaten adalah dua di antara delapan lembaga yang memiliki bobot tertinggi di

posisi linkage (Tabel 13) yaitu DP = 0,96, atau berada di bawah BP-DAS

(independent). Pentingnya peran kedua lembaga ini dalam pengelolaan lahan kritis

terlihat berdasarkan fungsi masing-masing, dimana fungsi Bappeda kabupaten antara lain, adalah: (1) pengkajian kebijakan pembangunan daerah, (2) koordinasi penyusunan rencana pembangunan, (3) penyusunan RPJP dan RPJM, (4) monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan (Setda. Kab. Sidrap 2001).

Selanjutnya fungsi Bapedalda Kabupaten/Bagian Lingkungan Hidup, adalah: (1) pengendalian dampak lingkungan dalam arti pencegahan dan

(30)

85

penanggulangan pencemaran/kerusakan lingkungan, (2) pengawasan terhadap sumber dan kegiatan-kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan serta pengawasan-pengawasan pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), (3) pelaksanaan pelestarian dan pemulihan kualitas lingkungan, (4) penerapan dan pengawasan pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan rencana Pemantauan ingkungan (RPL) serta pengendalian teknis pelaksanaan (AMDAL), (5) penerapan dan pengembangan fungsi informasi lingkungan, (6) penyuluhan dan peningkatan peran serta masyarakat, (7) penyelenggaraan pelayanan teknis administratif kesekretariatan meliputi urusan program, hukum dan umum (Setda. Kab. Sidrap 2001).

Berdasarkan PP. No. 25 Tahun 2000Tentang Kewenangan Pemerintah dan

Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, bahwa kewenangan tingkat

provinsi dan tingkat kabupaten terhadap bidang pemerintahan adalah sama, kecuali dalam hal wilayah teritorialnya, dimana kewenangan provinsi menyangkut bidang pemerintahan lintas kabupaten/kota, sedangkan kewenangan pemerintahan kabupaten terbatas khusus dalam wilayah teritorial kabupaten. Karena itu dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila termasuk dalam hal perencanaannya, harus melibatkan lembaga kabupaten di bawah koordinasi tingkat provinsi. Ini dimaksudkan supaya Bappeda dan Bapedalda kabupaten dapat mengadopsi program pengelolaan lahan kritis berskala DAS, disamping sebagai motor penggerak pembangunan termasuk dalam hal pengimplementasian kebijakan pengelolaan lahan lahan kritis.

(31)

86

Dinas Kehutanan dan Perkebunan kabupaten adalah salah satu lembaga

yang berdasarkan analisis ISM menunjukkan bobot DP = 0,93, berada di bawah

Bappeda kabupaten dan Bapedalda/Bagian Lingkungan Hidup kabupaten. Sebagai lembaga yang terkait langsung dengan pengelolaan lahan kritis ditunjukkan berdasarkan tugas pokok dan fungsinya yaitu (1) penyusunan rencana pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan dan perkebunan, (2) pelaksanaan rehabilitasi lahan dan penghijauan/pelestarian sumberdaya alam, (3) pembinaan pemanfaatan lahan dan pengembangan perkebunan, (4) pembinaan teknis operasional dan peningkatan produksi kehutanan dan perkebunan, (5) pemantauan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman serta pengawasan pendistribusian dan penggunaan pestisida, (6) pembinaan masyarakat dan petani perkebunan untuk pengembangan dan peningkatan kualitas hasil kehutanan dan perkebunan, (7) membina kelembagaan usaha-usaha kehutanan dan perkebunan, dan (8) pengamanan/perlindungan hutan (Renstra Dinashutbun di wilayah DAS Bila Tahun 2001 – 2005).

Meskipun demikian fungsi yang diemban lembaga ini belum dapat direalisasikan secara optimal di lapangan. Hal ini disebabkan adanya berbagai kebijakan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Karena itu pembangunan kehutanan dan perkebunan lebih diarahkan untuk memacu perolehan devisa dengan memanfaatkan sumberdaya kehutanan dan perkebunan secara optimal. Tidaklah mengherankan jika tiga Dinas Kehutanan dan Perkebunan di wilayah DAS Bila merumuskan rencana strategi berdasarkan kebijakan pembangunan daerah masing-masing tanpa mempertimbangkan kebijakan lintas daerah berdasarkan prinsip one river, one plan, dan one strategy.

(32)

87

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan lembaga di posisi

linkage dengan bobot DP = 0,86. Kepentingan lembaga ini dalam pengelolaan

lahan kritis dapat ditunjukkan sesuai dengan fungsinya antara lain (1) melakukan kontrol sosial, (2) pelaksanaan pendampingan dalam kegiatan pengelolaan lahan kritis, dan (3) monitoring dan evaluasi pengeloloaan sumberdaya alam dan lingkungan.

Kelompok tani merupakan lembaga di posisi linkage dengan bobot DP =

0,83. Dalam pengelolaan lahan kritis, peran lembaga ini sangat penting sebagai pelaksana program di lapangan, yaitu: (1) pelaksana teknis lapangan, (2) kelompok perhutanan sosial, dan (3) wadah pembentukan koperasi. Kelompok tani merupakan lembaga yang amat potensil dalam pengembangan perhutanan sosial (social forestry). Karena itu pemerintah dituntut agar sedapat mungkin

memfasilitasi pembentukan kelompok tani, pelatihan-pelatihan keterampilan dan pelaksanaan program pengelolaan lahan kritis.

Dinas Pertanian kabupaten adalah salah satu lembaga di posisi linkage

dengan bobot DP = 0,79. Pentingnya peran lembaga ini dapat ditunjukkan melalui

tugas pokok dan fungsinya yang terkait dengan pengelolaan lahan kritis, antara lain: (1) pengembangan pertanian dan penanganan lahan kritis, (2) pengembangan pengetahuan dan keterampilan petani, (3) pengembangan kinerja penyuluh (PPL), (4) pengembangan teknologi dan pertanaman, dan (5) pengembangan agribisnis berbasis pedesaan (Renstra Dinastan di wilayah DAS Bila Tahun 2001 – 2005).

Pelaksanaan kegiatan sebagai tugas pokok Dinas Pertanian dalam hubungannya dengan pengelolaan lahan kritis DAS Bila mengalami berbagai

(33)

88

kendala, antara lain tekanan terhadap peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) di sektor pertanian. Kenyataan empiris di lapangan menunjukkan bahwa pengoptimalan pemanfaatan lahan dan ekstensifikasi pertanian untuk mendukung program pengembangan agribisnis dan ketahanan pangan tidak sedikit berbenturan dengan prinsip konservasi tanah dan air. Pembukaan lahan baru dan semakin meningkatnya usaha tani palawija dan hortikultura pada lahan-lahan berlereng tanpa pertimbangan konservasi tanah dan air, merupakan bukti nyata lemahnya Dinas Pertanian dalam mengemban tugas dan fungsinya. Karena itu peran penting yang dimainkan Dinas Pertanian dapat mendukung program, dan sebaliknya kelalaian dalam memainkan peran dapat menjadi penghambat program pengelolaan lahan kritis.

Tudang sipulung adalah lembagasosial di posisi linkage dengan bobot DP

= 0,65. Lembaga ini dalam bahasa Bugis artinya duduk berkumpul, dan berfungsi sebagai sarana (1) sosialisasi penggunaan bibit dan masa tanam, (2) kontrol terhadap kelompok tani, dan (3) pembinaan pascapanen. Ke tiga fungsi ini belum menunjukkan kepentingan secara langsung terhadap pengelolaan lahan kritis, tetapi sebagai media komunikasi sosial, lembaga ini dapat difungsikan sebagai sarana komunikasi dan kontrol terhadap program pengelolaan lahan kritis. Adanya budaya masyarakat tudang sipulung yang mayoritasnya sebagai petani merupakan potensi

yang dapat dikembangkan menuju peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan kritis berbasis DAS.

Dinas PU/Pengairan kabupaten merupakan lembaga yangberada di posisi linkage dengan bobot DP = 0,62. Peran penting lembaga ini dapat dilihat

(34)

89

berdasarkan tugas pokok dan fungsinya antara lain (1) menangani pengembangan sempadan sungai, (2) perumusan kebijakan teknis di bidang pengairan, (3) penanganan dan pengamanan sumber air, (4) pemberian dan pelaksanaan pelayanan umum, serta (5) pembinaan kelembagaan dan UPTD di bidang pengairan (Renstra Dinas PU di wilayah DAS Bila Tahun 2001 – 2005). Meskipun tugas pokok dan fungsi Dinas PU/Pengairan kabupaten dalam wilayah DAS Bila di antaranya ada yang berkaitan dengan pengelolaan lahan kritis, namun masih sulit dilaksanakan secara optimal. Hal ini disebabkan antara lain (1) lemahnya koordinasi antar instansi terkait, dan (2) lemahnya sanksi hukum bagi mereka yang melakukan pelanggaran.

Kedelapan lembaga sebagaimana dikemukakan di atas berada di posisi sangat penting (linkage) dan memiliki tugas pokok dan fungsi yang relevan dengan

implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis (Gambar 13 dan Tabel 13). Namun lembaga-lembaga tersebut tidak melaksanakan fungsinya secara optimal sehingga implemetasi kebijakan rehabilitasi lahan kritis DAS Bila gagal mencapai tujuan. Hal ini disebabkan antara lain: Pertama kedelapan lembaga-lembaga

tersebut tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan RTL-RLKT. Karena itu kebijakan RTL-RLKT dianggap tidak relevan dengan kepentingan lembaganya, sehingga program yang direkomendasikan dalam RTL-RLKT tidak diadopsi ke dalam program kegiatan lembaga masing-masing. Kedua ketidakterlibatan

kedelapan lembaga tersebut dalam perumusan kebijakan, menyebabkan lemahnya komitmen kerjasama antar lembaga dan antar kabupaten, sehinggga hal ini

(35)

90

merupakan kendala utama bagi lembaga pusat dan provinsi dalam melakukan koordinasi dari hulu ke hilir DAS Bila.

Lembaga pemeran di posisi dependent dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa ada delapan lembaga berdaya peran

lemah dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila, yaitu (1) Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi), (2) Dinas PU provinsi, (3) BPN kabupaten, (4) Dinas Pariwisata kabupaten, (5) Unit Usaha/Koperasi, (6) Dinas Pendapatan Daerah, (7) Perbankan, dan (8) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Sebagai lembaga yang berada di posisi dependent dengan rata-rata bobot DP = 0,19 dan D = 0,63(Gambar 13 dan Tabel 13), menunjukkan bahwa

lembaga-lembaga tersebut memiliki peran yang sangat lemah terhadap implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis tetapi kebergantungan terhadap lembaga lainnya besar.

Karena itu untuk meningkatkan peran lembaga-lembaga tersebut dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis, tidak perlu melalui program tersendiri, melainkan cukup dengan memanfaatkan pengaruh lembaga lainnya (independent dan linkage). Selama ini lembaga-lembaga yang ada tidak saling

memotivasi, sebagai dampak lemahnya komitmen kerjasama aparat, konflik horizontal, tumbuhnya sikap sektoralisentris, lemahnya kontrol vertikal, yang menyatu mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi. Karena itu untuk

(36)

91

membangkitkan peran kedelapan lembaga di posisi dependent, dapat dilakukan

melalui penumbuhkembangan koordinasi antar sektor.

Lembaga pemeran di posisi autonomous dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis

Kelompok lembaga-lembaga yang berada pada posisi autonomous terdiri

atas (1) Dinas Tataruang kabupaten, (2) Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) kabupaten, (3) Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) kabupaten, dan (4) Dinas Kependudukan kabupaten.

Sebagai lembaga yang berada di posisi autonomous dengan rata-rata bobot DP = 0,14 dan D = 0,47 (Gambar 13 dan Tebal 13) menunjukkan bahwa

lembaga-lembaga tersebut memiliki peran yang sangat lemah terhadap implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dan kebergantungan terhadap lembaga lainnya kecil. Hal ini berarti bahwa posisilembaga-lembaga tersebut sangat otonom, yaitu disamping tidak menunjukkan peran, juga tidak bergantung pada lembaga lainnya. Karena itu keempat lembaga ini tidak perlu diprioritaskan dalam hal pengembangan implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Model struktural peran lembaga dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila Untuk melihat keberkaitan lembaga-lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis, disusun model struktural peran setiap lembaga seperti tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14 menyajikan urutan posisi peran lembaga sehingga dapat ditunjukkan urutan kepentingan peran masing-masing dalam mengimlementasikan kebijakan pengelolaan lahan kritis, yaitu (1) BP-DAS Jeneberang-Walanae pada

(37)

92

level kunci yakni sebagai lembaga yang paling besar peranannya dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. Selanjutnya menyusul berturut-turut (2) Bapedalda kabupaten dan (3) Bappeda masing-masing di level 2, (4) Dinashutbun kabupaten dan (5) LSM Lingkungan masing-masing di level 3 dan 4. Kelima lembaga ini berada dari posisi linkage, kecuali BP-DAS

Jeneberang-Walanae di posisi independent.

Gambar 14. Model struktur peran setiap lembaga dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Level 5 ditempati tiga lembaga masing-masing (6) Dinastan provinsi, (7) Dinashutbun provinsi, keduanya di posisi independent, dan (8) Kelompok Tani di

posisi linkage. Demikian juga pada level 6 ditempati tiga lembaga, dua di posisi

Level 15 Level 14 Level 13 Level 12 Level 11 Level 10 Level 9 Level 8 Level 7 Level 6 Level 5 Level 4 Level 3 Level 2 Level 1 Dinashutbun kab Bapedalda kab. BP-DAS Bappeda kab. LSM Lingk.

Dinhutbun prov. Dinastan prov. Dinastan kab. PPL/PKL

Kelompok Tani

Bapedalda prov. Dinas PU. kab. Kejaksaan Tudang Sipulung Kepolisian BPN.kab Perbankan BPN.prov D.Kepend.kab D.Perindag.kab D.Parisw.kab U.Usaha/Kop D.T.Ruang kab Kimpraswil prov.

Dinas PU. prov

Perg. Tinggi Bappeda prov.

Dispenda kab

(38)

93

independent yaitu (9) PPL/PKL, (10) Bapedalda provinsi, dan (11) Dinastan

kabupaten di posisi linkage. Selanjutnya (12) Bappeda provinsi dan (13) Perguruan

Tinggi di level 7 sampai Dinas Pendapatan Daerah kabupaten di level 15.

Lembaga-lembaga di posisi dependent merupakan lembaga berdaya peran

lemah dalam imlementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dan berada di level-level atas mulai dari level-level 10 ke atas, yang terdiri atas: (1) Dinas PU provinsi, (2) BPN provinsi, (3) BPN kabupaten, (4) Dinas Pariwisata kabupaten, (5) Unit Usaha/Koperasi, (6) PDAM, (7) Perbankan, dan (8) Dinas Pendapatan Daerah kabupaten. Peran kedelapan lembaga tersebut terhadap implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis sangat lemah, namun memiliki kebergantungan yang besar tehadap lembaga lainnya, sehingga kedelapan lembaga di posisi ini dapat dibangkitkan melalui peran lembaga lain.

Lembaga-lembaga di posisi autonomous juga merupakan kelompok

lembaga yang berdaya peran lemah terhadap implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis dan kebergantungan pada lembaga lainnya kecil. Posisi lembaga-lembaga ini berada pada level-level 11 ke atas, yaitu (1) Dinas Tata Ruang kabupaten, (2) Dinas Kimpraswil kabupaten, (3) Dinas Perindag kabupaten, dan (4) Dinas Kependudukan kabupaten. Rendahnya bobot driver power dan dependent

keempat lembaga ini, menunjukkan betapa kurangnya kepedulian terhadap implentasi kebijakan pengelolaan lahan kritis. Sesungguhnya Dinas Tata Ruang kabupaten memiliki hubungan yang erat dengan pengelolaan lahan kritis. Karena itu diduga bahwa lemahnya peran lembaga ini adalah akibat lemahnya sumberdaya manusia, lemahnya koordinasi dan kurangnya pembinaan.

(39)

94

Berdasarkan Gambar 13, Tabel 13 dan uraian Gambar 14 di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga yang berperan dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis terdiri atas sembilan lembaga di posisi

independent dan delapan lembaga di posisi linkage. Kedelapan lembaga di posisi linkage di samping berperan sangat penting dalam implementasi kebijakan

pengelolaan lahan kritis, juga sangat rentan terhadap pengaruh lembaga lain. Karena itu kedelapan lembaga di posisi linkage menjadi penentu keberhasilan

dan/atau kegagalan implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis, yang terdiri atas lembaga-lembaga kabupaten/lokal, yang antara lain adalah: Bappeda dan Bapedalda/Dinas Lingkungan Hidup kabupaten sebagai pemeran sangat penting yang berada di level 2 (Gambar 14). Lembaga-lembaga di posisi independent juga

sangat berperan dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis yang terdiri atas lembaga-lembaga pusat dan provinsi. Di antara sembilan lembaga di posisi ini, lembaga pusat yaitu BP-DAS Jeneberang-Walanae berada di level 1 (Gambar 14) sebagai pemeran kunci menunjukkan peran yang sangat menentukan melalui koordinasi dengan lembaga tingkat provinsi. Besarnya peran dan kecilnya kebergantungan pada lembaga lainnya menunjukkan bahwa kesembilan lembaga ini harus dikembangkan melalui peningkatan efektivitas fungsi dan kewenangan masing-masing terhadap pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Kinerja Fungsi Manajemen dalam Pengelolaan Lahan Kritis

Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa lembaga-lembaga tingkat provinsi

(40)

95 0,405 0,481 0,114 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 Bobot Pusat Provinsi Kabupaten

Bila yang ditandai dengan bobot tertinggi (0,481) seperti ditunjukkan Gambar 15.

Gambar 15. Hasil pembobotan sebagai indikator peran lembaga pemerintah dalam penerapan fungsi manajemen rehabilitasi lahan kritis DAS Bila.

Selanjutnya hasil analisis ISM (Tabel 13) menunjukkan empat lembaga

tingkat provinsi yang sangat berperan dalam implementasi kebijakan pengelolaan lahan kritis DAS Bila, yaitu: (1) Dinas Kehutanan, (2) Dinas Pertanian, (3) Bapedalda, dan (4) Bappeda. Keempat lembaga ini berkoordinasi dengan lembaga pusat yang ada di daerah (BRLKT dan Sub BRLKT sekarang BP-DAS Jeneberang-Walanae) di posisi independent.

Daerah aliran sungai Bila merupakan DAS lintas kabupaten yang meliputi Kabupaten Enrekang, Sidenreng Rappang, dan Wajo, sehingga menurut Pasal 13 ayat (1) UU. No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, perencanaan dan

pengendaliannya merupakan kewenangan provinsi. Dominasi peran lembaga-lembaga tingkat provinsi dalam pengelolaan lahan kritis lintas daerah, sebagaimana diatur pada Pasal 3 ayat (1) PP. No. 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemeritah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dapat dijelaskan

bardasarkan Kepmenhut. No. 20/Kpts-II/2001 Tentang Pola Umum dan Standar Serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan, bahwa meskipun ada perbedaan

(41)

96

kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten namun pelaksanaannya harus dalam kerangka komitmen kerjasama.

Mekanisme kewenangan pemerintah dalam rehabilitasi hutan dan lahan dapat ditunjukkan pada Gambar 16, dimana pemerintah pusat memiliki empat kewenangan, sedangkan provinsi dan kabupaten masing-masing tiga kewenangan.

Gambar 16. Alur pikir/mekanisme kewenangan pemerintah terhadap rehabilitasi hutan dan lahan (Lampiran Kepmenhut. No. 20/Kpts-II/2001).

Meskipun demikian dari sisi penerapannya, tidak berarti bahwa kewenangan pusat lebih luas dari provinsi dan/atau kabupaten. Kewenangan pemerintah pusat meliputi perencanaan dan penetapan acuan berupa prosedur yang bersifat makro, sedangkan kewenangan provinsi mendominasi ditiga fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, menyusul kewenangan kabupaten yang meliputi penyusunan proposal dan pelaksanaan teknis kegiatan di lapangan.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa adanya dominasi peran lembaga tingkat provinsi tidak bertentangan dengan kewenangan yang diamanatkan

LAHAN KRITIS

Kewenangan Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten dalam Rehabilitasi Hutan dan Lahan Menurut PP.No. 25 Tahun 2000

KEWENANGAN PROVINSI 1.Menyusun pedoman

penyeleng-garaan Pengelolaan DAS terma-suk RHL

2.Penyelengg. dan pengawasan Pengel DAS termasuk RHL 3.Fasilitasi dan pelatihan teknis

KEWENANGAN KABUPATEN 1.Menyusun proposal kegiatan RHL

secara partisip & spesifik lokasi 2.Melaksanakan & menjamin

ke-berhasilan kegiatan RHL yang mandiri & partisipatif 3. Fasilitasi dan pelatihan teknis KEWENANGAN PUSAT

1.Menyus. perenc makro Pola RHL 2.Penetapan kriteria dan standar

kinerja Pengel.DAS dan RHL 3.Pengawasan dan Pengendalian

Pengel.DAS dan RHL 4.Fasilitasi & bimbingan

KOMITMEN KERJASAMA

(42)

97

dalam UU. No. 32 Tahun 2004, PP. No. 25 Tahun 2000, dan Kepmenhut No. 20/Kpts-II/2001. Namun dalam pelaksanaannya harus dalam kerangka kerjasama

lintas sektor bahkan lintas daerah. Hal inilah yang tidak dilakukan di DAS Bila selama ini, dimana lembaga provinsi yang mendominasi peran tidak melibatkan aparat pemerintah daerah di tiga kabupaten (Enrekang, Sidenreng Rappang dan Wajo) baik dalam hal penyusunan Pola RLKT, maupun RTL-RLKT. Pola RLKT memuat rekomendasi kebijakan: (1) arahan umum penggunaan lahan/RLKT, (2) urutan prioritas penanganan sub DAS, dan (3) pengembangan sosial ekonomi, sedangkan RTL-RLKT memuat: (1) rekomendasi teknis kegiatan RLKT, (2) analisis manfaat ekonomi, dan (3) rencana monitoring dan evaluasi.

Tidak dilibatkannya lembaga ditiga kabupaten sebagaimana disebutkan di atas, mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan tidak dapat dikoordinasikan, tidak diadopsi bahkan dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan lembaga masing-masing sektor di tiga kabupaten. Inilah akar masalah bahwakegagalan program rehabilitasi lahan kritis DAS Bila, berkaitan erat dengan lemahnya fungsi perencanaan. Hasil analisis AHP menunjukkan bahwa lemahnya fungsi perencanaan teridentifikasi

melalui besarnya bobot yang diperoleh (0,534) dibandingkan dengan fungsi manajemen lainnya seperti tersaji pada Gambar 17.

Perencanaan adalah fungsi manajemen yang terpenting dan mendasari fungsi manajemen lainnya (David 1998, Swastha dan Sukotjo, 2000). Karena itu dalam merehabilitasi lahan kritis DAS Bila, harus dimulai melalui pengefektifan fungsi perencanaan. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa lemahnya perencanaan sangat ditentukan oleh adanya dominasi peran lembaga-lembaga di

(43)

98 0,534 0,311 0,155 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 Bobot Perencanaan Pelaksanaan Pengaw asan

tingkat provinsi, yang gagal membangun koordinasi baik antar sektor lebih-lebih antar kabupaten.

Gambar 17. Hasil pembobotan sebagai indikator lemahnya fungsi manajemen rehabilitasi lahan kritis DAS Bila.

Menurut Darajati (2001) koordinasi adalah kunci utama keberhasilan program pengelolaan DAS. Fungsi koordinasi yang berjalan tidak efektif menyebabkan program pengelolaan lahan kritis DAS Bila mulai dari perencanaan sampai ke tahap pengawasan mengalami banyak hambatan. Lemahnya perencanaan yang menyebabkan lemahnya ikatan koordinatif atau sebaliknya, merupakan lingkaran setan (vicious circle) sulit menentukan mana ujung dan pangkalnya.

Lemahnya perencanaan rehabilitasi lahan kritis DAS Bila, juga berkaitan dengan kebijakan yang top-down. Berdasarkan hasil analisis AHP, kebijakan yang top-down merupakan kriteria lemahnya perencanaan yang berada di urutan ketiga

berdasarkan tingkat pusat, dan tingkat kabupaten, sedangkan di tingkat provinsi berada di urutan keempat (lampiran 8). Kebijakan yang top-down adalah proses

perencanaan pembangunan yang berawal ketika pada level pemerintahan yang lebih tinggi menetapkan acuan/kebijakan secara sepihak untuk diimplementasikan

(44)

99

pada level di bawahnya. Perencanaan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah DAS Bila yang disusun berdasarkan pola dan acuan dari atas menimbulkan permasalahan, khususnya terhadap pelaksanaan di lapangan yang tidak sesuai dengan karakeristik biofisik dan sosial DAS. Karena itu banyak program yang tidak terlaksana dan/atau terlaksana tetapi tidak membawa hasil sesuai dengan tujuan yang direncanakan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab utama ketidakberhasilan pengelolaan lahan kritis DAS Bila dari segi fungsi manajemen adalah lemahnya kinerja perencanaan. Hal ini sebagai akibat adanya dominasi peran lembaga tingkat pusat dan provinsi, tanpa melibatkan lembaga tingkat kabupaten yang ada di wilayah DAS Bila (Enrekang, Sidenrang Rappang, dan Wajo). Ketidakterlibatan lembaga tingkat kabupaten dalam perumusan kebijakan (RTL-RLKT) mengakibatkan koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila semakin tidak efektif.

Fungsi Koordinasi dalam Pengelolaan Lahan Kritis Kinerja fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila

Sebagaimana dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa proses penyusunan Pola RLKT DAS Bila oleh BRLKT dan penyusunan RTL-RLKT oleh Sub BRLKT dikoordinasikan hanya sampai pada stakehoders tingkat provinsi,

tanpa melibatkan lembaga terkait di kabupaten. Semua ini merupakan gejala lemahnya fungsi koordinasi.

(45)

100 1,67 1,75 1,58 1,63 1 2 3 4 5

Tugas Pokok Kegiatan Sumberdaya Rata-rata

Skala Penilaian Koordinasi

Nilai Koordinasi

Selanjutnya fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila dievaluasi berdasarkan penilaian terhadap 24 pakar atas tiga kriteria koordinasi yaitu tugas pokok (task), kegiatan (activity) dan dan sumberdaya (resources)

(Malone dan Crowston 1993). Hasilnya menujukkan bahwa nilai skor rata-rata 1,63, berarti fungsi koordinasi sangat lemah (Gambar 18 dan Lampiran 7).

Keterangan:

1 = Sangat lemah 4 = Baik

2 = Lemah 5 = Sangat baik 3 = Cukup baik

Gambar 18. Skor penilaian fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

Faktor-faktor yang mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi

Lemahnya fungsi koordinasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa dari 18 faktor yang diduga, ada 13 di antaranya

yang mempengaruhi fungsi koordinasi berdasarkan frekuensi driver power dan dependence, seperti tersaji pada Gambar 19. Untuk melihat posisi masing-masing

faktor dalam mempengaruhi fungsi koordinasi, dilakukan pemisahan ke-18 faktor tersebut berdasarkan matriks driver power – dependence (DP-D)), seperti tersaji

(46)

101 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 F rek uens i Keterangan driv er power 16 11 14 2 4 13 14 9 11 7 14 18 4 13 15 18 12 13 dependent 9 14 8 16 16 12 10 14 9 15 11 5 15 10 14 4 14 13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Faktor-faktor di posisi independent yang mempengaruhi fungsi koordinasi pengelolaan lahan kritis

Hasil analisis ISM menunjukkan bahwa ada empat faktor di posisi independent yang mempengaruhi lemahnya fungsi koordinasi, yaitu (1) lemahnya

komitmen aparat pemerintah, (2) ketidakjelasan lembaga koordinator, (3) adanya konflik horizontal, dan (4) ketidakterlibatan lembaga dalam perencanaan, dengan rata-rata bobot DP = 0,85 dan D = 0,36 (Gambar 20 dan Tabel 14).

Keempat faktor ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap lemahnya fungsi koordinasi dan kebergantungan pada faktor lainnya kecil. Dua di antara keempat faktor tersebut, merupakan faktor kunci yaitu (1) ketidakjelasan lembaga

Gambar 19. Frekuensi driver power-dependence sebagai indikator pengaruh

setiap faktor terhadap fungsi koordinasi dalam pengelolaan lahan kritis DAS Bila.

*) Keterangan

1 = Adanya kebijakan yang top-down

2 = Lemahnya pengorganisasian 3 = Ketidakterlibatan

lembaga/ins-tansi dalam perencanaan 4 = Lemahnya fungsi operatif institusi 5 = Lemahnya fungsi regulatif institusi 6 = Rendahnya kualitas SDM 7 = Adanya sikap sektoralisentris 8 = Konflik vertikal

9 = Konflik horizontal

10 = Heterogenitas organisasi (multisektor) 11 = Lemahnya kontrol vertikal

12 = Ketidakjelasan lembaga koordinator 13 = Ketergantungan pada juklak/juknis 14 = Kesenj. kebijak. RLKT dan kebijak. sektor 15 = Lemahnya dukungan insentif

16 = Lemahnya komitmen aparat pemerintah 17 = Kurangnya pembinaan

Gambar

Gambar 7. Peta penggunaan lahan DAS Bila Sulawesi Selatan Tahun 2003.
Tabel 10. Tingkat kepadatan penduduk DAS Bila menurut kecamatan Tahun 2003
Gambar 8.  Peta kepadatan penduduk DAS Bila Tahun 2003
Tabel 11.  Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di DAS Bila Tahun 2003  Jenis Mata Pencaharian   Jumlah (jiwa)  Persentase (%)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Lihat apakah rekomendasi atau tindak lanjut dalam laporan tinjauan manajemen sudah sesuai dengan masalah yang ada (temuan audit, keluhan

7) Pengolahan data angket siswa dan hasil posttest Dari hasil uraian presentase di atas dapat disimpulkan bahwa dari semua aspek angket.. Sedangkan pada hasil

Dapatan kajian menunjukkan bahawa faktor kebolehan menunjukkan sumbangan tahap keberkesanan pemindahan pembelajaran yang sangat positif dengan purata min sebanyak

Saya bertugas di SMPN 5 Satu Atap Medang Deras ini sudah hampir 4 tahun. Perilaku membolos yang sering terjadi di sekolah ini yaitu siswa atau siswi yang

Berdasarkan hasil uji Annova terlihat bahwa variabel independen Peran Pemerintah yang terdiri dari Kemitraan, Ekonomi dan Informasional secara serentak berpengaruh

Pada hasil pengujian, logika fuzzy menggunakan metode sugeno mampu digunakan sebagai pendeteksi dalam menentukan serangan DDOS berbasis HTTP dengan tingkat

Hasil perhitungan koefisien validitas yang telah diuji cobakan pada soal tes kemampuan pemecahan masalah matematika dengan penggunaan metode pemodelan yang