i
TUKANG PIJAT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh :
Veronica Lina Ferianti
NIM : 999114139
NIRM : 990051121705120136
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
STUDI DESKRIPTIF
KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI
TUKANG PIJAT
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Oleh :
Veronica Lina Ferianti
NIM : 999114139
NIRM : 990051121705120136
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan bagi
:
First of all, Jesus Christ, My Savior, My Strenght
Mama & Papa tercinta, yang senantiasa dengan sabar “
menungguku “
Mas Donni-ku tersayang, yang begitu penuh pengertian
dan penyabar
Adik-adikku ( Tinton, Nova, Oren )
Semuanya
MOTTO
“Kegagalan adalah suatu keberhasilan yang tertunda.
Jangan ucapkan kata menyerah
jika belum mencoba dan berusaha
Tuhan tidak akan pernah meninggalkan anak-anakNya,
terutama yang mengalami kesulitan dan mau berusaha
Tuhan senantiasa mencintai kita semua apapun adanya
Yakinlah... Tuhan senantiasa memberikan jalan terbaik
bagi kita”
Amien.
“ Bapa akan lebih bersukacita jika satu orang memilih
untuk mengasihiNya dan tetap mengasihiNya meskipun
berada di tengah kesulitan dibandingkan jika semua
keindahan ciptaanNya digabungkan menjadi satu.”
(Dikutip dari Donna Partow,
Ini Bukan Hidup yang Aku pilih
)
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan
layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 29 Oktober 2007
Penulis,
Veronica Lina Ferianti
ABSTRAK
STUDI DESKRIPTIF
KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA
SEBAGAI TUKANG PIJAT
Oleh :
Veronica Lina Ferianti
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2007
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada tuna
netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis, moral, dan sosial.
Konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsi, dan dialami oleh individu.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif
berupa studi deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang tuna netra yang
bekerja sebagai tukang pijat di Muntilan. Subjek penelitian diambil berdasarkan
kesesuaiannya dengan tujuan penelitian, dengan kriteria sebagai berikut : berumur 35-60
tahun, buta total, dan bekerja sebagai tukang pijat. Pengambilan data menggunakan
metode wawancara semi-terstruktur. Analisis data wawancara dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut : kategori data sejenis, rekapitulasi data, interpretasi data dan
penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa konsep diri pada tuna netra yang
bekerja sebagai tukang pijat adalah positif baik dalam aspek fisik, psikis, moral dan
sosial.
Kata kunci
: konsep diri; tuna netra.
ABSTRACT
DESCRIPTIVE - STUDY
SELF-CONCEPT IN THE BLIND PERSON
WHO WORK AS A MASSEUR
By :
Veronica Lina Ferianti
Psychology Faculty
Sanata Dharma University
Yogyakarta
2007
The purpose of this research was to know the description of the self-concept in the
blind person who work as a masseur in physical, psychic, moral, and social aspects.
Self-concept is how self as observed, percepted, and experienced by the individu.
The method of this research is qualitative description method using
descriptive-study approach. The subject of this research was a blind person who work as a masseur in
Muntilan. The subject used in this research leads to the suitability of the purpose of the
research, with the following criterias : middle adulthood average 35-60 years old, totally
blind person, and work as a masseur. Interview method used here is semi-structural
method. This research used content analysis data method which is analyzed the whole
data that gained from the interview method by the following steps : category of the same
data, , recapitulation of data, interpretation of data and the making of conclusion.
The result of this research found that the description of self-concept in the blind
person who work as a masseur is possitive in physical, psychic, moral, or social aspects.
Key word
: self-concept; blind person.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, penulis akhirnya
dapat menyelesaikan tugas ini meskipun memerlukan waktu yang panjang dan penuh
tantangan.
Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah mendukung dan membantu kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini yang
berjudul Konsep Diri pada Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat guna
memenuhi persyaratan kelulusan memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui gambaran
konsep diri pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, aspek
psikis, aspek moral, dan aspek sosial. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
ucapan syukur dan terima kasih kepada :
1.
First of all, tentu saja kepada
Tuhan Yesus Kristus
, terima kasih dan puji
syukur kami ucapkan.
Mukjizat itu nyata
!!! Engkau menjadikan segala sesuatu
yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terima kasih Tuhan atas berkah karunia
yang Engkau berikan bagi kami. Sungguh berlimpah. Terima kasih atas kesempatan
ini. Terima kasih karena Engkau senantiasa mendampingiku dan menguatkanku.
Maafkan saya jika saya banyak sekali mengeluh dan kurang tekun serta kurang
sabar terutama dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih Tuhanku, Engkau
memang Yang Terbaik. I love You.
2.
Bpk. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si
. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma, yang sekiranya telah berkenan membantu memberi
kesempatan dan kelonggaran bagi kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini.
Terima kasih Pak !!! Tuhan memberkati.
3.
Ibu Sylvia Carolina MYM, M. Si.
selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma, yang sampai saat ini sangat membantu membuka
kesempatan dan jalan bagi kami anak-anak Angkatan ’99 untuk menyelesaikan
kuliah kami. Terima kasih Bu !!! Tuhan pasti membalas kebaikan Ibu. God bless
you. Pasti kami Angkatan ’99 akan ingat jasa Ibu selalu. Sukses ya Bu!!!
4.
Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Si., Psi.
selaku Dosen
Pembimbing Skripsi saya, Anda sungguh penyabar Bu, terima kasih telah
membantu saya dengan sabar dan penuh pengertian menghadapi kebandelan saya
dalam mengerjakan skripsi ini. Mungkin banyak sekali kata-kata maupun sikap saya
yang kurang berkenan di hati Ibu, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih
Bu !!! God bless you.
5.
Ibu A. Tanti Arini, S. Psi.
selaku Dosen Pembimbing Akademik
Angkatan ’99, terima kasih atas segala sumbang saran dan nasehat yang Ibu
berikan, sungguh sangat melegakan dan menenangkan kami. Terima kasih.
6.
Dr.
A. Supratiknya dan V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. Si.
selaku
dosen penguji skripsi yang telah membantu kelancaran skripsi saya.
7.
Pihak Rektorat
yang cukup membantu kami dan meskipun cukup
membuat kami stres tapi saya percaya itu yang terbaik bagi kami. Terima kasih
8.
Staff Karyawan Fakultas Psikologi
:
Mbak Nanik
(matur nuwun sanget
kawula asring dipun emutaken, matur sembah nuwun),
Mas Gandung
(yang selalu
sabar dan ramah melayani dan membantu kami Angkatan ’99, terima kasih Mas),
Mas Muji
(terima kasih banyak, maaf tape recordernya telat ngembalikannya),
Mas Doni
(terima kasih buku-bukunya ya!!), dan tentu saja
Pak Gie’
(nuwun).
9.
Mama dan Papa tercinta,
terima kasih atas segala kesabaran dan kasih
sayang yang kalian berikan, terima kasih. Maafkan segala kesalahan dan
kekurangan saya selama ini. Lina masih belum mampu membalas kebaikan mama
papa. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan, keselamatan, kesabaran,
kekuatan dan kebahagiaan. Amin. (Ma...yang tabah ya? Sabar, Tuhan pasti berkati
mama selalu, Tuhan sayang mama, aku juga...pasti!!!)
10.
Mas Donni
-
ku tersayang
, yang selalu sabar dan telaten mendampingiku.
Terima kasih atas segala doa, perhatian dan pengertiannya. Maafkan segala
kesalahan dan kebandelanku ya, aku emang “ngeyelan” banget!! Aku sayang Mas.
Semoga impian kita dapat tercapai dan senantiasa diberkati dan direstui oleh Tuhan.
Amin.
11.
Teman-teman seperjuangan Angkatan ’99
:
Achie
(thanks banget ya Chie
buat semangatnya. Buat aku kamu hebat, tabah banget, aku salut. GBU, thanks),
Melly
(you’re a tuff girl, thanks),
Ika
(thanks buat inspirasi semangatnya, siiip!!),
Daniel
(thanks buat saran, semangat dan idenya Den!),
Rani, Ana, Della, Asti,
Thesa, Vincent
(Don’t give up! You’re a great friend!)
, Yun, Uni, Toni, Andi,
Zey, Vidi, Dian, Milli, Adi Kadal, Abas, Yopie
& husband (kalian semua hebat,
thanks for being my truly friends). Thanks Guys !!! God bless you everywhere.
12.
Adik-adikku tersayang :
Tinton, Nova, Oren, Ambar, Wisnu, Ari
(thanks for your supports). I love you all.
13.
Bulik Aci & Om Pateng
di Madiun dan
Bulik Naok
di Malang (thanks
for your supports). GBU!!!
14.
Mbah Kakung, Mbah Putri, Bpk/ Ibu Riyadi
matur nuwun sampun
maringi donga pangestu kagem putra, matur nuwun sanget. Novenanipun lancar
nggih, nuwun. Tak lupa seluruh
keluarga besar Yulius Karso Utomo
terima kasih
atas doanya.
15.
Teman-temanku yang ngga’ pernah mati, you’re always be my friends
forever :
Sari, Vika “Pikachu”, Desy “Chucumy”, Lina “Khumir”, Tere, Nana,
Wahyu, Andre, Adi, Agus, Fajar, Arum, Didi, Nina, Joko & anak-anak GK
1A.
Yarto,
thanks dah bantu ngrawat komputerku, thanks banget.
Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat dan memperkaya khasanah ilmu
pengetahuan, khususnya tentang Konsep Diri pada Tuna Netra yang Bekerja sebagai
Tukang Pijat. Mungkin masih banyak kekurangan, penulis mengucapkan maaf yang
sebesar-besarnya. Apabila ada sumbangan saran maupun kritik yang membangun, penulis
terbuka untuk menerimanya. Akhir kata terima kasih atas perhatian yang diberikan dan
selamat membaca.
Yogyakarta, 29 November 2007
Hormat saya,
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii
HALAMAN PENGESAHAN...iii
HALAMAN PERSEMBAHAN...iv
HALAMAN MOTTO...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi
ABSTRAK...vii
ABSTRACT...viii
KATA PENGANTAR...ix
DAFTAR ISI...xii
DAFTAR TABEL...xvi
BAB I. PENDAHULUAN...1
A.
Latar Belakang Masalah...1
B.
Rumusan Masalah...6
C.
Tujuan Penelitian...7
D.
Manfaat Penelitian...7
BAB II. DASAR TEORI...
A.
Konsep Diri...9
1.
Definisi Konsep Diri...9
2.
Perkembangan dan Pembentukan Konsep Diri...11
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri...12
4.
Aspek-aspek Konsep Diri...18
5.
Jenis-jenis Konsep Diri...21
6.
Ciri-ciri Konsep Diri...21
B.
Dewasa Madya...22
1.
Definisi dan Batasan Dewasa Madya...22
2.
Ciri-ciri Dewasa Madya...25
3.
Tugas Perkembangan Dewasa Madya...26
C.
Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...27
1.
Definisi Tuna Netra...27
2.
Masalah yang Dialami Tuna Netra...28
3.
Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...30
D.
Konsep Diri Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...32
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...37
A.
Metode Penelitian...37
B.
Definisi Operasional...37
C.
Subjek Penelitian...38
D.
Metode Pengumpulan Data...40
E.
Prosedur Penelitian...43
F.
Metode Analisis Data...43
G.
Keabsahan Data...44
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...47
A.
Pelaksanaan Pengambilan Data...47
B.
Identitas dan Latar Belakang Subjek...47
C.
Hasil Analisa Koding Wawancara...50
D.
Pembahasan...64
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...70
A.
Kesimpulan...70
B.
Saran...71
DAFTAR PUSTAKA...73
LAMPIRAN
A.
Transkrip Verbatim
B.
Koding Transkrip Verbatim
C.
Hasil Observasi
D.
Surat Pernyataan Subjek Penelitian
E.
Surat Keterangan Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 1
. Skema Konsep Diri………..36
Tabel 2
. Tabel Rangkuman Hasil Analisa Wawancara………..61
Tabel 3.
Tabel Pedoman Wawancara……….77
Tabel 4.
Tabel Kode Wawancara Konsep Diri………..81
1 A.Latar Belakang Masalah
“ Saya termasuk penyandang cacat. Juga istri saya. Tetapi, kami membuktikan, kami mampu memberikan hasil yang sama dengan orang yang tidak cacat...”
(Wahid, 2006)
Jumlah penyandang cacat di Indonesia tidak sedikit. Menurut WHO
jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta orang atau
10 % total keseluruhan penduduk Indonesia. Sementara data dari Departemen
Sosial RI mencatat jumlah penyandang tuna netra di Indonesia sekitar 1,5 %
Berdasarkan data dari BPS (Balai Pusat Statistik) saat ini terdapat sekitar
197.080 orang penyandang tuna netra di Indonesia. Dan dari total penyandang
tersebut, hanya sekitar 1 % atau 2.046 orang saja yang belajar pada pendidikan
terpadu dan SLB. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa perhatian terhadap
penyandang tuna netra di Indonesia masih kurang dan belum maksimal,
meskipun telah ditetapkan UU no. 4 Tahun 1997 tentang rehabilitasi
vokasional (pelatihan) dan kesempatan kerja bagi penyandang tuna netra di
Indonesia (Yuqi, 2004).Di lain pihak, Mulyani (2004) mengatakan bahwa
berdasarkan data BPS, tuna netra di Indonesia tahun 1998 terdapat 1.8884.557
jiwa atau 0,90 % dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (data BPS tahun
Tarsidi (2005), Ketua Pertuni, yang juga seorang tuna netra mengatakan
bahwa di Indonesia kesempatan kerja sempit dan adanya persepsi yang keliru
yang berkembang di masyarakat membuat para tuna netra selalu menjadi
“warga kelas 2“. Begitu juga perlunya UU No. 4 Tahun 1997 diamandemen
karena dirasa belum menjamin hak penyandang cacat. Sebagian besar
masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa tuna netra meski telah diberi
rehabilitasi (termasuk rehabilitasi pendidikan dan vokasional) tetap saja tidak
dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif. Lapangan
pekerjaan pun tertutup, pelamar yang “normal“ lebih diutamakan, penyandang
cacat dipandang lemah, hina, bernasib sial, tidak produktif dan tidak mandiri
(Wahid, 2006). Akibatnya, mereka ditempatkan sebagai warga yang
senantiasa harus disantuni sehingga di bidang tenaga kerja, kesempatan dan
peluang kerja yang mereka miliki terbatas dibandingkan mereka yang
berpenglihatan normal. Ini berarti sampai saat ini pun konsep diri pada tuna
netra yang bekerja masih dianggap negatif.
Sejauh ini para penyandang tuna netra di Indonesia yang memperoleh
pendidikan dan pelatihan ketrampilan kerja di panti-panti sosial atau SLB di
bawah naungan Departemen Sosial atau Departemen Pendidikan kebanyakan
bekerja sebagai tukang pijat atau pengrajin sapu sesuai ketrampilan yang
diberikan. Peneliti pernah suatu kali berkunjung ke sebuah panti sosial bagi
tuna netra dan tuna rungu wicara di Purworejo dan memang ketrampilan kerja
yang diberikan hanya sebatas itu, di samping pemberian materi pendidikan
yang lebih dapat mengembangkan potensi dan bakat tuna netra di Indonesia.
Hal inilah yang menjadi keprihatinan terhadap perlakuan pemerintah terhadap
tuna netra di Indonesia. Dari hasil penelitian PKPC Riau (2007), sebagian
besar difabel (324 orang) menyatakan tidak ikut dalam organisasi apapun
karena tidak mengetahui di mana tempat organisasi yang sesuai dengan
difabel. Jenis pekerjaan terbesar yang disandang para difabel yang ada di
Kotamadya Pekanbaru adalah tukang pijat (sebanyak 33 orang) dan pedagang
atau sektor usaha jasa lainnya secara keseluruhan berjumlah 33 orang.
Sudharmono (1983) mengatakan bahwa peningkatan kecemasan
merupakan ciri utama dari kepribadian tuna netra. Oleh karena itu, perhatian
terhadap perkembangan diri tuna netra harus lebih ditingkatkan lagi demi
kelangsungan hidup dan masa depannya. Apabila tidak ada penanganan
khusus, hal ini akan mengakibatkan timbulnya berbagai kendala psikologis
seperti depresi, inferior, atau hilangnya makna hidup, dan sebagainya
(Nugroho, 2002). Perasaan-perasaan semacam ini dapat mempengaruhi
pandangan atau konsep diri seseorang terhadap dirinya baik positif maupun
negatif. Konsep diri menurut Fitts (1971 dalam Hendrato, 2005) adalah
bagaimana diri diamati, dipersepsi, dan dialami oleh individu tersebut. Makna
konsep diri mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku
seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.
Ada beberapa aspek konsep diri menurut Berzonsky (dalam Hendrato,
2005) yaitu aspek fisik, aspek psikis, aspek moral dan aspek sosial. Aspekfisik
tubuh, kesehatan, dan sebagainya. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan
sikap yang dimiliki individu tentang dirinya. Aspek moral meliputi nilai dan
prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang. Aspek sosial
meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu, interaksinya
dengan lingkungan, dan penilaian individu terhadap peranan tersebut.
Konsep diri pada tuna netra baik positif maupun negatif akan
berpengaruh pada penyesuaian diri, terutama dalam interaksinya dengan orang
lain yang akan berdampak pada kebahagiaan hidupnya. Konsep diri akan
menjadi positif apabila tuna netra mampu melewati masa tersebut dengan
tidak menjadi depresi, inferior, terasing, dan sebagainya. Ia mampu mengenal
dirinya dengan baik, mengetahui segala kelebihan dan kekurangannya
sehingga mampu melakukan penyesuaian diri yang baik.
Sasraningrat (1983) mengatakan bahwa ada beberapa indikator tuna
netra yang sudah dapat menerima keadaannya secara realistik, yaitu seorang
tuna netra tidak lagi memperbincangkan atau mempermasalahkan ketunaannya
bila ditanya, dengan santai, terbuka dan sangat wajar menceritakan
pengalaman kebutaannya, tanpa ragu menyatakan dirinya seorang tuna netra
dan mampu menunjukkan toleransi dalam menghadapi orang awas (normal)
yang kurang sopan atau kurang pengertian terhadap dirinya dan
ketunanetraannya. Beberapa indikator tersebut menunjukkan adanya konsep
diri positif pada tuna netra.
Di lain pihak, konsep diri tuna netra akan menjadi negatif apabila ia
pada orang lain, dan tidak mempunyai keyakinan pada diri sendiri.Tentu saja
hal tersebut akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam melakukan
penyesuaian diri dengan baik. Havighurts (dalam Wellykin, 2003) mengatakan
bahwa konsep diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem) akan menjadi
rendah atau negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas
perkembangannya dengan baik, karena orang tersebut mendapat kecaman dan
celaan dari masyarakat di lingkungannya. Dari hasil penelitian Dopson dan
Shaw (dalam Coulhoun, 1990) ditemukan bahwa konsep diri yang negatif
seringkali berhubungan dengan depresi klinis. Atau seseorang akan merasa
cemas terus-menerus karena menghadapi informasi tentang dirinya yang tidak
dapat diterimanya dengan baik dan mengancam konsep dirinya. Oleh karena
itu, penyandang tuna netra yang diberikan pendidikan yang layak dan
ketrampilan khusus atau rehabilitasi sejak dini akan membantu mereka dalam
membangun konsep diri yang positif sehingga mempermudah interaksi dan
penyesuaian yang baik dengan orang lain. Dukungan dan peran dari orang
terdekat seperti keluarga, teman, atau saudara sangat penting dalam membantu
perkembangan kepribadian dan psikologisnya, terutama dalam pembentukan
konsep diri positif. Penilaian dan penerimaan yang positif dan kondusif
terhadap tuna netra juga akan meningkatkan konsep diri positif.
Sebagai seorang dewasa, tuna netra pun dituntut untuk mampu
menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya dan mampu melaksanakan
tugas-tugas perkembangannya dengan baik, antara lain berkaitan dengan
pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan atau mandiri secara finansial
dan psikis. Oleh karena itu, konsep diri yang positif sangat diperlukan dalam
mengatasi masalah-masalah
Masih banyak orang yang belum tahu kalau seorang tuna netra jika
diberi kesempatan untuk menekuni satu bidang pekerjaan, maka ia akan sangat
bersungguh-sungguh dan menjadi tenaga kerja yang tidak kalah bahkan lebih
produktif dibanding orang yang bukan tuna netra. Dalam situs Mitra Netra
terdapat bukti-bukti bahwa ada beberapa tuna netra yang bekerja sebagai
operator telepon di beberapa perusahaan di Jakarta seperti PT. Indosiar Visual
Mandiri, Bank Muamalat, Rumah Sakit Hermina, dan lain-lain. Tercatat
kurang lebih 16 perusahaan di Jakarta yang telah menerima 29 tuna netra dan
1 perusahaan pertambangan batubara di Sawah Lunto yang dilatih oleh
Yayasan Mitra Netra (Kompilasi Dokumen Naker, 2005) Hal ini didukung
dengan adanya hasil penelitian Hendrato (2005) tentang konsep diri remaja
tuna rungu, yang juga memiliki keterbatasan fisik yang hampir sama dengan
tuna netra. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa remaja tuna rungu
secara umum memiliki konsep diri yang positif walaupun mereka menyadari
bahwa mereka memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat mendengar.
Faktor-faktor yang menyebabkan remaja tuna rungu memiliki konsep diri positif
adalah adanya dukungan dan pembelajaran yang baik dari keluarga, sekolah
dan lingkungan sosial mereka.
Berdasarkan uraian di atas peneliti melihat bahwa tuna netra yang
diberikan pelatihan dan kesempatan kerja yang lebih baik layaknya orang
normal, karena mereka akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Di sini
peneliti tertarik untuk meneliti gambaran konsep diri pada tuna netra yang
bekerja sebagai tukang pijat dalam beberapa aspek (fisik, psikis, moral dan
sosial) karena peluang kerja dan profesi tuna netra kebanyakan adalah sebagai
tukang pijat sesuai dengan pelatihan dan ketrampilan yang diberikan sewaktu
berada di panti sosial.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat
dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran konsep diri
yang dimiliki tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik,
psikis, moral dan sosial?
C.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep
diri seperti apa yang dimiliki oleh tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat
D.Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini dapat menambah wacana tentang tuna netra,
terutama mengenai gambaran konsep diri pada tuna netra yang
bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis, moral dan
sosial.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan baru
bagi penyandang tuna netra sendiri terutama yang bekerja sebagai
tukang pijat, para pendidik dan praktisi bidang rehabilitasi tuna
netra, psikolog, dokter yang menangani tuna netra maupun peneliti
sendiri bahwa aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan oleh tuna
netra yang bekerja sebagai tukang pijat menunjukkan adanya
9
A.Konsep Diri
1. Definisi Konsep Diri
Konsep diri menurut Wahyurini dan Mashum (2003) adalah
semua perasaan dan pemikiran individu akan dirinya meliputi
kemampuan, karakter diri, tujuan hidup, kebutuhan dan
penampilan diri. Konsep diri adalah self image (citra diri) yang
merupakan gambaran :
a. Siapa saya, yaitu bagaimana individu menilai keadaan pribadi
seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi, keluarga
atau peran lingkungan sosial individu.
b. Saya ingin menjadi apa, yaitu individu memiliki
harapan-harapan ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak
realistis.
c. Bagaimana orang lain memandang saya, yaitu menunjukkan
pada perasaan keberartian diri individu bagi lingkungan sosial
maupun diri sendiri.
Menurut Rakhmat (2003), konsep diri bukan sekedar
gambaran deskriptif saja tetapi juga penilaian individu tentang
dirinya sendiri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan individu
didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau
penilaian seseorang terhadap dirinya.
Konsep diri merupakan sikap dan keyakinan individu
terhadap dirinya sendiri yang mencakup seluruh pandangan tentang
kelemahan dan kelebihannya. Sikap dan keyakinan individu yang
negatif terhadap kualitas dan kemampuan individu dalam
menghadapi sesuatu akan mengakibatkan individu memandang
bahwa tugas yang dihadapinya merupakan sesuatu yang sulit,
tetapi sebaliknya jika ia memandang tugas tersebut sebagai sesuatu
yang positif berarti ia mempunyai sikap dan keyakinan yang
positif terhadap dirinya. Individu akan berhasil apabila konsep diri
seseorang sesuai dengan karakteristik diri dan sesuai dengan
kenyataan yang ada. Namun jika terjadi kesenjangan antara konsep
diri dengan kenyataan, maka individu akan mengalami kecemasan
dan akhirnya melakukan mekanisme pertahanan diri (Rogers dalam
Hendrato, 2005).
Berdasarkan beberapa uraian dan definisi konsep diri di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah
keseluruhan pandangan, penilaian, keyakinan dan perasaan
seseorang mengenai dirinya baik positif maupun negatif meliputi
kemampuan, karakter diri, harapan, tujuan hidup, kebutuhan dan
perasaan keberartian diri bagi lingkungan sosial maupun dirinya
perilaku seseorang yang tampak dari bagaimana cara ia
memandang diri dan kemampuannya.
2. Perkembangan dan Pembentukan Konsep Diri
Menurut Rini (2002) dan Hurlock (1996), konsep diri
seseorang terbentuk melalui proses belajar sejak masa
pertumbuhan dari kecil hingga dewasa dimulai dari
pengalaman-pengalaman seseorang terhadap lingkungan terdekatnya yaitu
lingkungan rumah dan anggota keluarga. Pola asuh orang tua serta
lingkungan dapat menjadi sumber informasi untuk menilai dirinya.
Individu cenderung memiliki konsep diri negatif apabila ia
dibesarkan dengan pola asuh yang keliru, kurang mendukung dan
negatif seperti orang tua suka marah-marah, menganiaya,
mengabaikan anak, dan lain-lain. Sebaliknya individu akan
memiliki konsep diri positif dan merasa bahwa dirinya berharga
apabila seseorang dibesarkan dengan pola asuh yang positif seperti
adil, menyayangi anak, mau menerima kegagalan atau kekurangan
anak, selalu memotivasi anak.
Ditinjau dari perkembangan individu, konsep diri seseorang
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia seseorang yang
sifatnya relatif stabil dan hanya mengalami sedikit perubahan
berkaitan dengan masalah penyesuaian diri, tekanan-tekanan
usia dewasa dini. Keberhasilan atau kegagalan individu dalam
menguasai tugas perkembangan seperti yang diharapkan akan
mempengaruhi konsep diri dan kebahagiannya saat itu maupun
tahun-tahun terakhir kehidupannya (Hurlock, 1996). Konsep diri
akan menjadi negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan
tugas perkembangannya dengan baik karena mendapat kecaman
dan celaan dari masyarakat di lingkungannya. Akibatnya orang
akan menjadi sedih dan tidak bahagia. Konsep diri dan harga diri
seseorang akan meningkat dan lebih ke arah positif apabila berhasil
dalam melakukan tugas perkembang sehingga seseorang akan
merasa bahagia.
Simon (2006) mengatakan bahwa konsep diri individu
bersifat dinamis yaitu dapat berubah dan berkembang setiap waktu.
Perubahan dan perkembangan ini berlangsung sejak anak mengenal
bahasa dan dapat melibatkan diri dalam interaksi sosialnya.
Semakin luas perubahan dan perkembangan diri individu maka
semakin rinci serta mantap pola konsep dirinya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Hurlock (1996) ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konsep diri antara lain adalah :
Usia kematangan seseorang bukan dinilai dari
banyak sedikitnya usia seseorang melainkan dilihat dari
bagaimana seseorang memandang dan menyikapi
permasalahan yang muncul dalam melakukan penyesuaian
diri dengan lingkungan. Konsep diri seseorang akan
menjadi positif apabila keyakinan dan kepercayaan
seseorang terhadap kualitas dan kemampuan dirinya tinggi
sehingga ia dapat mandiri dan tidak bergantung lagi dengan
bantuan orang lain. Konsep diri akan menjadi negatif
apabila seseorang merasa tidak mampu, mudah putus asa,
dan selalu merasa tergantung dengan bantuan orang lain.
b. Cacat tubuh
Tubuh atau fisik yang sempurna tentu saja akan
meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Oleh karena itu,
konsep diri seseorang akan positif apabila penilaian
maupun pandangan seseorang terhadap tubuhnya baik
meskipun terdapat cacat fisik sekalipun Seseorang yang
berkonsep diri positif cenderung lebih mampu menerima
kekurangan dalam dirinya di samping kelebihannya. Di lain
pihak, konsep diri seseorang akan menjadi negatif apabila
keadaan fisiknya tidak sesuai dengan apa yang
diinginkannya seperti buta, cacat kaki, hidung pesek, dan
c. Julukan
Nama julukan yang diberikan teman sebaya maupun
masyarakat pada seseorang dapat mempengaruhi konsep
diri seseorang. Konsep diri seseorang akan menjadi negatif
apabila ia tidak mampu menyikapi nama julukan yang
diberikan yang cenderung bersifat negatif dan tidak dapat
melakukan penyesuaian dengan baik. Ini berarti ia tidak
memiliki keyakinan yang kuat terhadap dirinya sendiri.
Biasanya ia akan menjadi pemurung, mudah tersinggung,
mudah putus asa, dan merasa tidak berarti. Konsep diri
akan menjadi positif apabila seseorang mampu menyikapi
julukan yang diterimanya dengan positif dan melakukan
penyesuaian diri dengan baik sehingga muncul perasaan
keberartian diri.
d. Hubungan dengan keluarga
Hubungan seseorang dengan keluarga yang positif
dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Misalnya,
adanya komunikasi yang baik, adanya kasih sayang yang
cukup antaranggota keluarga, dan lain-lain sehingga konsep
diri seseorang juga positif. Konsep diri menjadi negatif
apabila hubungan seseorang dengan keluarganya, misalnya
sering bertengkar, kurang kasih sayang, dan lain-lain.
berdasarkan pola hubungannya dengan orang terdekatnya
dalam keluarga.
e. Lingkungan masyarakat
Konsep diri positif jika penerimaan dan dukungan
masyarakat terhadap kelebihan maupun kekurangannya
juga positif. Namun konsep diri akan menjadi negatif
apabila lingkungan masyarakat cenderung memberikan
kecaman dan celaan sehingga orang akan menjadi sedih,
terasing dan tidak bahagia.
f. Kreativitas
Seseorang yang sejak anak-anak berlatih kreatif
akan mengembangkan perasaan individualitas dan identitas
yang memberikan pengaruh yang positif bagi konsep
dirinya. Seseorang akan memilki konsep diri yang negatif
jika sejak anak-anak selalu mengikuti pola yang diberikan
oleh lingkungan sehingga kurang memiliki perasaan
individualitas dan identitas.
g. Harapan dan cita-cita individu
Seseorang yang memiliki cita-cita yang realistis dan
benar-benar nengenal karakter pribadi dan kemampuannya
akan cenderung mempunyai keberhasilan dalam
kehidupannya. Ini berarti konsep dirinya lebih positif.
cita-cita dan harapannya tidak realistis karena dapat
menyebabkan timbulnya perasaan tidak mampu atau
mekanisme diri untuk menutupi kegagalannya.
Menurut Centi (1993) dalam Liawati (2006 ) mengatakan
bahwa beberapa faktor yang cukup berpengaruh dalam
pembentukan konsep diri seseorang adalah:
a. Orang tua
Penilaian orang tua kepada anak akan menjadi
sumber bagi seseorang dalam menilai dirinya. Konsep diri
seseorang akan positif jika orang tua secara tulus dan
konsisten menunjukkan cinta dan sayangnya kepada anak
sehingga mereka akan memandang dirinya pantas dicintai
baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain.
b. Saudara kandung
Bagaimana hubungan seseorang dengan saudara
kandung juga penting dalam pembentukan konsep diri.
Misalnya berkaitan dengan perlakuan terhadap anak sulung
sebagai pemimpin dan anak bungsu sebagai anak kecil yang
harus selalu dilindungi.
c. Teman sebaya
Dalam pergaulan dengan teman, apakah seseorang
dikagumi dan dihormati atau tidak dapat berpengaruh
d. Masyarakat
Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma yang
berlaku di masyarakat dan bagaimana penerimaan
masyarakat terhadap diri dan kecocokan cita-cita seseorang
dengan cita-cita masyarakat memiliki peranan penting
dalam penbentukan konsep diri.
e. Pengalaman
Pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri juga
dipengaruhi oleh pengalaman keberhasilan dan kegagalan
yang pernah dialami. Pengalaman keberhasilan dapat
mengembangkan konsep diri positif sedangkan pengalaman
kegagalan dapat mengarah pada pembentukan konsep diri
yang negatif.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan
konsep diri yaitu usia kematangan, cacat tubuh, julukan,
hubungan dengan keluarga (orang tua dan saudara kandung),
lingkungan masyarakat, teman sebaya, kreativitas, harapan dan
4. Aspek-aspek Konsep Diri
a. Aspek Fisik
Aspek fisik meliputi penilaian individu terhadap
segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, kesehatan
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penampilan fisik.
Hal ini berkaitan dengan komunikasi dan interaksinya
dengan orang lain dalam rangka melakukan penyesuaian
diri dengan lingkungan di luar dirinya. Konsep diri akan
menjadi negatif apabila seseorang merasa bahwa
penampilan fisiknya kurang atau tidak sempurna (misalnya
cacat) dan tidak dapat menerima kekurangannya tersebut
sebagai suatu kenyataan. Biasanya ia akan merasa minder,
tidak percaya diri, dan tidak yakin akan dirinya. Sebaliknya
konsep diri akan positif apabila seseorang dapat menerima
kondisi tubuhnya apa adanya dan mau menerima
kekurangan yang ada pada dirinya sehingga apapun kondisi
yang dimilikinya tetap akan merasa nyaman, percaya diri
dan lebih yakin pada dirinya sendiri dalam melakukan
b. Aspek Psikis
Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap
yang dimiliki seseorang tentang dirinya (berkaitan dengan
karakteristik dan sifat-sifat yang dimilikinya). Konsep
dirinya akan positif jika ia mengenal dirinya dengan baik,
yakin akan kemampuannya dan harapan yang dimiliki
sesuai dengan kemampuannya sehingga dalam melakukan
segala sesuatu kemungkinan berhasil lebih besar.
Keberhasilan tentu saja akan memberikan kepuasaan,
kepercayaan diri dan kebahagiaan bagi seseorang.
Sebaliknya, konsep diri akan negatif jika seseorang merasa
tidak mampu, tidak yakin akan dirinya dan memiliki
harapan yang tidak realistis sehingga cenderung mengalami
kegagalan dan menimbulkan perasaan tidak bahagia.
c. Aspek Moral
Aspek moral meliputi nilai dan prinsip yang
memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang.
Seseorang dengan konsep diri positif akan mengambil
segala sesuatu dari lingkungan dn menjadikannya pedoman
atau patokan dalam berperilaku sehingga ia mengetahui
mana yang benar dan yang salah. Sebaliknya konsep
dirinya akan menjadi negatif apabila seseorang mengambil
yang benar dan yang salah sehingga ia tidak memiliki
patokan yang benar dalam berperilaku yang baik.
d. Aspek Sosial
Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang
dimainkan individu, bagaimana interaksi sosialnya, dan
bagaimana penilaiannya terhadap peranan tersebut. Peranan
sosial merupakan harapan-harapan sosial baru dari
masyarakat seperti memiliki pekerjaan tetap dan
membentuk keluarga merupakan harapan bagi orang
dewasa. Seseorang dengan konsep positif akan menilai dan
mempersiapkan dirinya untuk mencapai harapan tersebut
dengan penuh percaya diri.
Di lain pihak, seseorang dengan konsep negatif akan
menjadikan harapan tersebut sebagai “beban“ yang
membuatnya merasa tidak percaya diri sehingga akan
menimbulkan berbagai macam reaksi mekanisme
pertahanan diri. Terkadang ada juga orang yang tetap
memenuhi peranan itu meski keyakinan dan kepercayaan
terhadap kemampuannya kurang. Ini berarti konsep dirinya
5. Jenis-jenis Konsep Diri
Ada 2 macam konsep diri menurut Burns (dalam Rasuh,
2005) yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri
positif meliputi evaluasi diri yang positif, perasaan harga diri yang
positif dan penerimaan diri yang positif. Seseorang dengan konsep
diri positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dn selalu
bersikap positif terhadap segala sesuatu. Konsep diri negatif
meliputi evaluasi diri yang negatif, membenci diri sendiri, perasaan
rendah diri, tidak menghargai diri sendiri, dan tidak menerima diri.
Konsep diri seseorang dianggap negatif jika ia meyakini bahwa
dirinya lemah, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik,
cacat, dan kehilangan daya tarik hidup.
6. Ciri-ciri Konsep Diri
Ciri-ciri konsep diri menurut Emmert (dalam Rakhmat,
2003) adalah :
a. Ciri-ciri konsep diri positif :
Yakin terhadap kemampuannya menghadapi masalah,
merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa
rasa malu, tidak sombong, mampu memperbaiki diri,
menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan yang khas
(baik perasaan, perilaku, maupun keinginan yang berbeda
b. Ciri-ciri konsep diri negatif :
Peka terhadap kritik, mudah marah, responsif dalam
menerima pujian, hiper kritis (meremehkan segala sesuatu
pada orang lain), mudah cemas, mudah putus asa,
memandang diri tidak memiliki potensi, kurang mampu
mengaktualkan potensi, cenderung merasa tidak disenangi
orang lain, pesimis terhadap kompetisi dan meraih prestasi.
B. Dewasa Madya
Masa dewasa madya adalah masa penting bagi seseorang terutama
dalam prosesnya untuk menyesuaikan diri terhadap peran baru dan harapan
sosial usia madya. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan pada masa
dewasa madya, yaitu penyesuaian terhadap kehidupan keluarga dan
pemantapan standar hidup keluarga yang relatif mapan, tanggung jawab
umum dan sosial, serta terhadap pemanfaatan kegiatan orang dewasa pada
waktu luang (Hurlock, 1996) sehingga adanya konsep diri yang positif sangat
penting dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
1. Definisi dan Batasan Dewasa Madya
Dewasa disebut juga dengan istilah adult yang berasal dari
kata Latin berarti tumbuh menjadi dewasa. Orang dewasa adalah
orang yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima
dewasa madya dimulai pada usia 40 sampai 60 tahun (Hurlock,
1996). Masa ini merupakan periode yang sulit dan menakutkan,
masa transisi dan penuh stres, masa untuk memperoleh penilaian,
dan masa yang menjemukan dalam rentang kehidupan seseorang.
Menurut Santrock (2003) masa dewasa tengah (middle
adulthood) adalah masa perkembangan yang dimulai kira-kira
antara usia 35-45 tahun dan berakhir pada usia antara 55 dan 65
tahun. Bagi banyak orang, paruh kehidupan adalah suatu masa
menurunnya ketrampilan fisik dan semakin besarnya tanggung
jawab; suatu periode di mana orang menjadi semakin sadar akan
popularitas muda-tua dan semakin berkurangnya jumlah waktu
yang tersisa dalam kehidupan; suatu titik ketika individu berusaha
meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya; dan
suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan
dalam karirnya. Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang
kehidupan kerja dari usia 20 sampai setidaknya usia 60 tahun, baik
orang dewasa yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak
berpendidikan tinggi (Rhodes, 1983; Tamir, 1982 dalam Santrock,
2002).
Papalia dan Olds (1986) mengatakan bahwa orang pada
masa dewasa madya antara usia 40-65 tahun biasanya masih dalam
kondisi sehat secara fisik maupun psikis, dan berada dalam posisi
Levinson (1978) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa pada
usia 40 tahun individu telah mencapai tempat yang stabil dalam
karirnya, telah mengatasi dan menguasai usaha-usaha sebelumnya
yang lebih lemah untuk belajar menjadi orang dewasa, dan
sekarang harus melihat ke depan pada jenis kehidupan yang akan
dijalaninya sebagai orang dewasa usia tengah baya. Dalam
California Longitudinal Study, Levinson dan Peskin (1981) dalam
Santrock (2002) menemukan bahwa pada waktu individu berusia
34-50 tahun, mereka adalah kelompok usia yang paling sehat,
paling tenang, paling bisa mengontrol diri, dan juga paling
bertanggung jawab.
Berdasarkan uraian di atas masa dewasa madya adalah
masa yang dimulai dari usia 35-60 tahun di mana seseorang
mengalami penurunan ketrampilan fisik, peningkatan tanggung
jawab terhadap keluarga dan lingkungan sosial, mencapai dan
mempertahankan kepuasan dalam karir, serta mengembangkan
2. Ciri-ciri Dewasa Madya
Menurut Hurlock (1996), ciri-ciri masa dewasa madya
antara lain adalah sebagai berikut :
Pada masa ini merupakan masa stres, di mana terjadi
penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang
berubah, khususnya bila disertai dengan perubahan fisik yang
cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan
membawa ke masa stres dalam melakukan penyesuaian pokok
yang harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan
mereka.
Masa ini juga merupakan masa berprestasi. Menurut
Erikson (Hurlock, 1996), usia madya merupakan masa krisis di
mana baik “generativity” (kecenderungan untuk menghasilkan)
maupun “stagnasi” (kecenderungan untuk tetap berhenti) akan
dominan. Selama usia ini orang dewasa madya akan menjadi lebih
sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan
sesuatu apapun lagi. Orang dewasa madya mempunyai kemauan
kuat untuk berhasil, dan akan mencapai puncaknya pada masa ini,
serta memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras
yang dilakukan sebelumnya. Masa ini tidak hanya untuk
keberhasilan keuangan dan sosial tetapi juga untuk kekuasaan dan
Masa dewasa madya merupakan masa evaluasi diri. Pada
masa ini umumnya merupakan saat mencapai seseorang puncak
prstasinya sehingga perlu mengevaluasi prestasi tersebut
berdasarkan aspirasi semula dan harapan-harapan orang lain,
khususnya anggota keluarga dan teman.
Masa ini juga merupakan masa jenuh di mana biasa terjadi
pada usia tiga puluhan atau empat puluhan. Misalnya, kejenuhan
akibat kegiatan memelihara rumah dan membesarkan anak-anak
pada wanita dan kejenuhan pada kegiatan rutin sehari-hari dan
kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit
hiburan pada para pria. Akibatnya, usia ini seringkali merupakan
periode yang tidak menyenangkan dalam hidup.
3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya
Tugas perkembangan pada masa dewasa madya menurut
Havighurts (dalam Hurlock, 1996) adalah mau melakukan
penerimaan akan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik
yang normal terjadi pada usia madya; bertanggung jawab terhadap
kehidupan keluarga, sosial (masyarakat) dan sebagai warga negara;
mengembangkan minat untuk melakukan kegiatan-kegiatan
bermanfaat di waktu luang; pemantapan dan pemeliharaan standar
C.Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat
1. Definisi Tuna Netra
Tuna netra adalah orang yang tidak dapat melihat (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 1998). Menurut Tamin dan Radjamin
(1976) mengatakan bahwa kebutaan berarti ketidakmampuan mata
untuk mengolah rangsangan cahaya. Seorang tuna netra mungkin
juga masih mampu melihat meskipun tidak sempurna. Buta adalah
tingkat ketunanetraan di mana penglihatan tidak berfungsi secara
efektif (Sasraningrat, 1983). Kebutaan adalah suatu derajat
gangguan penglihatan yang paling berat (Yudono, 1983).
Menurut UU No. 4 Tahun 1997, penyandang cacat mata
adalah seseorang yang buta kedua mata atau kurang awas (low
vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan
sehari-hair secara layak atau wajar (Tarsidi, 2005). Istilah “blind
person“ atau tuna netra mencakup tuna netra yang tidak melihat
sama sekali dan tuna netra yang tidak mampu melihat
bentuk-bentuk objek tetapi pada itngkat tertentu masih dapat melihat sinar.
Bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan maka
kemampuan aktivitas yang bersangkutan akan sangat terbatas
karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan
orang berpenglihatan normal (Murakama, 1985). Apabila tidak
mendapat penanganan atau rehabilitasi khusus akan mengakibatkan
depresi atau hilangnya makna hidup (Nugroho,2002). Menurut
kriteria dari PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)
Dinas Sosial, cacat mata terbagi menjadi 2 yaitu buta total atau
buta kedua mata dan masih mempunyai sisa penglihatan atau
kurang awas (low vision) (Syahmin, 2006).
Di sini peneliti lebih memfokuskan pada penyandang tuna
netra yang buta total (buta kedua mata) dan memerlukan Braille
atau media non-visual lainnya.
2. Masalah yang Dialami Tuna Netra
Menurut Sudharmono (1983) terdapat beberapa masalah
atau akibat yang disebabkan oleh ketunanetraannya yaitu :
a. Keterbatasan dalam jumlah dan jenis pengalaman akibat tidak
berfungsinya indera penglihatan.
b. Keterbatasan kemampuan dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang lain dan lingkungan.
c. Keterbatasan dalam mengontrol lingkungan dan dirinya sendiri
dalam hubungannya dengan lingkungan tersebut. Contoh : jika
terjadi kecelakaan saat menyeberang tentu saja ia tidak dapat
merespon secara mendadak akibat kebutaannya sehingga
memungkinkan timbulnya kecemasan jika tidak dapat mengontrol
d. Sikap lingkungan dan keluarga. Konsep diri akan positif jika ada
penerimaan yang baik dari lingkungan dan keluarga. Sebaliknya
konsep diri akan negatif jika penerimaan dari lingkungan dan
keluarga kurang bahkan cenderung negatif seperti mencela dan
mengecam kekurangan mereka.
e. Usia dan tingkat kecacatan. Semakin lama usia dan tingkat
kecacatan, semakin mempermudah tuna netra menerima kenyataan
dan kekurangan dalam dirinya sehingga kemungkinan munculnya
kecemasan dan rasa takut berkurang.
f. Kepribadian. Peningkatan kecemasan merupakan ciri utama
kepribadian tuna netra. Hal ini tergantung bagaimana mereka
memandang dan menbentuk konsep dirinya. Konsep diri akan
positif jika ia mampu mengendalikan emosi atau kecemasan akibat
kekurangannya tersebut.
Dewasa ini masalah yang paling utama adalah adanya
persepsi masyarakat yang keliru pada tuna netra bahwa meski telah
diberikan rehabilitasi pendidikan maupun vokasional tetap saja
tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan
produktif. Akibatnya di bidang tenaga kerja kesempatan dan
peluang kerja yang mereka miliki terbatas (Kompilasi Dokumen
3. Tuna Netra yang Bekerja sebagai Tukang Pijat
Menurut Gilarso (1994) dalam Sari (2003) berdasarkan
pendidikan yang dimiliki pekerja terbagi atas 2 macam yaitu tenaga
kerja tak terdidik ( unskilled ) dan tenaga kerja terdidik dan terlatih
(skilled). Tenaga kerja tak terdidik (unskilled) adalah tenaga kerja
kasar yang kurang memiliki keahlian sedangkan tenaga kerja
terdidik dan terlatih (skilled ) adalah tenaga kerja yang
berpendidikan dan memiliki keahlian. Svalastoga (dalam Sari,
2003) mengklasifikasikan jenis pekerjaan yaitu profesional,
manajerial, klerek (administrasi) sebagai pekerjaan dengan
ketrampilan (skilled) dan yang lainnya adalah jenis pekerjaan yang
tidak memerlukan ketrampilan khusus (unskilled). Menurut
Anoraga (1992) pekerjaan merupakan sunber utama bagi
pencapaian status sosial. Selain itu, bekerja dilakukan secara
teratur dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh penghasilan
(uang) maupun memperoleh sesuatu dalam bentuk benda, jasa, atau
gagasan.
Menurut GBPP (Garis Besar Program Pertuni) 2004-2009
tentang ketenagakerjaan dan kewirausahaan bagi pekerja tuna netra
di Indonesia adalah :
1. Diperluasnya lapangan kerja yang konvensional atau lazim
di Indonesia bagi tenaga kerja tuna netra seperti juru pijat,
2. Terbukanya lapangan kerja non-konvensional bagi tenaga
kerja tuna netra seperti pekerjaan dalam bidang
administrasi, produksi, pemasaran sehingga tidak ada
perbedaan dengan tenaga kerja normal lainnya.
3. Didorongnya tuna netra yang telah memiliki ketrampilan
atau keahlian profesional bernilai ekonomis agar menjadi
wirausahawan, melalui jalur usaha mandiri, kelompok
usaha bersama atau koperasi.
(PERTUNI, 2004)
Kebanyakan selepas dari panti sosial tuna netra bekerja sebagai
tukang pijat, pengrajin sapu atau kesed sesuai ketrampilan yang
diberikan. Ini berarti tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat
termasuk pekerja terdidik dan terlatih (skilled).
Tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat adalah
seseorang yang tidak dapat melihat atau buta kedua mata yang
terdidik dan terlatih (skilled) atau memiliki keahlian dan
ketrampilan bekerja sebagai tukang pijat berijazah serta melakukan
kegiatan tersebut secara teratur dalam jangka waktu tertentu untuk
memperoleh penghasilan (uang), status sosial maupun memperoleh
D.Konsep Diri Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat
Tuna netra memiliki berbagai masalah akibat ketunanetraannya.
Menurut Sudharmono (1983) terdapat beberapa masalah akibat
ketunanetraannya tersebut, yaitu keterbatasan dalam jumlah dan jenis
pengalaman akibat tidak berfungsinya indera penglihatan, keterbatasan dalam
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan,
keterbatasan dalam mengontrol lingkungan dan dirinya sendiri, adanya sikap
yang cenderung negatif dari lingkungan dan keluarga, serta kepribadian tuna
netra itu sendiri (berkaitan dengan peningkatan kecemasan pada tuna netra).
Dalam situs mitranetra, masalah utama yang dialami tuna netra dewasa ini
adalah adanya persepsi masyarakat yang keliru pada tuna netra bahwa meski
telah diberikan rehabilitasi pendidikan dan vokasional tetap saja tidak dapat
menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif. Akibatnya di
bidang tenaga kerja, kesempatan dan peluang kerja yang mereka miliki
terbatas.
Beberapa masalah di atas dapat menyebabkan berbagai kendala
psikologis pada tuna netra seperti perasaan inferior, depresi, atau hilangnya
makna hidup, dan sebagainya (Nugroho, 2002) yang dapat mengakibatkan
konsep diri pada tuna netra menjadi negatif. Menurut Havighurts (dalam
Wellykin, 2003), konsep diri (self concept) dan harga diri (self esteem) akan
menjadi negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan
dengan baik karena orang tersebut mendapat kecaman dan celaan dari
bahwa orang dewasa yang tidak dapat berhasil dalam tugas-tugas
perkembangannya akan mengalami isolasi. Oleh karena itu, cara pandang dan
pola pikir seseorang terhadap dirinya juga akan mempengaruhi emosi,
perilaku dan kebahagiaan hidup secara keseluruhan.
Namun demikian tuna netra juga harus belajar hidup mandiri dan tidak
tergantung pada bantuan orang lain lagi seperti saat di panti sosial dengan cara
bekerja sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang telah diberikan.
Kebanyakan ketrampilan yang diberikan adalah sebagai tukang pijat berijazah
sehingga diharapkan mereka mampu hidup mandiri selepas keluar dari panti
sosial. Tujuan mereka bekerja sebagai tukang pijat adalah untuk memperoleh
pendapatan berupa uang sebagai biaya hidup mandiri, untuk memperoleh
status sosial dari masyarakat sebagai bukti bahwa mereka juga bisa mandiri,
memiliki status pekerjaan yang jelas bahwa mereka memiliki keahlian dan
ketrampilan (skilled), dan tentu saja mereka dapat hidup mandiri tanpa
bantuan orang lain. Hal tersebut dapat menimbulkan kepuasan, kebahagiaan
dan keberartian hidup bagi tuna netra. Keberhasilan dalam pekerjaan sangat
tergantung pada motivasi, kesungguhan, disiplin, dan ketrampilan kerja
(Anoraga, 1992). Tuna netra yang memiliki keempat hal tersebut akan dapat
berhasil dalam pekerjaan dan mampu melakukan tugas-tugas
perkembangannya dengan baik seperti orang normal. Ini berarti konsep diri
atau pandangan tentang diri meliputi karakteristik, bakat, potensi, kelemahan
Ada beberapa bukti yang dapat mendukung bahwa konsep diri pada
tuna netra yang bekerja cenderung positif. Hal ini tampak dari beberapa tuna
netra yang dapat hidup secara mandiri dan bekerja tanpa bergantung dengan
orang lain, bahkan lebih produktif dibanding orang yang bukan tuna netra.
Misalnya, tuna netra yang bekerja sebagai operator telepon di beberapa
perusahaan di Jakarta seperti PT. Indosiar Visual Mandiri, Bank Muamalat,
Rumah Sakit Hermina, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dan sebagainya
(Situs Mitranetra). Ada juga yang bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil)
terutama di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Pekerjaan lainnya adalah
sebagai guru atau pengajar (Kompilasi Dokumen Naker, 2005).
Tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat berarti mampu menjadi
mandiri dan tidak terikat pada orang lain atau orang tua. Untuk mampu
menjadi mandiri dan tidak terikat pada orang lain seseorang perlu memiliki
ketrampilan, percaya pada diri sendiri, berorientasi pada pencapaian hasil dan
prestasi, tabah, kreatif, inovatif, siap menghadapi tantangan dan mengambil
resiko, menghargai waktu, serta berpandangan jauh ke depan akan mendorong
seorang tuna netra untuk tetap disiplin, belajar sungguh-sungguh dan selalu
siap untuk bekerja keras (Anoraga, 1992).
Levinson (1978) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa pada usia
40 tahun, individu telah mencapai tempat yang stabil dalam karirnya, telah
mengatasi dan menguasai usaha-usaha sebelumnya yang lebih lemah untuk
belajar menjadi orang dewasa, dan sekarang harus melihat ke depan pada jenis
Santrock (2002) menambahkan bahwa terdapat komitmen yang lebih besar
terhadap pekerjaan seiring bertambahnya usia, di mana individu bekerja
dengan lebih serius, tingkat ketidakhadiran yang dapat dihindarkan semakin
sedikit, lebih banyak mencurahkan diri pada pekerjaan pada masa ini daripada
pada masa dewasa dini. Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang
kehidupan kerja-dari usia 20 sampai setidaknya 60 tahun, baik orang dewasa
yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak berpendidikan tinggi (Rhodes,
1983; Tamir, 1982 dalam Santrock, 2002). Hal ini semakin mendukung bahwa
konsep diri pada orang dewasa madya yang bekerja, dalam hal ini tuna netra
yang bekerja sebagai tukang pijat, adalah positif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri tuna netra
yang bekerja sebagai tukang pijat cenderung positif karena ada usaha untuk
menjadi mandiri, mapan tanpa bantuan atau ketergantungan dengan orang lain
dan mampu melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh serta ada usaha
untuk mencapai tempat yang stabil dalam karirnya.. Ini berarti mereka dapat
melakukan penyesuaian diri dengan baik layaknya orang normal dan mampu
mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam karirnya sehingga
kehidupannya juga akan bahagia.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diperoleh gambaran tentang
konsep diri positif pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat baik
TUNA NETRA Keterbatas-an jumlah dan jenis pengalaman akibat kebutaan Keterbatasan komunikasi dan interaksi dengan orang lain Keterbatas-an mengontrol lingkungan dan diri sendiri Persepsi negatif masyarak at terhadap pekerja TN Sikap cenderung negatif dari lingkunan dan keluarga Sempit-nya lapangan kerja bagi TN
TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI TUKANG PIJAT Mendapat penghasilan tetap (uang) Status sosial
Mandiri Mempunyai
ketrampilan dan keahlian Memiliki status pekerjaan mapan
KONSEP DIRI (+)
Memperoleh kepuasan
37
A.Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif. Koentjaraningrat (dalam Devi, 2003) mengatakan bahwa
metode analisis kualitatif adalah analisis tentang sesuatu yang hasilnya
disajikan dalam bentuk uraian atau paparan yang menggambarkan objek
penelitian. Data tidak diuraikan dalam bentuk angka-angka tetapi dalam
kategori-kategori.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran
(deskripsi) yang lebih jelas mengenai situasi-situasi sosial yang sedang terjadi
secara faktual apa adanya (Nasution, 2003). Menurut Moleong (1988), metode
penelitian deskriptif akan menghasilkan data berupa deskripsi kata-kata yang
dicatat berdasarkan uraian lisan dari subjek serta catatan perilaku-perilaku
teramati selama diadakan penelitian.
B.Definisi Operasional
Konsep diri adalah keseluruhan penilaian, pandangan dan perasaan
seseorang mengenai dirinya baik positif maupun negatif berdasarkan aspek
fisik, aspek psikis, aspek moral dan aspek sosial. Untuk mengetahui
gambaran konsep diri seseorang dapat dilihat berdasarkan aspek-aspek
1. Aspek fisik meliputi penilaian individu terhadap segala
sesuatu yang dimilikinya seperti kondisi tubuhnya dan
kesehatan tubuhnya.
2. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang
dimiliki individu terhadap dirinya.
3. Aspek moral meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti
serta arah bagi kehidupan seseorang.
4. Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang
dimainkan individu, penilaiannya terhadap peranan tersebut
dan bagaimana interaksi sosialnya baik dengan keluarga
maupun lingkungan sekitarnya.
Konsep diri pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam
penelitian ini dapat diketahui melalui metode wawancara.
C.Subjek Penelitian
Di sini peneliti hanya menggunakan 1 orang subjek, yaitu tuna netra
yang bekerja sebagai tukang pijat di Muntilan. Pemilihan subjek didasarkan
pada konstruk operasional atau operational construct sampling (Poerwandari,
2001), di mana subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu berlandaskan teori
yang sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar subjek
penelitian dapat mewakili fenomena yang akan diteliti. Kriteria pengambilan
1. Tuna netra total (buta kedua mata)
Alasan pengambilan subjek tuna netra total (buta kedua mata)
adalah karena secara fisik mereka memiliki keterbatasan fisik dan
keterbatasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi orang lain
dibandingkan tuna netra buta sebagian (low vision) yang masih
mempunyai sisa penglihatan. Ini berarti tuna netra buta total lebih
cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan cenderung
lebih membutuhkan bantuan dari orang lain.
2. Memiliki pekerjaan sebagai tukang pijat.
Alasannya adalah karena kebanyakan tuna netra selepas
keluar dari panti sosial bekerja sebagai tukang pijat sesuai dengan
ketrampilan dan pendidikan yang diberikan.
3. Termasuk usia dewasa madya berkisar antara 35-60 tahun.
Alasannya adalah karena kebanyakan subjek yang ditemui
berusia dewasa madya dan sudah berkeluarga. Selain itu, pada usia
ini seseorang dituntut untuk dapat semakin bertanggung jawab baik
terhadap keluarga, sosial (masyarakat), dan sebagai warga negara;
mau menerima perubahan fisik pada dirinya; mampu melakukan
pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan; dan
mampu mangembangkan minat dan memanfaatkan waktu luang
D.Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dan informasi tentang gambaran konsep diri
tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat, maka dalam penelitian ini
peneliti menggunakan metode penelitian wawancara dan observasi (sebagai
data pelengkap).
1. Wawancara
Teknik wawancara dilakukan dengan melakukan tanya
jawab secara langsung terhadap subjek penelitian yang bertujuan
untuk mendapatkan data tentang gambaran konsep diri pada tuna
netra yang bekerja sebagai tukang pijat. Menurut Nasution (dalam
Devi, 2003), wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal
atau semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.
Melalui wawancara yang dilakukan seorang interviewer menggali
informasi yang terdalam mengenai diri subjek serta hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupannya. Peneliti harus menerima informasi
yang diberikan informan tanpa membantah, mengecam, atau tidak
menyetujui.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara semi
terstruktur. Wawancara ini dilakukan secara langsung dengan
menggunakan pedoman pertanyaan wawancara (interview guide).
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek tertentu yang harus dibahas sekaligus
telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001). Hal-hal yang
ingin digali dalam wawancara adalah : Gambaran konsep diri tuna
netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis,
moral dan sosial.
Pertanyaan-pertanyaan pendahulu tentang latar belakang subjek :
1. Data demografik subjek seperti nama, usia,jenis kelamin,
agama, suku.
2. Riwayat kehidupan keluarga subjek (urutan kelahiran, jumlah
anggota keluarga, status perkawinan, jumlah anak, keluarga
inti).
3. Sejarah kebutaan subjek (penyebab kebutaan, tingkat kebutaan,
sejak kapan mengalami kebutaan ).
4. Riwayat atau sejarah pendidikan subjek.
5. Riwayat pekerjaan subjek (sejak kapan bekerja sebagai tukang
pijat, motivasi yang mendorong melakukan pekerjaan itu,
hambatan yang dialami, pekerjaan sebelumnya jika ada, jumlah
penghasilan tiap bulan).
6. Latar belakang sosial subjek berkaitan dengan relasi dan
2. Observasi sebagai Data Pelengkap
Menurut Banister, dkk, 1994 (dalam Poerwandari, 2001)
mengatakan bahwa istilah observasi diarahkan pada kegiatan
memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul
dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena
tersebut. Metode observasi dapat digunakan untuk mengecek
informasi yang telah diperoleh melalui metode pengumpulan
informasi yang lain, yaitu wawancara sehingga informasi yang
diperoleh valid.
Peneliti menggunakan metode observasi non-partisipan, di
mana peneliti mengamati perilaku subjek secara langsung selama
wawancara berlangsung sehingga peneliti memperoleh data dan
informasi melalui interaksi tersebut. Metode observasi yang
digunakan adalah observasi tak berstruktur untuk melihat kejadian
terhadap diri subjek sehari-hari secara langsung tanpa pedoman
yang mutlak untuk diikuti (dalam Pratiwi, 2005). Di sini peneliti
hanya menggunakan metode observasi sebagai pelengkap data
wawancara, di mana observasi akan dilakukan selama wawancara
berlangsung saja.
Hal-hal yang akan diobservasi adalah :
1. Kondisi fisik dan kesehatan subjek,
2. Kondisi rumah dan benda yang dimiliki subjek,
4. Hubungan subjek dengan keluarga, klien dan orang di
lingkungannya.
E.Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti membuat prosedur untuk masuk dalam
setting penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh data.
Prosedur penelitian adalah sebagai berikut :
a. Membuat blue-print pedoman wawancara (interview guide) yang
sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.
b. Menentukan subjek, waktu dan tempat penelitian.
c. Menyiapkan surat keterangan dari fakultas yang berisi keterangan
akan mengadakan penelitian.
d. Menghubungi subjek untuk meminta kesediaan menjadi subjek
penelitian.
e. Meminta ijin kepada subjek untuk mengadakan penelitian dengan
membawa surat keterengan resmi dari fakultas.
f. Melakukan penelitian.
F.Metode Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kulitatif sehingga
analisis data yang dipakai adalah analisis isi data. Data-data kualitatif yang
diperoleh melalui wawancara pada subjek penelitian kemudian akan dianalisis
1. Kategori data sejenis
Diawali dengan penyusunan transkrip verbatim (kata demi
kata) hasil wawancara dan catatan lapangan melalui observasi (hanya
sebagai pelengkap dalam lampiran). Kemudian peneliti memberikan
kode-kode atau catatan pada transkrip guna memilah-milah data.
Data-data yang telah disusun dan digolongkan dalam tema atau kategori
yang sama dan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Koding dalam
penelitian ini didasarkan pada aspek-aspek konsep diri Berzonsky
(dalam Hendrato, 2005).
2. Rekapitulasi data
Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan disusun
sehingga data-data yang diperoleh menampilkan suatu pola hubungan.
3. Interpretasi data dan penarikan kesim