• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA Tesis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA Tesis"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG

BAGI YANG KUDUS:

STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN

CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

YOGYAKARTA

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

YH. Bintang Nusantara 046322003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG

BAGI YANG KUDUS:

STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN

CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN

YOGYAKARTA

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

YH. Bintang Nusantara 046322003

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)
(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : YH. Bintang Nusantara

Nomor Mahasiswa : 046322003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

PEZIARAHAN SEBAGAI PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS: STUDI TENTANG PROSES PEMBENTUKAN PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS GANJURAN YOGYAKARTA.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal 21 April 2009

Yang menyatakan

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan penulis haturkan atas limpahan kasihNya. PenyertaanNya telah memungkinkan penulis menyelesaikan tesis ini. KehadiranNya sungguh nyata dalam setiap orang yang membantu penulis menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu penulis bermaksud menghaturkan tesis dengan judul “Peziarahan Sebagai Ruang Bagi Yang Kudus: Studi Tentang Pembentukan Peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta” sebagai persembahan hidup kepadaNya.

Penulis sungguh bersyukur atas studi tentang pembentukan CHKTY Ganjuran yang penulis lakukan. Dari studi inilah penulis mengenal lebih banyak tentang keluarga Schmutzer sebagai sosok utama dibalik munculnya peziarahan CHKTY Ganjuran. Mereka telah memberikan sebagian besar hidupnya sebagai persembahan bagi Hati Kudus Tuhan Yesus. Oleh karena itu dengan menelusuri pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran, penulis berharap apa yang telah penulis hasilkan sebagai apresiasi penulis terhadap seluruh cara hidupnya.

(8)

Terselesaikannya tesis ini tidak lepas dari dorongan, bimbingan, perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan limpah terimakasih kepada:

1. Dr. G. Budi Subanar SJ. selaku dosen pembimbing dan penguji yang dengan keikhlasan di tengah kesibukannya berkenan untuk memberi arahan dan pandangan yang memungkinkan keberlangsungan penulis dalam studi dan penyelesaian tesis.

2. Dr. St. Sunardi selaku Ketua Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, yang memperkembangkan penulis dengan wawasannya yang mendalam dan telah berkenan pula menjadi penguji tesis ini.

3. Prof. Dr. A. Supratiknya yang telah berkenan menjadi dosen penguji untuk membantu penulis dalam mempertanggungjawabkan tesis ini.

4. Prof. Dr. A. Sudiarja SJ yang telah berkenan membimbing penulis dengan memberikan kerangka berpikir dan gagasan-gagasan yang mengarahkan penulis dalam penyusunan keseluruhan penulisan tesis.

5. Seluruh staf dosen Program Magister Ilmu Religi dan Budaya khususnya Dr. Budiawan yang telah berkenan menjadi moderator pelaksanaan ujian tesis ini. 6. Mbak Henki selaku staf sekretariat yang dengan caranya memperkembangkan

penulis selama perjalanan studi dan penyusunan tesis.

(9)

8. Pengelola Peziarahan CHKTY Ganjuran bersama para peziarah yang telah menjadi sumber informasi bagi penulis untuk keseluruhan penulisan tesis ini. 9. Secara khusus kepada Rita Setyaningsih, istri tercinta yang dengan penuh kasih

dan kelembutan memberi dorongan yang tiada habisnya dalam pasang surut perjalanan studi dan penulisan tesis ini bersama dengan buah hati kami Lintang dan Gabriel, yang telah menjadi pendukung paling istimewa bagi penulis.

10.Bapak Ibu di Kutoarjo, Bapak Ibu di Malang dan semua keluarga di Jogja, Kutoarjo, Purworejo, Malang, Tangerang dan dimana pun berada, yang senantiasa berdoa dan memberi dukungan dengan cara masing-masing selama penulis menjalani studi dan menyusun tesis ini.

11.Teman-teman seangkatan dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah berperan dalam proses studi maupun penulisan tesis ini.

Penulis juga menyadari bahwa apa yang tersaji dalam tesis ini tak lepas dari kekurangan dan kekuranglengkapan, maka penulis sungguh berterimakasih atas berbagai masukan, kritik maupun saran demi penyempurnaan tesis ini. Semoga berbagai masukan, kritik dan pemikiran baru yang penulis terima akan semakin menyempurnakan tesis ini. Akhirnya semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada seluruh pembaca demi upaya meningkatkan cara hidup kita di hadapan Yang Kudus khususnya melalui praktek ziarah yang kita jalani.

Yogyakarta, 20 Januari 2009 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG... 1 .

B. RUMUSAN PERMASALAHAN ... 8

C. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

D. TUJUAN PENULISAN ... 19

E. MANFAAT PENULISAN ... 20

F. METODE PENULISAN ... 21

G. SISTEMATIKA PENULISAN ... 22

BAB II ZIARAH MANUSIA DAN PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS... 24

A. ZIARAH DALAM HIDUP MANUSIA ... 24

1. Manusia Sebagai Peziarah ... ... 24

2. Kebiasaan Berziarah dalam Hidup Manusia ... 27

3. Kebiasaan Berziarah dalam Gereja ... 29

4. Peranan Sosio Religius Ziarah ... 33

5. Obyek Ziarah ... 38

B. YANG KUDUS DALAM HIDUP MANUSIA ... 41

1. Gambaran Manusia Religius tentang Yang Kudus ... 41

2. Kehadiran Yang Kudus dalam Hidup Manusia ... 42

(11)

1. Perlakuan yang Berbeda Terhadap Ruang dan Waktu ... 46

2. Upaya-Upaya Pengudusan Ruang dan Waktu bagi Yang Kudus ... 48

BAB III PERTUMBUHAN DAN PEMBENTUKAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS SEBAGAI PEZIARAHAN ... 53

A. PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG MEMBENTUK CANDI HKTY GANJURAN SEBAGAI PEZIARAHAN ... 54

1. Pembangunan Gereja Ganjuran ... 54

2. Pembangunan Candi ... 56

3. Pemberkatan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Monumen Perutusan ... 59

4. Gerakan Romo Utomo dengan Spiritualitas Hati Kudus Tuhan Yesus ... 60

5. Pembangunan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus sebagai Kompleks Peziarahan ... 64

6. Munculnya Air Perwitasari ... 67

B. BERBAGAI UNSUR YANG MEMBENTUK PEZIARAHAN CHKTY GANJURAN ... 69

1. Adanya Candi Hati Kudus Tuhan Yesus ... 69

2. Ritual Ziarah yang Inkulturatif ... 71

3. Air Perwitasari: Tuhan Yang Menyembuhkan ... 76

4. Adanya Legitimasi dari Otoritas Gereja ... 78

5. Kisah-kisah yang Tercipta dan Pengakuan Diri ... 80

BAB IV PEZIARAHAN CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: RUANG BAGI YANG KUDUS ... 85

A. PENGUDUSAN YANG TERJADI ... 86

1. Kehadiran Yang Kudus. ... 86

2. Ritual Agama yang Inkulturatif ... 91

(12)

B. CANDI HATI KUDUS TUHAN YESUS: DARI DEVOSI

KELUARGA KE DEVOSI UMAT ... .. 102

1. Devosi Keluarga yang Mengumat ... 102

2. Konstruksi yang Berkelanjutan ... 105

C. TANTANGAN KE DEPAN: TERUS MENJADI RUANG BAGI YANG KUDUS ... 108

1. Terus Menjadi Ruang Perjumpaan dengan Yang Kudus ... 108

2. Menempatkan Ritual Ziarah pada Tempatnya ... 110

BAB V PENUTUP ... 113

A. KESIMPULAN ... 113

B. SARAN ... 117

(13)

ABSTRAK

Judul tesis ini adalah “Peziarahan Sebagai Pengudusan Ruang Bagi Yang Kudus: Studi Tentang Proses Pembentukan Peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, Yogyakarta”. Tesis ini merupakan usaha untuk menelusuri dan mengkaji secara mendalam proses pembentukan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus (CHKTY) Ganjuran sebagai sebuah peziarahan. Kajian ini tak lepas dari adanya upaya yang terus berlangsung pada saat ini untuk membentuk dan mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah. CHKTY seperti halnya tempat ziarah yang lain seolah-olah “diusahakan”, sehingga menjadi tempat ziarah yang menarik. Oleh karena itu permasalahan tesis ini berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana proses terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah?

CHKTY Ganjuran yang dibangun mulai tahun 1927 dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 diyakini telah menjadi tempat di mana iman kepada Yang Kudus diekspresikan sedemikian rupa, sehingga menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat Katolik dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya. Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan dan diakui sebagai tempat ziarah. Berdasarkan pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus dan pembentukan ruang bagi Yang Kudus, maka CHKTY Ganjuran telah mengalami proses menjadi ruang bagi Yang Kudus.

Dari penelitian diperoleh penegasan bahwa, terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai ruang bagi Yang Kudus tak lepas dari inisiatif keluarga Schmutzer untuk “menciptakan” ruang bagi Hati Kudus Tuhan Yesus dalam bentuk sebuah candi. Kehadiran Yang Kudus dalam ruang yang disebut peziarahan CHKTY Ganjuran sangat diyakini oleh pengelola maupun para peziarah. Keyakinan ini didukung oleh pengalaman mereka sendiri atau pun kesaksian dari peziarah yang lain. Peristiwa yang “meneguhkan” keyakinan akan kehadiran Yang Kudus di CHKTY Ganjuran adalah “munculnya” Tirta Perwitasari dari bawah candi. Air yang mempunyai daya menyembuhkan ini diyakini menjadi tanda kehadiran Yang Kudus. Berbagai kisah pun bermunculan sehubungan pengalaman akan Yang Kudus. Kisah “besar” dan kisah “kecil” yang tercipta berperanan menjadi unsur yang membentuk identitas ruang yang disebut sebagai peziarahan CHKTY Ganjuran. CHKTY Ganjuran pun menciptakan “legendanya” sendiri.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Ziarah merupakan gerakan umat manusia yang bersifat universal. Kebiasaan berziarah dilakukan manusia di sepanjang jaman dan tempat. Tradisi ziarah adalah milik semua umat manusia, tanpa membedakan bangsa, suku, ras dan agama.1 Berziarah dilakukan manusia dengan berkunjung ke tempat tertentu yang dianggap suci atau keramat. Bagi orang beragama, tempat yang menjadi tujuan ziarah diyakini sebagai tempat kehadiran Yang Ilahi. Oleh karena itu menurut Brenda Shoshanna, PHD., dalam bukunya Zen, Wisdom, di banyak agama besar, ada perintah untuk melakukan ziarah, yaitu untuk meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas, keadaan diri seseorang yang biasa, dan melakukan perjalanan menuju antah berantah.2 Perjalanan ziarah ini dilakukan entah secara perorangan atau secara kelompok. Inti dari perjalanan ziarah bagi orang beriman adalah “mencari” dan menemukan Yang Ilahi.

Pada masa sekarang ini, di tengah deru modernisasi yang melanda hampir semua sektor kehidupan termasuk dalam hidup keagamaan, ziarah sebagai kekayaan spiritual tetap dipertahankan dan bahkan ditumbuhsuburkan.3 Dalam hidup keagamaan umat Katolik di Indonesia, tradisi ziarah juga tumbuh subur. Hal ini tampak dari ramainya tempat-tempat ziarah umat Katolik pada bulan Mei dan

1

M.Budi Sardjono. Ziarah Dari Sendangsono Sampai Puhsarang Kediri. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 2002, 3. Lihat juga C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta: Kanisius, 187.

2

Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 187. 3

(15)

Oktober. Umat Katolik entah secara perorangan atau secara kelompok mengunjungi berbagai tempat ziarah yang ada pada bulan-bulan tersebut.

Mengapa umat mendatangi tempat-tempat ziarah? Budi Sardjono berpandangan bahwa alasan-alasan umat berkunjung ke suatu tempat ziarah sangatlah beragam. Alasan-alasan itu antara lain, di tempat ziarah orang lebih mantap dalam hal berdoa dibandingkan di tempat yang biasa. Permohonan serta doa yang didoakan di tempat ziarah juga diyakini akan terkabul. Di tempat ziarah, umat mengalami kehadiran Yang Ilahi. Pengalaman akan Yang Ilahi ini disebut oleh umat/peziarah sebagai mukjijat, yaitu dengan terjadinya kesembuhan dari sakit, mendapat keturunan, ataupun rumah tangganya utuh kembali.4 Dengan kata lain di tempat ziarah yang dikunjungi, umat berpandangan bahwa mereka dapat berdoa secara khusuk untuk mendapatkan sesuatu, entah yang amat spiritual, seperti pengalaman dengan Yang Ilahi, atau yang material seperti kesembuhan, keberhasilan dalam usaha dan karya, jodoh, dan sebagainya.

Sekarang ini ternyata bukan hanya ziarah yang marak tetapi juga munculnya upaya untuk membangun atau mengembangkan tempat-tempat ziarah. Di mana-mana “tempat ziarah” seolah-olah “diusahakan”, tentunya atas dasar pertimbangan bahwa berguna sebagai saluran devosi rakyat.5 Pembangunan tempat-tempat ziarah ini pun “dibarengi” usaha promosional untuk menunjukkan kekhasan yang ada di tempat tersebut. Usaha promosional ini dimaksudkan agar tempat ziarah yang ada menjadi “laku”, sehingga peziarah atau pun pengunjung yang datang ke tempat tersebut akan bertambah banyak.

4

M.Budi Sardjono. Ibid., 4. Dan lihat Andreas Wasono yang memperoleh ketentraman dengan datang berziarah seperti dikisahkan Albertus Handriyo Widi Ismanto. “Setelah Disentuh Tyas Dalem”, dalam Majalah Utusan No. 06 Tahun ke-52, Juni 2002, 30-31.

5

(16)

Tempat ziarah pada akhirnya diperlakukan sebagai obyek untuk menarik kunjungan para peziarah maupun wisatawan yang hendak menikmati tempat tersebut. Akibatnya pertumbuhan tempat-tempat ziarah kemudian diikuti dengan munculnya berbagai kegiatan lain yang terkait dengan usaha untuk beroleh keuntungan termasuk penjualan berbagai kebutuhan untuk “melayani” para peziarah maupun wisatawan saat pelaksanaan ritual ziarah ataupun juga pasca ziarah berlangsung. Yang terjadi selanjutnya apa yang lantas dikenal sebagai “profanisasi” tempat-tempat ziarah. Tempat ziarah tak ubahnya tumbuh sebagai tempat untuk berdoa menuju surga, namun sekaligus juga tempat untuk mencari harta ataupun pemenuhan hidup harian. Dengan demikian keberadaan suatu tempat ziarah senantiasa tak pernah lepas dari aneka kepentingan.6

Sekarang ini tampak kecenderungan seperti halnya pariwisata, maka ziarah juga direkayasa sehingga menjadi kebutuhan. Ziarah menjadi agenda yang “diciptakan” untuk menjadi kebutuhan bagi orang beragama. Artinya, siapapun yang menganggap diri sebagai orang beriman dan beragama sudah semestinya menjalankan laku ziarah seperti telah diagendakan dalam tradisi agamanya. Bagi umat Katolik di Indonesia, kecenderungan ini tampak dari adanya agenda umat untuk berziarah ke tempat-tempat ziarah Maria pada bulan tertentu, yaitu Mei dan Oktober. Pengelolaan tempat ziarah pun dilakukan sedemikian rupa sehingga membuat para peziarah merasa “harus” datang berziarah di tempat tersebut.

6

(17)

Seperti halnya tempat pariwisata senantiasa memilih dan berupaya untuk mengidentifikasikan produknya sebagai sesuatu yang eksotis, sehingga melalui eksotisme yang ada menggiring orang ke dalam suatu bentuk penjelajahan, petualangan dan penemuan baru dengan mengunjunginya, maka demikian juga tempat ziarah ditawarkan sedemikian rupa sehingga memikat para peziarah untuk datang.7 Tempat ziarah dengan berbagai cara ditawarkan sebagai tempat yang eksotis pula. Eksotisme tempat ziarah ditampilkan dengan menunjukkan bahwa tempat tersebut sungguh masih “asli” dan membuat para peziarah yang datang beroleh kepuasan. Oleh karena itu yang terjadi kemudian adalah berbagai usaha (pengelola) yang berlomba-lomba menunjukkan tempat ziarahnya sebagai tempat yang eksotis. Eksotisme sebuah tempat ziarah ditunjukkan bukan hanya melalui pencitraan sisi fisik tetapi juga berbagai pendukung lainnya yang dimaksudkan untuk memperlihatkan kekudusan tempat tersebut: entah dengan menunjukkan banyaknya mukjijat, kesaksian peziarah yang datang atau lainnya. Artinya ada upaya untuk “merekayasa” tempat ziarah, sehingga mengundang minat peziarah untuk datang. Bahkan setiap tempat ziarah berupaya untuk menciptakan “legenda kudusnya” masing-masing yang memperlihatkan apa yang khas dalam peziarahan tersebut.

Sehubungan dengan muncul serta tumbuh dan berkembangnya tempat ziarah, maka fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran (Candi HKTY) menjadi hal yang sangat menarik. Tempat ziarah yang dibangun mulai tahun 1927 dan selesai tahun 1930 sesudah pembangunan gereja tahun 1924 ini sekarang sangat ramai dikunjungi. Tempat ziarah ini dalam aneka kesempatan juga terus memperkenalkan keberadaannya pada para peziarah. Saat ritual ziarah dilaksanakan

(18)

ataupun saat promosional yang lain selalu dilakukan semacam upaya untuk menyampaikan kisah-kisah berkenaan dengan munculnya peziarahan ini. Kisah-kisah yang disampaikan nampaknya hendak menunjukkan apa saja yang memperlihatkan "kekuatan” CHKTY sebagai peziarahan. Disadari betul adanya kebutuhan untuk memperkenalkan latar belakang munculnya CHKTY sebagai tempat ziarah beserta kekhasannya kepada para peziarah atau bagi para pengelola peziarahan itu sendiri.

Dari pengamatan awal dan dialog dengan pengelola peziarahan menjadi jelas bahwa tahun 1988 ada gerakan untuk menghidupkan “lagi” dan mengembangkan CHKTY sebagai tempat ziarah.8 Salah satu hal yang sangat kuat dilakukan adalah menggali kembali “semangat awal” yang mendorong adanya CHKTY. Adapun semangat awal ini diyakini terdapat dibalik berbagai peristiwa yang mengiringi perjalanan pertumbuhan dan perkembangan CHKTY. Apa sajakah peristiwa-peristiwa penting yang dikisahkan untuk memperkenalkan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Mengapakah peristiwa-peristiwa tersebut dipandang penting? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan “legenda” tentang CHKTY sebagai peziarahan? Benarkah sejak awal mula CHKTY sebagai tempat ziarah? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi pertanyaan sentral untuk tesis ini.

Kajian secara mendalam terhadap proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran ini diharapkan akan dapat membantu para peziarah dalam menjalani laku ziarah. Kajian ini diharapkan juga membantu para pengelola

8

(19)

peziarahan dalam mengembangkan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah di masa sekarang dan yang akan datang. Bagi para peziarah kajian ini semakin perlu untuk memberikan pemahaman akan latar belakang tempat ziarah yang dikunjunginya, sebab banyak peziarah tidak mengetahuinya. Dengan mengetahui latar belakang tempat ziarah yang dikunjungi, sadar akan sejarahnya, serta mau belajar dari sejarah berdirinya tempat-tempat ziarah itu, maka para peziarah bisa belajar untuk menangkap apa kehendak Yang Ilahi dalam hidupnya pada masa kini dan masa yang akan datang seperti halnya pengenalan akan kehendak Yang Ilahi yang telah dilakukan oleh para tokoh “pendiri” dan “pengembang” tempat ziarah tersebut.

Tempat-tempat ziarah bagi umat beragama pada umumnya memang menjadi tempat di mana iman kepada Yang Ilahi diekspresikan sedemikian rupa, sehingga menjadi wahana tumbuh dan berkembangnya hidup beriman umat. Dengan kata lain tempat ziarah itu menjadi tonggak-tonggak mekarnya iman kepada Yang Ilahi.9 Hal inilah yang juga terjadi berkenaan dengan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran. Peziarahan CHKTY Ganjuran juga telah menjadi tonggak bagi mekarnya iman akan Yang Ilahi dalam lingkup daerah Ganjuran dan sekitarnya. Bahkan karena perannya dalam “memekarkan” iman Katolik, maka CHKTY Ganjuran dijadikan sebagai monumen perutusan murid Kristus.10

9

Lihat M.Budi Sardjono. 2002, 5. 10

(20)

Menurut Rm. G. Utomo Pr candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran sebenarnya merupakan “monumen keluarga” yang dibuat oleh keluarga Schmutzer untuk mengungkapkan syukur kepada Allah atas keberhasilan pabrik gula yang dimilikinya dalam mengatasi krisis ekonomi tahun 1920an. Schmutzer membangun CHKTY sebagai persembahan syukur atas apa yang diperolehnya kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Namun dalam perkembangannya ternyata CHKTY telah berkembang menjadi tempat ziarah seperti sekarang ini.

Bagaimanakah ekspresi pribadi Schmutzer dan keluarganya lantas menjadi ekspresi umat? Bagaimanakah tempat untuk devosi11 pribadi Schmutzer dan keluarganya lantas menjadi tempat untuk devosi umat? Bagaimana lingkup CHKTY Ganjuran menjadi peziarahan? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi pertanyaan lebih lanjut untuk ditelusuri sejalan dengan kesadaran akan pentingnya pengenalan secara mendalam akan latar belakang tumbuh dan berkembangnya peziarahan CHKTY Ganjuran. Bagaimakah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat ditelusuri jawabannya?

Pemikiran Mircea Eliade tentang Yang Kudus, ruang kudus beserta bagaimana manusia melakukan pengudusan terhadap alam dan berbagai pemikiran lain yang relevan, kiranya kita dapat menjadi acuan kita untuk pengkajian. Eliade secara mendalam telah menunjukkan bagaimana pengudusan suatu obyek (termasuk ruang atau tempat) dapat terjadi baik melalui hierofani, tanda manifestasi dari Yang Kudus, tanda yang diusahakan maupun upacara.12 Dengan memanfaatkan berbagai sumber pengetahuan yang ada termasuk yang secara khusus telah mengkaji tentang

11

Sehubungan dengan devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus ini, Tom Jacobs seorang teolog dalam Gereja Katolik di Indonesia memaparkan pemikirannya di majalah Utusan, dengan menyatakan bahwa devosi adalah bentuk kebaktian tertentu. Kebaktian ini ditujukan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus. Tekanan devosi hendaknya pujian dan syukur bukan pertama-tama pada permohonan. Lihat Tom Jacob. “Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau Permohonan”. dalam Utusan. No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 8-10.

12

(21)

CHKTY Ganjuran, maka kita akan memperoleh masukan yang semakin kaya dan semakin mendalam untuk dapat menjadi landasan dalam mencermati proses pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Berbagai pemikiran yang ada juga dapat sungguh menjadi dasar untuk pengkajian kita.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

Berpangkal dari latar belakang di atas maka permasalahan dalam tesis ini berpusat pada pertanyaan utama yaitu bagaimana proses terbentuknya CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Peristiwa-peristiwa penting mana yang sebenarnya dipandang sebagai jejak-jejak menentukan keberadaan CHKTY Ganjuran sebagai tempat ziarah? Bagaimana peristiwa-peristiwa tersebut secara perlahan menciptakan “legenda” tentang peziarahan CHKTY Ganjuran?

C. TINJAUAN PUSTAKA

Manusia dalam sejarahnya di dunia adalah peziarah (“homo viator”). Ia senantiasa hidup dalam perjalanan. Menurut Yohanes Paulus II, pada jaman sekarang ini, perjalanan hidup manusia,

di satu pihak agaknya berjalan ke arah tujuan-tujuan positif berbagai ragam: integrasi seluas dunia dalam sistem-sistem global, sekaligus perasaan yang tajam terhadap pluralisme dan sikap hormat terhadap pelbagai jati diri historis dan nasional, kemajuan ilmiah dan teknis, dialog antar umat beragama, pelbagai komunikasi yang agak mengabur dalam keramaian seluruh dunia melalui instrumen-instrumen, yang semakin efektif dan langsung. Akan tetapi di lain pihak, pada setiap salah satu jalan-jalan itu, rintangan-rintangan silih berganti tampil dalam bentuk-bentuk dan cara-cara yang baru: berhala-berhala ekonomi, penindasan, penyalahgunaan posisi politik orang, arogansi ilmiah, fanatisme religius.13

13

(22)

Manusia terus-menerus hidup dalam pergolakan untuk mengatasi apa saja yang ditemukan dalam perjalanan hidupnya. Di tengah pergolakan hidup yang terus menerus berlangsung itu ia tidak jarang mengalami keletihan, ketidakpastian dan bahkan frustasi. Sekalipun telah menguasai alam semesta melalui akal budinya, namun manusia seringkali menemukan fenomena-fenomena yang di luar kemampuannya untuk mengatasi atau pun menemukan jawabannya. Hendropuspito menyebutnya sebagai kekurangan esksistensial. Menurut dia, kekurangan ini memang dapat membuat hidup ini suatu frustasi yang mendalam atau bahkan penderitaan lahir dan batin.14 Hal ini juga dikemukakan Geertz dengan mengatakannya bahwa apa yang dialami manusia tersebut sebagai kecemasan paling mengerikan bagi manusia. Menurut Geertz,

Manusia dapat menyesuaikan dirinya entah bagaimana pada apa saja yang dapat dikuasai imajinasinya; tetapi ia tidak bisa berhadapan dengan Khaos. Karena fungsi khas dan modalnya yang paling tinggi adalah konsep, ketakutan terbesarnya adalah menemui apa yang tidak dapat diuraikannya…Oleh karena itu modal-modal kita yang paling penting adalah simbol-simbol tentang orientasi umum kita di dalam alam, di atas bumi, dalam masyarakat, dan dalam apa yang sedang kita kerjakan.15

Manusia menyadari bahwa upayanya untuk menanggapi fenomena-fenomena hidup yang dialami tidak dapat hanya dengan melihat dalam dunia empiris saja. Manusia menyadari adanya keterbatasan dirinya untuk mengatasi semua hal berdasarkan akal budi semata. Manusia memandang perlunya dunia yang lain, yaitu yang supra empiris, dunia transenden, yang tidak terjangkau oleh pengalaman empiris manusia, menjadi medan yang “dimasukinya”. Di sinilah letak agama yang diyakini manusia dapat memberikan jawaban atas persoalan eksistensial yang tidak dapat dijangkaunya. Melalui agama, manusia kemudian mengandalkan dan

14

D. Hendropuspito. 1990. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 31-32. 15

(23)

menggunakan kekuatan supra empiris yang tertinggi. Inilah yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dengan ungkapan agama sebagai usaha manusia untuk membentuk suatu kosmos keramat. Agama adalah kosmisasi dalam suatu cara keramat (sakral).16 Bagi Berger kosmos yang ditegakkan oleh agama bukan hanya mengatasi (trancend) manusia, melainkan juga meliputi manusia. Berger melihat bahwa kosmos yang keramat itu dihadapi oleh manusia sebagai suatu realitas yang sangat berkuasa yang bukan dari dirinya sendiri dan telah menempatkan kehidupan manusia dalam suatu tatanan yang bermakna.17 Dengan demikian agama ialah suatu sikap terhadap dunia, sikap mana menunjuk kepada suatu lingkungan yang lebih luas daripada lingkungan dunia ini yang bersifat ruang dan waktu; lingkungan yang lebih luas itu adalah dunia rohani.18

Agama menyangkut cara pandang tentang dunia dan sekaligus cara bertindak. Simbol-simbol keagamaan akan mendorong pemeluknya untuk mengambil disposisi tertentu termasuk juga pilihan tindakan yang diambil dari disposisi yang telah ditentukannya. Berdasarkan pemikiran Peter L. Berger dengan cara ini dalam kaitan dengan usaha manusia untuk kosmisasi realitas, maka agama menghantar manusia dalam suatu tatanan hidup yang bermakna. Agama menciptakan semacam kosmos keramat yang di dalamnya masyarakat religius hidup terlindungi dalam keteraturan puncak. Dalam kosmos keramat ini manusia dibebaskan dari rasa cemas karena kekacauan anomik (tanpa nomos), yakni tanpa hukum dan peraturan yang menyatukan mereka.19

16

Peter L. Berger. 1991. Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial. terj. Jakarta: LP3ES, 32-33. 17

Ibid. 18

Ibid. 19

(24)

Mengingat bahwa manusia selalu mengungkapkan imannya dalam rupa-rupa bentuk religius, maka agama mempunyai segi batiniah maupun lahiriah. Manusia beragama itu memperkembangkan hubungannya dengan kekuatan yang transenden (Yang Ilahi) dalam bentuk sistem pemikiran, yaitu mitos, ajaran agama maupun dogma; dalam sistem kelakuan sosial melalui upacara keagamaan, ritus dan juga melalui sistem kelembagaan berupa organisasi-organisasi keagamaan.20 Oleh karena itu dalam membangun disposisi bagi kehidupannya, maka manusia beragama memandang penting kedudukan upacara atau ritual keagamaan.

Ritual keagamaan dilaksanakan untuk penghadiran kembali pengalaman keagamaan dalam bentuk kultis. Hal ini dinyatakan oleh Mariasusai Dhavamony dengan menyatakan bahwa agama merupakan tindakan simbolis: ritual. Menurut Mariasusai, ritual dapat dikatakan sebagai agama dalam tindakan. Simbol-simbol yang digunakan dalam ritual mengungkapkan perasaan, perilaku serta membentuk disposisi pribadi dalam diri manusia yang menjalankannya.21 Penghadiran kembali pengalaman yang terjadi melalui ungkapan simbolik ini mengekspresikan pengalaman manusia dengan Yang Ilahi. Akibatnya, seturut pemikiran Mircea Eliade, maka ritual membuat suatu perubahan ontologis pada manusia dan mentransformasikan manusia kepada situasi keberadaan baru, yaitu penempatan ke dalam lingkup yang kudus.22 Manusia pun pada akhirnya mengalami perubahan fundamental yang eksistensial dalam hal cara beradanya, yakni cara berada yang dikuduskan. Dengan kata lain agama melalui ritualnya menghantar manusia mengatasi kelemahan eksistensial ketika dia berhadapan dengan berbagai persoalan eksistensial dalam hidupnya yang tidak mampu dijawabnya hanya dengan

20

Nico Syukur Dister, OFM., Dr. 1988. ibid.. 21

Mariasusai Dhavamony, “Fenomenologi Agama. terj. Yogyakarta: Kanisius, 167. 22

(25)

mengandalkan apa yang empiris saja. Agama menjadi usaha manusia untuk mengatasi kelemahan eksistensinya. Oleh karena itu Geertz mendefinisikan agama sebagai,

“(1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis”.23

Pemahaman apapun terhadap agama, tampaknya tidak ada yang menyangsikan, bahwa dalam apa yang disebut agama tersedia apa yang ingin diraih manusia. Agama tumbuh dari kemauan manusia untuk hidup atau dari kemauan untuk mengatasi persoalan eksistensial kehidupannya khususnya akan makna terdalam dari hidupnya. Motivasi untuk kelakuan beragama ini oleh Nico Syukur Dister dikelompokkannya dalam empat bagian, yaitu beragama untuk sarana mengatasi frustasi, beragama sebagai sarana untuk menjaga kesusilaan dan tata tertib masyarakat, beragama untuk memuaskan intelek yang ingin tahu dan beragama untuk mengatasi ketakutan.24 Agama merupakan bagian dari kesadaran manusia akan adanya sesuatu yang lebih ideal dan memberi arti serta makna kepada kehidupannya.

Bagi A. Sudiarja secara fenomenologis, agama muncul dari pengalaman manusia akan “daya” (power). Manusia kagum menyaksikan dunia dan lingkungannya yang dipenuhi oleh “daya-daya”: daya hidup, daya alam, daya-daya yang tidak kelihatan, tetapi mempunyai pengaruh yang dapat dirasakan. Manusia

23

Clifford Geertz. 1992, 5. 24

(26)

juga dapat terkena atau memiliki “daya-daya” ini dan menjadi “berdaya”.25 Seperti halnya yang dinyatakan oleh Mariasusai, maka menurut Sudiarja dengan ritus, manusia memang mencoba mengungkapkan sikapnya yang benar di hadapan yang suci, yang berdaya itu.26

Manusia mempunyai sikap tertentu baik terhadap kehidupan ini maupun di hadapan yang suci. Namun ada perbedaan antara manusia religius dan manusia non religius dalam memandang kehidupan dan bagaimana “menjalaninya”. Dengan mendalam Mircea Eliade mengemukakan pemikirannya bagaimana manusia (religius) dalam bersikap terhadap kehidupan ini, terhadap dunia, terhadap manusia sendiri dan terhadap apa yang dianggapnya kudus. “Agama”, menurut Mircea Eliade, tidak harus berarti kepercayaan kepada Tuhan, dewa-dewa atau roh-roh, tetapi mengacu pada pengalaman akan yang kudus dan, sebagai konsekuensinya, berhubungan erat dengan konsep ada, makna, dan kebenaran. 27

Manusia religius senantiasa menempatkan kehidupannya tak lepas dari relasi dengan Yang Kudus. Yang Kudus menjadi pusat kehidupannya. Realitas yang paling utama ialah Yang Kudus. Manusia religius mempunyai kerinduan yang dalam, untuk tinggal di dalam suatu dunia yang kudus atau berada sedekat mungkin dengan obyek-obyek yang dikuduskan.28 Hal ini berbeda dengan manusia yang non religius yang lebih mengutamakan rasio dalam menanggapi realitas hidupnya sehari-hari. Manusia non religius selalu melihat dan menghadapi persoalan kehidupannya secara rasional dengan mengandalkan kemampuan otaknya. Oleh karena itu berhadapan dengan

Hary Susanto. 2006. “Memeluk Agama, Menemukan Kebebasan: Mircea Eliade tentang Manusia Arkhais”. dalam Sesudah Filsafat: Esai-Esai Untuk Franz Magnis Suseno. Yogyakarta: Kanisius., 306.

28

(27)

pandangan tentang Yang Kudus, yang supranatural, mereka tetap membutuhkan bukti-bukti rasional. Hary Susanto menyatakan bahwa kehidupan religius menuntut kesadaran akan pertentangan antara Yang Kudus dan yang profan. Alam tidak pernah merupakan alam secara murni. Bagi mereka yang mempunyai pengalaman religius seluruh alam sanggup untuk menyatakan dirinya sebagai sakralitas kosmis.29

Dalam bukunya The Sacred and The Profane, Eliade menyatakan lebih lanjut bagaimana manusia religius dalam memandang dunia dan kehidupannya. Bagi manusia religius, dunia dimengerti sebagai daerah yang mereka diami saja.30 Dunia yang macam ini disebutnya sebagai kosmos, artinya dunia yang teratur. Sedangkan daerah asing yang tidak didiami disebutnya sebagai daerah yang masih kacau atau tidak teratur atau khaos. Melalui proses “penyucian”, maka menurut manusia religius dapat dilakukan adanya peralihan daerah atau wilayah yang semula sebagai daerah khaos menjadi kosmos. Eliade menyebut proses “penyucian” ini dengan istilah kosmogoni, yaitu mengulang kembali penciptaan awal. Dengan cara ini tempat tinggal yang telah dipilih manusia religius untuk mendiaminya menjadi tempat yang telah “dikuduskan” dan sekarang mengambil bagian dalam kekudusan Yang Kudus.31 Oleh karena itu, manusia religius tidak memperlakukan semua tempat atau ruang secara sama. Perbedaan perlakuan ini tak lepas dari adanya keyakinan bahwa tingkat kekudusan suatu ruang berbeda dari ruang yang lain justru karena ada atau tidaknya kehadiran dari Yang Kudus. Apabila Yang Kudus memanifestasikan diri di suatu tempat atau ruang tertentu, maka ruang tersebut menjadi kudus.32

29

Ibid. 30

Mircea Eliade. 1959. The Sacred and The Profane terj. Willard R. Trask. New York: Harcourt, Brace and World Inc., 29-30.

31 Ibid., 31-32, 34, 45-51. 32

(28)

Bagi manusia religius, seluruh kosmos terbuka kepada Yang Kudus. Oleh karena itu manusia religius meyakini bahwa obyek apa saja dapat menjadi hierofani atau penampakan Yang Kudus baginya. Dari pemikiran Eliade menurut Hary Susanto kekudusan suatu tempat memang tidak selalu ditunjukkan oleh adanya hierofani, yaitu peristiwa yang menunjukkan manifestasi dari Yang Kudus, tetapi sering hanya dengan suatu tanda.

Pengudusan, entah melalui peristiwa hierofani entah lewat tanda-tanda ataupun metode-metode tertentu, itu berlaku untuk semua obyek dan mahluk di dunia. …Lewat tanda-tanda istimewa, suatu obyek, binatang atau manusia tertentu menjadi kudus. Dan apabila hierofani serta tanda-tanda istimewa yang menguduskan itu tidak ada, maka semua obyek, binatang atau manusia bisa dikuduskan dengan berbagai bentuk upacara pengudusan.33

Dengan demikian upacara (ritus) pengudusan harus dipandang sebagai sarana bagi manusia religius untuk menguduskan apa saja yang terkait dengan kehidupannya termasuk dirinya. Dengan ritus ia melakukan proses penyucian atau pembaharuan dunia dan dirinya sendiri menuju keadaan yang baru seperti pada awal dirinya diciptakan.34

Pelaksanaan upacara atau ritus ini juga dilaksanakan didasarkan adanya kesadaran bahwa realitas dunia yang sekarang tidak lagi menunjukkan apa yang sejalan dengan realitas dunia pada awal mula. Dengan kata lain dunia sekarang bukan sebagai dunia yang teratur atau kosmos. Oleh karena itu dunia ini perlu diperbaharui kembali agar dunia bisa memulihkan kembali kekudusan aslinya, yaitu kekudusan yang diperoleh dari tangan Sang Pencipta.35 Pengudusan melalui ritus ini memungkinkan terjadinya kembali kedekatan hubungan manusia religius dengan

33

Hary Susanto. 1987, 49-53. Dari pengamatan Hary Susanto, secara rinci Eliade menunjukkan bagaimana dunia mengambil bagian dalam kekudusan Yang Kudus. Oleh karena itu, air, tanah, langit dan lain-lain disebut kudus.

34 Mircea Eliade. The Sacred and The Profane, 78. 35

(29)

Yang Kudus. Ritus menghantar manusia religius untuk merasakan kehadiran dan tinggal bersama dengan Yang Kudus.

Eliade berpandangan, bahwa upaya manusia untuk mendekati Yang Kudus hanya dapat dilakukan melalui bantuan simbol. Oleh karena itu simbol bagi manusia religius, selalu bersifat religius karena menunjuk pada sesuatu yang nyata yang mewahyukan realitas kudus yang selanjutnya diharapkan menghasilkan suatu kesatuan erat yang kekal antara manusia dengan Yang Kudus.36 Simbol-simbol keagamaan ini dipandang bisa menghadirkan realitas yang transenden tetapi tidak menggantikannya. Hal ini terjadi karena, manusia yang terdiri dari jiwa dan raga serta bergulat dalam kehidupan sehari-hari, membutuhkan hal-hal yang konkret yang dapat diraba, yang langsung berkaitan dengan hidup real.37

Tempat ziarah dengan segala aktifitas yang ada dalamnya diharapkan juga menghantar pertemuan manusia/peziarah dengan Yang Kudus. Keberadaan tempat ziarah beserta upacara dengan berbagai lambang yang ada hendaknya juga dalam rangka membantu para peziarah untuk semakin dekat dan tinggal bersama Yang Kudus. Tempat-tempat ziarah yang ada haruslah menjadi “Kemah Pertemuan” antara manusia dengan Yang Kudus.38 Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa manusia sebagai mahluk religius membutuhkan simbol-simbol ataupun perantara untuk semakin dapat menjalin relasi dengan yang transenden. Peziarahan dan aktivitas ritual ziarah yang terjadi di dalamnya dapat dipandang menjadi ungkapan ke arah itu.

36

Ibid., 61. 37

Basir G Karimanto, OMI dan F. Sihol Siagian “Mengasih Maria Menagih Sejuta Doa. dalam Hidup No. 19 Tahun LV 13 Mei, 12.

38

(30)

Manusia sebagai mahluk religius dengan berbagai cara memang senantiasa ingin mengetahui asal, penyelenggara dan tujuan hidupnya. Kebiasaan berziarah yang dilakukan manusia juga merupakan salah satu upaya untuk mengalami perjumpaan dengan penyelenggara hidupnya.39 Praktek ziarah dengan demikian sebenarnya tidak datang dari kepercayaan Kristiani tetapi datang dari dorongan religiositas wajar dan alamiah dari kebutuhan dasar manusia. Dengan datang ke tempat ziarah tertentu, maka manusia religius tidak semata-mata menghormati tempat itu, tetapi menghormati kehadiran Yang Kudus yang diyakini terlibat dalam kehidupan manusia di tempat tersebut. Keyakinan para peziarah bahwa tempat tersebut menjadi tempat di mana Yang Kudus hadir menjadi alasan utama sehingga selanjutnya tempat tersebut dikuduskan dan diberi label tempat ziarah atau peziarahan.40

Label sebagai tempat ziarah atau peziarahan telah diberikan pula pada CHKTY Ganjuran. Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mencoba mengenal berbagai hal berkenaan dengan peziarahan ini. Esti Elihami merupakan salah satu yang telah menelusuri keberadaan CHKTY dalam kajiannya tentang inkulturasi sebagai landasan tumbuh dan berkembangnya Paroki Hati Kudus Yesus Ganjuran Yogyakarta. Dia menyatakan bahwa, keluarga Schmutzer membimbing umat melalui karya-karya nyata mereka dan devosi (penghormatan khusus) mereka terhadap Hati Kudus Yesus yang mereka sebarluaskan kepada penduduk.41 Menurut Esti, religiositas dari keluarga Schmutzer inilah yang tampak pada gereja dan candi Hati

39

C. Groenen, OFM. 1988, 192. 40 Basir G Karimanto, Hidup, 12 41

(31)

Kudus Yesus yang mereka bangun.42 Keluarga Scmutzer membangun gereja dan candi sebagai tempat beribadat bagi Tuhan dan sekaligus menjadi ajakan bagi umat untuk beribadat juga kepadaNya.

Selain Esti Elihami, ada kajian lain yang telah dilakukan, yaitu oleh Sumandiyo Hadi yang meneliti ritual agama khususnya perayaan ekaristi di peziarahan CHKTY Ganjuran. Ia memaparkan hasil penelitian studi kasusnya mengenai pembentukan simbol ekspresif (seni) di dalam ritual agama yang disebut perayaan ekaristi dalam bukunya Seni dalam Ritual Agama.43 Dalam bukunya, Sumandiyo Hadi mengemukakan, peristiwa upacara atau perayaan Liturgi Ekaristi ini dianggap sebagai salah satu obyek wisata ziarah. Ritual agama yang setiap tahunnya diselenggarakan di lingkup CHKTY Ganjuran telah makin berkembang dan menjadi perhatian bukan hanya umat peziarah, melainkan masyarakat setempat bahkan wisatawan. 44

Dewan Paroki Ganjuran pada tahun 2004 dalam rangka perayaan syukur 80 tahun keberadaan Paroki Ganjuran juga telah menelusuri keberadaan CHKTY Ganjuran dalam kaitan dengan sejarah keselamatan di Gereja Ganjuran serta peran khas spiritualitas hidup keluarga Schmutzer. Berbagai peristiwa yang terkait dengan CHKTY dalam “buku ulang tahun” ini telah dipaparkan pula.45 Demikian pula Panduan Prosesi yang dibuat untuk Prosesi Agung pada tahun yang sama juga memuat tentang fenomena peziarahan CHKTY Ganjuran. Secara eksplisit dalam buku panduan ini dinyatakan bahwa Gereja dan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus

42 Ibid.

43 Sumandiyo Hadi, Y. 2006. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Buku Pustaka. ix., 3. 44 Ibid., 299-311.

45

(32)

Ganjuran menjadi tempat ziarah yang dikunjungi, bahkan terkesan “didominasi” para devosan dari berbagai daerah.46

CHKTY Ganjuran yang telah mendapat label sebagai tempat ziarah saat sekarang keberadaanya senantiasa dikaitkan dengan berbagai peristiwa yang menunjukkan adanya kehadiran Yang Kudus. Dari peristiwa-peristiwa inilah CHKTY seperti halnya tempat–tempat ziarah yang lain lantas mempunyai kisahnya sendiri yang mengungkapkan pengalaman religius umat di sekitarnya atau pun para peziarah yang berziarah ke tempat tersebut sekalipun mereka datang dari daerah lain. Kajian mengenai berbagai peristiwa yang melatarbelakangi adanya suatu peziarahan beserta unsur-unsur pokok yang membentuk suatu peziarahan kiranya dapat menjadi “kelanjutan” berbagi pemikiran yang sudah ada tentang peziarahan khususnya peziarahan CHKTY Ganjuran.

D. TUJUAN PENULISAN

Setiap peziarahan memang mempunyai “legendanya” masing-masing. Namun demikian selalu ada unsur-unsur pokok yang menunjukkan suatu tempat disebut sebagai peziarahan. Tesis ini berupaya untuk melihat pertumbuhan dan proses pembentukan candi HKTY sebagai tempat ziarah sekaligus menunjukkan apa saja unsur-unsur pokok yang membentuk suatu peziarahan.

Kajian secara mendalam dalam tesis ini diharapkan dapat:

1. menyajikan gagasan dasar tentang ziarah dalam hidup manusia beserta usaha-usaha yang dilakukan manusia untuk pengudusan ruang bagi Yang Kudus yang tercermin dari munculnya peziarahan.

46

(33)

2. mendeskripsikan peristiwa-peristiwa penting dan unsur-unsur pokok yang mengkonstruksi “legenda” tentang CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. 3. menyajikan analisa terhadap perkembangan peziarahan CHKTY, yaitu dari

devosi keluarga ke devosi umat beserta tantangan-tantangan yang dihadapi.

E. MANFAAT PENULISAN

Penulisan ini hendak memberikan sumbangan yang bersifat deskriptif tentang Candi HKTY Ganjuran khususnya berkenaan dengan proses pembentukannya. Dengan penulisan ini diharapkan secara lengkap dapat diperoleh pemahaman yang mendalam tentang munculnya CHKTY sebagai peziarahan. Pemahaman yang mendalam ini selanjutnya diharapkan dapat memberikan sumbangan kritis tentang pentingnya menempatkan praktek ziarah yang dapat menghantar peziarah sampai pada pemaknaan yang mendalam pula, sehingga pelaksanaan ritual ziarah sungguh berorientasi pada upaya membantu peziarah agar tidak jatuh pada kesalehan semata.

(34)

F. METODE PENULISAN

Penulisan deskriptif yang hendak menjelaskan dan menggambarkan tentang proses pembentukan peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran ini dilakukan dengan mengandalkan studi pustaka maupun studi lapangan. Dalam studi lapangan, usaha mengkaji secara mendalam fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran, dilakukan dengan pengamatan, observasi, maupun wawancara. Pengamatan dan observasi terhadap fenomena peziarahan Candi Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran dilakukan bukan hanya terbatas pada sisi fisik, melainkan juga aktivitas yang terjadi dalam lingkup peziarahan termasuk aktivitas ziarah yang sedang berlangsung. Sedangkan wawancara dilakukan untuk lebih jauh mengetahui obyek yang dikaji beserta keseluruhan kaitannya.

(35)

Pada akhirnya untuk mendukung seluruh kajian, dalam penulisan ini juga dilakukan studi pustaka. Berbagai buku pustaka yang secara khusus memperlihatkan pergulatan pemikiran tentang peziarahan dan pengudusan ruang bagi Yang Kudus dalam hidup manusia dimanfaatkan untuk penulisan ini. Dengan studi pustaka ini pula diharapkan semakin lengkap paradigma penulis dalam melihat dan mendeskripsikan atau bahkan menganalisis dengan teknik analisis interaktif terhadap fenomena peziarahan CHKTY. Dari berbagai sumber yang ada diharapkan upaya pendalaman wacana tentang peziarahan dapat pula dilakukan sehingga semakin dimungkinkan pendeskripsian bagaimana proses pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan telah dilakukan selama ini termasuk tinjauan kritisnya.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan tentang proses pembentukan peziarahan CHKTY Ganjuran ini dibagi ke dalam 5 bab. Bab pertama akan memaparkan pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan serta sistematika isi penulisan.

Selanjutnya fokus bab kedua adalah tinjauan tentang ziarah manusia dan pengudusan ruang bagi Yang Kudus. Dalam tinjauan ini akan dipaparkan pemahaman mengenai diri manusia sebagai peziarah, peranan ziarah dan kebiasaan berziarah dalam hidup manusia. Dalam bab kedua ini pula juga dipaparkan secara mendalam tentang pandangan manusia tentang Yang Kudus dan bagaimana manusia mengupayakan pengudusan ruang bagi Yang Kudus.

(36)

juga pengolahannya. Tekanan utama dalam pemaparan adalah memperlihatkan apa saja peristiwa dan unsur-unsur yang membentuk CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan. Dengan kata lain bab tiga ini menunjukkan latar belakang adanya peziarahan CHKTY Ganjuran hingga menjadi peziarahan seperti saat sekarang.

Bab keempat dalam penulisan ini diuraikan secara khusus berpangkal dari bab dua dan tiga. Dengan mengambil judul analisa, maka pada bab ini akan dilakukan tinjauan analitis terhadap proses pembentukan CHKTY Ganjuran sebagai peziarahan dengan mendasarkan diri pada perspektif Mircea Eliade. Analisis berpusat pada upaya menemukan pemahaman yang mendalam berbagai unsur yang membentuk suatu peziarahan. Disamping itu juga akan dipaparkan kemungkinan-kemungkinan menumbuhkembangkan peziarahan CHKTY sesuai dengan tantangan hidup manusia pada masa sekarang ini.

(37)

BAB II

ZIARAH MANUSIA DAN PENGUDUSAN RUANG BAGI YANG KUDUS

Bab II ini memaparkan dua fokus perhatian yaitu kebiasaan berziarah dalam kehidupan manusia dan “tindakan” manusia dalam menguduskan ruang bagi Yang Kudus. Tinjauan keduanya membantu kita memahami kenyataan adanya usaha yang terus-menerus dari manusia untuk senantiasa memaknai hidupnya teristimewa melalui “perjumpaannya” dengan Yang Kudus. Terbentuknya tempat ziarah sebagai ruang bagi Yang Kudus melalui berbagai upaya pengudusan merupakan usaha manusia beriman untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu mengalami dan berelasi dengan Yang Kudus.

A. ZIARAH DALAM HIDUP MANUSIA 1. Manusia Sebagai Peziarah

Ada banyak sebutan terhadap diri manusia. Salah satu sebutan itu menyatakan diri manusia sebagai peziarah (“homo viator”).1 Ia adalah seorang peziarah dalam dunia ini. Bagi manusia, dunia ini seolah-olah adalah tanah asing. Sebagai peziarah di tanah asing, maka manusia dituntun oleh “panggilan” hidupnya sendiri untuk mencari tahu makna hidup yang sesungguhnya dan di mana tempat dia didalamnya. Dunia tempat manusia tinggal di dalamnya menuntut manusia untuk lebih dalam memasuki misteri akan diri yang sebenarnya. Hanya dengan menemukan makna hidup dan keberadaan dirinya di dunia ini, maka manusia mempunyai kepastian dalam menjalani kehidupannya.

1

(38)

Pencarian makna hidup ini diupayakan terus-menerus oleh manusia dengan melakukan tinjauan reflektif atas hidup yang dijalani. Tinjauan reflektif sangat perlu dalam dunia sekarang ini, sebab menurut A. Sudiarja para penganut religius hidup di dunia yang ambigu. Kalau mereka salah melangkah bisa terpeleset jatuh dan terseret arus sekuler, tetapi kalau berhenti dan tidak memberi makna, maka sia-sialah seluruh arti kehidupan iman mereka.2

Dunia yang kita diami saat ini memang menuntut manusia untuk terus-menerus berperan dan memberi makna. Kesadaran akan keberadaan diri dalam dunia ini membantu manusia untuk terus eksis. Sayang sekali kesadaran ini seringkali belum menjadi milik tiap orang, sehingga hidupnya pun dijalani tanpa arah. Bahkan sebagai peziarah di dunia ini manusia bisa menjadi salah arah. Disamping itu sebagai peziarah ia pun dapat memilih untuk bertahan dalam “wilayah” yang membuat dirinya mengalami rasa aman yang tidak hendak ia tinggalkan. Pada akhirnya iapun tinggal dalam kebiasaan yang menumbuhkan rasa aman, stabil, dan menutup mata terhadap keingintahuannya akan makna dan misteri hidupnya yang lebih mendalam.

Dalam peziarahan hidup manusia, rasa aman yang membuat hidup menjadi “mandeg” seringkali dibangun oleh hidup keagamaan yang dijalani sebatas pada ibadat. Hidup beragama lebih dipahami sebagai ruang kesalehan privat/individual. Yang utama dalam hidup keagamaan adalah menjalankan ritual. Pelaksanaan ibadat kemudian dijalani tanpa ruh. Ibadat lebih melulu sebagai rutinitas, akibatnya ibadat tidak punya pengaruh dalam kehidupan sehari-hari yang semestinya menjadi puncak ritual.3 Disamping itu hidup yang “mandeg” dapat pula terjadi karena manusia lebih

2

A. Sudiarja. 2006. Agama di Zaman yang Berubah. Yogyakarta: Kanisius, 1. 3

(39)

memilih menjalani hidupnya dengan mengutamakan hal-hal yang duniawi dan mengabaikan sisi religiusnya. Manusia sepenuhnya lebih terlibat dalam perkara “kemanusiaan” dengan menyisihkan aspek religiusnya sama sekali.

Sebagai peziarah, manusia menjalani kehidupannya dalam tarik menarik antara melaksanakan praktek-praktek dan kepercayaan religius dengan tindakan konkret bagi kemanusiaan. Atau dengan kata lain dalam istilah Eliade, hidup manusia senantiasa dalam pengaruh Yang Kudus. Seperti halnya alam merupakan manifestasi dari Yang Kudus, maka manusia hendaknya juga bertingkah laku sebagai “sakramen” akan manifestasi Yang Kudus.4 Dengan kata lain, peziarahan hidup manusia bukan hanya sebagai peziarahan yang ditandai oleh orientasi pada kesalehan pribadi, melainkan kesalehan sosial.

Orang beragama memang memiliki dua proses, yaitu pertama internalisasi nilai keberagamaan dan yang kedua adalah mengekspresikan (eksternalisasi) keberagamaan dalam berbagai bentuknya. Oleh karena itu hidup keagamaan harus ditandai keseimbangan akan keduanya. Melalui sisi internalisasi nilai keberagamaan (ritual) ia meningkatkan spiritualitasnya. Selanjutnya dalam hidup konkret sehari-hari dalam tindakan sosial ia menghidupi spiritualitas tersebut. Dengan kata lain manusia bergerak dari suatu pengalaman rohani yang sifatnya amat personal dan berkaitan dengan dunia spiritual menuju implementasinya dalam kehidupan nyata dengan menanggapi berbagai persoalan sosial dalam hidup bersama dengan sesamanya. Dengan cara ini setiap pribadi menjadi agen tindakan kemanusiaan. Ia bertindak menjadi aktor perubahan di mana dia hidup seturut dengan sistem nilai yang diyakini dalam agamanya.

4

(40)

Bagi manusia religius ziarah hidupnya seharusnya mempunyai tujuan yang transenden, yaitu sebuah peziarahan untuk mencari dan menuju Yang Kudus. Oleh karena itu sebagai seorang peziarah manusia religius tidak bisa mengabaikan akan pentingnya praktek-praktek dan kepercayaan religius dalam perjalanan hidupnya di dunia ini. Ia dapat belajar dari manusia arkhais yang menurut Eliade tidak menjalani kehidupannya dengan pemisahan antara yang sakral dan profan. Bagi mereka, tidak ada aktivitas dalam dunia ini yang semata-mata aktivitas profan seperti halnya alam tidak pernah bersifat natural murni, melainkan sekaligus natural dan supranatural.5 Seperti halnya manusia arkhais menjalani peziarahan hidupnya dengan sepenuhnya menempatkan Yang Kudus sebagai pusat kehidupan, maka demikian pula hendaknya manusia dalam setiap jaman.

2. Kebiasaan Berziarah dalam Hidup Manusia

Kebiasaan untuk berziarah yang telah dilakukan manusia dari jaman ke jaman harus pula dipandang sebagai upaya manusia untuk terus hidup dalam keterarahan pada Yang Kudus. Dengan demikian pilihan untuk menjalani kehidupan dengan tanpa arah, bertahan dalam rasa aman dan penolakan keingintahuan dari dalam diri sebenarnya bertentangan dengan kodrat diri manusia yang senantiasa haus akan cakrawala-cakrawala baru, lapar akan keadilan dan damai, mencari kebenaran, mendambakan cinta kasih, dan terbuka bagi Nan Mutlak dan Tak Terbatas.6 Kebiasaan untuk berziarah merupakan upaya untuk menghentikan kecenderungan manusia untuk melekat pada kebiasaan yang ada, rasa aman, stabilitas, dan keinginan yang keliru untuk bertahan dalam ketidaktahuan yang menjauhkan manusia dari

5

Ibid., 44-45. 6

(41)

keterarahan pada Yang Kudus. Berziarah dapat menjadi perjalanan untuk memutuskan kemelekatan, menghancurkan kebiasaan, membuka mata, dan mencari tahu arah dan makna hidup sesungguhnya.

Kebiasaan berziarah menjadi wujud dari tindakan melepas, dan sekaligus sebagai suatu perjalanan untuk mencari Tuhan, Sang Khalik, Yang Kekal.7 Di tengah pergolakan hidup yang ditandai dengan perubahan terus-menerus yang telah membuat manusia mengalami keletihan, kemandegan ataupun kehampaan akan makna kiranya manusia membutuhkan kesempatan untuk berdialog dengan dirinya, sesama dan Yang Kudus. Kebiasaan berziarah justru menjadi kesempatan bagi manusia untuk beristirahat, menikmati ruang kebebasannya untuk kembali menemukan hidupnya, tujuannya dan mengalami kehadiranNya.

Dalam agama rakyat kebiasaan berziarah dijalani dengan berkunjung ke tempat keramat. Entah secara perorangan entah secara kelompok orang beriman mengunjungi tempat tertentu, yang dianggap “suci/keramat”.8 Kunjungan ke tempat keramat, apakah itu makam atau tempat lainnya dilakukan bukan hanya dalam arti rekreatif, tetapi religius. Dalam agama-agama besar, kebiasaan berziarah juga dijalankan. Bahkan di banyak agama besar, ada perintah untuk melakukan ziarah, untuk meninggalkan tempat tinggal, sahabat, aktivitas, keadaan diri seseorang yang biasa, dan melakukan perjalanan menuju antah-berantah.9 Orang beriman berziarah untuk berkirim doa, mengadakan pembersihan diri atau pun memupuk imannya kepada Yang Kudus. Dengan demikian kebiasaan berziarah merupakan kebiasaan yang universal dalam hidup manusia dan mendapat tempat yang penting dalam hidup keagamaan, sehingga menjadi praktek keagamaan yang “wajib” dilaksanakan.

7

Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom terj. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 187-188. 8

C. Groenen, OFM. 1988. Mariologi: Teologi dan Devosi. Yogyakarta, Kanisius, 190. 9

(42)

3. Kebiasaan Berziarah dalam Gereja

Dalam lingkup Gereja Katolik, kegiatan ziarah menjadi tanda bagi Gereja dalam menghayati hidup sebagai peziarahan menuju persatuan dengan Bapa.10 Kebiasaan berziarah dijalani sebagai usaha mencari kedekatan dengan yang ilahi, yang dilakukan dengan keihklasan menyingkiri kebisingan hal-ihkwal duniawi dan menghormati tempat-tempat yang kudus. Menurut Dr. B.S. Mardiatmadja SJ, ketika umat berziarah artinya umat melakukan perjalanan menuju kepada seseorang atau suatu tempat yang dianggap menentukan tujuan akhir hidup si peziarah”.11 Jadi ada beberapa unsur pokok dalam ziarah, yaitu perjalanan, kepada seseorang, tujuan akhir hidup dan si peziarah. Oleh karena itu ziarah menampilkan beberapa langkah yang ditempuh oleh para peziarah, yaitu pertama saat bertolak yang menampakkan keputusan para peziarah untuk terus maju ke arah tujuan. Yang kedua di tengah perjalanan yang menghantarkan peziarah kepada solidaritas dengan sesama, dan persiapan mereka untuk menjumpai Tuhan. Yang ketiga, di tempat ziarah, kehadiran mereka di tempat ziarah mengajak mereka ambil bagian dalam ritual ziarah yang membantu pengolahan diri mereka, akhirnya perjalanan pulang mengingatkan para peziarah akan misi mereka di dunia, dengan hidup dalam komunitas dan dunianya.12

Kebiasaan berziarah baru mulai berkembang dalam Gereja Katolik setelah para martir menjadi sasaran devosi,13 yaitu sekitar tahun 200. Selama abad IV-VI kebiasaan berziarah ke makam para martir dan relikwi mereka (yang dibawa ke

10

Yohanes Paulus II, Panitia Kepausan untuk Para Migran dan Perantau. 1999, 36. 11

B.S. Mardiatmadja SJ, “Makna Ziarah di Tahun Yubelium”, dalam Hidup, No. 40 Tahun LIV, 1 Oktober 2000, hal 13.

12

Lihat Ibid. 13

(43)

mana-mana ) di seluruh kawasan Timur dan Barat menjadi populer sekali.14 Dengan demikian kebiasaan berziarah tidaklah muncul dari tradisi Gereja, melainkan telah hidup, tumbuh dan berkembang sebagai ekspresi religiositas manusia. Kebiasaan berziarah muncul karena adanya kebutuhan dari dalam diri manusia untuk mengekspresikan relasinya dengan Yang Kudus secara lahiriah. Ekspresi lahiriah ini didorong adanya keyakinan akan Yang Kudus yang terus berkarya dalam hidup manusia termasuk dalam diri para peziarah. Oleh karena itu dalam tradisi Gereja Katolik kebiasaan berziarah tak dilepaskan dari penghormatan khusus pada pribadi manusia yang telah memperlihatkan begitu besarnya karya Allah yang telah bekerja dalam diri mereka. Artinya kebiasaan berziarah dilaksanakan bukan sebagai jalan bagi upaya pengudusan diri manusia oleh dirinya sendiri, melainkan justru sebagai praktek hidup beriman untuk merasakan ataupun mengalami karya Allah yang juga hadir dalam peziarahan yang dikunjungi.

Setelah Maria ibu Yesus tampil dan menonjol sebagai sasaran devosi rakyat, maka dia pun menjadi sasaran devosi yang disalurkan melalui ziarah. Jumlah tempat di mana Maria secara khusus dihormati terus tambah banyak. Tempat itu menjadi tempat ziarah oleh karena ada keyakinan bahwa Maria pernah nampak di situ, “berkarya” dan mengabulkan doa atau patungnya ditemukan di situ.15 Kebiasaan untuk berziarah di peziarahan Maria bertumbuh subur dan menjadi kebiasaan yang paling populer di kalangan umat. Umat beriman berziarah ke peziarahan Maria yang diyakini sebagai tempat suci, yaitu tempat di mana orang atas dasar imannya dapat mengalami karya Yang Kudus yang mengikutsertakan ibu Maria.

14

C. Groenen, OFM. 1988, 189. 15

(44)

Dalam abad 17 berkembang devosi untuk Hati Kudus Tuhan Yesus. Devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus menurut Tom Jacobs SJ adalah sarana untuk mengembangkan hubungan pribadi dengan Yesus. Devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan ungkapan silih dan sekaligus ungkapan iman akan kasih Kristus yang mempersatukan manusia dalam perjalanan menuju Bapa. Maka, tekanan devosi lebih pada pujian syukur untuk mengagungkan cinta abadi Allah pada manusia.16 Hal ini dilakukan dengan menyambut komuni sesering mungkin, adanya adorasi pada Jumat pertama tiap bulan, dan juga perayaan khusus untuk Hati Kudus Tuhan Yesus.17

Dengan devosi ini, maka umat beriman dibantu untuk mengungkapkan imannya secara wajar dan memuaskan, sebab devosi muncul secara spontan dari hidup iman umat. Sebagai bentuk kebaktian, devosi dilaksanakan oleh umat baik melalui doa-doa maupun ritual tertentu. Berbeda dengan kebiasaan berziarah di peziarahan Maria, maka devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus diyakini sebagai kebaktian pada pribadi Yesus sendiri. Umat beriman dengan devosi kepada Hati Kudus Tuhan Yesus hendak mengungkapkan syukur dan permohonan atas karya Yang Kudus yang dinyatakan dalam Hati Yesus.18

Devosi kepada Hati Kudus Yesus merupakan kebaktian umat beriman kepada Kasih. Melalui HatiNya, Allah dalam Yesus Kristus mencintai manusia secara total.19 Oleh karena itu seperti halnya kebiasaan berziarah ke peziarahan Maria, berziarah ke tempat ziarah Hati Kudus Tuhan Yesus dilaksanakan juga sebagai ungkapan iman akan karya Yang Kudus yang nampak dalam diri Yesus. Peziarah

16

Tom Jacobs. 1984. Hati Penyelamat dalam Hidup 28, 26-27. 17

O’Donnell, Timothy Terrance. 1990. Santa Margareta Maria dan Devosi kepada HatiKudus Yesus. Terj. CB. Kusmaryanto, SCY. Palembang: Propinsi SCY Indonesia, 20.

18

Lihat Tom Jacob. Devosi Kepada Hati Kudus Tuhan Yesus: Pujian atau Permohonan. Dalam Utusan. No. 06. Tahun ke- 52. Juni 2002, 8-10.

19

(45)

yang melaksanakan kebiasaan berziarah untuk menghormati Hati Kudus Tuhan Yesus dapat menimba sikap hati Yesus yang menyerahkan seluruh diriNya kepada kehendak Yang Kudus (Allah Bapa) sebagai perwujudan kasihNya kepada manusia. Tindakan yang sama “seharusnya” dilakukan oleh umat beriman dengan menyerahkan seluruh hidup pada kehendak Yang Kudus melalui kasih kepada sesama.

Dengan demikian, kebiasaan berziarah dalam tradisi Gereja Katolik berkembang dari adanya kebiasaan melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang berkaitan dengan iman Kristiani. Tujuan dari kebiasaan berziarah dalam Gereja Katolik tidak lain adalah merenungkan karya keselamatan Tuhan dalam hidup manusia (termasuk peziarah) sekaligus penghayatan persatuan dengan Tuhan sendiri. Kegiatan ziarah sendiri menjadi tanda bagi umat untuk menghayati hidup sebagai peziarahan menuju persatuan dengan Yang Kudus. Sebab sebenarnyalah dalam iman, semua orang hidup adalah berziarah menuju rumah abadi yang melampaui hidup di dunia ini.

Kebiasaan berziarah menjadi kebiasaan untuk mengungkapkan iman kepada Yang Kudus yang sejak semula sudah mengundang manusia untuk datang kepadaNya. Oleh karena itu kebiasaan berziarah mengejawantahkan ibadat manusia pada Yang Kudus. Dalam prakteknya kebiasaan ini menuntut pelaksanaan secara setia serta disertai citarasa religius yang intensif.20 Apabila kebiasaan ini dilaksanakan dengan setia, maka akan menjadi bagian dari proses pembudayaan diri dari manusia yang menjalaninya.

20

(46)

4. Peranan Sosio Religius Ziarah

Ziarah adalah suatu interaksi dan proses intersubyektif.21 Ziarah adalah perjalanan bersama antara manusia dengan Yang Kudus. Dalam ziarah hubungan dengan sesama serta dengan Yang Kudus hendak diperdalam. Oleh karena itu ziarah mengandung proses relasi yang mengundang komitmen berkesinambungan. Ziarah tidak mulai ketika peziarah berangkat ke suatu tempat. Ziarah juga tak berakhir bila peziarah telah sampai di suatu tempat ziarah tertentu dan selesai menjalankan ritual yang ada.22 Ziarah menuntut adanya tindak lanjut pasca aktivitas ziarah berakhir, yaitu memulai tahap ziarah baru dalam hidup yang terwujud dalam pelaksanaan lebih lanjut komitmen-komitmen. Sayang sekali interaksi dan proses intersubyektif seringkali tidak terpenuhi dalam aktivitas ziarah. Ziarah kerap kali dinodai oleh iming-iming yang bersifat rekreatif.23 Tak jarang minat orang berziarah malah dibangkitkan dengan godaan untuk memenuhi tawaran rekreatif tersebut. Akibatnya dalam pelaksanaan ziarah tidak ada pergulatan internal dalam diri si peziarah dan juga perjumpaan dialogal dengan sesama peziarah lainnya. Oleh karena itu menjadi tantangan besar bagi peziarah untuk menjalani laku ziarah yang sungguh mengembangkan relasi dengan sesama dan dengan Yang Kudus.

Menurut Victor Turner ziarah justru dapat membawa kita ke pengalaman liminal dan hidup dalam komunitas. Liminalitas berarti tahap atau periode waktu dimana subyek mengalami keadaan yang ambigu, yaitu “tidak di sana dan tidak di sini”. Liminal sering diartikan sebagai peralihan. Di dalam liminalitas individu

21

B.S. Mardiatmadja, SJ. 2000. Hidup, 13-14. 22

Lihat Henny Alit, “Gua Maria Sendang Pawitra, Surya Indah di Gunung Lawu” dalam Hidup, No. 10 Tahun ke-57, 8 Maret 2003, 23.

23

(47)

mengalami pengalaman dasar sebagai manusia, sehingga kesadaran eksistensinya meningkat. Selain itu liminalitas juga menjadi tahap refleksi formatif, artinya dalam tahap ini individu sebagai subyek ritual merefleksikan ajaran-ajaran dan adat istiadat masyarakat. Liminalitas dalam ziarah menjadi tahap dimana peziarah berada pada keadaan masa sekarang dan masa mendatang. Peziarah menghadapi dirinya secara utuh dalam keadaan yang tidak dipengaruhi keadaan normal sehari-hari.

Tahap liminal dalam ziarah menunjukan bahwa peziarah dimasukkan dalam suatu keadaan yang lain dengan dunia sehari-hari, karena dia mengalami suatu masa ‘penggodokan’. Ia mengalami peralihan dari dunia sehari-hari ke dalam dunia sakral. Pengalaman liminal bagi mereka menjadi tahap refleksi dan formatif karena tahap ini memberikan kesempatan bagi subjek ritual untuk melakukan penyadaran dan perenungan diri. Oleh karena itu dalam masa liminal mereka sebagai subjek ritual juga mendapat waktu khusus untuk mempelajari dan merenungkan hidupnya masa sekarang dan masa mendatang. Para peziarah diajak oleh pemimpin upacara untuk melihat kembali ajaran-ajaran iman dan kebiasaan-kebiasaan hidup beriman yang telah dijalani. Peziarah juga memperoleh masukan-masukan entah berkaitan dengan adat kebiasaan masyarakat secara umum atau sebagai umat dengan norma-norma moral dan kewajiban-kewajiban orang-orang yang sudah dewasa dalam iman.

(48)

sehari-hari.24 Misteri-misteri iman yang semakin dipahami, dialami atau dihayati harus menjadi dasar bagi dirinya untuk hidup dengan nilai-nilai baru. Justru dalam pengalaman doa pribadi dan doa bersama, keheningan dan pujian ketika dalam peziarahan itulah ia sebagai orang beriman semakin memperdalam dan memperkembangkan imannya. Ia mengalami apa yang disebut Victor Turner dengan ‘reflektif-formatif’. Dalam tahap liminal ketika dalam peziarahan ia mengalami senantiasa diperhadapkan dengan dirinya yang harus diolah.

“Tahap liminal bagi subjek ritual merupakan pengalaman mendasar karena ia mengalami sesuatu yang asasi. Asasi karena ia menimba nilai-nilai yang asasi dalam kehidupan masyarakat yang menjadi tempat hidupnya. Dalam tahap liminal ini juga akhirnya terbentuk komunitas yaitu hubungan antara individu yang tidak terpilah-pilah ke dalam peran-peran dan kedudukan-kedudukan; masing-masing individu merasa dirinya sama dengan yang lainnya, memiliki rasa persahabatan dan persaudaraan mendalam serta saling berhadapan dalam suatu hubungan yang oleh Martin Buber disebut sebagai I and Thou (Aku dan Engkau).”25

Victor Turner menemukan bahwa ziarah merupakan model komunitas yang representatif. Dalam ziarah ada kualitas komunitas. Gambaran hidup komunitas yang berbeda dengan hidup dalam struktur sebagaimana nampak dalam sistem-sistem hubungan sosial yang stabil, terstruktur dapat kita temukan dalam ziarah. Pengalaman berziarah menjadi pengalaman yang mengubah para peziarah. Perubahan ini bukan terutama dengan peristiwa-peristiwa ajaib tetapi melalui pengalaman dasariah sebagai manusia. Dalam peziarahan, orang sungguh mengalami tiadanya perbedaan entah dalam hal status atau lainnya. Dalam ziarah kebersamaan tumbuh secara spontan bukan karena adanya struktur atau kewajiban yang mengharuskannya. Seperti dikatakan Victor Turner, orang dapat makan dan minum

24

Wartaya Winangun. 1990. Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius, 40-43.

25

(49)

dari “wadah” yang sama.26 Di hadapan yang Kudus, maka peziarah menyadari diri sebagai sesama bagi yang lain.

Ciri suatu komunitas, yakni persaudaraan dialami dalam ziarah dan dituntut untuk senantiasa menjiwai kehidupan sehari-hari pasca ziarah. Kehidupan sehari-hari hendaknya ditandai oleh ikatan kasih yang mendalam, dalam hubungan yang sehati dan sejiwa seperti halnya telah dialami dalam ziarah. Tindakan jemaat (peziarah) untuk saling mengasihi akan tampak dalam kesediannya untuk berbagi. Dalam ziarah hal ini semua menjadi begitu kelihatan. Orang lain diterima dan diperlakukan sebagai sesama, atau dirinya yang lain. Ziarah tampak dianggap oleh peziarah yang sadar sebagai kesempatan-kesempatan di mana komunitas dialami maupun sebagai perjalanan menuju sumber suci komunitas yang dilihat sebagai sumber penyembuhan dan pembaharu.27 Melalui ziarah orang beriman meyakini bahwa dia menjalani praktek devosional dalam rupa ekspresi iman dengan berkunjung ke tempat yang suci, yaitu tempat di mana Yang Kudus diyakini telah hadir dan berkarya sekaligus menimba sumber hidup dari sana untuk hidup sehari-hari dengan sesamanya.

Keterarahan manusia pada Yang Kudus ini memperlihatkan apa yang khas dalam aktivitas ziarah, yaitu peranan sosio religiusnya. Ziarah merupakan wujud dari tindakan manusia untuk melepaskan apa yang melekat dalam dirinya dalam rangka mencari Tuhan, Sang Khalik, Yang Kekal.28

Ziarah mempunyai peranan sosio-religius yang amat penting karena peziarahan menjadi tempat suci dan kramat yang mempersatukan seluruh umat beriman yang datang. Ziarah memupuk dan menyadarkan kembali persaudaraan di antara umat beriman yang datang maupun juga persaudaraan lebih luas dengan seluruh umat manusia sebagai sesama peziarah menuju Yang Kudus.29

26

Ibid. 27

Wartaya Winangun, 1990, 56 28

Brenda Shoshanna, PHD. Zen, Wisdom, 187. 29

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sebanyak 20 orang atau 58.9 % dari angket yang disebarkan alasan responden menjadi pedagang kaki lima yaitu karena tidak

meningkat dan tujuan pembelajaran tercapai. Penelitian ini dilakukan di kelas IV SDN 20 Kurao Pagang Padang. Siswa laki-laki sebanyak 8 orang dan siswa perempuan

Jika pada saat itu kepentingan nasional itu memang menghendaki dikenakan Bea Masuk Anti Dumping, namun setelah 2 tahun kemudian saat KADI memutuskan untuk mengakhiri

xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama. pesaingnya, yaitu

Pada base metal material SA 213 TP 304 parameter 8.5v pada gambar 4.8 tidak menunjukkan adanya presipitat karbida pada daerah austenite dan batas butir yang lebih luas

7 Dari tabel 4.1 dapat diketahui bahwa kriteria Kompensasi Finansial yang efektif dan kriteria kinerja karyawan memenuhi sebanyak 72 responden sedangkan 7 responden

Diharapkan dengan adanya penulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan dalam kepariwisataan, dapat memberi sumbangan pemikiran atau pemecahan masalah,

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Pemberian Makanan Tambahan Pendamping asi menurut Umur Bayi, Jenis Makanan dan Frekuensi pemberian