• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI TUKANG PIJAT Skripsi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI TUKANG PIJAT Skripsi"

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

i

TUKANG PIJAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Oleh :

Veronica Lina Ferianti

NIM : 999114139

NIRM : 990051121705120136

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

STUDI DESKRIPTIF

KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI

TUKANG PIJAT

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Oleh :

Veronica Lina Ferianti

NIM : 999114139

NIRM : 990051121705120136

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan bagi

:

First of all, Jesus Christ, My Savior, My Strenght

Mama & Papa tercinta, yang senantiasa dengan sabar “

menungguku “

Mas Donni-ku tersayang, yang begitu penuh pengertian

dan penyabar

Adik-adikku ( Tinton, Nova, Oren )

Semuanya

(6)

MOTTO

“Kegagalan adalah suatu keberhasilan yang tertunda.

Jangan ucapkan kata menyerah

jika belum mencoba dan berusaha

Tuhan tidak akan pernah meninggalkan anak-anakNya,

terutama yang mengalami kesulitan dan mau berusaha

Tuhan senantiasa mencintai kita semua apapun adanya

Yakinlah... Tuhan senantiasa memberikan jalan terbaik

bagi kita”

Amien.

“ Bapa akan lebih bersukacita jika satu orang memilih

untuk mengasihiNya dan tetap mengasihiNya meskipun

berada di tengah kesulitan dibandingkan jika semua

keindahan ciptaanNya digabungkan menjadi satu.”

(Dikutip dari Donna Partow,

Ini Bukan Hidup yang Aku pilih

)

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan

layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Oktober 2007

Penulis,

Veronica Lina Ferianti

(8)

ABSTRAK

STUDI DESKRIPTIF

KONSEP DIRI PADA TUNA NETRA YANG BEKERJA

SEBAGAI TUKANG PIJAT

Oleh :

Veronica Lina Ferianti

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2007

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep diri pada tuna

netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis, moral, dan sosial.

Konsep diri adalah bagaimana diri diamati, dipersepsi, dan dialami oleh individu.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif deskriptif

berupa studi deskriptif. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang tuna netra yang

bekerja sebagai tukang pijat di Muntilan. Subjek penelitian diambil berdasarkan

kesesuaiannya dengan tujuan penelitian, dengan kriteria sebagai berikut : berumur 35-60

tahun, buta total, dan bekerja sebagai tukang pijat. Pengambilan data menggunakan

metode wawancara semi-terstruktur. Analisis data wawancara dilakukan dengan

langkah-langkah sebagai berikut : kategori data sejenis, rekapitulasi data, interpretasi data dan

penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa konsep diri pada tuna netra yang

bekerja sebagai tukang pijat adalah positif baik dalam aspek fisik, psikis, moral dan

sosial.

Kata kunci

: konsep diri; tuna netra.

(9)

ABSTRACT

DESCRIPTIVE - STUDY

SELF-CONCEPT IN THE BLIND PERSON

WHO WORK AS A MASSEUR

By :

Veronica Lina Ferianti

Psychology Faculty

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2007

The purpose of this research was to know the description of the self-concept in the

blind person who work as a masseur in physical, psychic, moral, and social aspects.

Self-concept is how self as observed, percepted, and experienced by the individu.

The method of this research is qualitative description method using

descriptive-study approach. The subject of this research was a blind person who work as a masseur in

Muntilan. The subject used in this research leads to the suitability of the purpose of the

research, with the following criterias : middle adulthood average 35-60 years old, totally

blind person, and work as a masseur. Interview method used here is semi-structural

method. This research used content analysis data method which is analyzed the whole

data that gained from the interview method by the following steps : category of the same

data, , recapitulation of data, interpretation of data and the making of conclusion.

The result of this research found that the description of self-concept in the blind

person who work as a masseur is possitive in physical, psychic, moral, or social aspects.

Key word

: self-concept; blind person.

(10)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, penulis akhirnya

dapat menyelesaikan tugas ini meskipun memerlukan waktu yang panjang dan penuh

tantangan.

Untuk itu penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang telah mendukung dan membantu kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini yang

berjudul Konsep Diri pada Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat guna

memenuhi persyaratan kelulusan memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta. Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui gambaran

konsep diri pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, aspek

psikis, aspek moral, dan aspek sosial. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

ucapan syukur dan terima kasih kepada :

1.

First of all, tentu saja kepada

Tuhan Yesus Kristus

, terima kasih dan puji

syukur kami ucapkan.

Mukjizat itu nyata

!!! Engkau menjadikan segala sesuatu

yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terima kasih Tuhan atas berkah karunia

yang Engkau berikan bagi kami. Sungguh berlimpah. Terima kasih atas kesempatan

ini. Terima kasih karena Engkau senantiasa mendampingiku dan menguatkanku.

Maafkan saya jika saya banyak sekali mengeluh dan kurang tekun serta kurang

sabar terutama dalam mengerjakan skripsi ini. Terima kasih Tuhanku, Engkau

memang Yang Terbaik. I love You.

2.

Bpk. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si

. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma, yang sekiranya telah berkenan membantu memberi

kesempatan dan kelonggaran bagi kelancaran dan terselesaikannya skripsi ini.

Terima kasih Pak !!! Tuhan memberkati.

3.

Ibu Sylvia Carolina MYM, M. Si.

selaku Kaprodi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma, yang sampai saat ini sangat membantu membuka

kesempatan dan jalan bagi kami anak-anak Angkatan ’99 untuk menyelesaikan

kuliah kami. Terima kasih Bu !!! Tuhan pasti membalas kebaikan Ibu. God bless

you. Pasti kami Angkatan ’99 akan ingat jasa Ibu selalu. Sukses ya Bu!!!

(11)

4.

Ibu Agnes Indar Etikawati, S. Psi., M. Si., Psi.

selaku Dosen

Pembimbing Skripsi saya, Anda sungguh penyabar Bu, terima kasih telah

membantu saya dengan sabar dan penuh pengertian menghadapi kebandelan saya

dalam mengerjakan skripsi ini. Mungkin banyak sekali kata-kata maupun sikap saya

yang kurang berkenan di hati Ibu, saya mohon maaf sebesar-besarnya. Terima kasih

Bu !!! God bless you.

5.

Ibu A. Tanti Arini, S. Psi.

selaku Dosen Pembimbing Akademik

Angkatan ’99, terima kasih atas segala sumbang saran dan nasehat yang Ibu

berikan, sungguh sangat melegakan dan menenangkan kami. Terima kasih.

6.

Dr.

A. Supratiknya dan V. Didik Suryo Hartoko, S. Psi., M. Si.

selaku

dosen penguji skripsi yang telah membantu kelancaran skripsi saya.

7.

Pihak Rektorat

yang cukup membantu kami dan meskipun cukup

membuat kami stres tapi saya percaya itu yang terbaik bagi kami. Terima kasih

8.

Staff Karyawan Fakultas Psikologi

:

Mbak Nanik

(matur nuwun sanget

kawula asring dipun emutaken, matur sembah nuwun),

Mas Gandung

(yang selalu

sabar dan ramah melayani dan membantu kami Angkatan ’99, terima kasih Mas),

Mas Muji

(terima kasih banyak, maaf tape recordernya telat ngembalikannya),

Mas Doni

(terima kasih buku-bukunya ya!!), dan tentu saja

Pak Gie’

(nuwun).

9.

Mama dan Papa tercinta,

terima kasih atas segala kesabaran dan kasih

sayang yang kalian berikan, terima kasih. Maafkan segala kesalahan dan

kekurangan saya selama ini. Lina masih belum mampu membalas kebaikan mama

papa. Semoga Tuhan senantiasa memberikan kesehatan, keselamatan, kesabaran,

kekuatan dan kebahagiaan. Amin. (Ma...yang tabah ya? Sabar, Tuhan pasti berkati

mama selalu, Tuhan sayang mama, aku juga...pasti!!!)

10.

Mas Donni

-

ku tersayang

, yang selalu sabar dan telaten mendampingiku.

Terima kasih atas segala doa, perhatian dan pengertiannya. Maafkan segala

kesalahan dan kebandelanku ya, aku emang “ngeyelan” banget!! Aku sayang Mas.

Semoga impian kita dapat tercapai dan senantiasa diberkati dan direstui oleh Tuhan.

Amin.

11.

Teman-teman seperjuangan Angkatan ’99

:

Achie

(thanks banget ya Chie

buat semangatnya. Buat aku kamu hebat, tabah banget, aku salut. GBU, thanks),

(12)

Melly

(you’re a tuff girl, thanks),

Ika

(thanks buat inspirasi semangatnya, siiip!!),

Daniel

(thanks buat saran, semangat dan idenya Den!),

Rani, Ana, Della, Asti,

Thesa, Vincent

(Don’t give up! You’re a great friend!)

, Yun, Uni, Toni, Andi,

Zey, Vidi, Dian, Milli, Adi Kadal, Abas, Yopie

& husband (kalian semua hebat,

thanks for being my truly friends). Thanks Guys !!! God bless you everywhere.

12.

Adik-adikku tersayang :

Tinton, Nova, Oren, Ambar, Wisnu, Ari

(thanks for your supports). I love you all.

13.

Bulik Aci & Om Pateng

di Madiun dan

Bulik Naok

di Malang (thanks

for your supports). GBU!!!

14.

Mbah Kakung, Mbah Putri, Bpk/ Ibu Riyadi

matur nuwun sampun

maringi donga pangestu kagem putra, matur nuwun sanget. Novenanipun lancar

nggih, nuwun. Tak lupa seluruh

keluarga besar Yulius Karso Utomo

terima kasih

atas doanya.

15.

Teman-temanku yang ngga’ pernah mati, you’re always be my friends

forever :

Sari, Vika “Pikachu”, Desy “Chucumy”, Lina “Khumir”, Tere, Nana,

Wahyu, Andre, Adi, Agus, Fajar, Arum, Didi, Nina, Joko & anak-anak GK

1A.

Yarto,

thanks dah bantu ngrawat komputerku, thanks banget.

Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat dan memperkaya khasanah ilmu

pengetahuan, khususnya tentang Konsep Diri pada Tuna Netra yang Bekerja sebagai

Tukang Pijat. Mungkin masih banyak kekurangan, penulis mengucapkan maaf yang

sebesar-besarnya. Apabila ada sumbangan saran maupun kritik yang membangun, penulis

terbuka untuk menerimanya. Akhir kata terima kasih atas perhatian yang diberikan dan

selamat membaca.

Yogyakarta, 29 November 2007

Hormat saya,

Penulis

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...ii

HALAMAN PENGESAHAN...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN...iv

HALAMAN MOTTO...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...vi

ABSTRAK...vii

ABSTRACT...viii

KATA PENGANTAR...ix

DAFTAR ISI...xii

DAFTAR TABEL...xvi

BAB I. PENDAHULUAN...1

A.

Latar Belakang Masalah...1

B.

Rumusan Masalah...6

C.

Tujuan Penelitian...7

D.

Manfaat Penelitian...7

BAB II. DASAR TEORI...

A.

Konsep Diri...9

1.

Definisi Konsep Diri...9

2.

Perkembangan dan Pembentukan Konsep Diri...11

3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri...12

(14)

4.

Aspek-aspek Konsep Diri...18

5.

Jenis-jenis Konsep Diri...21

6.

Ciri-ciri Konsep Diri...21

B.

Dewasa Madya...22

1.

Definisi dan Batasan Dewasa Madya...22

2.

Ciri-ciri Dewasa Madya...25

3.

Tugas Perkembangan Dewasa Madya...26

C.

Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...27

1.

Definisi Tuna Netra...27

2.

Masalah yang Dialami Tuna Netra...28

3.

Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...30

D.

Konsep Diri Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat...32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...37

A.

Metode Penelitian...37

B.

Definisi Operasional...37

C.

Subjek Penelitian...38

D.

Metode Pengumpulan Data...40

E.

Prosedur Penelitian...43

F.

Metode Analisis Data...43

G.

Keabsahan Data...44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...47

A.

Pelaksanaan Pengambilan Data...47

B.

Identitas dan Latar Belakang Subjek...47

(15)

C.

Hasil Analisa Koding Wawancara...50

D.

Pembahasan...64

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN...70

A.

Kesimpulan...70

B.

Saran...71

DAFTAR PUSTAKA...73

LAMPIRAN

A.

Transkrip Verbatim

B.

Koding Transkrip Verbatim

C.

Hasil Observasi

D.

Surat Pernyataan Subjek Penelitian

E.

Surat Keterangan Penelitian

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 1

. Skema Konsep Diri………..36

Tabel 2

. Tabel Rangkuman Hasil Analisa Wawancara………..61

Tabel 3.

Tabel Pedoman Wawancara……….77

Tabel 4.

Tabel Kode Wawancara Konsep Diri………..81

(17)

1 A.Latar Belakang Masalah

“ Saya termasuk penyandang cacat. Juga istri saya. Tetapi, kami membuktikan, kami mampu memberikan hasil yang sama dengan orang yang tidak cacat...”

(Wahid, 2006)

Jumlah penyandang cacat di Indonesia tidak sedikit. Menurut WHO

jumlah penyandang cacat di Indonesia mencapai lebih dari 20 juta orang atau

10 % total keseluruhan penduduk Indonesia. Sementara data dari Departemen

Sosial RI mencatat jumlah penyandang tuna netra di Indonesia sekitar 1,5 %

Berdasarkan data dari BPS (Balai Pusat Statistik) saat ini terdapat sekitar

197.080 orang penyandang tuna netra di Indonesia. Dan dari total penyandang

tersebut, hanya sekitar 1 % atau 2.046 orang saja yang belajar pada pendidikan

terpadu dan SLB. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa perhatian terhadap

penyandang tuna netra di Indonesia masih kurang dan belum maksimal,

meskipun telah ditetapkan UU no. 4 Tahun 1997 tentang rehabilitasi

vokasional (pelatihan) dan kesempatan kerja bagi penyandang tuna netra di

Indonesia (Yuqi, 2004).Di lain pihak, Mulyani (2004) mengatakan bahwa

berdasarkan data BPS, tuna netra di Indonesia tahun 1998 terdapat 1.8884.557

jiwa atau 0,90 % dari jumlah penduduk Indonesia saat itu (data BPS tahun

(18)

Tarsidi (2005), Ketua Pertuni, yang juga seorang tuna netra mengatakan

bahwa di Indonesia kesempatan kerja sempit dan adanya persepsi yang keliru

yang berkembang di masyarakat membuat para tuna netra selalu menjadi

“warga kelas 2“. Begitu juga perlunya UU No. 4 Tahun 1997 diamandemen

karena dirasa belum menjamin hak penyandang cacat. Sebagian besar

masyarakat Indonesia masih beranggapan bahwa tuna netra meski telah diberi

rehabilitasi (termasuk rehabilitasi pendidikan dan vokasional) tetap saja tidak

dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif. Lapangan

pekerjaan pun tertutup, pelamar yang “normal“ lebih diutamakan, penyandang

cacat dipandang lemah, hina, bernasib sial, tidak produktif dan tidak mandiri

(Wahid, 2006). Akibatnya, mereka ditempatkan sebagai warga yang

senantiasa harus disantuni sehingga di bidang tenaga kerja, kesempatan dan

peluang kerja yang mereka miliki terbatas dibandingkan mereka yang

berpenglihatan normal. Ini berarti sampai saat ini pun konsep diri pada tuna

netra yang bekerja masih dianggap negatif.

Sejauh ini para penyandang tuna netra di Indonesia yang memperoleh

pendidikan dan pelatihan ketrampilan kerja di panti-panti sosial atau SLB di

bawah naungan Departemen Sosial atau Departemen Pendidikan kebanyakan

bekerja sebagai tukang pijat atau pengrajin sapu sesuai ketrampilan yang

diberikan. Peneliti pernah suatu kali berkunjung ke sebuah panti sosial bagi

tuna netra dan tuna rungu wicara di Purworejo dan memang ketrampilan kerja

yang diberikan hanya sebatas itu, di samping pemberian materi pendidikan

(19)

yang lebih dapat mengembangkan potensi dan bakat tuna netra di Indonesia.

Hal inilah yang menjadi keprihatinan terhadap perlakuan pemerintah terhadap

tuna netra di Indonesia. Dari hasil penelitian PKPC Riau (2007), sebagian

besar difabel (324 orang) menyatakan tidak ikut dalam organisasi apapun

karena tidak mengetahui di mana tempat organisasi yang sesuai dengan

difabel. Jenis pekerjaan terbesar yang disandang para difabel yang ada di

Kotamadya Pekanbaru adalah tukang pijat (sebanyak 33 orang) dan pedagang

atau sektor usaha jasa lainnya secara keseluruhan berjumlah 33 orang.

Sudharmono (1983) mengatakan bahwa peningkatan kecemasan

merupakan ciri utama dari kepribadian tuna netra. Oleh karena itu, perhatian

terhadap perkembangan diri tuna netra harus lebih ditingkatkan lagi demi

kelangsungan hidup dan masa depannya. Apabila tidak ada penanganan

khusus, hal ini akan mengakibatkan timbulnya berbagai kendala psikologis

seperti depresi, inferior, atau hilangnya makna hidup, dan sebagainya

(Nugroho, 2002). Perasaan-perasaan semacam ini dapat mempengaruhi

pandangan atau konsep diri seseorang terhadap dirinya baik positif maupun

negatif. Konsep diri menurut Fitts (1971 dalam Hendrato, 2005) adalah

bagaimana diri diamati, dipersepsi, dan dialami oleh individu tersebut. Makna

konsep diri mengandung unsur penilaian dan mempengaruhi perilaku

seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain.

Ada beberapa aspek konsep diri menurut Berzonsky (dalam Hendrato,

2005) yaitu aspek fisik, aspek psikis, aspek moral dan aspek sosial. Aspekfisik

(20)

tubuh, kesehatan, dan sebagainya. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan

sikap yang dimiliki individu tentang dirinya. Aspek moral meliputi nilai dan

prinsip yang memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang. Aspek sosial

meliputi bagaimana peranan sosial yang dimainkan individu, interaksinya

dengan lingkungan, dan penilaian individu terhadap peranan tersebut.

Konsep diri pada tuna netra baik positif maupun negatif akan

berpengaruh pada penyesuaian diri, terutama dalam interaksinya dengan orang

lain yang akan berdampak pada kebahagiaan hidupnya. Konsep diri akan

menjadi positif apabila tuna netra mampu melewati masa tersebut dengan

tidak menjadi depresi, inferior, terasing, dan sebagainya. Ia mampu mengenal

dirinya dengan baik, mengetahui segala kelebihan dan kekurangannya

sehingga mampu melakukan penyesuaian diri yang baik.

Sasraningrat (1983) mengatakan bahwa ada beberapa indikator tuna

netra yang sudah dapat menerima keadaannya secara realistik, yaitu seorang

tuna netra tidak lagi memperbincangkan atau mempermasalahkan ketunaannya

bila ditanya, dengan santai, terbuka dan sangat wajar menceritakan

pengalaman kebutaannya, tanpa ragu menyatakan dirinya seorang tuna netra

dan mampu menunjukkan toleransi dalam menghadapi orang awas (normal)

yang kurang sopan atau kurang pengertian terhadap dirinya dan

ketunanetraannya. Beberapa indikator tersebut menunjukkan adanya konsep

diri positif pada tuna netra.

Di lain pihak, konsep diri tuna netra akan menjadi negatif apabila ia

(21)

pada orang lain, dan tidak mempunyai keyakinan pada diri sendiri.Tentu saja

hal tersebut akan mengakibatkan ketidakmampuan dalam melakukan

penyesuaian diri dengan baik. Havighurts (dalam Wellykin, 2003) mengatakan

bahwa konsep diri (self-concept) dan harga diri (self-esteem) akan menjadi

rendah atau negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas

perkembangannya dengan baik, karena orang tersebut mendapat kecaman dan

celaan dari masyarakat di lingkungannya. Dari hasil penelitian Dopson dan

Shaw (dalam Coulhoun, 1990) ditemukan bahwa konsep diri yang negatif

seringkali berhubungan dengan depresi klinis. Atau seseorang akan merasa

cemas terus-menerus karena menghadapi informasi tentang dirinya yang tidak

dapat diterimanya dengan baik dan mengancam konsep dirinya. Oleh karena

itu, penyandang tuna netra yang diberikan pendidikan yang layak dan

ketrampilan khusus atau rehabilitasi sejak dini akan membantu mereka dalam

membangun konsep diri yang positif sehingga mempermudah interaksi dan

penyesuaian yang baik dengan orang lain. Dukungan dan peran dari orang

terdekat seperti keluarga, teman, atau saudara sangat penting dalam membantu

perkembangan kepribadian dan psikologisnya, terutama dalam pembentukan

konsep diri positif. Penilaian dan penerimaan yang positif dan kondusif

terhadap tuna netra juga akan meningkatkan konsep diri positif.

Sebagai seorang dewasa, tuna netra pun dituntut untuk mampu

menghadapi masalah-masalah yang dihadapinya dan mampu melaksanakan

tugas-tugas perkembangannya dengan baik, antara lain berkaitan dengan

(22)

pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan atau mandiri secara finansial

dan psikis. Oleh karena itu, konsep diri yang positif sangat diperlukan dalam

mengatasi masalah-masalah

Masih banyak orang yang belum tahu kalau seorang tuna netra jika

diberi kesempatan untuk menekuni satu bidang pekerjaan, maka ia akan sangat

bersungguh-sungguh dan menjadi tenaga kerja yang tidak kalah bahkan lebih

produktif dibanding orang yang bukan tuna netra. Dalam situs Mitra Netra

terdapat bukti-bukti bahwa ada beberapa tuna netra yang bekerja sebagai

operator telepon di beberapa perusahaan di Jakarta seperti PT. Indosiar Visual

Mandiri, Bank Muamalat, Rumah Sakit Hermina, dan lain-lain. Tercatat

kurang lebih 16 perusahaan di Jakarta yang telah menerima 29 tuna netra dan

1 perusahaan pertambangan batubara di Sawah Lunto yang dilatih oleh

Yayasan Mitra Netra (Kompilasi Dokumen Naker, 2005) Hal ini didukung

dengan adanya hasil penelitian Hendrato (2005) tentang konsep diri remaja

tuna rungu, yang juga memiliki keterbatasan fisik yang hampir sama dengan

tuna netra. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa remaja tuna rungu

secara umum memiliki konsep diri yang positif walaupun mereka menyadari

bahwa mereka memiliki kekurangan, yaitu tidak dapat mendengar.

Faktor-faktor yang menyebabkan remaja tuna rungu memiliki konsep diri positif

adalah adanya dukungan dan pembelajaran yang baik dari keluarga, sekolah

dan lingkungan sosial mereka.

Berdasarkan uraian di atas peneliti melihat bahwa tuna netra yang

(23)

diberikan pelatihan dan kesempatan kerja yang lebih baik layaknya orang

normal, karena mereka akan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Di sini

peneliti tertarik untuk meneliti gambaran konsep diri pada tuna netra yang

bekerja sebagai tukang pijat dalam beberapa aspek (fisik, psikis, moral dan

sosial) karena peluang kerja dan profesi tuna netra kebanyakan adalah sebagai

tukang pijat sesuai dengan pelatihan dan ketrampilan yang diberikan sewaktu

berada di panti sosial.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat

dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran konsep diri

yang dimiliki tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik,

psikis, moral dan sosial?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran konsep

diri seperti apa yang dimiliki oleh tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat

(24)

D.Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat menambah wacana tentang tuna netra,

terutama mengenai gambaran konsep diri pada tuna netra yang

bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis, moral dan

sosial.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan baru

bagi penyandang tuna netra sendiri terutama yang bekerja sebagai

tukang pijat, para pendidik dan praktisi bidang rehabilitasi tuna

netra, psikolog, dokter yang menangani tuna netra maupun peneliti

sendiri bahwa aktivitas atau pekerjaan yang dilakukan oleh tuna

netra yang bekerja sebagai tukang pijat menunjukkan adanya

(25)

9

A.Konsep Diri

1. Definisi Konsep Diri

Konsep diri menurut Wahyurini dan Mashum (2003) adalah

semua perasaan dan pemikiran individu akan dirinya meliputi

kemampuan, karakter diri, tujuan hidup, kebutuhan dan

penampilan diri. Konsep diri adalah self image (citra diri) yang

merupakan gambaran :

a. Siapa saya, yaitu bagaimana individu menilai keadaan pribadi

seperti tingkat kecerdasan, status sosial ekonomi, keluarga

atau peran lingkungan sosial individu.

b. Saya ingin menjadi apa, yaitu individu memiliki

harapan-harapan ideal yang ingin dicapai yang cenderung tidak

realistis.

c. Bagaimana orang lain memandang saya, yaitu menunjukkan

pada perasaan keberartian diri individu bagi lingkungan sosial

maupun diri sendiri.

Menurut Rakhmat (2003), konsep diri bukan sekedar

gambaran deskriptif saja tetapi juga penilaian individu tentang

dirinya sendiri meliputi apa yang dipikirkan dan dirasakan individu

(26)

didefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau

penilaian seseorang terhadap dirinya.

Konsep diri merupakan sikap dan keyakinan individu

terhadap dirinya sendiri yang mencakup seluruh pandangan tentang

kelemahan dan kelebihannya. Sikap dan keyakinan individu yang

negatif terhadap kualitas dan kemampuan individu dalam

menghadapi sesuatu akan mengakibatkan individu memandang

bahwa tugas yang dihadapinya merupakan sesuatu yang sulit,

tetapi sebaliknya jika ia memandang tugas tersebut sebagai sesuatu

yang positif berarti ia mempunyai sikap dan keyakinan yang

positif terhadap dirinya. Individu akan berhasil apabila konsep diri

seseorang sesuai dengan karakteristik diri dan sesuai dengan

kenyataan yang ada. Namun jika terjadi kesenjangan antara konsep

diri dengan kenyataan, maka individu akan mengalami kecemasan

dan akhirnya melakukan mekanisme pertahanan diri (Rogers dalam

Hendrato, 2005).

Berdasarkan beberapa uraian dan definisi konsep diri di

atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah

keseluruhan pandangan, penilaian, keyakinan dan perasaan

seseorang mengenai dirinya baik positif maupun negatif meliputi

kemampuan, karakter diri, harapan, tujuan hidup, kebutuhan dan

perasaan keberartian diri bagi lingkungan sosial maupun dirinya

(27)

perilaku seseorang yang tampak dari bagaimana cara ia

memandang diri dan kemampuannya.

2. Perkembangan dan Pembentukan Konsep Diri

Menurut Rini (2002) dan Hurlock (1996), konsep diri

seseorang terbentuk melalui proses belajar sejak masa

pertumbuhan dari kecil hingga dewasa dimulai dari

pengalaman-pengalaman seseorang terhadap lingkungan terdekatnya yaitu

lingkungan rumah dan anggota keluarga. Pola asuh orang tua serta

lingkungan dapat menjadi sumber informasi untuk menilai dirinya.

Individu cenderung memiliki konsep diri negatif apabila ia

dibesarkan dengan pola asuh yang keliru, kurang mendukung dan

negatif seperti orang tua suka marah-marah, menganiaya,

mengabaikan anak, dan lain-lain. Sebaliknya individu akan

memiliki konsep diri positif dan merasa bahwa dirinya berharga

apabila seseorang dibesarkan dengan pola asuh yang positif seperti

adil, menyayangi anak, mau menerima kegagalan atau kekurangan

anak, selalu memotivasi anak.

Ditinjau dari perkembangan individu, konsep diri seseorang

berkembang sesuai dengan bertambahnya usia seseorang yang

sifatnya relatif stabil dan hanya mengalami sedikit perubahan

berkaitan dengan masalah penyesuaian diri, tekanan-tekanan

(28)

usia dewasa dini. Keberhasilan atau kegagalan individu dalam

menguasai tugas perkembangan seperti yang diharapkan akan

mempengaruhi konsep diri dan kebahagiannya saat itu maupun

tahun-tahun terakhir kehidupannya (Hurlock, 1996). Konsep diri

akan menjadi negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan

tugas perkembangannya dengan baik karena mendapat kecaman

dan celaan dari masyarakat di lingkungannya. Akibatnya orang

akan menjadi sedih dan tidak bahagia. Konsep diri dan harga diri

seseorang akan meningkat dan lebih ke arah positif apabila berhasil

dalam melakukan tugas perkembang sehingga seseorang akan

merasa bahagia.

Simon (2006) mengatakan bahwa konsep diri individu

bersifat dinamis yaitu dapat berubah dan berkembang setiap waktu.

Perubahan dan perkembangan ini berlangsung sejak anak mengenal

bahasa dan dapat melibatkan diri dalam interaksi sosialnya.

Semakin luas perubahan dan perkembangan diri individu maka

semakin rinci serta mantap pola konsep dirinya.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri

Menurut Hurlock (1996) ada beberapa faktor yang

mempengaruhi konsep diri antara lain adalah :

(29)

Usia kematangan seseorang bukan dinilai dari

banyak sedikitnya usia seseorang melainkan dilihat dari

bagaimana seseorang memandang dan menyikapi

permasalahan yang muncul dalam melakukan penyesuaian

diri dengan lingkungan. Konsep diri seseorang akan

menjadi positif apabila keyakinan dan kepercayaan

seseorang terhadap kualitas dan kemampuan dirinya tinggi

sehingga ia dapat mandiri dan tidak bergantung lagi dengan

bantuan orang lain. Konsep diri akan menjadi negatif

apabila seseorang merasa tidak mampu, mudah putus asa,

dan selalu merasa tergantung dengan bantuan orang lain.

b. Cacat tubuh

Tubuh atau fisik yang sempurna tentu saja akan

meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Oleh karena itu,

konsep diri seseorang akan positif apabila penilaian

maupun pandangan seseorang terhadap tubuhnya baik

meskipun terdapat cacat fisik sekalipun Seseorang yang

berkonsep diri positif cenderung lebih mampu menerima

kekurangan dalam dirinya di samping kelebihannya. Di lain

pihak, konsep diri seseorang akan menjadi negatif apabila

keadaan fisiknya tidak sesuai dengan apa yang

diinginkannya seperti buta, cacat kaki, hidung pesek, dan

(30)

c. Julukan

Nama julukan yang diberikan teman sebaya maupun

masyarakat pada seseorang dapat mempengaruhi konsep

diri seseorang. Konsep diri seseorang akan menjadi negatif

apabila ia tidak mampu menyikapi nama julukan yang

diberikan yang cenderung bersifat negatif dan tidak dapat

melakukan penyesuaian dengan baik. Ini berarti ia tidak

memiliki keyakinan yang kuat terhadap dirinya sendiri.

Biasanya ia akan menjadi pemurung, mudah tersinggung,

mudah putus asa, dan merasa tidak berarti. Konsep diri

akan menjadi positif apabila seseorang mampu menyikapi

julukan yang diterimanya dengan positif dan melakukan

penyesuaian diri dengan baik sehingga muncul perasaan

keberartian diri.

d. Hubungan dengan keluarga

Hubungan seseorang dengan keluarga yang positif

dapat mempengaruhi konsep diri seseorang. Misalnya,

adanya komunikasi yang baik, adanya kasih sayang yang

cukup antaranggota keluarga, dan lain-lain sehingga konsep

diri seseorang juga positif. Konsep diri menjadi negatif

apabila hubungan seseorang dengan keluarganya, misalnya

sering bertengkar, kurang kasih sayang, dan lain-lain.

(31)

berdasarkan pola hubungannya dengan orang terdekatnya

dalam keluarga.

e. Lingkungan masyarakat

Konsep diri positif jika penerimaan dan dukungan

masyarakat terhadap kelebihan maupun kekurangannya

juga positif. Namun konsep diri akan menjadi negatif

apabila lingkungan masyarakat cenderung memberikan

kecaman dan celaan sehingga orang akan menjadi sedih,

terasing dan tidak bahagia.

f. Kreativitas

Seseorang yang sejak anak-anak berlatih kreatif

akan mengembangkan perasaan individualitas dan identitas

yang memberikan pengaruh yang positif bagi konsep

dirinya. Seseorang akan memilki konsep diri yang negatif

jika sejak anak-anak selalu mengikuti pola yang diberikan

oleh lingkungan sehingga kurang memiliki perasaan

individualitas dan identitas.

g. Harapan dan cita-cita individu

Seseorang yang memiliki cita-cita yang realistis dan

benar-benar nengenal karakter pribadi dan kemampuannya

akan cenderung mempunyai keberhasilan dalam

kehidupannya. Ini berarti konsep dirinya lebih positif.

(32)

cita-cita dan harapannya tidak realistis karena dapat

menyebabkan timbulnya perasaan tidak mampu atau

mekanisme diri untuk menutupi kegagalannya.

Menurut Centi (1993) dalam Liawati (2006 ) mengatakan

bahwa beberapa faktor yang cukup berpengaruh dalam

pembentukan konsep diri seseorang adalah:

a. Orang tua

Penilaian orang tua kepada anak akan menjadi

sumber bagi seseorang dalam menilai dirinya. Konsep diri

seseorang akan positif jika orang tua secara tulus dan

konsisten menunjukkan cinta dan sayangnya kepada anak

sehingga mereka akan memandang dirinya pantas dicintai

baik oleh dirinya sendiri maupun orang lain.

b. Saudara kandung

Bagaimana hubungan seseorang dengan saudara

kandung juga penting dalam pembentukan konsep diri.

Misalnya berkaitan dengan perlakuan terhadap anak sulung

sebagai pemimpin dan anak bungsu sebagai anak kecil yang

harus selalu dilindungi.

c. Teman sebaya

Dalam pergaulan dengan teman, apakah seseorang

dikagumi dan dihormati atau tidak dapat berpengaruh

(33)

d. Masyarakat

Mampu tidaknya seseorang memenuhi norma yang

berlaku di masyarakat dan bagaimana penerimaan

masyarakat terhadap diri dan kecocokan cita-cita seseorang

dengan cita-cita masyarakat memiliki peranan penting

dalam penbentukan konsep diri.

e. Pengalaman

Pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri juga

dipengaruhi oleh pengalaman keberhasilan dan kegagalan

yang pernah dialami. Pengalaman keberhasilan dapat

mengembangkan konsep diri positif sedangkan pengalaman

kegagalan dapat mengarah pada pembentukan konsep diri

yang negatif.

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan

bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan

konsep diri yaitu usia kematangan, cacat tubuh, julukan,

hubungan dengan keluarga (orang tua dan saudara kandung),

lingkungan masyarakat, teman sebaya, kreativitas, harapan dan

(34)

4. Aspek-aspek Konsep Diri

a. Aspek Fisik

Aspek fisik meliputi penilaian individu terhadap

segala sesuatu yang dimilikinya seperti tubuh, kesehatan

dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penampilan fisik.

Hal ini berkaitan dengan komunikasi dan interaksinya

dengan orang lain dalam rangka melakukan penyesuaian

diri dengan lingkungan di luar dirinya. Konsep diri akan

menjadi negatif apabila seseorang merasa bahwa

penampilan fisiknya kurang atau tidak sempurna (misalnya

cacat) dan tidak dapat menerima kekurangannya tersebut

sebagai suatu kenyataan. Biasanya ia akan merasa minder,

tidak percaya diri, dan tidak yakin akan dirinya. Sebaliknya

konsep diri akan positif apabila seseorang dapat menerima

kondisi tubuhnya apa adanya dan mau menerima

kekurangan yang ada pada dirinya sehingga apapun kondisi

yang dimilikinya tetap akan merasa nyaman, percaya diri

dan lebih yakin pada dirinya sendiri dalam melakukan

(35)

b. Aspek Psikis

Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap

yang dimiliki seseorang tentang dirinya (berkaitan dengan

karakteristik dan sifat-sifat yang dimilikinya). Konsep

dirinya akan positif jika ia mengenal dirinya dengan baik,

yakin akan kemampuannya dan harapan yang dimiliki

sesuai dengan kemampuannya sehingga dalam melakukan

segala sesuatu kemungkinan berhasil lebih besar.

Keberhasilan tentu saja akan memberikan kepuasaan,

kepercayaan diri dan kebahagiaan bagi seseorang.

Sebaliknya, konsep diri akan negatif jika seseorang merasa

tidak mampu, tidak yakin akan dirinya dan memiliki

harapan yang tidak realistis sehingga cenderung mengalami

kegagalan dan menimbulkan perasaan tidak bahagia.

c. Aspek Moral

Aspek moral meliputi nilai dan prinsip yang

memberi arti serta arah bagi kehidupan seseorang.

Seseorang dengan konsep diri positif akan mengambil

segala sesuatu dari lingkungan dn menjadikannya pedoman

atau patokan dalam berperilaku sehingga ia mengetahui

mana yang benar dan yang salah. Sebaliknya konsep

dirinya akan menjadi negatif apabila seseorang mengambil

(36)

yang benar dan yang salah sehingga ia tidak memiliki

patokan yang benar dalam berperilaku yang baik.

d. Aspek Sosial

Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang

dimainkan individu, bagaimana interaksi sosialnya, dan

bagaimana penilaiannya terhadap peranan tersebut. Peranan

sosial merupakan harapan-harapan sosial baru dari

masyarakat seperti memiliki pekerjaan tetap dan

membentuk keluarga merupakan harapan bagi orang

dewasa. Seseorang dengan konsep positif akan menilai dan

mempersiapkan dirinya untuk mencapai harapan tersebut

dengan penuh percaya diri.

Di lain pihak, seseorang dengan konsep negatif akan

menjadikan harapan tersebut sebagai “beban“ yang

membuatnya merasa tidak percaya diri sehingga akan

menimbulkan berbagai macam reaksi mekanisme

pertahanan diri. Terkadang ada juga orang yang tetap

memenuhi peranan itu meski keyakinan dan kepercayaan

terhadap kemampuannya kurang. Ini berarti konsep dirinya

(37)

5. Jenis-jenis Konsep Diri

Ada 2 macam konsep diri menurut Burns (dalam Rasuh,

2005) yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif. Konsep diri

positif meliputi evaluasi diri yang positif, perasaan harga diri yang

positif dan penerimaan diri yang positif. Seseorang dengan konsep

diri positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri, dn selalu

bersikap positif terhadap segala sesuatu. Konsep diri negatif

meliputi evaluasi diri yang negatif, membenci diri sendiri, perasaan

rendah diri, tidak menghargai diri sendiri, dan tidak menerima diri.

Konsep diri seseorang dianggap negatif jika ia meyakini bahwa

dirinya lemah, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik,

cacat, dan kehilangan daya tarik hidup.

6. Ciri-ciri Konsep Diri

Ciri-ciri konsep diri menurut Emmert (dalam Rakhmat,

2003) adalah :

a. Ciri-ciri konsep diri positif :

Yakin terhadap kemampuannya menghadapi masalah,

merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa

rasa malu, tidak sombong, mampu memperbaiki diri,

menyadari bahwa setiap orang memiliki perasaan yang khas

(baik perasaan, perilaku, maupun keinginan yang berbeda

(38)

b. Ciri-ciri konsep diri negatif :

Peka terhadap kritik, mudah marah, responsif dalam

menerima pujian, hiper kritis (meremehkan segala sesuatu

pada orang lain), mudah cemas, mudah putus asa,

memandang diri tidak memiliki potensi, kurang mampu

mengaktualkan potensi, cenderung merasa tidak disenangi

orang lain, pesimis terhadap kompetisi dan meraih prestasi.

B. Dewasa Madya

Masa dewasa madya adalah masa penting bagi seseorang terutama

dalam prosesnya untuk menyesuaikan diri terhadap peran baru dan harapan

sosial usia madya. Hal ini berkaitan dengan tugas perkembangan pada masa

dewasa madya, yaitu penyesuaian terhadap kehidupan keluarga dan

pemantapan standar hidup keluarga yang relatif mapan, tanggung jawab

umum dan sosial, serta terhadap pemanfaatan kegiatan orang dewasa pada

waktu luang (Hurlock, 1996) sehingga adanya konsep diri yang positif sangat

penting dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.

1. Definisi dan Batasan Dewasa Madya

Dewasa disebut juga dengan istilah adult yang berasal dari

kata Latin berarti tumbuh menjadi dewasa. Orang dewasa adalah

orang yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima

(39)

dewasa madya dimulai pada usia 40 sampai 60 tahun (Hurlock,

1996). Masa ini merupakan periode yang sulit dan menakutkan,

masa transisi dan penuh stres, masa untuk memperoleh penilaian,

dan masa yang menjemukan dalam rentang kehidupan seseorang.

Menurut Santrock (2003) masa dewasa tengah (middle

adulthood) adalah masa perkembangan yang dimulai kira-kira

antara usia 35-45 tahun dan berakhir pada usia antara 55 dan 65

tahun. Bagi banyak orang, paruh kehidupan adalah suatu masa

menurunnya ketrampilan fisik dan semakin besarnya tanggung

jawab; suatu periode di mana orang menjadi semakin sadar akan

popularitas muda-tua dan semakin berkurangnya jumlah waktu

yang tersisa dalam kehidupan; suatu titik ketika individu berusaha

meneruskan sesuatu yang berarti pada generasi berikutnya; dan

suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan

dalam karirnya. Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang

kehidupan kerja dari usia 20 sampai setidaknya usia 60 tahun, baik

orang dewasa yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak

berpendidikan tinggi (Rhodes, 1983; Tamir, 1982 dalam Santrock,

2002).

Papalia dan Olds (1986) mengatakan bahwa orang pada

masa dewasa madya antara usia 40-65 tahun biasanya masih dalam

kondisi sehat secara fisik maupun psikis, dan berada dalam posisi

(40)

Levinson (1978) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa pada

usia 40 tahun individu telah mencapai tempat yang stabil dalam

karirnya, telah mengatasi dan menguasai usaha-usaha sebelumnya

yang lebih lemah untuk belajar menjadi orang dewasa, dan

sekarang harus melihat ke depan pada jenis kehidupan yang akan

dijalaninya sebagai orang dewasa usia tengah baya. Dalam

California Longitudinal Study, Levinson dan Peskin (1981) dalam

Santrock (2002) menemukan bahwa pada waktu individu berusia

34-50 tahun, mereka adalah kelompok usia yang paling sehat,

paling tenang, paling bisa mengontrol diri, dan juga paling

bertanggung jawab.

Berdasarkan uraian di atas masa dewasa madya adalah

masa yang dimulai dari usia 35-60 tahun di mana seseorang

mengalami penurunan ketrampilan fisik, peningkatan tanggung

jawab terhadap keluarga dan lingkungan sosial, mencapai dan

mempertahankan kepuasan dalam karir, serta mengembangkan

(41)

2. Ciri-ciri Dewasa Madya

Menurut Hurlock (1996), ciri-ciri masa dewasa madya

antara lain adalah sebagai berikut :

Pada masa ini merupakan masa stres, di mana terjadi

penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang

berubah, khususnya bila disertai dengan perubahan fisik yang

cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan

membawa ke masa stres dalam melakukan penyesuaian pokok

yang harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan

mereka.

Masa ini juga merupakan masa berprestasi. Menurut

Erikson (Hurlock, 1996), usia madya merupakan masa krisis di

mana baik “generativity” (kecenderungan untuk menghasilkan)

maupun “stagnasi” (kecenderungan untuk tetap berhenti) akan

dominan. Selama usia ini orang dewasa madya akan menjadi lebih

sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan

sesuatu apapun lagi. Orang dewasa madya mempunyai kemauan

kuat untuk berhasil, dan akan mencapai puncaknya pada masa ini,

serta memungut hasil dari masa-masa persiapan dan kerja keras

yang dilakukan sebelumnya. Masa ini tidak hanya untuk

keberhasilan keuangan dan sosial tetapi juga untuk kekuasaan dan

(42)

Masa dewasa madya merupakan masa evaluasi diri. Pada

masa ini umumnya merupakan saat mencapai seseorang puncak

prstasinya sehingga perlu mengevaluasi prestasi tersebut

berdasarkan aspirasi semula dan harapan-harapan orang lain,

khususnya anggota keluarga dan teman.

Masa ini juga merupakan masa jenuh di mana biasa terjadi

pada usia tiga puluhan atau empat puluhan. Misalnya, kejenuhan

akibat kegiatan memelihara rumah dan membesarkan anak-anak

pada wanita dan kejenuhan pada kegiatan rutin sehari-hari dan

kehidupan bersama keluarga yang hanya memberikan sedikit

hiburan pada para pria. Akibatnya, usia ini seringkali merupakan

periode yang tidak menyenangkan dalam hidup.

3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Tugas perkembangan pada masa dewasa madya menurut

Havighurts (dalam Hurlock, 1996) adalah mau melakukan

penerimaan akan dan penyesuaian dengan berbagai perubahan fisik

yang normal terjadi pada usia madya; bertanggung jawab terhadap

kehidupan keluarga, sosial (masyarakat) dan sebagai warga negara;

mengembangkan minat untuk melakukan kegiatan-kegiatan

bermanfaat di waktu luang; pemantapan dan pemeliharaan standar

(43)

C.Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat

1. Definisi Tuna Netra

Tuna netra adalah orang yang tidak dapat melihat (Kamus

Besar Bahasa Indonesia, 1998). Menurut Tamin dan Radjamin

(1976) mengatakan bahwa kebutaan berarti ketidakmampuan mata

untuk mengolah rangsangan cahaya. Seorang tuna netra mungkin

juga masih mampu melihat meskipun tidak sempurna. Buta adalah

tingkat ketunanetraan di mana penglihatan tidak berfungsi secara

efektif (Sasraningrat, 1983). Kebutaan adalah suatu derajat

gangguan penglihatan yang paling berat (Yudono, 1983).

Menurut UU No. 4 Tahun 1997, penyandang cacat mata

adalah seseorang yang buta kedua mata atau kurang awas (low

vision) sehingga menjadi hambatan dalam melakukan kegiatan

sehari-hair secara layak atau wajar (Tarsidi, 2005). Istilah “blind

person“ atau tuna netra mencakup tuna netra yang tidak melihat

sama sekali dan tuna netra yang tidak mampu melihat

bentuk-bentuk objek tetapi pada itngkat tertentu masih dapat melihat sinar.

Bila seseorang mengalami gangguan pada indera penglihatan maka

kemampuan aktivitas yang bersangkutan akan sangat terbatas

karena informasi yang diperoleh akan jauh berkurang dibandingkan

orang berpenglihatan normal (Murakama, 1985). Apabila tidak

mendapat penanganan atau rehabilitasi khusus akan mengakibatkan

(44)

depresi atau hilangnya makna hidup (Nugroho,2002). Menurut

kriteria dari PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)

Dinas Sosial, cacat mata terbagi menjadi 2 yaitu buta total atau

buta kedua mata dan masih mempunyai sisa penglihatan atau

kurang awas (low vision) (Syahmin, 2006).

Di sini peneliti lebih memfokuskan pada penyandang tuna

netra yang buta total (buta kedua mata) dan memerlukan Braille

atau media non-visual lainnya.

2. Masalah yang Dialami Tuna Netra

Menurut Sudharmono (1983) terdapat beberapa masalah

atau akibat yang disebabkan oleh ketunanetraannya yaitu :

a. Keterbatasan dalam jumlah dan jenis pengalaman akibat tidak

berfungsinya indera penglihatan.

b. Keterbatasan kemampuan dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi

dengan orang lain dan lingkungan.

c. Keterbatasan dalam mengontrol lingkungan dan dirinya sendiri

dalam hubungannya dengan lingkungan tersebut. Contoh : jika

terjadi kecelakaan saat menyeberang tentu saja ia tidak dapat

merespon secara mendadak akibat kebutaannya sehingga

memungkinkan timbulnya kecemasan jika tidak dapat mengontrol

(45)

d. Sikap lingkungan dan keluarga. Konsep diri akan positif jika ada

penerimaan yang baik dari lingkungan dan keluarga. Sebaliknya

konsep diri akan negatif jika penerimaan dari lingkungan dan

keluarga kurang bahkan cenderung negatif seperti mencela dan

mengecam kekurangan mereka.

e. Usia dan tingkat kecacatan. Semakin lama usia dan tingkat

kecacatan, semakin mempermudah tuna netra menerima kenyataan

dan kekurangan dalam dirinya sehingga kemungkinan munculnya

kecemasan dan rasa takut berkurang.

f. Kepribadian. Peningkatan kecemasan merupakan ciri utama

kepribadian tuna netra. Hal ini tergantung bagaimana mereka

memandang dan menbentuk konsep dirinya. Konsep diri akan

positif jika ia mampu mengendalikan emosi atau kecemasan akibat

kekurangannya tersebut.

Dewasa ini masalah yang paling utama adalah adanya

persepsi masyarakat yang keliru pada tuna netra bahwa meski telah

diberikan rehabilitasi pendidikan maupun vokasional tetap saja

tidak dapat menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan

produktif. Akibatnya di bidang tenaga kerja kesempatan dan

peluang kerja yang mereka miliki terbatas (Kompilasi Dokumen

(46)

3. Tuna Netra yang Bekerja sebagai Tukang Pijat

Menurut Gilarso (1994) dalam Sari (2003) berdasarkan

pendidikan yang dimiliki pekerja terbagi atas 2 macam yaitu tenaga

kerja tak terdidik ( unskilled ) dan tenaga kerja terdidik dan terlatih

(skilled). Tenaga kerja tak terdidik (unskilled) adalah tenaga kerja

kasar yang kurang memiliki keahlian sedangkan tenaga kerja

terdidik dan terlatih (skilled ) adalah tenaga kerja yang

berpendidikan dan memiliki keahlian. Svalastoga (dalam Sari,

2003) mengklasifikasikan jenis pekerjaan yaitu profesional,

manajerial, klerek (administrasi) sebagai pekerjaan dengan

ketrampilan (skilled) dan yang lainnya adalah jenis pekerjaan yang

tidak memerlukan ketrampilan khusus (unskilled). Menurut

Anoraga (1992) pekerjaan merupakan sunber utama bagi

pencapaian status sosial. Selain itu, bekerja dilakukan secara

teratur dalam jangka waktu tertentu untuk memperoleh penghasilan

(uang) maupun memperoleh sesuatu dalam bentuk benda, jasa, atau

gagasan.

Menurut GBPP (Garis Besar Program Pertuni) 2004-2009

tentang ketenagakerjaan dan kewirausahaan bagi pekerja tuna netra

di Indonesia adalah :

1. Diperluasnya lapangan kerja yang konvensional atau lazim

di Indonesia bagi tenaga kerja tuna netra seperti juru pijat,

(47)

2. Terbukanya lapangan kerja non-konvensional bagi tenaga

kerja tuna netra seperti pekerjaan dalam bidang

administrasi, produksi, pemasaran sehingga tidak ada

perbedaan dengan tenaga kerja normal lainnya.

3. Didorongnya tuna netra yang telah memiliki ketrampilan

atau keahlian profesional bernilai ekonomis agar menjadi

wirausahawan, melalui jalur usaha mandiri, kelompok

usaha bersama atau koperasi.

(PERTUNI, 2004)

Kebanyakan selepas dari panti sosial tuna netra bekerja sebagai

tukang pijat, pengrajin sapu atau kesed sesuai ketrampilan yang

diberikan. Ini berarti tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat

termasuk pekerja terdidik dan terlatih (skilled).

Tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat adalah

seseorang yang tidak dapat melihat atau buta kedua mata yang

terdidik dan terlatih (skilled) atau memiliki keahlian dan

ketrampilan bekerja sebagai tukang pijat berijazah serta melakukan

kegiatan tersebut secara teratur dalam jangka waktu tertentu untuk

memperoleh penghasilan (uang), status sosial maupun memperoleh

(48)

D.Konsep Diri Tuna Netra yang Bekerja Sebagai Tukang Pijat

Tuna netra memiliki berbagai masalah akibat ketunanetraannya.

Menurut Sudharmono (1983) terdapat beberapa masalah akibat

ketunanetraannya tersebut, yaitu keterbatasan dalam jumlah dan jenis

pengalaman akibat tidak berfungsinya indera penglihatan, keterbatasan dalam

berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan,

keterbatasan dalam mengontrol lingkungan dan dirinya sendiri, adanya sikap

yang cenderung negatif dari lingkungan dan keluarga, serta kepribadian tuna

netra itu sendiri (berkaitan dengan peningkatan kecemasan pada tuna netra).

Dalam situs mitranetra, masalah utama yang dialami tuna netra dewasa ini

adalah adanya persepsi masyarakat yang keliru pada tuna netra bahwa meski

telah diberikan rehabilitasi pendidikan dan vokasional tetap saja tidak dapat

menjadi sumber daya manusia yang mandiri dan produktif. Akibatnya di

bidang tenaga kerja, kesempatan dan peluang kerja yang mereka miliki

terbatas.

Beberapa masalah di atas dapat menyebabkan berbagai kendala

psikologis pada tuna netra seperti perasaan inferior, depresi, atau hilangnya

makna hidup, dan sebagainya (Nugroho, 2002) yang dapat mengakibatkan

konsep diri pada tuna netra menjadi negatif. Menurut Havighurts (dalam

Wellykin, 2003), konsep diri (self concept) dan harga diri (self esteem) akan

menjadi negatif bila seseorang tidak dapat melaksanakan tugas perkembangan

dengan baik karena orang tersebut mendapat kecaman dan celaan dari

(49)

bahwa orang dewasa yang tidak dapat berhasil dalam tugas-tugas

perkembangannya akan mengalami isolasi. Oleh karena itu, cara pandang dan

pola pikir seseorang terhadap dirinya juga akan mempengaruhi emosi,

perilaku dan kebahagiaan hidup secara keseluruhan.

Namun demikian tuna netra juga harus belajar hidup mandiri dan tidak

tergantung pada bantuan orang lain lagi seperti saat di panti sosial dengan cara

bekerja sesuai dengan keterampilan dan pendidikan yang telah diberikan.

Kebanyakan ketrampilan yang diberikan adalah sebagai tukang pijat berijazah

sehingga diharapkan mereka mampu hidup mandiri selepas keluar dari panti

sosial. Tujuan mereka bekerja sebagai tukang pijat adalah untuk memperoleh

pendapatan berupa uang sebagai biaya hidup mandiri, untuk memperoleh

status sosial dari masyarakat sebagai bukti bahwa mereka juga bisa mandiri,

memiliki status pekerjaan yang jelas bahwa mereka memiliki keahlian dan

ketrampilan (skilled), dan tentu saja mereka dapat hidup mandiri tanpa

bantuan orang lain. Hal tersebut dapat menimbulkan kepuasan, kebahagiaan

dan keberartian hidup bagi tuna netra. Keberhasilan dalam pekerjaan sangat

tergantung pada motivasi, kesungguhan, disiplin, dan ketrampilan kerja

(Anoraga, 1992). Tuna netra yang memiliki keempat hal tersebut akan dapat

berhasil dalam pekerjaan dan mampu melakukan tugas-tugas

perkembangannya dengan baik seperti orang normal. Ini berarti konsep diri

atau pandangan tentang diri meliputi karakteristik, bakat, potensi, kelemahan

(50)

Ada beberapa bukti yang dapat mendukung bahwa konsep diri pada

tuna netra yang bekerja cenderung positif. Hal ini tampak dari beberapa tuna

netra yang dapat hidup secara mandiri dan bekerja tanpa bergantung dengan

orang lain, bahkan lebih produktif dibanding orang yang bukan tuna netra.

Misalnya, tuna netra yang bekerja sebagai operator telepon di beberapa

perusahaan di Jakarta seperti PT. Indosiar Visual Mandiri, Bank Muamalat,

Rumah Sakit Hermina, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, dan sebagainya

(Situs Mitranetra). Ada juga yang bekerja sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil)

terutama di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Pekerjaan lainnya adalah

sebagai guru atau pengajar (Kompilasi Dokumen Naker, 2005).

Tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat berarti mampu menjadi

mandiri dan tidak terikat pada orang lain atau orang tua. Untuk mampu

menjadi mandiri dan tidak terikat pada orang lain seseorang perlu memiliki

ketrampilan, percaya pada diri sendiri, berorientasi pada pencapaian hasil dan

prestasi, tabah, kreatif, inovatif, siap menghadapi tantangan dan mengambil

resiko, menghargai waktu, serta berpandangan jauh ke depan akan mendorong

seorang tuna netra untuk tetap disiplin, belajar sungguh-sungguh dan selalu

siap untuk bekerja keras (Anoraga, 1992).

Levinson (1978) dalam Santrock (2002) mengatakan bahwa pada usia

40 tahun, individu telah mencapai tempat yang stabil dalam karirnya, telah

mengatasi dan menguasai usaha-usaha sebelumnya yang lebih lemah untuk

belajar menjadi orang dewasa, dan sekarang harus melihat ke depan pada jenis

(51)

Santrock (2002) menambahkan bahwa terdapat komitmen yang lebih besar

terhadap pekerjaan seiring bertambahnya usia, di mana individu bekerja

dengan lebih serius, tingkat ketidakhadiran yang dapat dihindarkan semakin

sedikit, lebih banyak mencurahkan diri pada pekerjaan pada masa ini daripada

pada masa dewasa dini. Kepuasan kerja meningkat secara stabil sepanjang

kehidupan kerja-dari usia 20 sampai setidaknya 60 tahun, baik orang dewasa

yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak berpendidikan tinggi (Rhodes,

1983; Tamir, 1982 dalam Santrock, 2002). Hal ini semakin mendukung bahwa

konsep diri pada orang dewasa madya yang bekerja, dalam hal ini tuna netra

yang bekerja sebagai tukang pijat, adalah positif.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri tuna netra

yang bekerja sebagai tukang pijat cenderung positif karena ada usaha untuk

menjadi mandiri, mapan tanpa bantuan atau ketergantungan dengan orang lain

dan mampu melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh serta ada usaha

untuk mencapai tempat yang stabil dalam karirnya.. Ini berarti mereka dapat

melakukan penyesuaian diri dengan baik layaknya orang normal dan mampu

mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam karirnya sehingga

kehidupannya juga akan bahagia.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu diperoleh gambaran tentang

konsep diri positif pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat baik

(52)

TUNA NETRA Keterbatas-an jumlah dan jenis pengalaman akibat kebutaan Keterbatasan komunikasi dan interaksi dengan orang lain Keterbatas-an mengontrol lingkungan dan diri sendiri Persepsi negatif masyarak at terhadap pekerja TN Sikap cenderung negatif dari lingkunan dan keluarga Sempit-nya lapangan kerja bagi TN

TUNA NETRA YANG BEKERJA SEBAGAI TUKANG PIJAT Mendapat penghasilan tetap (uang) Status sosial

Mandiri Mempunyai

ketrampilan dan keahlian Memiliki status pekerjaan mapan

KONSEP DIRI (+)

Memperoleh kepuasan

(53)

37

A.Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti adalah metode penelitian

kualitatif deskriptif. Koentjaraningrat (dalam Devi, 2003) mengatakan bahwa

metode analisis kualitatif adalah analisis tentang sesuatu yang hasilnya

disajikan dalam bentuk uraian atau paparan yang menggambarkan objek

penelitian. Data tidak diuraikan dalam bentuk angka-angka tetapi dalam

kategori-kategori.

Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memberikan gambaran

(deskripsi) yang lebih jelas mengenai situasi-situasi sosial yang sedang terjadi

secara faktual apa adanya (Nasution, 2003). Menurut Moleong (1988), metode

penelitian deskriptif akan menghasilkan data berupa deskripsi kata-kata yang

dicatat berdasarkan uraian lisan dari subjek serta catatan perilaku-perilaku

teramati selama diadakan penelitian.

B.Definisi Operasional

Konsep diri adalah keseluruhan penilaian, pandangan dan perasaan

seseorang mengenai dirinya baik positif maupun negatif berdasarkan aspek

fisik, aspek psikis, aspek moral dan aspek sosial. Untuk mengetahui

gambaran konsep diri seseorang dapat dilihat berdasarkan aspek-aspek

(54)

1. Aspek fisik meliputi penilaian individu terhadap segala

sesuatu yang dimilikinya seperti kondisi tubuhnya dan

kesehatan tubuhnya.

2. Aspek psikis meliputi pikiran, perasaan dan sikap yang

dimiliki individu terhadap dirinya.

3. Aspek moral meliputi nilai dan prinsip yang memberi arti

serta arah bagi kehidupan seseorang.

4. Aspek sosial meliputi bagaimana peranan sosial yang

dimainkan individu, penilaiannya terhadap peranan tersebut

dan bagaimana interaksi sosialnya baik dengan keluarga

maupun lingkungan sekitarnya.

Konsep diri pada tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam

penelitian ini dapat diketahui melalui metode wawancara.

C.Subjek Penelitian

Di sini peneliti hanya menggunakan 1 orang subjek, yaitu tuna netra

yang bekerja sebagai tukang pijat di Muntilan. Pemilihan subjek didasarkan

pada konstruk operasional atau operational construct sampling (Poerwandari,

2001), di mana subjek dipilih berdasarkan kriteria tertentu berlandaskan teori

yang sesuai dengan tujuan penelitian. Hal ini dimaksudkan agar subjek

penelitian dapat mewakili fenomena yang akan diteliti. Kriteria pengambilan

(55)

1. Tuna netra total (buta kedua mata)

Alasan pengambilan subjek tuna netra total (buta kedua mata)

adalah karena secara fisik mereka memiliki keterbatasan fisik dan

keterbatasan dalam berinteraksi dan berkomunikasi orang lain

dibandingkan tuna netra buta sebagian (low vision) yang masih

mempunyai sisa penglihatan. Ini berarti tuna netra buta total lebih

cenderung mengalami kesulitan dalam berinteraksi dan cenderung

lebih membutuhkan bantuan dari orang lain.

2. Memiliki pekerjaan sebagai tukang pijat.

Alasannya adalah karena kebanyakan tuna netra selepas

keluar dari panti sosial bekerja sebagai tukang pijat sesuai dengan

ketrampilan dan pendidikan yang diberikan.

3. Termasuk usia dewasa madya berkisar antara 35-60 tahun.

Alasannya adalah karena kebanyakan subjek yang ditemui

berusia dewasa madya dan sudah berkeluarga. Selain itu, pada usia

ini seseorang dituntut untuk dapat semakin bertanggung jawab baik

terhadap keluarga, sosial (masyarakat), dan sebagai warga negara;

mau menerima perubahan fisik pada dirinya; mampu melakukan

pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan; dan

mampu mangembangkan minat dan memanfaatkan waktu luang

(56)

D.Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan informasi tentang gambaran konsep diri

tuna netra yang bekerja sebagai tukang pijat, maka dalam penelitian ini

peneliti menggunakan metode penelitian wawancara dan observasi (sebagai

data pelengkap).

1. Wawancara

Teknik wawancara dilakukan dengan melakukan tanya

jawab secara langsung terhadap subjek penelitian yang bertujuan

untuk mendapatkan data tentang gambaran konsep diri pada tuna

netra yang bekerja sebagai tukang pijat. Menurut Nasution (dalam

Devi, 2003), wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal

atau semacam percakapan yang bertujuan memperoleh informasi.

Melalui wawancara yang dilakukan seorang interviewer menggali

informasi yang terdalam mengenai diri subjek serta hal-hal yang

berkaitan dengan kehidupannya. Peneliti harus menerima informasi

yang diberikan informan tanpa membantah, mengecam, atau tidak

menyetujui.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan wawancara semi

terstruktur. Wawancara ini dilakukan secara langsung dengan

menggunakan pedoman pertanyaan wawancara (interview guide).

Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti

mengenai aspek-aspek tertentu yang harus dibahas sekaligus

(57)

telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001). Hal-hal yang

ingin digali dalam wawancara adalah : Gambaran konsep diri tuna

netra yang bekerja sebagai tukang pijat dalam aspek fisik, psikis,

moral dan sosial.

Pertanyaan-pertanyaan pendahulu tentang latar belakang subjek :

1. Data demografik subjek seperti nama, usia,jenis kelamin,

agama, suku.

2. Riwayat kehidupan keluarga subjek (urutan kelahiran, jumlah

anggota keluarga, status perkawinan, jumlah anak, keluarga

inti).

3. Sejarah kebutaan subjek (penyebab kebutaan, tingkat kebutaan,

sejak kapan mengalami kebutaan ).

4. Riwayat atau sejarah pendidikan subjek.

5. Riwayat pekerjaan subjek (sejak kapan bekerja sebagai tukang

pijat, motivasi yang mendorong melakukan pekerjaan itu,

hambatan yang dialami, pekerjaan sebelumnya jika ada, jumlah

penghasilan tiap bulan).

6. Latar belakang sosial subjek berkaitan dengan relasi dan

(58)

2. Observasi sebagai Data Pelengkap

Menurut Banister, dkk, 1994 (dalam Poerwandari, 2001)

mengatakan bahwa istilah observasi diarahkan pada kegiatan

memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul

dan mempertimbangkan hubungan antaraspek dalam fenomena

tersebut. Metode observasi dapat digunakan untuk mengecek

informasi yang telah diperoleh melalui metode pengumpulan

informasi yang lain, yaitu wawancara sehingga informasi yang

diperoleh valid.

Peneliti menggunakan metode observasi non-partisipan, di

mana peneliti mengamati perilaku subjek secara langsung selama

wawancara berlangsung sehingga peneliti memperoleh data dan

informasi melalui interaksi tersebut. Metode observasi yang

digunakan adalah observasi tak berstruktur untuk melihat kejadian

terhadap diri subjek sehari-hari secara langsung tanpa pedoman

yang mutlak untuk diikuti (dalam Pratiwi, 2005). Di sini peneliti

hanya menggunakan metode observasi sebagai pelengkap data

wawancara, di mana observasi akan dilakukan selama wawancara

berlangsung saja.

Hal-hal yang akan diobservasi adalah :

1. Kondisi fisik dan kesehatan subjek,

2. Kondisi rumah dan benda yang dimiliki subjek,

(59)

4. Hubungan subjek dengan keluarga, klien dan orang di

lingkungannya.

E.Prosedur Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti membuat prosedur untuk masuk dalam

setting penelitian sehingga memudahkan peneliti dalam memperoleh data.

Prosedur penelitian adalah sebagai berikut :

a. Membuat blue-print pedoman wawancara (interview guide) yang

sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian.

b. Menentukan subjek, waktu dan tempat penelitian.

c. Menyiapkan surat keterangan dari fakultas yang berisi keterangan

akan mengadakan penelitian.

d. Menghubungi subjek untuk meminta kesediaan menjadi subjek

penelitian.

e. Meminta ijin kepada subjek untuk mengadakan penelitian dengan

membawa surat keterengan resmi dari fakultas.

f. Melakukan penelitian.

F.Metode Analisis Data

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kulitatif sehingga

analisis data yang dipakai adalah analisis isi data. Data-data kualitatif yang

diperoleh melalui wawancara pada subjek penelitian kemudian akan dianalisis

(60)

1. Kategori data sejenis

Diawali dengan penyusunan transkrip verbatim (kata demi

kata) hasil wawancara dan catatan lapangan melalui observasi (hanya

sebagai pelengkap dalam lampiran). Kemudian peneliti memberikan

kode-kode atau catatan pada transkrip guna memilah-milah data.

Data-data yang telah disusun dan digolongkan dalam tema atau kategori

yang sama dan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Koding dalam

penelitian ini didasarkan pada aspek-aspek konsep diri Berzonsky

(dalam Hendrato, 2005).

2. Rekapitulasi data

Data yang sudah diperoleh kemudian diolah dan disusun

sehingga data-data yang diperoleh menampilkan suatu pola hubungan.

3. Interpretasi data dan penarikan kesim

Gambar

Tabel Rangkuman Hasil Analisa Wawancara Subjek
Tabel 4. Kode Wawancara Konsep Diri

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara berat badan lebih dengan tekanan intraokular di Sultan Agung Eye Center Rumah Sakit

Use case mendeskripsikan sebuah interkasi antara satu atau lebih aktor dengan sistem informasi yang akan dibuat dan digunakan untuk mengetahui fungsi apa saja yang ada

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya yang berjudul: “MANAJEMEN MADRASAH TSANAWIYAH PONDOK PESANTREN ASSUNNIYYAH TAMBARANGAN KABUPATEN TAPIN PROVINSI KALIMANTAN

Dari hasil penelitian kuat tekan batako ringan styrofoam, perbandingan bahan yang paling baik dan menghasilkan kuat tekan yang paling tinggi yaitu pada perbandingan 1

tingkat pendidikan; d) sektor usaha dan faktor eksternal yaitu variabel a) pendekatan model formalisasi; b) bentuk lembaga perizinan; c) persyaratan perzinan; d) prosedur

Selain bergantung pada faktor ketakkomutatifan posisi dan momentum, persamaan gerak osilator harmonik dalam ruang fase tak komutatif juga bergantung pada gaya

Penyelesaian numerik persamaan forced KdV menggunakan metode beda hingga skema eksplisit, dapat dilakukan dengan langkah-langkah antara lain yaitu Menentukan syarat awal dan

Selanjutnya dalam penyajian aspek-aspek kelayakan pembukaan Kantor Capem baru di Pasar Aur Kuning Bukittinggi akan menggunakan metode Analisis Lingkungan Perusahaan,